Pendidikan Anak Usia Dini dalam Era Refo (1)

A. Latar Belakang

Lima belasan abad yang silam, syari’at Islam sebagaimana terdapat dalam kitab suci al-Qur’an dan kitab-kitab sunnah nabi Muhammad saw telah mencanangkan ajaran mengenai segala aspek kehidupan manusia, semisal ajaran mengenai prinsip-prinsip mendidik anak usia dini bahkan bagi bayi yang benar-benar baru saja dilahirkan. Dengan mendasarkan diri pada beberapa matan hadits nabi saw, Abdullah Nashih Ulwan menyatakan bahwa : “Di antara hukum yang telah disyari’atkan Islam untuk anak yang baru dilahirkan adalah mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamat di telinga kirinya”. 1 Sampai kini, ajaran ini senantiasa dipraktekkan dengan baik

di kalangan umat Islam yang taat, juga senantiasa diupayakan dipahami maksud simboliknya; semisal ada yang memahami agar suara yang pertama kali paling patut diperdengarkan kepada bayi adalah suara azan sebagai seruan mendirikan shalat. Barangkali dalam konteks teknologi informasi dengan analog setiap komputer yang baru diproduksi harus diinstal lebih dulu sebelum pemakaian lebih lanjut, maka dapat saja dikatakan bahwa ajaran azan dan iqamat pada bayi tersebut sesungguhnya adalah menginstal potensi multi- kecerdasan bayi sebelum ditumbuh-kembangkan lebih lanjut melalui pendidikan.

Bagi umat Islam, memperhatikan pendidikan anak usia dini sesungguhnya adalah amanat Allah swt yang diajarkan oleh nabi saw dan para nabi sebelum beliau, bukan hal yang baru lagi asing dan hadir dari kaum

1 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, vol. 1, 2nd ed, Pustaka Amani, Jakarta, 1999, hal. 64.

materialisme beserta cabang-cabangnya selaku perancang sekaligus pencanang renaisance yang menjadi cikal bakal dari era globalisasi. Sikap ini relevan dengan pandangan Imron Arifin, bahwa “Pendidikan anak usia dini, pada dasarnya telah ada sejak adanya manusia, dilakukan keluarga dan lingkungan sosial secara alamiah dan dipengaruhi pola budaya dan agama”. 2

Sementara itu, pertemuan bilateral para pemimpin negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah tema “Education For All” yang diselenggarakan di Dakar Sinegal Afrika tahun 2000 M, menurut laporan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), sesungguhnya adalah bersifat menegaskan kembali komitmennya terhadap pendidikan dan perawatan anak usia dini dan

menentukan perkembangannya. 3 Sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang

komit, maka pemerintah Repuplik Indonesia dalam era reformasi 4 memiliki kebijakan tersendiri terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) apabila

dibandingkan dengan dua model era pemerintahan sebelumnya. 5 Secara

Imron Arifin, Kepemimpinan Himpaudi Studi Kasus di Kota Malang, 1st ed, Aditya Media Publishing, Yogyakarta, 2011, hal. 11. 3 Vide, UNESCO, “Laporan Review Kebijakan : Pendidikan dan Perawatan Anak Usia Dini di Indonesia”, Seksi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Inklusif, Divisi

UNESCO, Januari 2005, http://www.unesdoc.unesco.org/ - diakses 27 Maret 2008, hal. 13. 4 Sejak hari kemerdekaan 17 Agustrus 1945, di Indonesia telah dijalani tiga

Pendidikan Dasar,

Sektor

Pendidikan

model era pemerintahan. Pertama, pemerintahan Orde Lama (Orla) 1945-1965 dengan penerapan demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin melalui kendali sistem sentralistik. Kedua, pemerintahan Orde Baru (Orba) 1966-1998 dengan penerapan demokrasi Pancasila dan Pedoman Pengahayatan Pengamalan Pancasila (P4) melalui kendali sistem sentralistik. Ketiga, pemerintahan Era Reformasi 1999-sekarang dengan penerapan demokrasi “agak kebablasan” melalui kendali sistem desentralistik (otonomi daerah). Ketika di Indonesia memasuki pemerintahan Era Reformasi, peradaban dunia telah memasuki Era Globalisasi. Dan pada tahun 2013M, saat karya ini ditulis, pemerintahan Era Reformasi di Indonesia di bawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kabinet Indonesia Bersatu jilid dua. 5

Yang dimaksud dengan PAUD --sebagaimana termaktub dalam Undang- Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab I pasal 1 angka 14, dan termaktub dalam Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan bab I pasal 1 angka 3 sebagai diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2010-- adalah “suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.

yuridis, PAUD telah termaktub dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab VI bagian ketujuh pasal 28 mulai ayat satu sampai dengan ayat enam. Kebijakan mengenai PAUD ini memperlihatkan kesadaran dan komitmen pemerintah terhadap urgensi pendidikan sepanjang hayat bagi dinamika kehidupan telah meningkat. Suatu pandangan yang menyatakan, bahwa “Pendidikan merupakan alat untuk memperbaiki keadaan sekarang, juga untuk mempersiapkan dunia esok yang lebih baik serta lebih sejahtera”, 6 patut

dijadikan kata kunci bagi pembangunan nasional. Secara realitas, amat jauh hari sebelum kebijakan pemerintah tentang PAUD itu hadir sebagai sub-struktur kepemerintahan, dalam masyarakat telah hadir duluan bentuk/model PAUD --semisal Taman Kanak- Kanak (TK), Raudlatul Athfal (RA), Bustanul Athfal (BA)--sebagai sub-kultur yang memperlihatkan bahwa kesadaran warga negara terhadap urgensi PAUD telah terbentuk. 7 Ini mengisyaratkan, secara ideal, bahwa kehadiran kebijakan

pemerintah tentang PAUD dituntut mampu memperkokoh dinamika PAUD yang memang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kemudian menjadi amat wajar apabila kehadiran Play Group yang tumbuh subur laksana jamur di musim hijan dalam berbagai wilayah perkotaan dan pedesaan pada pemerintahan era reformasi mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat dengan menjadikan anak-anak mereka sebagai peserta didik di sana.

