REPRESENTASI BUDAYA KORUPSI ( Studi Semiotik Terhadap Representasi Budaya Korupsi Dalam Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Wani Piro” di Televisi ).

(1)

( Studi Semiotik Terhadap Representasi Budaya Korupsi Dalam

Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Wani Piro” di Televisi )

SKRIPSI

OLEH :

RIFQI KURNIA HADI

NPM: 0643010315

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JAWA TIMUR

SURABAYA


(2)

DISUSUN OLEH :

Rifqi Kurnia Hadi

0643010315

Telah disetujui mengikuti Ujian Proposal Skripsi

Menyetujui,

Pembimbing

Zainal Abidin A, S.Sos, M.Si, MEd

NPT : 373 05 99 00 1701

Mengetahui

Ketua Program Studi

Juwito,S Sos, Msi

NPT : 36704 95 0036 1


(3)

hidayahnya sehingga penyusunan skripsi dengan judul REPRESENTASI BUDAYA

KORUPSI. Iklan ini yang di jadikan sebagai studi semiotik oleh penulis dapat

berjalan dengan lancar serta penyusunan dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik.

Dalam Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari segala bimbingan dan

dukungan semua pihak dan pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu menyelesaikan dalam

menyelesaikan laporan magang, diantaranya :

1.

Ibu Dra. Hj. Suparwati,M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UPN “Veteran” Jawa Timur

2.

Bapak Juwito,S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

3.

Bapak Zainal Abidin A. S. Sos, Med, M. Si selaku dosen pembimbing skripsi

penulis.

4.

Dosen-dosen Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu dan

dorongan dalam penyelesaian skripsi ini.

5.

Staff-staff dan pegawai di TU yang telah membantu saya dalam mempersiapkan

syarat-syarat ujian lesan.


(4)

7.

Sahabat saya, Freelance community, Little Breakin Crew dan yang lainnya yang

tidak bisa disebutkan satu-satu.

8.

Semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat

kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang

sangat di harapkan demi kesempurnaan skripsi ini dan pada akhirnya dengan segala

keterbatasan yang penulis miliki semoga laporan ini dapat bermanfaat pada bagi

semua pihak umumnya dan penulis pada khususnya.

Surabaya, 8 Juni 2011


(5)

HALAMAN PENGESAHAN ...

ii

DAFTAR ISI ...

iii

KATA PENGANTAR ……….

v

ABSTRAKSI ………

vii

BAB I

PENDAHULUAN ...

1

1.1.

Latar Belakang Masalah ...

1

1.2.

Perumusan Masalah ...

6

1.3.

Tujuan Penelitian ...

7

1.4.

Kegunaan Penelitian ...

7

1.4.1.

Kegunaan Teoritis ...

7

1.4.2.

Kegunaan Praktis ...

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA ...

8

2.1.

Landasan Teori ...

8

2.1.1.

Peranan dan Fungsi Iklan ...

8

2.1.2.

Televisi Sebagai Media Iklan ...

11

2.1.3.

Jenis-jenis Iklan Televisi dan Elemen-elemennya ..

13

2.1.4.

Konsep Makna ...

15

2.1.5.

Pendekatan Semiotik Dalam Iklan Televisi ...

16

2.1.6.

Pengertian dan Arti Korupsi………. 21

2.1.7.

Semiologi John Fiske ...

22

2.1.8.

Iklan Djarum 76 Versi “Wani Piro” ...

28

2.1.9.

Kerangka Berpikir ...

29

BAB III

METODE PENELITIAN ...

31

3.1.

Konsep Penelitian ...

32

3.2.

Korpus Penelitian ...

33

3.3.

Unit Analisis ...

36

3.4.

Teknik Pengumpulan Data ...

37

3.5.

Teknik Analisis Data ...

38

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 40

4.1. Gambaran Umum Perusahaan ……….

40

4.2. Penyajian Data ………

43

4.3. Analisis Data ………. ..

45

4.3.1 Analisis Tampilan Visual Dalam Scene Iklan

Djarum 76 Versi “Wani Piro” ………..

45


(6)

4.3.1.5. Tampilan Visual Scene ……… 57

4.3.1.6. Tampilan Visual Scene ……… 60

4.3.1.7. Tampilan Visual Scene ……… 63

4.4. Narasi Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Wani Piro”………… 66

4.5. Makna Iklan Rokok Djarum 76 versi “Wani Piro” di Televisi

Dengan Pendekatan Semiotika John Fiske ………..

66

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN……….

68

5.1. Kesimpulan ………..

68

5.2. Saran ………

68

DAFTAR PUSTAKA ...

70


(7)

Representasi Budaya Korupsi (Studi Semiotik Terhadap

Representasi Budaya Korupsi Dalam Iklan Rokok Djarum 76

Versi “Wani Piro” di Televisi)

Tujuan dari penelitan ini adalah untuk mengetahui representasi budaya

korupsi yang terkandung pada iklan rokok Djarum 76 Versi “Wani Piro” di

televisi.

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kode televisi

John Fiske yang membaginya menjadi 3 level yaitu : level realitas, level

representasi, dan level ideologi. Sumber atau teori tersebut di gunakan sebagai

dasar atau acuan dalam pembahasan penelitian.

Korpus dari penelitian ini adalah tiap potongan

scene

iklan produk rokok

Djarum 76 versi “Wani Piro” di televisi. Total potongan

scene

dalam iklan

Djarum 76 versi “Wani Piro” ini terdiri dari 9

scene.

. Analisis semiotik ini di

interpretasikan dengan menggunakan pendekatan John Fiske.

Dari hasil interpretasi, maka representasi budaya korupsi pada iklan rokok

Djarum 76 versi “Wani Piro” dipersepsikan bahwa korupsi dan pungutan liar

sering kali terjadi dan bahkan sudah membudaya di semua lapisan masyarakat

negara kita.


(8)

1.1. Latar Belakang Masalah

Iklan (advertising) berasal dari kata yunani yang kurang lebih artinya adalah menggiring orang pada gagasan. proses penyampaian pesan atau informasi kepada sebagian atau seluruh khalayak dengan menggunakan media. Iklan atau periklanan didefinisikan sebagai kegiatan berpromosi atau berkampanye melalui media masa ( Wibowo, 2003 : 5 )

Iklan dapat digunakan untuk membangun citra jangka panjang suatu produk atau sebagai pemicu penjualan-penjualan cepat. Disadari atau tidak, iklan dapat berpengaruh tetapi juga dapat berlalu begitu cepat. Oleh karenanya, aktifitas perpindahan informasi tentang produk yang diiklankan pada khalayak harus mengandung daya tarik setelah pemirsa atau khalayak mengetahui sehingga mampu menggugah perasaan. Untuk menampilkan kekuatan iklan tidak hanya sekedar menampilkan pesan verbal tetapi juga harus menampilkan pesan nonverbal yang mendukung iklan ( Widyatama, 2006:16 )

Ada dua sudut pandang tujuan periklanan, yaitu sudut pandang perusahaan dan sudut pandang konsumen. Dari sudut pandang perusahaan, menurut Robert V. Zacher (Sumartono, 2002:66), tujuan periklanan diantaranya adalah :

a. Menyadarkan komunikan dan member informasi tentang suatu barang dan jasa atau ide.

b. Menimbulkan dalam diri komunikan suatu perasaan suka akan barang dan jasa ataupun ide yang disajikan dengan memberi prefensi kepadanya. “


(9)

c. Meyakinkan komunikan akan kebenaran tentang apa yang dianjurkan dalam iklan dan karenanya menggerakkan untuk berusaha memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang dianjurkan.”

Sedangkan dari sudut pandang konsumen, iklan dipandang sebagai suatu media penyedia informasi tentang kemampuan ,harga, fungsi produk maupun atribut lainnya yang berkaitan dengan suatu produk

Iklan sangat erat kaitannya dengan media massa, karena iklan menggunakan media massa untuk sebagai medianya untuk beriklan. Media massa sendiri terbagi menjadi 2 yaitu media cetak (Surat kabar, Tabloid, Majalah) dan media elektronik yaitu televisi dan radio yang juga menyajikan berbagai informasi.Dengan adanya iklan melalui media cetak maupun media elektronik diharapkan dapat memberikan nilai yang lebih, untuk menjamin ketertarikan konsumen terhadap barang dan jasa yang diiklankan. Terkadang sebuah iklan senantiasa diingat oleh konsumen dari tanda-tandanya, seperti gambarnya yang menarik atau hiasannya yang unik (bukan nama pengiklan atau penawaran yang diajukannya). Karena pada akhirnya jika seorang mengingat tanda-tanda khas dari suatu iklan ia akan terdorong untuk mengingat dan mengidentifikasikan hal-hal yang penting lainnya yang tertera pada iklan tersebut. (Jefkins, 1995:16-17).

Media elektronik melakukan perkembangan sesuai permintaan pasar. Perkembangan media elektronik dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Bentuk TV digital mendapat kemajuan menjadi TV kabel dan situs Youtube yang fenomenal dalam hal video online merupakan salah satu dari beberapa bentuk perkembangan media elektronik tersebut. Pada dunia penyiaran televisi, perkembangan ini juga terasa pada segmentasi yang diterapkan TV swasta di Indonesia


(10)

Televisi merupakan salah satu media dalam beriklan yang menggunakan warna, suara, gerakan dan musik atau dapat disebut sebagai media audio visual sehingga televisi sebagai media beriklan terbukti merupakan media komunikasi yang paling efektif dan efisien sebagai media untuk informasi produk dan citra perusahaan dan meyakinkan komunikan akan kebenaran tentang apa yang dianjurkan dalam iklan dan karenanya menggerakkan untuk berusaha memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang dianjurkan. Kelebihan dan kekuatan teknologis yang dimilikinya, memungkinkan tercapainya tingkat efektifitas dan efisiensi yang diharapkan oleh suatu perusahaan atau lembaga lainnya. Luasnya jangkauan televisi yang dapat ditempuh dalam waktu bersamaan secara serentak, pesan dan informasi yang disampaikan melalui televisi mampu menjangkau jutaan khalayak sasarannya ( Sumartono, 2001:20 )

Televisi merupakan salah satu media yang termasuk dalam kategori above the line. Sesuai dengan karakternya, iklan televisi mengandung unsur suara, gambar dan gerak, oleh karena itu pesan yang disampaikan melalui media ini sangat menarik perhatian dan impresif.

