Kedudukan Hukum Lembaga Penjamin Kredit Daerah Sebagai Penjamin Dalam Pemberian Kredit Terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM)

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

090200074 P R I A D I

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA PENJAMIN KREDIT DAERAH SEBAGAI PENJAMIN DALAM PEMBERIAN KREDIT

TERHADAP USAHA KECIL MENENGAH (UKM)

Oleh

090200074 P R I A D I

Disetujui Oleh

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

NIP. 19750112 200501 2 002

WINDHA, SH. M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Windha, SH., M.Hum

NIP. 19750112200505012002 NIP. 195303121983031002 Ramli Siregar, SH., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA PENJAMIN KREDIT DAERAH SEBAGAI PENJAMIN DALAM PEMBERIAN KREDIT

TERHADAP USAHA KECIL MENENGAH (UKM) * Priadi

** Windha *** Ramli Siregar

Usaha kecil menengah mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi. Karena tingkat penyerapan tenaga kerjanya yang relatif tinggi dan kebutuhan modal investasinya yang kecil, Usaha kecil menengah bisa dengan fleksibel menyesuaikan dan menjawab kondisi pasar yang terus berubah. Hal ini membuat usaha kecil menengah tidak rentan terhadap berbagai perubahan eksternal.Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaiamakah pemberian suatu kredit pada usaha kecil menengah? Bagaimanakah penjaminan kredit dalam kredit usaha kecil menengah?Bagaimnakah kedudukan lembaga penjaminan kredit daerah dalam pemberian kredit kepada usaha kecil menengah ?Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah juridis normatif. Dengan pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan dengan mempelajari ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan.

Pemberian suatu kredit pada usaha kecil menengah adalah adanya kredit usaha kecil menengah akan meningkatkan laju perekonomian, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal itu dikarenakan dengan kredit usaha kecil menengah maka akan memberikan tambahan modal dan investasi sehingga mendorong tumbuhnya usaha manufaktur dan sektor riil, dengan meningkatnya sektor riil maka pendapatan nasional akan meningkat, dengan pendapatan per kapita yang meningkat maka secara otomatis akan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat karena pendapatan per kapita merupakan salah satu indikator tingkat kemakmuran suatu negara. Hubungan hukum antara penjamin adalah adanya hubungan dengan hak dan kwewajiban yang erat kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran debitur kepada kreditur. untuk itu, pihak penjamin menuntut kepada debitur supaya membayar apa yang telah dilakukan oleh penjamin kepada kreditur. Kedudukan lembaga penjaminan kredit daerah dalam pemberian kredit kepada usaha kecil menengah adalah Lembaga Penjaminan Kredit merupakan Badan Usaha berbentuk Perseroan Terbatas Milik Daerah.

Kata Kunci : (Kedudukan Hukum Lembaga Penjamin Kredit Daerah) *Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I, Ketua Departemen Ekonomi Fakultas Hukum USU ***Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul Kedudukan Hukum Lembaga Penjamin Kredit Daerah Sebagai Penjamin Dalam Pemberian Kredit Terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM). Guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan Skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.

Dalam penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

5. Ibu Windha, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen pembimbing I pada penulisan skripsi ini.

6. Bapak Ramli Siregar, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada kedua orang tua ayahanda b. Hutapea dan ibunda N. Situmorang yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah putus sampai sekarang.

9. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10.Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Juni 2014 Penulis

090200074 PRIADI


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PEMBERIAN SUATU KREDIT PADA USAHA KECIL MENENGAH ... 19

A. Dasar Hukum Pemberian Kredit UKM ... 19

B. Bentuk Kredit pada Usaha Kredit Menengah ... 23

C. Para Pihak dalam Pemberian Kredit Usaha Kecil ... 25

D. Perjanjian Kredit Usaha Kecil Menengah ... 40

BAB III PENJAMINAN KREDIT DALAM UKM ... 50

A. Hubungan Hukum antara Debitur, Kreditur dan Penjamin Dalam Pemberian Kredit Usaha Kecil Menengah ... 50

B. Bentuk Penjaminan Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah ... 53


(7)

BAB IV KEDUDUKAN LEMBAGA PENJAMINAN KREDIT DAERAH

DALAM PEMBERIAN KREDIT KEPADA UKM ... 61

A. Tujuan dan Fungsi Lembaga Penjamin Kredit Daerah ... 61

B. Kedudukan Lembaga Penjamin Kredit Daerah dalam Pemberian Kredit Kepada UKM ... 62

C. Tanggung jawab Lembaga Penjamin Kredit Daerah dalam Kredit Terhadap Usaha Kecil Menengah ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA PENJAMIN KREDIT DAERAH SEBAGAI PENJAMIN DALAM PEMBERIAN KREDIT

TERHADAP USAHA KECIL MENENGAH (UKM) * Priadi

** Windha *** Ramli Siregar

Usaha kecil menengah mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi. Karena tingkat penyerapan tenaga kerjanya yang relatif tinggi dan kebutuhan modal investasinya yang kecil, Usaha kecil menengah bisa dengan fleksibel menyesuaikan dan menjawab kondisi pasar yang terus berubah. Hal ini membuat usaha kecil menengah tidak rentan terhadap berbagai perubahan eksternal.Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaiamakah pemberian suatu kredit pada usaha kecil menengah? Bagaimanakah penjaminan kredit dalam kredit usaha kecil menengah?Bagaimnakah kedudukan lembaga penjaminan kredit daerah dalam pemberian kredit kepada usaha kecil menengah ?Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah juridis normatif. Dengan pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan dengan mempelajari ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan.

Pemberian suatu kredit pada usaha kecil menengah adalah adanya kredit usaha kecil menengah akan meningkatkan laju perekonomian, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal itu dikarenakan dengan kredit usaha kecil menengah maka akan memberikan tambahan modal dan investasi sehingga mendorong tumbuhnya usaha manufaktur dan sektor riil, dengan meningkatnya sektor riil maka pendapatan nasional akan meningkat, dengan pendapatan per kapita yang meningkat maka secara otomatis akan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat karena pendapatan per kapita merupakan salah satu indikator tingkat kemakmuran suatu negara. Hubungan hukum antara penjamin adalah adanya hubungan dengan hak dan kwewajiban yang erat kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran debitur kepada kreditur. untuk itu, pihak penjamin menuntut kepada debitur supaya membayar apa yang telah dilakukan oleh penjamin kepada kreditur. Kedudukan lembaga penjaminan kredit daerah dalam pemberian kredit kepada usaha kecil menengah adalah Lembaga Penjaminan Kredit merupakan Badan Usaha berbentuk Perseroan Terbatas Milik Daerah.

Kata Kunci : (Kedudukan Hukum Lembaga Penjamin Kredit Daerah) *Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I, Ketua Departemen Ekonomi Fakultas Hukum USU ***Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usaha Kecil Menengah selanjutnya disingkat dengan (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Akan tetapi jika dilihat kondisi UKM di Indonesia, dapat dikatakan bahwa UKM kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Kesadaran akan arti penting UKM baru terlihat belakangan ini saja. Beberapa alasan yang menyebabkan pentingnya pengembangan UKM antara lain fleksibilitas dan adaptabilitas UKM dalam memperoleh bahan mentah dan peralatan, relevansi UKM dengan proses-proses desentralisasi kegiatan ekonomi guna menunjang terciptanya integritas kegiatan pada sektor ekonomi yang lain, potensi UKM dalam menciptakan dan memperluas lapangan kerja, serta peranan UKM dalam jangka panjang sebagai basis untuk mencapai kemandirian pembangunan ekonomi, karena UKM umumnya diusahakan pengusaha dalam negeri dengan menggunakan kandungan impor yang rendah.

UKM mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi. Karena tingkat penyerapan tenaga kerjanya yang relatif tinggi dan kebutuhan modal investasinya yang kecil, UKM bisa dengan fleksibel menyesuaikan dan menjawab kondisi pasar yang terus berubah. Hal ini membuat UKM tidak rentan terhadap berbagai perubahan eksternal. UKM justru mampu dengan cepat menangkap berbagai peluang, misalnya untuk melakukan produksi yang bersifat substitusi impor dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Karena itu,


(10)

pengembangan UKM dapat menunjang diversifikasi ekonomi dan percepatan perubahan struktural, yang merupakan prasyarat bagi pembangunan ekonomi jangka panjang yang stabil dan berkesinambungan. Upaya penumbuhan kemampuan dan ketangguhan UKM yang memiliki jumlah besar dan tersebar di seluruh tanah air, merupakan kegiatan yang tak dapat dipisahkan dari upaya menumbuhkan kemampuan, ketangguhan dan ketahanan nasional secara keseluruhan

Namun pada kenyataannya, UKM masih belum dapat mewujudkan kemampuan dan perannya secara optimal dalam perekonomian nasional. Hal ini disebabkan UKM masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat eksternal maupun internal, dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia dan teknologi, serta iklim usaha yang belum mendukung bagi perkembangannya.