Secara akademis, pertautan kehadiran kebijakan pemerintah sebagai sub-struktur dengan sub-kultur masyarakat mengenai sasaran yang sama (PAUD) dapat dipandang sebagai kejadian yang unik lagi menarik untuk dikaji lebih lanjut. Keunikan dapat terlihat ketika sub-struktur dan sub-kultur dengan karakteriktik dan asal-usul masing-masing dipertemukan dan dikomunikasikan serta diharmonisasikan tentu dapat menimbulkan fenomena-

Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional Beberapa Kritik dan Sugesti, 1 st

7 ed, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 1. Mengenai ringkasan sejarah awal kehadiran PAUD di dunia, dan sejarah awal

kehariran PAUD di Indonesia beserta perkembangannya, vide, Imron Arifin, op.cit, hal. 11- 33.

fenomena yang baru dan atau problema yang baru yang menuntut penyelesaian lebih lanjut. Kemenarikan dapat terlihat dari strategi pentautan dinamika inisiatif pemerintah dengan masyarakat dalam mengerahkan segala potensi sebagai investasi pendidikan untuk menyiapkan generasi penerus yang berkualitas prima di masa datang yang memiliki kecenderungan tantangan dan persoalan yang berbeda jauh jika dibandingkan dengan tantangan dan persoalan masa sekarang.

Pemikiran tersebut menarik sekaligus mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian lebih lanjut dengan tema : Kebijakan Pemerintah Era Reformasi Mengenai Pendidikan Anak Usia Dini (Studi Pustaka dengan Analisis SWOT). Analisis SWOT ini bersumber dari analisis akar permasalahan. Sam M. Chan dan Tuti T. Sam menjelaskan, bahwa “Kajian terhadap akar permasalahan tidak pernah lepas dari konteksnya. Konteks tersebut adalah kajian global, namun jika akan mengatasi masalah, pemikiran tersebut memerlukan berbagai opsi (options) yang menuntut divergent

thinking (berpikir lateral) …”. 8 Dengan segala kemampuan dan keterbatasan, penulis berusaha meniru jejak kedua pakar tersebut dengan pijakan observasi

terhadap data tekstual dari beberapa referensi ilmiah dan surat kabar serta web-site untuk memperhatikan kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan terkait dengan kebijakan pemerintah tentang PAUD yang kini sedang berjalan dengan harapan dapat menghasilkan suatu rekomendasi yang lebih komprehensif terkait dengan dinamika kebudayaan yang makin sarat dengan berbagai persoalan.

B. Tujuan Penelitian

Dalam kehidupan sehari-hari di berbagai belahan dunia, tujuan lazim dijadikan sebagai tolok ukur bagi proses dan hasil atas suatu perbuatan manusia secara individual ataupun organisasional untuk dinilai sebagai berhasil atau gagal. Berarti, posisi tujuan itu amat penting. Yang menjadi tujuan penelitian ini dapat dikemukakan dengan redaksi yang sederhana tetapi

8 Sam M. Cham dan Tuti T. Sam, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal vi.

secara metodologis ilmiah dapat diukur melalui aktifitas penelitian sehingga obyektivitasnya dapat diketahui oleh para pembaca, seperti di bawah ini.

1. Untuk memahami dan mendeskripsikan status PAUD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dalam pemerintahan era reformasi.

2. Untuk memahami dan mendeskripsikan kondisi dasar yuridis PAUD dalam pemerintahan era reformasi.

3. Untuk memahami dan mendeskripsikan karakteristik perkembangan anak usia dini yang perlu disikapi selama aktualisasi PAUD.

4. Untuk memahami dan mendeskripsikan arah kebijakan pemerintah era reformasi mengenai PAUD.

5. Untuk memahami dan mendeskripsikan jalur penyelenggaraan PAUD dalam pemerintahan era reformasi.

6. Untuk memahami dan mendeskripsikan penanggung-jawab pembinaan PAUD dalam pemerintahan era reformasi.

7. Untuk memahami dan mendeskripsikan penyebab pemerintah era reformasi menetapkan kebijakan mengenai PAUD.

8. Untuk memahami dan mendeskripsikan temuan analisis SWOT terhadap kebijakan pemerintah era reformasi mengenai PAUD.

C. Kegunaan Hasil Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai penambah khazanah ilmiah, terutama yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah era reformasi mengenai pendidikan anak usia dini.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Republik Indonesia era reformasi baik pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan mengenai pembaruan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal, formal, dan nonformal demi lebih memperkokoh manajemen mutu pemberian rangsangan pendidikan yang melejitkan multikecerdasan yang semakin relevan dengan aneka tugas perkembangan pada periode golden-age sekaligus yang semakin relevan dengan kewajiban