Iklan pada televisi pun beraneka ragam dan apabila dilihat dari tujuannya, ada beberapa jenis iklan menurut (Ratno, 2002: 108) :

a. Iklan Komersial yaitu iklan yang bertujuan untuk mendukung kampanye pemasaran suatu produk atau jasa.

b. Iklan yang bertujuan membangun citra suatu perusahaan yang pada akhirnya diharapkan juga membangun citra positif produk-produk atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan tersebut.

c. Iklan Layanan Masyarakat merupakan bagian dari kampanye social marketing yang bertujuan menjual gagasan atau ide untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat”.


(11)

Dari sekian banyak iklan komersial pada televisi, rokok termasuk ke dalam kategori iklan yang terbatas dalam menvisualisasi kelebihan produknya dibandingkan iklan lainnya. Oleh karena itu, iklan rokok hanya boleh menampilkan image atau citra produk tanpa adanya perwujudan dari produk rokok tersebut. Banyak produk iklan rokok yang lari dengan menggunakan pendekatan citra.

Peraturan tentang iklan rokok di televisi tercantum dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia ( TKTCPI ) ini tercantum sebagai berikut:

a. Iklan tidak boleh mempengaruhi atau merangsang orang untuk mulai merokok.

b. Iklan tidak boleh menyarankan bahwa merokok adalah hal yang sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan.

c. Iklan tidak boleh menggambarkan orang merokok dalam kegiatan-kegiatan yang dapat membahayakan keselamatan. d. Iklan tidak boleh menampilkan ataupun ditujukan terhadap

anak-anak di bawah usia 16 tahun dan wanita hamil.

e. Iklan rokok tidak boleh dimuat pada media periklanan yang khalayak sasaran utamanya adalah anak-anak di bawah usia 16 tahun.”

(http://www.p3i‐pusat.com)

Tata krama dan tata cara periklanan Indonesia (TKTCPI) diatas semakin mempersempit ruang gerak para produsen beserta biro iklan rokok. Untuk menampilkan ide-ide atau konsep-konsep yang lebih kreatif, sehingga untuk memvisualisasikan sebuah iklan rokok tanpa harus menampilkan bentuk dan perwujudan rokok akan tetapi dapat mengetahui jenis produk yang diiklankan.

Para pembuat iklan rokok di televisi dalam menampilkan produknya harus berpikir dua kali di dalam pembuatan iklan produk mereka dan berusaha untuk lebih berpikir kreatif dalam pembuatan iklan produk mereka di televisi. Karena kreatifitas sangat diperlukan dalam beriklan terutama pada media televisi.


(12)

Semakin menarik iklan yang ditampilkan maka akan semakin banyak khalayak yang tertarik dengan iklan itu.

Melalui biro-biro iklannya, perusahaan rokok berusaha untuk menciptakan karakter yang kuat atas produknya. Hal tersebut mendorong tim kreatif biro iklan televisi berusaha untuk mencari ide-ide segar dan inovatif dalam penyusunan konsep sebuah iklan rokok. Misalnya iklan rokok dalam televisi, Djarum Super menampilkan maskulinitas dan petualangsejati, kebudayaan dan alam Indonesia sebagai tampilan iklan rokok Djarum Coklat, Cita rasa yang ringan dari Sampoena Mild, dan Gudang Garam Merah dengan slogan “Selera Pemberani”.

Sejauh ini hampir semua iklan rokok di televisi pada umumnya menampilkan laki-laki macho, pemberani dan pahlawan. Di dalam iklan ini mereka terlihat jelas sisi maskulinitasnya, misalnya aktifitas olahraga menantang, memperlihatkan otot, kejantanan dan keberanian yang kebanyakan dilakukan di alam bebas. Dengan demikian iklan rokok berkreasi dengan pendekatan citra yang mencerminkan produknya, khalayak sasarannya, atau perusahaannya. Pesan iklan rokok membawa nilai dan makna budaya tertentu yang menjadi citra khas produk rokok dan ingin disampaikan pada target marketnya.

Iklan rokok selalu memiliki kreatif dalam menyampaikan pesannya yang mengandung makna. Ketertarikan peneliti pada pemilihan iklan rokok Djarum 76 versi Wani Piro sebagai obyek penelitian karena selain iklan tersebut masih ditayangkan dan baru serta ranah pesan dengan 2 (dua) bahasa Jawa dan Indonesia. Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk dari script iklan


(13)

perpaduan dari 2 bahasa Jawa dan Indonesia sehingga penampilan orang yang terlibat memiliki variasi dalam iklan

Visualisasi teks iklan tersebut diawali dengan adanya seorang warga yang datang mengurus admnistrasi di kantor instansi (Pajak, karena ada sosok mirip Gayus-nya). Seorang warga itu selanjutnya digambarkan tengah menghadap petugas mirip Gayus. Dengan kode dan isyarat jari, sosok mirip Gayus itu pun digambarkan meminta uang sogokan atau pungli (pungutan liar). Melihat tindakan sosok mirip Gayus itu, si warga pun mengumpat. Si warga kemudian berjalan keluar meninggalkan kantor. Saat berjalan, ia kemudian tersandung Poci. Tak disangka poci itu berisi Jin Jawa yang siap mengabulkan satu permintaan dari orang yang membebaskannya (si warga). Si warga pun meminta korupsi, pungli, sogokan hilan g dari muka bumi. Sambil mengelus dada dan pasang muka sok bijak, si Jin pun meminta sogokan juga.

Berdasarkan uraian di atas maka pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk melakukan sebuah studi semiologi untuk mengetahui pemaknaan dari iklan rokok Djarum 76 versi “Wani Piro” dengan menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang peneliti uraikan di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:


(14)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna iklan rokok Djarum 76 versi “Wani Piro” di televisi

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atas wawasan serta bahan referensi bagi mahasiswa komunikasi pada jenis penelitian semiologi, serta seluruh mahasiswa pada umumnya agar dapat diaplikasikan untuk perkembangan ilmu komunikasi.

1.4.2. Kegunaan Praktis

a. Diharapkan dapat menjadi bagian kerangka acuan bagi pihak produsen maupun biro iklan untuk menghasilkan strategi kreatif iklan yang lebih inovatif dan variatif dalam menggambarkan iklan sebagai realitas kehidupan, cermin budaya masyarakat, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.

b. Menambah referensi bagi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur, khususnya mengenai studi semiologi tentang analisis iklan televisi.


(15)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Peranan dan Fungsi Iklan

Periklanan adalah metode komunikasi umum yang membawa pesan berupa fenomena bisnis modern yang dimana suatu cara untuk menciptakan kesadaran pilihan. Tidak ada perusahaan yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis tanpa mengandalkan iklan. Demikian pentingnya peran iklan dalam bisnis modern sehingga salah satu bonafiditas perusahaan terletak pada berapa besar dana yang dialokasikan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan juga merupakan jendela kamar dari sebuah perusahaan. Keberadaannya menghubungkan perusahaan dengan masyarakat, khususnya konsumen.

Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran, yakni sebagai logika pemasaran yang dimana dipakai sebagai unit bisnis untuk mencapai tujuan pemasaran (Kotler, 1991:416). Kegiatan komunikasi adalah sebagai penciptaan interaksi perorangan dengan menggunakan tanda-tanda yang tegas (Liliweri, 1991:20). Komunikasi juga berarti pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi komunikasi, rekayasa unsure pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya disampaikan.


(16)

Periklanan menurut kacamata periklanan Indonesia adalah suatu pesan yang dibayar dan disampaikan melalui sarana media, antara lain : pers, radio, televisi, bioskop, yang bertujuan membujuk konsumen untuk melakukan tindak membeli atau mengubah perilakunya (Nuradi, 1996:4). Iklan pada dasarnya adalah produk kebudayaan massa. Produk kebudayaan masyarakat industry yang ditandai oleh produksi dan konsumsi massa. Massa dipandang tidak lebih dari konsumen dimana nilai-nilai kebudayaan massa hanya sebagai kepraktisan dan pemuasan jangka pendek (Jefkins, 1996:27). Hubungan konsumen dengan produsen adalah hubungan komersial semata saja. Interaksinya, tidak ada fungsi lain selain memanipulasi kesadaran, selera, dan perilaku konsumen. Iklan merupakan cara yang efektif untuk menyebarkan pesan, apakah itu bertujuan membangun preferensi merek atau mengedukasi masyarakat. Iklan lebih diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli. Iklan memiliki empat fungsi utama, yaitu : informative, persuading, reminding, dan Entertanment. Dari keempat fungsi utama iklan tadi dimanfaatkan sedemikian rupa oleh creator iklan (dalam hal ini advertising agency dan Production House (PH), atas kesepakatan ide dengan pengiklan) untuk menciptakan pesan yang menarik. Sehingga tak jarang creator iklan baik versi cetak dan elektronik (yang ada di radio dan televisi) menggunakan ide-ide nakal, unik dan membuat orang penasaran.

Iklan sebagai salah satu bentuk manisfestasi budaya pop, tidak semata-mata bertujuan menawarkan dan mempengaruhi pada (calon) konsumen untuk membeli produk-produk barang atau jasa, melainkan juga turut menanamkan nilai-nilai tertentu yang secara latent atau semu tersirat di dalamnya. Hamelink


(17)

(1983) menyatakan bahwa iklan merekayasa kebutuhan dan menciptakan ketergantungan psikologis (Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim, 1997:158). Dalam penyampaian pesannya, iklan selalu menyesuaikan dengan kondisi social budaya dalam masyarakat yang akan mereka tuju.

Iklan mempunyai fungsi sangat luas menurut Alo Weri dalam (Widyatama, 2006:144-146), yaitu adalah :

1. Fungsi Pemasaran.

Fungsi pemasaran adalah fungsi iklan yang diharapkan untuk membantu pemasaranatau menjual produk. Artinya iklan digunakan untuk mempengaruhi khalayak untuk member dan mengkonsumsi produk. Hampir semua iklan komersial memiliki fungsi pemasaran”.