Kaitannya dengan upaya penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan UKM mempunyai peranan yang penting mengingat UKM lebih bersifat padat karya. Pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh sektor padat karya memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pengurangan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja. Pengembangan UKM akan menciptakan lapangan kerja baru dimana hanya membutuhkan modal yang relatif lebih kecil. Namun demikian keterbatasan yang dimiliki UKM baik secara internal maupun eksternal menyebabkan UKM memiliki kesempatan yang lebih sempit untuk melakukan pengembangan.


(11)

Dari sisi internal, secara umum UKM masih menghadapi rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia selanjutnya disebut (SDM) seperti kurang terampilnya SDM, rendahnya penguasaan teknologi serta manajemen dan informasi pasar. Sedangkan dari sisi eksternal UKM masih menghadapi permasalahan terkait masih terbatasnya penyediaan produk jasa lembaga keuangan, khususnya kredit investasi; dan keterbatasan akses pendanaan ke lembaga keuangan. Keterbatasan akses pendanaan ke lembaga keuangan ini salah satunya disebabkan oleh keterbatasan aset yang dimiliki oleh UKM untuk dijadikan jaminan kredit bank. Dari hasil survei kegiatan dunia usaha selanjutnya disingkat (SKDU) diperoleh informasi bahwa kendala dalam memperoleh akses kredit dari lembaga perbankan sebagian besar disebabkan oleh masalah jaminan dan prosedur pengajuan.

Bagi UKM, kredit dirasa cukup penting mengingat kebutuhan untuk pembiayaan modal kerja dan investasi diperlukan guna menjalankan usaha dan meningkatkan akumulasi pemupukan modal mereka. Permasalahan timbul ketika pengusaha mikro kecil tersebut diperhadapkan kepada kelengkapan persyaratan bank guna memperoleh pinjaman. Meskipun usaha mereka feasible namun sebagian besar pengusaha mengalami kesulitan dalam penyediaan asset dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi persyaratan jaminan kredit bank.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil dan Menengah menjelaskan mengenai kriterianya, antara lain sebagai berikut : Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil dan Menengah yang dimaksud dengan: (1) Usaha Mikro


(12)

adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi criteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; (2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; (3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini

Sistem pemberian kredit juga didasarkan atas keyakinan bank pada kemampuan dan kesanggupan nasabah untuk membayar hutangnya. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian dengan seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan/jaminan, dan prospek dari debitur.

Dunia perbankan, kelima factor yang dinilai tersebut dikenal dengan sebutan “The Five Of Credit Analysis” atau prinsip 5C’ (Character, Capacitiy, Capital, Collateral Dan Condition Of Economic ) dan 4P ( Personality, Purpose, Prospect, Dan Payment ). Cara penilaian yang demikian menjadi pedoman bagi pihak bank untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah dikemudian hari dan


(13)

penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit.1

Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berazaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, yang sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Prinsip ini harus diterapkan oleh setiap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil dan Menengah menjelaskan mengenai kriterianya, antara lain sebagai berikut : Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil dan Menengah yang dimaksud dengan: (1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini; (2) usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini; (3) usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini

1

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm .63.


(14)

bank agar tidak mengalami resiko kredit macet, karena tidak satupun bank yang menginginkan kredit yang disalurkannya tumbuh menjadi kredit macet. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa berapapun telitinya pihak bank dalam pemberian kredit walaupun pihak bank tersebut memberikan kredit dengan prinsip kepercayaan dan kehati-hatian kepada nasabah, namun dalam kenyataannyan kredit yang disalurkan oleh bank tersebut sebagian mengalami kredit macet.2

Dalam hal ini kalangan perbankan mendesak pemerintah untuk membentuk lembaga penjamin kredit perbankan bagi para pengusaha berskala mikro. Alasannya selama ini perbankan kesulitan untuk mengucurkan kredit karena proposal usaha kecil seringkali dinilai tidak cukup layak sehingga sulit

. Dalam pemberian kredit ini, proses hukum merupakan hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan. Agar adanya kepastian dan perlindungan yang didapatkan oleh masing-masing pihak baik pihak bank maupun nasabah UKM dalam proses pengkreditan. Hal ini terbukti dengan banyaknya terjadi kredit macet yang menyebabkan kerugian pada bank dan mengganggu kesehatan stabilitas bank karena nasabah tidak dapat mengembalikan pinjamannya.

Kesulitan UKM untuk mendapatkan sumber pembiayaan dari bank bukan semata-mata terbatasnya jaminan yang bisa disediakan oleh UKM. Tetapi bisa juga bersumber dari pemahaman dan anggapan yang sering berlebihan dari sebagian besar lembaga perbankan bahwa melayani usaha kecil mengandung resiko tinggi serta melayani usaha kecil yang jumlahnya banyak sangat merepotkan dan meningkatkan biaya transaksi.

2

Dhlmniswara K.hlmrjono, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum Dan Bisnis Indonesia, 2009), hlm. 73.


(15)

disetujui. Bankir mengaku sangat kesulitan dalam melakukan analisa kemampuan para pengusaha berskala mikro karena sebagian besar dari mereka tidak menerapkan manajemen usaha yang tertib. Kondisi para pengusaha mikro semacam itu sangat menyulitkan perbankan dalam melakukan analisa keuangan terutama ketika hendak memberikan persetujuan atas pengajuan kredit usaha. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah mendirikan infrastruktur pendukung berupa lembaga penjamin kredit guna memayungi keberadaan para pengusaha berskala mikro yang jumlahnya sangat besar.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, modal masih menjadi masalah pokok dalam pengembangan UKM. Dalam hal ini juga berkaitan dengan kelayakan perbankan untuk mengucurkan kredit kepada usaha kecil dan mikro, dimana nantinya terdapat kekhawatiran terjadinya wanprestasi oleh debitur yang menyebabkan kerugian pada lembaga perbankan. Agar tidak terjadi hal demikian, maka diperlukan lembaga penjamin kredit dalam penjaminan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas penulis memilih berjudul :Kedudukan Hukum Lembaga Penjamin Kredit Daerah Sebagai Penjamin Dalam Pemberian Kredit Terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM)

B. Perumusan Masalah

1. Bagaiamakah Pemberian Suatu Kredit Pada UKM? 2. Bagaimanakah penjaminan kredit dalam kredit UKM?

3. Bagaimnakah kedudukan lembaga penjaminan kredit daerah dalam pemberian kredit kepada UKM ?


(16)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui Pemberian Suatu Kredit Pada UKM b. Untuk mengetahui penjaminan kredit dalam kredit UKM

c. Untuk mengetahui kedudukan lembaga penjaminan kredit daerah dalam pemberian kredit kepada UKM

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah : a. Secara teoritis

Diharapkan memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya hukum ekonomi di Indonesia dan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam pemberdayaan usaha kecil menengah.

b. Secara praktis

Diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembuat kebijakan atau keputusan di daerah, agar dapat tercipta dalam sistem hukum yang lebih berpihak kepada bidang usaha kecil menengah sehingga usaha kecil menengah dapat menjadi salah satu upaya peningkatan ekonomi rakyat khususnya kota Medan

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian


(17)

tentang Kedudukan Hukum Lembaga Penjamin Kredit Daerah Sebagai Penjamin Dalam Pemberian Kredit Terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM)

Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah :

1. Nama : Siska Alisabet B NIM : 010020016

Judul : Tinjauan terhadap ketentuan kredit macet dalam perbankan di Indonesia

2. Nama : Sri Yanti S.L. Panjaitan NIM : 030200139

Judul : Penerapan Prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan (Studi Kasus di PT. Bank Mandiri Cabang Zainul Arifin Medan) 3. Nama : Diegi Dona Sari

NIM : 030200065

Judul : Penyaluran Dana UKM melalui Pemberian Kredit pada PT. Bank Mandiri Cabang Solok Sumatera Barat

4. Nama : Melisa M. Sihotang NIM : 030200143

Judul : Penyelesaian kredit macet bermasalah atas pinjaman nasabah Bank pada PT. Bank Mandiri Cabang Balige

Jadi penelitian ini adalah benar-benar asli karena telah sesuai dengan asas-sas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat ipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas segala


(18)

kritikan dan masukan yang sifatnya membangun guna penyempurnaan hasil penelitian.

