Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai

(1)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

PENYALAHGUNAAN HAK ATAS BENDA

JAMINAN YANG DIKAITKAN DENGAN

GADAI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 040200114 Jurusan : Hukum Keperdataan

Program Kekhususan : Perdata Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan

yang Dikaitkan dengan Gadai

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar SARJANA HUKUM

Oleh :

NIM : 040200114 Jurusan : Hukum Keperdataan

Program Kekhususan : Perdata Dagang

Disetujui, Ketua Jurusan

NIP. 131764556

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH, M.S.)

Pembimbing I, Pembimbing II,

(M. Husni, S.H., MHum)

NIP. 1312764555 NIP. 131961354

(Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin.

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan sebagian syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum jurusan Hukum Perdata Dagang (S1) di Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai”. Pemilihan judul ini didasari oleh rasa ketertarikan penulis tentang gadai dan penyalahgunaan hak atas benda jaminan gadai tersebut.

Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bukan hanya pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat umumnya, dan bagi mahasiswa khususnya yang berada di lingkungan pendidikan hukum. Sebuah pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan penulisan skripsi ini. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungannya baik moril


(4)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

maupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Keluarga besar Universitas Sumatera Utara terutama Fakultas Hukum : a. Rektor USU : Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. AK b. Dekan Fakultas Hukum : Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.

c. Ketua Departemen Hukum Keperdataan : Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S.

d. Ketua Jurusan kekhususan Perdata Dagang : Puspa Melati, S.H., M.Hum.

e. Dan seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum USU.

2. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing :

a. Bapak M. Husni, S.H., M. Hum.

b. Ibu Rosnidar Sembiring, S H., M. Hum (yang telah membantu

memberikan ide-ide dalam penulisan skripsi ini)

3. Seluruh pihak yang telah membantu memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharap kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari sepenuhnya terdapat dalam skripsi ini, guna perbaikan di kemudian hari.

Wassalam

Medan, Oktober 2008 Penulis,


(5)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

(NAZARIAH) DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iii

ABSTRAK... vii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Permasalahan... 1

B. Perumusan Masalah... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 4

D. Keaslian Penulisan... 4

E. Tinjauan Kepustakaan... 5

F. Metode Penelitian... 5

G. Sistematika Penulisan... 8

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP GADAI... 10

A. Pengertian Gadai... 10

B. Proses Pemberian gadai... 11

1. Gadai hanya diberikan atas benda bergerak... 24

2. Gadai harus dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai... 25

3. Gadai memberikan hak droit de preference... 26

C. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai... 27

D. Hak dan Kewajiban Penerima Gadai... 28


(6)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

A. Pengertian benda... 31

B. Macam dan jenis benda... 33

1. Benda bergerak... 38

2. Benda tidak bergerak... 40

C. Hak atas Benda Jaminan... 46

1. Menurut KUH Perdata... 46

a. Pandrecht atau hak gadai... 46

b. Hipotek... 47

c. Penanggungan Utang... 48

2. Menurut KUH Dagang... 50

a. Objek jaminan hutang yang berupa kapal laut berukuran kurang dari 20 m3 yang tidak terdaftar di syahbandar... 50

b. Objek jaminan hutang yang berupa kapal laut berukuran 20 m3 atau lebih yang terdaftar di syahbandar... 51

BAB IV : PENYALAHGUNAAN HAK ATAS BENDA JAMINAN YANG DIKAITKAN DENGAN GADAI……… 53

A. Pengaturan tentang Hak atas Benda Jaminan di Indonesia... 53

1. Ruang lingkup hukum jaminan... 53

a. Ketentuan jaminan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang... 54

b. Gadai... 56

c. Hipotek... 58


(7)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

2. Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan... 60

3. Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia... 60

4. Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang tentang Penjaminan Utang. 61 B. Penyalahgunaan Hak atas Benda Jaminan yang dikaitkan dengan gadai... 62

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 68

A. Kesimpulan... 68

B. Saran... 69


(8)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai M. Husni, SH, M.Hum *)

Rosnidar Sembiring, S.H MHum. **) Nazariah ***)

Abstrak

Gadai merupakan salah satu jenis dari hak kebendaan, hak gadai adalah mungkin atas benda bergerak sejauh mana benda-benda tersebut diserahkan atau dipindahkan. Adanya persyaratan, dapatnya diserahkan itu sejajar dengan kenyataan, bahwa gadai itu memberikan kekuasaan (kewenangan) khusus kepada pemegang gadai untuk memperoleh ganti rugi dari sebagian harta tertentu debitur. Namun, pada kenyataannya terdapat suatu penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang digadaikan tersebut oleh si pemegang gadai, dimana ia secara melawan hak menggunakan benda-benda atas benda jaminan gadai tersebut untuk kepentingannya sendiri.

Dari ketentuan pasal 1159 KUH Perdata secara a contrario ternyata, bahwa penyalahgunaan benda gadai itu menghapuskan hak gadai. Kapankah dianggap ada penyalahgunaan ? Pada dasarnya penggunaan adalah sama dengan penyalahgunaan. Pemegang gadai boleh menahan benda itu padanya, tetapi menggunakannya sekali-kali tidak boleh. Akan tetapi pada pihak-pihak diperkenankan untuk menyimpangi ketentuan itu dan bagi pemegang gadai dapat diberi wewenang untuk menggunakan barang tersebut. Akan tetapi lain halnya apabila benda gadai itu terlepas dari kekuasaan pemegang gadai dan diperoleh oleh seorang pihak ketiga yang beritikad baik. Pemegang gadai tidak hanya harus menguasai gadainya, bahkan untuk itu ia wajib, dalam arti, bahwa bilamana pemegang gadai melepaskan barang tersebut ke tangan pihak ketiga, yang pada akhirnya menimbulkan penyalahgunaan dan akibatnya hapusnya hak gadai.

Pengaturan tentang hak atas benda jaminan di Indonesia terdapat (tercantum) dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan beberapa undang-undang tersendiri yang ditetapkan secara terpisah. Penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dikaitkan dengan gadai, diatur dalam Pasal 1159 KUH Perdata. Dari ketentuan pasal 1159 KUH Perdata secara a contrario ternyata, bahwa penyalahgunaan benda gadai itu menghapuskan hak gadai.

Key Word : 1. Penyalahgunaan

2. Hak Atas Benda Jaminan 3. Gadai

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II ***) Mahasiswa FH USU


(9)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan

Hak harta kekayaan secara tradisional dipisahkan dalam hak-hak kebendaan (zakelijke rechten) dan hak-hak pribadi (persoonlijke rechten). Hak kebendaan kerapkali diberi definisi sebagai suatu hak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda tertentu, sedangkan suatu hak pribadi didefinisikan sebagai suatu hak atas seseorang tertentu. Singkatnya suatu hak atas suatu benda berhadapan dengan suatu hak terhadap seseorang. Terutama terhadap definisi tentang suatu hak kebendaan sebagai suatu hak atas suatu benda timbul kritik-kritik.1

Pertama-tama, seperti yang diketahui bahwa setiap hubungan hukum (rechtsrelatie) menurut sifatnya adalah hubungan antara orang-orang (personen). Demikian juga dengan suatu hak kebendaan adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang yang berhak atas benda dengan orang-orang lain.2

1

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Bab-Bab tentang Hukum Benda, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1980, hal 11.

