PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KESEPI

PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KESEPIAN PADA LANSIA SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

SARI HAYATI 051301068

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2009/2010

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Kesepian Pada Lansia adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademis yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Desember 2009

Sari Hayati

Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Kesepian Pada Lansia

Sari Hayati dan Liza Marini

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk melihat pengaruh dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia. Dukungan sosial adalah suatu dorongan atau bantuan seperti kenyamanan dan perhatian, yang diberikan oleh orang- orang disekitar individu yang sedang mengalami kesulitan, agar individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan bernilai. Kesepian adalah suatu perasaan tidak menyenangkan disebabkan adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dengan kenyataan kehidupan interpersonalnya akibat terhambat atau berkurangnya hubungan sosial yang dimiliki seseorang.

Jumlah sampel penelitian ini adalah 60 orang lansia, yang terdiri dari 36 orang (60%) lansia pria dan 24 orang (40%) lansia wanita. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Simple Random Sampling. Data dikumpulkan melalui dua buah skala yaitu skala dukungan sosial yang disusun peneliti berdasarkan dimensi dari Orford (1992) dan skala kesepian yang disusun peneliti berdasarkan dimensi dari Wrightsman (1993). Skala dukungan sosial memiliki nilai reliabilitas koefisien alpha (α)=0.874 dan skala kesepian memiliki nilai reliabilitas koefisien alpha (α)=0.906.

Data yang diperoleh pada penelitian ini diolah dengan menggunakan analisa regresi. Hasil penelitian ini ada pengaruh signifikan dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia. Dukungan sosial memberikan sumbangan efektif sebesar 13.7%.

Kata kunci: Dukungan Sosial, Kesepian, Lansia.

The Impact of the Social Support Toward Loneliness in Old Adult

Sari Hayati and Liza Marini Faculty of Psychology University of North Sumatera ABSTRACT

The aim of this research is to know the influence of social support toward loneliness in older adult. Loneliness is an unpleasant feeling caused by an unmatched relation between social relationship wanted by someone and reality in interpersonal life that are caused by the decreased of social relationship that someone has.

The total of sample is 60, which consist of 36 (60%) men and 24 (40%) women. The sampling technique used is sample random sampling. The data was collected through two scales that consist of social support based on Orford dimension (1992), and loneliness based on Wrightsman dimension (1993). Social support scale has reliability (α)=0.874 and loneliness scale has reliability (α)=0.906.

Data obtained in this research is processed with regression linearity. The result of this research indicate that there is a significant influence of social support toward loneliness in old adult. Social support contribute effectively for 13.7%.

Keyword : Social Support, Loneliness, Old Adult

KATA PENGANTAR

Syukur yang tak pernah henti, peneliti ucapkan kepada Allah SWT atas semua karunia dan keindahan yang telah diberikan-Nya, umur yang panjang, kesehatan, waktu dan kesempatan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul : Pengaruh dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. S (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi.

3. Kak Liza Marini, M.Psi yang telah banyak membantu dan membimbing, juga dalam memberi saran-saran serta kesabaran kepada saya dalam merampungkan penelitian ini hingga selesai. Maaf kak kalau selama ini banyak merepotkan kakak.

4. Ibu Rika Eliana, Msi selaku dosen pembimbing akademik yang bersedia meluangkan waktunya selama masa perkuliahan untuk membimbing saya.

5. Bapak Ferry Novliadi M.Si selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya buat membimbing saya.

6. Ibu Ika Sari Dewi, S.psi, psi selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya buat membimbing saya.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi USU atas segala ilmu dan bantuannya selama perkuliahan dan seluruh staf pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah membantu penulis baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.

8. Mama dan ayah tercinta yang telah memberikan do’a dan kasih sayangnya yang tak pernah henti demi keberhasilan anaknya. InsyaAllah ananda akan terus berjuang membuat Mama dan ayah bangga.

9. Keluarga besar Binjai dan Banda Aceh, juga Anggi dan bang Fajar yang telah memberikan dukungan, doa, bantuan dan semangat dalam mengerjakan skripsi ini.

