Tradisi ziarah makam banyubiru dalam era modernisasi (Studi Kasus di Desa Jatingarang Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat hidup bersama-sama menghasilkan kebudayaan. Nilai-nilai budaya yang bersifat tradisional sudah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat Jawa. Sebagian masyarakat Jawa dalam berperilaku selalu berpegang pada pandangan hidupnya yang religius dan mistis, serta pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya. Pandangan hidupnya selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang terkesan gaib dengan menghormati arwah nenek moyang serta kekuatan-kekuatan yang tidak terlihat oleh indera manusia. Ketakutan manusia pada kekuatan supernatural berubah menjadi pandangan bahwa kekuatan tersebut berada dalam dunia nyata dan mempengaruhi nasib manusia, sehingga muncullah gagasan bahwa kekuatan itu membutuhkan pemujaan damai, khusus, dan berbeda. Ritual- ritual yang masih ada pada masyarakat Jawa merupakan kekayaan budaya yang turun temurun antara generasi, walaupun anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan adanya transformasi budaya generasi tua ke generasi muda.
Orang Jawa mempunyai gaya hidup kebatinan yang meliputi berbagai bentuk kebudayaan Jawa, misalnya kepercayaan akan ramalan, penafsiran dari lambang-lambang dan kesakten barang-barang keramat dan makam-makam. Menurut Kodiran dalam Koentjaraningrat (1999:347), orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu kesakten, kemudian arwah atau roh leluhur dan makhluk-makhluk seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka . menurut kepercayaan makhluk-makhluk halus tersebut dapat mendatangkan sukses, kebahagiaan, ketenteraman, sehingga perlu adanya membangun hubungan yang baik.
Pemujaan dan penghormatan kepada roh-roh oleh sebagian masyarakat Jawa masih tampak terlihat, terlepas dari sifat roh yang dianggap baik atau jahat. Masyarakat mempunyai alasan yang berbeda-beda dalam setiap pemujaan dan
commit to user
penghormatan kepada roh-roh tetapi kesemuanya itu berlatar belakang pada alasan bahwa roh-roh tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia antara lain untuk keselamatan dan kesejahteraan.
Masyarakat Jawa mengenal adanya dunia gaib yang dihuni oleh makhluk-makhluk halus seperti roh –roh orang yang sudah meninggal dunia. Hal ini tampak dalam kehidupan mereka dengan adanya pemberian sesaji seperti air dan kembang setaman yang ditujukan kepada arwah-arwah leluhur pada malam Jumat Kliwon. Sesaji ini dianggap dapat memberikan perlindungan kepada kehidupan mereka.
Orang Jawa juga mempunyai keyakinan mengenai hubungan antara manusia dan roh-roh halus sebagai sarana bantu Yang Kuasa untuk menampakkan diri secara tidak langsung kepada manusia. Orang Jawa juga mengenal zat-zat gaib. Menurut Suyono (2007:4), zat-zat gaib menurut orang Jawa dapat dibagi menjadi empat yaitu:
1. Dewa-dewi utama dan dewa-dewi lainnya, serta makhluk-makhluk halus lain yang dipercayai oleh ajaran Budha dan Hindhu. Kepercayaan ini terutama dianut oleh orang Baduwi dan orang jawa yang nenek moyangnya sebelum memeluk agama tersebut.
2. Zat yang dipuja sebagai Tuhan dari benda-benda angkasa dan unsur- unsur yang berasal dari magisme dan dualisme. Orang Jawa mengenal ajaran ini dari kalangan Hindhu Parsi. Kepercayaan ini terutama dihargai serta dianut oleh orang Tengger dan keturunannya yang beragama Hindhu Parsi.
3. Setan-setan, jin-jin dan makhluk halus yang berasal pemujaan alam. Kepercayaan ini terutama dianut oleh orang Pasek sebagai penduduk asli dari pulau Jawa dan keturunannya yang telah beragama Islam, mereka tetap menghargai dan takut terhadap jin, setan dan makhluk halus yang bersumber dari pemujaan terhadap alam.
4. Makhluk-makhluk yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab agama Islam lainnya. Makhluk-makhluk gaib ini dihargai dan ditakuti oleh mereka yang beragama Islam.
Masuknya berbagai agama sebelum kedatangan Islam di pulau Jawa membawa dampak yang besar pada adat-istiadat, tata cara hidup maupun praktek keagamaan sehari-hari orang Jawa. Keyakinan oleh sebagian masyarakat adanya Tuhan, dewa-dewa, setan, roh-roh alam, roh-roh manusia, dan berbagai jenis kepercayaan lainnya mempengaruhi kehidupan orang-orang Jawa. Adanya
commit to user
berbagai kepercayaan mengenai kekuatan mistik melahirkan berbagai takhayul. Kepercayaan yang ada di masyarakat Jawa berbeda-beda antara wilayah yang satu dengan lainnya. Masyarakat di desa pada umumnya dalam menjalani dan melaksanakan kehidupan dan penghidupannya diwarnai oleh berbagai macam tradisi yaitu dalam mewujudkan hubungan-hubungan antara masyarakat dengan Tuhan, hubungan masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya maupun masyarakat dengan alam lingkungannya.
Masyarakat Jawa memandang bahwa berkah dapat dibendakan sehingga mampu dirasakan manfaatnya dan dapat diketahui orang lain. Berkah itu berupa dunyo, turangga lan kukila , yaitu harta yang banyak, kendaraan yang bagus atau pangkat yang baik dan “suara burung yang cantik”. Ketiganya dipandang sebagai perlambang kemapanan seseorang dan dinilai berhasil apabila kesemuanya itu tercapai. Untuk mencapai sebuah kemapanan tentunya diperlukan usaha dan kerja keras, serta doa karena semua turun semata-mata karena karunia Illahi, maka bagi sebagian orang, para wali sebagai orang yang dekat dengan Allah, merupakan perantara yang tepat. Sebagian orang Jawa percaya, meskipun para wali telah meninggal tetapi yang meninggal hanyalah jasadnya, rohnya masih utuh dan hidup. Roh para wali itu mengetahui siapa yang datang ke makamnya dan mendengarkan bagaimana doanya, sebuah keniscayaan jika doa tersebut cepat sampai kepada Allah.