2 Ibid.

Sedangkan suatu keberatan terhadap definisi, bahwa suatu hak kebendaan itu sebagai suatu penguasa terhadap suatu benda tertentu, hampir-hampir tidak dapat dibedakan, mengingat juga pada banyak pola penguasaan hak-hak pribadi terhadap suatu benda itu menjadi titik pusat. Juga hak-hak pribadi seperti sewa menyewa dan pinjam meminjam memberikan “hak atas suatu benda” dalam pengertian, bahwa si penyewa dan si peminjam boleh menggunakan benda yang dipinjam atau


(10)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

disewa itu. Lebih-lebih sekarang, pembedaan hak-hak kebendaan dan hak-hak pribadi dititikberatkan pada sifat kemutlakan (absoluut) daripada hak-hak kebendaan terhadap pengaruh relatif (relatieve werking) dari hak-hak pribadi (persoonlijke rechten).3

Sifat khas (karakteristik) untuk perbedaan antara hak kebendaan sebagai eigendom dan hak pribadi sebagai suatu tagihan daripada pinjaman uang (vordering uit geldleen), ialah bahwa yang pertama ini adalah absolut, artinya bahwa terhadap siapapun juga dapat berlaku, sedangkan hak pribadi A atas Rp. 10.000,- yang ia pinjamkan kepada B adalah relatif, artinya bahwa hanya dapat melaksanakan haknya terhadap B.4

Seperti diketahui, adalah suatu kenyataan bahwa suatu hak kebendaan yang mempunyai hubungan atas suatu benda, tidaklah menentukan pembedaan antara hak pribadi dan hak kebendaan. Ini adalah kejadian dalam hubungannya untuk pembatasan dari hak-hak kebendaan atas yang lain, yaitu hak-hak absolut yang bukan kebendaan. Hak pengarang, hak cipta, dan lain-lain yang sama, adalah mutlak, akan tetapi bukanlah hak-hak kebendaan, oleh karena yang menjadi sasarannya bukanlah benda, akan tetapi suatu hasil karya kesusasteraan, ilmu pengetahuan atau seni (kunst) dan suatu penemuan cara kerja baru atau produk baru.5

Kebendaan hanyalah hak-hak dimana yang menjadi sasarannya itu suatu benda. Benda disini ialah dalam pengertian luas dari bagian harta kekayaan dan hak-hak harta kekayaan.Jadi, hak-hak kebendaan misalnya eigendom, hak milik,

3

Ibid.

4 Ibid. 5


(11)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

hak erfpacht, dan vruchtgebruik. Yang tidak kebendaan sebgai kebalikannya adalah suatu hak cipta (octooirecht), karena ini bukan suatu benda bertubuh juga bukan suatu hak atas suatu objek (tidak punya objek).6

Demikian juga gadai adalah merupakan salah satu jenis dari hak kebendaan tersebut, hak gadai adalah mungkin atas benda bergerak sejauh mana benda-benda tersebut diserahkan atau dipindahkan. Adanya persyaratan, dapatnya diserahkan itu sejajar dengan kenyataan, bahwa gadai itu memberikan kekuasaan (kewenangan) khusus kepada pemegang gadai untuk memperoleh ganti rugi dari sebagian harta tertentu debitur. Pada galibnya pemegang gadai dalam menjalankan hak ganti ruginya itu dengan cara menjual dan menyerahkan benda yang digadaikan itu.7

1. Bagaimanakah pengaturan tentang hak atas benda jaminan di Indonesia ? Namun, pada kenyataannya terdapat suatu penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang digadaikan tersebut oleh si pemegang gadai, dimana ia secara melawan hak menggunakan benda-benda atas benda jaminan gadai tersebut untuk kepentingannya sendiri. Hal ini mendorong penulis untuk membahasnya dan memilih judul tersebut.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut, yaitu :

2. Bagaimanakah penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dikaitkan dengan gadai ?

6 Ibid. 7


(12)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan tentang hak atas benda jaminan di Indonesia. b. Untuk mengetahui penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dikaitkan

dengan gadai.

Sedangkan manfaat dari penulisan ini antara lain :

1. Bagi masyarakat diharapkan dengan tulisan ini dapat menambah wawasan masyarakat tentang masalah hak atas benda jaminan di Indonesia.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan ilmu hukum dalam bidang hak atas benda jaminan dan penyalahgunaannya sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembinaan hukum dimasa yang akan datang.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari penulis sendiri dengan masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penulisan ini, karena melihat fenomena penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dikaitkan dengan gadai. Skripsi ini belum pernah dibuat oleh mahasiwa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya, kalaupun ada kesamaan, hal itu pastilah dilakukan dengan tidak sengaja dan tentunya dilakukan dengan pendekatan masalah yang berbeda.


(13)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

E. Tinjauan Kepustakaan

Pengertian yang paling luas dari benda (zaak) ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Disini benda berarti objek sebagai lawan dari subjek atau “orang” dalam hukum. Ada juga perkataan benda itu dipakai dalam arti yang sempit, yaitu sebagai barang yang dapat terlihat saja. Ada lagi dipakai, jika yang dimaksudkan kekayaan seseorang.8

Pengertian hak kebendaan atau hak atas benda adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang. Jadi suatu hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu.9

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.10

8

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 1985, hal 60. 9

Ibid, hal 62. 10

Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.


(14)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau mencari data-data yang terdapat dalam praktek, metode-metode pengumpulan bahan ini antara lain : 1. Metode pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yurisdis normatif, yaitu pendekatan dimana penelitian terutama dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaedah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaedah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat, yang kemudian didukung dengan data-data sekunder yang diperoleh dari buku-buku, hasil-hasil penelitian, surat kabar, makalah, dan sebagainya.

2. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriftif, artinya bahwa penelitian ini nantinya dapat memberikan data yang seteliti mungkin tentang penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang terjadi dalam gadai, sehingga dapat diketahui menggambarkan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam gadai baik oleh orang yang menggadaikan barangnya ataupun oleh si pemberi gadai tersebut.

3. Data yang digunakan

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder, yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari sumber pertama, yang meliputi : a. Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan skripsi. b. Buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi.


(15)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

c. Keterangan-keterangan yang berasal dari literatur.

d. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan judul penulisan.

4. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian ini dirumuskan adalah mencari bahan-bahan atau data-data untuk keperluan penulisan ini melalui kepustakaan dengan cara membaca, menafsirkan atau mentransfer buku-buku atau literatur, baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan lainnya, yang penulis anggap penting sebagai pendukung dalam pembuatan skripsi ini.

5. Alat pengumpulan data

Alat pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Studi dokumen yang terdiri dari :

1) Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan skripsi. 2) Buku-buku yang berhubungan dengan penyalahgunaan hak atas benda

jaminan yang dikaitkan dengan gadai.

3) Keterangan-keterangan yang berasal dari literatur.

4) Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan judul penulisan. 6. Analisa data

Analisa data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara menerangkan dan menjelaskan semua data yang diterima dan didapat dari sumber-sumber data.


(16)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

G. Sistematika Penulisan

Suatu penulisan ilmiah perlu dibatasi ruang lingkupnya, agar hasil yang akan diuraikan terarah dan data yang diperoleh relevan untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan menghindari data yang membias.

Untuk mempermudah pemahaman seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka pembahasan penulisan ini mencakup 5 bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang menguraikan apa yang menjadi latar belakang permasalahan dari skripsi ini, merumuskan masalah yang menjadi pokok pembahasan, memaparkan tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini, keaslian penulisan dan tinjauan kepustakaan, juga mengenai metode dan sistematika penulisan dari skripsi ini.

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP GADAI

Berisi uraian secara teoritis secara umum, yaitu membahas mengenai gadai dan juga peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang itu.


(17)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Berisikan suatu masalah mengenai pengertian tentang benda, macam dan jenis benda, serta hak-hak atas benda jaminan

BAB IV :PENYALAHGUNAAN HAK ATAS BENDA JAMINAN YANG

DIKAITKAN DENGAN GADAI

Berisikan tentang pengaturan tentang hak atas benda jaminan di Indonesia serta penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dilakukan oleh si pemegang gadai, hal-hal apa saja yang dapat disebut sebagai penyalahgunaan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Berisi kesimpulan dan saran-saran yang ditarik berdasarkan hasil analisa data, dimana berdasarkan kesimpulan ini kemudian diberikan saran-saran yang dianggap dapat memberikan masukan untuk semua pihak, minimal dapat memperluas wacana dan wawasan berpikir pembaca.


(18)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP GADAI A. Pengertian Gadai

Gadai sebagai suatu hak yang mendahulu dari seorang kreditur untuk memperoleh pelunasan piutangnya dapat dibaca dalam rumusan pasal 1133 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan :

“Hak untuk didahulukan di antara para kreditur terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotek.

Tentang gadai dan hipotek diatur dalam Bab XX dan Bab XXI buku ini.” Dan dalam pasal 1134 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan :

Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh Undang-undang diberikan kepada seorang kreditur sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifatnya piutang.

Gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya.

Dari rumusan kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa gadai adalah suatu hak yang memberikan kepada kreditur pelunasan yang mendahulu dari


(19)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

kreditur-kreditur lainnya.11

1. Gadai diberikan hanya atas benda bergerak.

Pengertian dari gadai sendiri diatur dalam pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang merumuskan sebagai berikut :

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Dari rumusan yang diberikan tersebut dapat diketahui bahwa untuk dapat disebut gadai, maka unsur-unsur dibawah ini harus dipenuhi :

2. Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai.

3. gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit de preference).

4. Gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahulu tersebut.12

B. Proses Pemberian Gadai

Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan suatu formalitas tertentu bagi pemberian gadai. Dengan rumusan pasal 1151 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa :

“Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokoknya.”

