STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN INDUSTRI TEPUN

BISKUIT IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) SKRIPSI AMANDA CAESSARA F34070073 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

THE FEASIBILITY STUDY OF AN AFRICAN CATFISH (Clarias gariepinus) FLOUR AND BISCUIT INDUSTRY

1 2 Amanda Caessara 3 , Aji Hermawan , Clara M. Kusharto

1 University Student of Technology of Agroindustry Department, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University

2 Lecturer of Technology of Agroindustry Department, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University

3 Lecturer of Community Nutrition Department, Faculty of Human Ecology, Bogor Agricultural University

ABSTRACT

African catfish (Clarias gariepinus) is one of the popular fishes that cultivated in Indonesia. It contributes to the fulfilment of people nutrition need. African catfish can be processed into flour which can be further processed in to a variety of foods, including biscuits. The fish biscuits can be used as an alternative food to improve nutrition for the poor in Indonesia. The purpose of the study is to analyze the feasibility of an African catfish (Clarias gariepinus) flour and biscuit industry. The scope of the research includes a feasibility on the aspects of market and marketing, technology, management and organization, environment, legal, and finance.

The potential markets of the fish biscuits are infants and toddlers having nutritional problems and disaster victim children. The targeted market of the fish biscuit requires is 8.653 children per year. The products can be delivered in two form: biscuits and mixed flour. This is equivalent to 3.115.080 biscuit chips per year and the mixed flour of 7.200 kg per year. The factory is located in Bogor and the production capacity is 3.120.000 pieces of biscuits per year and 7.800 kg of mixed flour.

The total investment needed is Rp 884.335.000, including investment in fixed assets (Rp 687.775.000), and working capital (Rp 196.650.000). The NPV of this business is Rp 2.176.702.231. The IRR value is 61%. The net B/C ratio is 3. The payback period is 2 years and 1 month. These results shows that the catfish biscuit industry is feasible. The sensitivity analysis shows that business is still feasible under the condition of 30% price increase of raw materials and utilities and of 20% sales price decrease.

Keyword: biscuits, feasibility, african catfish.

Amanda Caessara F34070073. Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Di bawah bimbingan Aji Hermawan dan Clara M. Kusharto 2011.

RINGKASAN

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang dibudidayakan di Indonesia dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat karena mengandung 17,7% protein di dalamnya dan harganya yang terjangkau. Salah satu olahan dari ikan lele dumbo adalah tepung ikan lele dumbo yang dapat diolah menjadi berbagai makanan, salah satunya adalah biskuit. Biskuit ikan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai alternatif pangan untuk meningkatkan gizi kurang di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Ruang lingkup penelitian meliputi studi kelayakan pada aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, serta finansial.

Potensi pasar biskuit ikan meliputi balita berstatus gizi kurang dan balita rawan bencana. Diperkirakan pangsa pasar dari jumlah balita bergizi kurang dan buruk adalah sebesar 0,28% (8.153 jiwa ) dan pangsa pasar biskuit ikan untuk balita korban bencana adalah sebesar 1% (500 jiwa). Oleh karena itu, dapat diperkirakan nilai dari pangsa pasar total biskuit ikan adalah seluruh volume kebutuhan biskuit ikan sejumlah 8.653 jiwa balita. Produk yang dihasilkan dari industri biskuit ikan lele dumbo terdiri dari dua macam, yaitu tepung mix sebagai bahan dasar pembuatan biskuit ikan yang merupakan pencampuran antara tepung ikan lele dumbo dengan isolat protein kedelai serta biskuit ikan. Dari hasil perhitungan didapat kebutuhan biskuit ikan untuk memenuhi seluruh pangsa pasar adalah sebesar 3.115.080 keping per tahun dan tepung mix sebesar 7.200 kg per tahun.

Industri biskuit ikan lele dumbo direncanakan didirikan di Bogor dengan pertimbangan kondisi infrastuktur yang mendukung, ketersediaan sumber daya manusia, serta kemudahan akses dengan pasar dan sarana penunjang produksi. Kapasitas produksi pabrik sebesar 3.120.000 keping biskuit per tahun dan 7.800 kg tepung mix. Bahan baku ikan lele dumbo yang digunakan merupakan ikan lele dumbo segar yang berasal dari Kabupaten Bogor dengan pertimbangan ketersediaan bahan baku yang stabil dan melimpah. Industri ini dijalankan oleh 28 orang tenaga kerja dengan deskripsi kerja masing-masing. Industri biskuit ikan lele dumbo menghasilkan limbah dalam bentuk padat, cair, dan gas, namun jumlahnya relatif sedikit dan memenuhi standar baku mutu, sehingga masih aman bagi lingkungan.