10. Teman-teman seperjuangan skripsi, Dewi, Eca, Ayu, Yefri, Acid dll. Masa- masa stres skripsi tidak akan lebih indah tanpa kebersamaan kita.

11. My Best Friends Ever ; Tiwi dan Elvina yang selalu penuh tawa dan tidak pernah berhenti menyusahkan. Kita akan terus bersama sampai akhir.

12. Buat teman-teman kampus, Noni, Diah, Ema, Qorin khususnya angkatan 05, kalian semua terlalu berharga dalam hidup walau lebay-nya buat ga tahan.

13. Buat teman-teman yang jauh, Leni, Jimah, Susan, Putri, Dina, Uud, Bg Ari, semangat dan perhatian kalian walaupun dari jauh sangat berarti.

14. Pak Is, Pak Aswan, Bg Hendra, Bg sono, Kak Dian, Kak Ari, Kak Devi. Makasih ya pak, bang, dan kakak atas bantuan yang memudahkan selesainya skripsi ini.

15. Bg Fajar tersayang, terimakasih untuk cinta, kasih, semangat, dan penantiannya selama ini.

16. Dan banyak lagi pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini tapi tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis ucapkan terima kasih banyak. Seluruh skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan penulis

menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karenanya penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini agar menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kepada Allah jua penulis berserah diri. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Medan, 2009

Sari Hayati

Tabel 16. Skor empirik dan skor hipotetik variabel dukungan sosial ............. 66 Tabel 17. Kategorisasi data dukungan sosial ................................................. 66 Tabel 18. Gambaran kesepian lansia berdasarkan jenis kelamin .................... 67

Tabel 19. Uji t kesepian lansia berdasarkan jenis kelamin ............................. 67 Tabel 20. Parameter-peremeter persamaan garis regresi ................................ 68

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1: Gambaran linearitas dukungan sosial dengan kesepian........................... 60

1. Data Mentah Hasil Penelitian Skala Dukungan Sosial.................................. 128

2. Data Mentah Hasil Penelitian Skala Kesepian.............................................. 131

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lansia. Semua individu mengikuti pola perkembangan dengan pasti dan dapat diramalkan. Setiap masa yang dilalui merupakan tahap-tahap yang saling berkaitan dan tidak dapat diulang kembali. Hal-hal yang terjadi di masa awal perkembangan individu akan memberikan pengaruh terhadap tahap-tahap selanjutnya. Salah satu tahap yang akan dilalui oleh individu tersebut adalah masa lanjut usia atau lansia (Hurlock, 1999).

Masa lansia adalah masa perkembangan terakhir dalam hidup manusia. Dikatakan sebagai perkembangan terakhir, karena ada sebagian anggapan bahwa perkembangan manusia berakhir setelah manusia menjadi dewasa (Prawitasari, 1994). Pada saat manusia berkembang, terjadi beberapa perubahan yang ditandai dengan kondisi-kondisi khas yang menyertainya. Munandar, (2001) menyebutkan Masa lansia adalah masa perkembangan terakhir dalam hidup manusia. Dikatakan sebagai perkembangan terakhir, karena ada sebagian anggapan bahwa perkembangan manusia berakhir setelah manusia menjadi dewasa (Prawitasari, 1994). Pada saat manusia berkembang, terjadi beberapa perubahan yang ditandai dengan kondisi-kondisi khas yang menyertainya. Munandar, (2001) menyebutkan

Lansia yang mengalami perubahan-perubahan dalam kehidupannya cenderung menimbulkan anggapan bahwa lansia sudah tidak produktif lagi, sehingga perannya dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan semakin berkurang dan secara emosional menjadi kurang terlibat. Bahkan masih ada anggota masyarakat yang beranggapan bahwa lansia adalah orang yang tidak berguna bahkan kadang dirasakan sebagai suatu beban (Martini, Adiyanti, & Indiati, 1993).