11

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak Istimewa,

Gadai dan Hipotek, Kencana, Jakarta, 2005, hal 71.

12


(20)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Dapat diketahui bahwa pemberian gadai harus mengikuti suatu perjanjian pokok. Dalam hal perjanjian pokok yang menjadi dasar pemberian gadai adalah suatu perjanjian yang tidak memerlukan suatu bentuk formalitas bagi sahnya perjanjian pokok teresbut, maka berarti gadai juga dapat diberikan dengan cara yang sama, yaitu menurut ketentuan yang berlaku bagi sahnya perjanjian pokok tersebut. Dengan demikian berarti sahnya suatu pemberian gadai harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian secara umum sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.13

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan rumusan yang menyatakan bahwa :

Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

c. Suatu hal tertentu.

d. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Ilmu hukum selanjutnya membedakan keempat hal tersebut ke dalam dua syarat, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.14

1) Adanya kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri. a. Pemenuhan syarat subjektif pemberian gadai

Sebagai suatu bentuk perjanjian, maka pemberian gadai harus memenuhi syarat subjektif sahnya perjanjian. Sebagaimana dilihat dari rumusan pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, syarat subjektif sahnya perjanjian dapat dibedakan kedalam dua hal pokok, yaitu :

2) Adanya kesepakatan dari para pihak untuk membuat perikatan.15

13

Ibid, hal 73. 14

Ibid.


(21)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Keterangan :

1) Tentang kesepakatan untuk memberikan gadai.

Kesepakatan merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak mengenai hal-hal yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, mengenai cara melaksanakannya, saat pelaksanaannya, dan mengenai pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal yang telah disepakati tersebut.16

Sebelum kesepakatan tercapai di antara para pihak, maka pada umumnya diantara para pihak akan terlebih dahulu dilakukan pembicaraan atau yang umumnya dinamakan negosiasi. Dalam negosiasi tersebut salah satu atau lebih pihak akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai hal-hal yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak.17

Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama “penawaran”. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian yang disampaikan kepada lawan pihaknya tersebut, yang nantinya akan terwujud sebagai perjanjian yang mengikat kedua belah pihak. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran, menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut.18

15 Ibid.

16

Ibid, hal 74. 17

Ibid. 18


(22)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui hal tersebut, maka ia dapat melakukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi, atau yang sesuai kehendaknya, yang dapat dilaksanakan, dipenuhi atau diterima olehnya. Dalam hal demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak secara bertimbal balik adalah saat terjadinya kesepakatan.19

Gadai adalah suatu perjanjian riil, oleh karena sebagaimana ditentukan dalam pengertian gadai itu sendiri, gadai hanya ada, manakala benda yang akan digadaikan secara fisik telah dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai. Pengeluaran benda yang digadaikan dari kekuasaan pemberi gadai ini bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar. Pengeluaran benda yang digadaikan dari kekuasaan pemberi gadai dapat dilakukan , baik dengan menyerahkan kekuasaan atas benda yang digadaikan tersebut kepada kreditur atau pihak ketiga, untuk kepentingan kreditur sebagai pemegang gadai. Kesepakatan untuk memberikan gadai tidak dengan begitu saja melahirkan gadai, melainkan sampai perbuatan pengeluaran benda gadai dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai dilakukan.20

19

Ibid, hal 75. 20

Ibid.

Pasal 1152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa :


(23)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya dibawah kekuasaan kreditur atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitur atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan kreditur.

Hak gadai hapus, apabila barang gadainya keluar dari kekuasaan penerima gadai. Apabila namun itu barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai ini atau dicuri daripadanya, maka hendaklah ia menuntutnya kembali, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1977 ayat kedua, sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang.

Hal tidak berkuasanya pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan barang gadainya, tidaklah dapat dipertanggung jawabkan kepada kreditur yang telah menerima barang tersebut dalam gadai, dengan tak mengurangi hak yang kehilangan atau kecurian barang itu, untuk menuntutnya kembali.

Perlunya benda yang digadaikan dikeluarkan dari penguasaan debitur atau pihak ketiga yang memberikan benda tersebut sebagai jaminan dalam bentuk gadai, adalah karena sifat dari benda bergerak itu sendiri, yang menurut ketentuan pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi :

“Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada pembawa, maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya.”

Dengan demikian berarti, selama benda tersebut tidak dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai, maka pemberi gadai, selaku pemilik dari benda tersebut, yang menurut ketentuan pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo pasal 572 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dapat setiap


(24)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

saat menjual atau mengalihkan kepemilikan atas benda yang digadaikan tersebut. Hal ini tentu saja menjadikan gadai menjadi tidak ada artinya sama sekali.21

Dengan demikian tepatlah jika dikatakan bahwa “Tak sah adalah hak

gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitur atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan kreditur”, dan bahwa “Hak gadai hapus, apabila barangnya gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai”.

Penerima gadai atau pemegang gadai berkewajiban untuk menjaga dengan baik, benda yang digadaikan, yang berada dalam penguasaannya. Dalam hal benda gadai hilang dari penguasaan penerima gadai, karena kemauan penerima gadai sendiri, maka sudah selayaknya jika gadai tersebut hapus demi hukum, dengan tidak menutup kemungkinan pemilik benda yang menyerahkan benda tersebut sebagai jaminan dalam bentuk gadai (pemberi gadai), untuk menuntut kerugian yang terjadi.22

Jadi sebagai suatu bentuk perjanjian yang riil, kesepakatan pemberi gadai lahir pada saat barang atau benda yang hendak dijaminkan dalam bentuk gadai diserahkan oleh, dengan pengertian dikeluarkan penguasaannya dari pemilik benda tersebut sebagai pemberi gadai, yang dapat saja merupakan kreditur atau pihak ketiga yang telah disepakati secara bersama oleh kreditur dan pemberi gadai. Adanya kesepakatan dibuktikan dengan dikeluarkannya benda gadai dari penguasaan pemilik benda tersebut.23

21

Ibid, hal 76.

22

Ibid, hal 78. 23


(25)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Selain benda bergerak yang berwujud dan piutang-piutang kepada pembawa, ketentuan pasal 1152 bis Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan lebih lanjut :

“Untuk meletakkan hak gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan, selainnya endosemennya, penyerahan suratnya.”

Dan pasal 1153 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Hak gadai atas benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali surat-surat tunjuk atau surat-surat-surat-surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya, kepada orang terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. Oleh orang ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya pemberi gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis.” Dari ketentuan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa :

a) Terhadap piutang atas tunjuk, maka harus dilakukan endosemen atau penyerahan surat piutang atas tunjuk tersebut oleh pemberi gadai, selaku pemilik piutang atas nama tersebut, kepada kreditur atau pihak ketiga yang disetujui bersama, sebagai penerima gadai. Perlu diperhatikan bahwa endosemen dan penyerahan disini tidak dimaksudkan untuk mengalihkan atau menyerahkan hak milik atas piutang atas tunjuk tersebut, melainkan hanya sebagai jaminan utang dalam bentuk gadai. Ini berarti ketentuan Pasal 584 jo. Pasal 613 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak berlaku.24

b) Terhadap piutang atas nama, maka gadai baru berlaku manakala

pemberitahuan, kepada siapa gadai dilaksanakan, telah dilakukan. Kitab

24


(26)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Undang-Undang Hukum Perdata tidak menentukan pemberitahuan tersebut. Dengan demikian, maka pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan. Selanjutnya menunjuk pada rumusan : “Oleh orang ini (orang terhadap siapa

yang digadaikan itu harus dilaksanakan), tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya pemberi gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis”,

dapat dikatakan bahwa pemberitahuan mengenai adanya gadai disampaikan oleh penerima gadai, dengan persetujuan atau izin dari pemberi gadai. Dalam hal tidak ternyata adanya izin dari pemberi gadai, maka orang terhadap siapa gadai harus dilaksanakan, dapat meminta bukti tertulis sehubungan dengan janji pemberian gadai tersebut oleh pemberi gadai kepada penerima gadai. Ketentuan ini secara prinsip berbeda dari cessie, sebagai suatu bentuk levering yang dilakasanakn menurut pasal 613 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang telah sah pada saat akta cessie dibuat. Pemberitahuan menurut pasal 613 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanyalah merupakan syarat terikatnya debitur dengan pengalihan piutang atas nama tersebut.25

Perlu diperhatikan ketentuan gadai saham sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perseroan Terbatas Pasal 53 yang pada pokoknya mengatur bahwa saham baik saham atas tunjuk (aantonder) maupun saham atas nama dapat digadaikan. Gadai saham harus dicatat dalam Daftar Pemegang Saham oleh pihak yang ditunjuk dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, yaitu

25 Ibid.


(27)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

biasanya Direksi. Direksi baru dapat mencatat gadai saham dalam Daftar Pemegang Saham jika ia telah diberi tahu adanya gadai tersebut.26

Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitang dengan masalah kemampuan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum (yang pada umumnya dilihat dari sisi kedewasaan), masalah kewenangan

Hal lain yang perlu diperhatikan lebih lanjut sehubungan dengan adanya kesepakatan ini, adalah ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa :

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.”