2. “Fungsi Komunikasi

Fungsi komunikasi adalah sebentuk pesan dari komunikator kepada khalayaknya. Sama halnya dengan berbicara kepada orang lain, maka iklan juga merupakan pesan yang menghubungkan antara komunikator dengan komunikan”. 3. Fungsi Pendidikan

Fungsi ini mengandung makna bahwa iklan merupakan alat yang dapat membantu mendidik khalayak mengenai sesuatu, agar mengetahui dan mampu melakukan sesuatu. Mendidik dalam hal ini cenderung diartikan dalam perspektif kepentingan komersialisme, industrialism, dan kapitalisme. Artinya situasi khalayak yang sudah terdidik tersebut dimaksudkan agar khalayak siap menerima produk yang dihasilkan produsen”.

4. Fungsi Ekonomi

Fungsi ekonomi mengandung makna bahwa iklan mampu menjadi penggerak ekonomi agar kegiatan ekonomi tetap dapat berjalan. Fungsi ini terjadi karena melalui iklan, masyarakat menjadi terbujuk untuk membeli barang dan melakukan konsumerisme”.

5. Fungsi Sosial

Dalam fungsi ini, iklan telah mampu menghasilkan dampak social psikologis yang cukup besar. Iklan membawa berbagai pengaruh dalam masyarakat, seperti munculnya budaya konsumerisme, menciptakan status social baru, menciptakan budaya pop dan sebagainya.”


(18)

Selain itu, iklan juga mampu berfungsi sebagai penyambung komunikasi antar personal. Sering terjadi di tengah kehidupan masyarakat, iklan dijadikan sebagai sarana untuk berbasa-basi guna mengawali komunikasi maupun mencairkan suasana yang terjadi antara seseorang dengan orang lain.

2.1.2 Televisi Sebagai Media Iklan

Pada dasarnya media televisi bersifat hanya sekilas dan penyampai pesannya dibatasi oleh durasi (jam, menit, detik). Pesan dari televisi tidak dapat di ulang kecuali bila direkam. Pesan di media televisi memiliki kelebihan tersendiri karena tidak hanya dapat didengar tetapi juga dapat dilihat dalam gambar bergerak (audia visual). Televisi merupakan media yang paling disukai oleh para pengiklan. Hal tersebut disebabkan keistimewaan televisi yang mempunyai unsur audio visual sehingga para pengiklan percaya bahwa televisi mampu menambah daya tarik iklan dibandingkan media lain. Televisi diyakini sangat berorientasi mengingatkan khalayak sasaran terhadap pesan yang akan disampaikan (Kasali, 1992:172).

Teknik visualisasi adalah salah satu bagian dari unsur iklan, yang merupakan teknik-teknik pekerjaan yang dipadukan sedemikian rupa dengan merekayasa gambar atau produk yang ingin ditampilkan secara audio visual menjadi sebuah karya seni yang dapat mempengaruhi khalayak. Sehingga gambar dapat menarik perhatian khalayak atau pemirsa.

Unsur-unsur iklan yang dimaksud adalah bagian-bagian dalam iklan yang ditayangkan di televisi, yang terdiri dari video, suara (audio), model (talent),


(19)

peraga (props), latar (settings), pencahayaan (lighting), grafik (graphic), kecepatan (pacing). (Wells, Burnet & Moriarty, 1999:391-394).

1. Unsur video meliputi segala sesuatu yang ditampilkan di layar yang bias dilihat pada iklan di televisi merupakan stimulus yang merangsang perhatian khalayak atau dijadikan perhatian karena pada dasarnya manusia secara visual tertarik pada obyek yang bergerak. Dengan kata lain manusia lebih tertarik pada iklan display yang bergerak.

2. Unsur suara atau audio dalam iklan televisi, pada dasarnya sama dengan di radio, yaitu dengan memanfaatkan music, lagu-lagu singkat (jingle), atau suara orang (voice). Misalnya, seorang model iklan menyampaikan pesan, langsung kepada khalayak melalui dialog yang terekam pada kamera.

3. Unsur actor atau model iklan (talent) juga menjadi unsure penting dalam iklan. Sebagaimana banyak studi yang menunjukkan bahwa keefektifan komunikasi juga ditentukan oleh ciri-ciri dari komunikator, seperti kredibilitas dan daya tarik.

4. Alat Peraga (props) adalah peralatan-peralatan lain yang digunakan untuk mendukung pengiklanan sebuah produk. Misalnya, untuk mengiklankan sebuah rokok akan terlihat lebih menarik yang mendukung keberadaan seorang model iklan yang berpenampilan menarik. Unsur utama alat peraga ini harus merefleksikan karakter, kegunaan, dan keuntungan produk, seperti logo, kemasan dan cara penggunaan suatu produk.

5. Latar atau suasana (setting) adalah tempat atau lokasi dimana pengambilan gambar (shooting) ketika adegan tertentu dalam iklan itu berlangsung. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan tema iklan.

6. Unsur pencahayaan (lighting) sangat penting untuk menarik perhatian khalayak dalam menerima suatu obyek tentang kejelasan gambar.

7. Unsur gambar atau tampilan yang bias dilihat pada iklan di televisi merupakan stimulus yang merangsang perhatian khalayak dalam menerima kehadiran sebuah obyek, dan diharapkan khalayak lebih mudah menerima dan mempersepsikan makna yang disampaikan. Unsur gambar ini misalnya mengandalkan kompsisi warna atau bahasa tubuh (gesture) dari pemeran iklan.

8. Unsur Kecepatan atau pengulangan merupakan unsure yang sering dipakai, yaitu dengan melakukan pengulangan slogan-slogan atau kata-kata. Sebagai contoh misalnya pengulangan nama merk atau keunggulan produk dibandingkan yang lain. “


(20)

Sebagaimana teori dalam gaya bahasa bahwa sesuatu hal yang disampaikan berkali-kali bila disertai variasi akan menarik perhatian orang.”

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa suatu iklan akan berhasil apabila memenuhi unsur-unsur yang menjadi komponen iklan. Unsur-unsur iklan yang dimaksud adalah video, suara, model, peraga, latar, pencahayaan, grafik, dan kecepatan. Semua komponen iklan tersebut harus lengkap guna memperoleh hasil yang optimal, karena dengan kurangnya salah satu komponen akan membuat iklan tersebut tidak menarik.

2.1.3 Jenis-jenis Iklan Televisi dan Elemen-elemennya

Iklan pada televisi memiliki beberapa jenis iklan apabila dilihat dari tujuannya dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :

a. Iklan Komersial (Comercial Advertising) yaitu iklan yang bertujuan untuk mendukung kampanye pemasaran suatu produk atau jasa. Iklan komersial ini sendiri terbagi menjadi beberapa macam.

b. Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Advertising) yaitu Iklan Layanan Masyarakat merupakan bagian dari kampanye social marketing yang bertujuan menjual gagasan atau ide untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat.

c. Iklan korporat (Corporate Advertising) yaitu Iklan yang bertujuan membangun citra suatu perusahaan yang pada akhirnya diharapkan juga membangun citra positif produk-produk atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan tersebut.


(21)

Untuk mengetahui apakah iklan suatu produk sesuai dengan keinginan  atau dapat menarik perhatian masyarakat maka iklan memiliki elemen‐elemen  atau unsur‐unsur yaitu : 

a. Elemen heard words

Maksudnya adalah kata-kata yang terdengar dalam iklan yang dapat membuat audiens semakin mengerti akan maksud pesan iklan yang disampaikan.

b. Elemen Music

Maksudnya adalah musik yang terdapat dalam tayangan iklan termasuk iringan musik maupun lagu yang ditampilkan.

c. Elemen seen words

Maksudnya adalah kata-kata yang terlihat pada tayangan iklan yang dapat mempengaruhi benak pemirsa.

d. Elemen picture

Maksudnya adalah gambar atau tayangan iklan meliputi obyek yang digunakan, figur yang digunakan, adegan yang ditampilkan.

e. Elemen colour

Maksudnya adalah komposisi atau keserasian warna gambar serta pengaturan cahaya yang terdapat dalam tampilan tayangan iklan.


(22)

Maksudnya adalah gerakan yang ada terlihat pada tayangan iklan yang dapat mempengaruhi emosi seseorang untuk larut di dalamnya meliputi fragmen cerita dari adegan yang ditampilkan.

2.1.4 Konsep Makna

Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah, sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang ilmu tertentu, yakni dalam bidang ilmu linguistik. Dalam penjelasan Umberto Ecco, makna dari sebuah wahana tanda adalah satuan budaya yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya.

Ada tiga hal dijelaskan para fulsuf dan linguist sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna, yaitu :

1. Menjelaskan makna secara alamiah. 2. Mendeskripsikan kalimat secara alamiah. 3. Menjelaskan makna dalam proses komunikasi.” (Kempson, 1977:11 dalam Sobur, 2003:256)

Pemaknaan lebih menurut pada kemampuan integratif manusia, indrawinya, daya pikirnya dan akal budinya. Pemaknaan dapat menjangkau yang etik maupun transcenedental. Dalam kegiatan simbolik orang menginterpretasikan objek dengan cara yang bermakna dan dengan membentuk citra mental tentang objek tertentu yang lebih kenkret lagi (Nimon, 1993:79-80)

Ada beberapa teori makna yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pemaknaan, seperti yang dirumuskan oleh Wendell Johnson, yakni :

a. Makna dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk “


(23)

mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Akan tetapi, kata-kata inipun tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksud.

b. Makna sangat dinamis. Meskipun kata-kata relatif status namun makna selalu berubah, sesuai dengan perkembangan jaman dan cultural meaning.

c. Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi dikatakan nyata bila mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.

d. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Misal : Public Relation menjadi Purel.

e. Karena dinamis maka, makna tidak terbatas jumlahnya.

f. Keluasan makna memiliki amplikasi negatif (timbulnya perbedaan pemaknaan atas suatu tanda / relative interpretative).

g. Makna yang dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu teks bersifat multi aspek dan sangat kompleks, hanya sebagian saja yang dapat dijelaskan.