E. TinjauanPustaka

1. Perkembangan Usaha Kecil Menengah

Usaha Kecil dan Menengah adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.” 3

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha

Kriteria usaha kecil menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pembinaan Usaha Kecil, dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan adalah sebagai berikut:

2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliar Rupiah)

3. Milik Warga Negara Indonesia


(19)

4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar

5. Berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

Di Indonesia, UKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Jumlah UKM hingga 2011 mencapai sekitar 52 juta. UKM di Indonesia sangat penting bagi ekonomi karena menyumbang 60% dari pelaku UKM yang mendapat akses ke lembaga keuangan. Pemerintah Indonesia, membina UKM melalui Dinas Koperasi dan UKM, di masing-masing Provinsi atau Kabupaten/Kota.

Menteri Koperasi dan UKM akan menarik pajak bagi sektor UKM beromzet Rp300 juta hingga Rp4 miliar per tahun. Hal tersebut akan dilaksanakan karena pemerintah mengakui membutuhkan uang untuk proyek infrastruktur.

Program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah diarahkan pelaksanaannya untuk menumbuh kembangkan kegiatan usaha ekonomi skala kecil yang produktif, serta untuk mendukung perluasan kesempatan kerja dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

Pengembangan industri kecil telah dilaksanakan melalui pola pengembangan sentra industri yang tersebar di 33 propinsi, khususnya industri kecil kerajinan dan rumah tangga yang berlokasi di perdesaan. Pendekatan ini


(20)

diharapkan membuat berkembangnya industri kecil menjadi lebih efektif, karena selain para perajin tidak perlu disediakan lokasi khusus, juga pengadaan bahan baku, penyediaan informasi, bantuan teknologi, serta pembinaan kelembagaan usaha, dapat berlangsung lebih efisien, terarah dan terpadu. Jumlah sentra industri yang telah dibina terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Sampai tahun 1997/98, sentra industri yang telah dibina secara kumulatif berjumlah sekitar 10.500 sentra.

Pengembangan industri kecil yang dilaksanakan melalui sentra industri memberikan dampak positif terhadap penumbuhan unit usaha baru dan wirausaha baru, terutama di perdesaan. Dengan dukungan iklim usaha yang makin membaik, jumlah unit usaha industri kecil memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun. Ditinjau dari persebarannya, sebagian besar unit usaha industri kecil masih terkonsentrasi di wilayah kawasan barat Indonesia (KBI) yaitu sekitar 84,7 persen. Sebaliknya, ditinjau dari laju pertumbuhannya, kenaikan rata-rata per tahun jumlah unit industri kecil di KTI sejak tahun 1993 sampai tahun 1996 adalah sebesar 4,7 persen, yang berarti lebih tinggi dibanding kenaikan rata-rata per tahun industri di KBI yang sebesar 2,0 persen per tahun.4

2. Pengertian Usaha Kecil Menengah

Usaha kecil sebagai wadah usaha bagi sebagian besar masyarakat merupakan usaha yang mampu tumbuh dan berkembang secara mandiri dan memberikan andil besar serta menduduki peran yang strategi dalam pembangunan perekonomian di Indonesia.


(21)

Kedudukan usaha kecil sangat penting dalam mewujudkan pembangunan perekonomian nasional suatu Negara. Hal ini telah disadari dimana-mana, tidak saja dinegara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga Negara-negara maju semacam Amerika Serikat. Di Amerika Serikat dari 5,5 usaha uang telah berjalan lancer, ternyata 95% merupakan usaha kecil. Di Indonesia sendiri data semacam itu belum ada, tetapi menurut perkiraan banyak pengamat, tidak kurang dari 90% usaha Indonesia adalah usaha kecil, dan menurut catatan Kementerian Negara Koperasi dan UKM di Indonesia terdapat 60 juta usaha kecil5

Di Indonesia untuk mengembangkan usaha kecil ini pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakn, diantaranya menciptakan berbagai fasilitas mulai dari perkreditan sampai dengan upaya memecahkan masalah pemasaran dan berbagai keringan serta kemudahan disediakan pemerintah untuk merangsang dan membina UKM. Keberadaan dan kedudukan UKM ditengah-tengah kehidupan usaha telah mendapat tempat dan perhatian di dalam masyarakat. Karena usaha kecil mampu menyerap tenaga kerja, ikut melancarkan peredaran perekonomian Negara dan juga mampu berdampingan dengan perusahaan-perusahaan besar

Besarnya perhatian pemerintah terhadap usaha kecil menengah dapat kita lihat seperti di Amerika Serikat sebuah Negara maju, telah membentuk suatu lembaga yang tugasnya khusus membantu lancarnya pengembangan usaha kecil menengah yaitu Lembaga Administrasi Usaha Kecil (Small Business Adminitration).

5

Kementerian Negara Koperasi dan UKM, di Indonesia, terdapat 60 juta usahlm kecil,


(22)

dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. UKM juga berfungsi dalam mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dan mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi khususnya

Begitu besarnya kedudukan dan peran UKM di dalam pertumbuhan perekonomian rakyat, maka keberadaan UKM perlu diberdayakan dan dilindungi dengan suatu kekuatan hukum yang dibutuhkan untuk mengatur tentang UKM yaitu dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 yang telah diubah menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil dan Menengah menjelaskan mengenai kriterianya, antara lain sebagai berikut : Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil dan Menengah yang dimaksud dengan: (1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi criteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; (2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; (3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan


(23)

Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah juridis normatif.6

2. Spesifikasi Penelitian

Dengan pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan dengan mempelajari ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan, membandingkan dengan penerapan hukum dan peraturan di dalam masyarakat, yang berkaitan dengan Kedudukan Hukum Lembaga Penjamin Kredit Daerah Sebagai Penjamin Dalam Pemberian Kredit Terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM)

Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah disebutkan di muka, maka dapat dilihat bahwa sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu realitas social masyarakat dan mengkajinya dengan peraturan hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan.7

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk

6

Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetrii, (Jakarta: Ghlmlia Indonesia, 1990), hlm. 14.

7


(24)

menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.8

3. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan dan data yang dikumpulkan melalui dokumen dan wawancara. Dalam penelitian ini bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas 3 (tiga) bagian, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan, yaitu:

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, yaitu metode yang

8

Bambang Sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 49.


(25)

lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini akan menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.9

Analisis data terhadap data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pengumpulan untuk kemudian diseleksi, dipilah-pilah berdasarkan kualitas dan relevansinya. Selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan evaluasi dilakukan terhadap data dengan kualitatif, secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode berfikir deduktif, suatu logika yang berangkat dari kaidah-kaidah umum ke kaidah yang bersifat khusus, sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif, yaitu uraian yang menggambarkan permasalahan dan hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan.10

G. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menguraikan bab demi bab sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bagian ini akan membahas Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

9

Miles and Hubberman, “Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-metode Baru”, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), hlm. 15.

10

Lexi J. Moloeng, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 3.


(26)

BAB II PEMBERIAN SUATU KREDIT PADA UKM

Pada bagian ini akan membahas Dasar Hukum Pemberian Kredit UKM, Bentuk Kredit pada UKM, Para Pihak dalam Pemberian Kredit UKM dan Perjanjian Kredit UKM

BAB III PENJAMINAN KREDIT DALAM KREDIT UKM

Pada bagian ini akan membahas Hubungan Hukum antara Debitur, Kreditur, dan Penjamin dalam Pemberian Kredit UKM, Bentuk Penjaminan Kredit dan Lembaga Penjamin Kredit di Indonesia BAB IV KEDUDUKAN LEMBAGA PENJAMINAN KREDIT DAERAH

DALAM PEMBERIAN KREDIT KEPADA UKM

Pada bagian ini akan membahas Tujuan dan Fungsi Lembaga Penjamin Kredit Daerah, Kedudukan Lembaga Penjamin Kredit Daerah dalam Pemberian Kredit Kepada UKM dan Tanggung Jawab Lembaga Penjamin Kredit Daerah dalam Pemberian Kredit Terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan membahas kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terlibat dalam


(27)

A. Dasar Hukum Pemberian Kredit UKM

Jika hukum perbankan diartikan dengan Undang-Undang Perbankan, maka diperoleh batasan bahwa hukum perbankan adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur segala hal yang menyangkut tentang bank, baik kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan usaha bank. Namun jika dilihat dalam perspektif sistem sebagai entitas, maka hukum perbankan diartikan sebagai kumpulan peraturan hukum yang merupakan satu kesatuan yang masing-masing unsurnya berkaitan satu sama lain dan bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan keseluruhan dari hukum perbankan. Unsur sistem hukum perbankan yang dimaksudkan adalah peraturan hukum (norma), asas-asas hukum, dan pengertian-pengertian hukum yang terdapat di dalamnya. Unsur hukum tersebut dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat keharmonisan di dalam atau diluarnya, dan dapat dihindarkan adanya tumpang tindih mengenai persoalan perbankan, maka solusinya adalah melalui asas hukum yang terdapat dalam sistem hukum perbankan itu sendiri.

