Partisipasi Pedagang Kaki Lima

2.1.3. Partisipasi Pedagang Kaki Lima

Partisipasi merupakan elemen penting dalam governance. Hal ini karena dimungkinkan warganegara atau masyarakat termasuk di dalamnya PKL bisa dilibatkan dalam formulasi maupun implementasi kebijakan. Partisipasi bisa diartikan sebagai pengambilan bagian atau keterlibatan dan bisa memiliki banyak makna yang berbeda. Publikasi oleh Nasikun berjudul “Partisipasi Penduduk Miskin Dalam Pembangunan Pedesaan: Suatu Tinjiauan Kritis ” yang didasarkan pada karya Ralph M Kramer berjudul “Participation of the Poor: Comparative Community Case Studies in the War on Poverty” mendefinisikan partisipasi ke dalam tiga kategori (dalam Sudarmo 2011 : 84). Kategori pertama, adalah bahwa “partisipasi memerlukan keterlibatan warga Negara miskin dalam proses pembuatan keputusan yang diwakili oleh wakil-wakil mereka dalm koalisi bersama institusi-institusi pemerintah dan organisasi-organisasi non pemerintah, serta pemimpin-pemimpin lain dari kelompok-kelompok kepentingan”. Kategori kedua, adalah bahwa “partisipasi berarti warga negera miskin ditempatkan sebagai pelanggan utama dari program pembangunan dan oleh karena itu kepentingan mereka dan pendapat-pendapatnya harus didengar dan dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan.” Kategori ketiga adalah apa yang disebut sebagai ‘radical participation’, yaitu bahwa “orang-orang miskin dipandang sebagai konstituensi dari program pembangunan

dan dukungan.” Menurut Nasikun justru keadaan mereka yang “powerless” inilah yang merupakan faktor penyebab mereka tetap miskin; dan hanya dengan memobilisasi mereka dan memobilisasi organisasinya mereka sebagai kelompok penekan, mereka akan dapat berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan yang kelak akan berpengaruh bagi kehidupan mereka. Dalam pengertian ini, bisa dimaknai bahwa partisipasi kaum miskin karena ketidakberdayaannya bisa digerakkan melalui mobilisasi oleh kekuatan tertentu misalnya oleh lembaga swadaya masyarakat lokal, nasional ataupun internasional atau kelompok-kelompok tertentu yang peduli terhadap kaum lemah dan miskin atau oleh kekutan tertentu yang anti kemapanan/ status quo penguasa. Ini berarti, walaupun sebagian orang mengatakan bahwa mobilisasi bukanlah partisipasi, namun dalam konteks dimana masyarakat yang dimobilisasi adalah masyarakat miskin yang secara politik powerless, bisa dikategorikan dalam pengertian partisipasi masyarakat. Pendekatan partisipatif merupakan elemen penting dalam praktek governance karena dengan cara ini kaum lemah diberdayakan secara politik dalam pengambilan keputusan bersama stakeholder lainya termasuk pemerintah dan non-pemerintah lainnya, terutama keputusan-keputusan yang kemungkinan berdampak besar bagi kehidupannya. Betapapun begitu, dalam prakteknya partisipasi sering digunakan sebagai “window dressing”, yakni sekedar sebagai hiasan untuk memperindah suasana bagi para pembuat kebijakan atau kelompok yang kuat yang sudah memiliki sejumlah agenda-agenda yang akan digulirkan untuk diterima semua pihak termasuk kaum lemah. Dengan partisipasi yang bersifat “window dressing” seperti ini, maka partisipasi hanyalah formalitas dan kaum lemah sekedar dijadikan sebagi pelengkap persyaratan agar dinilai oleh pihak luar sebagai dan dukungan.” Menurut Nasikun justru keadaan mereka yang “powerless” inilah yang merupakan faktor penyebab mereka tetap miskin; dan hanya dengan memobilisasi mereka dan memobilisasi organisasinya mereka sebagai kelompok penekan, mereka akan dapat berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan yang kelak akan berpengaruh bagi kehidupan mereka. Dalam pengertian ini, bisa dimaknai bahwa partisipasi kaum miskin karena ketidakberdayaannya bisa digerakkan melalui mobilisasi oleh kekuatan tertentu misalnya oleh lembaga swadaya masyarakat lokal, nasional ataupun internasional atau kelompok-kelompok tertentu yang peduli terhadap kaum lemah dan miskin atau oleh kekutan tertentu yang anti kemapanan/ status quo penguasa. Ini berarti, walaupun sebagian orang mengatakan bahwa mobilisasi bukanlah partisipasi, namun dalam konteks dimana masyarakat yang dimobilisasi adalah masyarakat miskin yang secara politik powerless, bisa dikategorikan dalam pengertian partisipasi masyarakat. Pendekatan partisipatif merupakan elemen penting dalam praktek governance karena dengan cara ini kaum lemah diberdayakan secara politik dalam pengambilan keputusan bersama stakeholder lainya termasuk pemerintah dan non-pemerintah lainnya, terutama keputusan-keputusan yang kemungkinan berdampak besar bagi kehidupannya. Betapapun begitu, dalam prakteknya partisipasi sering digunakan sebagai “window dressing”, yakni sekedar sebagai hiasan untuk memperindah suasana bagi para pembuat kebijakan atau kelompok yang kuat yang sudah memiliki sejumlah agenda-agenda yang akan digulirkan untuk diterima semua pihak termasuk kaum lemah. Dengan partisipasi yang bersifat “window dressing” seperti ini, maka partisipasi hanyalah formalitas dan kaum lemah sekedar dijadikan sebagi pelengkap persyaratan agar dinilai oleh pihak luar sebagai

