ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI (6)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI GULA DI PG PAGOTTAN

  Oleh:

TUTIK WIDARWATI A14104134 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

RINGKASAN

  TUTIK WIDARWATI. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di PG Pagottan. Di bawah bimbingan HARMINI.

  Gula merupakan salah satu bahan pangan pokok yang memiliki arti penting dan posisi yang strategis di Indonesia karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi gula. Permintaan gula akan terus meningkat tiap tahunnya seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan daya beli masyarakat, dan pertumbuhan industri yang menggunakan gula sebagai bahan bakunya. Permintaan gula yang meningkat disebabkan konsumsi gula rumah tangga di Indonesia yang mengalami kecenderungan yang meningkat dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Meskipun terjadi peningkatan terhadap produksi gula nasional namun angka produksi tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan gula nasional Indonesia harus melakukan impor gula.

  Ketidakmampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan gula dalam negeri disebabkan karena masih rendahnya produksi gula nasional. Rendahnya produksi nasional antara lain disebabkan oleh : (1) Penurunan luas dan produktivitas lahan, (2) Rendahnya rendemen industri gula Indonesia, (3) Efisiensi pabrik gula yang masih rendah.

  Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapang, maka diketahui bahwa kondisi inefisiensi produksi tersebut diduga juga dialami oleh PG Pagottan yang salah satunya diindikasikan oleh kualitas pasokan bahan baku tebu (rendemen) yang masih rendah. Selain itu terjadi kecenderungan pemanfaatan tenaga kerja yang berlebihan di dalam menjalankan kegiatan produksinya. Sesuai dengan kondisi yang terdapat di PG Pagottan maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Pagottan dan (2) Menganalisis tingkat efisiensi kegiatan produksi gula di PG Pagottan.

  Penelitian ini dilaksanakan di PG Pagottan Madiun yang merupakan salah satu pabrik gula yang berada di bawah pengelolaan PTPN XI wilayah kerja Jawa Timur. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Mei 2008. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, meliputi: data output, input, serta biaya rata-rata kegiatan produksi gula di PG Pagottan dari tahun 2001 hingga tahun 2007.

  Analisis data yang dilakukan menggunakan model fungsi produksi Cobb- Douglas yang diolah dengan pendugaan OLS (Ordinary Least Square). Kemudian dilanjutkan dengan analisis terhadap efisiensi kegiatan produksi gula, dengan asumsi terdapat kendala biaya. Pertumbuhan total produksi gula sejak tahun 2001 hingga tahun 2007 menunjukkan kecenderungan peningkatan sebesar 3,48 persen per periode. Peningkatan ini dipengaruhi oleh kecenderungan peningkatan produksi gula tebu sendiri (TS) dan tebu rakyat (TR) masing-masing sebesar 8,73 persen per periode dan 23,38 persen per periode. Peningkatan produksi gula TR terjadi tidak hanya karena perluasan areal tetapi juga disebabkan oleh perbaikan mutu intensifikasi budidaya dan introduksi varietas unggul pada areal bongkaran keprasan. Peningkatan juga terjadi pada jumlah tebu yang dipasok, rendemen, dan

  Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi gula di PG Pagottan, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dari hasil analisis regresi dengan memenuhi asumsi OLS (uji normalitas, homoskedastisitas, non autokorelasi, tidak terdapat gejala multikolinearitas) dan uji statistik , maka diperoleh faktor-faktor yang secara nyata berpengaruh terhadap produksi gula di PG Pagottan. Faktor- faktor produksi tersebut, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, dan tenaga kerja pada selang kepercayaan 95 persen . Nilai koefisien regresi dari faktor- faktor produksi tersebut masing-masing sebesar 0,066, 1,01, 1,03, dan -0,239. Nilai elastisitas yang negatif menunjukkan bahwa jika terdapat peningkatan satu persen tenaga kerja maka akan mengurangi produksi gula sebesar 0,239 persen.

  Selanjutnya dilakukan analisis efisiensi penggunaan faktor produksi di dalam kegiatan produksi gula. Dalam penelitian ini faktor-faktor produksi yang diukur tingkat efisiensinya adalah jumlah tebu karena faktor tersebut dapat diukur tingkat harganya dan memenuhi syarat Cobb-Douglas, yaitu nilai koefisien regrresi dari faktor poduksi tersebut antara nol dan satu.. Dengan menghitung nilai rasio antara NPM (Nilai Produk Marjinal) dan BKM (Biaya Korbanan Marjinal) diketahui bahwa nilai rasio antara NPM dan BKM faktor produksi jumlah tebu sebesar 0,01menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku belum efisien. Berdasarkan rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dari faktor produksi jumlah tebu yang tidak sama dengan satu, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan faktor produksi belum efisien. Penggunaan bahan baku tebu dalam produksi gula harus mencapai kondisi optimal agar efisiensi dapat tercapai. Kondisi optimal dari penggunaan factor produksi ini terjadi apabila rasio NPM dan BKM dari faktor produksi harus sama dengan satu.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI GULA DI PG PAGOTTAN

  Oleh : TUTIK WIDARWATI A14104134

  Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

  Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di

  PG Pagottan

  Nama

  : Tutik Widarwati

  NRP

  : A14104134

  Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi

  Ir. Harmini, MS NIP. 131 688 732

  Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian

  Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI GULA DI PG PAGOTTAN” BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI

  LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN TIDAK DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.

  Bogor, September 2008

  Tutik Widarwati A14104134

RIWAYAT HIDUP

  Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 14 Agustus 1986 dari keluarga Bapak Darno dan Ibu Minten Widarti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

  Pendidikan akademis penulis dimulai sejak tahun 1991 dengan bersekolah di TK Islam Wahyu, Cimanggis, Depok. Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD Negeri Curug IV Depok pada tahun 1998, yang dilanjutkan dengan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Cimanggis sejak tahun 1998 hingga tahun 2001. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Depok dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di PG Pagottan sebagai syarat untuk melakukan penelitian yang menjadi bagian dari penelitian skripsi pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

  Skripsi ini berisi tentang penelitian mengenai PG Pagottan sebagai suatu entitas usaha yang bergerak dalam pengolahan gula. Penelitian yang akan dilakukan berupaya untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Pagottan serta tingkat efisiensi faktor-faktor produksi tersebut.

  Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, dan dapat diterima sebagi syarat dalam penelitian skripsi.

  Bogor, September 2008

  Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

  Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah serta karunia- Nya kepada kita semua dan shalawat beserta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluaraga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Ir. Harmini, MS, sebagai dosen pembimbing skripsi, yang tak hentinya memberikan nasihat, motivasi dan masukan yang sangat berguna demi kesempurnaan skripsi penulis.