Bicara mengenai dasar hukum pemberian kredit usaha kecil maka ada beberapa bidang hukum yang saling berkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Bidang hukum yang pokok yang menjadi dasar hukum pemberian kredit usaha kecil adalah KUHPerdata khususnya buku III tentang perjanjian. Hal ini dikarenakan pemberian kredit usaha kecil tidak dapat melepaskan diri dari aspek


(28)

hukum perikatan/perjanjian, yaitu adanya dua pihak yang saling mengikatnya dirinya yakni pihak bank sebagai penerima kredit. Di samping itu, dalam pemberian kredit usaha kecil ini para juga dikuasai oleh lapangan hukum perbankan yaitu UU No. 7 Tahun 1992, UU No. 7 Tahun 1992 dan perubahannya yaitu UU No. 10 Tahun 1998 menjadi lebih tidak tegas dalam mengambil sikap terkait dengan kedudukan jaminan. Dalam Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1992 disebutkan bahwa salah satu kegiatan usaha bank antara lain memberikan kredit.

Dasar hukum selanjutnya adalah SE BI No. 26/1/UKK/1993 perihal Kredit Usaha Kecil dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu yang dapat melahirkan perikatan adalah perjanjian. Perumusan perjanjian tidak jumpai dalam Undang-Undang yang ada hanyalah kata persetujuan yang disebutkan Pasal 1313 KUHPerdata.

Namun demikian, menurut R. Subekti, menyatakan bahwa kata persetujuan dan kata perjanjian adalah dua kata yang mempunyai makna yang sama.11 Mariam Darus B . Zaman secara implicit mengemukakan bahwa rumusan persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah rumusan perjanjian.12

Secara sah maksudnya berarti memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1338 ayat (2) dikatakan

persetujuan-Menurut Pasal 1313 KUHPerdata ayat (1) menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

11

R. Subekti, Hukum Perjanjian,(Jakarta: Internusa, 1999), hlm. 1. 12

Mariam Darus,B. Zaman, KUHPerdata Buku II Hukum Perikatan dengan


(29)

persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, persetujuan-persetujuan dilaksanakan dengan itikad baik.

Beberapa ketentuan yang penting dalam hukum perjanjian dan hal inilah yang merupakan akibat hukum dari suatu perjanjian yaitu:

1. Berlaku sebagai undang-undang

Berlaku sebagai undang-undang berarti ketentuan-ketentuan itulah yang mengatur hubungan mereka. Isi perjanjian ini dapat ditentukan sendiri dan atau oleh pihak ketiga untuk kepentingan debitur. Dengan demikian perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat yaitu para pihak yang membuatnya.

Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala hal/sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasan atau undang-undang. Dalam hal ini maksudnya adalah bahwa para pihak tidak terlepas dari tanggungjawab atau akibat yang timbul dari suatu prestasi yang dipenuhi, juga para pihak juga harus memperhatikan undang-undang. Apabila terjadi perselisihan dan perselisihan itu sampai kehadapan hakim maka dalam mengadilinya hakim harus menyesuaikan isi perjanjian dengan ketentuan perundang-undangan, kebiasan dan kepatutan.

2. Tidak dapat dibatalkan secara sepihak

Sesuai dengan asas komensualitas, bahwa perjanjian dibuat atas persetujuan kedua belah pihak, sebaliknya bahwa untuk merubah kembali persetujuan harus ada izin pihak lainnya. Namun demikian dapat dibatalkan oleh


(30)

salah satu pihak apabila ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang yaitu pada Pasal 1814 KUHPerdata.

3. Pelaksanaan dengan Itikad baik

Pelaksanaan itikad baik artinya kejujuran dari orang yang mengadakan perjanjian. Istilah itikad baik ada dua macam yaitu sebagai unsur subjektif dan sebagai unsur objektif untuk memulai pelaksanaan. Yang dimaksud baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bukanlah dalam arti subjektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus mengandalkan norma-norma kepatutan dan norma kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif, perjanjian itu harus berjalan di atas jalur benar.

Dalam penjelasan Pasal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa sifat perjanjian, salah satunya adalah perjanjian konsensuil perjanjian riil. Suatu perjanjian dikatakan bersifat komersial apabila perjanjian itu sudah tercipta dengan kata sepakat saja, sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang menghendaki di samping kata sepakat masih diperlukan suatu perbuatan nyata yaitu penyerahan barang yang menjadi objeknya.

Sifat hukum dari perjanjian pinjam meminjam atau pinjam mengganti adalah konsensuil dan riil. Hal ini dapat dibuktikan dengan rumusan pada awal


(31)

kalimat “persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain”. Pada prinsipnya yang terjadi baru kesepakatan untuk memberikan sesuatu kepada pihak lain, sedangkan penyerahannya belum terjadi. Secara teoritis, antara terciptanya kesepakatan.

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut, maka seluruh pasal-pasal yang ada dalam suatu perjanjian kredit secara hukum mengikat kedua belah pihak, yakni kreditur dan pihak debitur. Namun harus pula diingat, bahwa meskipun undang-undang menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat para pihak itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, akan tetapi didalam perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, akan tetapi di dalam perjanjian itu sendiri harus dihindari ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan undang-undang, maka perjanjian itu berlaku bagi para pihak. Sebaliknya jika di dalam perjanjian itu terdapat klausal yang justru bertentangan dengan undang-undang, maka dengan sendirinya perjanjian itu dapat batal karenanya.

B. Bentuk Kredit pada Usaha Kecil Menengah

Bentuk perjanjian kredit perbankan dalam praktiknya telah disediakan oleh pihak bank sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standart


(32)

contract), dimana debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk tawar menawar13

1) Kredit Modal Kerja (KMK) : (R/C) Maksimum CO menurun. 2) Kredit Investasi (KI) : Pseudo R/C

3) Angsuran pokok dan atau bunga untuk KI dan KMK tersebut disesuaikan dengan cash flow dan siklus usaha debitur, misalnya bulanan, 3 bulanan atau 6 bulanan. Khusus untuk usaha non musiman misalnya perdagangan dengan jangka waktu kredit 1 tahun, selain angsuran bulanan, lain yang dapat dilakukan hanya periode angsuran 2 bulanan atau 3 bulanan dengan tetap mengacu pada cash flow usaha.

4) Khusus untuk usaha musiman (misal: pertanian, perkebunan,dll) dengan jangka waktu kredit maksimal 1 tahun, bentuk kredit dapat sekaligus lunas (pokok ditambahkan dengan bunga pinjaman).

Surat permohonan kredit atau daftar isian merupakan dokumen/data pertama bagi bank untuk melangkah leih jauh lagi, maka pihak bank meminta kepada pemohon kredit agar melengkapi lampiran-lampiran yang diperlukan, seperti akta otentik, surat jaminan, referensi, neraca laba rugi perusahaan yang bersangkkutan, feasibility study dan sebagainya. Sehingga lampiran-lampiran tersebut merupakan bagian mutlak dan tidak dapat dipisahkan dari perumusan permohonan kredit. Apabila semua keterangan/datanya telah lengkap, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut dan melakukan penilaian secara umum yang kemudian dilanjutkan dengan acara, memeriksa langsung

13

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm .72.


(33)

(insection on the spot) ke perusahaan debitur, sesudah semua acara dapat diselesaikan, maka langkah berikutnya adalah melaksanakan pemberian kredit serta pengatusan administrasi. Hal tersebut diperlukan karena di dalam setiap pemberian kredit harus dibuat suatu perjanjian tertulis antara pihak bank dengan si pemohon kredit, perjanjian kredit itu biasanya disebut dengan “perjanjian kredit/akad kredit”

C. Para Pihak dalam Pemberian Kredit Usaha Kecil Menengah

Salim mengartikan perjanjian kredit sebagai perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tetentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan14

1. Pihak Kreditur

Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU Perbankan, bank terbagi dalam dua jenis yaitu :

a. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan atau memberikan perhatian yang lebih besar pada kegiatan tertentu.

14

Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2008), hlm l78.


(34)

b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Menurut pembagiannya, Bank dapat dibeda-bedakan menjadi : a. Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya

1) Bank Sentral

Menurut UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004 jo UU No. 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia, Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan serta menjalan fungsi sebagai lender of the last resort. Bank sentral yang dimaksud adalah Bank Indonesia.