Berdasarkan rumusan tersebut dapat dikatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan beban tidak adanya kesepakatan pada pihak yang menyatakan bahwa terhadap dirinya telah terjadi kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Dalam ketiga hal tersebut tidak daapt dibuktikan keberdaannya, maka kesepakatan harus dianggap tercapai antara para pihak.

2) Kecakapan untuk memberikan gadai

26 Ibid.


(28)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut untuk bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja orang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Sebaliknya, seorang yang dianggap berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata, karena suatu hal dapat menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.27

Penilaian mengenai kecakapan bertindak dan kewenangan bertindak ini harus dibuat atau dilakukan secara berurutan. Sebelum seseorang berbicara mengenai kewenangan untuk bertindak , haruslah terlebih dahulu dicari tahu mengenai kecakapan bertindak dalam hukum. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak (yang pada umumnya dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan untuk dan atas namanya sendiri), baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu (yang dalam hal ini biasanya dihubungkan dengan kapasitas dari orang perorangan tersebut dengan yang “diwakilinya”).28

1) Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.

b. Syarat objektif

Syarat objektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam :

27

Ibid, hal 102.

28


(29)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

2) Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.29

Keterangan :

1) Tentang hal tertentu

Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi sebagai berikut :

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

Ketentuan pasal 1332 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :

“Hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian.”

Pada dasarnya hanya menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian ini, yang dapat menjadi kewajiban dalam perikatan adalah kebendaan yang masuk dalam lapangan harta kekayaan.30

Jadi kebendaan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang berada di luar lapangan harta kekayaan (yang terutama diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang kebendaan) tidaklah dapat menjadi

29

Ibid, hal 154.

30 Ibid.


(30)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

pokok perjanjian , karena kebendaan tersebut tidaklah termasuk kedalam rumusan kebendaan menurut pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sehingga tidak dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan perikatan orang perorangan tersebut.31

Hak gadai hapus, apabila barangnya gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai. Apabila namun itu barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai atau dicuri daripadanya, maka berhaklah ia menuntutnya kembali, Pasal 1334 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai perjanjian yang melahirkan perikatan bersyarat. Dengan rumusan sebagai berikut :

Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

Tetapi tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakat orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal-pasal 169, 176, dan 178.

Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk penegasan bahwa dalam suatu perjanjian, hanya seseorang yang dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok perjanjian saja yang dapat membuat perjanjian yang mengikat kebendaan tersebut.

Dalam perjanjian pemberian gadai, seperti telah disebutkan diatas, ada tiga ketentuan yang mengatur mengenai benda yang menjadi objek gadai, yaitu yang diatur dalam pasal 1152, yang berbunyi :

Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya dibawah kekuasaan kreditur atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Tak sah adalah gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitur atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan kreditur.

31 Ibid.


(31)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

sebagaimana disebutkan dalam pasal 1977 ayat kedua, sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang. Hal tidak berkuasanya pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan barang gadainya, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditur yang telah menerima barang tersebut dalam gadai, dengan tak mengurangi hak yang kehilangan atau kecurian barang itu, untuk menuntutnya kembali.

Juga Pasal 1152 bis, yang berbunyi :

“Untuk meletakkan hak gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan, selainnya endosemennya, penyerahan suratnya.”

Dan Pasal 1153, yang berbunyi :

Hak gadai atas benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali surat-surat tunjuk atau surat-surat-surat-surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal pegadaiannya, kepada orang terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. Oleh karena ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya pemberi gadai dapat diminta suatu bukti tertulis.

Rumusan ketiga pasal tersebut diatas menunjukkan adanya pembedaan pemberian gadai kedalam tiga cara pemberian gadai berdasarkan pada sifat atau wujud benda yang digadaikan tersebut, yaitu :

a) Untuk benda-benda bergerak dan piutang-piutang kepada pembawa, maka gadai baru terjadi, jika benda-benda tersebut telah dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai yang memiliki benda tersebut.

b) Bagi piutang-piutang atas tunjuk, untuk sahnya, gadai harus dilaksanakan dengan cara endorsemen yang disertai dengan penyerahan surat piutang atas tunjuk tersebut oleh pemberi gadai, selaku pemilik piutang atas nama tersebut, kepada kreditur atau pihak ketiga yang telah disetujui bersama, sebagai penerima gadai.


(32)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

c) Selanjutnya terhadap piutang-piutang atas nama, maka gadai baru sah dan berlaku manakala pemberitahuan kepada siapa gadai harus dilaksanakan, telah dilakukan.32

2) Tentang sebab yang halal dalam pemberian gadai

Sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa :

“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”

Dari rumusan pasal tersebut diatas, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :

a) Bukan tanpa sebab. b) Bukan sebab yang palsu. c) Bukan sebab yang terlarang.33

Selanjutnya dalam pasal 1336 KUH Perdata, dinyatakan lebih lanjut bahwa :

“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, atau jika ada suatu sebab lain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah.”

Adapun proses pemberian gadai adalah sebagai berikut : 1. Gadai hanya diberikan atas benda bergerak

32

Ibid, hal 156.

33


(33)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Unsur pertama dari suatu gadai seperti dikatakan sebelumnya hanya dapat diberikan terhadap benda yang bergerak, yang dalam hal ini menurut ketentuan pasal 1152, pasal 1152 bis, dan pasal 1153 KUH Perdata, dapat diberikan terhadap :

a) Benda bergerak, yang berwujud dan piutang-piutang kepada pembawa, yang dilaksanakan dengan cara melepaskan benda tersebut dari penguasaan pemberi gadai. Hal ini berdasar kepada pasal 1152 KUH Perdata yang berbunyi :

Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan kreditur atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitur atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan kreditur.

Hak gadai hapus apabila barangnya keluar dari kekuasaan penerima gadai ini atau dicuri daripadanya, maka berhaklah ia menuntutnya kembali, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1977 ayat kedua, sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang.

Hal tidak berkuasanya pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan barang gadainya, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditur yang telah menerima barang tersebut dalam gadai, dengan tak mengurangi hak yang kehilangan atau kecurian barang itu untuk menuntutnya kembali.

b) Piutang kepada pihak yang ditunjuk, yang pemberian gadainya dilakukan dengan cara endosemen yang disertai dengan penyerahan surat piutang atas tunjuk tersebut. Berdasar pasal 1152 bis KUH Perdata, yang berbunyi:

“Untuk meletakkan hak gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan, selainnya endosemennya, penyerahan suratnya.”


(34)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

c) piutang-piutang atas nama, pemberian gadainya hanya sah jika telah diberitahukan mengenai pemberian gadai tersebut kepada orang, terhadap siapa gadai tersebut akan dilaksanakan.34

Dari penjelasan yang diberikan dimuka dapat diketahui bahwa sebagai benda bergerak, maka gadai harus dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai, yang caranya dilakukan menurut wujud masing-masing dari benda bergerak tersebut. Bagi benda bergerak yang berwujud dan bagi piutang-piutang kepada pembawa, maka cara mengeluarkan benda gadai dari pemberi gadai adalah dengan menyerahkannya kepada penerima gadai, yang dapat merupakan kreditur atau pihak ketiga yang ditunjuk atau disepakati bersama. Selanjutnya bagi benda bergerak yang tidak berwujud dalam bentuk piutang atas tunjuk, maka surat piutang atas tunjuk tersebut harus di “endorse” dan selanjutnya diserahkan kepada pemegang gadai. Dalam hal piutang atas nama, maka wujud pengeluarang piutang tersebut dari penguasaan pemberi gadai dilakukan dengan cara pemberitahuan akan gadai yang diberikan tersebut kepada orang terhadap siapa gadai dilaksanakan.

2. Gadai harus dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai

35

34

Ibid, hal 169.