Apabila dihubungkan dengan kemajuan zaman dan pandangan kaum modernis yang lebih mementingkan rasionalisme, seringkali banyak yang menilai tradisi ini sudah seharusnya ditinggalkan, namun kenyataannya tradisi ini masih banyak sekali dilakukan. Masyarakat Desa Jatingarang, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo adalah masyarakat yang masih sangat menghormati tradisi termasuk tradisi ziarah makam Banyubiru. Makam Banyubiru mempunyai keistimewaan sendiri dibandingkan dengan makam-makam lain yang ada di desa Jatingarang. Makam Banyubiru adalah makam dari seorang tokoh ulama atau wali yang juga menjadi murid dari Sunan Kalijaga, salah satu dari Wali Sanga. Besarnya jasa dalam menyebarkan agama Islam di Jawa-bahkan nusantara, membuat Wali Sanga seringkali dianggap sebagai sekelompok orang suci yang
commit to user
memiliki kekuatan-kekuatan atau ilmu-ilmu yang lebih dari orang-orang biasa. Pandangan ini kemudian menimbulkan suatu usaha pada sebagian masyarakat dalam hal mengkeramati atau mensucikan benda-benda peninggalan termasuk makam-makam para wali, termasuk makam Banyubiru.
Masyarakat melaksanakan tradisi ziarah makam Banyubiru karena mereka percaya bahwa apabila mereka melakukan ziarah tersebut apa yang mereka inginkan akan terwujud, misalnya : keinginan untuk mendapatkan harta yang berlimpah. Masyarakat yang datang untuk berziarah bukan hanya berasal dari desa Jatingarang saja, melainkan juga berasal dari luar desa, bahkan luar Kabupaten Sukoharjo seperti dari daerah Wonogiri, Klaten, Yogyakarta dan daerah-daerah lain di wilayah sekitar Kabupaten Sukoharjo. Makam Banyubiru biasa dikunjungi oleh para peziarah pada malams Jumat Kliwon. Tata cara ziarah di makam Banyubiru sama dengan makam-makam yang lain, hanya saja makam Banyubiru sering dijadikan tempat untuk menggelar pementasan wayang kulit oleh sebagian masyarakat. Pementasan wayang kulit ini sengaja dilakukan di dalam kompleks pemakaman Banyubiru untuk mendapatkan restu dari makam Banyubiru dalam memperlancar hajatan orang-orang yang mengadakan hajatan tersebut. Misalnya ketika kegiatan bersih desa masyarakat selalu mengadakan pementasan wayang kulit di kompleks pemakaman Banyubiru. Contoh yang lain ketika pemilihan Kepala Desa bahkan pemilihan Gubernur Jawa Tengah yang baru saja dilakukan beberapa waktu yang lalu, juga diadakan pementasan wayang kulit di kompleks pemakaman Banyubiru.
Perkembangan zaman yang semakin maju dalam berbagai bidang telah membawa beberapa pengaruh pada kebudayaan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Sebagian masyarakat tanpa sadar telah terpengaruh oleh berbagai macam perkembangan tersebut, namun ada juga sebagian masyarakat yang menyadari adanya pengaruh dari perkembangan zaman tersebut. Hal ini terjadi pula pada kehidupan masyarakat di sekitar kompleks makam Banyubiru. Sebagian masyarakat Banyubiru juga sudah merasakan dan menerima adanya beberapa pengaruh modernisasi, seperti dengan adanya kecanggihan teknologi dan kemudahan dalam segala bidang. Fenomena ini dapat menunjukkan bahwa
commit to user
sebagian masyarakat Banyubiru sudah mulai berpikiran modern dan mereka bisa menerima hal-hal yang bersifat modern serta dapat diterima akal manusia. Akan tetapi ada juga sebagian masyarakat yang tetap melakukan hal-hal yang bersifat tradisional dan kadang tidak bisa diterima akal sehat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya sebagian masyarakat yang tetap memegang teguh kepercayaan bahwa tradisi ziarah makam Banyubiru dapat mendatangkan berkah bagi mereka yang telah melaksanakan tradisi ziarah makam Banyubiru tersebut. Sebagian masyarakat tetap melaksanakan tradisi ziarah makam Banyubiru walaupun, mereka juga menerima arus modernisasi. Bagi sebagian masyarakat ini adanya modernisasi tidak akan membuat mereka meninggalkan tradisi kepercayaan mereka. Kepercayaan sebagian masyarakat tentang adanya keistimewaan pada makam Banyubiru yang dipercaya dapat mendatangkan berkah dan mengabulkan segala permohonan peziarah masih sangat kuat meskipun telah menumbuhkan berbagai macam perubahan seperti nilai dan tindakan masyarakat.
Kepercayaan tradisi ziarah makam Banyubiru yang masih dianut oleh sebagian masyarakat Banyubiru ini apabila dikaitkan dengan arus modernisasi sudah tidak relevan lagi. Secara logika apabila seseorang ingin mendapatkan harta atau kesejahteraan hidup di dunia maka mereka harus meraihnya dengan usaha yang nyata yaitu bekerja dan berdoa. Akan tetapi hal ini tidak dilakukan oleh sebagian masyarakat yang masih percaya dengan adanya keistimewaan pada makam Banyubiru. Mereka ingin meraih kesejahteraan hidup di dunia hanya dengan melakukan tradisi ziarah makam Banyubiru. Tindakan tersebut tentu saja tidak dapat diterima oleh logika manusia apalagi tindakan tersebut dilakukan pada era yang modern seperti saat sekarang ini. Berdasarkan pada uraian yang telah dijelaskan di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui kemudian meneliti lebih lanjut tentang “Tradisi Ziarah Makam Banyubiru Dalam Era Modernisasi”(Studi kasus di Desa Jatingarang, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo ).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana makna Tradisi Ziarah
commit to user
Makam Banyubiru dalam Era Modernisasi di Desa Jatingarang, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam pelaksanaan Tradisi Ziarah Makam Banyubiru dalam Era Modernisasi.
2. Untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan Tradisi Ziarah Makam Banyubiru dalam Era Modernisasi.
3. Untuk mendeskripsikan perubahan dalam pelaksanaan Tradisi Ziarah Makam Banyubiru dalam Era Modernisasi.
4. Untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat tentang Tradisi Ziarah Makam Banyubiru dalam Era Modernisasi.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah wawasan ilmu tentang keanekaragaman bentuk budaya tradisi yang terdapat dalam masyarakat Jawa.
b. Menambah wawasan tentang makna dan prosesi pelaksanaan tradisi ziarah makam Banyubiru dalam era modernisasi.
c. Sebagai bahan masukan untuk melakukan penelitian sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan bagi masyarakat untuk melestarikan budaya daerah.
b. Memberikan masukan bagi pemerintah daerah untuk memberdayakan tradisi yang hidup didalam masyarakat.
c. Menunjukkan pandangan yang positif kepada masyarakat terhadap kebudayaan daerah.
commit to user
commit to user
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tradisi Ziarah Makam Banyubiru.
a. Pengertian Kebudayaan
Tradisi merupakan bagian dari kebudayaan. Masyarakat hidup bersama- sama menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan sendiri berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”, sedang bahasa latin kebudayaan adalah colere yang berarti “mengolah”, “mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Arti ini berkembang menjadi culture sebagai segala daya usaha manusia untuk mengubah alam. (Koentjaraningrat, 2004:9). Soerjanto Poespowardojo (1989:219) menyatakan bahwa “Kebudayaan adalah keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang disalurkan dari generasi ke generasi untuk kehidupan manusiawi yang lebih baik”. Jadi menurut pendapat di atas kebudayaan diperoleh melalui suatu proses yang berlangsung secara terus menerus dan berkembang untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan diwariskan oleh generasi sebelumnya. Kebudayaan menurut Tylor yang dikutip Sapardi (2000:77) adalah “keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat serta kesanggupan dan kebiasaannya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.” Dengan demikian, kebudayaan berarti segenap pengetahuan tentang pola-pola berpikir yang dimiliki oleh segenap warga masyarakat. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan sistem pengetahuan, kepercayaan, seni, adat istiadat yang dipelajari dan disalurkan dari generasi ke generasi.
Kebudayaan juga merupakan upaya masyarakat secara dialektis untuk terus menerus menjawab setiap tantangan yang dihadapkan kepadanya dengan menciptakan berbagai sarana dan prasarana. Intinya adalah proses terus menerus menyimak kadar dinamika dari sistem nilai dan sistem kepercayaan yang mapan dalam masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan adalah
commit to user
keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang berupa pola-pola pemikiran dan tindakan sehingga masyarakat mampu menciptakan berbagai sarana dan prasarana yang disalurkan dari generasi ke generasi.
Kebudayaan pada umumnya mempunyai paling sedikit tiga wujud Dr. Hans J.Daeng (2000) yaitu (1) Wujud kebudayaan sebagai suatu himpunan gagasan, (2) Wujud kebudayaan sebagai jumlah perilaku yang berpola, (3) Wujud kebudayaan sebagai sekumpulan benda dan artefak.(h.45-46). Dengan melihat pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa wujud kebudayaan yang pertama adalah wujud yang abstrak. Sebagai suatu himpunan gagasan, suatu kebudayaan tidak dapat dilihat atau diamati karena tersimpan dalam kepala orang yang dibawa kemanapun ia pergi. Kebudayaan dalam wujud himpunan gagasan ini disebut culture system atau sistem budaya, juga disebut covert culture . Wujud yang kedua, kebudayaan disebut social system atau sistem sosial, sedang dalam wujud yang ketiga adalah kebudayaan fisik, physical culture . Wujud yang kedua dan ketiga disebut overt culture.
Menurut Adamson Hoebel yang dikutip oleh Gatut Murniatmono dkk (1981:2), mengatakan bahwa “Culture it’s the integrated system of learned behavior potterns characteristic of the member of society ”. Dari pengertian tersebut dapat diterjemahkan bahwa kebudayaan adalah system integrasi dari perilaku, karakter yang dipelajari oleh anggota masyarakat. Pembatasan kebudayaan yang ajukan oleh Adamson Hoebel itu, mempunyai arti adanya kesatuan masyarakat. Perbuatan atau tindakan itu biasanya merupakan hasil dari pemikiran manusia, yang dapat dipelajari oleh anggota kelompok yang lain dan dijadikan sebagai pedoman tingkah laku setiap warganya. Berdasarkan pendapat yang sampaikan oleh Dr.Hans J Daeng dan Adamson Hoebel tentang kebudayaan, dapat dilihat adanya persamaan pendapat bahwa dalam kebudayaan terdapat suatu perilaku atau tingkah laku yang berpola dan diperoleh oleh masyarakat melalui proses belajar serta dijadikan pedoman oleh anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Kebudayaan ditinjau dari isinya, sering ditonjolkan sebagai konsep “kebudayaan universal” dan merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam
commit to user
semua kebudayaan umat manusia di seluruh dunia, baik yang hidup dalam masyarakat pedesaan yang kecil maupun dalam masyarakat kota yang besar dan kompleks. Menurut Koentjaraningrat (2004), unsur- unsur universal kebudayaan tersebut terdiri atas: (1) Religi, (2) Organisasi Sosial, (3) Sistem Pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem Mata Pencaharian Hidup atau Ekonomi, (7) Sistem Teknologi. (h.2). Kebudayaan universal tersebut mencakup seluruh kebudayaan manusia dimanapun di dunia dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.
Menurut Soerjanto Poespowardojo (1989:219-220), batasan- batasan kebudayaan terdiri dari gagasan pokok yang mencakup perkembangan dan kemajuan masyarakat, hasil bersama dan humanisasi. 1). Kebudayaan mencakup segala perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Kebudayaan dalam hal ini tidak hanya meliputi bidang sastra dan seni melainkan juga hasil-hasil di bidang ekonomi, teknik, sosial dan lain sebagainya. Kebudayaan juga mencakup ide serta nilai yang terdapat dalam diri manusia maupun ungkapannya dalam bentuk-bentuk kehidupan seperti tata lembaga, tata peraturan serta benda dan peralatan yang dihasilkan oleh usaha manusia. Jadi kebudayaan adalah pengertian yang luas dan kesemuanya itu berkisar pada manusia sebagai factor yang sentral. Manusia adalah sumber kebudayaan.
2). Kebudayaan adalah hasil bersama Masing-masing individu dibentuk dan berkembang menjadi seorang pribadi dalam kebudayaan masyarakat, oleh karena itu suatu kebudayaan melibatkan banyak generasi sebagai pendukung dan pengembangannya.