2) Bank Umum

Pengertian bank umum menurut Peraturan Bank Indonesia No. 9/7/PBI/2007 adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Jasa yang diberikan oleh bank umum bersifat umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Bank umum sering disebut bank komersial (commercial bank). Bank umum mempunyai banyak kegiatan. Adapun kegiatan-kegiatan bank umum yang utama antara lain:


(35)

a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan;

b) Memberikan kredit;

c) Menerbitkan surat pengakuan utang;

d) Memindahkan uang, baik untuk kepentingan nasabah maupun untuk kepentingan bank itu sendiri;

e) Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan atau dengan pihak ketiga;

f) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga; dan

g) Melakukan penempatan dana dari nasabah ke nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.

3) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum. BPR dalam melakukan kegiatannya tidak sama dengan kegiatan yang dilakukan oleh bank konvensional (bank umum). Ada kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan oleh BPR, yaitu:

a) Menerima simpanan berupa giro, b) Mengikuti kliring,


(36)

c) Melakukan kegiatan valuta asing, d) Melakukan kegiatan perasuransian

Adapun bentuk kegiatan yang boleh dilakukan oleh BPR meliputi hal-hal berikut ini.

a) Menghimpun dana dalam bentuk simpanan tabungan dan simpanan deposito.

b) Memberikan pinjaman kepada masyarakat.

c) Menyedikan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah.

b. Jenis Bank berdasarkan kepemilikannya Apabila ditinjau dari segi kepemilikannya, jenis bank terdiri atas bank milik pemerintah, bank milik swasta nasional, dan bank milik swasta asing.

1) Bank Milik Pemerintah

Bank pemerintah adalah bank di mana baik akta pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah, sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki oleh pemerintah pula. Contohnya Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri. Selain itu ada juga bank milik pemerintah daerah yang terdapat di daerah tingkat I dan tingkat II masing-masing provinsi, contoh, Bank DKI, Bank Jateng, dan sebagainya. 2) Bank Milik Swasta Nasional Bank swasta nasional adalah bank yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh swasta nasional serta akta pendiriannya pun didirikan oleh swasta, begitu pula pembagian keuntungannya juga


(37)

dipertunjukkan untuk swasta pula, contohnya, Bank Muamalat, Bank Danamon, Bank Central Asia, Bank Lippo, Bank Niaga, dan lain-lain. 2) Bank Milik Asing

Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau pemerintah asing. Kepemilikannya dimiliki oleh pihak luar negeri, contohnya, ABN AMRO bank, City Bank, dan lain-lain. c. Jenis Bank Berdasarkan Kegiatan Operasionalnya

1) Bank Konvensional

Pengertian kata “konvensional” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah “menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan”. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “berdasarkan kesepakatan umum” seperti adat, kebiasaan, kelaziman. Berdasarkan pengertian itu, bank konvensional adalah bank yang dalam operasionalnya menerapkan metode bunga, karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu, menjadi kebiasaan dan telah dipakai secara meluas dibandingkan dengan metode bagi hasil. Bank konvensional pada umumnya beroperasi dengan mengeluarkan produk-produk untuk menyerap dana masyarakat antara lain tabungan, simpanan deposito, simpanan giro; menyalurkan dana yang telah dihimpun dengan cara mengeluarkan kredit antara lain kredit investasi, kredit modal kerja, kredit konsumtif, kredit jangka pendek; dan pelayanan jasa keuangan antara lain kliring, inkaso, kiriman uang, Letter of Credit, dan jasa-jasa lainnya seperti jual beli surat berharga, bank draft, wali amanat, penjamin emisi, dan perdagangan efek.


(38)

Bank konvensional dapat memperoleh dana dari pihak luar, misalnya dari nasabah berupa rekening giro, deposit on call, sertifikat deposito, dana transfer, saham, dan obligasi. Sumber ini merupakan pendapatan bank yang paling besar. Pendapatan bank tersebut, kemudian dialokasikan untuk cadangan primer, cadangan sekunder, penyaluran kredit, dan investasi. Bank konvensional, contohnya, bank umum dan BPR. Kedua jenis bank tersebut telah kalian pelajari pada sub bab sebelumnya.

2) Bank Syariah

Sekarang ini banyak berkembang bank syariah. Bank syariah muncul di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pemrakarsa pendirian bank syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, maksudnya adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Falsafah dasar beroperasinya bank syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya adalah efesiensi, keadilan, dan kebersamaan. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Keadilan mengacu pada hubungan yang tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang matang atas proporsi masukan dan keluarannya. Kebersamaan mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan nasihat untuk saling meningkatkan produktivitas. Kegiatan bank syariah dalam hal penentuan harga produknya sangat berbeda dengan


(39)

bank konvensional. Penentuan harga bagi bank syariah didasarkan pada kesepakatan antara bank dengan nasabah penyimpan dana sesuai dengan jenis simpanan dan jangka waktunya, yang akan menentukan besar kecilnya porsi bagi hasil yang akan diterima penyimpan. Berikut ini prinsip-prinsip yang berlaku pada bank syariah. Dalam rangka menjalankan kegiatannya, bank syariah harus berlandaskan pada Alquran dan hadis. Bank syariah mengharamkan penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank syariah, bunga bank adalah riba. Dalam perkembangannya kehadiran bank syariah ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim, akan tetapi juga masyarakat non muslim. Saat ini bank syariah sudah tersebar di berbagai negara-negara muslim dan non muslim, baik di Benua Amerika, Australia, dan Eropa. Bahkan banyak perusahaan dunia yang telah membuka cabang berdasarkan prinsip syariah, contoh bank syariah di Indonesia, yaitu, Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri. Dilihat dari segi kemampuannya melayani masyarakat, bank umum dapat dibagi ke dalam:

a. Bank Devisa, merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi keluar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing secara menyeluruh.

b. Bank Non Devisa, merupakan bank yang mempunyai izin untuk melaksanakan transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksankan transaksi seperti halnya bank devisa.


(40)

Jenis-jenis bank tersebut, dapat dilihat dari fungsinya serta kinerjanya, dapatlah diberikan pembagian dari masing-masing bank tersebut. Pembagian jenis bank ini sangat penting karena terdapatnya perbedaan jenis kegiatan yang boleh dilakukan oleh bank-bank yang berbeda tersebut. Dalam hal ini kegiatan ini dapatlah disebutkan pembagiannya berdasarkan jenis karena telah diatur oleh Bank Indonesia tentang kegiatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh bank-bank tersebut. Jenis kegiatan yang dilakukan bank senantiasa di bawah pengawasan Bank Indonesia.

2. Pihak Nasabah

Dalam peraturan bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 jo No. 10/10/PBI/2008 tentang penyelesaian pengaduan nasabah Pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan (walk-in customer). Di dalam UU Perbankan dimuat tentang jenis dan pengerian nasabah. Dalam Pasal 1 angka 17 disebutkan bahwa pengertian nasabah yaitu pihak yang menggunakan jasa bank. Jenis-jenis nasabah ada 2 (dua), yakni :15

a. Nasabah Penyimpan, yakni nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simapanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

15

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm .32-33.


(41)

b. Nasabah Debitur, nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dari praktek-praktek perbankan, setidaknya dikenal tiga macam nasabah : a. Nasabah Deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu

bank misalnya dalam bentuk deposito atau tabungan lain.

b. Nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan, misalnya kredit usaha kecil, kredit kepemilikan rumah, dan sebagainya.

c. Nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank. Misalnya antara importer sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri untuk transaksi semacam ini biasanya importer membuka letter of credit (L/C) pada suaru bank demi kelancaran dan keamanan pembayaran.

Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum , nasabah dapat berwujud dalam dua bentuk sebagaimana subjek hukum yang diakui dalam hukum, yaitu :16 a. Orang

Nasabah bank sebagaimana dikaitkan dengan kedudukannya sebagai subjek hukum dapat berupa orang atau badan hukum. Nasabah bank terbagi menjadi orang dewasa dan orang yang belum dewasa. Nasabah orang dewasa hanya diperbolehkan untuk nasabah kredit atau nasabah giro. Sedangkan nasabah simpanan dan atau jasa diperuntukkan orang yang belum dewasa, misalnya nasabah tabungan atau nasabah lepas untuk transfer dan lain sebagainya.

16

Try Widyono, Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia (Bandung: Ghlmlia Indonesia, 2006), hlm .24-27.