35

Ibid, hal 171.

3. Gadai memberikan hak droit de preference

Pemberian gadai sebagai suatu bentuk jaminan yang diberikan sebagai pelunasan mendahulu (droit de preference) dapat dilihat pengaturannya dari ketentuan pasal 1150 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa :


(35)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Jelas bahwa gadai adalah hak yang bersifat mendahulu dari seorang kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari benda yang digadaikan tersebut, manakala debitur tidak memenuhi kewajibannya. Hak ini memberikan hak mendahulu dari kreditur konkuren, berdasarkan ketentuan pasal 1132 KUH Perdata, Pasal 1133 KUH Perdata dan Pasal 1134 KUH Perdata.36

a. Hak milik yang dimiliki seseorang atas kebendaan tertentu memberikan kepadanya hak untuk memberikan hak-hak kebendaan lain diatasnya, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat terbatas.

C. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai 1. Hak pemberi gadai

Adapun hak dari pemberi gadai adalah :

37

b. Hak untuk tetap memiliki barang yang digadaikan bila debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya (Pasal 1154 KUH Perdata).38

2. Kewajiban pemberi gadai

Adapun kewajiban pemberi gadai adalah :

36

Ibid, hal 172. 37

Ibid, hal 177. 38


(36)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

a. Pemberi gadai harus melepaskan kekuasaan nyatanya atas benda-benda yang digadaikan itu. Caranya dilakukan menurut wujud masing-masing dari benda bergerak tersebut. Bagi benda bergerak yang berwujud dan bagi piutang-piutang kepada pembawa, maka cara mengeluarkan benda gadai dari pemberi gadai adalah dengan menyerahkannya kepada penerima gadai, yang dapat merupakan kreditur atau pihak ketiga yang ditunjuk atau disepakati bersama. Selanjutnya bagi benda bergerak yang tidak berwujud dalam bentuk piutang atas tunjuk, maka surat piutang atas tunjuk tersebut harus di “endorse” dan selanjutnya diserahkan kepada pemegang gadai. Dalam hal piutang atas nama, maka wujud pengeluarang piutang tersebut dari penguasaan pemberi gadai dilakukan dengan cara pemberitahuan akan gadai yang diberikan tersebut kepada orang terhadap siapa gadai dilaksanakan.39

b. Pemberi gadai atau debitur diwajibkan mengganti kepada kreditur segala biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan ini guna keselamatan barang gadainya (Pasal 1157 KUH Perdata).40

D. Hak dan Kewajiban Penerima Gadai 1. Hak penerima gadai

Adapun hak dari penerima gadai atau kreditur adalah sebagai berikut : a. Hak retentie

39

Ibid, hal 171. 40


(37)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Hak gadai hanyalah ada bilamana pemberi gadai telah menyerahkan barang yang digadaikan. Kebanyakan pemberi gadai akan menyerahkan barang tersebut kepada pemegang gadai. Sedangkan pemegang gadai tidak perlu mengembalikan benda tersebut sebelum hutang, rente, dan biaya-biaya dibayar.

Di dalam hukum pemegang gadai atau penerima gadai menguasai benda tersebut sampai tagihannya itu dilunasi, hak retentie adalah suatu upaya penting untuk mendorong pemberi gadai untuk membayar hutangnya. Pemegang gadai harus menjaga bahwa nilai daripada benda yang digadaikan tersebut, harus lebih tinggi dari hutang yang diikatkan dengan gadai. Oleh karena itu, maka pemberi gadai atau debitur mempunyai kepentingan untuk dapat memperoleh kembali bendanya dengan jalan melunasi hutang itu.

b. Hak executie yang dipermudah

Pada umumnya secara normal debitur atau pemberi gadai akan memenuhi kewajiban-kewajibannya dan benda tersebut akan dikembalikan padanya setelah ia melunasi hutangnya. Memang hak gadai itu diciptakan dengan maksud adanya kemungkinan debitur tidak akan memnuhi kewajiban-kewajibannya. Dalam kasus demikian, setiap kreditur bebas memperoleh ganti rugi dari harta benda debitur, tetapi kreditur yang minta janji suatu hak gadai memperoleh kemungkinan ganti rugi yang lebih mudah. Didalam beberapa segi, maka pemegang gadai didalam memperoleh ganti rugi mempunyai suatu posisi yang lebih menguntungkan daripada kreditur lain yang tagihannya tidak dijamin dengan gadai.


(38)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

c. Hak yang didahulukan untuk memperoleh ganti rugi.

Kreditur yang mempunyai tagihan yang diperkuat dengan hak gadai untuk mencapai tidak hanya bahwa ia tidak harus menunggu-nunggu pembayarannya, akan tetapi dengan cara sederhana dapat melakukan eksekusi atas benda gadai tersebut. Di samping itu, bahwa tagihannya itu akan memperoleh ganti rugi yang paling didahulukan dari hasil benda gadai itu. Pemegang gadai didalam pembagian hasil eksekusi, haknya tidak hanya diatas para kreditur concurrent saja, melainkan juga diatas kreditur-kreditur yang diberikan prefentie (voorrang) menurut Undang-undang (Pasal 1134 ayat (2) BW).41

Rumusan tersebut pada prinsipnya menunjukkan kembali bahwa sebagai seorang yang memegang atau memangku sesuatu kedudukan berkuasa atas segala benda milik orang lain berkewajiban untuk memelihara benda tersebut dengan 2. Kewajiban penerima gadai

Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 1157 KUH Perdata, yang berbunyi:

“Kreditur bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya.

Sebaliknya debitur diwajibkan mengganti kepada kreditur segala biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan ini guna keselamatan barang gadainya.”

41

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Bab-Bab tentang Hukum Benda, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hal 101.


(39)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

baik, sebagaimana halnya seorang pemilik sejati. Dalam hal demikian maka ia berkewajiban untuk mengeluarkan biaya yang diperlukan untuk menyelamatkan benda tersebut. Selanjutnya pemilik sejati dari benda tersebut berkewajiban untuk menggantikan segala biaya yang telah dikeluarkan oleh pemangku kedudukan berkuasa ini untuk menyelamatkan benda tersebut.42

42

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op Cit, hal 176.

BAB III

HAK ATAS BENDA JAMINAN A. Pengertian Benda

Pengertian benda dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat ditemukan dalam Pasal 499, yang berbunyi :

“Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap-tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.”


(40)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa dalam pandangan undang-undang (Kitab Undang-undang-undang Hukum Perdata) yang dimaksud dengan kebendaan adalah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan hak milik, tanpa mempedulikan jenis atau wujudnya. Satu hal yang perlu dicatat dan diperhatikan disini adalah bahwa penguasaan dalm bentuk hak milik ini adalah penguasaan yang memiliki nilai ekonomis. Suatu kebendaan yang dapat dimiliki tetapi tidak memiliki nilai ekonomis bukanlah kebendaan yang menjadi objek pembicaraan.43

Dengan ketentuan tersebut dalam Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jelas bahwa hanya kebendaan yang memiliki nilai ekonomis saja yang dapat menjadi jaminan bagi pelaksanaan perikatan, kewajiban prestasi atau utang seorang debitur. Dalam konteks tersebut diatas, perlu dipahami bahwa adakalanya dalam pandangan umum, suatu kebendaan, misalnya udara dan air, dapat dianggap tidak memiliki nilai ekonomis, namun oleh karena sifat dan penggunaannya, kebendaan tersebut, yaitu udara dan air tersebut, pada lain ketika dapat menjadi kebendaan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dengan demikian, seharusnya dipahami bahwa makna ekonomis, menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidaklah bersifat rigrid. Pemahaman makna ekonomis Hal ini membawa konsekuensi logis kepada ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :

“Segala kebendaan yang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”

43

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Kebendaan pada Umumnya, Kencana, Jakarta, 2003, hal 31.


(41)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

dalam konteks Pasal 499 jo. Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut harus dilihat dan dinilai secara kasuistis, dan dalam hal ini merupakan kewajiban bagi pihak debitur untuk memelihara kebendaan yang dimiliki olehnya dan tidak untuk melakukan suatu tindakan yang tidak diperlukan, yang dapat mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis dari kebendaan yang merupakan harta kekayaannya tersebut. Dalam hal debitur melakukan tindakan yang tidak diperlukan, yang tidak diwajibkan, yang ternyata mengakibatkan kerugian pada harta kekayaannya, Pasal 1341 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan hak kepada kreditur untuk menuntut pembatalan tindakan atau perbuatan hukum yang tidak diwajibkan tersebut.44

44 Ibid

Pasal 1341 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang dikenal dengan nama Actio Pauliana, secara lengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Meskipun demikian (perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya), tiap-tiap kreditur boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apapun juga, yang merugikan kreditur, asal dibuktikan bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik debitur maupun orang dengan atau untuk siapa debitur itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan para kreditur.