Hal ini juga terjadi pada lansia dilingkungan keluarga sebagai komponen masyarakat terkecil. Pada umumnya lansia menikmati hari tuanya di lingkungan keluarga. Hal ini sesuai dengan nilai budaya yang ada, dimana orang tua yang telah berusia lanjut harus dihormati, dihargai dan dibahagiakan. Bahkan dalam tuntutan Hal ini juga terjadi pada lansia dilingkungan keluarga sebagai komponen masyarakat terkecil. Pada umumnya lansia menikmati hari tuanya di lingkungan keluarga. Hal ini sesuai dengan nilai budaya yang ada, dimana orang tua yang telah berusia lanjut harus dihormati, dihargai dan dibahagiakan. Bahkan dalam tuntutan

Keterpisahan tersebut dapat menimbulkan masalah psikologis tersendiri pada orang tua. Leangle dan Probst (2002), menjelaskan bahwa masalah psikologis akibat keterpisahan orang tua dengan anggota keluarga yang dicintai, misalnya anak, merupakan masalah yang relatif sering terjadi,dan kompleksitas masalahnya akan semakin rumit jika orang tua tersebut adalah lansia. Hal ini didukung dengan penelitian Rawlins dan Spencer (2002), yang menemukan bahwa anak perempuan selain pasangan merupakan faktor penting bagi kesejahteraan kalangan lansia. Apabila anak perempuan tersebut meninggalkan orang tua dan hidup terpisah dari keluarga, orang tua kemungkinan besar harus kehilangan orang yang merawat diri mereka (dalam Gunarsa, 2004). Hurlock (1999), juga menambahkan bahwa wanita lansia lebih dapat menyesuaikan diri dengan keterpisahan ini dibandingkan dengan Keterpisahan tersebut dapat menimbulkan masalah psikologis tersendiri pada orang tua. Leangle dan Probst (2002), menjelaskan bahwa masalah psikologis akibat keterpisahan orang tua dengan anggota keluarga yang dicintai, misalnya anak, merupakan masalah yang relatif sering terjadi,dan kompleksitas masalahnya akan semakin rumit jika orang tua tersebut adalah lansia. Hal ini didukung dengan penelitian Rawlins dan Spencer (2002), yang menemukan bahwa anak perempuan selain pasangan merupakan faktor penting bagi kesejahteraan kalangan lansia. Apabila anak perempuan tersebut meninggalkan orang tua dan hidup terpisah dari keluarga, orang tua kemungkinan besar harus kehilangan orang yang merawat diri mereka (dalam Gunarsa, 2004). Hurlock (1999), juga menambahkan bahwa wanita lansia lebih dapat menyesuaikan diri dengan keterpisahan ini dibandingkan dengan

Masalah keterpisahan tersebut memicu perasaan kesepian pada lansia, dimana kesepian akan semakin meningkat ketika pasangan dari lansia meninggal dunia. Van Baarsen (2002), menyatakan bahwa kesepian pada lansia lebih mengacu pada kesepian dalam konteks “sindrom sarang kosong”, dimana kesepian yang muncul diakibatkan kepergian anak-anak untuk hidup terpisah dengan mereka dan juga akibat dari kepergian pasangan hidup untuk kembali pada Sang Pencipta. Keterpisahan dengan anggota keluarga, atau lebih spesifik dengan anak-anak, terlebih lagi ketika keluarga tidak mampu untuk mengurus, mengharuskan mereka pada akhirnya tinggal dipanti werdha atau dipanti jompo. Seecara bertahap keadaan ini dapat menimbulkan perasaan hampa pada diri lansia dan semakin menambah perasaan kesepian yang mereka alami (dalam Gunarsa, 2004). Hal ini didukung oleh penelitian dari Mishra, Bagga, Nalini, Chadha & Kanwar (dalam Mishra, 2004), yang menemukan bahwa lansia yang tinggal disuatu institusi menderita kesepian dan merasa tidak puas karena terpisah dari keluarga dan komunitas yang lebih luas. Mereka juga menemukan bahwa lansia yang tinggal dalam suatu institusi merasa lebih kesepian daripada yang tidak tinggal dalam suatu institusi yang diakibatkan juga karena kurangnya dukungan sosial yang mereka terima.

Akan tetapi tidak hanya itu, ternyata para lansia yang masih tinggal dengan anak-anak atau dengan keluarganya juga sering mengalami kesepian. Jadi dapat Akan tetapi tidak hanya itu, ternyata para lansia yang masih tinggal dengan anak-anak atau dengan keluarganya juga sering mengalami kesepian. Jadi dapat

Fenomena yang terlihat dilapangan semakin memperjelas bahwa lansia yang tidak tinggal dipanti jompo juga merasakan kesepian. Dari pengamatan dan wawancara awal, dapat terlihat para lansia merasa kesepian karena kurang diperhatikan oleh keluarga. Perasaan kesepian tersebut semakin bertambah ketika fisik mereka menurun, karena lansia tersebut tidak bisa terlalu beraktifitas untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan kesepian yang dialami.

Ini terbukti dari hasil wawancara dengan seorang lansia, Ibu SH berusia 68 tahun yang tinggal dengan anaknya : “Kadang saya merasa ada yang mengganjal ya…Saya tahu anak saya tinggal

sama saya karena belum punya rumah. Tapi ya Cuma karena itu…Dia lebih mengurus suaminya dari pada saya. Ga pernah dengan kata saya lagi, tapi ya namanya anak juga anak kita…Terimalah ” (Komunikasi personal, 3 juni 2009)

Kesepian sendiri adalah suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000). Wrightsman (1993) juga menambahkan bahwa kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada intepretasi individu terhadap suatu kejadian. Kesepian tersebut pada dasarnya mengacu pada ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan seseorang ketika beberapa kriteria penting dari hubungan sosial terhambat atau tidak terpenuhi. Kekurangan tersebut dapat bersifat kuantitatif (tidak memiliki teman seperti yang diinginkan) dan bersifat kualitatif seperti merasa bahwa hubungan sosial yang dibinanya bersifat seadanya atau kurang memuaskan (Peplau & Perlman dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000).

Pada saat mengalami kesepian, individu akan merasa dissatisfied (tidak puas), deprivied (kehilangan), dan distressed (menderita). Hal ini tidak berarti bahwa kesepian tersebut sama di setiap waktu. Individu yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang berbeda pada situasi yang berbeda pula (Lopata dalam Brehm et al, 2002). Banyak penelitian yang menemukan bahwa kesepian dapat menyebabkan seseorang mudah terserang penyakit, depresi, bunuh diri, bahkan sampai pada kematian pada lansia (Ebersole, Hess, & Touhy, 2005). Oleh karena itu, kesepian merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh lansia.

Beyene, Becker, & Mayen (2002) menjelaskan bahwa ketakutan akan kesepian merupakan gejala yang amat dominan terjadi pada lansia. Kondisi ketakutan tersebut memiliki kadar yang berbeda, meskipun begitu secara khas hal tersebut Beyene, Becker, & Mayen (2002) menjelaskan bahwa ketakutan akan kesepian merupakan gejala yang amat dominan terjadi pada lansia. Kondisi ketakutan tersebut memiliki kadar yang berbeda, meskipun begitu secara khas hal tersebut

Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan. Dukungan sosial ini lebih mengarah pada variabel tingkat individual, merupakan sesuatu yang dimiliki tiap orang dan dapat di ukur dengan pertanyaan tertentu. Tingkat dukungan sosial ini tergantung pada kebiasaan seseorang atau kemampuan sosial seseorang. Konstruk ini dapat diukur dengan mengetahui aspek dukungan sosial yang diterima dari orang lain, sehingga akhirnya muncul beberapa asumsi. Asumsi pertama menyatakan bahwa dukungan sosial mengukur aspek eksternal dari komunitas seseorang. Asumsi kedua menganggap dukungan sosial sebagai karakteristik dari jaringan komunitas dan tidak bersifat individual (Orford, 1992). Sarafino (2006), juga menambahkan bahwa dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu.

Untuk memperoleh dukungan sosial tersebut para lansia perlu berinteraksi dengan orang lain seperti membuat kontak sosial. Hal ini sesuai dengan penelitian Haditono dkk (1983), yang menunjukkan bahwa lansia akan lebih merasa senang dan bahagia dengan adanya aktivitas rutin serta mempunyai hubungan sosial dengan kelompok seusianya, karena hal tersebut dapat mengisi waktu luang mereka (dalam Prawitasari, 1994). Tidak hanya itu, hasil penelitian Dykstra (1990), juga menunjukkan adanya tingkat kesepian yang rendah serta tingkat kesejahteraan yang tinggi pada lansia karena memiliki hubungan yang lebih luas dan erat dengan orang lain serta mendapat dukungan sosial dari begitu banyak sumber, seperti dari pasangan, orang-orang yang sudah dianggap keluarga, individu yang lebih muda dan tua, baik pria dan juga wanita. Dukungan sosial mungkin saja datang dari berbagai pihak, tetapi dukungan sosial yang amat bermakna dalam kaitannya dengan masalah kesepian adalah dukungan sosial yang bersumber dari mereka yang memiliki kedekatan emosional, seperti anggota keluarga dan kerabat dekat (Gunarsa, 2004).

Penjelasan tersebut juga sesuai dengan keadaan di lapangan, yaitu dari pengamatan langsung terhadap sejumlah lansia disekitar lingkungan tempat tinggal peneliti. Beberapa lansia lebih merasa bahagia dan tidak terlalu merasa kesepian jika mendapat dukungan sosial dari semua pihak. Lansia tersebut pada dasarnya membutuhkan bantuan secara finansial, nasehat yang membangun, pemberian semangat serta kasih sayang melimpah dari tetangga serta masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal mereka terlebih lagi jika dukungan tersebut kurang mereka Penjelasan tersebut juga sesuai dengan keadaan di lapangan, yaitu dari pengamatan langsung terhadap sejumlah lansia disekitar lingkungan tempat tinggal peneliti. Beberapa lansia lebih merasa bahagia dan tidak terlalu merasa kesepian jika mendapat dukungan sosial dari semua pihak. Lansia tersebut pada dasarnya membutuhkan bantuan secara finansial, nasehat yang membangun, pemberian semangat serta kasih sayang melimpah dari tetangga serta masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal mereka terlebih lagi jika dukungan tersebut kurang mereka

Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa dukungan sosial ternyata mempengaruhi kesepian yang terjadi pada lansia. Bergerak dari teori dan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat seberapa besar pengaruh dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia.

B. RUMUSAN MASALAH

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu “Seberapa besar pengaruh dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat besarnya pengaruh dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dalam penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Perkembangan mengenai sejauhmana pengaruh dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia.

2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberi manfaat pada :

a. Lansia mendapatkan pengetahuan dan lebih dapat memahami tentang seberapa besar pengaruh dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia

b. Masyarakat mendapatkan wawasan kesepian yang terjadi pada lansia, dukungan sosial yang penting bagi lansia, serta pengaruh dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia.

c. Keluarga mendapatkan informasi mengenai seberapa besar pengaruh dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia, sehingga dapat terus mendukung dan membantu lansia tersebut.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan Bab ini berisi tentang uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori Bab ini berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang kesepian, kebutuhan berafiliasi, dan lansia. Dalam Bab ini juga akan dikemukakan hubungan antara kesepian dengan kebutuhan berafiliasi pada lansia serta hipotesa penelitian.

BAB III : Metodologi Penelitian Bab ini berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisis data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan pembahasan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini memuat tentang kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.

BAB II LANDASAN TEORI

A. DUKUNGAN SOSIAL

1. Pengertian Dukungan Sosial

Orford (1992) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan. Dukungan sosial ini lebih mengarah pada variabel tingkat individual, merupakan sesuatu yang dimiliki tiap orang dan dapat di ukur dengan pertanyaan tertentu. Tingkat dukungan sosial ini tergantung pada kebiasaan seseorang atau kemampuan sosial seseorang. Konstruk ini dapat diukur dengan mengetahui aspek dukungan sosial yang diterima dari orang lain, sehingga akhirnya muncul beberapa asumsi. Asumsi pertama menyatakan bahwa dukungan sosial mengukur aspek eksternal dari komunitas seseorang. Asumsi kedua menganggap dukungan sosial sebagai karakteristik dari jaringan komunitas dan tidak bersifat individual.