(42)

Perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah yang belum dewasa tersebut telah disadari konsekuensi hukum yang diakibatkannya. Konsekuensi hukumnya adalah bahwa perjanjian itu tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu syarat perjanjian itu dilaksanakan oleh pihak yang cakap untuk membuat perjanjian. Dalam hukum perdata perjajian yang dilakukan oleh pihak yang belum dewasa berarti tidak memenuhi syarat subjektif. Ancaman atas pelanggaran tersebut adalah perjanjian yang dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu dapat dibatalkan oleh pihak yang mewakili anak yang belum dewasa tersebut. Yaitu orang tua atau walinya dengan melalui gugatan pembatalan. Dengan kata lain sepanjang orang tua anak itu tidak melakukan gugatan pembatalan, maka perjanjian tetap sah dan berlaku mengikat. b. Badan Hukum

Nasabah berupa badan hukum perlu diperhatikan aspek legalitas badan tersebut, serta kewenangan bertindak dari pihak yang berhubungan dengan bank. Hal ini terkait dengan aspek hukum perseroan (corporate law). Adapun jenis-jenis badan hukum adalah sebagai berikut :

1) Badan hukum publik, seperti Negara atau Pemda.

2) Perseroan Terbatas, diatur dalam UU No. 40 TAhun 2007 tentang Perseroan Terbatas, termasuk perseroan terbatas terbuka yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

3) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda.


(43)

4) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003 tetang Badan Usaha Milik Negara. BUMN ini terdiri dari perusahaan persero, perusahaan umum, dan perusahaan jawatan.

5) Koperasi, diatur dengan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP No.. 4 Tahun 1994 tentang persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi

6) Yayasan, diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001, yang diubah dengan UU No. 28 tahun 2004.

7) Badan Hukum Milik Negara, diatur dalam PP No. 153 tahun 2000 tentang BUMN Universitas Indonesia.

8) Dana pensiun, diatur dalam UU No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Dalam peraturan bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 jo No. 10/10/PBI/2008 tentang penyelesaian pengaduan nasabah Pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan (walk-in customer). Di dalam UU Perbankan dimuat tentang jenis dan pengerian nasabah. Dalam Pasal 1 angka 17 disebutkan bahwa pengertian nasabah yaitu pihak yang menggunakan jasa bank. Jenis-jenis nasabah ada 2, yakni :17

a. Nasabah penyimpan, yakni nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simapanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

17


(44)

b. Nasabah debitur, nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dari praktek-praktek perbankan, setidaknya dikenal tiga macam nasabah a. Nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu

bank misalnya dalam bentuk deposito atau tabungan lain.

b. Nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan, misalnya kredit usaha kecil, kredit kepemilikan rumah, dan sebagainya.

c. Nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank. Misalnya antara importer sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri untuk transaksi semacam ini biasanya importer membuka letter of credit (L/C) pada suaru bank demi kelancaran dan keamanan pembayaran.

Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum, nasabah dapat berwujud dalam dua bentuk sebagaimana subjek hukum yang diakui dalam hukum, yaitu :18 a. Orang

Nasabah bank sebagaimana dikaitkan dengan kedudukannya sebagai subjek hukum dapat berupa orang atau badan hukum. Nasabah bank terbagi menjadi orang dewasa dan orang yang belum dewasa. Nasabah orang dewasa hanya diperbolehkan untuk nasabah kredit atau nasabah giro. Sedangkan nasabah simpanan dan atau jasa diperuntukkan orang yang belum dewasa, misalnya nasabah tabungan atau nasabah lepas untuk transfer dan lain sebagainya.

18Ibid


(45)

Perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah yang belum dewasa tersebut telah disadari konsekuensi hukum yang diakibatkannya. Konsekuensi hukumnya adalah bahwa perjanjian itu tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu syarat perjanjian itu dilaksanakan oleh pihak yang cakap untuk membuat perjanjian. Dalam hukum perdata perjajian yang dilakukan oleh pihak yang belum dewasa berarti tidak memenuhi syarat subjektif. Ancaman atas pelanggaran tersebut adalah perjanjian yang dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu dapat dibatalkan oleh pihak yang mewakili anak yang belum dewasa tersebut. Yaitu orang tua atau walinya dengan melalui gugatan pembatalan. Dengan kata lain sepanjang orang tua anak itu tidak melakukan gugatan pembatalan, maka perjanjian tetap sah dan berlaku mengikat. b. Badan Hukum

Nasabah berupa badan hukum perlu diperhatikan aspek legalitas badan tersebut, serta kewenangan bertindak dari pihak yang berhubungan dengan bank. Hal ini terkait dengan aspek hukum perseroan (corporate law). Adapun jenis-jenis badan hukum adalah sebagai berikut :

1) Badan hukum publik, seperti Negara atau Pemda

2) Perseroan Terbatas, diatur dalam UU No. 40 TAhun 2007 tentang Perseroan Terbatas, termasuk perseroan terbatas terbuka yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

3) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda.


(46)

4) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003 tetang Badan Usaha Milik Negara. BUMN ini terdiri dari perusahaan persero, perusahaan umum, dan perusahaan jawatan

5) Koperasi, diatur dengan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP No. 4 Tahun 1994 tentang persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi

6) Yayasan, diatur dalam UU No. 17 Tahun 2001, yang diubah dengan UU No. 28 tahun 2004.

7) Badan Hukum Milik Negara, diatur dalam PP No. 153 tahun 2000 tentang BUMN Universitas Indonesia.

8) Dana pensiun, diatur dalam UUNo. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Dengan lahirnya Undang-Undang Perbankan Tahun 1976 sebagaimana telah diganti dengan Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka di samping perjanjian pinjam uang yang dikenal di dalam KUHPerdata, Hukum Adat, terdapat ketentuan-ketentuan perjanjian. Kredit yang khusus berlaku bagi bank-bank dan mereka yang memperoleh kredit dari bank-bank tersebut. Pasal-Pasal 1759, 1760, 1761 dan 1762 KUHPerdata mengatur kewajiban-kewajiban orang yang meminjamkan. Pasal 1759 KUHPerdata menyatakan bahwa: “orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkan sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam persetujuan”. Pasal 1760 KUHPerdata menyatakan jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya menurut


(47)

keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam. Dalam hal ini Asser Van Oven berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan di atas sebenarnya tidak mengatur kewajiban pemberi pinjaman, akan tetapi kewajiban penerima pinjaman. Satu-satunya ketentuan yang mengatur kewajiban pemberi pinjaman adalah Pasal 1753 KUHPerdata akan tetapi ketentuan itu tidak bertalian dengan perjanjian pinjam uang, karena hanya mengatur perjanjian pinjam mengganti barang. Dari ketentuan-ketentuan di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa di dalam perjanjian kredit, bank memiliki kewajiban pokok yaitu menyediakan kredit sesuai dengan tujuan kredit dan jangka waktu perjanjian. Kewajiban ini tidak bersifat mutlak Bank berhak menyimpanginya dalam hal penerima kredit tidak memenuhi syarat-syarat perjanjian itu. Untuk ini bank berhak secara sepihak dan sewaktu-waktu tanpa terlebih dahulu memberitahukan atau menegor penerima kredit, untuk tidak mengizinkan atau menolak penarikan atau penggunaan kredit lebih lanjut oleh penerima kredit dan mengakhiri jangka waktu kredit yaitu dalam hal:

a. Penerima kredit tidak atau belum mempergunakan kredit ini setelah lewat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya perjanjian.

b. Penerima kredit memberikan data-data yang tidak benar sehubungan dengan perjanjian.

Apabila kita simak dari defenisi penerima kredit sebenarnya sudah terangkum apa yang menjadi hak dan kewajiban dari penerima kredit yaitu mendapat kredit sebagai hak dan mengembalikannya kembali kepada bank.


(48)

D. Perjanjian Kredit Usaha Kecil Menengah

Perjanjian kredit mengacu kepada KUHPerdata yang merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam buku III KUHPerdata. Pada hakikatnya pemberian kredit merupakan salah satu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata, yang berbunyi : ”Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Perjanjian pinjam-meminjam ini mengandung makna yang luas yaitu obyeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk didalamnya uang. Perjanjian pinjam uang bersifat riil, tersimpul dari kalimat ”pihak kesatu menyerahkan uang itu kepada pihak lain”dan bukan mengikatkan diri untuk menyerahkan uang. Dari uraian diatas dapat dibedakan 2 kelompok perjanjian kredit :19

a. Perjanjian kredit uang;

b. Perjanjian kredit barang, misalnya perjanjian sewa beli dan perjanjian sewa guna usaha;

Menurut Marhainis Abdul Hay,20

19

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hlm .111.

20

Hay, Marhainis Abdul, Hukum Perbankan Di Indonesia,(Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), hlm .147.

ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa perjanjian kredit adalah merupakan ”Perjanjian Pendahuluan” (voorovereenkomst) dari


(49)

penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubunganhubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (pacta de contrahendo) oligatoir, yang dikuasai oleh Undang-Undang Perbankan dan Bagian Umum KUH Perdata.21

Usaha Menengah adalah Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Besar. Kriterianya adalah: memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,-s/d Rp.

Pengertian perjanjian kredit juga tidak dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, namun mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit ini tersirat dalam Pasal 1 ayat (11) bahwa kredit diberikan hanya berdasar persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan debitur.

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar. Kriterianya adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memilikihasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,- s/d Rp. 2.500.000.000,-

21


(50)

10.000.000.000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000,- s/d Rp. 50.000.000.000,-22

Dalam rangka perkembangan era globalisasi dewasa ini yang diikuti dengan percepatan arus teknologi dan informasi terutama di bidang ekonomi seperti dewasa ini masyarakat tidak akan maju bilamana tidak berhubungan dengan kredit. Kredit merupakan kesanggupan akan meminjam uang atau Bertindak sebagai lembaga penjaminan dalam program ini adalah PT. (Persero) Asuransi Kredit Indonesia (PT. Askrindo) dan Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo).Sedangkan pihak ketiga yaitu Bank Penyalur terdiri dari enam (6) Bank Umum dan tigabelas (13) Bank Pembangunan Daerah (BPD). Keenam Bank Umum penyalur KUR sampai saat ini adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Syariah Mandiri dan Bank Bukopin.

Pihak-pihak yang terkait dengan penyaluran KUR di tingkat daerah disesuaikan dengan keberadaan masing-masing bank di daerahnya.Enam bank umum selaku penyalur secara umum berlaku di seluruh wilayah Indonesia.Untuk bank pembangunan daerah selaku bank penyalur tergantung daerah masing-masing sesuai dengan tugas penyaluran KUR sebagaimana disebutkan sebelumnya. Koordinasi program KUR secara umum dilakukan oleh TKPK Daerah melalui kelompok program Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil.


(51)

kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak.23

Elemen dari kredit adalah adanya dua pihak kesepakatan pinjam-meminjam, kepercayaan, prestasi, imbalan dan jangka waktu tertentu. Kredit dalam pengertian lain dapat berarti percaya atau kepercayaan.

24

Tetapi dalam hukum kredit berlaku ketentuan bahwa untuk bisa percaya, sehingga kepadanya dapat diberikan kredit, maka terlebih dahulu calon debitur harus dicurigai setengah mati. Hal ini sangat beralasan, sebab kata kredit itu sendiri berasal dari bahasa latin “creditus” yang merupakan bentuk past participle dari kata credere, yang berarti to trust. Kata trust itu sendiri berarti kepercayaan.25

Menurut HMA Savelberg kredit mempunyai arti antara lain:

26

1. Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain.

2. Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu (commodatus, depositus regulare, pignus).

JA Levy merumuskan arti kredit yaitu menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan

23

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Komtemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 5.

24

Asuransi Kredit, http://www.sinarmas.co.id/FAQ/asuransi_kredit.asp (diakses tanggal 10 Februari 2014)

25

Rivai Hadiwidjadja dan Wirasasmita, Analis Kredit, (Bandung : Pionir Jaya,1997), hlm. 12.

26

HMA Savelberg, Dasar Perkreditan Perbankan, (Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama,1991), hlm. 9.


(52)

kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakang hari.27

Namun demikian, menurut R. Subekti, menyatakan bahwa kata persetujuan dan kata perjanjian adalah dua kata yang mempunyai makna yang sama.

Dalam pemberian kredit ini para pihak juga dikuasai oleh lapangan hukum perbankan yaitu UU Perbankan, menjadi lebih tidak tegas dalam mengambil sikap terkait dengan kedudukan jaminan. Dalam Pasal 6 UU Perbankan disebutkan bahwa salah satu kegiatan usaha bank antara lain memberikan kredit. Selanjutnya menurut Surat Edaran BI No. 26/1/UKK/1993 perihal Kredit Usaha Kecil, dalam persetujuan membuka kredit, kedua belah pihak dikuasai oleh lapangan hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu yang dapat melahirkan perikatan adalah perjanjian. Perumusan perjanjian tidak dijumpai dalam Undang-undang yang ada hanyalah kata persetujuan yang disebutkan Pasal 1313 KUHPerdata.

28

Prof. Mariam Darus B. Zaman secara implicit mengemukakan bahwa rumusan persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah rumusan perjanjian.29

27

JA Levy, Masalah Perkreditan, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1999), hlm .20. 28

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1999), hlm .9. 29

Mariam Darus B. Zaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasannya, (Bandung: Alumni, 1997), hlm .89.

Dengan demikian, berdasarkan kedua pendapat sarjana diatas maka pengertian perjanjian itu dapat dibaca dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang mempergunakan istilah persetujuan yang berbunyi : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu satu orang atau lebih.”


(53)

Umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, jadi dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti. Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding). Pandangan ini dikemukakan oleh van Dunne yang mengatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum merupakan teori klasik, atau teori konvensional.30

Setiap perbuatan hukum selalu merupakan akibat hukum. Demikian juga halnya dengan perbuatan suatu perjanjian sebagai suatu perbuatan akan

Selama ini memahami arti perjanjian (communis opinio doctorum) adalah satu perbuatan hukum yang bersisi dua (een tweezijdige rechtshandeling) yaitu perbuatan penawaran (aanbod, offer), dan penerimaan (aanvaarding, acceptance). Seharusnya perjanjian adalah dua perbuatan hukum yang masing-masing bersisi satu (twee eenzijdige rechthandeling) yaitu penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang atau lebih yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg). Konsep ini melahirkan arti perjanjian adalah hubungan hukum. Inilah alasan hukum (legal reasoning) yang dipergunakan mengapa esensi perjanjian yang dimaksudkan adalah sebagai hubungan hukum antara nasabah dengan debitur.

Persyaratan yang demikian juga dikenal dalam setiap sistem hukum, misalnya Inggris, Perancis, dan Jerman. Syarat kedua adalah kecakapan para pihak yang membuat perjanjian. Kecakapan para pihak merupakan syarat umum untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang sah.

30

Dasar-Dasar Hukum Pemberian Kredit Usaha Kecil, http://www.google.com, (diakses tanggal 16 Maret 2014).


(54)

menimbulkan akibat. Akibat mana diatur oleh Hukum Perjanjian. Menurut pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Secara sah maksudnya berarti memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1338 ayat (2) dikatakan persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, persetujuan-persetujuan dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan demikian, sesungguhnya kata kredit sudah berkembang kemana-mana terutama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat secara luas, akan tetapi dalam tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, dalam setiap kata kredit tetap mengandung unsur “kepercayaan”. Walaupun sebenarnya kredit itu tidak hanya sekedar kepercayaan.

Dari pengertian kredit sebagaimana yang telah disebutkan diatas dapat dilihat bahwa dalam suatu perjanjian kredit terdapat beberapa unsur, antara lain:31 1. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur yang

disebut sebagai perjanjian kredit.

2. Adanya para pihak yaitu pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman seprti bank dan pihak debitur yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman/barang atau jasa.

3. Adanya unsur kepercayaan dan kreditur bahwa pihak debitur mau dan mampu membayar/cicilan kreditnya.

4. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak debitur.

31

D. Ganda Prawira, Perkembangan Hukum Perkreditan Nasional dan Internasional, (Jakarta: BPHN, 1992), hlm .90.


(55)

5. Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada pihak debitur.

6. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang atau jasa oleh pihak debitur kepada kreditur, disertai dengan pemberian imbalan/bunga atau pembagian keuntungan.

7. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dengan pengembalian kredit oleh debitur.

8. Adanya resiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu tadi. Semakin jauh tenggang waktu pengembalian, semakin besar pula resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali suatu kredit.

Demikian kiranya pengertian kredit khususnya dalam kaitannya dengan dunia perbankan. Melihat sifatnya yang demikian, maka pemberian suatu kredit oleh bank kepada debitur dilakukan dalam suatu perjanjian, yang lazim perjanjian demikian disebut sebagai perjanjian kredit perbankan.

Sebagai lembaga pemberian kredit, maka kebijaksanaan yang ditempuh bank sangat erat kaitannya dengan line of business bank tersebut, bentuk dan sifat kredit yang dapat diberikan, pengaturan rencana kredit, pengorganisasian kredit, pengaturan tata cara dan prosedur pemberian kredit, pengaturan wewenang kredit.32

32

Muchdarsyah Sinungan, Manajemen Dana Bank, Edisi kedua, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 210.