Nagel mendefinisikan partisipasi secara lebih umum sebagai “actions through which ordinary members of a political system influence or attempt to influence outcomes.” (tindakan- tindakan yang dilakukan para anggota sebuah system politik mempengaruhi atau berusaha mempengaruhi hasil dari suatu tindakan” ‘Actions’ mengandung pengertian gerakan, tenaga dan usaha atau aktivitas yang ditujukan untuk menncapai suatu hasil. ‘Ordinary members’ dari sebuah sistem politik merupakan orang-orang non-elite yaitu siapa saja kecuali mereka yang menjalankan aktivitas sebagai kepala dalam pekerjaannya. ‘Influence’ mengandung pengertian bahwa para partisipan mencapai apa yang mereka tuntut untuk didapatnya karena mereka mendambakan untuk memperolehnya. Sebuah ‘political system’ didefinisikan secara luas sebagai struktur kekuasaan, pengaruh dan otoritas yang terorganisir; dan “outcome” secara umum merupakan berbagai peristiwa yang dipengaruhi oleh para partisipan (Nagel dalam Sudarmo 2011 : 86). Menurut Nagel, partisipasi mencakup keterlibatan psikology dan keterlibatan dalam melakukan tindakan. Ia juga mencatat bahwa walaupun mungkin terdapat keterlibatan dalam sebuah aktivitas, tidak berarti bahwa aktivitas tersebut disebut partisipasi ketika aktivitas tersebut tidak berdasarkan preferensi dari orang yang melakukan aktivitas tersebut. Jadi menurut Nagel, aktivitas yang yang kelihatanya seperti partisipasi, tidak bisa

sendiri. Definisi yang digunakan Nagel tidak secara khusus diarahkan pada keberadaan orang- orang yang “powerless” sebagaimana dididiskusikan dalam karya Nasikun, yang menyatakan bahwa mereka pada dasarnya memerlukan membutuhkan dukungan dari pihak lain atau orang- orang lain sehingga mereka akan bertindak dengan cara tertentu. Dalaam definisi Nasikun, mobilisasi dan pemberian dukungan dari pihak lain seperti lembaga swadaya masyarakat atau kekuatan lainnya kepada kelompok yang orang-orang “powerless” ini yang ditujukan untuk membuat agar mereka sadar akan kepentingannya dan mendorong mereka untuk berperan serta atau terlibat dan memberikan suara berdasarkan kepentingannya dalam proses pembuatan keputusan, bisa disebut sebagai partisipasi (Nasikun dalam Sudarmo 2011 : 86).

Karena partisipasi menyangkut segala bentuk keterlibatan apapun bentuknya, sebagaimana didiskusikan sebelumnya, maka apa yang akan didefiniskan sebagai partisipasi PKL dalam tulisan ini bisa dalam bentuk tindakan dialog, musyawarah untuk mufakat, mengemukakan pernyataan sikap, protes, demonstrasi, gerakan-gerakan, dan bentuk-bentuk tindakan lainya untuk mempengaruhi keputusan-keputusan publik yakni keputusan yang didominasi oleh pihak pemerintah dan atau elit/stakeholder yang powerful lainnya yang mempengaruhi kehidupan para PKL (Sudarmo 2011 : 86).

Partisipasi warganegara dalam proses kebijakan dalam governance kemungkinan besar bisa menghadapi sejumlah hambatan: (1) kontrol hubungan kekuasaan oleh negara, (2) tingkatan organisasi warganegara, (3) keahlian partisipasi, (4) kemauan politik, (5) tingkatan partisipasi, dan (6) ketidakcukupan sumberdaya keuangan pada tingkat lokal (Gaventa and

(1) kooptasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat lokal yang tidak netral dan merupakan kepanjangan tangan elit penguasa, menjadikan partisipasi tidak berjalan sebagaimana seharusnya, sehingga dialog yang dilakukan adalah sebatas rekayasa dan penentuan keputusan terakhir tetap ada pada pihak yang dominan; dan (2) tekanan yang dilakukan oleh anggota dominan yang berafiliasi kepada kepentingan pemerintah karena mereka telah diberikan sesuatu berupa materi maupun jasa lainnya sebagai bentuk imbalan atas dukungan atau loyalitas kepada penguasa tersebut.

Gaventa menjelaskan bahwa walaupun partisipasi merupakan kekuasaan dan pelaksanaan kekuasaan dan oleh berbagai aktor sosial pada ruang-ruang yang diciptakan untuk interaksi anatara warganegara dan otoritas lokal, para aktor, agenda dan prosedur, biasanya tetap ada di tangan institusi pemerintah dan bisa menjadi hambatan bagi keterlibatan warganegara untuk ikut berpartisipasi secara efektif . Penelitian Sudarmo memperlihatkan betapa partisipasi PKL dalam musyawarah rencana pembangunan kota di Solo tidak mampu mensukseskan agenda mereka untuk diakomodasi oleh pemerintah karena pemerintah sendiri telah memiliki agenda tersendiri sedangkan agenda PKL tidak sejalan atau tidak termasuk yang diagendakan pemerintah setempat.

Studi oleh Schonwalder (dalam Sudarmo 2011 : 87), yang meneliti tingkat desentralisasi terhadap penyediaan ruang bagi partisipasi demokratik di Amerika Latin menyatakan bahwa perhatian yang pada persoalan kekuasaan malah tidak memadai. Ia memperlihatkan bahwa elit lokal, pemerintah lokal dan para aktor lain yang beroperasi di tingkat lokal seperti partai politik dan bahkan beberapa lembaga swadaya masyarakat tingkat

mereka.” Studi di Tanzania oleh Mukandela (dalam Sudarmo 2011 : 87-88) menemukan bahwa keputusan-keputusan terhadap siapa yang harus berpartisipasi dalam pembuatan keputusan pada lembaga-lembaga tingkat lokal yang paling bawah yang telah disetujui permintaannya sebelum diteruskan ke pemerintah tingkat atas, menghalangi efektivitas dalam pencapaian tingkat partispasi masyarakat secara luas dalam pembuatan keputusan. Ia menggarisbawahi bahwa walaupun norma-norma/aturan-aturan menegaskan bahwa mayoritas jabatan-jabatan adalah bagi para perwakilan komunitas, namun dalam tataran praktis, keputusan-keputusan siapa yang diundang oleh para pejabat pemerintah tingkat atas di beberapa pemerintah daerah adalah orang-orang yang berpengaruh ketika keputusan penting dibuat.”