Besar biaya investasi yang diperlukan adalah sebesar Rp 884.335.000, yang terdiri dari biaya investasi tetap sebesar Rp 687.775.000, dan biaya modal kerja sebesar Rp 196.650.000 pada tahun pertama. Nilai NPV industri ini sebesar Rp 2.176.702.231. Nilai IRR-nya sebesar 61%. Nilai Net B/C- nya sebesar 3. Payback period industri ini adalah selama 2 Tahun 1 Bulan. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa industri biskuit ikan lele dumbo ini layak untuk didirikan. Perhitungan analisis sensitivitas industri biskuit ikan lele dumbo dilakukan terhadap kenaikan harga bahan baku dan utilitas sebesar 30% serta penurunan harga jual 20% yang menunjukkan bahwa industri biskuit ikan lele dumbo masih layak untuk didirikan.

STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN INDUSTRI TEPUNG DAN BISKUIT

IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh: AMANDACAESSARA F34070073 2011 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ” adalah karya asli saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bagian daftar pustaka.

Bogor, Juli 2010 Yang membuat pernyataan,

Amanda Caessara F34070073

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1989. Penulis merupakan anak pertama, putri dari pasangan Bapak Drs. Amir Hamzah (Alm.) dan Ibu I. Rosiana. Pada tahun 1995, penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Kasih Ananda X Jakarta Utara yang dilanjutkan dengan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Kasih Ananda I Jakarta Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP 30 Jakarta pada tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 4 Kota Bekasi dan lulus pada

tahun 2007. Setelah lulus sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa kuliah penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi Minyak Atsiri, Rempah-rempah, dan Fitofarmaka (2011). Penulis juga aktif di sejumlah organisasi dan kepanitiaan, salah satunya adalah Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri IPB (Himalogin IPB).

Penulis melaksanakan praktik lapangan pada tahun 2010 dengan topik “Pengembangan Organisasi di PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Divisi Bogasari Flour Mills Jakarta”. Untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ”.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah AWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan akhir yang berjudul Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Mami, I. Rosiana, yang selalu memberikan dukungan, bantuan, nasihat, dan doa, serta Alm. Papi, Amir Hamzah, yang selalu menginginkan yang terbaik untuk penulis.

2. Dr. Ir. Aji Hermawan, M. M. dan Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Muslich, M. Si. sebagai dosen penguji dalam sidang skripsi.

4. Dosen-dosen dan karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah memberikan ilmu dan pelajaran yang berguna bagi penulis.

5. Mbak Nunung dan Mbak Risty yang selalu bersedia menjawab semua pertanyaan penulis demi kelancaran penyusunan skripsi.

6. Keluarga besar Alm. Adang Priyatna sebagai pemebri dukungan dan doa.

7. Andika Caessara dan A. Arviandito Caessara sebagai adik yang selalu mendukung dan mendoakan.

8. Eko Apriyanto yang selalu menemani, memberi semangat, mendoakan, dan menjadi tempat keluh kesah penulis.

9. Ditta Nirmala, Kartika Sari, dan Fatta Qurota A’yun sebagai teman seperjuangan atas segala bantuan dan dukungan selama penelitian ini.

10. Seluruh teman-teman TIN 44, adik-adik dan kakak-kakak di TIN yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikannya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak manapun yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2011

Penulis

Halaman

75

Tabel 5.6 Lembar Kerja untuk Diagram Keterkaitan Antar Aktivitas ...........

76

Tabel 5.7 Perhitungan TCR (Total Closeness Rating) ...................................

Tabel 5.8 Kebutuhan Luas Ruang Produksi Tepung Ikan dan Biskuit Ikan ...

77 Tabel 6.1 Penentuan Jumlah Tenaga Kerja yang Dibutuhkan ..........................

79 Tabel 6.2 Kebutuhan dan Kualifikasi Tenaga Kerja yang Dibutuhkan pada

80

Industri Tepung dan Biskuit Ikan ....................................................

Tabel 8.1 Komponen Biaya Investasi Tetap yang Dibutuhkan dalam Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan ....................................

92

Tabel 8.2 Prakiraan Penerimaan Industri Tepung dan Biskuit Ikan .................

93 Tabel 8.3 Proyeksi Laba Rugi Penjualan Biskuit Ikan dan Tepung Mix dalam

94

10 Tahun Produksi ...........................................................................

95

Tabel 8.4 Proyeksi Arus Kas Industri Tepung dan Biskuit Ikan .......................

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan gizi yang mendominasi perhatian para pakar gizi selama ini adalah masalah kekurangan energi dan protein (KEP) yang disebabkan akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta gangguan kesehatan. Saat ini masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu, kecuali pada wanita terutama di daerah miskin. Namun, pada anak-anak khususnya di bawah usia lima tahun (balita), sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan (Soekirman, 2000).

Salah satu sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat adalah pangan hewani. Pangan hewani memiliki keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi. Ikan sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber protein lainnya, diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi dalam tubuh ikan yang tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia.