2.1.5 Pendekatan Semiotik Dalam Iklan Televisi

Pendekatan makna memfokuskan pada bagaimana sebuah pesan atau teks berinteraksi dengan orang disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Ini berhubungan dengan peranan teks dalam budaya kita dan seringkali menimbulkan kegagalan komunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dengan penerima pesan. Namun yang ingin dicapai adalah


(24)

signifikasinya dan bukan pada kejelasan pesan yang disampaikan. Pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks (iklan) dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik. Teks dilihat sebagai sistem tanda yang terkodekan. John Fiske (1990) menekankan bahwa teks televisi bersifat ambigu, media tersebut bersifat polisemik (penuh kode dan tanda) (Burton, 2000:47)

Semiotik adalah teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda dan simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia. Tanda dapat diartikan sebagai perangkat yang dipakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di tengah manusia dan bersama manusia.

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda (ecco dalam Sobur, 2001). Semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan. Dalam kaitan dengan televisi pesan dibangun dengan tidak semata-mata, rangkaian gambar dalam iklan adalah gambar bergerak yang dapat menciptakan imaji dan sistem penandaan.

Menurut Fiske pada bukunya (Fiske, 1990:40) analisis semiotik pada film atau dapat dibagi menjadi beberapa level yaitu:


(25)

1. Level Realitas

Pada level ini realitas dapat dilihat dari kostum pemain, tata rias, lingkungan, gerak tubuh, ekspresi, suara, perilaku, ucapan, dan lainnya sebagai kode budaya yang ditangkap melalui kode-kode teknis.

2. Level Representasi

Meliputi kerja kamera, pencahayaan, editting, suara dan casting. 3. Level Ideologi

Meliputi Suatu kesatuan dan penerimaan sosial seperti kelas, patriarki, dan gender.

Pada semiotik film (iklan) model linguistic menggeneralisasikan secara kasar bahwa dalil-dalil dalam film (iklan) sama dengan bahasa tulis seperti, frame sebagai kata, shot sebagai kalimat, scene sebagai paragraf, dan squence sebagai bab. Unit analisis sebuah film (iklan) adalah shot yang dibatasi oleh cut dan

movement. Shot adalah hasil pengambilan gambar sejak kamera menyala (on)

hingga padam (off). Scene adalah kumpulan atau rangkaian beberapa shot hingga membentuk adegan tertentu (Atmaja, 2007:49). Penerapan semiotik pada iklan televisi harus memperhatikan aspek medium televisi yang berfungsi sebagai tanda yaitu jenis pengambilan kamera (shot) dan kerja kamera. Dengan cara tersebut peneliti bisa memakai shot apa saja yang muncul dan bagaimana maknanya. Ada banyak istilah dalam pengambilan gambar, secara umum ada empah shot yakni : (1) Close Up, (2) Medium Shot, (3) Full Shot, (4) Long Shot. Sedangkan gerakan kamera terhadap objek seperti menggerakkan kamera secara horizontal, tilting,


(26)

kamera bergerak dari atas ke bawah, dan tracking, kamera bergerak mendekati atau menjauhi gambar (Atmaja, 2007:126-130)

Selain shot dan camera work, suara juga penting untuk diperhatikan. Suara meliputi sound effect dan musik. Televisi sebgai media audio visual tidak hanya mengandung unsur visual tetapi juga suara, karena suara merupakan aspek kenyataan hidup. Suara keras, menghentak, lemah, memiliki makna yang berbeda-beda. Setiap suara mengekspresikan sesuatu yang unik.

Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi:

1. Longshot (LS) yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi yaitu extreme Long Shot (LES), mulai dari sedikit ruang di bawah kaki hingga ruang tertentu di atas kepala. Long Shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk bahasa tubuh, mulai dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan itu

2. Medium Shot (MS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide Medium Shot (WMS), gambar medium shot tapi agak melebar ke samping kanan kiri. Pengambilan gambar medium


(27)

shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat dibandingkan long shot.

3. Close-Up (CU), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia, maka diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar close-up menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton. Extreme Close-Up, menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, seperti mata, bibir, tangan, dan sebagainya).

Sedangkan untuk teknik perpindahan kamera antara lain :

1. Zoom, yaitu gerakan kamera yang secara pelan dan cepat, baik

sesungguhnya maupun buatan, menuju suatu objek. Juga diterapkan ketika menjauhi objek (Suryanto, 2005:155). Biasanya digunakan untuk memberi kejutan pada penonton, penekanan dialog dan atau tokoh, setting serta informasi tentang situasi dan kondisi.

2. Dollying (trucking), yaitu pergerakan kamera pengambilan gambar

dengan menggunakan kendaraan beroda yang mengakomodasikan kamera dan operator kamera. Kecepatan dollying ini mampu mempengaruhi perasaan penonton.

3. Follow shot, yaitu pengambilan gambar dengan kamera bergerak


(28)

4. Swish Pan, yaitu gerakan panning ketika kamera digerakkan secara cepat dari satu sisi ke sisi lain, menyebabkan gambar di film menjadi kabur untuk memunculkan kesan gerakan mata secara cepat dari satu sisi ke sisi lain (Suryanto, 2000:174)

2.1.6 Pengertian dan Arti Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio (penyuapan) dan corruptus (merusak). Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam kamus umum Bahasa Indonesia (1976), arti harfiah dari korupsi adalah “perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”. Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum (1996), corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

Jadi secara harflah, korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korups (menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk. Jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.

Dengan demikian, secara farifah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas, yaitu:

a. Korupsi ialah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain


(29)

b. Korupsi adalah busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang di percayakan kepadanya. dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

2.1.7 Semiologi John Fiske

Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan menggunakan perspektif yang kedua, yaitu dari sisi produksi dan pertukaran makna.

Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotic. (Fiske, 2006 :9) Definisi semiotic yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak hanya mengarah pada “tanda” dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan


(30)

dibuatnya tanda-tanda terbentuk. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, Gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain yang membentuk sebuah system, dan kemudian disebut system tanda. Lebih sederhananya semiotic mempelajari bagaimanasistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartley, konsentrasi semiotic adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode. (Chandler,2002: www.aber.ac.uk)

Konotasi mencakup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame), fokus, rana, sudut pandang kamera, mutu film dan sebagainya. Denotasi adalah apa yang difoto dan konotasi adalah bagaimana memfotonya (John Fiske, 1990:118-119). Penanda konotasi dibangun tanda dari sistem denotasi, konotasi memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah (Kurniawan, 2001:68).

Fiske berpendapat bahwa realitas adalah produk pokok yang dibuat oleh manusia. Dari ungkapan tersebut diketahui bahwa Fiske berpandangan apa yang ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah merupakan realitas sosial. Fiske kemudian membagi pengkodean dalam tiga level pengkodean tayangan televisi, yang dalam hal ini juga berlaku pada film, yaitu :

1. Level realitas (reality)

Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian dan make up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture,


(31)

ekspresi, dialog dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.

2. Level Representasi (Representation)

Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, music dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Level representasi meliputi :

a. Teknik kamera :

Jarak dan sudut pengambilan

1. Long shot (LS) : Pengambilan yang menunjukkan semua

bagian dari objek, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai dalam tema-tema sosial yang

memperlihatkan banyak orang dalam shot yang lebih lama dan lingkungannya dari pada individu sebagai fokusnya.

2. Estabilishing shot : Biasanya digunakan untuk membuka

suatu adegan.

3. Medium Shot (MS) : Shot gambar yang jika objeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dan Medium Shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide Medium shot (WMS), gambar medium shot tetapi agak melebar kesamping kanan kiri. Pengambilan gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang


(32)

ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan long shot.

4. Close Up : Menunjukkan sedikit dari scane, seperti karakter wajah dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek dengan konteksnya, Pengambilan ini memfokuskan pada perasaan dan reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan untuk menunjukkan emosi

seseorang.

5. View Point : Jarak dan sudut nyata darimana kamera

memandang dan merekam objek.

6. Point of View : Sebuah pengambilan kamera yang

mendekatkan posisinya pada pandangan seseorang yang ada, yang sedang memperlihatkan aksi lain.

7. Selective Focus : Memberikan efek dengan menggunakan

peralatan optikal untuk mengurangi ketajaman dari image atau bagian lainnya.

8. Eye Level View : Pengambilan gambar dari level yang

sejajar dari mata manusia biasa untuk memperlihatkan tokoh-tokoh yang ada di adegan tersebut.

9. Full Shot (FS) : Pengambilan gambar yang menunjukkan

satu karakter penuh dari ujung kepala sampai dengan ujung kaki.


(33)

10. Insert Frame : Dimana salah satu karakter masuk ke dalam adegan tertentu yang sudah berjalan sebelumnya.

Perpindahan

1. Zoom :Perpindahan tanpa memindahkan kamera, hanya

lensa difokuskan untuk mendekati objek. Biasanya untuk memberikan kejutan kepada penonton.

2. Following pan : Kamera berputar untuk mengikuti

perpindahan objek. Kecepatan perpindahan terhadap objek menghasilkan mood tertentu yang menunjukkan hubungan dengan subjeknya.

3. Tracking (dolling) : Perpindahan kamera secara pelan maju

atau menjauhi objek (berbeda dengan zoom). Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan penonton, jika dengan cepat (utamanya tracking in) menunjukkan ketertarikan, demikian sebaliknya.

b. Pewarnaan

Warna menjadi unsure media visual, karena dengan warna lah informasi bisa dilihat. Warna ini pada mulanya hanya

merupakan unsure teknis yang membuat benda bisa dilihat. Dalm film animasi warna bertutur dengan gambar, yang fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfir set dan bisa menunjang dramatik adegan.


(34)

c. Teknik editing

Meliputi :

1. Cut : Merupakan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan,

sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scane,

mempersingkat waktu, memperbanyak point of view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide.

2. Jump cut : Untuk membuat suatu adegan yang dramatis.

3. Motivated cut : Bertujuan untuk membuat penonton segera

ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.

d. Penataan Suara

1. Comentar / voice – over narration :biasanya digunakan

untuk memperkenalkan bagian tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpretasikan kesan pada penonton dari suatu sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dari program secara bersamaan.

2. Sound effect : untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu


(35)

3. Music : Untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu adegan, warna emosional pada music turut mendukung keadaan emosional atau adegan.

3. Level Ideologi (Ideology)

Level ini adalah hasil dari level realita dan level representasi yang terorganisir atau terkategorikan kepada penerimaan dan hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dll. Posisi pembacaan ada pada posisi sosial yang mana penggabungan antara kode-kode televisual, sosial, dan ideologi menjadi satu untuk membuatnya menjadi berhubungan.

2.1.8 Iklan Djarum 76 Versi “Wani Piro”

Visualisasi teks iklan djarum 76 ini diawali dengan adanya seorang warga yang datang mengurus administrasi di kantor instansi (pajak, karena ada sosok mirip Gayus Tambunan). Seorang warga itu selanjutnya digambarkan tengah menghadap petugas mirip Gayus. Dengan kode dan isyarat jari, sosok mirip Gayus itu pun digambarkan meminta uang sogokan atau pungli (pungutan liar). Melihat tindakan sosok mirip Gayus itu, si warga pun mengumpat, “Cuk, dasar rampok!!” umpatnya dengan muka kesal. Si wargaa kemudian berjalan keluar meninggalkan kantor. Saat berjalan, ia kemudian tersandung poci. Tak disangka poci itu berisi Jin Berpakaian adat Jawa yang siap mengabulkan satu permintaan dari orang yang membebaskannya (si warga).


(36)

Jin tersebut berbicara “Kuberi satu permintaan. Monggo...” ucap si jin poci dengan logat jawa kental serta pakaian adat khas jawa.

Si warga pun menjawab dengan nada mantap “mau korupsi, pungli, sogokan hilang dari muka bumi, isoh jin (bisa nggak)?”

Sambil mengelus dada dan pasang muka bijak, si jin pun menjawab “bisa diatur...” kata jin. Namun ia menambahkan kalimatnya “Wani piro (brani bayar brapa)?” dengan senyum dan ekspresi mengejek.

2.1.9 Kerangka Berpikir

Dengan uraian di atas maka pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk melakukan sebuah studi semiologi untuk mengetahui pemaknaan dari iklan rokok Djarum 76 versi “Wani Piro” dengan menggunakan pendekatan semiologi John Fiske

Adapun hasil dari kerangka di atas dapat digambarkan dalam bentuk bagan :


(37)

Gambar 2.2

Bagan Kerangka Pikir Peneliti tentang Pemaknaan Iklan Djarum 76 versi “Wani Piro” di televisi

Iklan produk rokok Djarum 76 versi “Wani Piro”

di televisi.

Analisis semiologi John Fiske : 3 Level

yaitu Level Realita, Representasi, dan

Ideologi

Hasil Pemaknaan iklan produk rokok Djarum 76 versi “Wani Piro” di televisi


(38)

BAB III

METODE PENELTIAN

Penelitian ini merupakan suatu kegiatan (ilmiah) yang ditempuh melalui serangkaian proses yang panjang. Dalam konteks ilmu sosial, kegiatan penelitian diawali dengan adanya minat untuk mengkaji secara mendalam terhadap munculnya fenomena tertentu (Bungin, 2007:60-67)

Analisis kulitatif berangkat dari pendekatan fenomenologisme yang sebenarnya lebih banyak alergi terhadap pendekatan positivisme yang dianggap terlalu kaku, hitam-putih, atau terlalu taat asas. Alasannya bahwa analisis fenomenologisme lebih tepat digunakan untuk mengurangi persoalan subjek manusia yang umumnya tidak taat asas, berubah-ubah dan sebagainya. Analisis kualitatif umumnya tidak digunakan untuk mencari data yang tampak di permukaan itu. Dengan demikian analisis kualitatif digunakan untuk memahami sebuah fakta, bukan untuk menjelaskan fakta tersebut (Bungin, 2007:66-67).

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan semiologi, untuk menginterpretasikan penggambaran iklan pada media elektronik yaitu televisi, yang akan dijadikan sebagai objek penelitian ini adalah iklan produk rokok Djarum 76 versi “Wani Piro”.

Untuk menginterpretasikan objek penelitian dari iklan produk rokok Djarum 76 versi “Wani Piro” terlebih dahulu harus diketahui sistem tanda dan gambar yang terdapat dalam penelitian ini. Karena itulah, peneliti menggunakan


(39)

pendekatan semiologi untuk menganalisa atau menafsirkan makna yang terdapat dalam iklan tersebut (Christomy dan Yuwono, 2004 :99).

Selain itu pada dasarnya pendekatan semiologi bersifat kualitatif pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik tanda dan teks tersebut (Piliang, 2003:270).

3.1 Konsep Penelitian

3.1.1 Semiotika Dalam Iklan Djarum 76 versi “Wani Piro”

Dalam penelitian iklan Djarum 76 versi “Wani Piro” ini peneliti menggunakan semiotika khususnya kode-kode televisi John Fiske karena peneliti menganggap semiotika tersebut sesuai dan efektif untuk meneliti iklan tersebut.

Dalam iklan rokok Djarum 76 versi “Wani Piro” di televisi menampilkan adat kebudayaan sebagai salah satu unsur utama yang ditampilkan dalam iklan tersebut. Ada beberapa bagian dari iklan ini yang menjadi daya tarik penonton yaitu bagian yang menampilkan budaya Jawa yaitu dalam segi busana dan yang utama adalah tata bahasa yang digunakan dalam iklan ini.

Untuk menganalisis iklan tersebut menggunakan kode televisi John Fiske maka iklan tersebut dikelompokkan pada tiga level, yaitu :

a. Level Realitas : penampilan, kostum tata rias, tingkah laku, cara berbicara dan gerak tubuh.

b. Level Representasi : naratif, konflik, karakter, aksi, dialog, setting, casting, dll.


(40)

c. Level Ideologi : yang terorganisir kepada penerimaan hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme, patriarki,ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dll.

3.2 Korpus Penelitian

Korpus merupakan sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisa dengan semacam kesemenaan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya dan memelihara sebuah system dari kemiripan serta perbedaan yang lengkap. Corpus juga bersifat sehomogen mungkin, baik homogeny pada taraf substansi maupun homogeny pada taraf waktu (sinkroni) (Kurniawan, 2001 : 70).

Sebagai analisis, corpus bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam yang memungkinkan untuk memahami khalayak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri dari teks yang bersangkutan (Arkoun, 2003:40).

Korpus adalah kata lain dari sample, bertujuan tetapi khusus untuk analisis semiologi dan analisis wacana. Pada penelitian kualitatif ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Korpus dari penelitian ini adalah tiap potongan scene iklan produk rokok Djarum 76 versi “Wani Piro” di televisi. Total potongan scene dalam ilkna Djarum 76 versi “Wani Piro” ini terdiri dari 7 scene. Lengkapnya terbagi dalam bagian :


(41)

1.

2.


(42)

4.

5.


(43)

7.

Adapun alasan peneliti membagi memilih dan membagi scene tersebut ialah karena masing-masing scene dapat mewakili tiap-tiap level pada kode televisi semiotika John Fiske.


(44)

3.3 Unit Analisis

Untuk menjawab pemaknaan budaya jawa dan korupsi dalam iklan produk rokok Djarum 76 versi “Wani Piro” di televisi dalam penelitian ini adalah keseluruhan tanda-tanda dalam komposisi pada iklan tersebut. Kemudian di interpretasikan dengan menggunakan pendekatan John Fiske.

Iklan Djarum 76 versi “Wani Piro” pada televisi dengan durasi 30 detik ini, secara keseluruhan dikemas berupa paradigma dan sintagma yang terdapat pada level realitas, level representasi dan level ideologi. Paradigma adalah sekumpulan dari sign yang merupakan anggota dari kategori-kategori yang didefinisikan tetapi tiap-tiap signs tersebut mempunyai makna yang berbeda-beda. Sedangkan sintagma adalah kombinasi dari signs yang berinteraksi sesuai dengan yang kita inginkan yang membentuk sebuah makna secara keseluruhan dan biasanya disebut sebagai rantai (chain). (Chandler, 2002:www.aber.ac.uk)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berasal dari data primer, dan sekunder.

Yang pertama dengan pengumpulan Data Primer, yaitu penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati Iklan Djarum 76 versi “Wani Piro” yang tayang di televisi secara langsung untuk selanjutnya dianalisis berdasarkan landasan teori dari John Fiske daninterpretasi dari penulis. Data dari hasil penelitian ini digunakan untuk mengetahui pemaknaan dalam iklan Djarum 76 versi “Wani


(45)

Piro” yang terdapat padatelevisi ke dalam sistem tanda komunikasi berupa adegan-adegan dan teks yang ada.

Kedua dengan menggunakan Data Sekunder, yaitu data yang dikumpulkan berasal dari bahan-bahan referensi (studi pustaka) seperti buku-buku, jurnal, artikel-artikel, internet yang berkaitan dengan objek kajian yang diteliti. Selanjutnya dari hasil pengamatan simbol-simbol yang terdapat pada potongan visualisasi iklan dan data-data yang diperoleh, akan dianalisis berdasarkan studi semiotik menurut John Fiske.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data di dalam penelitian ini akan dilakukan berdasarkan sign atau sistem tanda yang tampak pada cerita iklan Djarum 76 versi “Wani Piro” di televisi. Kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan kode-kode televisi John Fiske, analisis semiotik pada iklan film dibagi menjadi beberapa element yaitu level realitas, level representasi, dan level ideologi. Untuk selanjutnya akan dianalisis di setiap level. Pada level realitas, dianalisis beberapa kode sosial yang merupakan realitas berupa penampilan kostum, perilaku, ekspresi dan dialog.

Pada level representasi yang akan diamati, meliputi kerja kamera, pewarnaan, dan suara yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Namun dalam penelitian ini, peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada teknik editing, dan music yang ada dalam level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki korelasi langsung terhadap pemaknaan iklan Djarum 76 versi “Wani Piro” di televisi.


(46)

Pada level ideologi yang akan diamati, meliputi hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme, patriarki,ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dll.


(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Perusahaan

PT. Djarum adalah salah satu perusahaan rokok di Indonesia. Perusahaan

ini mengolah dan menghasilkan jenis rokok kretek dan cerutu. Ada tiga jenis

rokok yang kita kenal selama ini. Rokok Cerutu (Terbuat dari daun tembakau dan

dibungkus dengan kertas sigaret), rokok putih (Terbuat dari daun tembakau dan

dibungukus dengan kertas sigaret), dan rokok kretek (Terbuat dari tembakau

ditambah daun cengkeh dan dibungkus dengan kertas sigaret).

Rokok Kretek adalah sebuah produk yang racikannya ditemukan oleh H.

Djamhari (kebangsaan Indonesia) pada tahun 1880 di kota Kudus (Kudus kota

kretek). Saat itu H. Djamhari adalah seorang perokok dan ia sering perasa sesak

napas. Saat ia menderita sesak, ia menggunakan minyak cengkeh untuk mengobati

penyakitnya. Hingga suatu ketika ia mencoba meracik daun tembakau dan bunga

cengkeh untuk rokoknya. Alhasil percobaannya tersebut membuahkan hasil dan

rokok tersebut disebut kretek karena letupan api yang membakar \cengkeh

menghasilkan bunyi tek-tek-tek. (Lintasan Sejarah dan Peranan Bagi

Pembangunan Bangsa dan Negara, oleh Ong Hok Ham & Amen Budiman )

Pada tahun 1905, rokok kretek diproduksi untuk dipasarakan. M.

Nitisemito adalah orang yang membangun perusahaan itu dan dinamakan Bal


(48)

Tiga. Terbukti pasar untuk produk ini sangat pesat. Hal ini dibuktikan dengan

niatan M. Nitisemito yang ingin membuat lantai kamarnya dengan uang golden.

Hal ini membuat pemerintahan (Saat itu jajahan Belanda) terseinggung, tapi

dengan diplomatis pemerintah mengungkapkan bahwa beliau dapan melanjutkan

niatannya asal posisi uang golden tersebut dalam posisi berdiri. Di sini ada dua

pendapat yang belum bisa dipastikan. Pendapat pertama rencana itu dilanjutkan

dan pendapat kedua M. Nitesemito tahu bahwa itu hanya penolakan halus

pemerintah.

Perusahaan pertama dari luar negeri yang memproduksi rokok ini adalah

Nederland Indie Trade Bureau pada tahun 1908.

Djarum sendiri adalah perusahaan yang berdiri pada saat Indonesia telah

merdeka pda tahun 1951 (tepatnya 21 April 1951). Pendiri Djarum adalah Oei

Wie Gwan. Lambang jarum yang digunakan oleh perusahaan ini adalah jarum

grama phone. Pada tahun 1983 Djarum menjadi perseroan terbata, PT Djarum.

PT. Djarum memiliki nilai inti, yaitu :

1.

Fokus pada pelanggan.

2.

Profesionalisme.

3.

Organisasi yang terus belajar.

4.

Satu Keluarga.


(49)

Perusahaan yang memiliki 76 lokasi kerja (70 di Kudus, 3 di Pati, 1

di Rembang dan 2 di Jepara) ini cukup diakui masalah kesehatan dan

keselamatan kerja karyawannya. Hal ini dibuktikan dari perolehan Zero

Accident Acknowledgement pada tahun 2002. Pada tahun 2004 di Audit

External Keselamatan dan Kesehatan dengan hasil 85%. Karena hasil

auditan yang memuaskan, pada tahun 2005 memperoleh Bendera Emas.

Pada tahun 2007, hasil auditan meningkat menjadi 93% dan tahun 2008

menunggu memperoleh Bendera Emas kembali. Karena hal itulah masalah

keselamatan dan kesehatan bukan lagi menjadi masalah bagi perusahaan

ini.

Perusahaan ini juga memiliki program=program penghijauan.

Program yang dimulai sejak tahun 1977 ini telah banyak berpengaruh

untuk masyarakat sekitar. Kota Kudus yang dulu gersang, dengan adanya

program ini akhirnya kota Kudus dapat hijau kembali. Tidak hanya itu

pada tahun 1980-1985, PT Djarum membagikan bibit mangga kepada 59

desa di Kudus. Pada tahun 1995 sesuai dengan data dari Pemerintah

Propinsi mencatat bahwa penghasilan warga dari penjualan mangga

mencapai 2,5 miliaran. Hingga saat ini pun program penghijauan itu terus

berjalan.

Perusahaan yang memiliki nilai ekspor hampir 16 juta dolar

Amerika (tahun 2007) ini juga telah mampu mengolah limbah pabrik

dengan sangat baik. Menurut Sucofindo pada Agustus 2007, data


(50)

menyebutkan limbah air, uji odorant dan juga uji emisi yang berhasil

diolah jauh dibawah baku mutu yang ditetapkan. Jadi perusahaan ini telah

mampu untuk mengolah limbah dengan baik.

4.2 Penyajian Data

Iklan rokok Djarum 76 selalu kreatif dalam membuat dan menampilkan

iklan-iklannya. Pada iklan rokok Djarum 76 versi “Wani Piro” bisa dibilang

menarik perhatian masyarakat karena iklan ini membuat lelucon terhadap

kenyataan dan realitas yang ada di Negara Indonesia dengan memunculkan sosok

Gayus Tambunan menggunakan seragam pegawai negeri dan suasana tempat di

suatu kantor birokrasi yang waktu itu sedang ramai diperbincangkan di

masyarakat.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada iklan produk rokok Djarum

76 versi “Wani Piro” di televisi dengan melakukan pengamatan unsur penanda

dan petanda dalam visualisasi pada tiap scene iklan tersebut dan dibahas melalui

teori semiotika John Fiske.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kode televisi semiotika John

Fiske yang membagi menjadi level realitas, level representasi, level ideologi yang

ditampilkan pada iklan ini.


(51)

Setting

iklan pada iklan ini hanya di sebuah pulau terpencil yang dimana

terdapat tiga pemuda yang sedang terdampar di pinggiran pantai yang sedang

mencari bantuan.

Berbagai macam warna

wardrobe

yang mengandung arti secara visual dan

memberikan efek psikologis diantaranya adalah coklat, merah, putih, biru,

abu-abu dan warna-warna pendukung lainnya dalam iklan.

Property

terdiri dari pakaian yang dipakai oleh tokoh-tokoh dalam iklan

ini adalah : kemeja abu-abu, kemeja biru gelap seragam pegawai negeri, celana

panjang berwarna coklat, kemeja batik warna kuning emas bermotif bunga-bunga,

map berwarna kuning, kacamata, kendi, blangkon.

Ekspresi yang ada pada iklan ini yaitu, menggoda, marah, terkejut, kaget,

bingung.

Ucapan terdiri dua bahasa, yaitu bahasa indonesia dan bahasa jawa dan

musik dalam iklan ini terdapat sedikit nyanyian acapela dan diikuti suara gelak

tawa pada

backsound

.

Gender

yang tampak dalam iklan ini adalah dominan pada pria. Iklan ini

memilih

gender

pria karena produk yang diiklankan mayoritas konsumennya

adalah pria.


(52)

4.3 Analisis Data

4.3.1 Analisis Tampilan Visual Dalam

Scene

Iklan Djarum 76 Versi “Wani

Piro “ Dengan Pendekatan Semiotika John Fiske

Tampilan Visual dalam

scene

Iklan Rokok Djarum 76 versi “Wani Piro”

di televisi ini dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis semiotik dalam

film (iklan) yang dikemukakan oleh John Fiske yang membaginya dalam tiga

level, yaitu level realitas, level representasi, dan level ideologi. Pada level ini

realitas dapat dilihat dari setting, wardropbe, tata rias, kostum, gesture, ekspresi,

cara berbicara, dan tingkah laku. Level Representasi meliputi kerja kamera,

pencahayaan,

editting

, suara dan

casting.

Sedangkan level ideologi meliputi

tanda-tanda nonverbal yang menjadi suatu kesatuan dan penerimaan sosial seperti

kelas, patriarki, dan gender.


(53)

4.3.1.1 Tampilan Visual dalam Scene 1

Dalam

scene

1 tampilan visual diawali dengan munculnya seseorang

pemuda dengan menaruh map berwarna kuning ke meja dengan maksud

memberikan map tersebut kepada seorang petugas di kantor.

Deskripsi visual yang ditampilkan adalah :

Level Realitas

Setting :

Setting

dalam

scene

1 ini menampilkan seorang pemuda yang sedang

duduk dan menyerahkan map berwarna kuning ke meja dan ditujukan

kepada salah satu seorang pegawai. Komposisi visualnya sebuah kondisi

dimana suasana kantor pegawai negeri dimana tugasnya adalah mengabdi

dan melayani masyarakat.


(54)

Pada

scene

1 ini seorang pemuda menggunakan kemeja abu-abu memberi

kesan formal saat mendatangi kantor pelayanan masyarakat untuk suatu

keperluan administrasi di kantor tersebut. Sedangkan seorang pegawai

tersebut menggunakan kemeja biru gelap layaknya seragam pegawai

negeri dan tampak dari belakang.

Property :

Property yang digunakan pada

scene

1 ini antara lain adalah map berwarna

kuning, meja, segelas teh di atas meja, dan tumpukan map-map serta

berkas-berkas di tumpuk di atas meja bagian kanan untuk memperkuat

kesan kantor pelayanan masyarakat yang beroperasi.

Level Representasi

Sudut pengambilan gambar

Pengambilan gambar dalam shot ini adalah menggunakan

Medium Shoot

(MS) yang bisa digunakan untuk objek dengan tampilan gambar yang jika

objeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit

ruang di atas kepala. Sudut pengambilan gambar menggunakan medium

shoot dimaksudkan untuk memperjelas ekspresi pemuda yang meletakkan

map di meja dan ekspresi yang ramah untuk mendapatkan pelayanan

administrasi dari kantor tersebut.


(55)

Level Ideologi

Level ideologi dalam scene ini yaitu ekspresi sang warga yang senyum

dengan ramah ketika meletakkan map berwarna kuning kepada seorang

pegawai negeri yang sedang bertugas dan duduk di meja, ekspresi senyum

pemuda tersebut memberikan kesan ramah dan berharap untuk

mendapatkan pelayanan dari seorang pegawai.

Analisis

Analisis yang diperoleh dari

scene

1 yakni

scene

ini menampilkan dua

tokoh sang pemuda dan sang pegawai negeri. Dimana sang meletakkan map

berwarna kuning dengan ekspresi wajah tersenyum ramah kepada pegawai yang

sedang bertugas dengan harapan mendapatkan pelayanan administrasi dari

pegawai dan sedang duduk tampak dari belakang dengan suasana kantor. Segala

property yang digunakan sesuai dengan apa yang biasanya terdapat dalam meja

kantor. Pengambilan gambar pada scene ini menggunakan

Medium Shot

(MS)

agar menjelaskan ekspresi tokoh sang pemuda yang tersenyum ramah dan

mengharapkan pelayanan administrasi, serta latar belakang dengan settingan

suasana kantor dapat terlihat dengan jelas dalam satu

frame.


(56)

4.3.1.2 Tampilan Visual dalam Scene 2

Dalam

scene

2 tampilan visual dilanjutkan dengan adanya tokoh pegawai

negeri. Disini sang pegawai negeri memberikan isyarat dengan tangan

memberikan kode minta uang.

Deskripsi visual yang ditampilkan adalah

:

Level Realitas

Setting :

Setting dalam

scene

2 ini menampilkan tokoh pegawai negeri mengenakan

yang sedang mengisyaratkan menggunakan tangannya dengan maksud

menagih uang.

Level Representasi


(57)

Pengambilan gambar dalam

shot

ini adalah menggunakan

Close Up

yang

biasa digunakan untuk menampilkan ekspresi wajah dalam detail sehingga

memenuhi layar, dan mengaburkan objek dengan konteksnya. Sudut

pengambilan gambar menggunakan close up agar dapat memfokuskan

kepada ekspresi pegawai yang sedang memberikan isyarat melalui

tangannya yang memberikan arti uang, dan maksudnya adalah untuk

melakukan tindak korupsi berupa menagih pungutan liar kepada pemuda

tersebut.

Level Ideologi

Level ideologi dalam

scene

ini yaitu ekspresi pegawai negeri yang

memberikan isyarat dengan tangan yang bermaksud menagih pungutan liar

(pungli) dan dengan ekspresi wajah yang normal untuk mendapatkan

pelayanan dari pegawai tersebut.

Analisis

Analisis yang diperoleh dari

scene

2 yakni

scene

ini yaitu

menampilkan tokoh pegawai negeri dimana pegawai tersebut memberikan

kode dengan tangan yang biasa memiliki arti uang dan bermaksud

menagih uang kepada warga untuk melakukan tindak korupsi berupa

pungutan liar. Pengambilan gambar pada scene ini menggunakan

Close Up

agar ekspresi tokoh pegawai tersebut dapat terlihat dengan jelas pada saat

memberikan kode dengan tangannya untuk melakukan tindak korupsi

tersebut berupa pungutan liar dalam satu

frame.


(58)

4.3.1.3 Tampilan Visual dalam Scene 3

Dalam

scene

3 ini tampilan visual dilanjutkan dengan pemuda yang pergi

meninggalkan meja pegawai negeri tersebut dengan membawa map berwarna

kuning dengan ekspresi wajah yang marah lalu mengumpat “Cok, dasar rampok!”.

Deskripsi visual yang ditampilkan adalah :

Level Realitas

Setting :

Setting dalam

scene

3 ini menampilkan pemuda yang sedang berjalan

meninggalkan pegawai tersebut dimana perlengkapan yang terdapat dalam

kantor dan terlihat pegawai yang lainnya sedang duduk di mejanya

masing-masing dan salah satu pegawai yang di sebelah kanan terlihat

sedang tidur dengan posisi duduk di mejanya dan dapat menjelaskan

situasi kantor pegawai negeri saat itu.


(59)

Property :

Property

yang digunakan pada scene 3 ini, seperti map berwarna kuning

yang dibawa oleh pemuda dan terlihat juga kantong plastik berwarna

merah, yang memberi kesan sederhana pada kantong plastic berwarna

merah tersebut, maka dari sini hal tersebut menandakan bahwa praktek

korupsi tidak hanya berada di tingkat ekonomi atas tetapi di tingkat

masyarakat ekonomi ke bawah pun juga berlaku tindak korupsi dan

pungutan liar.

Level Representasi

Sudut Pengambilan Gambar :

Pengambilan gambar dalam

scene

ini adalah menggunakan

Medium Shot

(MS) yang biasa digunakan untuk objek dengan tampilan gambar yang

jika objeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga

sedikit ruang di atas kepala. Disini ekspresi warga yang sedang sedang

mengumpat karena geram dan kesal terhadap budaya korupsi tersebut

dapat terlihat jelas dari kepala hingga dada, serta latar belakang yang

menggambarkan suasana di kantor pada satu frame.

Level Ideologi

Level ideologi dalam

scene

ini yaitu disini pemuda yang tingkat

ekonominya di bawah sedang berjalan keluar meninggalkan pegawai

dengan ekspresi wajah yang marah lalu mengumpat “Cok, dasar rampok”.


(60)

Dapat terlihat pula pada background di belakang warga beberapa pegawai

yang sedang duduk di meja dan salah satu pegawai yang berada di sebelah

kanan pada layar tersebut sedang tidur dengan posisi duduk di atas meja

yang memberikan kesan malas dan tidur pada saat jam kerja.

Analisis

Analisis yang diperloh dari

scene

3 yakni

scene

ini menampilkan tokoh

pemuda yang sedang berjalan keluar kantor meninggalkan pegawai tersebut

mengumpat “Cok, dasar rampok!” dengan ekspresi muka kesal dan geram

terhadap budaya korupsi yang ada di kantor pelayanan masyarakat tersebut,

ditambah background beberapa pegawai yang terlihat di belakang pegawai di

mejanya masing-masing dan dapat terlihat salah satu pegawai yang sedang tidur

di mejanya dengan posisi duduk yang menandakan bahwa telah lalai dengan

tanggung jawabnya yang seharusnya melayani masyarakat dengan iklhas.

Setting

dalam scene ini masih berasda di dalam kantor.

Property

yang digunakan pada

terdapat pada pemuda yaitu kantong plastik yang dibawa oleh pemuda hal tersebut

menandakan bahwa pemuda tersebut bukanlah dari kalangan ekonomi atas karena

kantong plastik harganya murah. Pengambilan gambar pada scene ini

menggunakan

Medium Shot

(MS) agar ekspresi tokoh warga yang sedang

mengumpat dengan wajah yang kesal dan geram dapat terlihat dengan jelas serta

latar belakang pegawai-pegawai dan suasana kantor dapat terliat dalam satu

frame.


(61)

4.3.1.4 Tampilan Visual dalam Scene 4

Gambar 4.4 Tampilan visual dalam scene 4

Dalam scene 4 tampilan visual dilanjutkan dengan munculnya tokoh jin

yang keluar dari sebuah poci dan seorang pemuda. Disini sambil mengacungkan

jari telunjuk, jin berkata “Kuberi satu permintaan, monggo”. Perkataan jin

tersebut ditujukan kepada sang warga yang terlihat dari bagian belakang.

Level Realitas

Setting :

Setting dalam scene 4 ini menampilkan tokoh jin dan seorang pemuda di

halaman luar kantor. Komposisi visualnya adalah pemuda dan jin tersebut

saling berhadapan.


(62)

Pada scene 4 ini pemuda menggunakan kemeja berwarna abu-abu

memberi kesan formal. Sedangkan jin menggunakan kemeja berwarna

kuning dengan motif batik bunga-bunga berwarna emas dan menggunakan

blangkon di kepala yang memberi kesan tradisional, karena batik

merupakan pakaian tradisional adat Jawa, dan rokok Djarum 76 ini selalu

identik dengan adat jawa dari tiap-tiap iklannya karena memang rokok

tersebut paling banyak terjual di wilayah Jawa.

Level Representasi

Sudut Pengambilan Gambar

Pengambilan gambar dalam shot ini adalah menggunakan Medium Shot

(MS) yang biasa digunakan untuk objek dengan tampilan gambar yang

jika objeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga

sedikit ruang di atas kepala. Disini ekspresi Jin dapat terlihat dengan jelas

dari kepala hingga dada, serta latar belakang yang menggambarkan

suasana outdoor.

Pencahayaan

Pencahayaan pada scene ini mendapat cahaya dari sinar matahari dan

sangat kuat kesan siang hari pada outdoor.

Level Ideologi

Level ideologi dalam scene ini yaitu disini jin menawarkan untuk

memberikan satu permintaan untuk dikabulkan dengan mengacungkan jari


(63)

telunjuk dan berbicara dengan logat jawa dan ekspresi yang ramah untuk

memperkuat nuansa adat Jawa yang disertai pakaian jin.

Analisis

Analisis yang diperoleh dari scene 4 yakni munculnya jin dari sebuah poci

dengan menggunakan pakaian adat tradisional Jawa. Disini jin menawarkan satu

permintaan untuk dikabulkan sambil mengacungkan jari telunjuknya dan

berbicara dengan logat jawa serta ekspresi yang ramah. Sedangkan pemuda

tampak dari bagian belakang terdiam melihat jin tersebut. Setting iklan ini

dilakukan pada halaman luar kantor dengan pencahayaan dari sinar matahari

untuk menguatkan suasana halaman di siang hari. Property yang digunakan sesuai

dengan apa yang biasanya terdapat di halaman kantor yaitu pohon, rumput, dan

terlihat bangunan kantor yang tampak dari jauh. Pengambilan gambar pada scene

ini menggunakan Medium Shot (MS) agar ekspresi jin serta latar belakang dengan

settingan halaman luar kantor di siang hari dapat terlihat dengan jelas dalam suatu

frame.


(64)

4.3.1.5 Tampilan Visual dalam Scene 5

Gambar 4.5 Tampilan visual dalam scene 5

Dalam scene 5 tampilan visual dilanjutkan dengan ditampilkannya tokoh

warga dan jin. Komposisi visualnya sebuah kondisi dimana pemuda menjawab

dan meminta permintaan yang ditawarkan oleh jin dengan berkata “mau korupsi,

pungli, sogokan hilang dari muka bumi”. Pada scene ini sang jin pun terlihat

memperhatikan dan mendengarkan permintaan sang pemuda dengan tangan

dilipat di dada.

Level Realitas

Setting :

Setting dalam scene 5 ini menampilkan tokoh pemuda dan jin . Komposisi

visualnya sebuah kondisi dimana pemuda memberikan permintaan kepada

jin agar budaya korupsi hilang dari muka bumi dengan menunjukkan

ekspresi wajah yang kesal terhadap budaya dan tindak korupsi, sedangkan


(65)

jin disini mendengarkan permintaan pemuda sambil melipat tangan di

dada. Pada scene ini, gambar visual dibuat seolah-olah pemuda

memberikan permintaan kepada jin dan jin memperhatikan perkataan dan

permintaan pemuda.

Level Representasi

Sudut Pengambilan Gamber :

Pengambilan gambar dalam shot ini adalah menggunakan Medium Shot

(MS) yang biasa digunakan untuk objek dengan tampilan gambar yang

jika objeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga

sedikit ruang di atas kepala. Disini ekspresi pemuda yang sedang meminta

kepada jin dengan ekspresi wajah yang kesal terhadap budaya korupsi dan

ekspresi jin dapat terlihat dengan jelas dari kepala hingga pinggang, serta

latar belakang yang menggambarkan suasana outdoor di halaman luar

kantor instansi pemerintah tersebut.

Pencahayaan

Pencahayaan pada scene ini mendapat cahaya dari sinar matahari sehingga

warga dan jin dapat terlihat dengan jelas. Dengan pencahayaan dari sinar

matahari langsung, sangat kuat kesan siang hari pada scene ini.

Level Ideologi

Level ideologi dalam scene ini yaitu disini pemuda sedang mengatakan

permintaannya kepada jin agar pungli, korupsi dan sogokan dihilangkan


(66)

dari muka bumi dengan ekspresi wajah yang kesal dan geram yang dapat

terlihat dari wajahnya. Dan jin mendengarkan dengan ekspresi yang

memperhatikan pemuda sambil melipat tangannya di dada, untuk lebih

menguatkan bahwa jin sangat memperhatikan dan mendengarkan

permintaan yang dikatakan oleh pemuda.

Analisis

Analisis yang diperoleh dari scene 5 yakni scene ini menampilkan dua

tokoh pemuda dan jin. Dimana pemuda sedang memberikan permintaan kepada

jin agar budaya dan tindak korupsi dihilangkan dari muka bumi dengan wajah

kesal dan geram terhadap budaya korupsi. Sedangkan jin melihat ke arah pemuda

dengan ekspresi wajah mendengarkan dan memperhatikan pemuda sambil melipat

tangannya di dada. Setting iklan ini dilakukan pada outdoor halaman luar kantor

Instansi Pemerintah dengan pencahayaan langsung dari sinar matahari untuk

memperkuat kesan siang hari. Property yang digunakan adalah kantong plastik

berwarna merah berisi map berwarna kuning. Pengambilan gambar pada scene ini

menggunakan Medium Shot (MS) agar ekspresi tokoh pemuda yang sedang

kecewa dan kesal terhadap budaya korupsi itu terlihat jelas dalam suatu frame.


(67)

4.3.1.7 Tampilan Visual dalam Scene 6

Gambar 4.6 Tampilan visual dalam scene 6

Dalam scene 6 ini tampilan visual dilanjutkan dengan memperlihatkan jin

berkata “bisa diatur” sedang mengelus dada yang tampak dari depan lalu

menambahkan perkataan “wani piro?” sambil memberikan kode menagih uang

menggunakan tangannya ke arah pemuda dan sang pemuda yang ditampilkan dari

bagian belakang dan melihat ke arah ekspresi wajah jin.

Level Realitas

Setting :

Setting dalam scene 6 ini menampilkan tokoh pemuda dan jin. Komposisi

visualnya sebuah kondisi dimana jin tampak wajahnya dari depan sedang

mengelus dada yang dapat menandakan keprihatinan kepada budaya

korupsi yang terjadi di kalangan manusia, sedangkan pemuda tampak dari

belakang sedang melihat dan memperhatikan ke arah wajah sang jin. Pada

scene ini, gambar visual dibuat seolah-olah mereka sedang

berbincang-bincang di outdoor halaman luar kantor.


(68)

Level Representasi

Sudut Pengambilan Gambar

Pengambilan gambar dalam

shot

ini adalah menggunakan

Close Up

yang

biasa digunakan untuk menampilkan ekspresi wajah dalam detail sehingga

memenuhi layar, dan mengaburkan objek dengan konteksnya. Sehingga

dapat diperjelas ekspresi jin yang sedang prihatin dan mengelus dada

terhadap budaya korupsi yang terjadi pada umat manusia.

Level Ideologi

Level ideologi dalam scene ini yaitu menampilkan dua tokoh pemuda dan

jin. Disini jin diperlihatkan dari depan sedang mengelus dada yang

memberi kesan prihatin terhadap budaya korupsi. Sedangkan seorang

pemuda yang tampak dari bagian belakang sedang melihat dan

memperhatikan ekspresi jin yang sedang menunjukkan ekspresi prihatin

tersebut.

Analisis

Analisis yang diperoleh dari scene 6 yakni scene ini menampilkan

dua tokoh yaitu pemuda dan jin. Dimana jin tampak dari depan sedang

mengelus dada menandakan keprihatinan terhadap budaya korupsi yang

terjadi pada umat manusia, sedangkan si pemuda tampak dari belakang

sedang melihat dan memperhatikan ekspresi jin. Setting iklan ini


(1)

4.4 Narasi Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Wani Piro”

Design iklan ini meliputi tiper perwajahan dari seorang pegawai negeri dan pemuda sipil yang sedang berkomunikasi di kantor, sang pemuda

menggunakan pakaian formal dan menggunakan sepatu vantovel yang

menambahkan kesan formal pada pakaian pemuda, dan si pegawai negeri yang menggunakan pakaian dinas, lalu si pegawai negeri tersebut meminta uang dengan isyarat menggunakan tangan untuk member koide pungutan liar (pungli), dan si pemuda pun kesal dan meninggalkan kantor dengan wajah yang geram, lalu di halaman depan kantor tidak sengaja menendang poci, dan ternyata poci tersebut berisi jin, dan setelah jin keluar, jin pun menawarkan untuk mengabulkan satu permintaan pemuda tersebut. Dan sang pemuda pun memberikan permintaan agar korupsi, pungli, dan sogokan hilang dari muka bumi ini, dan setelah mengelus dada si jin pun bertanya “wani piro?” yang bermaksud untuk meminta sogokan atau pungutan liar (pungli).

4.5 Makna Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Wani Piro” di Televisi Dengan Pendekatan Semiotika John Fiske

Dalam iklan rokok Djarum 76 versi “wani piro” visualisasinya adalah suasana di kantor pegawai negeri, yang sangat ditonjolkan adalah budaya korupsi yang kerap terjadi di Negara kita, iklan ini menampilkan pemuda mendatangi salah satu pegawai kantor dengan membawa map berwarna kuning, dan pegawai tersebut memberikan kode menggunakan tangannya yang bermaksud untuk

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(2)

67

meminta uang dan melakukan praktek pungutan liar. Dan pada saat pemuda pergi meninggalkan kantor secara tidak sengaja di halaman kantor si pemuda

menendang sebuah poci yang berisi jin yang menggunakan pakaian adat jawa dan menggunakan blangkon, dan setelah jin keluar, lalu menawarkan satu permintaan untuk dikabulkan, dan setelah pemuda meminta permintaan agar korupsi,

sogokan, dan pungli hilang dari muka bumi, dan ternyata jin pun meminta sogokan kepada pemuda tersebut.

Pesan utama pada iklan ini adalah berupa sindiran dan representasi budaya korupsi yang kerap terjadi di Negara kita, dan tidak hanya di lapisan kantor pegawai negeri saja, bahkan sampai jin pun meminta sogokan kepada pemuda yang dapat memberikan kesan bahwa korupsi dan pungutan liar sangat sering terjadi pada semua lapisan masyarakat pada Negara kita seolah-olah telah menjadi hal yang wajar.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa dalam iklan produk rokok Djarum 76 versi “wani piro” menggunakan pendekatan John Fiske, maka disimpulkan dalam visualisasi iklan rokok Djarum 76 versi “wani piro” secara keseluruhan mengandung sindiran tentang ideologi budaya korupsi yang terdapat pada semua lapisan masyarakat di Negara kita. Hal tersebut dapat dilihat pada saat pegawai negeri tersebut meminta sogokan pungutan liar kepada pemuda, bahkan sampai jin pun meminta sogokan kepada pemuda tersebut, maka dapat menimbulkan kesan bahwa korupsi, sogokan, dan pungutan liar kerap kali terjadi di setiap lapisan masyarakat.

5.2 Saran

Tayangan iklan produk rokok Djarum 76 versi “wani piro” di televisi untuk penampilan berikutnya dalam mempromosikan produk diharapkan mampu memberikan ide-ide yang lebih kreatif lagi untuk berbagi pengalaman atau pengetahuan kepada khalayak dalam versi-versi unik selanjutnya, pihak creator iklan dapat menggunakan strategi apa saja dan lebih kreatif lagi misalnya mengangkat fenomena social masyarakat yang lainnya dalam mengemas iklan untuk bisa menarik perhatian masyarakat dalam memaknai sebuah produk

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(4)

69

sehingga tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan penelitian lanjutan guna menambah ide kreatif baru.


(5)

70 Jendela.

Burton, Graeme, 2000, Membincangkan Televisi, Yogyakarta : Jalasutra.

Fiske, John, 1990. Introductions to Communication Studies. London: Routledge.

Fiske, John, 2006, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra.

Jefkins, Frank, 1997, Periklanan Edisi ke-3, Jakarta : Erlangga.

Kasali, 1992, Manajemen Periklanan Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti.

Kotler, Philip, 1991, Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Kontrol. Jilid Pertama, Edisi Keenam, Terjemahan, Jakarta : Erlangga.

Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Magelang : Indonesia Tera.

Mulyana, Deddy, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Sobur Alex, 2001, Analisis Teks media, Bandung : Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex, 2003, Komunikasi Semiotika, Bandung : PT. Rosdakarya.

Sumartono, 2002, Terperangkap Dalam Iklan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Wells, Burnet & Moriarty, 1999, Advertising : Principles and Practices, New York : Prentice-Hall

Weri, Lili Alo, 2003, Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Weri, Lili Alo, 1991, Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(6)

71

Widyatama, Rendra, 2005, Bias Gender Dalam Iklan Televisi, Jakarta : Buana Pustaka Indonesia.

Media Online :

http://www.p3i-pusat.com http://www.aber.ac.uk