3). Kebudayaan pada hakekatnya adalah humanisasi Humanisasi merupakan suatu proses peningkatan hidup yang lebih baik dalam lingkungan masyarakat yang manusiawi, oleh karena itu nilai- nilai manusiawi menjadi dasar dan ukuran bagi langkah-langkah pembangunan dan modernisasi. Dengan kata lain, nilai-nilai etis merupakan sumber orientasi bagi norma-norma masyarakat.
commit to user
Sistem nilai budaya merupakan bagian dari sistem budaya yaitu aspek dari sistem gagasan. Sistem nilai budaya adalah sejumlah pandangan mengenai soal-soal yang paling berharga dan bernilai dalam hidup, oleh sebab itu disebut sistem nilai. Sebagai inti dari suatu sistem kebudayaan, sistem nilai budaya menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat istiadatnya, norma-normanya, aturan etikanya, aturan moralnya, aturan sopan santunnya, pandangan hidup, ideology pribadi.
Secara esensial, kebudayaan bersifat mengatur kehidupan manusia agar mengerti dan mampu memahami tentang bagaimana seharusnya dalam bertindak, berbuat dan menentukan sikap ketika berhubungan dengan orang lain. Setiap orang dalam berbagai bentuk kehidupannya, senantiasa akan menciptakan kebiasaan (habit), minimal untuk kepentingan pribadinya, baik disadari maupun tidak disadari, sehingga wajar apabila kebiasaan yang ada pada orang satu dengan lainnya saling berkaitan. Kebiasaan yang positif atau bersifat baik tentu saja akan diakui serta akan dilakukan oleh sesame warga masyarakat. Kadang-kadang terjadi pengakuan yang lebih mendalam dan dijadikan patokan bagi orang lain yang seterusnya diangkat sebagai prinsip dasar alam relasi sosial, sehingga tingkah laku atau tindakan masing-masing warga dapat dikendalikan dan diatur sedemikian rupa, pada tahap lanjut maka terciptalah apa yang dikenal dengan norma-norma atau kaidah-kaidah.
Menurut Goodenough yang dikutip Oetomo (2000:3), menyatakan “kebudayaan suatu masyarakat terdiri dari apa-apa yang harus diketahui atau dipercayai untuk dapat berfungsi sedemikian rupa sehingga dianggap pantas oleh anggota-anggotanya.Kebudayaan bukanlah fenomena material, tidak terdiri dari benda-benda, perilaku dan emosi. Ia lebih merupakan suatu pengaturan hal-hal itu. Yang ada dalam pikiran orang adalah bentuk-bentuk benda dan hal-hal, model-model untuk mempersepsi, menghubung- hubungkan, dan selebihnya menafsirkan.”
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Oetomo dapat disimpulkan adanya persamaan dari isi kebudayaan yaitu adalah perangkat-
commit to user
perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk mempersepsi, menghubung-hubungkan, mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya.
Menurut Koenjaraningrat yang dikutip Suyatmi dan Supriyadi(1995:29), kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang harus dibiasakan dari hasil budi dan karyanya itu. Dengan demkian, kebudayaan merupakan hasil dari cipta, rasa, karsa manusia yang dijadikan pedoman hidup manusia.
Menurut Ralp Linton yang dikutip Victor Barnouw (1979:5), “Culture is the configuration of learned behavior and result of behavior whose component element are shared and trasmitted by the member of a particular society”. Pengertian di atas dapat diartikan kebudayaan adalah bentuk atau wujud dari tingkah laku dan hasil kelakuan yang unsur-unsur pembentukanya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu. Hal ini menunjukkan adanya beberapa objek yang termasuk di dalam konfigurasi yang berupa hasil dari perilaku dalam pengertian di atas untuk suatu opini atau pendapat yang terbagi dalam objek material kebudayaan dalam melihat perilaku tersebut sebagai kebudayaan. Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat dan Ralp Linton, dapat disimpulkan bahwa ada persamaan pandangan mengenai kebudayaan yaitu mereka memandang bahwa di dalam suatu kebudayaan terdapat perilaku yang sudah menjadi kebiasaan bagi setiap anggota masyarakat, dan kebiasaan- kebiasaan tersebut biasanya diwariskan oleh generasi sebelumnya.
Berdasarkan beberapa pendapat tokoh di atas, peneliti lebih cenderung pada teori Koenjaraningrat terkait dengan kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat, karena memang dalam suatu masyarakat terdapat berbagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan, hasil rasa terlihat dalam bentuk norma-norma keindahan yang menghasilkan berbagai macam kesenian dan hasil karsa berupa norma-norma keagamaan.
commit to user
b. Pengertian Tradisi
Berbicara masalah tradisi, tentu saja tidak terlepas dari konteks kebudayaan. Ada kesepakatan di kalangan antropolog yang pada pokoknya menganggap tradisi, norma, nilai, kebiasaan, dan adat-istiadat merupakan bagian dari kebudayaan. Sebagaimana premis dari Koentjaraningrat yang memandang kebudayaan itu sebagai keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan yang harus didapatkan dengan cara belajar, dan kesemuanya itu tersusun dalam kehidupan masyarakat, (Koentjaraningrat, 1999). Dengan demikian tidak ada manusia yang tidak mempunyai kebudayaan.
Tradisi berasal dari bahasa latin, tradere, yang berarti memindahkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain untuk disimpan.(Giddens, 2003:36). Dalam pengertian yang sederhana tradisi diartikan sebagai sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dalam suatu kelompok masyarakat. Yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan. Tradisional sering diartikan sebagai harta warisan dari generasi ke generasi dalam bentuk cultural, artefact maupun cultural in action. Warisan-warisan ini antara lain susunan pemerintahan local, bahasa local, berbagai nilai dan norma-norma kemasyarakatan, berbagai bentuk kepercayaan, berbagai bentuk ekspresi kebudayaan dan kesenian, semua ini adalah bagian dari apa yang diterimakan oleh sejarah itu. Tradisional berkaitan dengan kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi dengan segala ciri yang melekat dengannya, yang berhubungan dengan segala kekunoannya (ancient).
Tradisional sebagai sebuah sifat mempunyai 4 ciri yaitu (1) Memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang mendukungnya, (2) Merupakan pencerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan, karena dinamik dari masyarakat yang mendukungnya memang demikian, (3) Merupakan bagian dari satu ‘kosmos’ kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi, (4) Bukan merupakan hasil kreativitas individu-individu, tetapi tercipta secara anonym bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat pendukungnya, (Kayam, 1981:60), Sedangkan
commit to user
menurut (Sedyawati, 1981:39) Tradisi merupakan milik suatu kelompok pendukung kebudayaan tertentu. Dengan melihat kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tradisi berkaitan erat dengan kebudayaan masyarakat pendukungnya.