Fasilitas kredit kepada usaha kecil atau mikro, diatur dan dimiliki ketentuan serta prosedur yang berbeda, yang secara mudah dapat dilihat dari nama skim fasilitas kredit yang akan diberikan. Oleh karena itu, sekalipun fasilitas kredit


(56)

diperuntukkan kepada usaha kecil dan atau mikro, tetapi prosedur dan tata cara pemberiannya berbeda antara kebijakan yang satu dengan yang lain.

Kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan, bank dalam melakukan kegiatan usaha terutama dengan menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus berpegang pada asas-asas perkreditan yang sehat guna melindungi dan memelihara kepentingan dan kepercayaan masyarakat.

Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan asas-asas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu kebijakan perkreditan yang tertulis. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank berdasarkan pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995.


(57)

Pada prosedur pemberian kredit diatur melalui dijabarkan oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Berdasarkan PBI tersebut, BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank. Dari berbagai kajian kredit usaha kecil di Indonesia permasalahan pertimbangan pemberian kredit usaha kecil yang dihadapi antara lain meliputi: akses pasar, pembiayaan usaha, rendahnya kemampuan teknik produksi dan kontrol kualitas, manajemen secara umum, dan lain-lain. Berbagai permasalahan di atas, pada kenyataannya saling terkait dan berinteraksi satu sama lain. Pemahaman secara mikro / kondisi internal kredit yang lebih mendalam diperlukan pihak pembina agar pembinaan tidak hanya terfokus pada satu sisi saja misalnya upaya penyaluran modal kerja atau modal investasi namun juga harus diperhitungkan aspek yang lain misalnya: luas dan daya serap pasar untuk produk kredit, kemampuan manajerial pengusaha, kemudahan memperoleh bahan baku dan bahan penolong serta substitusinya, desain produk serta kualitasnya dan lain-lain. Tanpa memperhatikan serta melakukan pembinaan terhadap berbagai faktor yang saling terkait di atas pengalaman telah membuktikan hanya kegagalan yang akan terjadi. Pembinaan yang hanya menekankan penyediaan pembiayaan usaha saja akan menemui kegagalan, termasuk pengalaman kegagalan yang dialami sektor perbankan kita dalam membina kredit pada masa lalu.


(58)

A. Hubungan Hukum antara Debitur, Kreditur, dan Penjamin dalam Pemberian Kredit Usaha Kecil Menengah

Setelah semua persyaratan administrasi terpenuhi dan dari hasil analisis kredit, kreditur menyetujui permohonan kredit tersebut, maka akan dituangkan dalam suatu perjanjian kredit bank yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pihak debitur.

Penandatanganan perjanjian kredit menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hak dan Kewajiban tersebut antara lain terhadap, yaitu:

a. Hak kredit :

1. Menerima dana / uang dari pengembalian kredit baik berupa angsuran pokok maupun bunga,

2. Berhak menagih jumlah kredit dengan sekaligus dan seketika apabila : a) Peminjam tidak memenuhi pembayaran jumlah kredit yang telah

diambil sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian kredit serta tidak memenuhi perjanjian dan peraturan dalam surat perjanjian kredit dengan baik,

b) Harta benda peminjam atau sebagian daripadanya ditaruh exekutorial atau conservatoir beslag, setelah beslag ini disahkan atau ditaruh beslag lain.


(1)

Penjamin juga menjamin tidak akan melakukan perbuatan hukum apapun juga tanpa seizin debitur yang dapat mengakibatkan beralihnya pemiliknya atas seluruh atau sebagian harta kekayaan penjamin selama penjamin masih terkait sebagai penannggung hutang (borg).


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan antara lain sebagai berikut

1. Pemberian suatu kredit pada UKM adalah adanya kredit UKM akan meningkatkan laju perekonomian, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal itu dikarenakan dengan kredit UKM maka akan memberikan tambahan modal dan investasi sehingga mendorong tumbuhnya usaha manufaktur dan sektor riil, dengan meningkatnya sektor riil maka pendapatan nasional akan meningkat, dengan pendapatan per kapita yang meningkat maka secara otomatis akan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat karena pendapatan per kapita merupakan salah satu indikator tingkat kemakmuran suatu negara.

2. Hubungan hukum antara penjamin adalah adanya hubungan dengan hak dan kewajiban yang erat kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran debitur kepada kreditur. untuk itu, pihak penjamin menuntut kepada debitur supaya membayar apa yang telah dilakukan oleh penjamin kepada kreditur.


(3)

3. Kedudukan lembaga penjaminan kredit daerah dalam pemberian kredit kepada UKM adalah Lembaga Penjaminan Kredit merupakan Badan Usaha berbentuk Perseroan Terbatas Milik Daerah.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran yang dapat diberikan antara lain:

1. Disarankan dalam hal pelaksanaan pemberian kredit kepada UKM hendaknya pihak penjamin memberikan rekomensi kepada pihak kreditur dengan kemudahan persyaratan dalam memperoleh kredit UKM

2. Kredit usaha kecil diperuntukkan bagi pengusaha kecil atau pengusaha lemah yang umumnya jarak berhubungan pada pihak bank karena tidak mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh pihak bank.

3. Diharapkan dengan adanya Penjaminan Kredit oleh Pemerintah pemerintah daerah bisa mengembangkan potensi UKM dimasa yang akan datang


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Adrian Hasymi. Pengantar Asuransi, Jakarta: Rajawali, 1993.

Bambang Sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.

Dhlmniswara K.hlmrjono, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum Dan Bisnis Indonesia, 2009.

D. Ganda Prawira, Perkembangan Hukum Perkreditan Nasional dan Internasional, Jakarta: BPHN, 1992

Freddy Harris, Nasabah dalam Asuransi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2005.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Hay, Marhainis Abdul, Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1999.

H.F.A. Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid III, Jakarta: Rajawali, 2002 HMA Savelberg, Dasar Perkreditan Perbankan, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama,1991.

JA Levy, Masalah Perkreditan, Jakarta : Pradnya Paramita, 1999.

Kuncoro, Mudrajat dan Abimanyu, Anggito (1995) “Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan Globalisasi”, KELOLA, No. 10/IV. Kuncoro, Mudrajat “Otonomi Daerah dalam Transisi”, pada Seminar Nasional

Manajemen Keuangan Daerah dalam Era Global, 12 April, Yogyakarta. 1997

Lexi J. Moloeng, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Miles and Hubberman, “Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-metode Baru”, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992.


(5)

Mariam Darus,B. Zaman, KUHPerdata Buku II Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni, 1999.

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 1994. Munir Fuady, Hukum Perkreditan Komtemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti,

1996.

Mariam Darus B. Zaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni, 1997

Muchdarsyah Sinungan, Manajemen Dana Bank, Edisi kedua, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

R. Tjiptoadinogroho, Perbankan Masalah Perkreditan (Penghayatan Analisis dan Penuntut), Jakarta: Pradnya Paramita, 1990.

R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Ronny Hammitijo Soemitro, “Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetrii, Jakarta: Ghlmlia Indonesia, 1990.

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Internusa, 1999.

Rivai Hadiwidjadja dan Wirasasmita, Analis Kredit, Bandung: Pionir Jaya,1997 Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, Jakarta: UI Press, 2010. Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, Jakarta: Raja

Grafindo Persada,2008.

Try Widyono, Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Bandung: Ghlmlia Indonesia, 2006.

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil dan Menengah


(6)

Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Gubernur Bank Indonesia, No. Kep.-046/KM.17/1999.

Investor Indonesia, Jum’at 7 Februari 2003

Internet

Kementerian Negara Koperasi dan UKM, di Indonesia, terdapat 60 juta usahlm

kecil

tanggal 19 Maret 2014

Dasar-Dasar Hukum Pemberian Kredit Usaha Kecil, http://www.google.com, diakses tanggal 16 Maret 2014.

Asuransi Kredit, http://www.sinarmas.co.id/FAQ/asuransi_kredit.asp diakses tanggal 10 Februari 2011.

KUHD Buku I, http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php? diakses pada tanggal 30 Maret 2014

Dasar Asuransi, http://www.bataviapakuan.com/page/30529/dasar-asuransi.html, diakses pada tanggal 30 Maret 2014

I Ketut Indra Satya Dhlmrma Putra, (Direktur PT. Jamkrida Bali Mandara), diakses tanggal 19 Maret 2014

UU 02/1992, http://www.kejati-jakarta.go.id/useruploads/uu/1300758510.pdf,, diakses pada tanggal 18 Maret 2014

PP 73/1992, http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/1992/73tahun1992PP.htm, diakses pada tanggal 21 Maret 2014

Antara Asuransi Kredit dan Penjamin, http://metablog-dj.blogspot.com/2010/02/ diakses tanggal 21 Maret 2014