Kontrol oleh pemerintah terhadap keputusan-keputusan tentang sifat dan saluran struktur partisipasi di tingkat lokal juga menghalangi badan-badan pembuatan keputusan dalam urusan-urusan publik di tingkat lokal. Studi oleh Muzitwa dan kawan-kawan di Zimbabwe memperlihatkan bahwa ketika kekuasaan tertentu dari struktur tradisional pembuatan keputusan diambil alih dan ditentukan oleh komite-komite pembangunan desa dan pembangunan wilayah, konflik antara para pemimpin tradisional dan para pemimpin yang terpilih secara demokratis muncul (Gaventa and Valderrama dalam Sudarmo 2011 : 88).

Dari studi yang dilakukan Robin di Bolivia, Gaventa dan Valderrama menyimpulkan bahwa pemerintah kabupaten/kota dengan tradisi perserikatan (berorganisasi) yang kuat, orang- orangnya mampu mempengaruhi keputusan terhadap belanja pemerintah kabupaten/kota sedangkan di wilayah-wilayah dimana orang-orangnya kurang memiliki kapasitas

Mereka juga menyimpulkan dari studi Herzer dan Pirez di Argentina, Peru dan negara Amerika Latin lainnya, bahwa “keberadaan organisasi-organisasi yang dikenal dikalangan publik dengan semangat tertentu di tingkat lokal dan jabatan-jabatan politik di pemerintahan daerah/kota oleh partai-partai atau individu-individu yang menguntungkan partispasi publik nampaknya menjadi kondisi penting bagi warganegara untuk bisa mempengaruhi keputusan- keputusan di tingkat lokal (Gaventa and Valderrama dalam Sudarmo 2011 : 88).”

Partisipasi warga negara juga dipengaruhi oleh ketrampilan berpartisipasi dari pemegang otoritas lokal dalam proses perencanaan. Studi yang dilakukan oleh Mukandala di Tanzania, sebagai contoh, menemukan pentingnya para pejabat yang terdidik dalam menjelaskan kebutuhan orang-orang (masyarakat) lokal. Ia menyimpulakan bahwa ketika para anggota legislatif yang populis kurang berpendidikan mereka kesulitan untuk mendorong melalui isu-isu tertentu dari akar rumput dan memiliki kesulitan menghadapi presentasi- presentasi teknis yang dilakukan oleh staf-staf departemen teknis. Studi lain yang dilakukan oleh Manor dan Crook juga menemukan pentingnya keahlian/keterampilan dan pengalaman perencanaan dari para pemegang ototritas di daerah sebagai faktor penting bagi terselengaranya partisipasi. Mereka berpendapat bahwa ketika keahlian dan pengalaman perencanaan yang esensial itu tidak dimiliki maka keadaan seperti itu menjadi hambatan bagi partisipasi yang berarti bagi kelompok-kelompok yang tak diuntungkan (Gaventa and Valderrama dalam Sudarmo 2011 : 88-89). Ini untuk menggarisbawahi bahwa kaum marginal termasuk PKL kemungkinan tidak akan bisa berpartisipasi ketika para perencana daerah sendiri tidak memiliki keahlian dan pengalaman untuk melibatkan mereka.

Gaventa dan Valderrama menggarisbawahi pentingnya kemauan politik maupun kesempatan bagi orang-orang lokal untuk berpartispasi. Keduanya berpendapat bahwa hambatan untuk memperkuat partisipasi mencakup tidak adanya otoritas pemerintah pusat yang kuat dan memberikan jaminan dalam menyediakan dan membuka secara paksa kesempatan bagi terselengaranya partisipasi di tingkat lokal dan tidak adanya kemauan politik oleh para pejabat pemerintah lokal (daerah) untuk menyusun perundangan yang diciptakan untuk tujuan tersebut (terselengaranya partisipasi) (Gaventa and Valderrama dalam Sudarmo 2011 : 89).” Pemerintah Pusat di Indonesia secara formal telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah bagi terselengaranya partisipasi seperti pemilihan kepala daerah langsung sejak 2004, namun belum ada jaminan bahwa setiap kebijakan yang kelak akan mempengaruhi kehidupan kaum atau kelompok tertentu mereka yang akan terkena kebijakan tersebut diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif atau diakomodasi kepentingannya.

Hambatan bagi partispasi bisa juga terjadi karena faktor struktur sosial yang sangat hirarkhis (Gaffar dalam Sudarmo 2011 : 89). Sampai saat ini budaya Jawa ,masih meperlihatkan hirarki sosial. Orang-orang masih dikategorikan sebagai wong gedhe (orang- orang dengan derajat status tinggi, termasuk didalamnya antara lain orang-orang kaya, pejabat, keluarga pejabat, pengusaha, pemilik perusahaan, pedagang formal, keluarga kraton) dan wong cilik (orang-orang biasa maupun orang-orang yang memiliki derajat status sosial rendah, termasuk masyarakat kebanyakan, petani, buruh, PKL miskin). Dikotomisasi ini berakibat pada terjadinya kesalahan konsepsi diantara para pejabat (wong gedhe) yang menganggap dirinya sebagai orang yang baik hati kepada wong cilik; orang-orang ini dipandang sebagai pihak yang Hambatan bagi partispasi bisa juga terjadi karena faktor struktur sosial yang sangat hirarkhis (Gaffar dalam Sudarmo 2011 : 89). Sampai saat ini budaya Jawa ,masih meperlihatkan hirarki sosial. Orang-orang masih dikategorikan sebagai wong gedhe (orang- orang dengan derajat status tinggi, termasuk didalamnya antara lain orang-orang kaya, pejabat, keluarga pejabat, pengusaha, pemilik perusahaan, pedagang formal, keluarga kraton) dan wong cilik (orang-orang biasa maupun orang-orang yang memiliki derajat status sosial rendah, termasuk masyarakat kebanyakan, petani, buruh, PKL miskin). Dikotomisasi ini berakibat pada terjadinya kesalahan konsepsi diantara para pejabat (wong gedhe) yang menganggap dirinya sebagai orang yang baik hati kepada wong cilik; orang-orang ini dipandang sebagai pihak yang

Disamping itu, partisipasi warganegara langsung dalam pembuatan keputusan di tingkat lokal bisa juga dipengaruhi oleh individu-individu, kelompok-kelompok atau institusi- institusi yang memeperkuat keberadaan mereka dan seberapa besar sumber keuangan dari pemerintah daerah disediakan untuk mendukung partisipasi tersebut (Gaffar dalam Sudarmo 2011 : 90). Faktor-faktor lain, termasuk tingkat pendidikan, status sosial dan ekonomi, tingkat ketidaksetaraan dan hirarki sosial yang kuat, semuanya ikut berkontribusi dalam menghambat terselenggaranya partisipasi (Gaffar dalam Sudarmo 2011 : 90).

Kegagalan organisasi-organisasi lokal seperti paguyuban, ikatan, asosiasi dan kelompok yang dibangun untuk meningkatkan partisipasi dalam formulasi kebijakan mungkin bisa disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda. Montgomery mengklasifikasikan bentuk- bentuk partisipasi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah kelompok yang digambarkan sebagai ‘apathy’, yaitu kondisi dimana organisasi gagal karena tidak adanya daya tanggap/perhatian dari para anggotanya; kelompok kegagalan kedua adalah diidentifikasikan sebagai ‘internal colonization’, yang terjadi ketika kelompok-kelompok kecil yang ada di tingkat lokal (daerah) terlalu melakukan kontrol berlebihan terhadap organisasi yang tengah menjalankan fungsinya dan dibelokkan untuk kepentingan-kepentingan mereka pribadi; Ketiga adalah kelompok yang digambarkan sebagai ‘external colonization’, yakni situasi yang muncul Kegagalan organisasi-organisasi lokal seperti paguyuban, ikatan, asosiasi dan kelompok yang dibangun untuk meningkatkan partisipasi dalam formulasi kebijakan mungkin bisa disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda. Montgomery mengklasifikasikan bentuk- bentuk partisipasi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah kelompok yang digambarkan sebagai ‘apathy’, yaitu kondisi dimana organisasi gagal karena tidak adanya daya tanggap/perhatian dari para anggotanya; kelompok kegagalan kedua adalah diidentifikasikan sebagai ‘internal colonization’, yang terjadi ketika kelompok-kelompok kecil yang ada di tingkat lokal (daerah) terlalu melakukan kontrol berlebihan terhadap organisasi yang tengah menjalankan fungsinya dan dibelokkan untuk kepentingan-kepentingan mereka pribadi; Ketiga adalah kelompok yang digambarkan sebagai ‘external colonization’, yakni situasi yang muncul

Hambatan partisipasi kaum marginal seperti PKL di Solo Raya atau di Jawa (dan mungkin di wilayah Indonesia lainnya) dalam proses kebijakan atau perencanaan pembangunan lokal masing-masing daerah bisa diakibatkan oleh salah satu atau lebih bentuk- bentuk hambatan sebagaimana didiskusikan diatas seperti hambatan yang berasal dari internal kelompok atau individu-individu tersebut seperti status sosial ekonomi dan status sosial dalam hirarki budaya Jawa, tetapi juga hambatan eksternal seperti hirarki birokrasi pemerintah setempat, kemauan politik dari pemerintah dan para anggota Dewan perwakilan Rakyat Daerah, dan kurangnya dukungan dari para individu, kelompok atau institusi lokal seperti para ketua paguyuban tingkat lokasi maupun tingkat kabupaten/kota dan lembaga swadaya lokal (Sudarmo 2011 : 91).

Walaupun partisipasi bisa dilakukan melalui negosiasi dan juga protes (Munro-Clark dalam Sudarmo 2011 : 91) tidak berarti bahwa semua tuntutan, kepentingan dan pemikiran kaum marginal tersebut bisa diakomodasi oleh pihak pemegang otoritas karena partisipasi bisa berubah menjadi kooptasi politik (Cooke and Kothari dalam Sudarmo 2011 : 91) mengingat pihak otoritas tidak jarang memanfaatkan struktur otoritas yang mereka miliki untuk meraih tujuan-tujuan pribadi (Munro-Clark dalam Sudarmo 2011 : 91). dan dengan demikian itu sama saja berjalannya sentralisasi secara terus berkelanjutan atas nama desentraliasi (Cooke dalam Sudarmo 2011 : 91) atau dengan bentuk lain bahwa sistem perencanaan pembangunan partisipatory secara formalitas namun dalam praktiknya sentralisasi dengan pendekatan top-

Indonesia sejak kira-kira tahun 2000 dan setelahnya telah mengimplementasikan pemerintahan daerah yang terdesentralisir dan telah mempraktekan sistem pemilihan umum kepala daerah/walikota secara sangat demokratis sejak sekitar tahun 2005 melalui pemilihan langsung, dan mungkin melibatkan juga paguyuban PKL atau kaum marginal lainnya dalam proses pembuatan keputusan, ada kemungkinan bahwa ketua mereka atau beberapa anggota mereka terkooptasi oleh elit atau pemerintah untuk mempengaruhi rekan-rekan sejawatnya. Mungkin saja pembuatan keputusan masih terus didominasi oleh pemerintah dan bahkan kemungkinan masih dilakukan melalui pendekatan top-down, yang terpusat di tangan pemerintah yang mencerminkan atau agenda kepentingan pemerintah yang kemungkinan besar berbeda dengan kepentingan, permintaan, keinginan dan pikiran kaum marginal (PKL). Lebih dari itu, peraturan-peraturan dan porses partisipasi termasuk berbagai pengetahuan, hubungan kekuatan untuk bernegosiasi, aktivitas politik dan sebagainya bisa menyembunyikan dan melaksanakan tindakan kekejaman dan ketidak adilan dalam berbagai bentuk. (Cooke dalam Sudarmo 2011 : 91-92) Ini untuk menggarisbawahi bahwa pemerintah daerah/kota/pemegang otoritas untuk mencapai semua tujuan-tujuannya dan merealisasikan agenda-agenda politiknya dan kebijakannya bisa saja melakukan tindakan opresif, pembersihan/penggarukan secara keras dan pilih kasih, mengadudomba antara mereka yang menjadi sasaran kebijakannya, atau tindakan kejam lainnya melalui implementasi kebijakan.

Hampir setiap tindakan penataan mengunakan ketentuan-ketentuan hukum, baik itu berupa peraturan daerah, keputusan bupati, surat edaran atau instruksi bupati/walikota yang sifatnya mengikat. Sebagian pemerintrah daerah/kota secara eksplisit menggunakan peraturan daerah untuk mengatur atau menata serta membina PKL di daerahnya, sedangkan sebagian lainnya mengunakan peraturan daerah yang cakupannya luas misalnya peraturan daerah tentang ketertiban dan kebersihan , namun didalamnya ada bagian atau pasal-pasal yang mengatur PKL.

Keberadaan hukum formal yang mencakup ketentuan-ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemerintah dan PKL maupun mekanisme penegakan hukum dan mekanisme pemecahan masalah akibat ketidaksetujuan terhadap peraturan tersebut dengan cara yang tidak memihak dan adil merupakan hal penting bagi governance karena keadaan seperti itu merupakah persyaratan bagi akuntabilitas dalam implementasi sebuah kebijakan atau aturan. Untuk mencapai akuntabilitas, implementasi peraturan tersebut harus predictable dalam arti bahwa peraturan atau ketentuan tersebut dilakukan secara konsisten dan adil dalam pelaksanannya.³ Dengan kata lain, kewajiban para PKL dan hak-hak yang harus mereka terima harus seimbang.

Menurut Scott, hukum formal sampai dengan tingkat yang sangat besar adalah parasitic terhadap proses informal karena rancangan atau perencanaan secara skematik bagi tatanan sosial bisa mengabaikan hal-hal penting sebuah kondisi riil sehinga semata-mata mendasarkan pada aturan bisa menghilangkan kemajuan dan kreatifitas. (Scott dalam Sudarmo 2011 : 92).

pada peraturan hukum harus dibarengi dengan kesadaran oleh pemerintah bahwa peraturan hukum tidak selalu cocok atau sesuai untuk situasi yang berkembang saat ini. Juga terdapat kemungkinan bahwa pendekatan otoriter yang bersifat top-down hanya akan menyulut resistensi di tingkat akar rumput dan pendekatan seperti itu meminta kepada mereka tentang apa yang harus dilakukan ketimbang mendorong mereka untuk melakukan apa yang bisa dikerjakan oleh mereka sendiri (Edgar dalam Sudarmo 2011 : 93). Lebih dari itu aturan formal bukanlah alat yang selalu efektif untuk memecahkan masalah. Sebagaimana dikatakan Edgar bahwa “solusi-solusi yang efektif tidak pernah datang dari program-program yang terpisah dari komunitas disekelilingnya. Mereka datang dari usaha-usaha yang berkaitan, terintegrasi, dan terkoordinasi dari seluruh institusi masyarakat yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas dan dukungan (Edgar dalam Sudarmo 2011 : 93).

Peraturan daerah, peraturan bupati atau instruksi bupati yang bisa dikemas dalam sebuah surat edaran merupakan salah satu tipe kebijakan publik yang disebut ‘protective regulatory’ ; kebijakan seperti ini ditujukan untuk melindungi publik dengan membangun sebuah kondisi dimana aktivitas privat bisa dilakukan; kondisi yang diyakini mengalami kerusakan atau ganguan tidak diperkenankan atau dilarang; aktivitas-aktivitas yang bermanfaat diperlukan; kebijakan seperti ini memerlukan kondisi dimana sektor masyarakat sesuai dengan aturan hukum umum. Ia dibentuk dalam sebuah proses yang sangat politis melalui pembuatan kebijakan yang melibatkan kelompok-kelompok kepentingan dan usaha- usaha melakukan lobi dan stekholder-stakeholder lainnya tergantung sistem politik di negara atau daerah tersebut (Greene dalam Sudarmo 2011 : 93).

dimana tidak ada pejabat yang bisa menginterpretasikan aturan hukum. (Ali, 2006). Interpretasi aturan hukum seharusnya tidak hanya bisa diuji oleh dan sejalan dengan norma-norma yang ada dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal seperti Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan nasional Indonesia seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia tetapi juga seharusnya tidak kontradiksi dengan tujuan hukum: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Ali, 2006).” Ini mengarisbawahi bahwa dalam implementasinya tidak boleh ada individu yang diperlakukan secara tidak adil karena jenis bisnis mereka, hubungan pribadi dengan orang-orang lokal/setempat, kemampuan melobi ketua paguyuban, hubungan pribadi dengan pemegang otoritas, kepentingan pemegang otoritas itu sendiri, atau mereka berasal dari luar daerah. Sebagaimana yang dikemukakan Gudstav Radbruch berpendapat bahwa jika tujuan hukum saling berkontradiksi antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, maka keadilan harus menjadi tujuan yang paling diprioritaskan untuk diimplementasikan (Ali, 2006).” Lebih dari itu, sebagaimana ditegaskan oleh Haryatmoko bahwa perlakuan tidak sama hanya dibenarkan jika hukum berpihak kepada orang-orang yang paling tidak diuntungkan atau menjadi korban (Haryatmoko, 2001) karena tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan sosial (Moh Mahfud MD, 1999: 151) dan memberikan “the protection for human rights” (perlindungan bagi hak-hak asasi manusia) (Petrova dalam Sudarmo 2011 : 94). Ini mengarisbawahi bahwa diskresi dalam implementasi sebuah atauran hukum yang dibuat di tingkat lokal katakanlah peraturan daerah, peraturan bupati, atau surat keputusan otoritas yang ada didaerah bisa dibenarkan jika dimaksudkan untuk mencapai keadilan terutama bagi mereka yang tidak dimana tidak ada pejabat yang bisa menginterpretasikan aturan hukum. (Ali, 2006). Interpretasi aturan hukum seharusnya tidak hanya bisa diuji oleh dan sejalan dengan norma-norma yang ada dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal seperti Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan nasional Indonesia seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia tetapi juga seharusnya tidak kontradiksi dengan tujuan hukum: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Ali, 2006).” Ini mengarisbawahi bahwa dalam implementasinya tidak boleh ada individu yang diperlakukan secara tidak adil karena jenis bisnis mereka, hubungan pribadi dengan orang-orang lokal/setempat, kemampuan melobi ketua paguyuban, hubungan pribadi dengan pemegang otoritas, kepentingan pemegang otoritas itu sendiri, atau mereka berasal dari luar daerah. Sebagaimana yang dikemukakan Gudstav Radbruch berpendapat bahwa jika tujuan hukum saling berkontradiksi antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, maka keadilan harus menjadi tujuan yang paling diprioritaskan untuk diimplementasikan (Ali, 2006).” Lebih dari itu, sebagaimana ditegaskan oleh Haryatmoko bahwa perlakuan tidak sama hanya dibenarkan jika hukum berpihak kepada orang-orang yang paling tidak diuntungkan atau menjadi korban (Haryatmoko, 2001) karena tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan sosial (Moh Mahfud MD, 1999: 151) dan memberikan “the protection for human rights” (perlindungan bagi hak-hak asasi manusia) (Petrova dalam Sudarmo 2011 : 94). Ini mengarisbawahi bahwa diskresi dalam implementasi sebuah atauran hukum yang dibuat di tingkat lokal katakanlah peraturan daerah, peraturan bupati, atau surat keputusan otoritas yang ada didaerah bisa dibenarkan jika dimaksudkan untuk mencapai keadilan terutama bagi mereka yang tidak