Menurut Suyono (1985:4), tradisi (tradition) sering juga dianggap sebagai adat-istiadat, yaitu suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya dari satu kebudayaan untuk mengatur tindakan kehidupan manusia dalam kehidupan sosial. Tradisi biasa digunakan dalam untuk menggantikan kata yang berkaitan dengan masa lalu seperti kepercayaan, kebudayaan, nilai-nilai, perilaku, dan pengetahuan atau keahlian yang diturunkan secara turun temurun dengan proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi selanjutnya dalam sebuah sosial masyarakat.
Tradisi adalah adat istiadat yang secara turun temurun dipelihara . (Soerjono Soekanto, 1985;520). Menurut Hugo F. Reading (1986:446), tradisi adalah (1) Warisan kekayaan sosial atau keyakinan-keyakinan yang diterima secara buta, (2) Warisan keyakinan sosial atau keyakinan yang mencakup kepatuhan pada apa yang dianggap selalu ada, (3) Suatu lembaga yang eksistensinya dilembagakan. J.P. Chaaplin (2005;516), berpendapat bahwa “ Tradisi adalah praktik atau adat yang diwariskan dari generasi ke generasi”. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat diambil kesimpulan, bahwa tradisi adalah adat istiadat atau keyakinan dan kepatuhan terhadap apa yang dianggap selalu ada yang diwariskan dan dipelihara secara turun temurun serta keberadaannya dilembagakan. Pendapat dari Soerjono Soekanto, Hugo F.Reading dan J.P Chaaplin tersebut mempunyai persamaan yaitu bahwa tradisi selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Menurut Koentjaraningrat yang dikutip Budiono Herusatoto (1983:103-106), tradisi, adat istiadat atau adat kelakuan dapat dibagi dalam empat tingkatan yaitu tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan khusus.
1) Tingkat Nilai Budaya
commit to user
Tingkat nilai budaya adalah berupa ide-ide yang mengkonsepsikan hal- hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, dan biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia, misalnya gotong royong atau sifat suka bekerjasama berdasarkan solidaritas yang besar. Dalam gerak langkah pelaksanaannya atau tindakannya orang jawa memiliki ungkapan- ungkapan simbolis seperti: saiyeg saeko praya yang artinya bergerak bersama untuk mencapai tujuan bersama. Hal tersebut dilaksanakan dalam rangka bersih desa, membuat atau memperbaiki jalan, saluran air, membangun balai desa atau prasarana yang diperlukan untuk kepentingan bersama seluruh warga.
2) Tingkat Norma-norma Tingkatan norma-norma adalah sistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terikat pada peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya, misalnya peranan sebagai atasan atau bawahan dalam suatu jenjang pekerjaan, peranan sebagai orang tua atau anak, guru atau murid. Masing-masing peranan memiliki sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi tingkah laku masing-masing, yang dalam bahasa jawa disebut unggah-ungguh atau kode etik. Dalam tingkat norma-norma, dimana sistem norma yang berlaku berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat, terlihat secara umum dalam sikap dan tindakan antara yang lebih muda atau lebih tua. Demikian pula dalam derajad kepangkatan, jabatan, atau kedudukan serta usia. Yang muda akan datang ke yang lebih tua untuk sowan atau menghadap, tuwi kasugengan atau menengok kesehatannya, atur pisungsut atau menyampaikan sesuatu yang biasanya berupa makanan sebagai tanda kasih dan hormat, sungkem atau menghaturkan sembah, biasanya dilakukan pada hari raya lebaran, nyuwun pangestu atau mohon izin dan doa restu.
3) Tingkat Hukum Tingkatan hukum adalah sistim hukum yang berlaku, misalnya hukum adat perkawinan dan hukum adat kekayaan. Di dalam harta kekayaan keluarga, terdapat dua jenis harta yaitu harta gono dan gini. Harta “gono”:
commit to user
artinya pembawaan dari masing-masing mempelai baik yaitu mempelai laki- laki dan mempelai perempuan. Barang “gono’ adalah milik masing-masing orang yang membawanya di dalam perjodohan itu selaku barang warisan dan barang pemberian orang tua. Barang “gini’ artinya barang yang diperoleh selama suami istri perjodohan dan karenanya dianggap diperoleh berdasarkan atas kerjasama antara dua orang. Suami tidak berkewajiban gotong royong nyambut gawe, kerjasama dengan istrinya untuk kesejahteraan keluarga sebagai ajang hidup pokok bersama.
4) Tingkat Aturan Khusus Tingkat aturan khusus adalah aturan-aturan yang mengatur kegiatan- kegiatan yang jelas terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat dan bersifat konkrit, misalnya aturan sopan santun. Orang Jawa dalam sikap dan tindakannya berupa ungkapan-ungkapan seperti sapa gawe nganggo, sapa nandur ngunduh , siapa membuat akan memakai dan siapa menanam akan memetik hasilnya artinya setiap perbuatan yang baik tentu akan menghasilkan pula buah berupa kebaikan, yang akan diterima kembali pada saat nanti, sebaliknya siapa pernah berbuat yang mencelakakan orang lain, pada suatu saat tentu juga akan menerima akibatnya yang akan dicelakakan oleh orang lain juga.
Pengertian tradisi seperti yang ditulis oleh Muhammad Abed Al Jabiri dalam AL Turats Wal Hadatsah, tradisi adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu kita atau orang lain baik itu terjadi pada masa lalu jauh maupun dekat. (Dikutip pada tanggal 16 Mei 2011 dari : http://www.suaramerdeka.com/harian/05/11/01/nas07.htm ). Selanjutnya dalam kutipan mengenai tradisi adalah sesuatu yang dilakoni terus menerus dan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga sesuatu yang kita lakoni terus menerus di masa sekarang dan dapat di lestarikan di masa depan juga akan disebut dengan sesuatu yang tradisional di masa depan. (Dikutip dari : http://www.geocities.com/su art 1/sejarah.html )
Dari kedua pengertian tradisi di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi merupakan merupakan hasil dari masa lalu yang terpelihara sebagai bagian
commit to user
dari kebudayaan manusia. Tanpa tradisi kita tidak dapat memahami kekinian kita sehingga kenyataannya bahwa kita berada dalam sejarah tertentu dengan kepentingan tertentu tidak bisa di abaikan.