Hak-hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, dilindungi.

Untuk mengajukan batalnya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan cuma-cuma oleh debitur, cukuplah kreditur membuktikan bahwa debitur, pada waktu melakukan perbuatan itu tahu bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan para kreditur yang mengutangkan padanya, tak peduli apakah orang yang menerima keuntungan juga mengetahui atau tidak.


(42)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Dengan demikian jelaslah bahwa kebendaan debitur, yang dikuasai oleh debitur dengan hak milik merupakan jaminan bagi setiap pemenuhan perikatan , kewajiban, prestasi atau utang debitur.45

Mengenai jenis dan macam benda di Indonesia, saat ini tidak dapat lagi ditemukan dalam satu ketentuan (yaitu Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata), melainkan tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yang masing-masing saling melengkapi satu dengan lainnya, walaupun demikian tidaklah berarti tidak dapat ditarik suatu generalisasi.

B. Macam dan jenis benda

46

45 Ibid. 46

Ibid, hal 34.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata memulai ketentuan pembedaan benda melalui Pasal 503 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dengan rumusan sebagai berikut :

“Tiap-tiap kebendaan adalah berwujud atau tidak berwujud.”

Selanjutnya dalam Pasal 504 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikatakan lebih lanjut bahwa :

“Tiap-tiap kebendaan adalah bergerak atau tidak bergerak, satu sama lain menurut ketentuan-ketentuan dalam kedua bagian berikut ini.”

Dalam Pasal 505 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa :


(43)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

“Tiap-tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan, atau tidak dapat dihabiskan, kebendaan dapat dikatakan dihabiskan bilamana karena dipakai menjadi habis.”

Dengan demikian secara umum, menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, benda dapat dibedakan ke dalam :

a. Benda berwujud dan benda tidak berwujud. b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak.

c. Benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan.47

Di luar pembedaan yang seperti tersebut diatas, dalam Pasal 500 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan tentang pembedaan benda kedalam benda pokok/utama dengan benda perlekatan. Yang dimaksud dengan benda pokok adalah benda yang semula telah dimiliki oleh seseorang tertentu, sedangkan yang dinamakan benda perlekatan adalah setiap benda yang :

a. Karena perbuatan alam, misalnya pohon yang tumubuh tanpa ditanam oleh orang. Pemilik dari tanah dimana pohon tersebut tumbuh adalah pemilik dari pohon tersebut. Pemilik tanah tidak dapat menjual pohon tersebut tanpa merusak atau menghilangkan arti dari pohon tersebut sebagai satu kesatuan benda yang bermakna, tetapi jika pemilik tanah bermaksud untuk menjual tanah tersebut, maka demi hukum pohon tersebut ikut dijual kepada pembelinya.

b. Karena perbuatan manusia, misalnya bangunan yang sengaja dibuat untuk keperluan rumah tinggal. Dalam hal ini, pemilik dari tanah dimana bangunan

47


(44)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

tersebut didirikan adalah juga pemilik dari bangunan yang didirikan tersebut. Disini, pemilik tanah tidak dapat menjual rumahnya tanpa mengakibatkan kerusakan pada rumah itu sendiri, yang pada hakekatnya bukanlah tujuan dari penjualan itu sendiri. Tetapi jika pemilik tanah bermaksud untuk menjual tanahnya, maka rumah yang didirikan di atas tanah tersebut, juga demi hukum ikut dijual kepada pembelinya.

c. Hasil perdata yang belum dapat ditagih, misalnya bunga yang belum jatuh tempo. Pemilik piutang pokok dari bunga yang belum jatuh tempo adalah juga pemilik dari bunga yang belum jatuh tempo tersebut. Ia (pemilik piutang) tidak dapat menjual bunganya karena bunga tersebut belum jatuh tempo, tetapi manakala pemilik piutang menjual piutangnya, maka demi hukum bunga yang belum jatuh tempo tersebut beralih kepada pembeli piutangnya.48

Sehubungan dengan asas perlekatan yang membedakan benda pokok dengan benda perlekatan, juga dikenal :

a. Benda tambahan, yang merupakan buah-buah atau hasil-hasil dari suatu benda pokok, yang dalam hal ini, buah atau hasil tersebut dapat terwujud dalam bentuk :

1) Hasil alam, yaitu anak dari binatang atau hewan yang melahirkan. Pemilik dari induk binatang atau hewan yang melahirkan adalah juga pemilik dari setiap anak yang dilahirkan dari induknya tersebut.

48


(45)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

2) Hasil pekerjaan manusia, misalnya buah-buah dari pohon yang ditanam oleh manusia. Pemilik dari pohon yang ditanam adalah juga pemilik dari buah-buah yang dihasilkan dari pohon tersebut.

3) Hasil perdata yang telah dapat ditagih (atau telah jatuh tempo), misalnya berupa uang sewa. Pemilik dari rumah yang disewakan adalah juga pemilik dari uang sewa dari rumah yang disewakan tersebut. Dalam konteks benda tambahan tersebut, pemilik dari benda tersebut dapat menjual baik benda pokoknya maupun benda tambahannya tersebut secara berdiri sendiri.

b. Benda ikutan, yang mengikuti suatu benda pokok, yang tanpa benda pokok tersebut, benda ikutan ini tidak akan mempunyai arti, meskipun benda ikutan ini sendiri tidak melekat pada benda pokoknya. Misalnya adalah anak kunci yang mengikuti gembok rumah. Tanpa adanya kunci gembok tersebut, anak kunci tersebut menjadi tidak ada gunanya, meskipun anak kunci ini tidak dapat disebut melekat pada gemboknya.

c. Benda pelengkap, yang dapat dipergunakan secara bersama-sama dengan benda pokok. Benda pelengkap ini misalnya adalah mebel-mebel dalam suatu hotel yang melengkapi penggunaan hotel tersebut. Benda-benda pelengkap ini bergantung pada tujuan penggunaannya, kadangkala dapat menjadi benda ikutan terhadap benda pokok, tetapi pada saat lain dapat menjadi benda pokok sendiri yang terlepas dari benda pokoknya.49

49


(46)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Selanjutnya dari ketentuan Pasal 1296 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat diketahui bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga membedakan benda kedalam benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi.

Yang dinamakan benda yang karena sifatnya dapat dibagi-bagi tanpa merusaknya atau mengakibatkan gangguan dalam pemakaian atau kenikmatannya atau kehilangan fungsinya. Contohnya adalah penyerahan sejumlah beras, penyerahan uang, penyerahan pasir, dan lain-lain.

Sedangkan suatu kebendaan dikatakan sebagai benda yang tidak dapat dibagi adalah karena sifat dari benda itu sendiri yang dapat dibagi adalah benda yang karena sifatnya tidak dapat dibagi-bagi tanpa merusak benda itu sendiri atau mengakibatkan gangguan dalam pemakaian atau kenikmatannya benda tersebut, atau kehilangan fungsinya. Contohnya adalah penyerahan seekor kuda, penyerahan sebuah meja, penyerahan sebuah mobil, dan lain-lain.50

a. Benda yang dilarang untuk diperjualbelikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya candu atau opium; atau

Disamping pembedaan tersebut diatas, juga dikenal pembedaan benda ke dalam benda dalam lalu lintas perdagangan dan benda di luar lalu lintas perdagangan. Yang dinamakan dengan benda di luar lalu lintas perdagangan adalah benda yang tidak dapat diperjual belikan, oleh karena benda-benda tersebut adalah :

50 Ibid.


(47)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

b. Benda tersebut adalah benda yang digunakan untuk kepentingan umum, dan tidak dimaksudkan untuk dimiliki oleh orang perorangan atau badan kesatuan. Benda-benda ini pada umumnya dimiliki oleh negara, tetapi tidak dapat dipergunakan oleh negara dalam lapangan hukum perdata; atau

c. Benda tersebut adalah benda yang karena sifatnya tidak mungkin dimiliki, seperti misalnya udara bebas, air di laut, walau demikian tidak menutup kemungkinan bahwa dengan suatu upaya atau cara tertentu, misalnya udara tersebut kemudian dimurnikan oksigennya (O2), atau air laut tersebut kemudian dikelola lebih lanjut, maka udara dan air tersebut akan dapat menjadi milik seseorang yang dapat diperjualbelikan secara ekonomis. Benda-benda yang disebutkan terakhir ini pada mulanya adalah Benda-benda yang tidak dapat dimiliki atau res nullius.51

Selanjutnya pengaturan lebih lanjut mengenai benda tidak bergerak dan benda bergerak dapat dilihat :

1. Benda bergerak

Kebendaan jenis kedua yang diatur secara terperinci dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah benda bergerak, yang diatur dalam Bagian IV Bab I Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata mulai Pasal 509 hingga Pasal 518 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.52

“Kebendaan bergerak karena sifatnya adalah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan.”