  2. Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS, sebagai dosen penguji utama.

  3. Etriya, SP,MM, sebagai dosen penguji wakil komisi pendidkan.

  4. Amzul Rifin, SP. M. A. sebagai dosen Pembimbing Akademik yang juga memberikan masukan, saran dan kritikan serta motivasi selama penulis menyusun skripsi ini.

  5. Bapak Gampil, Bapak Arysad sebagai SKW Bagian Tanaman PG Pagottan yang telah memberikan banyak informasi kepada penulis.

  6. Bapak Darno, Mas Yiyin, Mba Riski, Mba Yeni atas kerjasama yang baik selama penulis melakukan penelitian.

  7. Pak Whumy, Pak Adit, Pak Budi, Pak Joseph yang banyak memberikan data dan informasi penting kepada penulis, pelajaran singkat mengenai gula, browsing gratis, dan kemudahannya lainnya yang telah diberikan kepada

  penulis.

  9. Mas Ferry, Mba Etriya, Mas Yeka, Mas Arif, Mba Anita dan dosen lainnya yang pernah menjadi asdos dan memberikan ilmunya kepada penulis.

  10. Mba Dian, Mba Dewi, Ibu Ida dan staff lainnya atas bantuannya kepada penulis dalam mengurus birokrasi.

  11. Kedua orang tuaku, ibu dan bapak yang selalu memberikan bantuan baik dukungan moril maupun dukungan semangat serta kasih sayang yang tak hentinya dicurahkan kepada penulis.

  12. Adikku tercinta Ayub Dwi Prasetyo yang selalu meramaikan rumah dengan keisengan dan kejailannya.

  13. Sahabat-sahabat terbaikku di dunia Rizki Amelia, Sevia Fitrianingsih, Nur Novita Zayanty, Adisti Meisafitri, Imas Nunik Handayani, Rizal Syahrudin, Yustika Muharastri atas keceriaan, kebahagiaan, suka dan duka selama empat tahun. Semoga persahabatan kita akan selalu abadi, amin ya robbal alamin. Terimakasih setulusnya kuucapkan untuk kalian semua.

  14. Purdiyanti Pratiwi, Tantri Dewi Putriana, Nurhayati Zaenal, Vera Nova Gustrin, Jane Langking, dan Prety Elisabeth atas kebersamaan di rumah kontrakan Pak Ukun.

  15. Ss, Aries, Tejo, Yanti, Lukman, Neng-Q, Wanti, Rudi, Sastrow, Effendi, Pak De, Dian, serta teman-teman AGB 41 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, terimakasih atas kebersamaannya selama kuliah di IPB, menjadikan empat tahun ini warna-warni yang indah dalam hidupku, sungguh beruntung mengenal kalian semua.

  16. Madyastato Prabudi, seseorang yang baik hatinya, memotivasi penulis dan dengan tulus serta sabar membantu dan memfasilitasi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Ni shi wo de hen ke ai nanpengyou.

  17. Tante-tanteku tercinta Lek Nur dan Lek Pis, terimakasih Lek atas pelajaran hidup yang bermakna.

  18. Sepupu perempuanku Ayu, yang dengan baiknya membantu penulis untuk mentranslet buku-buku asing. Danke.

  19. Teman-teman KKP desa Cikadu Cita, Rena, dan Roni terimakasih atas kebersamaannya selama masa KKP, pengalaman tak terlupakan.

  20. Fotocopy Prima yang banyak membantu terwujudnya skripsi ini serta pihak- pihak yang banyak membantu penulis selama penyusunan skripsi.

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Gula merupakan salah satu bahan pangan pokok yang memiliki arti penting dan posisi yang strategis di Indonesia. Meskipun telah beredar bahan- bahan pemanis lainnya, seperti : madu, gula merah, fruktosa, glukosa dan gula tropika namun preferensi masyarakat Indonesia terhadap gula tebu masih lebih tinggi. Alasan kepraktisan (bentuk butiran), ketersediaan, dan berbagai kelebihan lainnya menjadikan gula tebu sebagai pilihan utama (Churmen, 2001). Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan gula akan terus meningkat tiap tahunnya seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan daya beli masyarakat,

  dan pertumbuhan industri yang menggunakan gula sebagai bahan bakunya 1 .

  Permintaan gula yang meningkat disebabkan konsumsi gula rumah tangga di Indonesia mengalami kecenderungan yang meningkat dari tahun 2003 sampai tahun 2007 (Tabel 1). Kecenderungan konsumsi yang meningkat seiring dengan meningkatnya produksi gula. Namun, besarnya jumlah konsumsi gula tersebut tidak diimbangi dengan jumlah produksi gula. Hal tersebut menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dengan kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat.

  Pada Tabel 1 dapat dilihat nilai produksi gula nasional pada tahun 2003 hanya sebesar 1,63 juta ton padahal nilai konsumsi gula saat itu mencapai 2,29 juta ton. Kemudian pada tahun 2007 produksi gula nasional mengalami kenaikan sebesar 4,7 persen dibandingkan tahun 2006 menjadi 2,42 juta ton, namun angka Pada Tabel 1 dapat dilihat nilai produksi gula nasional pada tahun 2003 hanya sebesar 1,63 juta ton padahal nilai konsumsi gula saat itu mencapai 2,29 juta ton. Kemudian pada tahun 2007 produksi gula nasional mengalami kenaikan sebesar 4,7 persen dibandingkan tahun 2006 menjadi 2,42 juta ton, namun angka

  Tabel 1 Perkembangan Konsumsi dan Produksi Gula Indonesia Tahun

  2003-2007

  Tahun

  Konsumsi Gula Rumah

  Tangga (ton)

  Produksi Gula (ton)

  Kekurangan (ton)

  Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2007

  Salah satu penyebab rendahnya produksi gula nasional adalah bersumber dari penurunan luas areal dan penurunan produktivitas. Sebagai contoh, rendemen yang dicapai pada tahun 1970-an masih sekitar 10 persen, sedangkan rata-rata rendemen pada sepuluh tahun terakhir hanya 7,19 persen (Lampiran 1). Menurunnya rendemen tersebut selain disebabkan oleh faktor teknis di usahatani tebu dan belum selarasnya hubungan antara PG dan petani, faktor teknis di pabrik juga menjadi faktor penyebab (Susila, 2005).

  Rendahnya produktivitas usahatani tebu Indonesia disebabkan rendahnya produktivitas ton tebu per hektar maupun rendemen yang dihasilkan oleh tebu. Rendahnya produktivitas berkaitan dengan teknik budidaya yang belum optimal

  Kurang terpadunya jadwal tanam dan tebang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas, khususnya yang berkaitan dengan rendemen. Rendemen yang terus menurun juga berkaitan dengan rendahnya efisiensi di tingkat pabrik.

  Angka rata-rata rendemen selama sepuluh tahun tersebut masih jauh di bawah target rendemen rata-rata Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas

  Gula Nasional sebesar 8,79 persen 2 . Adanya inefisiensi di pabrik gula ini

  disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi pabrik gula, terutama yang ada di Jawa, umumnya sudah tua sehingga tidak dapat mencapai efisiensi yang maksimal. Berbagai upaya untuk melakukan pembaharuan beberapa peralatan masih belum mampu menghilangkan inefisiensi secara maksimal, baik karena keterbatasan dana maupun teknologi (PTPN XI, 2000). Faktor kedua adalah keterbatasan ketersediaan jumlah bahan baku sehingga pabrik beroperasi dibawah kapasitas optimal (Susila, 2005).

  Dalam mencukupi kebutuhan gula dalam negeri gula dalam negeri, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang tataniaga impor gula yang mulai diberlakukan sejak tahun 1967. Dari tahun 1993 hingga tahun 2004 impor gula Indonesia terus mengalami peningkatan. Oleh karena itu, untuk mengurangi ketergantungan pada impor pada pertengahan tahun 2004 pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui SK Memperindag No. 5272004 tentang Ketentuan Impor Gula. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa institusi yang diizinkan untuk mengimpor gula (IT) adalah PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PT.

  RNI, dan PT. PPI 3 . Selain itu, pada tahun 2007 pemerintah telah menerbitkan persetujuan impor gula kristal putih sebesar 250.000 ton kepada para importir

  terdaftar (IT) gula dan PT. PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia) untuk

  memenuhi kebutuhan dan mengantisipasi terjadinya defisit stok gula nasional 4 .

  Impor gula Indonesia mengalami fluktuatif dari tahun 2003 sampai tahun 2007 (Tabel 2). Pada tahun 2003, Indonesia mengimpor gula sebesar 647 ribu ton. Sedangkan tahun 2007, impor Indonesia mencapai 448 ribu ton.

  Tabel 2 Perkembangan Impor Gula Indonesia Tahun 2003-2007

  Tahun

  Impor Gula (ton)

  Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2007

  PTPN XI merupakan salah satu institusi yang berperan dalam produksi gula nasional. Pada tahun 2008, produksi gula oleh PTPN XI diperkirakan mencapai 458 ribu ton. Angka ini membuat PTPN XI menjadi perusahaan terbesar kedua yang memberikan kontribusi terhadap stok gula nasional setelah PTPN X (526 ribu ton) (Asosiasi Gula Indonesia, 2007). PTPN XI mengelola enam belas pabrik gula (PG) yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Salah satu PG yang dikelola oleh PTPN XI adalah PG Pagottan yang berada di Kabupaten Madiun. Pada tahun 2006 PG Pagottan memiliki kapasitas giling yang cukup besar yaitu 2,26 ribu ton per hari. Selain itu, dilihat dari pertumbuhan rendemen dari tahun 1997-2007, rata-rata pertumbuhan rendemen PG Pagottan sebesar 4,93 persen per tahun. Pada tahun 2007 rendemen PG Pagottan sebesar 7,96 persen dan

  3 Mansur, Natsir. 2007. Rancunya Distribusi Gula Nasional. www.bisnisindonesia.comdiakses 13 3 Mansur, Natsir. 2007. Rancunya Distribusi Gula Nasional. www.bisnisindonesia.comdiakses 13

  Tahun 2009 pemerintah menargetkan Indonesia mencapai swasembada gula nasional dan tahun 2010 diharapkan Indonesia sudah memasuki era liberalisasi perdagangan gula. Oleh karena itu, setiap pabrik gula termasuk PG Pagottan diwajibkan untuk meningkatkan produksi dan efisiensinya. Hal ini bertujuan untuk memenuhi target yang diharapkan, mencapai tujuan perusahaan serta mampu bersaing dengan produsen-produsen gula negara lain.

1.2 Perumusan Masalah

  PG Pagottan merupakan satu dari 16 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN

  XI (Persero), Surabaya. PG Pagottan sudah mulai beroperasi pada tahun 1905. Semakin tingginya konsumsi masyarakat terhadap gula merupakan peluang bisnis sekaligus tantangan bagi PG Pagottan.

  Dengan tingginya permintaan dari masyarakat terhadap gula mendorong peningkatan jumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama, dengan kata lain tingkat persaingan menjadi lebih tinggi. PG Pagottan harus mampu bersaing dengan perusahan tersebut untuk tetap dapat melangsungkan proses produksinya. Hasil realisasi produksi PG Pagottan periode tahun 1997 sampai tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 3.

  Dalam Tabel 3 terlihat bahwa pada tahun 2000 luas areal tebu mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 19,25 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh penurunan luas areal tebu sendiri sebesar Dalam Tabel 3 terlihat bahwa pada tahun 2000 luas areal tebu mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 19,25 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh penurunan luas areal tebu sendiri sebesar

  Tabel 3 Realisasi Produksi PG Pagottan Tahun 1998-2007

  Produksi (ton)

  Hablur (ton)

  Tahun Luas (ha)

  Rendemen

  ha Jumlah

  Sumber: Litbang Bagian Tanaman PG Pagottan, 2008

  Tahun 2003 produksi gula mulai mengalami kecenderungan yang meningkat. Pada tahun 2007 produksi gula mencapai 32.599,30 ton namun tingkat rendemen menurun dari 8,07 persen pada tahun 2006 menjadi 7,96 persen pada tahun 2007. Angka tersebut masih jauh dari target pemerintah sebesar 8,79 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi ketidakefisienan dalam produksi gula di PG Pagottan. Proses produksi yang efisien dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang digunakan. Faktor-faktor produksi yang biasa digunakan dalam proses produksi antara lain modal, tenaga kerja, bahan baku, dan lain-lain. Produksi yang dilakukan akan menjadi efisien jika faktor-faktor produksi tersebut dimanfaatkan secara optimal.

  PG Pagottan telah melakukan berbagai upaya yang sangat erat hubungannya dengan pemanfaatan faktor-faktor produksinya untuk meningkatkan produksi gula. Upaya yang telah dilakukan adalah dengan penggantian varietas PG Pagottan telah melakukan berbagai upaya yang sangat erat hubungannya dengan pemanfaatan faktor-faktor produksinya untuk meningkatkan produksi gula. Upaya yang telah dilakukan adalah dengan penggantian varietas

  perusahaan mampu berproduksi secara efisien dan mempunyai daya saing tinggi. Daya saing tersebut meliputi daya saing untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas baik, mendapatkan sumberdaya manusia, penggunaan teknologi, dan persaingan untuk mendapatkan konsumen. Oleh karena itu perlu ditelaah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula serta efisiensinya agar target pemerintah dalam swasembada gula terwujud, tujuan perusahaan tercapai dan mampu bersaing dengan produsen lain.

  Berdasarkan uraian di atas maka secara spesifik permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :

  1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi gula di PG. Pagottan?

  2. Bagaimana tingkat efisiensi produksi gula di PG. Pagottan?

1.3 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan perumusan masalah di atas tujuan dari penelitian ini adalah:

  1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula.

  2. Menganalisis tingkat efisiensi produksi gula.

1.4 Kegunaan Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:

  1. Perusahaan, sebagai sumber informasi dan bahan pertimbangan dalam

  pengambilan keputusan dalam usahanya untuk dapat meningkatkan produksi dan efisiensinya.

  2. Pemerintah, sebagai bahan masukan dan sumber informasi agar lebih

  memperhatikan sektor pertanian, terutama industri gula sehingga pemerintah dapat membuat kebijakan yang berhubungan dengan peningkatan efisiensi produksi sehingga produksi gula nasional meningkat dan impor dapat dikurangi.

  3. Penulis, penelitian ini berguna dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan

  dan menambah pengetahuan penulis mengenai industri gula di Indonesia serta dapat melatih kemampuan penulis dalam menganalisis setiap masalah sesuai dengan disiplin ilmu yang diperoleh selama di perguruan tinggi. Pembaca, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan bahan perbandingan untuk penelitian-penelitian lebih lanjut.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

  Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam pabrik dan produksi gula tanpa membahas dan menganalisis hasil sampingan produksi gula. Penelitian ini hanya berada pada sekup mikro, yaitu pabrik gula. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data perusahaan terutama produksi dari masa giling tahun 2001-2007 per lima belas hari (per periode) dan data-data biaya dari tahun 2001-2007. Penelitian ini juga hanya menganalisis efisiensi produksi secara alokatif. Pengaruh yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Komoditi Tebu

  Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) merupakan tanaman perkebunan semusim, yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula (Supriyadi, 1992). Batang tanaman tebu beruas-ruas, dari bagian pangkal sampai pertengahan ruasnya panjang-panjang, sedangkan di bagian pucuk ruasnya pendek. Tinggi batang antara 2-5 meter, tergantung baik buruknya pertumbuhan, jenis tebu maupun keadaan iklim. Pada pucuk batang tebu terdapat titik tumbuh yang berperan penting dalam proses pertumbuhan. Akar tanaman tebu adalah akar serabut, hal ini sebagai salah satu ciri bahwa tanaman ini termasuk ke dalam kelas monocotyledone. Akar tebu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akar stek dan akar tunas. Akar stek disebut juga akar bibit yang masa hidupnya tidak lama, akar ini tumbuh pada cincin akar dari stek batang. Sedangkan akar tunas merupakan pengganti akar bibit. Pertumbuhan akar ada yang tegak lurus ke bawah dan ada yang mendatar dekat permukaan tanah.

  Daun tanaman tebu adalah daun tidak lengkap karena terdiri dari helai daun dan pelepah daun saja. Kedudukan daun berpangkal pada buku, dengan panjang helaian daun berkisar 1-2 meter sedangkan lebarnya 4-7 cm. Ujung daun meruncing, tepinya seperti gigi, dan mengandung kersik yang tajam. Bunga tebu merupakan malai yang berbentuk piramida, panjangnya antara 70-90 cm. Bunga tebu biasanya muncul pada bulan April-Mei. Bunganya terdiri dari tenda bunga, yaitu tiga helai daun kelopak dan satu helai daun tajuk bunga. Bunga tebu mempunyai satu bakal buah dan tiga benang sari,-kepala putiknya- berbentuk

  Buah tanaman tebu termasuk buah padi-padian, bijinya hanya satu sedangkan besar lembaga hanya sepertiga dari panjang biji. Daur kehidupan tanaman tebu dimulai dari fase perkecambahan, fase pertunasan, fase pemanjangan batang, fase kemasakan, dan fase kematian. Fase perkecambahan dimulai dengan pembentukan taji pendek dan akar stek pada umur satu minggu dan diakhiri pada fase kecambah pada umur lima minggu. Fase pertunasan mulai dari umur lima minggu sampai umur 3,5 bulan, lalu dilanjutkan dengan fase pemanjangan batang, yaitu pada umur 3,5 bulan sampai sembilan bulan. Fase kemasakan merupakan fase yang terjadi setelah pertumbuhan vegetatif menurun dan sebelum batang tebu mati. Pada fase ini kadar gula di dalam batang tebu mulai terbentuk hingga titik optimal, kurang lebih terjadi pada bulan Agustus, dan setelah itu rendemennya berangsur-angsur menurun. Tahap pemasakan inilah yang disebut dengan tahap penimbunan rendemen gula. Proses terbentuknya gula di dalam batang tebu dapat dilihat pada Gambar 1.

  kadar gula 10

  Agustus

  Gambar 1 Proses Terbentuknya Gula di Dalam Batang Tebu

  Sumber : Ahmad Supriyadi, 1992

  Pada Gambar 1 terlihat jelas bahwa rendemen berada pada masa optimal sekitar bulan Agustus, setelah itu berangsur-angsur turun sampai titik akhir pada fase kematian tanaman. Proses terbentuknya rendemen gula di dalam batang tebu

  Ruas di bawah (lebih tua) lebih banyak tingkat kandungan gulanya dibandingkan dengan ruas di atasnya (lebih muda), demikian seterusnya sampai ruas bagian pucuk. Oleh karena itu, tebu dikatakan sudah mencapai masak optimal apabila kadar gula di sepanjang batang telah seragam, kecuali beberapa ruas di bagian pucuk.

  Menurut Mubyarto dan Daryanti (1991), tanaman tebu merupakan tanaman yang sangat peka terhadap perubahan unsur-unsur iklim. Oleh karena itu, waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula dengan optimal. Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa pertumbuhan vegetatifnya dan membutuhkan sedikit air pada saat pertumbuhan generatifnya.

