STUDI EVALUASI PEMANFAATAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU (DBH CHT) DI SURAKARTA TAHUN 2008 - 2010

DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU (DBH CHT) DI SURAKARTA TAHUN 2008 - 2010

SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas da Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun Oleh : M D CARNEGIE JOKO

F 1108513

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Ilmu itu segala sesuatu yang tersimpan didada bukan di buku catatan.

(Al Ghozali)

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu (Qs. Al Baqarah: 45)

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaannya sendiri.

(Ar. Ra’d : 11)

Seorang Ahli adalah orang yang tahu jalan, mencarikan jalan dan menunjukkan jalan.

(John Maxwell)

PERSEMBAHAN

Setiap lembar dari penyelesaian skripsi ini merupakan wujud dari keagungan dan kasih sayang yang di berikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Ini kupersembahkan Kepada :

1. Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah- Nya

2. Kedua orang tuaku yang paling aku sayangi. Terimakasih atas kerja kerasnya, dorongan, doa-doanya

3. Mas M. Agung Khoirudin & keluarga, Mas Yassir Arafat & keluarga terima kasih atas semua nasehat-nasehatnya. Tanpa nasehatmu aku tidak bisa seperti ini.

4. Teman-teman baikku

5. Almamaterku

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT dengan seluruh rahmat dan hidayah-Nya yang dilimpahkan pada kita semua, meskipun dengan kemampuan dan waktu yang terbatas akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi yang berjudul “STUDI EVALUASI PEMANFAATAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU (DBH CHT) DI SURAKARTA TAHUN 2008 – 2010”.

Sebagai salah satu syarat untuk mecapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penyusunan Skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak . dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang secara langsung atau tidak langsung telah membantu penyusunan Skripsi ini, khususnya kepada:

1. Drs. Harimurti M.Si selaku pembimbing yang dengan sabar memberikan pengarahan, petunjuk, nasehat, dan bimbingan.

2. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Drs. Supriyono, selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan, Drs. Sutanto selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan

4. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Kedua orang tua, dan kakak-kakakku yang telah memberikan kasih sayang yang begitu berharga dalam hidupku.

6. Semua Teman-teman Jurusan Ekonomi Swadana Transfer 2008 terima 6. Semua Teman-teman Jurusan Ekonomi Swadana Transfer 2008 terima

8. Untuk teman keseharianku, dalam tuntunan masa depan bagi sebagian orang mungkin gak begitu terlihat berarti, namun bagiku segala yang kualami engak pernah luput dari semangat mereka, semangat penghuni rumah kecil (little apartment nusukan) dengan berbagai kenangan konyol yang gak begitu mudah untuk dilupakan. “This word i’m wrote when my friend’s “Asep” goes to Surabaya to find job”.

9. Anggar makasih atas bantuanmu,tanpa kamu skripsiku mungkin akan lebih lama mengerjakannya,makasih atas bantuan doa dan dorongan semangatnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Skripsi masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan dari berbagai pihak untuk kesempurnaan penulisan Skripsi ini .

Surakarta, Januari 2012

Penulis

5 Pemberantasan barang kena cukai illegal .........................

B. Paradigma Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau ................

1. Departemen Keuangan ................................................. .. 22

2. Departemen Perindustrian dan Perdagangan ………….. 25

3. Departemen Pertanian ………………………………...

C. Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau di Inonesia Dilihat Dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dan Peruntukannya .........................................................................

D. Penelitian Terdahulu ...............................................................

E. Kerangka Pemikiran ................................................................

F. Hipotesis...................................................................................

BAB III METODE PENELITIAN ...............................................................

A. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................

B. Jenis dan Penelitian .................................................................

C. Jenis dan sumber Data..............................................................

D. Metode Pengumpulan Data .....................................................

E. Metode Analisis Data ..............................................................

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ..............................................

A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ........................................

1. Keadaan Geografi ..............................................................

2. Wilayah administratif .........................................................

4. Pendidikan ..........................................................................

46

5. Keadaan Ekonomi ..............................................................

47

6. Tenaga Kerja ......................................................................

48

B. Analisis Dan Pembahasan ........................................................

50

BAB V PENUTUP ......................................................................................

70

A. Kesimpulan .............................................................................

73

B. Saran ........................................................................................

74 DAFTAR PUSTAKA

Gambar 1 Kerangka Pemikiran ................................................................

36

Tabel 2. 1 Golongan Pengusaha Hasil Tembakau ...........................................

Tabel 2. 2 Target dan Realisasi Penerimaan Cukai Anggaran Pendapatan

Belanja Negara 2005-2010 ...............................................................

Tabel 2. 3 Kasus Pita Cukai PalsuTahun 2006-juli 2009 ................................

27 Tabel 2. 4 Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009 ...................................................

Tabel 4. 1 Pembagian Wilayah Administratif Kota Surakarta Tahun 2008 ....

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kepadatan Tiap

Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2008 ......................................

Tabel 4.3 Penduduk Usia % Tahun Keatas Menurut Pendidikan Tertinggi ...

46 Tabel 4.4 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Menurut

Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kota Surakarta Tahun 2007 – 2008 (Jutaan Rupiah) ................................