Ikan lele adalah salah satu ikan air tawar yang paling banyak diminati, serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan lele yang popular di masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo memiliki berbagai kelebihan sehingga lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat. Kelebihan tersebut adalah pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi (Anonymous, 2006).

Selain keunggulan-keunggulan yang dimiliki, ikan lele dumbo juga mempunyai kekurangan, yaitu tingginya kandungan air dan pH, serta kandungan asam lemak tak jenuh yang dagingnya mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat menghambat penggunaannya sebagai bahan pangan. Oleh karena itu, diperlukan proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk, maupun daya awetnya (Adawyah, 2007).

Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil sampingan ikan. Usaha pengolahan tepung ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar dengan harga murah karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto, 1992).

Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dumbo dapat menjadi suatu bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup lama dibandingkan ikan segar, bentuknya yang berupa tepung diharapkan menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya. Penggunaan tepung ikan sebagai bahan pelengkap tepung terigu pada pembuatan biskuit merupakan salah satu alternatif pengunaan yang menjanjikan, terutama dari segi kualitas yang dihasilkan.

Biskuit merupakan makanan yang cukup populer dan praktis karena dapat dimakan kapan saja dengan pengemasan yang baik, serta memiliki daya simpan yang relatif panjang. Biskuit dapat Biskuit merupakan makanan yang cukup populer dan praktis karena dapat dimakan kapan saja dengan pengemasan yang baik, serta memiliki daya simpan yang relatif panjang. Biskuit dapat

Tepung kedelai biasa digunakan sebagai komponen utama dalam pembuatan biskuit yang tinggi protein. Penggunaan tepung kedelai juga dapat dikatakan memperbaiki tekstur biskuit. Kedelai juga biasa digunakan sebagai bahan baku industri pangan. Salah satu bahan baku industri dari kedelai adalah isolat protein. Fungsi utama isolat protein kedelai dalam bahan pangan adalah untuk memperbaiki kandungan gizi produk makanan yang diproduksi (Manley, 2000).

Adanya kebutuhan akan alternatif pangan bergizi dengan harga terjangkau membuka peluang untuk memproduksi biskuit dari tepung ikan lele dumbo. Pasar produk biskuit lele ini masih terbuka lebar dan persaingan belum ketat. Selain itu, teknologi pembuatan biskuit lele tidaklah terlalu rumit dan dapat menggunakan peralatan yang sederhana, serta ketersediaan bahan baku untuk pembuatan biskuit ini cukup melimpah.

Untuk melakukan pendirian industri tepung dan biskuit dari tepung ikan lele dumbo diperlukan adanya studi kelayakan. Studi kelayakan merupakan suatu analisis perencanaan yang sistematis dan mendalam atas setiap faktor yang memiliki pengaruh terhadap kemungkinan proyek untuk mencapai sukses. Semua data, fakta dan berbagai pendapat yang dikemukakan dalam studi kelayakan tersebut akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan apakah proyek yang bersangkutan akan direalisasikan, dibatalkan, atau dikaji ulang. Beberapa aspek studi kelayakan yang diperlukan dalam pendirian industri ini, antara lain: aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, dan analisis finansial.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dari aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, serta finansial.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi aspek-aspek yang mempengaruhi pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo di lokasi terpilih yakni sebagai berikut.

1. Analisis aspek pasar dan pemasaran, meliputi analisis pasar dan rencana pemasaran, serta strategi bauran pemasaran.

2. Analisis aspek teknik dan teknologi, meliputi spesifikasi dan ketersediaan bahan baku, penentuan kapasitas produksi, jenis teknologi beserta informasi neraca masa, mesin dan peralatan yang digunakan, serta lokasi proyek dan tata letak pabrik.

3. Analisis aspek manajemen dan organisasi, meliputi penentuan struktur organisasi, kebutuhan tenaga manajerial dan operasional yang mendukung keberhasilan usaha, serta deskripsi dan spesifikasi kerja masing-masing.

4. Analisis aspek lingkungan dan legalitas, meliputi analisis dampak lingkungan akibat pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo, dan peraturan pemerintah terkait pendirian industri, serta perizinan yang harus dipenuhi.

5. Analisis aspek finansial, meliputi perkiraan jumlah dana yang diperlukan, serta perhitungan kelayakan investasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan yang dibudidayakan di Indonesia. Ikan lele memiliki bentuk tubuh yang memanjang dan berkulit licin (tidak bersisik). Sesuai dengan familinya, yaitu Claridae, lele dumbo memiliki bentuk kepala pipih dengan tulang keras sebagai batok kepala. Di sekitar mulut terdapat empat pasang sungut. Pada sirip dada terdapat patil atau duri keras yang berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan diri. Ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yang terletak di bagian depan rongga insang yang memungkinkan ikan untuk mengambil oksigen dari udara. Oleh karena itu, ikan lele dapat hidup dalam kondisi perairan yang sedikit mengandung kadar oksigen (Suyanto, 2007).

Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau. Oleh karena itu, produksi lele ukuran konsumsi secara nasional mengalami kenaikan. Seperti pada tahun 2009, kenaikan tersebut terjadi mencapai 200 ribu ton. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus sp). Sementara itu, ikan lele lokal (Clarias batracus) sudah langka dan jarang ditemukan karena pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan dengan lele dumbo. Secara umum lele dumbo mirip dengan lele lokal, hanya saja ukuran lele dumbo lebih besar dibandingkan dengan lele lokal. Lele dumbo cenderung lebih panjang dan lebih gemuk dibandingkan lele lokal (Mahyuddin, 2007).

Lele dumbo termasuk ke dalam: filum Chordata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluroidea, dan genus Clarias. Salah satu dari beberapa literatur menyebutkan bahwa lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang dua spesies, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran yang besar, sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu unggulan lele dumbo adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupkan hasil rekayasa dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan telah dilepas kepasaran melalui Keputusan Menteri No. KEP.26/MEN/2004 (Mahyuddin, 2007).

Khusus pada ikan, bagian yang dapat dimakan kira-kira hanya sebesar 70%. Kepala, ekor, sirip, dan isi perutnya merupakan limbah ikan yang kebanyakan tidak dapat digunakan sebagai makanan. Bagian-bagian tubuh ikan dan manfaatnya disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Bagian-Bagian Tubuh Ikan dan Manfaatnya

Bagian Tubuh

Manfaat Daging ikan

Komponen Utama

Berbagai macam makanan Kepala ikan

Protein, Lemak

Protein, Lemak, Garam Ca,

Tepung Ikan

dan Fosfat

Tulang, Sirip

Garam Ca, Fosfat, dan

Tepung Tulang

Senyawa Nitrogen

Kulit

Lem, Kulit Olahan Sisik

Kolagen

Kolagen, Quanin

Lem

Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008

Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi ikan lele disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Komposisi Gizi Ikan lele

Zat Gizi (%)

Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008

B. Tepung Ikan

Tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan mekanis (Ilyas, 1993).

Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada daging ikan. Kadar air pada daging ikan adalah hal yang menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat dihambat. Bila proses pengeringannya berjalan terus-menerus, maka proses pembentukannya akan berhenti. Selain menggunakan metode pengeringan, dalam pembuatan tepung ikan dapat didahului dengan pemanasan suhu tinggi. Hal ini digunakan untuk menghentikan proses pembusukan baik oleh bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan cukup (Moeljanto, 1982b).

Menurut Departemen Perdagangan (1982) tepung ikan memiliki nilai gizi yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu, tepung ikan juga kaya akan vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Tepung ikan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan fosfor (P). Tepung ikan juga mengandung trace element, seperti: seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn), dan kobalt (Co) (Moeljanto, 1982a).

Usaha pembentukan tepung ikan menggunakan limbah ikan karena relatif murah dan mudah didapat, juga menggunakan peralatan yang sederhana (LIPI, 1999). Sebagian produksi tepung ikan dunia digunakan untuk makanan ternak. Karena banyak pabrik tepung ikan dibangun di negara-negara yang telah maju industri perikanannya, biasanya tepung ikan dijual dalam bentuk siap pakai. Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat berikut: butiran-butirannya agak seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan, dan benda-benda asing lainnya.

Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, lemak, mineral dan vitamin, serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, lemak, mineral dan vitamin, serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi

Menurut LIPI (1999), komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan yang digunakan. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi sebagai berikut.

- air (moisture)

Menurut Moeljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan selang terendah 6% sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada air tepung ikan.

Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tepung kepala dan tulang ikan. Kadar mineral tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat. Tepung ikan juga mengandung trace element, diantaranya Zn, I, Fe, Cu, Mn, dan Co (Moeljanto, 1982).

Menurut Ilyas (1993), tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5% - 10% dan protein 60% - 65%.

C. Kedelai dan Isolat Protein Kedelai

Kedelai (Glycine max (L.) Merr) termasuk ordo Polypetales, famili Leguminosae, sub family Papilionaceae dan genus Glycine L. Secara umum, biji kedelai terdiri dari kulit biji (hull) dan dua keping biji (cotyledons). Keping biji merupakan bagian utama biji dan dibagian inilah minyak dan protein kedelai tersimpan. Kulit biji menyatukan kedua keping biji dan sekaligus memberikan perlindungan. Selanjutnya kulit biji dapat dipisahkan dari biji dengan menggunakan prinsip aspirasi (Matthews, 1989).