Menurut Koenjaraningrat yang dikutip Gatut Muriatmono (1981:6), yang dimaksud dengan adat-istiadat adalah sebagai berikut: “Adat istiadat adalah suatu kompleks norma-norma yang oleh individu-individu yang menganutnya itu dianggap ada di atas manusia yang hidup bersama dalam kenyataan suatu masyarakat”. Dari batasan yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat tersebut di atas, dapat diperoleh suatu pengertian bahwa adat istiadat adalah suatu pedoman bagi setiap individu yang hidup sebagai warga masyarakat, dimana adat istiadat itu berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung adat istiadat itu berpengaruh dalam pola berfikir setiap manusia dalam anggota masyarakat.
Menurut Prof. M.Harjono yang dikutip I Nyoman Beratha (1982:22), tradisi adalah suatu pengetahuan atau ajaran-ajaran yang diturunkan dari masa ke masa. Ajaran dan pengetahuan mana menurut prinsip universal digambarkan menjadi kenyataan dan kebenaran yang relative. Dengan demikian segala kenyataan dan kebenaran yang lebih rendah itu adalah peruntukan (application) daripada prinsip-prinsip universal. Dapat disimpulkan bahwa “Tradisi adalah pengetahuan tentang Tuhan YME yang diturunkan ke alam-alam kenyataan dan kebenaran yang relative (misteri) sehingga segala kenyataan dan kebenaran yang mutlak dan universal ke alam- alam yang rendah itu adalah peruntukan (application) daripada prinsip-prinsip universal.
Berdasarkan pendapat kedua tokoh di atas, dapat dilihat adanya persamaan dalam suatu tradisi yaitu adanya nilai-nilai, norma-norma atau ajaran-ajaran yang dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat sehingga segala tingkah laku dan perilaku masyarakat harus sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma tersebut.
Menurut Kuntowijoyo yang dikutip haru Puspowati (2004:14), tradisi dibedakan menjadi tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi besar terdapat dalam
commit to user
keratin (istana centris), bersifat statis dan mempunyai target. Tradisi kecil terdapat dalam masyarakat (masyarakat centris), bersifat dinamis dan mempunayai target. Perbedaan kedua tradisi ini karena mempunyai symbol dan norma yang tidak lagi didukung oleh lembaga-lembaga sosial atau oleh model sosial dan budaya itu serta adanya kekuatan-kekuatan budaya yang bertentangan dengan masyarakat. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kedua tradisi ini sama-sama mempunyai tujuan yang ingin dicapai dalam suatu komunitas. Suatu tradisi dapat bertahan dalam suatu masyarakat jika symbol dan normanya didukung oleh lembaga-lembaga sosial dan tidak bertentangan dengan pandangan, kekuatan-kekuatan masyarakat.
Adat istiadat merupakan suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial. (Ariyono Suyono, 1985:4). Tradisi sebagai suatu kebiasaan dari kehidupan suatu penduduk asli yang dihasilkan oleh manusia dan sesuai dengan keadaan masyarakat pendukungnya berupa nilai-nilai budaya, norma-norma dan menjadi suatu sistem atau peraturan yang ditaati oleh masyarakat tersebut. Menurut Rendra,(2002), tradisi adalah kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia yang secara otomatis akan dipengaruhi aksi dan reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Tradisi merupakan sesuatu hal yang telah menjadi kebiasaan seseorang. Tradisi telah melewati proses yang cukup lama yaitu nenek moyang sampai sekarang, sehingga tradisi dapat mengalami beberapa perubahan dalam melalui proses tersebut.
Tradisi mempunyai berbagai macam bentuk antara lain berupa slametan, wilujengan atau tirakatan dan masih banyak dilakukan masyarakat terutama masyarakat Jawa baik yang berhubungan dengan siklus hidup
commit to user
manusia maupun yang berhubungan dengan hal-hal keramat lainnya. Siklus slametan ada yang berhubungan dengan titik-titik tahap kehidupan seorang individu, dan ada siklus yang tidak begitu meriah dalam pelaksanaannya yang berhubungan dengan kalender tahunan umat Islam. Setelah memungut pola waktu Islam dalam menghitung bulan menurut rembulan dan hari-hari suci yang berkaitan ini (yang makna ortodoksnya menjadi perhatian kaum santri saja), orang Jawa merasa berkewajiban merayakan periode-periode waktu keduanya menurut satu-satunya cara yang mereka ketahui yaitu dengan mengadakan slametan.
Slametan atau wilujengan adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya dan penganut Agama Jawi khususnya. Slametan tidak hanya diadakan dengan maksud untuk memelihara hubungan baik dengan arwah nenek moyang. Upacara slametan juga mempunyai aspek-aspek keagamaan, karena selama suatu upacara seperti itu segala perasaan agresif terhadap orang lain akan hilang dan orang akan merasa tenang.
Menurut Koenjaraningrat (1994;347-348), upacara slametan dapat dibedakan menjadi upacara yang bersifat keramat, tidak bersifat keagamaan, benar-benar bersifat keramat, bersifat keramat dengan melibatkan semua warga, bersifat keramat yang diadakan pada hari-hari besar dan upacara yang bersifat keramat yang berkenaan dengan peristiwa-peristiwa tertentu.
1) Upacara slametan yang bersifat keramat Upacara slametan yang bersifat keramat adalah upacara slametan dimana orang atau orang-orang yang mengadakannya merasakan getaran emosi keramat, terutama pada waktu menentukan diadakannya slametan tersebut, tetapi juga pada waktu upacara sedang berlangsung. Keputusan untuk mengadakan suatu upacara slametan kadang-kadang diambil berdasarkan suatu keyakinan keagamaan yang murni dan adanya suatu perasaan khawatir akan hal-hal yang tidak diinginkan atau akan adanya malapetaka, tetapi kadang-kadang juga hanya merupakan suatu kebiasaan rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adat keagamaan. Getaran emosi
commit to user
keagamaan yang keramat juga timbul dalam diri para anggota keluarga yang mengadakan upacara slametan karena suasana khidmat yang tercipta pada waktu itu, yang juga dapat merasuki jiwa orang lain yang hadir pada upacara itu.