47 Tabel 4.5 Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Surakarta Tahun 2008 ......................................................................

Tabel 4.6 Peranan Penerimaan DBHCHT Terhadap Pendapatan Daerah

Tahun anggaran 2008-2010 .............................................................

Tabel 4.7 Anggaran Realisasi DBHCHT Tahun 2008-2010 Kota Surakarta ..

Tabel 4.8 Penggunaan DBHCHT Tahun 2008 Kota Surakarta .......................

Tabel 4.9 Penggunaan DBHCHT Tahun 2009 Kota Surakarta .......................

Tabel 4.10 Penggunaan DBHCHT Tahun 2010 Kota Surakarta .....................

M D Carnegie Joko. F 1108513. Studi Evaluasi Pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Di Surakarta Tahun 2008 – 2010 . Skripsi, Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Januari 2012.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan hukum dalam pembangunan ekonomi di Surakarta terkait dengan Industri Hasil Tembakau, menganalisis kebijakan dan peraturan DBHCHT di Surakarta, mengetahui perkembangan nilai anggaran dan realisasi DBHCHT di Surakarta serta mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan dana DBHCHT pertahun di Surakarta.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan menggunakan metode statistik deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, studi pustaka, dan observasi. Teknik analisis data menggunakan metode analisa deskriptif kualitatif dengan cara menginterprestasikan tabel, grafik ataupun data yang kemudian melakukan uraian untuk menarik kesimpulan.

Hasil penelitian disimpulkan: bahwa DBH CHT dialokasikan ke kota Surakarta melalui provinsi sesuai dengan ketetapan Peraturan Gubernur Jawa Tengah No.9 tahun 2009 dan PMK No.20/PMK.07/2009, Dana alokasi DBH CHT tersebut nantinya akan dikelola dan dialokasikan ke setiap SKPD terkait oleh Walikota;

Kata kunci : Distribusi Dana Bagi Hasil Cukai tembakau, Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

M D Carnegie Joko. F 1108513. Utilization Evaluation Studies DBH Tobacco Products Excise (DBH CHT) In Surakarta Year 2008 to 2010 . Thesis, Surakarta: Faculty of Economics, University of Surakarta Eleven March. In January 2012.

The purpose of this study was to determine the role of law in economic development in Surakarta associated with the Tobacco Products Industry, analyzing the policies and regulations DBHCHT in Surakarta, up to date with the budget and realization DBHCHT in Surakarta and to know the activities carried out with funds DBHCHT annually in Surakarta.

This study uses qualitative methods and using descriptive statistical methods. Data collection techniques using interviewing techniques, library studies, and observations. Techniques of data analysis using qualitative descriptive analysis method by means interpret tables, graphs or data which then performs the description to draw conclusions.

The study concluded: that DBHCHT allocated to the city of Surakarta in accordance with the provisions through the province of Central Java Governor Decree No.9 of 2009 and PMK No.20/PMK.07/2009, DBHCHT the allocation of funds will be managed and allocated to each SKPD related by Mayor;

Key words: Distribution of Tobacco Excise DBH, DBH Allocation of Tobacco Excise

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia termasuk Indonesia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi, sehingga bagi beberapa negara termasuk Indonesia berperan dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai salah satu sumber devisa, sumber penerimaan pemerintah dan pajak (cukai), sumber pendapatan petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani dan pengolahan rokok) (Muchjidin Rahmat, 2009:2).

Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara. Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di Indonesia. Para pedagang yang melakukan perdagangan di Indonesia harus membayar cukai terlebih dahulu sebelum diperbolehkan menjual dagangannya (barrier tarif). Selain membayar cukai, para pedagang juga harus membayar pula barang persembahan untuk raja, bendahara, tumenggung, dan syahbandar yang membawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2% dari nilai barang yang dibawa masuk, besarnya ditetapkan oleh syahbandar yang bersangkutan (Mahmul Siregar: 2009).

yang diharuskan, dengan maksud agar syahbandar dapat ”membujuk” raja dan pegawai-pegawainya agar perdagangannya lebih berhasil. Jika pedagang menetap pada suatu daerah, termasuk orang Melayu, harus membayar pajak 3%, disamping itu mereka harus membayar 6% pajak kerajaan (3% untuk orang Melayu). Pengutipan cukai tembakau pada zaman kerajaan tersebut di atas masih berlangsung sampai sekarang. Penerimaan negara terutama dari cukai dalam lima tahun terakhir memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008.4 Pengutipan cukai tembakau tersebut dilakukan dengan cara yang legal, didasarkan pada peraturan perundangundangan (Marwati Djoned: 1992: 153).

Industri Hasil Tembakau secara umum merupakan penyumbang cukai terbesar di berbagai negara penghasil tembakau di dunia, juga bagi Indonesia. Cukai Industri Hasil Tembakau menyumbang Rp. 54,4 triliun pada tahun 2009, dana yang begitu besar ini jauh lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (Sirait: 2009:83).

Industri rokok memiliki posisi peringkat ke-34 dari 66 sektor I-O perekonomian di Indonesia pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa industri rokok berperan penting dalam memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto di Indonesia. Industri hasil rokok ternyata tergolong Industri rokok memiliki posisi peringkat ke-34 dari 66 sektor I-O perekonomian di Indonesia pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa industri rokok berperan penting dalam memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto di Indonesia. Industri hasil rokok ternyata tergolong

Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai. Pengutipan cukai tembakau sekarang ini memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. Cukai hasil tembakau tersebut menyumbang Rp. 50,2 triliun yang merupakan jumlah penerimaan cukai pada tahun 2008.10 Pada tahun 2009 penerimaan negara dari cukai hingga akhir Oktober mencapai Rp. 46,201 triliun. Pada tahun 2010 ini ditargetkan penerimaan negara dari cukai adalah sebesar Rp. 55,9 triliun (Sirait: 2009: 83).

Berdasarkan gambaran tersebut, maka pada dasarnya penerimaan cukai dari Industri Hasil Tembakau berupa rokok memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan. Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Meskipun mengalami sedikit perlambatan pertumbuhan pada tahun 2008, namun secara keseluruhan nilai ekspor tembakau menunjukkan tren yang terus meningkat. Secara rata-rata nilai ekspor Berdasarkan gambaran tersebut, maka pada dasarnya penerimaan cukai dari Industri Hasil Tembakau berupa rokok memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan. Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Meskipun mengalami sedikit perlambatan pertumbuhan pada tahun 2008, namun secara keseluruhan nilai ekspor tembakau menunjukkan tren yang terus meningkat. Secara rata-rata nilai ekspor

Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, pada tahun 2008 Industri Hasil Tembakau mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang dengan rincian petani tembakau 2 juta orang, petani cengkeh 1,5 juta orang, tenaga kerja di pabrik rokok sekitar 600 ribu orang, pengecer rokok/ pedagang asongan sekitar 1 juta orang, dan tenaga kerja percetakan, periklanan, pengangkutan serta jasa transportasi sekitar 1 juta orang.

Salah satu obyek yang dapat menjadi sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah cukai rokok. Dengan berkembangnya industri rokok di Surakarta, pemerintah daerah memiliki potensi yang cukup besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Hal ini berkaitan dengan Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.07/2008 mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Pada tahun 2010, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) digunakan untuk pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di lingkungan Industri Hasil Tembakau dan daerah penghasil bahan Industri Hasil Tembakau, peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja Industri Hasil Tembakau. Hal ini dilakukan semata untuk mengentaskan kemiskinan, Salah satu obyek yang dapat menjadi sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah cukai rokok. Dengan berkembangnya industri rokok di Surakarta, pemerintah daerah memiliki potensi yang cukup besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Hal ini berkaitan dengan Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.07/2008 mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Pada tahun 2010, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) digunakan untuk pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di lingkungan Industri Hasil Tembakau dan daerah penghasil bahan Industri Hasil Tembakau, peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja Industri Hasil Tembakau. Hal ini dilakukan semata untuk mengentaskan kemiskinan,

Selanjutnya mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang dibagikan kepada setiap provinsi masih minim. Dari pendapatan pemerintah melalui cukai memberikan masukan bagi penerimaan negara sebesar Rp. 54,4 triliun pada tahun 2009 yang diterima oleh Surakarta adalah Rp. 1,42 miliar pada tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 (alokasi sementara) akan mendapatkan Rp. 3,9 miliar. Untuk pemerintah provinsi Surakarta, dengan jatah 30% dari total Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Sumut, maka pada tahun 2008 mendapat Rp. 428,09 juta, dan tahun 2009 mendapat Rp. 1,17 miliar. Ketentuan soal Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ini jelas memberikan dampak yang signifikan pada pendapatan daerah, meski dengan nilai yang tidak besar, dan dengan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang sudah baku dan tidak memungkinkan adanya improvisasi lain oleh pemerintah daerah. Terhambatnya perkembangan Industri Hasil Tembakau juga dipicu dengan maraknya kampanye anti merokok di Eropa yang mengakibatkan Tembakau Deli dari Surakarta berkurang. Dapat dilihat data dari PT. Perkebunan Nusantara 2 yang bidang usahanya bergerak dalam sektor perkebunan

ladang di tahun 2009 menjadi 452 ladang dengan produksi seluas 0,8 ha. Dengan berkurangnya jumlah ladang tersebut mengakibatkan produksi tembakau deli menurun yakni di tahun 2008 mencapai 2.270 bal yang masing-masing bal berukuran sekitar 72 – 80 kg dan di tahun 2009 kembali menurun menjadi 750 – 800 bal karena sedikitnya pertanaman. Berdasarkan hasil lelang 2009 sebanyak 2.270 bal, yang mampu terjual hanya berkisar 1.500 bal dengan rata-rata harga €. 30,-/kg. Untuk sisa produksi yang belum terjual tersebut yakni 770 bal akan dilelang kembali di tahun 2010 ditambah dengan produksi tanam tahun 2009.

Iklan rokok juga sebagai hambatan Industri Hasil Tembakau, sebelum Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) disusun pada setiap negara sudah didengung-dengungkan mengenai gerakan anti rokok yang kian hari kian menguat. Menurut Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Anggito Abimanyu mengenai iklan kampanye anti rokok bahwa ” kampanye anti rokok ini juga menghambat perkembangan Industri Hasil Tembakau dan mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara secara drastis” (Jakarta : Harian Suara Pembaruan, tanggal 17 Maret 2010).

Hambatan Industri Hasil Tembakau tidak sampai Framework Convention on Tobacco Control melainkan sampai ke permasalahan domestik yaitu mengenai infrastruktur, keamanan, transaction cost yang tinggi, maraknya rokok illegal, semakin banyak peraturan daerah tentang

menjadi penghambat dalam perkembangan Industri Hasil Tembakau adalah tentang kurangnya daya listrik menimbulkan biaya tambahan bagi perusahaan rokok untuk menyediakan motor diesel (genset) dan juga bahan bakarnya yang tidak lain membutuhkan biaya tambahan ekstra, jalan raya yang masih banyak rusak menyebabkan pengiriman barang menjadi lambat. Masalah keamanan juga menjadi faktor penting bagi perusahaan rokok atau Industri Hasil Tembakau untuk berkembang (Yuriandi: 2012: 10).

Transaction cost dapat dikaitkan dengan adanya pungli dan juga retribusi-retribusi akibat perda-perda yang notabene meningkatkan pendapatan daerah. Seperti pembuatan izin-izin usaha yang tidak satu pintu, setiap perusahaan rokok yang ada harus mempunyai izin-izin usaha yang diurus satu persatu. Mulai dari Surat Keterangan Domisili dari kelurahan yang ditandatangani oleh Camat. Selanjutnya ke Surat Izin Usaha Perusahaan, Surat Izin Gangguan, dan Tanda Daftar Perusahaan yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Setiap izin yang dikeluarkan selalu membutuhkan biaya retribusi resmi dari pemerintah daerah dan juga ’ongkos’ pengurusan yang dikutip melalui pejabat setempat (Yuriandi: 2012: 10).

Penerapan cukai tembakau sedikit demi sedikit akan mengarah kepada kebijakan single spesifik atau dapat juga disebut dengan single tarif, yaitu kebijakan tarif cukai tembakau yang menyamaratakan cukai

Mesin, Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Dengan diberlakukannya kebijakan single tarif tersebut dapat memberatkan pelaku usaha dalam skala kecil dan menengah.

Dasar hukum cukai sebagai instrumen pengendali Industri Hasil Tembakau yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau, yang menggantikan Staatsblad 1932 No. 517 tentang Ordonansi Cukai Tembakau merupakan produk kolonial Belanda. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai menggantikan beberapa perundang-undangan produk kolonial Belanda tersebut yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 39 Tahun 2007. Tujuan dari cukai adalah untuk menghambat pemakaian barang-barang yang dikenakan masuk ke dalam karakteristik undang-undang di atas guna untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan.

Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil Tembakau nasional yang lebih besar untuk tindakan penyelamatan menjual perusahaannya dan diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar, seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dan lain-lain. Dengan cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil Tembakau multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestik Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil Tembakau nasional yang lebih besar untuk tindakan penyelamatan menjual perusahaannya dan diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar, seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dan lain-lain. Dengan cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil Tembakau multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestik

Dugaan keterlibatan pihak asing (perusahaan multinasional) sejenis ini sudah ada sejak lama. Pada tahun 1999 perusahaan rokok kretek nasional menuding Indonesian Monetary Fund dan Bank Dunia merupakan perpanjangan tangan perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Salah satu yang menjadi sasaran adalah pasar rokok Indonesia yang potensial dan dikuasai oleh produsen kretek. Sebagai negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih dan konsumsi rata-rata per kapita baru 1.100 batang, Indonesia merupakan pasar yang empuk. Sejumlah perusahaan kretek menuding Indonesian Monetary Fund berada di balik penundaan Penetapan Harga Jual Eceran Minimum (HJEM) rokok putih yang telah dikeluarkan Menteri Keuangan Republik Indonesia 31 Maret 1999. Penundaan tersebut dilakukan selama 2 tahun, sementara ketentuan yang sama harus sudah berlaku untuk rokok kretek. Kebijakan yang demikian dipandang tidak adil bagi industri rokok kecil dan menengah. Masalahnya ada produsen rokok kecil yang menjual rokok berharga mahal, seperti Wismilak dan Saratoga. Akibat ketentuan ini mereka harus membayar cukai lebih tinggi karena harga produk mereka yang melewati batas harga eceran maksimum untuk pabrik sekelasnya. Padahal mereka tetap saja produsen kecil yang harus hidup diantara para raksasa rokok.

Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Produk yang dijual pelaku-pelaku usaha kecil dipaksa untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Sebagai contoh perusahaan lokal Surakarta seperti PT. Sumatera Tobacco Trading Company dibandingkan dengan PT. British American Tobacco Indonesia, Tbk yang ditinjau dari sisi produknya. Sudah pasti perusahaan-perusahaan kecil yang ada akan tutup dan tidak beroperasi lagi. Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik mengapa cukai tembakau sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat adalah peranannya terhadap pembangunan dalam bentuk sumbangan kepada penerimaan negara khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Dana yang didapat dari kebijakan cukai digunakan untuk pemulihan akibat ari rokok. Digunakan juga untuk pemenuhan bahan baku berupa tembakau bagi Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil. Dana yang didapat dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut harus berkontribusi kepada Surakarta. Khususnya untuk perbaikan infrastruktur agar iklim usaha Industri Hasil Tembakau di Surakarta membaik, dan menumbuhkan Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil mengarah ke skala menengah-besar. Terlihat jelas adanya dilema dalam pengaturan Industri Hasil Tembakau sebagaimana diuraikan diatas. Setidaknya ada tiga variabel yang saling tarik menarik dalam Dana yang didapat dari kebijakan cukai digunakan untuk pemulihan akibat ari rokok. Digunakan juga untuk pemenuhan bahan baku berupa tembakau bagi Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil. Dana yang didapat dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut harus berkontribusi kepada Surakarta. Khususnya untuk perbaikan infrastruktur agar iklim usaha Industri Hasil Tembakau di Surakarta membaik, dan menumbuhkan Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil mengarah ke skala menengah-besar. Terlihat jelas adanya dilema dalam pengaturan Industri Hasil Tembakau sebagaimana diuraikan diatas. Setidaknya ada tiga variabel yang saling tarik menarik dalam

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, selanjutnya dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan Kebijakan Dana Bagio Hasil Cukai Hasil Tembaku (DBHCHT) di kota Surakarta?

2. Bagaimana pertumbuhan nilai anggaran dan realisasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau di kota Surakarta?

3. Bagaimana alokasi dana (DBHCHT) berdasarkan peruntukannya?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui peranan hukum dalam pembangunan ekonomi di Surakarta terkait dengan Industri Hasil Tembakau. Bertolak dari rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui perkembangan Kebijakan Dana Bagio Hasil Cukai Hasil Tembaku (DBHCHT) di kota Surakarta.

Hasil Cukai Hasil Tembakau di kota Surakarta.

3. Untuk mengetahui alokasi dana (DBHCHT) berdasarkan peruntukannya di kota Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu : Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain :

1. Bagi Pemerintah Daerah Sebagai bahan referensi bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijaksanaan-kebijaksaan dalam mengatur pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.

2. Bagi Kalangan Akademik Sebagai bahan masukan bagi para mahasiswa yang ingin memahami masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.

3. Bagi Masyarakat Umum Sebagai bahan referensi untuk mengetahui kenerja pemerintah daerah dalam menggunakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) adalah Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen). DBH CHT merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam pengembangan pembangunan di Indonesia atas pemungutan cukai dari Industri Hasil Tembakau (IHT) . DBH CHT digunakan untuk mendanai (Yuriandi: 2012):

1. Peningkatan kualitas bahan baku Peningkatan proses produksi industri hasil tembakau berupa bahan mentah dengan bantuan sarana dan prasarana produksi, bantuan modal kerja, demo intensifikasi tembakau sebagai bahan baku utama dan cengkeh sebagai bahan baku tambahan dalam proses pembuatan rokok. Peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau, meliputi:

a. Standardisasi kualitas bahan baku;

b. Pembudidayaan bahan baku dengan kadar nikotin rendah;

c. Pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan c. Pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan

industri hasil tembakau.

2. Pembinaan Industri

Kegiatan dalam rangka perbaikan kualitas produk IHT sejak dari bahan mentah hingga barang siap dipasarkan, termasuk penyediaan data yang menyajikan informasi yang memuat tentan IHT, kebutuhan bahan baku IHT, daerah penghasil bahan baku IHT, jumlah tenaga kerja, jenis IHT yang diproduksi, total produksi IHT periode tertentu, dan potensi pemakaian cukai. Pembinaan industri hasil tembakau, meliputi:

a. Pendataan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau (registrasi mesin/peralatan mesin) dan memberikan tanda khusus;

b. Penerapan ketentuan terkait Hak Atas Kekayaan Intelektual

(HAKI);

c. Pembentukan kawasan industri hasil tembakau;

d. Pemetaan IHT berupa kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan industri hasil tembakau di suatu daerah, meliputi :

e. Asal daerah bahan baku (tembakau dan cengkih).

f. Kemitraan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan usaha besar

dalam pengadaan bahan baku;

g. Penguatan kelembagaan asosiasi industri hasil tembakau; g. Penguatan kelembagaan asosiasi industri hasil tembakau;

3. Pembinaan lingkungan sosial

Merupakan tanggung jawab sosial yang dilakukan untuk membantu penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan lingkungan, membantu permodalan Usaha Kecil Menengah (UKM) atau Industri Kecil Menengah (IKM). Pembinaan lingkungan sosial, meliputi :

a. Pembinaan kemampuan dan ketrampilan kerja masyarakat di lingkungan IHT dan/atau daerah penghasil bahan baku IHT;

b. Penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL);

c. Penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum; dan/ atau

d. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok

4. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai

Proses pengenalan dan pemahaman tentang penggunaan pita cukai rokok, pentingnya pendapatan dari cukai rokok untuk pembangunan, dampak penggunaan pita cukai rokok illegal.

Kegiatan yang bertujuan untuk meminimalisir peredaran rokok illegal, meningkatkan penggunaan cukai rokok resmi dan memberikan efek jera kepada pelaku. Pemberantasan barang kena cukai ilegal, meliputi:

a. Pengumpulan informasi hasil tembakau yang dilekati pita cukai

palsu di peredaran atau tempat penjualan eceran;

b. Pengumpulan informasi hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai di peredaran atau tempat penjualan eceran; dan

c. Pengumpulan informasi barang kena cukai berupa etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol yang ilegal di peredaran atau tempat penjualan eceran.

d. Apabila dalam pelaksanaan kegiatan pengumpulan informasi ditemukan indikasi adanya hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu, hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai, atau etil alkohol dan minuman mengandung etil alcohol yang ilegal di peredaran atau tempat penjualan eceran, walikota menyampaikan informasi secara tertulis kepada DJBC. Dana bagi hasil cukai merupakan bagian kapasitas fiskal yang

perhitungannya disesuaikan dengan formula Dana Alokasi Umum (DAU) yang setiap tahun ditetapkan dalam pembahasan RAPBN. Pembagian, pengelolaan, dan penggunaan pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau kepada kabupaten/kota penyumbang cukai hasil tembakau perhitungannya disesuaikan dengan formula Dana Alokasi Umum (DAU) yang setiap tahun ditetapkan dalam pembahasan RAPBN. Pembagian, pengelolaan, dan penggunaan pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau kepada kabupaten/kota penyumbang cukai hasil tembakau

a. 30 % untuk provinsi penghasil

b. 40% untuk kabupaten/kota daerah penghasil

c. 30% untuk kabupaten/kota lainnya

Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan anggaran peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan Industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai illegal yang berasal dari DBH CHT yang dibuat di Indonesia. Apabila hasil pemantauan dan evaluasi anggaran peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan Industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai illegal dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau mengidikasikan adanya penyimpangan pelaksanaan akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundagan yang belaku. Atas penyalahgunaan alokasi tersebut dapat diberikan sanksi penangguhan hingga penghentian penyaluran DBH CHT serta apabila dalam pelaksanaan pengalokasian ke setiap SKPD terdapat sisa alokasi, Penganggaran Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) DBH CHT Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan anggaran peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan Industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai illegal yang berasal dari DBH CHT yang dibuat di Indonesia. Apabila hasil pemantauan dan evaluasi anggaran peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan Industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai illegal dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau mengidikasikan adanya penyimpangan pelaksanaan akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundagan yang belaku. Atas penyalahgunaan alokasi tersebut dapat diberikan sanksi penangguhan hingga penghentian penyaluran DBH CHT serta apabila dalam pelaksanaan pengalokasian ke setiap SKPD terdapat sisa alokasi, Penganggaran Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) DBH CHT

1. Penetapan Alokasi DBH CHT

Penetapan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang dialokasikan kepada provinsi dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Besaran alokasi DBH CHT per tahun ditetapkan dalam UU

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan

pembagian alokasi DBH CHT per provinsi;

c. Gubernur menetapkan pembagian untuk provinsi, kabupaten, dan kota di wilayahnya masing-masing dengan komposisi : 30% untuk provinsi, 40% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 30% kabupaten/kota lainnya;

d. Menteri Keuangan memberikan persetujuan atas pembagian alokasi yang ditetapkan Gubernur dengan Peraturan Menteri Keuangan

2. Penyaluran DBH CHT

Penyaluran DBH CHT dari pusat yang dialokasikan kepada provinsi hingga ke kota Surakarta dengan penjelasan sebagai berikut : Penyaluran DBH CHT dari pusat yang dialokasikan kepada provinsi hingga ke kota Surakarta dengan penjelasan sebagai berikut :

c. Penyaluran triwulan I sampai dengan III dihitung dari

penetapan alokasi sementara

d. Penyaluran triwulan I dilaksanakan pada bulan Maret sebesar 20%, triwulan II dilaksanakan pada bulan Juni sebesar 30% dan triwulan III dilaksanakan pada bulan September sebesar 30%

e. Penyaluran triwulan IV sebesar selisih antara penetapan alokasi definitif dengan dana yang telah disalurkan pada triwulan I sampai dengan III

f. Penyaluran triwulan I dilakukan setelah Direktorat Jenderal Perimbangan dan Keuangan (DJPK) menerima laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT semester II tahun anggaran sebelumnya dari gubernur dan laporan konsolidasi rancangan program kegiatan dan anggaran DBH CHT

g. Penyaluran triwulan III dilakukan setelah DJPK menerima laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT semester I tahun berjalan dari gubernur

DBH CHT sebagaimana dimaksud pada angka 6 dan 7 tidak menunjukan adanya realisasi penggunaan, maka penyaluran DBH CHT ditunda sampai dengan disampaikannya laporan konsolidasi penggunaan dana atas kegiatan DBH CHT

3. Pelaporan DBH CHT

Pelaporan DBH CHT atas alokasi dana ke tiap kota, dapat dirinci sebagai berikut :

a. Awal tahun gubernur menyampaikan laporan konsolidasi rancangan program kegiatan dan anggaran DBH CHT dari masing-masing provinsi, kabupaten, dan kota;

b. Tanggal 20 Juli gubernur menyampaikan laporan konsolidasi penggunaan dana atas kegiatan DBH CHT semester I dari masing-masing provinsi, kabupaten, dan kota;

c. Tanggal 20 Desember gubernur menyampaikan laporan konsolidasi penggunaan dana atas kegiatan DBHCHT semester

II dari masing-masing provinsi, kabupaten, dan kota

B. Paradigma Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Setelah mengetahui sejarah bea cukai dan Industri Hasil Tembakau, selanjutnya akan dibahas mengenai paradigma kebijakan tarif cukai hasil tembakau. Apabila berbicara mengenai paradigma maka tidak terlepas dari pandangan berbagai pihak terhadap kebijakan tarif cukai Setelah mengetahui sejarah bea cukai dan Industri Hasil Tembakau, selanjutnya akan dibahas mengenai paradigma kebijakan tarif cukai hasil tembakau. Apabila berbicara mengenai paradigma maka tidak terlepas dari pandangan berbagai pihak terhadap kebijakan tarif cukai

Menurut Thomas Kuhn Paradigma hukum adalah pandangan terhadap positivisme hukum yang berlaku berkaitan dengan cukai hasil tembakau. Adapun yang berkaitan dengan paradigma hukum kebijakan tarif cukai hasil tembakau, antara lain, (Sirait, 2009:14) :

1. Departemen Keuangan

Dari paradigma Departemen Keuangan mengenai kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia yang berbicara mengenai pendapatan negara melalui penerimaan negara. Negara mendapat pemasukan dari pengutipan cukai yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada di bawah Departemen Keuangan. Pengutipan cukai ini dilakukan Pemerintah melalui Departemen Keuangan, Direktorat Bea dan Cukai adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kuangan No. 181/PMK.011/2009, tanggal 16 November 2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Peraturan Menteri Keuangan ini mencabut dan menyatakan tidak belaku lagi Peraturan Menteri Keuangan mengenai tarif cukai hasil tembakau sebelumsebelumnya, yaitu : 1) Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005; 2) Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.04/2006; 3) Peraturan Menteri Keuangan No.

203/PMK.011/2008.

Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau adalah mengenai GolonganPengusaha Pabrik Hasil Tembakau, Batasan Harga Jual Eceran dan Tarif Cukai per Batang atau Gram Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri, dan Tarif Cukai dan Harga Jual Eceran Minimum Hasil Tembakau yang Diimpor. Adapun pengaturan penggolongan pengusaha pabrik hasil tembakau yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau di atas dapat dilihat pada tabel yang tertera sebagai lampiran pada peraturan tersebut, yaitu :

Golongan Pengusaha Hasil Tembakau

No urut

Golongan Pengusaha

Pabrik

Hasil Tembakau

Batasan Jumlah Produksi

Jenis

Golongan

1. Sigaret Kretek Mesin

II

Lebih dari 2 milyar batang Tidak lebih dari 2 milyar batang Lebih dari 2 milyar batang

2. Sigaret Putih Mesin

I Tidak lebih dari 2 milyar batang

3. Sigaret Kretek Tangan atau Sigaret Putih Tangan

II

II

Tidak lebih dari 2 milyar batang Lebih dari 2 milyar batang Lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang

4. Tembakau Iris

Tanpa Golongan

Tanpa batasan jumlah produksi

5. KLM atau Klobot

Tanpa Golongan

Tanpa batasan jumlah produksi

6. Hasil Pengelolaan Tembakau

Tanpa Golongan

Tanpa batasan jumlah produksi

Sumber : Lampiran I, Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Pemerintah memutuskan kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 7% yan gdilaksanakan pada 1 Februari 2009 untuk mengendalikan konsumsi rokok dan mencapai target penerimaan cukai senilai Rp. 53.30 triliun. Kenaikan setoran Industri Hasil Tembakau ini harus dibarengi penurunan konsumsi rokok. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan menekan pertumbuhan konsumsi rokok di level 5% dengan menaikkan beban cukai rokok rata-rata sebesar 7%. Peraturan tersebut di atas juga mengatur Pemerintah memutuskan kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 7% yan gdilaksanakan pada 1 Februari 2009 untuk mengendalikan konsumsi rokok dan mencapai target penerimaan cukai senilai Rp. 53.30 triliun. Kenaikan setoran Industri Hasil Tembakau ini harus dibarengi penurunan konsumsi rokok. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan menekan pertumbuhan konsumsi rokok di level 5% dengan menaikkan beban cukai rokok rata-rata sebesar 7%. Peraturan tersebut di atas juga mengatur

Inilah yang disebut simplifikasi tarif atau sama dengan single tariff . Jadi, Industri Hasil Tembakau kecil dipaksa untuk bersaing melawan raksasa Industri Hasil Tembakau. Berikutnya dapat dilihat penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau dari tahun 2005 sampai 2009, sebagai berikut :

Tabel 2.2

Target dan Realisasi Penerimaan Cukai Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2005-2010

Tahun

Target

(Rp. Triliun)

Realisasi

(Rp. Triliun)

Realisasi

(Rp. Triliun)

- Sumber : Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2010.

Dari sisi penerimaan negara, benar bahwa penerimaan negara melalui cukai sangat tinggi dan terealisasi dengan baik. Departemen Dari sisi penerimaan negara, benar bahwa penerimaan negara melalui cukai sangat tinggi dan terealisasi dengan baik. Departemen

2. Departemen Perindustrian dan Perdagangan

Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam hal kebijakan tarif cukai hasil tembakau berperan dalam hal merumuskan Roadmap Industri Hasil Tembakau yang merupakan aplikasi dari prioritas atas aspek tenaga kerja, penerimaan dan kesehatan, diantaranya dengan menghilangkan rokok ilegal dan pita cukai palsu. Beredarnya rokok ilegal dan pita cukai palsu berarti tidak ada penerimaan negara dari sektor cukai tembakau. Beredarnya rokok ilegal dan pita cukai palsu yang merupakan hambatan dari penerimaan negara pasti membuat gerah pemerintah, maka Pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdangangan mengeluarkan rencana kerja di dalamRoadmap Industri Hasil Tembakau tersebut yang terbagi dalam beberapa jangka waktu, yaitu74 :

a. Tahun 2007-2010 yang merupakan jangka pendek, urutan prioritas pada aspek : tenaga kerja – penerimaan negara – kesehatan.

b. Tahun 2010-2015 atau jangka menengah, urutan prioritas pada aspek : penerimaan negara – kesehatan – tenaga kerja.

kesehatan melebihi aspek tenaga kerja dan penerimaan negara. Disamping penerimaan negara menjadi berkurang, persaingan bisnis hasil tembakau juga menjadi tidak sehat karena produk tembakau ilegal bisa menjual dengan harga lebih murah dari yang legal. Bila hal ini terjadi maka jumlah produk hasil tembakau di pasaran meningkat, dan masyarakat dapat memperoleh dengan mudah akibatnya berdampak pada kesehatan masyarakat karena konsumsi tembakau yang meningkat.

Kerugian negara dari tindak pidana terkait pita cukai palsu yang ditangani Ditjen Bea dan Cukai selama 2009 mencapai sekitar Rp. 1,5 triliun. Kerugian tersebut adalah dari penggerebekan percetakan pita cukai palsu yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Peredaran pita cukai palsu tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun dengan melihat tabel di bawah ini. Apabila dilihat dari cara memproduksi pitacukai tersebut adalah dengan menjalankan kegiatan pita cukai palsu secara tertutup dengan kedok kegiatan penjualan.

Tabel 2.3

Kasus Pita Cukai Palsu dari Tahun 2006 – Juli 2009

Tahun Jumlah Kasus yang Ditangani

415 Sumber : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Republik Indonesia,

berperan dalam menjaga kestabilan penerimaan negara dalam hal cukai hasil tembakau. Dapat dilihat pada Tabel 5 di atas bahwa proses law enforcement begitu gencar dilakukan oleh Dirjend Bea dan Cukai bersinergi dengan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) dalam melakukan pengawasan pita cukai palsu tersebut. Setiap departemen pemerintahan mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam hal cukai hasil tembakau tersebut dikarenakan ada tugas yang berbeda pula pada setiap departemennya. Perbedaan persepsi yang ada ini tidak mungkin untuk disatukan melihat perbedaan tanggung jawab dan wewenang dari setiap departemen.

3. Departemen Pertanian

Pada Departemen Pertanian dalam hal kebijakan tarif cukai hasil tembakau adalah melalui perkembangan dari jumlah lahan yang digunakan dalam pertanian tembakau dan penelitian-penelitian untuk mencari substitusi produk. Departemen Pertanian mendukung sepenuhnya perkembangan lahan dan penelitian mengenai pengembangan tembakau tersebut. Isu strategis untuk komoditas tembakau adalah ditetapkannya rokok sebagai salah satu industri prioritas. Industri rokok di Indonesia menggunakan 80% bahan baku tembakau lokal. Tembakau cerutu merupakan komoditas ekspor yang sudah terkenal sejak lama. Areal pertanaman tembakau setiap

Nusa Tenggara Barat. Pada umumnya tembakau diusahakan oleh petani berskala kecil, hanya sebagian yang diusahakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Perusahaan Swasta.

Sumbangan tembakau terhadap pendapatan petani dan negara cukup besar. Usaha tani dan industri tembakau dapat menghidupi 10 juta jiwa yang meliputi 4 juta petani, 600.000 orang tenaga kerja di pabrik-pabrik rokok, 4,5 juta orang yang terlibat dalam perdagangan, dan 900.000 orang terlibat dalam transportasi dan periklanan. Tembakau memberikan sumbangan pendapatan negara dalam bentuk cukai dan devisa dari ekspor tembakau. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan tembakau adalah rendahnya produktivitas dan beragamnya mutu yang dihasilkan, serta tekanan masyarakat internasional terkait isu kesehatan.