Selanjutnya Pasal 509 selengkapnya berbunyi :

51

Ibid, hal 54 52


(48)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Pasal 510 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi :

“Kapal-kapal, perahu-perahu, perahu-perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang berdiri, terlepas dan barang-benda sejenis adalah kebendaan bergerak.”

Pasal 511 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi :

Yang dianggap sebagai kebendaan bergerak karena ditentukan undang-undang adalah :

a. Hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak.

b. Hak atas bunga-bunga yang dijanjikan, baik bunga yang diabadikan, maupun bunga cagak hidup.

c. Perikatan-perikatan dan tuntutan-tuntutan mengenai jumlah-jumlah uang yang dapat ditagih atau yang mengenai kebendaan bergerak. d. Sero-sero atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang,

persekutuan dagang atau persekutuan perusahaan, sekalipun benda-benda persekutuan yang bersangkutan dan perusahaan itu merupakan kebendaan tidak bergerak. Sero-sero atau andil itu dianggap merupakan kebendaan bergerak, akan tetapi hanya terhadap para pesertanya selama persekutuan berjalan.

e. Andil dalam perutangan atas beban negara Indonesia, baik andil-andil karena pendaftaran dalam buku besar maupun sertifikat-sertifikat, surat-surat pengakuan utang, obligasi atau surat-surat lain yang berharga, beserta kupon-kupon atau surat tanda bunga yang termasuk didalamnya.

f. Sero-sero atau kupon obligasi dalam perutangan lain, termasuk juga perutangan yang dilakukan negara-negara asing.

Pasal 512 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan :

Apabila dalam undang-undang atau daalm sesuatu perbuatan perdata dipakai istilah : barang-barang bergerak, perkakas rumah, mebel-mebel atau perabot rumah tangga, perhiasan rumah tangga, atau rumah dengan segala apa yang ada di dalamnya, dan kesemuanya itu tanpa kata-kata tambahan, perluasan atau pembatasan, maka istilah-istilah itu harus dianggap meliputi benda-benda yang ditunjuk dalam pasal-pasal berikut. Pasal 513 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan : “Istilah barang-barang bergerak meliputi tanpa perkecualian segala apa yang menurut ketentuan yang tertera di atas bersifat bergerak.”


(49)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Pasal 514 Kitab Undang-undang Hukum , yang menyatakan :

Istilah perkakas rumah tangga meliputi segala apa yang menurut ketentuan-ketentuan di atas dianggap bersifat bergerak, terkecuali uang tunai, sero-sero dan piutang-piutang dan hak-hak lainnya tersebut dalam pasal 511, barang-barang perdagangan dan bahan-bahan, perkakas-perkakas bersangkutan dengan perusahaan pabrik, barang-barang hasil pabrik itu atau perusahaan pertanian, bahan-bahan rumah beserta kapal-kapal dan andil-andil kapal-kapal.

Pasal 515 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan : Istilah mebel-mebel atau perabot rumah meliputi segala apa yang menurut pasal yang lalu termasuk dalam istilah perkakas rumah, terkecuali kuda-kuda dan binatang-binatang, kereta-kereta dengan perlengkapannya, batu-batu permata, buku-buku dan tulisan-tulisan, lukisan-lukisan, gambar-gambar, pigura-pigura, patung-patung, penning-penning peringatan, perkakas ilmu alam dan ilmu pengetahuan, dan barang-barang berharga dan barang-barang pelik lainnya, pakaian pribadi, senjata-senjata gandum, anggur-anggur dan bahan keperluan hidup lainnya.

Pasal 516 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan : “Dengan kata-kata rumah dan segala apa yang didalamnya, yang dimaksud ialah semua yang menurut pasal 513 bersifat bergerak dan diketemukan dalam rumah itu, kecuali uang tunai, piutang-piutang dan hak-hak lain yang surat-surat buktinya kiranya ada dalam rumah itu.”

Pasal 517 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan : Istilah perhiasan rumah meliputi segala mebel yang diperuntukkan guna dipakai dan menghiasi ruangan seperti : kertas dinding permadani, tempat tidur, kursi, cermin, lonceng, meja, benda dari porselen, dan benda-benda lain yang sesifat.

Lukisan-lukisan dan patung-patung yang merupakan sebagian dari mebel dalam suatu ruangan, termasuk juga didalamnya, akan tetapi tidak termasuk di dalamnya, himpunan lukisan-lukisan, gambar-gambar, dan patung-patung yang dipasang dalam serambi-serambi atau ruangan-ruangan istimewa.

Demikianlah pula mengenai benda-benda dari porselen, segala benda yang merupakan penghias ruangan, termasuk dalam istilah perhiasan rumah. Pasal 518 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan :


(50)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

“Istilah rumah yang bermebel atau rumah beserta mebelnya hanya meliputi perhiasan rumah.”

Dari sepuluh pasal mengenai benda bergerak yang dikutip diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum, yaitu :

a. Yang dinamakan dengan benda bergerak adalah benda yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan. Dengan rumusan “dapat berpindah”, Kitab Undang-undang Hukum Perdata hendak menegaskan bahwa binatang-binatang peliharaan adalah juga termasuk benda bergerak yang dapat dimiliki oleh manusia. Sedangkan pernyataan “dapat dipindahkan” menunjukkan pada suatu keadaan bahwa benda tersebut, dengan kekuatan manusia atau dengan akal manusia (dengan bantuan alat-alat kerja) dapat dipindahkan dari sutau tempat ke tempat lainnya tanpa mengubah wujud bentuk dan kegunaan dari benda tersebut sebagai satu kesatuan. Contoh dari benda bergerak ini adalah meja, kursi, lemari, dan lain-lain. Dari rumusan pernyataan “karena sifatnya dapat berpindah atau dapat dipindahkan”, Kitab Undang-undang Hukum Perdata sesungguhnya menunjuk pada benda bergerak yang berwujud. Jadi dengan demikian berarti yang digolongkan sebagai benda bergerak adalah setiap benda berwujud, yang dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, tanpa mengubah wujud bentuk dan kegunaan dari benda tersebut sebagai satu kesatuan.

b. Golongan benda bergerak lainnya yang kedua adalah kapal-kapal, perahu-perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang perahu atau terlepas, dan benda-benda sejenis itu. Dalam konteks


(51)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

kapal dan perahu, dapat diketahui bahwa pada dasarnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata memperlakukan kapal atau perahu sebagai suatu benda bergerak (yang berwujud). Seperti telah dijelaskan di atas dengan memperhatikan ketentuan pasal 314 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang berbunyi :

Kapal-kapal Indonesia yang berukuran paling sedikit dua puluh meter kubik isi kotor, dapat dibukukan dalam suatu register kapal menurut ketentuan-ketentuan yang akan ditetapkan dalam suatu undang-undang tersendiri. Dalam ketentuan Undang-Undang ini harus pula diatur tentang caranya peralihan hak milik dan penyerahan akan kapal-kapal atau kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal tersebut, dan andil dalam kapal-kapal atau kapal-kapal dalam pembuatan seperti itu. Atas kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal-kapal dalam pembuatan dan andil-andil dalam kapal-kapal dan kapal-kapal dalam pembuatan seperti itu dapat diletakkan hipotek.

Atas kapal-kapal yang disebutkan dalam ayat kesatu tidak dapat diletakkan hak gadai. Atas kapal-kapal yang dibukukan tidak berlakulah pasal 1977 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Dapat diketahui bahwa kapal-kapal laut yang memiliki ukuran sekurang-kurangnya dua puluh meter kubik isi kotor yang didaftarkan di Syahbandar Diektorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan (dan yang dengan pendaftaran tersebut memiliki kebangsaan sebagai Kapal Indonesia), diperlakukan sebagai kebendaan yang tidak bergerak.

Sebagai kebendaan tidak bergerak, maka penjaminan yang dapat diletakkan di atasnya pun hanya dalam bentuk hipotek, dan bukan dalam bentuk gadai. Ketentuan mengenai pendaftaran kapal laut sebagai benda yang tidak bergerak diatur dalam suatu peraturan tersendiri, yang disebut dengan nama

Teboekstelling van Schepen (Peraturan Pendaftaran Kapal) Stb. 1993 No. 48


(52)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

kapal-kapal yang tidak terdaftar, dengan ukuran kurang dari dua puluh meter kubik isi kotor dianggap sebagai kebendaan yang bergerak.

c. Golongan ketiga menunjuk pada hak-hak yang mengikuti kebendaan bergerak yang berwujud, yang dalam hal ini meliputi :

1) Hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak.

2) Hak atas bunga-bunga yang dijanjikan, baik bunga yang diabadikan, maupun bunga cagak hidup.

3) Perikatan-perikatan dan tuntutan-tuntutan mengenai jumlah-jumlah uang yang dapat ditagih atau yang mengenai kebendaan bergerak.

4) Sero-sero atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan dagang atau persekutuan perusahaan, sekalipun benda-benda persekutuan yang bersangkutan dan perusahaan itu merupakan kebendaan tidak bergerak. Sero-sero atau andil itu dianggap merupakan kebendaan bergerak, akan tetapi hanya terhadap para pesertanya selama persekutuan berjalan.

5) Andil dalam perutangan atas beban negara Indonesia, baik andil-andil karena pendaftaran dalam buku besar maupun sertifikat-sertifikat, surat-surat pengakuan utang, obligasi atau surat-surat-surat-surat lain yang berharga, beserta kupon-kupon atau surat tanda bunga yang termasuk didalamnya. 6) Sero-sero atau kupon obligasi dalam perutangan lain, termasuk juga

perutangan yang dilakukan negara-negara asing.” d. Pesawat Terbang.


(53)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Berbeda dengan kapal laut yang dapat ditemukan pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang, pesawat terbang merupakan jenis kebendaan dalam lapangan komersil yang tidak ditemukan pengaturannya dalam kedua kitab tersebut. Dalam prakteknya oleh karena pesawat terbang harus mempunyai sifat nasionalitas, dan karenanya juga berarti harus didaftarkan, maka sebagaimana halnya kapal laut yang terdaftar yang diperlakukan sebagai benda tidak bergerak, maka terhadap pesawat terbang ini pun sejalan dengan sifat pendaftarannya, juga diperlakukan sebagai benda tidak bergerak dengan penjaminannya dalam bentuk hipotek. Hal ini sejalan dengan Konvensi Genewa 1948 tentang

Convention on the International Recognition of Rights in Aircrafts, diakui

secara tegas jaminan dalam bentuk hipotek (mortgages) atas pesawat terbang.53

a. Pekarangan-pekarangan dan apa yang didirikan diatasnya.

2. Benda tidak bergerak

Ketentuan mengenai jenis dan macam benda tidak bergerak menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat ditemukan dari rumusan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi :

Kebendaan tidak bergerak ialah :

53 Ibid.


(1)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Pemilik jaminan setelah menerima penyerahan benda-benda itu dari debitur ia wajib menjual barang-barang itu dimuka umum. Semua permintaan janji-janji, yang menyangkut hubungan kredit ini adalah batal, tetapi sebaliknya, bilamana pembayaran hutang tersebut telah jatuh waktu, maka pihak-pihak adalah bebas untuk mengadakan pengaturan lain (menjual dibawah tangan, mempertahankan nilai taksasi dan lain-lain). Juga pemilik jaminan dapat minta kuasa dari hakim untuk memperoleh ganti ruginya dengan suatu cara lain. 2. Pihak pemilik jaminan mempunyai hak akan parate executie, artinya ia dapat

memperoleh ganti rugi tagihannya itu dari barang-barang yang diserahkan tanpa melalui suatu kuasa titel executoriaal.

3. Pemilik jaminan adalah separatist, artinya ia dapat melaksanakan ganti ruginya itu diluar faillissement (si debitur).91

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya dan permasalahkan yang telah dirumuskan, dapat diambil beberapa kesimpulan :

91


(2)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

1. Pengaturan tentang hak atas benda jaminan di Indonesia terdapat (tercantum) dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan beberapa undang-undang tersendiri yang ditetapkan secara terpisah. Undang-undang tersebut antara lain, Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan terdapat pula di berbagai peraturan perundang-undangan lain sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang yang mengatur penjaminan hutang. Beberapa diantara peraturan pelaksanaan tersebut berupa Peraturan Pemerintah (PP) misalnya PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Penjaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Penjaminan Fidusia, PP No. 27 tentang Pendaftaran Tanah, dan peraturan dari instansi atau departemen yang terkait, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang mengatur antara lain tentang penerbitan Akta Pemberian Hak Tanggungan, Sertifikat Hak Tanggungan, dan surat kuasa membebankan hak tanggungan. Selain peraturan perundangan yang sepenuhnya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang, terdapat pula peraturan perundang-undangan lain yang dalam salah satu ketentuannya mengatur tentang penjaminan utang. 2. Penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dikaitkan dengan gadai, diatur

dalam Pasal 1159 KUH Perdata, yang menyebutkan :

Selama si pemegang tidak menyalahgunakan barang, yang diberikan dalam gadai, maka si berutang tidaklah berkuasa menuntut pengembaliannya, sebelum ia telah membayar sepenuhnya hasil uang pokok maupun bunga dan biaya utangnya, yang untuk menjamin barang gadainya telah diberikan, beserta pula segala biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadainya.


(3)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Jika diantara si berutang dan si berpiutang ada pula suatu utang kedua, yang dibuatnya sesudah saat pemberian gadai, dan dapat ditagih sebelum pembayaran utang pertama dan pada hari pembayaran itu sendiri, maka si berpiutang tidaklah diwajibkan melepaskan barang gadainya sebelum kepadanya dilunasi sepenuhnya kedua utang tersebut, sekeli pun tidak telah diperjanjikan untuk mengikatkan barang gadainya bagi pembayaran utang keduanya.

Dari pertimbangan pasal 1159 KUH Perdata secara a contrario ternyata, bahwa penyalahgunaan benda gadai itu menghapuskan hak gadai. Kapankah dianggap ada penyalahgunaan ?

Pada asasnya penggunaan adalah sama dengan penyalahgunaan. Pemegang gadai boleh menahan benda itu padanya, tetapi menggunakannya sekali-kali tidak boleh. Akan tetapi pada pihak-pihak diperkenankan untuk menyimpangi ketentuan itu dan bagi pemegang gadai dapat diberi wewenang untuk menggunakan barang tersebut.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan lain, yaitu :

1. Sebagai pengetahuan bagi masyarakat, agar menggadaikan barangnya ke tempat yang memang berwenang untuk itu, yaitu pegadaian, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan oleh si pemegang gadai.

2. Bagi masyarakat yang memang tidak ingin untuk menggadaikan barangnya ke pegadaian agar mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing baik si pemegang gadai atau si pemberi gadai tersebut.

3. Bagi si pemegang gadai, agar mengetahui hak dan kewajibannya sehingga tidak menyalahgunakan benda gadai.


(4)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA Buku-buku

Bahsan, M., 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Echols, John M., 2002, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.


(5)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

Gautama, Sudargo., 1966, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru Tahun 1996 No. 4, Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

---, 1993, Himpunan Yurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-hari (Landmark Decisions) Berikut Komentar Jilid 7, Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya., 1993, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta : PT Gramedia Pustaka utama.

Muljadi, Kartini., dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

---, 2003, Seri Hukum Perikatan : Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

---, 2003, Seri Hukum Harta Kekayaan : Kebendaan pada Umumnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

---, 2005, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak Istimewa Gadai dan hipotek, Jakarta : Kencana.

---, 1982, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo., dan Marthalena Pohan, 1984, Bab-Bab tentang Hukum Benda, Surabaya : PT Bina Ilmu.

Prodjodikoro, Wirjono., 1973, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung : Sumur Bandung.

Satrio, J., 1993, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Sofia, Agha., 2008, Solusi Pegadaian Apa dan Bagaimana, Bandung : CV Multi Trust Creative Service.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchun., 1982, Himpunan Karya tentang Hukum Jaminan, Yogyakarta : Penerbit Liberty.

---, 1974, Hak Jaminan Atas Tanah, Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio., 1998, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT Intermasa.


(6)

Nazariah : Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai, 2008. USU Repository © 2009

---, 1982, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa.

Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Kencana.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.