xlvi pesatnya
perkembangan industri
di suatu
daerah. Perkembangan industri akan menyerap tenaga kerja dan
merangsang tumbuhnya aktivitas sektor ekonomi yang lain, seperti munculnya usaha jasa katering, transportasi, sewa lahan
dan bangunan,
hiburan, perdagangan
lembaga keuanganperbankan. Hal ini membuat perputaran roda
perekonomian di daerah semakin meningkat. Peningkatan aktivitas perekonomian akan memberikan sumbangan kepada
pendapatan daerah dalam bentuk setoran pajak antara lain : pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak penerangan jalan
umum, pajak bumi dan bangunan, pajak reklame, bea balik nama dan retribusi antara lain : retribusi ijin usahaHO,
retribusi kioslos pasar, retribusi parkir, retribusi sampah, retribusi IMB, retribusi APAR yang akan digunakan daerah
untuk membiayai pembangunan sarana prasarana umum dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.
Kemampuan daerah untuk melakukan pendanaan atas kebutuhan daerah itu sendiri menunjukkan kemandirian daerah
yang menjadi indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah.
2. Studi Empiris Hasil Penelitian Terdahulu
xlvii a. Penelitian oleh Imam Suhendro 2004 mengenai analisis
kemampuan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2001. Imam Suhendro menganalisis
kinerja ekonomi daerah sebagai basis utama mewujudkan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Yang dimaksud kinerja
otonomi daerah adalah prestasi dan kondisi ekonomi yang telah dicapai daerah dari pembangunan terdahulu. Tolok ukur kinerja
ekonomi menggunakan indikator makro ekonomi regional yakni laju pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, struktur
ekonomi, sektor unggulan, tabungan masyarakat, investasi, porsi PAD tingkat pendapatan daerah dan PAD perkapita :
1 Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita merupakan indikator efektif dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi
masyarakat 2 Investasi merupakan akumulasi modal yang mendorong
kemajuan ekonomi, tabungan masyarakat merupakan sumber investasi
3 Pendapatan Daerah
PAD mencerminkan
kemampuan ekonomi pemerintah di daerah
Dengan metode analisis tehnik bench marking, yakni membandingkan indikator ekonomi di wilayah Propinsi Daerah
xlviii Istimewa Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa kemampuan
ekonomi Kota Yogyakarta sebagai bench mark paling tinggi diantara kabupaten-kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
b. Penelitian oleh Hadi Sasana 2002 mengenai pengaruh hubungan fiskal Pemerintah Pusat – Daerah terhadap PDRB Kabupaten
Klaten, dengan variabel fiskal berupa Pendapatan Asli Daerah, penerimaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, penerimaan
Sumbangan dan Bantuan serta Tenaga Kerja. Hasilnya variabel penerimaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dan Tenaga Kerja
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi PDRB Kabupaten Klaten. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah dan
penerimaan Sumbangan dan Bantuan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan PDRB. Hubungan fiskal Pemerintah Pusat-Daerah di
Kabupaten Klaten menunjukkan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan Pemerintah Pusat.
c. Penelitian oleh Suryatini Budi Astuti 2001 mengenai Kemandirian Kota Surakarta dilihat dari posisi PAD dan
kemungkinan pengembangannya selama periode 19951996 sampai 19992000. Bahwa untuk mengetahui posisi fiskal Kota Surakarta
dapat dilakukan perbandingan antara upaya pengumpulan PAD UPP dengan tingkat PAD standar TPS. Apabila UPP lebih besar
xlix dari TPS berarti posisi fiskal kuat, tetapi apabila UPP lebih kecil
dari TPS berarti posisi fiskal lemah.UPP diperoleh dari perbandingan antara PAD Kota Surakarta dengan PDRB Kota
Surakarta. TPS diperoleh dari perbandingan PAD se-Jawa Tengah dengan PDRB se-Jawa Tengah.Dari perbandingan antara UPP dan
TPS diperoleh Indeks penampilan PAD IP PAD yang merupakan gambaran dari posisi fiskal Kota Surakarta. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa derajat desentralisasi fiskal Kota Surakarta selama periode penelitian termasuk kategori kurang mandiri.
d. Penelitian oleh Erlangga Agustino Landiyanto 2005 mengenai kinerja keuangan dan strategi pembangunan kota di era otonomi
daerah dengan studi kasus Kota Surabaya. Dalam penelitiannya dikemukakan bahwa untuk melihat kinerja keuangan daerah dapat
digunakan derajat kemandirian daerah guna mengukur sejauh mana penerimaan yang berasal dari daerah dapat digunakan untuk
membiayai kebutuhan daerah. Semakin tinggi derajat kemandirian daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu
membiayai kebutuhannya sendiri tanpa mengandalkan bantuan dari Pemerintah Pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi
fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja
keuangan daerah secara utuh.
l Secara umum, semakin tinggi kontribusi PAD dan semakin tinggi
kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini,
kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan
mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Surabaya
memiliki ketergantungan yang tinggi pada Pemerintah Pusat disebabkan belum optimalnya penerimaan dari PAD.
B. Kerangka Konseptual