Menurut Matthews (1989), kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena kandungan protein dan lemaknya yang tinggi, yaitu 40% dan 21%. Komposisi kimia biji kedelai dapat di lihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kedelai

Komponen

Komposisi

Kalori (Kal)

Kalsium (mg/ 100 g)

Fosfor (mg/ 100 g)

Besi (mg/ 100 g)

Vitamin A (SI/ 100 g)

Vitamin B (SI/ 100 g)

Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1972 dalam Koswara 1995 Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar

protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai. Isolat protein kedelai dapat dibuat dari tepung kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Isolat protein baik sekali digunakan dalam formulasi makanan, karena dapat berfungsi sebagai pengikat dan pengemulsi. Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavor produk. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti, dan biskuit (Koswara, 1995).

Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam air dan bila emulsi ini telah terbentuk, protein kedelai akan menstabilkannya. Stabilitas emulsi penting, karena emulsifier yang baik tergantung kemampuannya memelihara sistem emulsi pada saat mengalami pemanasan atau pemasakan. Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada sosis, produk bakery, dan sup (Koswara, 1995).

Isolat protein kedelai mempunyai kemampuan dalam menyerap lemak atau minyak. Kemampuan ini digunakan untuk dua tujuan. Pertama, untuk meningkatkan penyerapan lemak hingga dapat mengurangi kehilangan sari karena pemasakan dan menjaga stabilitas dimensinya. Kedua adalah untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan. Hal ini disebabkan karena isolat protein kedelai dapat terdenaturasi oleh panas membentuk semacam lapisan (coating) pada permukaan bahan sehingga menghalangi penetrasi lemak (Koswara, 1995).

Isolat protein kedelai juga memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi. Hal ini disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik (suka air) dan mempunyai celah-celah polar, seperti gugus karboksil dan amino yang dapat mengion. Adanya kemampuan mengion ini menyebabkan daya serap air isolat protein kedelai dipengaruhi oleh pH makanan. Daya serap air isolat protein kedelai sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods) karena dapat meningkatkan rendemen dan memudahkan penanganannya. Disamping itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti (Koswara, 1995).

E. Biskuit

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening, serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi dan Faubion, 1990).

Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 01-2973-1992 seperti yang terlihat pada Tabel 2.4. Selain itu biskuit umumnya berwarna coklat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah dan ringan, serta aroma yang menyenangkan (Matz dan Matz, 1978).

Tabel 2.4 Syarat Mutu Biskuit

Komponen

Syarat Mutu

Logam berbahaya

Negatif

Serat kasar

Maksimum 0,5%

Kalori (per 100 gr)

Minimum 400

Jenis tepung

Terigu

Bau dan rasa

Normal, tidak tengik

Warna

Normal

Sumber: Standar Nasional Indonesia 1992 Menurut Manley (1998), biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat, yaitu tekstur

dan kekerasan, perubahan bentuk akibat pemanggangan, ekstensibilitas adonan, dan pembentukan produk. Biskuit digolongkan juga menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek atau lunak, adonan keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan pembakaran (Sunaryo, 1985).

Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25% - 40% dan kadar lemak 15%, contohnya adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit jahe, biskuit buah, dan biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, pengembang, dan disperse lemak ke seluruh bagian adonan. Mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12% - 15%, contohnya adalah biskuit marie. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25% - 30%, contohnya adalah biskuit krekers (Sunaryo, 1985).

Bahan baku utama untuk pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak dan lemak, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi. Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bahan Bahan baku utama untuk pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak dan lemak, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi. Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bahan

Menurut Vail et al. (1978), mutu biskuit tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat. Untuk lebih jelasnya jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada pembuatan biskuit dapat di lihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Jenis-Jenis Penyimpangan yang dapat terjadi dan Penyebabnya pada Pembuatan Biskuit Jenis Penyimpangan

Penyebab

Keras

Kurang lemak Kurang air

Warna pucat

Proporsi bahan kurang tepat Pemanggang kurang panas

Bentuk tidak rata

Pencampuran tidak rata Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata

Hambar Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Keras dan poros

Pencampuran tidak tepat

Keras dan kering

Adonan terlalu keras dan kenyal Penanganan terlalu lama

Sumber: Vail et al. 1987

1. Bahan Baku Biskuit

a. Tepung Menurut Sultan (1983), tepung merupakan komponen pembentuk struktur dalam pembuatan

biskuit, juga memegang peran penting dalam citarasa. Selain itu, menurut Matz dan Matz (1978), tepung terigu juga berfungsi untuk mengikat bahan lain dan mendistribusikannya secara merata. Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung terigu yang paling sesuai adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak (Vail et al., 1987).