2) Upacara slametan yang tidak bersifat keagamaan Upacara slametan yang tidak bersifat keagamaan yaitu upacara yang tidak menimbulkan getaran emosi keagamaan pada orang-orang yang mengadakan slametan itu maupun pada orang-orang yang hadir, walaupun pada slametan itu telah diminta hadir seorang pegawai keagamaan untuk membacakan doa. Maksud dari slametan seperti ini hanyalah untuk memelihara rasa solidaritas sosial dan untuk menciptakan suasana damai, bebas dari rasa permusuhan dan prasangka terhadap orang lain atau dapat juga merupakan suatu perayaan saja atas suatu peristiwa yang penuh kebahagiaan.
3) Upacara slametan yang benar-benar bersifat keramat dan menggetarkan emosi keagamaan seseorang
Upacara ini antara lain dapat terlihat dalam rangkaian upacara kematian pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus dan keseribu.
4) Upacara slametan yang bersifat keramat yang melibatkan semua warga desa
Upacara ini antara lain yaitu upacara bersih dhusun yang mempunyai unsur-unsur yang lebih banyak dan juga menyangkut biaya yang lebih besar daripada suatu upacara slametan biasa.
5) Upacara-upacara keramat yang diadakan pada hari hari besar Islam
Upacara yang diadakan pada hari besar antara lain yaitu Bakda Besar, suran, Mbubur Suran, Saparan, Dina Wekasan muludan, Jumadiawalan, Jumadiakhiran, Rejeban (Mikradan), Ngruwah (Megengan), Maleman, Riyayan, Sawalan (Kupatan), Sela dan sedhekah Haji.
6) Upacara-upacara slametan yang khusus bersifat keramat dan yang berkenaan dengan peristiwa-peristiwa tertentu atau keperluan-keperluan tertentu dari individu.
commit to user
Upacara ini antara lain seperti upacara ngruwat yang diadakan setelah seseorang sembuh dari suatu penyakit yang gawat atau upacara slametan yang diadakan untuk memenuhi suatu janji pada diri sendiri dan upacara slametan yang diadakan karena mendapat mimpi buruk.
Upacara slametan dapat digolongkan ke dalam empat macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari yaitu:
1) Slametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali, upacara menusuk telinga, sunat, kematian, serta saat-sat setelah kematian.
2) Slametan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah panen padi.
3) Slametan yang berhubungan dengan hari-hari dan bulan-bulan besar islam.
4) Slametan pada saat-saat yang tidak tertentu, berkenaan dengan kejadian- kejadian seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji apabila telah berhasil sembuh dari suatu sakit dan lain-lain.
Menurut Kodiran dalam Koentjaraningrat (1999: 347-348), slametan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagikan. Slametan ini tidak terpisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi nerima yaitu menyerahkan diri kepada takdir dan erat hubungannya dengan kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk- makhluk halus. Hampir semua slametan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan apapun. Upacara slametan dalam lingkaran hidup seseorang khususnya berhubungan dengan kematian serta saat sesudahnya adalah suatu adat kebiasaan yang sangat diperhatikan dan sering dilakukan oleh hampir seluruh lapisan golongan masyarakat/orang jawa.
commit to user
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa slametan selalu dilakukan oleh masyarakat Jawa baik slametan yang bersifat religius maupun non religius. Slametan yang sering dilakukan antara lain upacara terkait dengan kelahiran, kematian, perkawinan, dan upacara yang berhubungan dengan hal-hal keramat baik pada hari-hari besar agama maupun berhubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu. Slametan merupakan ritus inti untuk melanjutkan, memelihara atau meningkatkan tatanan sebuah acara makan komunal religius yang diikuti oleh para tetangga dan kerabat untuk mencapai keadaan slamet. (Mulder, 2001:97-98). Dengan demikian, maka slametan memperlihatkan keinginan untuk mencari keselamatan dalam memelihara tatanan dan mencegah datangnya bala. Slametan berfungsi menunjukkan komunitas harmonis, rukun yang menjadi prasyarat efektif dalam mendatangkan berkah para dewa, arwah dan leluhur.
Dalam masyarakat tradisional, individu tidak dapat dipisahkan oleh lingkungan dan kepercayaannya atau adat istiadatnya yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat. Mereka berhubungan dengan alam dan lingkungannya secara langsung dan dan terikat dengan alam semesta beserta kekuatannya. Kekuasaan manusia terhadap alam sangat lemah dan mereka hormat dengan kekuasaan alam yang tercermin dalam suatu kegiatan slametan termasuk slametan ziarah kubur yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat tradisional maupun masyarakat modern.
Adapun ciri-ciri masyarakat tradisional adalah: 1). Kehidupan masyarakat tradisional didasarkan atas hubungan kekeluargaan 2). Kegiatan ekonomi berpusat pada pertanian dengan menjadikan pertanian
sebagai mata pencaharian pokok. 3). Dalam kehidupan sosial budaya masih sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi
adat dan kepercayaan serta nilai tradisional masih sangat dominant. 4). Kehidupan masyarakat tradisional cenderung berpola social behavior yaitu sebagai hasil interaksi berbagai aspek kehidupan sejarah, lingkungan hidup, falsafah, agama dan kepercayaan.
5). Masih memegang prinsip kesatuan dan keselarasan.
commit to user
6). Masih memiliki proses formalisering sebagai contoh pembesar merasa besar bila disambut dengan upacara dan menggunakan tanda kebesaran. 7). Memiliki stratifikasi yang banyak diekspresikan dengan gelar, kekayaan, bahasa, tata cara pernikahan, pangkat dan sebagainya. http://www.google.co.id/masyarakat/htm ( ).
Dengan melihat ciri-ciri masyarakat tradisional di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat tradisional adalah masyarakat pedesaan yang masih sangat kuat memegang teguh adat dan kepercayaan, interaksi masyarakat berdasarkan hubungan kekeluargaan, kegotongroyongan, dan masih mementingkan status sosial.
Dalam suatu masyarakat, tradisi dapat diwariskan kepada generasi berikutnya salah satunya dengan melaksanakan tradisi secara berulang-ulang sehingga akan menjadi suatu kebiasaan. Tradisi yang sudah ada juga dapat dipadukan dengan berbagai nilai-nilai baru yang muncul, tetapi masyarakat harus bisa selektif dalam memilah nilai-nilai yang sesuai dengan masyarakat dan yang tidak sesuai dengan masyarakat.