  Terdapat dua cara penanaman tebu, yaitu di lahan sawah dengan sistem Reynoso (cara pengolahan tanah sawah untuk tanaman tebu) dan di lahan tegalan dengan sistem tebu lahan kering. Perbedaan antara dua cara ini terletak pada tersedia tidaknya fasilitas pengairan dan lamanya penggenangan air di musim hujan. Lahan sawah merupakan lahan pertanian yang memiliki pengairan dan mengalami genangan air lebih dari 30 hari secara terus menerus (memiliki pengairan yang cukup). Lahan sawah hanya terdapat di Pulau Jawa. Sedangkan lahan kering tidak memiliki pengairan dan kemungkinan mengalami genangan air kurang dari 30 hari berturut-turut, dan lahan kering ini hanya menggantungkan air pada curah hujan (Adisasmito, 1989 dalam Nurrofiq, 2005).

  Mubyarto dan Daryanti (1991), menyatakan bahwa perbedaan mendasar kedua jenis lahan tersebut adalah kondisi tanah yang membawa konsekuensi pada Mubyarto dan Daryanti (1991), menyatakan bahwa perbedaan mendasar kedua jenis lahan tersebut adalah kondisi tanah yang membawa konsekuensi pada

  

  Teknologi budidaya yang tepat dan penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat menghasilkan tebu dengan tingkat rendemen yang tinggi. Selain itu perlu diperhatikan kegiatan pasca panennya karena kerusakan tebu pada saat penebangan maupun pengangkutan dan banyaknya kotoran pada tebu dapat menyebabkan penurunan tingkat rendemen. Tebu yang berkualitas adalah tebu yang memenuhi kriteria MBS (manis, bersih, segar). Manis berarti tebu sudah cukup tua atau masak dengan Faktor Kemasakan 25-30 persen, Koefisien Daya Tahan dan Koefisien Peningkatan sebesar 90-100 persen. Bersih berarti tebu terbebas dari unsur non tebu (kotoran) maksimal lima persen. Sedangkan kriteria segar secara teoritis adalah saat tebu ditebang dan digiling maksimal 36 jam, kriteria ini yang paling sulit untuk dideteksi.

2.2 Pengusahaan Tebu

  Pada masa penjajahan Belanda, di tahun 1930 Indonesia pernah menjadi

  salah satunya bersumber pada kemudahan pabrik-pabrik gula dalalm memanfaatkan lahan yang subur untuk pertanaman tebu dengan sistem sewa paksa dari petani. Kemudahan itu dijamin dalam UU Agraria 1870 (Agrarische Wet 1870) dan UU Sewa Tanah (Grondhuur Ordonantie 1918). Pada saat itu Indonesia mampu memproduksi gula sebesar 3 juta ton dengan luas lahan sekitar 200.000 hektar. Setelah era kemerdekaan banyak pabrik-pabrik gula yang dinasionalisasi. Walaupun pemerintah telah mengambil alih pabrik-pabrik gula tersebut tetapi sistem sewa tetap digunakan, yaitu pabrik gula menyewa lahan milik petani lalu mengusahakannya sendiri. Dengan sistem sewa tersebut petani hanya memperoleh pendapatan dari sewanya dan petani tidak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan pendapatannya.

  Berdasarkan hal-hal di atas, maka pada tahun 1975 dikeluarkan Inpres No.

  9 Tahun 1975 mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diringkas sebagai berikut:

  1) Mengganti sistem sewa yang biasa dijalankan oleh pabrik gula dengan sistem

  tebu rakyat. Petani melakukan usaha budidaya di lahannya sendiri dengan menerapkan teknologi yang telah dianjurkan. Dalam pengelolaan usahatani tebu dilakukan dalam satuan kelompok hamparan. Sedangkan pabrik gula berperan sebagai perusahaan pengelola, yaitu bertanggung jawab secara operasional dan sebagai pimpinan kerja pelaksana budidaya tanaman tebu di wilayah kerjanya, serta menyusun perencanaan areal, melaksanakan bimbingan teknis, menyediakan dan menyalurkan bibit.

  2) Melaksanakan program intensifikasi tebu dengan sistem BIMAS (Bimbingan

  3) Mendudukkan pabrik gula sebagai penggiling tebu yang dihasilkan oleh

  rakyat hingga menjadi gula pasir dengan sistem bagi hasil.

  Program TRI ini sebenarnya telah berhasil meningkatkan luas areal tebu, yaitu mencapai 428.000 hektar pada tahun 1994. Namun perluasan luas areal tanaman tebu tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas karena sebagian besar perluasan areal tebu dilakukan di lahan kering tanpa irigasi. Kemudian kebijakan ini dihapuskan pada tahun 1997 mengikuti persyaratan IMF (International Monetary Fund) sehingga menurunkan luas areal produksi yang telah ada. Akibatnya produksi tebu yang dihasilkan juga rendah dan menurun.

  Pada tahun 2002, Departemen Pertanian menerapkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional, yang meliputi kegiatan rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (bongkar ratoon). Program ini bertujuan memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensial. Selain itu, program ini diperkirakan dapat memberikan peningkatan hasil pada tahun-tahun mendatang. Hal ini disebabkan oleh adanya pergantian ratoon seluas 7000 hektar, peningkatan produktivitas lahan dengan adanya penggunaan bibit berkualitas, dan peningkatan modal usahatani tebu melalui Kredit Ketahanan Pangan (KKP), serta pengendalian harga melalui implementasi kebijakan tata niaga pergulaan nasional.

  Selain itu bongkar ratoon ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat rendemen tebu nasional dari 7,6 persen pada tahun 2007 menjadi delapan persen di tahun 2008. Sehingga pada tahun 2008 ditargetkan akan terjadi peningkatan produksi

  gula nasional menjadi sebesar 2,6 juta – 2,7 juta ton 6 .

2.3 Pengusahaan Pabrik Gula

  Sejak tahun 1975 pabrik gula telah dinyatakan secara resmi sebagai usaha pemroses atau pengolah tebu menjadi gula pasir. Pabrik gula juga berperan sebagai pembimbing petani dalam budidaya tebu. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memperoleh jumlah dan kualitas tebu sesuai harapan. Sebagai imbalan atas pemrosesan tebu menjadi gula pasir, pihak pabrik gula menerima “ongkos giling” yang dinyatakan dalam persen dari keseluruhan hasil giling. Sistem pembagian hasil ini ditetapkan oleh pemerintah. Prinsip dasar pembagian adalah semakin tinggi rendemen tebu yang digilingkan semakin tinggi pula persentase bagian yang diterima petani. Dengan demikian, semakin banyak hasil gula semakin rendah ongkos gilingnya. Walaupun telah beberapa kali dilakukan peninjauan, ketentuan bagi hasil ini tidak banyak berubah. Ketentuan bagi hasil yang tercantum dalam SK Mentan No.03SKMentanBIMASVI187 menyatakan bahwa:

  1) Petani tebu akan mendapatkan 62 persen gula yang dihasilkan dari tebu yang

  nilai rendemennya sampai dengan delapan persen, bila rendemen melampaui delapan persen maka petani mendapatkan tambahan hasil.

  2) Petani tebu akan mendapatkan bagian tetes sebanyak 4,5 kilogram untuk

  setiap kuintal tebu yang digilingkan.

  Berdasarkan kepemilikannya sebagian besar pabrik gula di Indonesia adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan sisanya adalah BUMS (Badan Usaha Milik Swasta). Pada tahun 1930, Indonesia memiliki 179 pabrik gula (PG). Jumlah PG semakin menurun karena secara ekonomis tidak menguntungkan.

  dan RNI) dan delapan PG milik swasta 7 . Pada umumnya pabrik-pabrik yang ada beroperasi dibawah kapasitas giling. Sebagian besar PG mempunyai kapasitas

  giling yang kecil (kurang dari 3.000 TCD) karena mesin yang sudah tua serta tidak mendapat perawatan yang memadai yang menyebabkan biaya produksi per kilogram gula tinggi.

2.4 Jenis Gula

  Menurut Moerdokusumo (1993) sesuai dengan negara tujuan, secara umum dikenal tiga jenis gula utama, yaitu gula mentah, gula merah (tidak termasuk gula jawa, aren, dsb), dan gula putih (termasuk gula rafinade, SHS).

1) Gula mentah

  Yang dimaksud dengan gula mentah adalah sejenis gula merah yang berbutir tidak terlalu halus, terutama diperuntukkan sebagai bahan baku pabrik gula rafinade. Gula mentah ini meliputi HS, NA, dan Muscovado. Jenis muscovado sudah sejak lama tidak lagi dipakai sebagai bahan baku pabrik rafinade. Negara yang menggunakan gula mentah dari Indonesia untuk bahan rafinadenya adalah Hongkong, Jepang, Australia, Selandia Baru, Korea, China, India, dan beberapa negara di Eropa.

  Sebagai gula mentah untuk bahan rafinade, HS dan NA terutama harus memenuhi persyaratan ukuran butiran kristal gula, kadar air dan polarisasi. Pasaran gula mentah ini sebagian besar telah hilang karena Indonesia tidak mampu mengekspor gulanya. Hal ini diakibatkan produksi yang sangat merosot bahkan untuk konsumsi dalam negeri pun masih kurang. Dalam rangka memantapkan kebijakan pangan, timbul gagasan untuk tidak mengimpor gula Sebagai gula mentah untuk bahan rafinade, HS dan NA terutama harus memenuhi persyaratan ukuran butiran kristal gula, kadar air dan polarisasi. Pasaran gula mentah ini sebagian besar telah hilang karena Indonesia tidak mampu mengekspor gulanya. Hal ini diakibatkan produksi yang sangat merosot bahkan untuk konsumsi dalam negeri pun masih kurang. Dalam rangka memantapkan kebijakan pangan, timbul gagasan untuk tidak mengimpor gula

2) Gula merah

  Ada beberapa jenis gula merah, antara lain:

  a) HS atau gula utama adalah jenis gula dengan polarisasi minimal 98°V.

  Kebanyakan HS yang dijual mempunyai polarisasi antara 99,4°V sampai 99,5°V yang dapat lebih tinggi jika bahannya diambil dari SHS yang diberi campuran karamel. Berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu untuk konsumsi langsung atau bahan rafinade, HS masih dibagi lagi menjadi beberapa golongan menurut nomor tipe warna standar Belanda. Daerah pasaran HS untuk konsumsi langsung adalah Indonesia dan Malaysia.

  b) NA (New Assortiment), yaitu gula dengan polarisasi 96,5°V – 97,25°V dan

  kadar bahan gula antara 2,5 sampai tiga persen. Faktor tahan simpan tidak boleh melebihi 0,27. Jenis NA tidak digolongkan khusus menurut tipe warna.

3) Muscovado

  Muscovado digolongkan dalam Java Assortiment dan termasuk gula merah yang memiliki polarisasi minimal 96,5°V. Sebagai bahan mentah gula rafinade, muscovado sudah jarang digunakan. Meskipun polarisasinya sama dengan NA, pada dasarnya kedua jenis gula tersebut berlainan terutama sifat fisik dan kimianya. Muscovado dibuat dengan cara mencampurkan HS dengan karamel untuk memperendah warna. Muscovado lebih mudah dikeringkan dan lebih tahan lama daripada NA.

4) Gula tetes MS, gula sirup SS, dan gula sirup superior SSS

  Meskipun warnanya merah, gula tetes tidak termasuk jenis gula kristal merah tetapi jenis gula sirup. Gula sirup (SS) dan gula sirup superior (SSS) dikenal sebagai soft sugar. Jenis gula ini tidak banyak diproduksi. SSS adalah jenis gula berbutir halus merata yang telah dicampur dengan larutan gula invest.

5) Gula putih

  Gula putih yang dimaksud adalah SHS dan gula rafinade. Untuk SHS tidak ada pembagian atas dasar spesifikasi butir yang ketat.

6) Gula pasir dan bahan pemanis non gula pasir

  Menurut Sawit et al. (1999) pemanis digolongkan menjadi dua, yaitu gula dan non gula. Kelompok gula meliputi gula kristal, gula bukan kristal, dan gula cair. Golongan non gula terdiri dari pemanis yang dibuat dari bahan tanaman (misalnya dari Stevia) dan pemanis sintesis seperti saccharine (sodium).

2.5 Penelitian Terdahulu

  Meiditha (2003), menganalisis mengenai efisiensi produksi gula pasir di PG Kebon Agung. Dalam pendugaan modelnya produksi gula dipengaruhi oleh tujuh faktor produksi dan satu peubah dummy. Faktor produksi tersebut terdiri dari bahan baku tebu, rendemen tebu, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, residu dan jumlah bahan pembantu. Sedangkan variabel dummy ditambahkan untuk mengetahui pengaruh dari kebijakan tataniaga gula dan tataniaga impor terhadap produksi gula. Setelah dilakukan analisis regresi dihasilkan lima variabel yang berpengaruh nyata, yaitu jumlah tebu, rendemen,

  Analisis efisiensi yang dilakukan dengan membandingkan antara NPM xi dengan BKM xi hanya dapat menilai tiga faktor produksi, yaitu tebu, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman yang ketiganya dinyatakan belum efisien secara ekonomis. Sedangkan dua faktor produksi lainnya, yaitu rendemen dan jam mesin tidak dapat dilihat efisiensinya karena tidak dapat diukur tingkat harganya.

  Hidayat (2003), menganalisis kinerja produksi dan keuangan di PT PG Rajawali II Unit PG Subang. Analisis yang dilakukan antara lain: Pertama, analisis rasio untuk mengukur rentabilitas, aktivitas, dan leverage. Kedua, analisis titik impas dan analisis profitabilitas untuk mengetahui hubungan biaya produksi terhadap titik impas dan profitabilitas. Ketiga, analisis Du Pont untuk melakukan identifikasi hubungan antara struktur biaya dengan kinerja keuangan. Hasil analisis digunakan untuk merumuskan alternatif-alternatif perbaikan kondisi perusahaan. Kinerja keuangan PG Subang cenderung naik pada tahun 1999-2001 dan menurun pada tahun 2002 untuk rentabilitas dan likuiditas.

  Nurrofiq (2005), menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Djatiroto. Dalam analisisnya terdapat enam faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula di PG Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dari keenam peubah tersebut hanya lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap model produksi gula di PG Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, dan lama giling. Pengolahan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan model regresi yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi gula di PG Djatiroto serta rasio

  NPM dan BKM untuk melihat efisiensi alokatif pabrik tersebut. Untuk perumusan model produksi gula dipergunakan model fungsi produksi linier berganda.

  Wahyuni (2007), di dalam penelitiannya terdapat enam faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi gula di PG Madukismo, Yogyakarta. Faktor-faktor produksi tersebut antara lain: tenaga kerja tetap, tenaga kerja tidak tetap, jumlah tebu, bahan pembantu, lama giling, dan jam mesin. Namun setelah dianalisis menggunakan model regresi, ternyata hanya ada lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula, yaitu tenaga kerja tetap, tenaga kerja tidak tetap, jumlah tebu, lama giling, dan jam mesin. Kemudian faktor- faktor tersebut diukur tingkat efisiensinya dengan melihat perbandingan antara nilai NPM dan BKM. Dalam penelitian ini, faktor-faktor produksi yang diukur tingkat efisiensinya adalah jumlah tebu, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman karena ketiga faktor produksi tersebut dapat diukur tingkat harganya. Dari nilai NPM dan BKM dari setiap faktor produksi dapat dijelaskan bahwa pengalokasian sumberdaya dari ketiga faktor produksi belum optimal. Untuk perumusan model produksi gula menggunakan model fungsi produksi linier berganda.

  Dari penelitian-penelitian terdahulu, dapat disimpulkan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula dapat dilihat dari berbagai karakteristik, yaitu usahatani, karakteristik dalam pabrik, keadaan pasar, serta karakteristik kebijakan. Dalam segi usahatani faktor-faktor yang biasa diduga berpengaruh terhadap produksi gula, yaitu jumlah tebu, dan tingkat rendemen. Dalam pabrik faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula, Dari penelitian-penelitian terdahulu, dapat disimpulkan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula dapat dilihat dari berbagai karakteristik, yaitu usahatani, karakteristik dalam pabrik, keadaan pasar, serta karakteristik kebijakan. Dalam segi usahatani faktor-faktor yang biasa diduga berpengaruh terhadap produksi gula, yaitu jumlah tebu, dan tingkat rendemen. Dalam pabrik faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula,

  Dalam penelitian ini digunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Efisiensi merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam peningkatan produksi gula nasional. Efisiensi dapat bermacam-macam, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis dapat diukur dengan melihat perbandingan antara persentase kapasitas giling dengan kapasitas terpasangnya, atau dapat juga dengan mengukur antara rasio bahan baku dan gula yang dihasilkannya. Efisiensi alokatif dapat diukur dengan membandingkan antara NPM dan BKM. Sedangkan efisiensi ekonomis dapat dilihat dari persentase harga pokok dengan persentase harga provenue, nilai titik impas serta nilai kemampuan laba. Dalam penelitian ini akan dicari tingkat efisien alokatifnya. Dengan efisiensi alokatif ini maka diketahui efisiensi dari faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula, dimana efisiensi alokatif menilai pengorbanan yang dibutuhkan untuk menambah

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Dan Fungsi Produksi

  Produksi merupakan kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Untuk memproduksi barang dan jasa tersebut digunakan sumberdaya yang disebut sebagai faktor produksi (Lipsey et al, 1995). Faktor produksi seperti lahan, pupuk, tenaga kerja, modal dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya produksi yang diperoleh. Keputusan kombinasi penggunaan sumberdaya untuk mencapai target produksi ditentukan oleh kebijaksanaan produsen. Untuk menjelaskan kombinasi-kombinasi input yang diperlukan untuk menghasilkan output, para ekonom menggunakan sebuah fungsi yang disebut fungsi produksi. Pappas (1995) menambahkan fungsi produksi adalah sebuah pernyataan deskriptif yang mengaitkan masukan dengan keluaran, yang memperlihatkan keluaran maksimum yang dapat diproduksi dengan jumlah masukan tertentu. Umumnya untuk menghasilkan output diperlukan lebih dari satu input. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:

  Y = f(X 1 ,X 2 ,X 3 ,....,X n ) (1)

  X 1 ,X 2 ,X 3 ,....,X n

  : input-input yang digunakan dalam proses produksi

  Dengan fungsi produksi tersebut di atas, maka hubungan Y dan X dapat

  diketahui dan sekaligus hubungan X 1 ,X 2 ,…, X n dan X lainnya juga dapat diketahui dan sekaligus hubungan X 1 ,X 2 ,…, X n dan X lainnya juga dapat

a. Fungsi Produksi Linier

  Secara matematis fungsi produksi linier dapat ditulis sebagai berikut: Y = f (X 1 ,X 2 ,X 3 ,....,X n )

  Dimana:

  Y : variabel yang dijelaskan (dependent variable)

  X : variabel yang menjelaskan (independent variable)

  Fungsi produksi linier dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi produksi linier sederhana dan linier berganda. Perbedaan ini terletak pada jumlah variabel X yang dipakai pada model. Fungsi produksi linier sederhana biasa digunakan untuk menjelaskan hubungan dua variabel. Model ini sering digunakan karena analisisnya dan hasilnya mudah dimengerti secara cepat. Sedangkan kelemahannya terletak pada jumlah variabel X yang digunakan dalam model. Karena hanya satu variabel yang dimasukkan maka peneliti akan kehilangan informasi karena ada variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

  Y = a + Bx + e Dimana:

  a : intersep (perpotongan)

  b : koefisien regresi

  e : error term Untuk mengatasi masalah di atas maka peneliti biasanya menggunakan e : error term Untuk mengatasi masalah di atas maka peneliti biasanya menggunakan

  Y = f (X 1 ,X 2 ,X 3 ,....,X n ); atau Y=a+b 1 X 1 +b 2 X 2 + …. + b i X i +…+b n X n +e

  Dimana a, b, X,Y, dan e telah dijelaskan sebelumnya.

  Estimasi garis regresi linier berganda ini memerlukan bantuan asumsi dan model estimasi tertentu sehingga diperoleh garis estimasi atau garis penduga yang baik.

b. Fungsi Produksi Kuadatrik

  Rumus matematik dari fungsi produksi kuadratik atau juga disebut dengan fungsi produksi polynomial kuadratik biasanya dituliskan sebagai berikut:

  Y = a + bX + cX 2 +e Dimana:

  Y

  : variabel yang dijelaskan

  X : variabel yang menjelaskan a,b,c : parameter yang diduga

  e : error term

  Berbeda dengan garis linier (sederhana dan berganda) yang tidak memiliki nilai maksimum, maka fungsi kuadratik justru mempunyai nilai maksimum. Dalam proses produksi pertanian, dimana berlaku hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang, maka fungsi kuadratik dapat dituliskan sebagai berikut:

  Y = a + bX – cX 2 +e

c. Fungsi Produksi Eksponensial

  Secara umum fungsi produksi eksponensial dapat dituliskan sebagai

  Y = aX b (biasanya disebut fungsi Cobb-Douglas) Menurut Soekartawi (2003) fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau

  persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variable yang dijelaskan (Y), dan yang lain disebut variabel yang menjelaskan, (X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X adalah biasanya dengan cara regresi dimana variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Dengan demikian kaidah-kaidah pada garis regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb-Douglas. Karena di dalam fungsi produksi eksponensial ini ada bilangan berpangkat maka penyelesaiannya diperlukan bantuan logaritma.

d. Fungsi Produksi CES

  Fungsi produksi CES untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Arrow, dkk (1960). Fungsi ini dipakai jika berlaku asumsi atau situasi constant return to scale (CRS). Rumus matematik dari CES adalah sebagai berikut:

  Y : output γ : parameter efisiensi ( γ > 0) δ : distribusi parameter (0 < δ < 0) K : kapital

  L : input tenaga kerja p : parameter substitusi (p > -1)

  Oleh Fletcher (1968), fungsi produksi CES tersebut dimodifikasi dan juga dipakai oleh Soskie (1968). Selanjutnya model CES yang telah di modifikasi ini dilaporkan oleh Lau dan Fletcher (1969) dengan VES (variable elasticity of

  = [ K -p + (1 - )µ (KL) -C(1+p) L γ -p γ δ δ ] -1p

  Dimana: µ dan C adalah konstan.

  Persamaan VES ini mempunyai cirri antara lain mempunyai produk marjinal yang positif dan menurun ke bawah dan homogenitas. Persamaan VES ini mempunyai ciri antara lain mempunyai produk marjinal yang positif dan menurun ke bawah dan homogenitas derajat satu. Sedangkan kelemahan dari fungsi VES ini adalah jumlah variabel yang dipakai terbatas, yaitu hanya dua variabel. Bila digunakan lebih dari dua variabel maka penyelesaiannya akan menjadi relatif lebih sulit.

e. Fungsi Produksi Transcendental

  Rumus umum dari fungsi produksi transcendental adalah sebagai berikut:

  Y=A 1 1 1 1 2 2 2 2 +u

  Dimana:

  Y : output

  X : input

  a, b, c : parameter yang akan diduga

  e : bilangan konstan u : galat (disturbance term)

  Dalam kondisi-kondisi tertentu fungsi produksi transcendental ini akan menjadi fungsi Cobb-Douglas. Keunggulan fungsi ini adalah dapat menggambarkan kondisi dimana produk marjinal dapat menaik, menurun, dan menurun dalam “negatif” (negative marginal products). Sebaliknya kelemahan dari fungsi ini adalah bila salah satu dari nilai X adalah nol maka fungsi tersebut tidak dapat diselesaikan karena fungsi Y menjadi nol.

f. Fungsi Produksi Translog

  Fungsi produksi translog dapat dituliskan sebagai berikut:

  log Y = log A + b 1 log X 1 +b 2 log X 2 +b 3 (log X 1 log X 2 )+u

  Dimana:

  Y : output

  X : input

  b 1 ,b 2 ,b 3 : parameter yang diduga

  A : parameter yang juga berfungsi sebagai intersep u : galat (disturbance term)

  Fungsi produksi translog ini dapat berubah bentuknya menjadi fungsi produksi Cobb-Douglas jika parameter b tidak berbeda nyata dengan nol.

  Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi, yaitu “Hukum Kenaikan Hasil yang Semakin Berkurang (The Law of Diminishing Return)”. Hukum ini menyatakan bahwa jika faktor produksi terus menerus ditambahkan pada faktor produksi tetap maka tambahan jumlah produksi per satuan akan semakin berkurang. Hukum ini menggambarkan adanya kenaikan hasil yang negatif dalam kurva fungsi produksi. Fungsi produksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

  Menurut Doll dan Orazem (1984) fungsi produksi klasik dapat dibagi menjadi tiga wilayah atau tahap, masing-masing tahap tersebut penting dari segi efisiensi penggunaan sumberdaya. Tiga tahap tersebut ditunjukkan pada Gambar

  2. Tahap I terjadi ketika MPP lebih besar daripada APP. APP adalah peningkatan seluruh Tahap I, mengindikasikan bahwa nilai rata-rata dimana input variabel, X, ditransformasi menjadi produk, Y, meningkat hingga APP mencapai nilai

  Y= output

  X= input

  MPP, APP

  X= input

  Gambar 2 Fungsi Produksi Klasik dan Tiga Tahap Produksi

  Sumber: John P. Doll dan Frank Orazem, 1984