b. Telur Fungsi telur dalam penyelenggaraan gizi kuliner adalah sebagai pengental, perekat atau

pengikat. Telur juga berfungsi sebagai pelembut atau pengempuk dan pengembang suatu masakan disamping sebagai penambah aroma dan zat gizi (Tarwotjo,1998). Dalam pembuatan biskuit, fungsi utama telur adalah sebagai pengemulsi untuk mempertahankan kestabilan adonan. Selain itu, telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavor, warna, dan kelembutan biskuit (Matz dan Matz, 1978). Menurut Winarno (1995), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan cephalin yang merupakan lemak telur, khususnya fosfolipida.

c. Gula Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pelunak gluten,

membentuk flavor dan membentuk warna coklat pada biskuit melalui reaksi pencoklatan non- enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan membentuk flavor dan membentuk warna coklat pada biskuit melalui reaksi pencoklatan non- enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan

d. Lemak Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit karena berfungsi sebagai

bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Lemak juga berperan dalam pembentukan citarasa khas biskuit. Lemak alami yang banyak digunakan dalam pembuatan biskuit, antara lain adalah lard, butter, lemak sapi, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Selain penggunaan lemak alami, lemak yang telah dimodifikasi, seperti hidrogenasi minyak dan interesterifikasi minyak juga bisa digunakan sebagai pengemulsi dalam pembuatan biskuit (Matz dan Matz, 1978).

e. Susu Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan warna, flavor, bahan

pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih banyak digunakan karena lebih mudah penanganannya dan mempunyai daya simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan energi biskuit karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz, 1978).

f. Bahan pengembang Menurut Manley (1998), fungsi bahan pengembang (leavening agent) adalah untuk

mengembangkan produk yang pada prinsipnya adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan soda kue (sodium bikarbonat). Menurut Wheat Associates (1981) dalam Rieuwpassa (2005) fungsi baking

powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO 2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartrat, fosfat, dan sulfat. Menurut Manley (2000), penggunaan ammonium bikarbonat (baking powder) ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan sebesar 0.47% dan dengan rentang antara 0.04% sampai dengan 1.77%, sedangkan sodium bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam 96% resep biskuit dan rata-rata digunakan antara 0.18% sampai dengan 1.92%.

g. Air Dalam pembuatan roti dan kue, air mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk mengontrol

kepadatan dan suhu adonan, melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan bukan tepung secara seragam, membasahi dan mengembangkan pati serta menjadikannya dapat dicerna, dan memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Anonim, 1981). Pedoman pembuatan roti dan kue. Djambatan, Jakarta.

2. Proses Pembuatan Biskuit

Menurut Sunaryo (1985), pembuatan biskuit terdiri dari persiapan bahan, pencampuran dan pengadukan, pembuatan lebar adonan, dan pemanggangan. Proses pembuatan biskuit secara umum dikategorikan dalam dua cara, yaitu metode krim dan metode all- in. Pada metode krim, gula dan lemak dicampur sampai terbentuk krim homogen. Selanjutkan dilakukan penambahan susu ke dalam

Bahan baku biskuit yang digunakan dalam persiapan bahan harus bebas dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, dan tikus. Setelah bahan siap, dilakukan pencampuran dilanjutkan dengan pengadukan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pencampuran adalah jumlah adonan, lama pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang berlebihan akan merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas, sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit saat pemanggangan. Sebaliknya, jika waktu pengadukan kurang, maka adonan akan kurang menyerap air sehingga adonan kurang elastis (Sunaryo, 1985).

Proses pembuatan biskuit dilakukan dengan cara mencampurkan bahan sehingga membentuk adonan, kemudian dicetak dan dipanggang dalam oven, sehingga menghasilkan biskuit. Skema pembuatan biskuit dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.

Persiapan bahan

Pencampuran/ pengadukan

Pembentukan lembaran adonan

Pengemasan Gambar 2.1 Proses Pembuatan Biskuit (Sunaryo, 1985)

a. Persiapan Bahan Masing-masing bahan dalam tahap ini ditimbang atau diukur volumenya berdasarkan

komposisi adonan. Bahan baku yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: bebas dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, tikus, dan standar mutu yang ditetapkan (Sunaryo, 1985).

b. Pencampuran atau Pengadukan Tujuan pencampuran atau pengadukan adalah untuk memperoleh adonan yang homogen dan

menghasilkan pengembangan gluten yang diinginkan. Proses pencampuran dilakukan dengan alat mixing .

Untuk mendapatkan adonan yang baik perlu memperhatikan waktu pengadukan sehingga tercapai pengembangan gluten yang optimal. Pengadukan yang berlebihan akan merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit pada saat pemanggangan. Jika waktu pengadukan kurang, maka adonan akan kurang menyerap air, sehingga adonan kurang elastis dan lembaran adonan menjadi lebih mudah patah (Sunaryo, 1985).

Sunaryo (1985) membagi beberapa jenis adonan sesuai dengan jenis produk yang dikehendakinya, yaitu:

1. Adonan Pendek Adonan ini digunakan untuk membuat cookies. Pada adonan ini gluten tidak mengembang

akibat shortening effect dari lemak, efek pelunakan gula, dan rendahnya kadar air sekitar 3%. Adonan ini memiliki kadar gula tinggi sekitar 25% - 40% dan kadar lemak maksimal 15%.

2. Adonan Keras Adonan keras digunakan untuk pembuatan biskuit. Pada adonan ini gluten mengembang

sampai batas tertentu, karena kadar air yang ditambahkan tidak sebanyak pada adonan fermentasi. Selain terjadi pengembangan gluten, juga terjadi ikatan antara protein dan pati, larutnya gula, garam, pengembang, dan disperse lemak ke seluruh bagian adonan. Kandungan lemak pada adonan ini 15% dan gula 20%.

Proses pencampuran pada kedua adonan di atas adalah sebagai berikut: semua bahan kecuali tepung diaduk dengan mixer sampai tercampur halus, baru kemudian tepung dimasukkan untuk kemudian diaduk lagi bersama-sama.

3. Adonan Fermentasi Adonan fermentasi digunakan untuk pembuatan biskuit crackers. Pada adonan ini gluten

mengembang penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan terjadi pengembangan tersebut sebesar 30%. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk akhir, penyusutan panjang setelah pencetakan dan pemanggangan. Biasanya produk akhir mempunyai sifat cryspinnes tertentu. Kadar gula adonan sangat rendah dengan kadar lemak 25% - 30%.

Segera setelah proses pencampuran adonan selesai, adonan harus digunakan maksimal 30 menit kemudian. Apabila adonan dibiarkan terlalu lama, adonan dapat menyerap air dari lingkungan, sehingga mempengaruhi pengembangan gluten, atau adonan menjadi keras karena terjadi penguapan air.

c. Pembuatan Lembaran Adonan Pelempengan atau pembuatan lembaran adonan bertujuan untuk mengubah bentuk adonan

(deformasi) dan menarik adonan secara mekanis. Pelempengan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah proses pencampuran, agar adonan dapat dibentuk menjadi lembaran pada saat pengembangan yang optimal. Pelempengan berlangsung secara berulang agar dihasilkan suatu lembaran adonan yang halus dan kompak (Sunaryo, 1985).

proses ini dapat dilakukan dengan alat reciprocating cutter atau wire cutter, tergantung dari jenis adonan biskuit (Sunaryo, 1985).

e. Pemanggangan Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven. Suhu dan waktu pemanggangan berlangsung

antara 2,5 – 30 menit, tergantung suhu, jenis oven, dan biskuit yang dihasilkan. Perubahan yang terjadi selama pemanggangan biskuit adalah perubahan struktur, pengurangan kadar air, dan perubahan warna (Sunaryo, 1985).

f. Pendinginan dan Pengemasan Pendinginan biskuit segera setelah keluar dari oven mutlak diperlukan, dengan tujuan untuk

menurunkan suhu dengan segera dari suhu pemanggangan ke suhu ruang untuk mencegah penyerapan uap air, mencegah kontaminasi kotoran dari atmosfir, dan untuk pengerasan tekstur biskuit. Begitu keluar dari oven, tekstur biskuit agak lunak dan elastis karena gula dan lemak masih berbentuk cair. Jika telah didinginkan gula dan lemak kembali padat sehingga tekstur mengeras (Sunaryo, 1985).

Biskuit termasuk produk yang cepat menyerap air dan oksigen, oleh karena itu pengeras harus kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap sinar, dan mampu melindungi biskuit dari kerusakan mekanis (Sunaryo, 1985).

F. Studi Kelayakan

Sutojo (1983) dan Kadariah et al. (1999) menyebutkan bahwa kajian terhadap keadaan dan prospek suatu pabrik dilakukan atas aspek-aspek tertentu, yaitu aspek teknis, aspek manajerial dan administratif, aspek organisasi, aspek pemasaran, aspek finansial, dan aspek ekonomi. Umar (2005) menambahkan bahwa kajian terhadap keadaan dan prospek suatu pabrik juga memerlukan analisis terhadap aspek lingkungan, aspek legalitas, dan aspek sosial dan ekonomi. Aspek-aspek tersebut biasanya dianalisis dengan teknik-teknik tertentu dengan mempertimbangkan manfaat bagi industri tersebut.

1. Aspek Pasar dan Pemasaran

Studi pasar dan pemasaran dapat dikatakan merupakan “darah daging” setiap studi kelayakan. Bagi suatu proyek baru, pengetahuan dan analisis pasar bersifat menentukan karena banyak keputusan tentang investasi tergantung dari hasil analisis pasar (Simarmata, 1992).

Aspek pasar dan pemasaran dikaji untuk mengungkapkan permintaan, penawaran, harga, program pemasaran, dan perkiraan penjualan yang dapat dicapai oleh perusahaan, atau pangsa pasar yang dapat dikuasai oleh perusahaan. Selain itu, analisis terhadap pasar dan pemasaran pada suatu usulan proyek ditujukan untuk mendapatkan gambaran tentang potensi pasar bagi produk yang tersedia untuk masa yang akan datang, dan menentukan jenis strategi pemasaran yang digunakan guna mencapai pangsa pasar yang telah ditetapkan (Husnan dan Suwarsono, 2000).

Sutojo (1983) menyebutkan bahwa dalam mengkaji aspek pasar dan pemasaran, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

 Bagaimana produk tersebut dalam pasar dewasa ini.  Berapa permintaan produk di masa lampau dan sekarang, bagaimana komposisi permintaan

tiap segmen pasar serta bagaimana kecenderungan perkembangan permintaan.  Bagaimana proyeksi permintaan produk pada masa mendatang serta berapa persen dari

permintaan dapat diambil.  Bagaimana kemungkinan adanya persaingan. Kegunaan dari analisis pasar adalah menentukan besar, sifat, dan pertumbuhan permintaan

total akan produk yang bersangkutan, deskripsi tentang produk dan harga jual, situasi pasar dan adanya persaingan, berbagai faktor yang ada pengaruhnya terhadap pemasaran produk, dan program pemasaran yang sesuai untuk produk (Edris, 1993).

2. Aspek Teknik dan Teknologi

Aspek teknik dan teknologi merupakan salah satu aspek penting bagi proyek karena merupakan jawaban dari pertanyaan dapat tidaknya produk tersebut dibuat. Hal ini sangat dirasakan jika bidang usaha yang digunakan bersifat manufacturing atau poros intinya adalah teknologi (Simarmata, 1992).

Berdasarkan analisis aspek teknik dan teknologi dapat diketahui rancangan awal penaksiran biaya investasi. Analisis teknik berhubungan dengan input proyek berupa barang dan jasa dan menguji hubungan-hubungan teknik yang memungkinkan dalam suatu proyek yang diusulkan serta mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam informasi selama perencanaan dan tahap pelaksanaan. Analisis teknik secara spesifik mencakup analisis terhadap ketersediaan bahan baku, proses produksi, mesin dan peralatan, perancangan aliran bahan, analisis keterkaitan antar aktivitas, jumlah mesin dan peralatan, keperluan tenaga kerja, penentuan luas pabrik, dan perancangan tata letak pabrik (Husnan dan Muhammad, 2000).

Sutojo (1983) menyebutkan bahwa evaluasi aspek teknis dan teknologi meliputi hal-hal berikut.

 Penentuan lokasi proyek, yaitu lokasi dimana suatu proyek akan didirikan, baik untuk pertimbangan lokasi maupun lahan proyek. Peubah-peubah yang perlu diperhatikan, antara lain: iklim dan keadaan tanah, fasilitas transportasi, ketersediaan tenaga kerja, tenaga listrik dan air, keadaan dan sikap masyarakat, dan rencana masa depan perusahaan untuk perluasan. Hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu letak konsumen potensial atau pasar sasaran, letak bahan baku, dan peraturan pemerintah.

 Penentuan kapasitas produksi ekonomis yang merupakan volume atau jumlah satuan produk yang dihasilkan selama waktu tertentu. Kapasitas produksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi operasi proyek yang akan didirikan. Kapasitas produksi ditentukan berdasarkan perpaduan hasil penelitian berbagai macam komponen evaluasi, yaitu perkiraan jumlah penjualan produk di masa yang akan datang atau kemungkinan pasar yang akan

 Pemilihan teknologi yang tepat yang dipengaruhi oleh kemungkinan pengadaan tenaga ahli, bahan baku dan bahan pembantu, kondisi alam dan lainnya tergantung proyek yang didirikan.

 Penentuan proses produksi yang dilakukan dan tata letak pabrik yang dipilih, termasuk tata letak bangunan dan fasilitas lain. Tata letak pabrik merupakan alat efektif untuk menekan biaya produksi dengan cara menghilangkan atau mengurangi sebesar mungkin semua aktivitas yang tidak produktif.

Lokasi merupakan hal yang penting bagi pendirian suatu perusahaan karena akan mempengaruhi kedudukan perusahaan dalam persaingan dan menentukan kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Perusahaan yang didirikan tanpa pertimbangan lokasi yang ekonomis, akan mengalami kesulitan dalam menjamin kelangsungan hidupnya. Penentuan lokasi yang kurang tepat merupakan salah satu penyebab perusahaan beroperasi secara tidak efisien dan efektif, sehingga biaya produksi menjadi tinggi. Oleh karena itu, dalam penentuan lokasi suatu industri diperlukan suatu pengkajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dari industri tersebut. Lokasi suatu industri sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, letak sumber bahan baku, daerah pemasaran, serta faktor lingkungan.