Masyarakat Desa Jatingarang Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo masih mempunyai tradisi atau kepercayaan yang kuat. Nilai-nilai adat ini dapat dilihat dalam berbagai kegiatan seperti dalam upacara perkawinan, upacara kematian yang meliputi mendak telung dina, pitung dina, patang puluh dina, satus dina dan nyewu, upacara kelahiran seperti sepasaran dan selapanan, upacara nyadran dan sedhekah bumi.Hubungan kekeluargaan dan kegotongroyongan masih sangat kuat. Apabila ada masalah warga masyarakat berusaha mencari solusi dari masalah tersebut dengan jalan musyawarah. Hubungan sosial antar anggota masyarakat masih tinggi dapat dilihat dengan adanya sikap saling menghormati, gotong royong, dan rasa saling menghargai antar anggota masyarakat.
a. Ziarah Makam
Ziarah merupakan tradisi yang sudah dilakukan oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Ziarah pada dasarnya sudah ada sebelum munculnya agama
commit to user
Islam, yaitu pada masa agama Yahudi dan agama Kristen yang sudah lama berpijak di daerah-daerah Arab, seperti: Palestina, Syria dan Mesir. Ziarah berasal dari bahasa Arab yaitu Ziyarah, yang mempunyai arti mengunjungi. Dalam ajaran Islam berziarah adalah berkunjung atau menuju ke suatu tempat. Dari pengertian dan definisinya ziarah kubur adalah suatu kegiatan atau aktivitas mengunjungi makam dari orang yang telah meninggal dunia baik yang dulu semasa hidupnya kita kenal maupun yang tidak kenal. Berziarah makam ke tempat orang yang dulunya pernah kita kenal seperti: makam orang tua, makam saudara, makam teman, makam guru, dan lain sebagainya, sedangkan ziarah ke makam orang yang dulu tidak kita kenal misalnya: ziarah ke taman makam pahlawan, makam ulama Islam, dan lain-lain.
Pengertian ziarah di Kota Makkah adalah berkunjung ke tempat- tempat suci atau tempat bersejarah di sekitar Kota madinah dan sejumlah lokasi lainnya. Ziarah pada umumnya dilakukan masyarakat untuk mendoakan seseorang yang telah meninggal supaya arwah orang tersebut dapat tenang disisi Tuhan, meskipun ada juga sebagian masyarakat yang pergi berziarah untuk tujuan lain bukan untuk mendoakan, melainkan berziarah dengan tujuan utama untuk meminta-minta permohonan kepada makam tersebut, karena mereka menganggap makam adalah tempat yang keramat dan magis. Berdasarkan pengertian ziarah dari beberapa sumber di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ziarah adalah suatu kegiatan berkunjung ke suatu tempat yang dianggap mulia atau keramat untuk mendoakan dan mengambil pelajaran dari kematian.
1) Tata Cara Ziarah Manusia dalam melakukan suatu kegiatan pasti mempunyai tata cara urutan kegiatan dan aturan-aturan yang ditaati. Menurut ssss M. Syamsi Hasan (2001:247), dalam melaksanakan ziarah terdapat tata cara atau petunjuk dalam berziarah yaitu: a). Berwudhu telebih dahulu sebelum berangkat ke makam. b). Memberi salam setelah sampai di pntu makam.
commit to user
c). Setelah sampai di makam hendaknya menunduk dan menghadap ke
timur. d). Membaca ayat-ayat Alquran. e). Membaca tahlil. f). Membaca doa untuk ketenangan orang yang sudah dimakamkan. g). Melakukan ziarah dengan penuh khusyuk dan khidmad.
h. Tidak boleh menduduki makam. i). Selesai berziarah, hendaknya memperbanyak amal kebaikan.
2) Adab dalam berziarah kubur yang baik dan benar menurut Islam adalah:
a) Berperilaku sopan dan ramah ketika mendatangi areal pemakaman.
b) Niat dengan tulus dan ikhlas karena ingin mendapatkan Rhido dari Allah SWT, bukan untuk meminta sesuatu pada orang yang sudah meninggal.
c) Tidak duduk, menginjak-injak, tidur-tiduran di atas makam orang yang
sudah meninggal.
d) Tidak melakukan tindakan-tindakan tidak senonoh seperti buang air besar, kencing, meludah, melakukan hubungan suami istri, buang sampah sembarangan, dan lain-lain.
e) Mengucapkan salam kepada penghuni alam kubur.
f) Mendoakan arwah orang yang telah meninggal agar bahagia dan tenang
di alam kubur sana dengan ikhlas.
3) Kesalahan yang sering dilakukan peziarah Di bawah ini adalah beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh peziarah pada umumnya yaitu:
a) Duduk di atas makam.
b) Menyembah makam.
c) Meminta sesuatu kepada makam.
d) Berpesta di samping makam.
e) Menangis, merengek-rengek menyesali nasib.
f) Menyediakan sesaji untuk ketenangan arwah orang yang meninggal.
4) Manfaat Ziarah
commit to user
Tujuan utama orang melakukan ziarah adalah untuk mendoakan arwah orang yang sudah meninggal agar tenang disisi Tuhan. Selain berziarah untuk mendoakan orang yang sudah meninggal, dengan melakukan ziarah juga dapat bermanfaat bagi peziarah sendiri yaitu:
a) Berziarah dapat mengingatkan tentang alam akhirat dan kematian.
b) Berziarah dapat membuka hati dan pikiran peziarah bahwa hidup di dunia itu hanya sementara, hidup yang kekal adalah di akhirat.
c) Berziarah dapat dijadikan suri tauladan agar peziarah dapat meningkatkan amal kebajikannya.
Dalam http/www.library.ohiou.edu/indopbs/1997/04/23/0056.html, ziarah adalah amalan yang bertujuan menyaksikan secara nyata tempat-tempat bersejarah dalam pertumbuhan dan perkembangan agama Islam, sehingga akan mempertebal iman.
Dengan melihat beberapa tujuan ziarah di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan ziarah adalah untuk mengingatkan kita tentang kematian dan alam akhirat, mengingatkan bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, hidup yang kekal adalah di akhirat nanti dan juga untuk lebih meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan.
Menurut para teolog Islam ziarah di bagi menjadi dua yaitu: