Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Mayoritas responden yang melakukan pengobatan sendiri adalah umur 18 – 28 tahun, yaitu sebanyak 42 responden 43,3. Data ini dapat dilihat pada tabel 5.1. Ini dapat dikarenakan bahwa pada umur ini masyarakat rata-rata sangat produktif dan aktif, sehingga apabila memiliki suatu keluhan penyakit, mereka lebih memilih mengobati sendiri terlebih dahulu agar lebih efisien, daripada langsung berkonsultasi dengan dokter. Pada penelitian yang dilakukan di Jepang oleh Aoyama, Koyama, dan Hibino 2012, hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia tidak berpengaruh terhadap bagaimana perilaku pengobatan sendiri mereka dan terhadap pemilihan obat-obatan untuk pengobatan sendiri. Penelitian yang dilakukan pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman oleh Kristina, Prabandari, dan Sudjaswadi 2008, mayoritas responden yang melakukan pengobatan sendiri adalah berusia 30 tahun 66,7. Responden yang paling sedikit pada penelitian yang telah dilakukan adalah berusia 59 tahun, yaitu sebanyak 4 responden 4,1. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada masyarakat Nigeria oleh Afolabi 2008, yang menunjukkan bahwa rentang usia responden yang paling sedikit adalah 54 tahun 4,4. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah perempuan, yaitu sebanyak 68 responden 70,1. Data ini dapat dilihat pada tabel 5.2. Hal ini dapat terjadi karena penelitian ke rumah-rumah dilakukan oleh peneliti lebih sering pada saat siang hari, sehingga lebih banyak perempuan yang berada di lokasi penelitian, dibandingkan laki-laki yang biasanya lebih sibuk dan bekerja di luar rumah sehingga tidak banyak yang berada di lokasi saat penelitian dilakukan. Selain itu, penelitian yang dilakukan di Mexico oleh Angeles, Medina, dan Molina 1992, mengidentifikasi perempuan sebagai elemen fundamental dalam konsumsi obat-obatan dalam pengobatan sendiri. Sehingga banyak penelitian yang menunjukkan responden perempuan adalah yang terbanyak yang melakukan pengobatan sendiri. Penelitian yang dilakukan pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman oleh Kristina, Prabandari, dan Sudjaswadi 2008, juga memperoleh hasil bahwa responden perempuan adalah yang terbanyak 54,0 dibandingkan dengan responden laki-laki 46,0, dengan alasan yang diutarakan peneliti tersebut adalah bahwa perempuan banyak terlibat dalam pengobatan anggota keluarganya dibandingkan dengan responden laki-laki. Pada penelitian yang dilakukan di kota Jimma, Ethiopia oleh Worku dan Abebe 2003, juga menunjukkan bahwa responden terbanyak yang melakukan pengobatan sendiri adalah perempuan 61,9, dibandingkan laki-laki 38,1. Mayoritas responden adalah berstatus kawin, yaitu sebanyak 57 responden 58,8. Penelitian yang dilakukan pada masyarakat Nigeria oleh Afolabi 2008, juga menunjukkan bahwa responden terbanyak yang melakukan pengobatan sendiri adalah berstatus kawin 52,2 . Pada penelitian yang dilakukan di Kuala Lumpur, Malaysia oleh Hassali dkk. 2010 juga menunjukkan bahwa responden terbanyak yang melakukan pengobatan sendiri adalah berstatus kawin 57,6. Data status perkawinan ini dapat dilihat pada tabel 5.3. Karena mayoritas responden pada penelitian yang telah dilakukan ini adalah perempuan, maka hal ini dapat disebabkan karena mayoritas responden perempuan yang berstatus kawin ini lebih banyak berada di rumah untuk mengurus rumah tangga dan juga mengurus anak di rumah, sehingga lebih memilih melakukan pengobatan sendiri dengan alasan hemat waktu, dimana data penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan alasan mereka membeli obat secara bebas adalah hemat waktu. Dari tabel 5.11, alasan responden melakukan pengobatan sendiri yang paling banyak adalah hemat waktu, yaitu sebanyak 51 responden 52,6, diikuti dengan alasan hemat biaya yaitu sebanyak 32 responden 33,0. Alasan lainnya yang dikatakan beberapa responden adalah alasan penyakit ringan, dan untuk mengobati sementara. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Supardi dan Notosiswoyo 2005, yang mengatakan bahwa masyarakat melakukan pengobatan sendiri adalah dengan alasan sakit ringan, hemat biaya, dan hemat waktu, serta sifatnya sementara, yaitu penanggulangan pertama sebelum berobat ke tenaga kesehatan. Sesuai dengan penelitian-penelitian lain juga, beberapa kentungan melakukan pengobatan sendiri antara lain hemat waktu, yaitu mengurangi waktu yang digunakan dalam kunjungan ke dokter umum atas penyakit ringan atau sepele, sehingga juga dapat memberikan waktu lebih banyak kepada dokter untuk kasus yang lebih penting Webber dan Williams, 2006. Pekerjaan responden mayoritas adalah pelajarmahasiswa 26,8. Data ini dapat dilihat pada tabel 5.5. Pada penelitian yang dilakukan di RW 04 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung oleh Purwanti 2011, pekerjaan responden mayoritas adalah ibu rumah tangga 88,8. Perbedaan mayoritas pekerjaan responden ini dapat disebabkan oleh perbedaan cara pengambilan sampel pada penelitian. Pada penelitian yang dilakukan Purwanti 2011, sampel penelitian adalah keluarga yang melakukan pengobatan sendiri, dengan diwakili oleh ibu sebagai respondennya. Sedangkan pada penelitian ini, sampel yang diambil yaitu seluruh masyarakat yang tinggal di lokasi penelitian, dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah tertera pada bab 4. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman oleh Kristina, Prabandari, dan Sudjaswadi 2008, peneliti mengkategorikan pekerjaan responden menjadi bekerja dan tidak bekerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan responden terbanyak adalah yang bekerja 78,7. Data pada penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden membeli obat di apotek 51,5. Data ini dapat dilihat pada tabel 5.6. Ini menunjukkan responden membeli obat secara bebas di tempat yang layak atau benar, karena adanya keberadaan seorang apoteker di apotek yang dapat menjelaskan tentang penggunaan obat yang dibeli responden dengan benar. Keterlibatan penuh tenaga kesehatan membantu memastikan keberhasilan self care perawatan diri, yang dalam hal ini yaitu self medication pengobatan sendiri Webber dan Williams, 2006. Pada penelitian yang dilakukan pada masyarakat di RW 04 Kelurahan Dago Kecamatan Coblong Kota Bandung, oleh Purwanti 2011, menunjukkan bahwa responden paling banyak membeli obat di warung 57,2, diikuti dengan apotek 24,5. Dari tabel 5.4, dapat dilihat bahwa pendidikan terakhir mayoritas responden adalah SMASMK, yaitu sebanyak 51 responden 52,6. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cimanggis, Depok oleh Hermawati 2012, yang menunjukkan bahwa responden yang terbanyak adalah dengan pendidikan terakhir SMAsederajat 50,72. Pada penelitian yang dilakukan pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman oleh Kristina, Prabandari, dan Sudjaswadi 2008, tingkat pendidikan SMASMK dikategorikan pada tingkat pendidikan rendah. Pada penelitian tersebut, responden terbanyak yang melakukan pengobatan sendiri adalah dengan tingkat pendidikan rendah lulus SLTASLTPSD 67,2. Sedangkan yang paling sedikit melakukan pengobatan sendiri pada penelitian tersebut adalah yang lulus perguruan tinggi 32,8, yang dikategorikan oleh peneliti tersebut ke tingkat pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan responden ini mungkin dapat berpengaruh pada sumber informasi obat responden. Pada masyarakat dengan tingkat pendidikan yang kurang, mungkin mendapat sumber informasi dari kabar-kabar yang banyak didengar atau dengan kata lain dari rekomendasi orang lain. Sumber informasi obat dari temankerabat adalah sumber informasi obat yang tidak dapat dipercaya dan masyarakat dapat memperoleh informasi yang salah dari sumber informasi ini Auta, Omale, Folorunsho, David, dan Banwat, 2012. Dari tabel 5.7, sumber informasi obat yang diterima responden yang terbanyak adalah iklan media cetakelektronik, yaitu sebanyak 36 responden 37,1. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Supardi, Muktiningsih, dan Handayani 1997, yang mengatakan bahwa masyarakat yang menggunakan obat bebas mendapat informasi dari iklan telivisiradio. Sumber informasi obat yang terpercaya dapat meningkatkan pengetahuan individu dalam pengobatan sendiri Auta, Omale, Folorunsho, David, dan Banwat, 2012. Iklan saja tidak bisa menyampaikan semua informasi yang pasien perlukan untuk melakukan pengobatan sendiri dengan benar. Iklan hanya bisa menyampaikan beberapa informasi saja. Diketahui juga bahwa semakin banyak informasi di dalam iklan, semakin kecil kemungkinan informasi tertentu diingat. Oleh karena keterbatasan itu, iklan kemudian harus cukup berfokus pada apa yang dapat dilakukan, yaitu menarik perhatian pemirsa, pendengar, atau pembaca. Iklan adalah media yang tidak cocok dan terbukti tidak efektif untuk membawa suatu informasi rinci atau sangat spesifik. Informasi rinci lebih relevan pada waktu membeli suatu produk, dan kemudian ketika produk digunakan. Informasi lebih rinci ini dapat berasal dari diskusi dengan seorang tenaga kesehatan dan khususnya dalam kasus pembelian obat tanpa resep dokter, berasal dari label produk dan leaflet WSMI, 2008. Dari tabel 5.9, kelas obat yang dicantumkan adalah berdasarkan subkelas farmakologi pada indeks klasifikasi MIMS. Mayoritas responden menggunakan obat subkelas analgesik non opiat dan antipiretik, diikuti dengan subkelas obat batuk dan pilek. Subkelas obat yang paling sedikit digunakan responden adalah subkelas antihistamin dan antialergi. Dari tabel 5.8, keluhan penyakit yang paling banyak dialami responden adalah flu, yaitu sebanyak 45 responden 46,4. Sedangkan obat yang digunakan terbanyak oleh responden adalah kelas obat analgesik non opiat dan antipiretik, yaitu sebanyak 53 responden 54,6, yang dapat dilihat pada tabel 5.9. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan antara keluhan terbanyak dengan kelas obat yang terbanyak digunakan adalah tidak sejalan, yang menunjukkan bahwa beberapa responden melakukan pengobatan sendiri dengan tidak tepat pemilihan obat. Ini bisa disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk membaca indikasi yang tertera pada kemasan obat. Selain itu, jika responden membeli obat di apotek, ini dapat juga terjadi karena lemahnya regulasi yang mungkin terjadi pada apotek dimana responden membeli obat, sehingga informasi dari apoteker tidak tersalurkan kepada responden yang membeli obat. Ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Hermawati 2012, yang menunjukkan hasil bahwa jenis obat yang paling banyak digunakan oleh responden berasal dari kelas obat batuk dan pilek, yang mayoritas keluhan yang dialami adalah flu, yang artinya jumlah responden terbanyak yang menggunakan kelas obat batuk dan pilek sejalan dengan keluhan terbanyak yang dialami responden yaitu flu. Responden terbanyak menggunakan obat bebas terbatas, yaitu 44 responden 45,4, yang diikuti dengan jumlah responden yang menggunakan obat bebas, yaitu 42 responden 43,3. Ini menunjukkan bahwa responden mayoritas melakukan pengobatan sendiri sesuai dengan aturan, yaitu tepat golongan obat. Dari tabel 5.10, dapat dilihat bahwa masyarakat masih ada yang menggunakan obat keras, yaitu sebanyak 11 responden 11,3. Hal ini menunjukan bahwa responden menggunakan golongan obat yang tidak tepat, yaitu obat keras. Obat keras seharusnya tidak dapat dibeli secara bebas oleh masyarakat, dan hanya boleh dibeli dengan resep dokter Depkes RI, 1997. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cimanggis, Depok oleh Hermawati 2012, yang menemukan penggunaan obat seorang responden yang berasal dari golongan obat yang tidak tepat, yaitu golongan obat keras. Pada penelitian yang dilakukan di RW 04 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung oleh Purwanti 2011, juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa pemakaian obat keras dalam pengobatan sendiri yang dilakukan masyarakat tersebut. Penggunaan antibiotic yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi antibiotic, yang merupakan masalah utama di seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang Auta, Omale, Folorunsho, David, dan Banwat, 2012. Mayoritas responden memiliki pengetahuan pengobatan sendiri yang terbatas. Dapat dilihat dari tabel 5.12, bahwa hanya 19 responden 19,6 yang memiliki pengetahuan yang baik. Sedangkan mayoritas responden memiliki pengetahuan sedang, yaitu sebanyak 60 responden 61,9. Dan masih ada juga beberapa responden yang memiliki pengetahuan yang buruk, yaitu sebanyak 18 responden 18,6. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di tiga kelurahan kota bogor oleh Supardi dan Notosiswoyo 2006, yang menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang pengobatan sendiri yang baik masih terbatas. Seperti yang dikemukakan Auta dkk. 2012, sumber informasi obat yang terpercaya dapat meningkatkan pengetahuan individu dalam pengobatan sendiri. Tetapi dari data yang didapatkan, mayoritas responden memperoleh informasi dari iklan media cetakelektronik, dimana sumber informasi ini tidak bisa menyampaikan semua informasi yang pasien perlukan untuk melakukan pengobatan sendiri dengan benar WSMI, 2008. Sebagian besar penelitian yang dilakukan menunjukkan populasi respondennya bergantung pada sumber-sumber informasi seperti media iklan, rekomendasi temanorang lain, maupun internet, dimana dikemukakan juga oleh Auta dkk. 2012 bahwa sumber informasi tersebut adalah sumber infromasi obat yang tidak dapat diandalkan karena dapat menyebabkan salah informasi atau informasi yang diperoleh kurang jelas sehingga dapat menyebabkan mispersepsi. Maka, sebaiknya masyarakat dapat memperoleh informasi tentang obat yang layak dan terpercaya Auta, Omale, Folorunsho, David, dan Banwat, 2012. Selain itu, dari tabel 5.13, soal 2 pada kuesioner pengetahuan, yang menanyakan apakah obat yang memiliki tanda lingkaran warna hijau atau biru pada kemasannya adalah obat yang boleh dibeli tanpa resep dokter, menunjukkan bahwa mayoritas responden menjawab tidak tahu, yaitu sebanyak 65 responden 67,0. Ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang label obat yang kurang, dan mungkin kurangnya kesadaran masyarakat untuk membaca label pada kemasan obat. Ini seusai pada penelitian yang dilakukan Kristina, Prabandari, dan Sudjaswadi 2008, yang mengatakan bahwa kesadaran masyarakat untuk membaca label pada kemasan obat masih kecil. Dari soal 6 pada kuesioner pengetahuan, yang menanyakan apakah parasetamol sebagai obat demam tanpa resep dokter boleh diminum hingga lebih dari 2 hari, menunjukkan bahwa sebagian besar responden menjawab ya 48,5. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mengetahui bahwa parasetamol tidak boleh diminum lebih dari 2 hari apabila dibeli tanpa resep dokter Depkes RI, 2006. Hal ini dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada masyarakat yang tidak mengetahui hal ini. Dari soal 9 pada kuesioner pengetahuan, mayoritas responden 90,7 mengetahui bahwa indikasi yang ada di kemasan obat berisi keterangan tentang penyakit yang dapat diobati obat tersebut. Tetapi dari data distribusi jenis obat yang paling banyak digunakan adalah kelas obat analgesik non opiat dan antipiretik. Data distribusi obat ini tidak sebanding dengan keluhan penyakit mayoritas responden, yaitu flu. Ini menunjukkan bahwa terdapat sejumlah responden yang mengonsumsi obat tidak tepat indikasi, padahal sebagian besar responden mengetahui bahwa indikasi obat tercantum di kemasan dan mengerti apa itu indikasi. Ini berarti mereka sebenarnya memiliki pengetahuan akan hal tersebut, tetapi belum mengaplikasikan pengetahuan mereka yaitu membaca dan dan mengikuti indikasi yang tertera pada kemasan obat pada saat melakukan pengobatan sendiri, sehingga terjadi kejadian penggunaan obat yang tidak tepat indikasi. Mereka mungkin hanya mengandalkan informasi dari teman, iklan, dan sumber informasi lain yang kurang terpercaya, tetapi mereka sendiri tidak membaca dan memastikan informasi tersebut dengan cara membaca label khususnya indikasi yang tertera pada kemasan obat yang dibelinya. Sikap masyarakat terhadap pengobatan sendiri mayoritas adalah sedang, yaitu sebanyak 83 responden 85,6. Dari tabel 5.15, menunjukkan bahwa masyarakat mayoritas setuju bahwa pengobatan sendiri lebih menguntungkan masyarakat. Kenyataannya, pengobatan sendiri tidak selalu menguntungkan masyarakat. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Supardi dan Notosiswoyo 2005, yang mengatakan bahwa adapun kekurangan pengobatan sendiri adalah obat dapat membahayakan kesehatan apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan. Terdapat 3 responden 3,1 yang sangat setuju pada pernyataan bahwa pengobatan sendiri lebih murah, dan yang setuju sebanyak 29 responden 29,9. Kenyataannya, tidak selamanya pengobatan sendiri itu lebih murah. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Supardi dan Notosiswoyo 2006, yang mengatakan bahwa pengobatan sendiri yang tidak sesuai aturan selain dapat membahayakan kesehatan, juga pemborosan waktu dan biaya karena harus melanjutkan upaya pencarian pengobatan. Dari data jawaban responden pada kuesioner sikap juga menunjukkan bahwa mayoritas responden sangat seuju 42,3 dan setuju 41,2 terhadap pernyataan bahwa penggunaan obat pada pengobatan sendiri yang tidak sesuai dengan aturan dapat membahayakan kesehatan. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden bersikap baik terhadap hal tersebut. Tetapi kenyataannya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada responden melakukan pengobatan sendiri dengan tindakan tidak benar yang tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap hal ini. Beberapa dari mereka saat wawancara dilakukan menyatakan tidak mematuhi aturan pakai, bahkan ada yang tidak membaca aturan pakai obat. Data ini dapat dilihat pada tabel distribusi jawaban responden untuk kuesioner tindakan tabel 5.17. Bahkan ada juga beberapa responden mengatakan bahwa mereka tidak mengikuti dosis yang tertera pada kemasan obat, dan beberapa mengatakan mereka tidak membaca sama sekali dosis yang tertera pada kemasan obat. Tindakan ini sangat membahayakan responden yang melakukan pengobatan sendiri. Sikap dan tindakan responden terhadap hal ini tidak sejalan. Ini bisa saja terjadi. Sikap akan terwujud dalam tindakan tergantung dari pada situasi saat itu serta mengacu pada pengalaman orang lain di sekitarnya, sehingga mudah atau sulit sekali berperilaku atau bertindak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan Jihani, 2014. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung. Tetapi hal itu juga belum menjamin terjadinya perilaku terbuka atau tindakan nyata seseorang atau masyarakat, sehingga diperlukan faktor penguat untuk menjaminnya, antara lain tokoh masyarakat, peraturan, undang-undang, surat-surat keputusan dari para pejabat pemerintahan pusat atau daerah Lawrence Green, 1980, dalam Notoatmodjo, 2010. Tindakan responden pada penelitian ini didapatkan bahwa mayoritas responden memiliki tindakan yang sedang, yaitu sebanyak 52 responden 53,6, yang dapat dilihat pada tabel 5.16. Ini sejalan dengan mayoritas tingkat pengetahuan responden, yang mayoritas tingkat pendidikan adalah sedang. Diikuti dengan tindakan baik, yaitu sebanyak 40 responden 41,2. Ini berarti bahwa tindakan responden sebenarnya cukup baik walaupun tingkat pengetahuan mereka sebenarnya masih terbatas. Ini bisa terjadi karena masyarakat yang menjadi responden ini melakukan pengobatan sendiri sesuai dengan pengalamannya selama ini, dan dari pengalaman keluarganya, yang mungkin tingkat pengetahuan keluarganya terhadap pengobatan sendiri adalah tinggi. Namun, dari hasil yang didapatkan, ada beberapa responden yang tindakannya buruk 5,2. Dari wawancara yang dilakukan, sejumlah responden tidak membaca etiket obat yang tertera. Hal ini dapat menimbulkan efek pengobatan sendiri yang tidak sesuai aturan dan dapat membahayakan responden tersebut.

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari kuesioner yang ditanyakan melalui wawancara kepada responden, yaitu masyarakat di Lingkungan II Kelurahan Babura Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, maka kesimpulan yang didapatkan adalah: 1. Tingkat pengetahuan mayoritas responden adalah sedang, yang menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang pengobatan sendiri masih terbatas. Tingkat pengetahuan baik adalah sebanyak 19 responden 19,6, tingkat pengetahuan sedang adalah sebanyak 60 responden 61,9, dan tingkat pengetahuan buruk adalah sebanyak 18 responden 18,6. 2. Mayoritas responden memiliki sikap yang sedang terhadap pengobatan sendiri. Sikap baik adalah sebanyak 5 responden 5,2, sikap sedang adalah sebanyak 83 responden 85,6, dan sikap buruk adalah sebanyak 9 responden 9,3. 3. Mayoritas responden melakukan pengobatan sendiri dengan tindakan sedang. Tindakan baik adalah sebanyak 40 responden 41,2, tindakan sedang adalah sebanyak 52 responden 53,6, dan tindakan buruk sebanyak 5 responden 5,2. 4. Rentang usia mayoritas responden adalah 18 – 28 tahun 43,3, jenis kelamin mayoritas responden adalah perempuan 70,1, mayoritas responden berstatus kawin 58,8, tingkat pendidikan mayoritas responden adalah SMASMK 52,6, dan jenis pekerjaan mayoritas responden adalah pelajarmahasiswa 26,8. 5. Mayoritas responden membeli obat di apotek 51,5. Sumber informasi obat responden terbanyak adalah iklan media cetakelektronik 37,1. 6. Keluhan penyakit responden terbanyak adalah flu 46,4. Jenis obat yang paling banyak digunakan adalah analgesik non-opiat dan antipiretik