penegakan nilai-nilai Pancasila dan tuntutan dinamika peradaban era globalisasi; dapat dimanfaatkan oleh para orang tua, tokoh masyarakat, dan ahli pendidikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan model, metode, dan strategi yang lebih tepat guna mendidikkan nilai-nilai Pancasila pada anak-anak usia dini sehingga dapat tumbuh berkembang menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan generasi penerus yang kredibel lagi akontabel dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagai termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 terutama dalam memperkokoh masa depan ketahanan nasional Indonesia dari tekanan nilai-nilai materialisme yang sengaja ditebarkan oleh era globalisasi; dapat dimanfaatkan oleh praktisi pendidikan dan pendidik (seperti guru, dosen, tutor, ustadz) sebagai bahan penambah informasi yang dapat lebih membantu dalam menyikapi secara arif lagi bijaksana akan variasi karakter anak-anak usia dini beserta variasi tantangan yang harus mereka antisipasi lagi respon di era globalisasi sehingga kehidupan di masa mendatang dapat semakin diwarnai cinta kasih lagi damai sejahtera; dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain di masa mendatang sebagai penambah informasi dalam menyusun rancangan penelitian lain atau rancangan penelitian lanjutan yang relevan dengan perubahan zaman melalui pendekatan yang makin variatif juga menerapkan model-model penelitian yang dipandang makin dapat memenuhi harapan masyarakat pembaca di dalam dan luar negeri.

D. Penegasan Istilah

Agar sejak awal para pembaca dapat secara jelas lagi tegas memperoleh kesamaan pemahaman mengenai konsep yang terkandung dalam tema penelitian “Kebijakan Pemerintah Era Reformasi Mengenai Pendidikan Anak Usia Dini (Studi Pustaka dengan Analisis SWOT)” beserta konstruk yang diselidiki, sehingga di antara pembaca tidak ada yang memberikan asosiasi arti yang berbeda terhadapnya, 9 maka peneliti merasa perlu

Vide, Sevilla, et.al, Pengantar Metode Penelitian, 1 st ed, terjem. Amiluddin Tuwu, UI-Press, Jakarta, 1993, hal. 18-19.

memaparkan penegasan istilah yang dianggap menjadi kata kunci dari tema penelitian seperti di bawah ini.

Secara konseptual, yang peneliti maksud dengan “Kebijakan Pemerintah Era Reformasi Mengenai Pendidikan Anak Usia Dini (Studi Pustaka dengan Analisis SWOT)”, adalah penelitian literer seputar rangkaian ketentuan peraturan perundangan-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah era reformasi untuk mengatur pendidikan anak usia 0-6 tahun guna menumbuh-kembangkan potensi multi-kecerdasan yang sejalan dengan masa depan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang makin berkeseimbangan dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila sekaligus merespon tantangan era globalisasi. 10

Secara operasional, yang peneliti maksud dengan “Kebijakan Pemerintah Era Reformasi Mengenai Pendidikan Anak Usia Dini (Studi Pustaka dengan Analisis SWOT)”, adalah penelitian literer seputar rangkaian ketentuan peraturan perundangan-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah era reformasi untuk mengatur pendidikan anak usia 0-6 tahun guna menumbuh-kembangkan potensi multi-kecerdasan yang sejalan dengan masa depan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang makin berkeseimbangan dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila sekaligus merespon tantangan era globalisasi dengan data tekstual berupa resume-cards dari hasil membaca dokumen terkait yang dianalisis secara deduktif, komparatif, dan SWOT.

E. Kerangka Pemikiran

Secara nasional, bagi bangsa Indonesia selaku bagian dari bangsa yang mendasarkan diri dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara pada landasan ideal Pancasila dengan menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila ranking pertama; maka posisi seluruh anak usia

10

Penegasan istilah secara konseptual tersebut dirumuskan setelah mencermati Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.2, cet 4, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal. 131; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, bab I, pasal 1, angka

14 dan pasal 28.

dini Indonesia masa kini adalah amanat Tuhan yang nyata-nyata diharapkan menjadi generasi penerus masa depan dengan sumber daya manusia yang dapat diandalkan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan sebagaimana tersurat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Seluruh anak usia dini Indonesia masa kini jelas merupakan bagian teramat penting lagi teramat mahal bagi karakter bangsa masa depan yang menjadi syarat mutlak bagi efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan nasional guna mengaktualisasikan kekokohan ketahanan nasional dalam pelbagai bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan demi memperjuangkan pencapaian cita-cita kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan di atas dunia. Karena itu, kehadiran seluruh anak usia dini Indonesia masa kini perlu dipersiapkan dalam waktu yang relatif panjang melalui PAUD yang sesuai lagi memadai agar potensi multi-kecerdasan pada mereka dapat tumbuh berkembang secara maksimal sebagai bukti kepemilikan kesiapan sumber daya manusia yang benar-benar siap diabdikan untuk kepentingan masa depan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang semakin sarat persoalan yang menuntut penyelesaian dengan segera (instan) lagi terpadu oleh jajaran para pihak terkait.

Secara organisasional, pemerintah selaku pemangku kepentingan eksekutif menurut model Trias-Politika dituntut menetapkan kebijakan yang memuat ketentuan aturan bagi para pihak terkait dengan PAUD agar tercipta koordinasi dan sinkronisasi serta harmonisasi hubungan kerja-sama yang lazim dalam sinergitas kinerja memenuhi berbagai “hak” dan “kewajiban” demi peningkatan efektivitas layanan pemberian rangsangan edukatif bagi seluruh anak usia dini Indonesia sehingga potensi multi-kecerdasan (intelektual, emosional, spiritual, sosial, dan lain-lain) pada mereka benar- benar sesegera mungkin dapat tumbuh berkembang secara maksimal sekaligus sesegera mungkin dapat terjadi internalisasi nilai-nilai Pancasila pada diri mereka sebagai tunas-tunas bangsa yang benar-benar anti segala bentuk penjajahan (tidak mau dijajah sekaligus tidak mau menjajah).

Secara psikis, manusia akan gemar melakukan suatu perbuatan, apabila karakteristik perbuatan itu telah benar-benar dikenal, dipahami, dibutuhkan, dilatihkan, dibiasakan dengan penuh kedisiplinan yang barangkali saja pada tahap awalnya untuk sementara waktu dirasakan sebagai paksanaan. Dengan ini, maka kehadiran kebijakan pemerintah era reformasi mengenai PAUD adalah amat relevan dan memang tidak dapat ditawar atau ditunda- tunda pengaktualisasiannya.

Secara sosiologis, diakui bahwa peradaban manusia dewasa ini telah memasuki era globalisasi yang ditandai oleh pemanfaatan dunia tanpa batas teritorial untuk mengkomunikasikan segala produk budaya seluruh bangsa sehingga cenderung memunculkan segala fenomena positif dan negatif bagi kelanjutan aspek-aspek pandangan hidup (way of life) masing-masing bangsa. Penganut materialisme dengan pelbagai cabangnya untuk sementara waktu tampak menjadi skenario, sutradara, produser, dan pemain budaya seluruh bangsa. Sementara itu penganut suatu agama semisal umat Islam tampak lebih dominan menjadi penonton, pengekor dan konsumen. Dalam internal umat beragama, semisal umat Islam, dalam era globalisasi telah terdapat fenomena pendangkalan aqidah, ibadah, dan akhlaq karimah. Fenomena negatif dalam internal umat Islam ini tidak akan pernah mencuat; manakala mereka terlatih komitmen dengan pembelajaran tata nilai agama sejak usia dini. Bagi bangsa Indonesia yang kini tengah berada dalam era reformasi dan era otonomi daerah, jika fenomena negatif tersebut dibiarkan terus berlangsung, maka secara pasti dapat membuka celah yang makin melebar bagi gangguan terhadap penegakkan keberimbangan “hak” dan “kewajiban”. Berarti, fenomena negatif itu dapat memicu kehadiran perilaku primordialis yang mengusung semangat disintegrasi bangsa dengan berbagai kedok semisal hak asasi manusia dan otonomi daerah. Kebalikannya, respon yang tepat lagi cepat terhadap fenomena negatif tersebut, semisal melalui PAUD atas kebijakan pemerintah yang arif; tentu dapat berdampak positif bagi persatuan dan kesatuan bangsa demi stabilitas pembangunan nasional dalam segala aspek kehidupan.

Secara edukatif, diakui bahwa selaku pendidik pertama lagi utama bagi anak dalam kehidupan rumah tangga sebagai lembaga pendidikan informal, orang tua muslim (ayah dan/atau ibu) dituntut mampu mengemban tugas mendidik anaknya sejak usia dini. Dalam mendidikkan nilai-nilai keimanan, peribadatan, dan akhlaq; Islam telah memberi pedoman yang meyakinkan bagi setiap orang tua. Berkaitan dengan posisi tersebut, realitas tugas yang wajib diemban oleh setiap orang tua adalah memahamkan dan menginternalisasikan serta mendisiplinkan ajaran Islam pada anaknya sebagai pilar utama dalam memperjuangkan perwujudan kesalihan anak. Dalam waktu yang bersamaan, orang tua juga dapat menitipkan pendidikan anaknya, termasuk yang masih dalam usia dini, pada jalur pendidikan formal semisal Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA), juga lembaga pendidikan nonformal semisal Taman Pendidikan Al-Qur’an.

F. Status PAUD yang Diselenggarakan Melalui Jalur Pendidikan Formal

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 angka 14 yang menyebutkan bahwa “Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki

kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”; 11 maka berarti segala macam pendidikan, baik yang diberikan di rumah maupun di sekolah pada

anak-anak usia 0-6 tahun dapat dimasukkan dalam kategori PAUD. Kemudian sejalan dengan frase yang terdapat dalam bagian akhir dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 angka 14 “agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut” dan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI Pasal 28 ayat (2) bahwa “Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur

11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam file pdf, hal. 3.

pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal” 12 serta sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Bab VI Pasal 28 ayat (3) bahwa “Pendidikan anak usia dini pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat”; 13 maka dapat diperoleh kesan yang kuat seakan-akan PAUD

yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal adalah termasuk bagian dari jenjang pendidikan dasar sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI Pasal 14 “Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan

pendidikan tinggi”. 14 Akan tetapi apabila kemudian merujuk pada Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI Pasal 28 ayat (1) bahwa “Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum

pendidikan dasar” 15 dan penjelasannya bahwa “Pendidikan anak usia dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dan bukan

merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar”, 16 juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Bab VI Pasal 17 ayat (2) bahwa “Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”; 17 maka PAUD yang diselenggarakan melalui jalur

pendidikan formal adalah secara eksplisit tidak termasuk bagian dari struktur jenjang pendidikan dasar. Dan menjadi amat menggalaukan pemikiran para pembaca ketika merujuk Peraruran Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan pendidikan bab III pasal 60 : “Penyelenggaraan pendidikan formal meliputi: a. pendidikan anak usia dini; b. pendidikan dasar; c. pendidikan menengah; dan d. pendidikan

13 Ibid, hal. 12. 14 Ibid. 15 Ibid, hal 8. 16 Ibid, hal. 12. 17 Ibid, hal. 41. Ibid, hal. 8.

tinggi”. 18 Yang lazim terjadi di Indonesia bahwa kegalauan semacam ini menjadi sirna ketika Mahkamah Konstitusi menerbitkan keputusan tertentu

mengenai hal itu setelah ada aduan masyarakat secara tertulis. Menanggapi realitas ini, Erma Pawitasari --kandidat doktor Pendidikan Islam, juga direktur Eksekutif Andalusia Islamic Education and Management Services-- memasukkan status/posisi PAUD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal sebagai kebijakan yang mengalami kerancuan. 19 Menurut UNESCO, di Indonesia, PAUD bukan merupakan bagian dari sistem pendidikan formal, 20 sebagai jalur pendidikan

yang terstruktur dan berjenjang. Berarti selama ini, kebijakan pemerintah era reformasi mengenai status/posisi PAUD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal semisal Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) adalah kurang tegas (tidak konsisten), pada satu sisi diakui sebagai bagian dari jalur pendidikan formal, tetapi pada sisi lain tidak dimasukkan sebagai bagian dari jenjang pendidikan formal (pendidikan dasar : Sekolah Dasar dan/atau Madrasah Ibtidaiyah). Percaya atau tidak percaya, realitas ini terjadi dalam pemerintahan era reformasi.

Kendati demikian, oleh karena yang dititik-beratkan dalam PAUD adalah “peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini”; 21 maka apresiasi positif dari

masyarakat terhadap PAUD pada jalur pendidikan formal memang semakin terjadi, masyarakat Indonesia telah memperlihatkan menyediakan pondasi yang kuat bagi penyelenggaraan PAUD sebagai bagian dari kultur bangsa,

18 Peraruran Pemerintah Republil Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan pendidikan, dalam file pdf, hal. 43. 19

Vide, “Jumlah Topik Harian Paud”, online : http://www.suara-islam.com/ tabloid.php?tab_id=101 20 – diakses 30-12-2013. 21 Vide, UNESCO, hal. 18. “Pendidikan Anak Usia Dini”, online, http://id.wikipedia.org/ - diakses 02-

02-2011.

mengingat bahwa “Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan kurun waktu yang sangat penting dan kritis dalam hal tumbuh kembang fisik, mental, dan psikososial, yang berjalan sedemikian cepatnya sehingga keberhasilan tahun-tahun pertama untuk sebagian besar menentukan hari depan anak.”. 22

Dalam pandangan Nani Susilawati (Staf Pengajar FISIP USU), “PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya, sebab merupakan fondasi dasar bagi kepribadian anak”. 23 Bagi

masa depan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, eksistensi PAUD amat penting jika dihubungkan dengan pembentukan karakter manusia Indonesia seutuhnya, dan memang PAUD yang terjadi pada masa usia keemasan (the golden age) dapat menjadi basis penentu pembentukan karakter manusia Indonesia.

Dari pembahasan di atas dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa status PAUD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dalam pemerintahan era reformasi semisal Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) adalah kurang tegas (tidak konsisten, dalam kerancuan), pada satu sisi diakui sebagai bagian dari jalur pendidikan formal, tetapi pada sisi lain tidak dimasukkan sebagai bagian dari jenjang pendidikan formal (pendidikan dasar).

G. Dasar Yuridis PAUD dalam Era Reformasi

Dasar yuridis PAUD merupakan landasan penyelenggaraan PAUD yang terdiri dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis diberlakukan di Indonesia yang bersifat mengikat jajaran penyelenggara negara dan warga negara. Kondisi dasar yuridis menjadi penentu eksistensi PAUD dalam konteks kehidupan bernegara, dalam pengertian kekokohan dasar yuridis menenentukan kekohan PAUD, dan begitu jua sebaliknya. Oleh Zuhairini dan kawan-kawan, dasar yuridis ini dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, dasar ideal yang terdiri dari

Dida, “Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia”, online,

http://sadidadalila.wordpres.com/ 23 - diakses 02-02-2011.

Nani Susilawati, “Memahami Pendidikan Anak Usia Dini”, online, http://qeeasyifa.multiply.com/ -diakses 02-02-2011.

Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai falsafah (way of life) bangsa Indonesia yang memperlihatkan visi kehidupan yang harus diwujudkan. Kedua, dasar struktural yang terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945 yang memperlihatkan misi yang harus diemban dalam merealisasikan berbagai hubungan hak dan kewajiban baik secara nasional antar institusi kenegaraan dan antara negara dengan warga negara maupun secara internasional. Ketiga, dasar operasional yang terdiri dari ketentuan-ketentuan yang yang lebih spesifik secara langsung mengatur pelaksanaan mengenai suatu aspek kehidupan semisal mengenai PAUD. 24

Paparan mengenai tiga dasar yuridis itu dapat diikuti di bawah ini. Termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Satu Naskah bab XA pasal 28C (1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi

kesejahteraan umat manusia”, 25 dan bab XIII pasal 31 (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. 26 Berarti, Undang-Undang Dasar di Indonesia secara tegas memposisikan pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan bagian dari hak warga-negara yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya.

Termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bab III pasal 9 (1) “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan

pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. 27 Berarti, hak mendapatkan pendidikan bagi anak-anak tanpa kecuali sebagai

bagian yang prinsipil untuk mendapatkan perlindungan negara yang harus

24 Vide, Zuhairini, et.al, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, 1981, hal. 19-21. 25

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945 dalam Satu Naskah, dalam file pdf, hal. 20. 26 27 Ibid, hal. 24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam file pdf, hal. 5.

dipenuhi dengan berbagai layanan interaksi-edukatif sebaik mungkin sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, dan tidak boleh hanya dengan asal-asalan.

Termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bab II pasal 2 “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, 28 serta bab IV pasal 5 (1) “Setiap

warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. 29 Berarti, Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 di samping

mempertegas bahwa yang menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan di Indonesia adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, juga mempertegas posisi mendapatkan pendidikan yang bermutu (bukan pendidikan yang asal-asalan) sebagai bagian dari hak-hak setiap warga negara, dan itu tentu termasuk layanan pendidikan bagi para anak usia dini.

Termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) bab VI pasal 29 (1) “Pendidik pada pendidikan anak usia dini memiliki : a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-1); b. latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan c. sertifikasi profesi guru untuk PAUD”. 30 Berarti, kendati secara tekstual yang disebut dalam SNP lebih

terfokus pada pendidik PAUD, maka sesungguhnya SNP dapat dijadikan sebagai dasar yuridis PAUD, sebab pendidik PAUD yang disebut itu adalah bagian yang paling menentukan eksistensi dari unsur-unsur lain dalam penyelenggaraan PAUD.

Termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (sebagai diubah dengan Nomor 66 Tahun 2010) pada bagian kedua yang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam file pdf, hal. 4.

30 Ibid, hal. 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang

Standar Nasional Pendidikan, dalam file pdf, hal. 13.

secara khusus mengatur PAUD dengan enam pasal berurutan, yakni pasal 61 mengenai fungsi dan tujuan, pasal 62 mengenai bentuk dan jenis satuan pendidikan, pasal 63 mengenai peserta didik, pasal 64- 65 mengenai penerimaan peserta didik, dan pasal 66 mengenai program pembelajaran. 31

Berarti, ketentuan ini mengikat para pihak yang terkait sebagai acuan untuk tindak-lanjut menumbuh-kembangkan unsur-unsur yang dipandang dapat mendinamisasi PAUD agar terarah, terpadu, terkoordinasi, dan tersinkronisasi.

Termaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2009 Tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini pada pasal 1 (1) “Standar pendidikan anak usia dini meliputi pendidikan formal dan nonformal yang terdiri atas : a. Standar tingkat pencapaian perkembangan; b. Standar pendidik dan tenaga kependidikan; c. Standar isi, proses, dan penilaian; dan d. Standar sarana dan prasarana, pengelolaan, dan

pembiayaan.”. 32 Berarti, ketentuan ini menjadi dasar bagi para penanggung- jawab penyelenggaraan suatu satuan PAUD terutama pada jalur formal Taman

Kanak-Kanak (TK) dan/atau Radhatul Athfal (RA) untuk mengadakan penataan lebih lanjut agar mutu layanan rangsangan edukatif terhadap para peserta didik dapat semakin ditingkatkan sesuai dengan standar minimal yang menjadi acuan atau di atasnya. Hal ini tentu amat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia di sana, terkait dengan kualifikasi dan kompetensi para guru dan tutor.

Di samping itu, diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan Nasional yang dalam bab I pasal 4c menyebut Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, Informal beserta tugas-tugasnya, dan dalam bab IV pasal 110b menyebut Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini beserta tugas-tugasnya. Dan pada tahun 2011, Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini menerbitkan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dalam file pdf, hal. 43-46. 32 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 Tahun

2009 Tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, dalam file pdf, hal. 2.

POS PAUD yang menjadi acuan masyarakat dalam mengakses dan menerapkan pengembangan layanan satuan PAUD sejenis yang holistik lagi integratif melalui aktifitas layanan Bina Keluarga Balita (BKB) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) pada masing-masing desa atau kelurahan di Indonesia; juga pada tahun 2011, menerbitkan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan PAUD Berbasis Taman Pendidikan Al-Qur’an (PAUD-TPQ) yang menjadi acuan masyarakat dalam mengakses dan mengimplementasikan pelayanan satuan PAUD sejenis dalam bentuk layanan PAUD berbasis TPQ.

Dari pembahasan di atas dapat ditarik suatu pemahaman bahwa kondisi dasar yuridis pendidikan anak usia dini adalah tampak semakin kokoh lagi semakin lengkap; sebagai landasan ideal adalah Pancasila sebagai termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar negara 1945; sebagai landasan struktural adalah undang-undang dasar negara 1945; dan sebagai landasan operasional adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (sebagai diubah dengan Nomor 66 Tahun 2010), Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2009 Tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor

36 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan Nasional yang dalam bab I pasal 4c menyebut Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, Informal beserta tugas-tugasnya, dan dalam bab

IV pasal 110b menyebut Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini beserta tugas-tugasnya, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan POS PAUD yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini pada 2011, dan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan PAUD Berbasis Taman Pendidikan Al- Qur’an (PAUD-TPQ) yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini pada 2011.

H. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini

Setiap anak usia dini 0-6 tahun merupakan individu yang berbeda, masing-masing memiliki karakteristik perkembangan yang unik sesuai dengan tahapan usia. Masa usia dini merupakan masa keemasan (golden age) yang perlu mendapatkan stimulasi terhadap seluruh aspek perkembangan yang berperan penting untuk tugas perkembangan lebih lanjut dalam usia di atas enam tahun. Masa anak usia dini yang lazim dikenal sebagai masa-masa awal kehidupan, sungguh merupakan masa terpenting dalam rentang kehidupan masa depan yang relatif panjang secara duniawi bahkan secara ukhrawi.

Anak usia dini 0-6 tahun lazim mengalami masa keemasan, sebagai masa peka/sensitif untuk menerima berbagai stimulus dengan intensitas kepekaan yang berbeda-beda pada setiap anak, bersesuaian dengan taraf pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual. Dalam masa peka ini ditandai oleh terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis pada anak sehingga mulai siap merespon stimulasi dari lingkungan sekitar. Masa peka ini merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan keimanan, ketaqwaan, kognitif, motorik, bahasa, sosio emosional, dan moral yang menjadi fondasi bagi anak untuk menjalani kehidupan di masa yang akan datang. Perkembangan anak pada masa peka ini dipandang dapat memberikan dampak yang positif terhadap kemampuan intelektual, karakter personal dan kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungan. Kesalahan penanganan anak pada masa peka ini dipandang dari sudut pendidikan dapat menghambat perkembangan anak yang seharusnya optimal dari segi fisik maupun psikis, yang dapat merugikan para pihak pemangku kepentingan baik dalam skop keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.

Pertumbuhan anak berbeda dengan perkembangan anak. Pertumbuhan anak, kebih bersifat kuantitatif, sedangkan perkembangan anak lebih merujuk pada parameter kualitatif. Dengan demikian, yang dimaksud dengan perkembangan anak usia dini adalah kemajuan kualitas fungsi fisik, psikis maupun sinergi dari keduanya. Perkembangan anak usia dini yang perlu peneliti lebih perhatikan lebih lanjut mencakup bidang : 1. kemampuan Pertumbuhan anak berbeda dengan perkembangan anak. Pertumbuhan anak, kebih bersifat kuantitatif, sedangkan perkembangan anak lebih merujuk pada parameter kualitatif. Dengan demikian, yang dimaksud dengan perkembangan anak usia dini adalah kemajuan kualitas fungsi fisik, psikis maupun sinergi dari keduanya. Perkembangan anak usia dini yang perlu peneliti lebih perhatikan lebih lanjut mencakup bidang : 1. kemampuan

1. Kemampuan motorik Perkembangan kemampuan motorik anak usia dini terjadi sebagai tindak lanjut dari perkembangan sistem syarafnya yang semakin matang. Perkembangan kemampuan motoriknya ini terdiri dari dua tipe. Tipe pertama, adalah kemampuan motorik menggerakkan bagian tubuhnya yang besar, seperti tangan dan kaki, sehingga yang bersangkutan dapat berjalan, berlari, keseimbangan tubuh dan koordinasi gerak. Yang perlu mendapat perhatian pada tipe pertama ini adalah kekuatan otot, kualitas gerakan dan sejauh mana anak mampu melakukan gerakan. Sedangkan tipe kedua adalah kemampuan menggerakkan bagian-bagian kecil dari tubuhnya, seperti jari tangan, jari kaki dan mata yang dapat dilihat dari kemampuan anak melempar dan menangkap sesuatu, menggambar maupun meraih benda.

2. Fungsi fisik Perkembangan fungsi fisik anak usia dini lazim mengikuti pola tertentu. Pertama, perkembangan fungsi bagian tubuh yang besar lebih awal dibandingkan fungsi bagian tubuh yang kecil; seperti perkembangan fungsi tangan dan kaki lebih dulu dibandingkan dengan jari-jarinya. Kedua, perkembangan bagian-bagian utama tubuh lebih dahulu dibandingkan dengan bagian lainnya; seperti lambung, jantung dan organ inti lainnya lebih dulu dan lebih kuat dibandingkan perkembangan fungsi kaki dan tangan. Ketiga, perkembangan dimulai dari bagian atas tubuh menuju bagian bawah. Perkembangan anak usia dini untuk memfungsikan fisiknya dimulai dari kepala baru kemudian ke bagian kaki, sehingga lebih dulu mampu mengangkat kepalanya dibandingkan berguling. Dinamika perkembangan fungsi fisik diarahkan untuk mengembangkan lima aspek

Vide, “Perkembangan Anak pada Masa Usia Dini”, online, http://www.ibudanbalita.net/938/perkembangan-anak-pada-masa-usia-dini.html - diakses 30- 12-2012; Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, 8th ed, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hal. 109-111.

yang meliputi : kekuatan (strength), ketahanan (endurance), kecepatan (speed), kecekatan (agility), dan keseimbangan (balance).

3. Kemampuan kognitif Perkembangan kemampuan kognitif anak usia dini barkaitan dengan daya ingat, kemampuan menganalisis maupun kemampuan memecahkan suatu masalah. Anak usia dini merupakan peneliti kecil, aktif melakukan percobaan kemudian merekam data dengan canggih melalui panca indra dan menganalisis suatu data yang dikumpulkan dari lingkungan sekelilingnya, aktif melakukan pengamatan terhadap segala peristiwa sosial sekaligus merekam data dengan canggih melalui panca indra dan menganalisis serta menafsirkannya, aktif berdiskusi (bertanya- jawab) secara kritis obyektif dengan semua orang yang telah dikenal. Dukungan lingkungan untuk menunjang perkembangan kognitif anak amat diperlukan. Interaksi yang sehat antara anak dan lingkungan dapat mengoptimalkan perkembangan kognitifnya.

Kemampuan perkembangan kognitif anak usia dini diklasifikasi ke dalam dua tahapan. Pertama, tahap sensorimotor dalam usia 0-2 tahun dengan tanda anak lebih banyak menggunakan gerak refleks dan indera untuk berinteraksi dengan lingkungan. Kedua, tahap prepational dalam usia 2-6 tahun dengan tanda penguasaan bahasa anak sudah sisematis, anak telah mampu melakukan permainan simbolis, imitasi (baik langsung maupun tertunda) serta mampu mengantisipasi apa yang terjadi waktu mendatang, namun demikian, cara berpikir anak masih bersifat egosentrik, anak mampu mengambil perspektif orang lain, baik secara perseptual, emosional-motivasional dan konseptual.

4. Kemampuan berbahasa Cara orang tua berbicara akan memainkan peran penting bagi perkembangan kemampuan berbahasa anak usia dini. Penggunaan bahasa ibu dapat mendukung anak untuk belajar bahasa lebih cepat. Semula anak hanya mampu mengoceh, menjadi pendengar yang baik atas pembicaraan orang-orang di sekelilingnya dan kemudian dia tampak mulai mampu 4. Kemampuan berbahasa Cara orang tua berbicara akan memainkan peran penting bagi perkembangan kemampuan berbahasa anak usia dini. Penggunaan bahasa ibu dapat mendukung anak untuk belajar bahasa lebih cepat. Semula anak hanya mampu mengoceh, menjadi pendengar yang baik atas pembicaraan orang-orang di sekelilingnya dan kemudian dia tampak mulai mampu

Selain dukungan dari orang-orang terdekat maupun lingkungan sekitar, perkembangan berbahasa anak usia dini perlu didukung pula oleh suplai nutrisi yang mencukupi. Ini dikarenakan pada masa perkembangan anak usia dini dibutuhkan zat-zat gizi penting dari makanan-minuman halal-thayiba untuk proses pematangan jaringan tubuh dan untuk menyediakan energi dalam proses anak bereksplorasi.

5. Kemampuan beragama Kendati setiap anak usia dini tampak memiliki jangkauan pikiran secara terbatas dan memiliki perbendaharaan kata secara terbatas serta memiliki pemahaman atas istilah-istilah yang bermakna abstrak juga secara terbatas; akan tetapi ternyata mereka memiliki kemampuan yang istimewa dalam merasakan sikap, tindakan, perasaan dari kedua orang tuanya dan pengasuhnya serta orang-orang dekat lainnya. Realitas ini sungguh menakjubkan bagi siapapun.

Pendidikan pertama lagi utama bagi setiap anak usia dini diperoleh dalam lingkungan keluarga masing-masing melalui pengalaman anak hidup bersama sekeluarga, semisal melalui ucapan yang didengar; tindakan, perbuatan, sikap yang dilihat; perlakukan yang dirasakan. Bermula dari lingkungan keluarga, mereka mengenal Tuhan dan pelbagai perilaku beragama. Apabila mereka dilahirkan dan diasuh dalam lingkungan keluarga yang taat beragama, maka dari sana mereka mendapatkan pengalaman keagamaan melalui ucapan, tindakan, dan perlakuan. Sehari-hari dilingkungan keluarga mereka mendengar “Alloh” disebut berulang-kali, dan mungkin sekali semula mereka tidak memiliki perhatian, kemudian mereka ikut memiliki perhatian khusus dengan ikut menyebut “Alloh” secara berulang-kali dalam berbagai situasi dan kondisi seraya memperlihatkan bahasa tubuh terutama pada raut muka yang Pendidikan pertama lagi utama bagi setiap anak usia dini diperoleh dalam lingkungan keluarga masing-masing melalui pengalaman anak hidup bersama sekeluarga, semisal melalui ucapan yang didengar; tindakan, perbuatan, sikap yang dilihat; perlakukan yang dirasakan. Bermula dari lingkungan keluarga, mereka mengenal Tuhan dan pelbagai perilaku beragama. Apabila mereka dilahirkan dan diasuh dalam lingkungan keluarga yang taat beragama, maka dari sana mereka mendapatkan pengalaman keagamaan melalui ucapan, tindakan, dan perlakuan. Sehari-hari dilingkungan keluarga mereka mendengar “Alloh” disebut berulang-kali, dan mungkin sekali semula mereka tidak memiliki perhatian, kemudian mereka ikut memiliki perhatian khusus dengan ikut menyebut “Alloh” secara berulang-kali dalam berbagai situasi dan kondisi seraya memperlihatkan bahasa tubuh terutama pada raut muka yang

Tindakan dan perlakuan orang tua yang sesuai dengan ajaran agama dapat menimbulkan pengalaman beragama yang positif pada mereka. Sikap orang tua pada agama dapat mempengaruhi sikap keberagamaan mereka. Jika orang tua bersikap menghormati dan mengindahkan ajaran agama, maka itu dapat memotifasi mereka juga menghormati dan mengindahkan ajaran agama. Dan jika orang tua bersikap meremehkan ajaran agama, maka itu bagi mereka dapat memupuk sikap acuh tak acuh pada ajaran agama. Kemudian ketika mereka dimasukkan ke dalam PAUD jalur formal dan/atau nonformal, maka guru di sana merupakan orang yang harus mendidik lebih lanjut keberagamaan mereka. Keimanan dan sikap guru pada agama pasti tercermin dalam berbagai layanan pendidikan di sana. Kemampuan beragama mereka yang mulai tumbuh-berkembang dalam keluarga dapat menjadi tambah subur apabila guru memiliki sikap yang positif terhadap ajaran agama. Dan jika sebaliknya, kemampuan beragama mereka yang mulai tumbuh-berkembang dalam keluarga dapat menjadi kurus atau bahkan layu. Masa anak usia dini merupakan momentum yang paling tepat untuk memulai menumbuh-kembangkan rasa beragama pada mereka melalui perlakuan dan permainan.