Sementara dukungan sosial didefinisikan oleh Gottlieb (dalam Kuntjoro,2002) sebagai informasi verbal atau nonverbal, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini, orang yang merasa memperoleh dukungan sosial secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.

Dukungan sosial juga merupakan persepsi seseorang terhadap dukungan yang diberikan orang lain dalam jaringan sosialnya (orang tua, teman dekat, dan sebagainya) yang membantu meningkatkan kemampuan untuk bertahan dari pengaruh-pengaruh yang merugikan (Malecki dan Demaray, 2003). Baron dan Byrne

(2002) mendefinisikan dukungan sosial sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan keluarga individu tersebut.

Sarafino (2006), menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu. Taylor (2003), juga menambahkan dukungan sosial sebagai informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai dan bernilai dan merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan saling dibutuhkan yang didapat dari orang tua, suami, atau orang yang dicintai, sanak keluarga, teman, hubungan sosial dan komunitas.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah suatu dorongan atau bantuan nyata seperti kenyamanan, perhatian, penghargaan, serta hal-hal yang dapat memberikan keuntungan yang diberikan oleh orang-orang disekitar individu (pasangan, teman dekat, tetangga, saudara, anak, keluarga, dan masyarakat sekitar) kepada individu yang sedang mengalami kesulitan, agar individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan bernilai.

2. Dimensi Dukungan Sosial

Orford (1992) mengemukakan lima dimensi dari dukungan sosial, yaitu :

a. Dukungan Instrumental

Dukungan instrumental adalah dukungan berupa bantuan dalam bentuk nyata atau dukungan material. Dukungan ini mengacu pada penyediaan benda- Dukungan instrumental adalah dukungan berupa bantuan dalam bentuk nyata atau dukungan material. Dukungan ini mengacu pada penyediaan benda-

b. Dukungan informasional Dukungan informasional adalah dukungan berupa pemberian informasi yang dibutuhkan oleh individu. Douse (dalam Orford, 1992) membagi dukungan ini ke dalam dua bentuk. Pertama, pemberian informasi atau pengajaran suatu keahlian yang dapat member solusi pada suatu masalah. Kedua adalah appraisal support , yaitu pemberian informasi yang dapat membantu informasi dalam mengevaluasi performance pribadinya. Wills (dalam Orford, 1992) menambahkan dukungan ini dapat berupa pemberian informasi, nasehat dan bimbingan.

c. Dukungan Penghargaan Dukungan penghargaan adalah dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Orford (1992) berpendapat bahwa dukungan jenis ini dapat ditunjukkan dengan cara menghargai, mendorong dan menyetujui terhadap suatu ide, gagasan atau kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Cohent dan Wills (dalam Orford, 1992), juga menyatakan bahwa dukungan ini dapat berupa pemberian informasi kepada seseorang c. Dukungan Penghargaan Dukungan penghargaan adalah dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Orford (1992) berpendapat bahwa dukungan jenis ini dapat ditunjukkan dengan cara menghargai, mendorong dan menyetujui terhadap suatu ide, gagasan atau kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Cohent dan Wills (dalam Orford, 1992), juga menyatakan bahwa dukungan ini dapat berupa pemberian informasi kepada seseorang

d. Dukungan Emosi Dukungan emosi adalah dukungan yang berhubungan dengan hal yang bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi, afeksi atau ekspresi. Tolsdorf dan Wills (dalam Orford, 1992), menjelaskan bahwa tipe dukungan ini lebih mengacu kepada pemberian semangat, kehangatan, cinta, kasih dan emosi. Leavy (dalam Orford, 1992) menyatakan dukungan sosial sebagai perilaku yang memberi perasaan nyaman dan membawa individu percaya bahwa dia dikagumi, dihargai, dicintai dan bahwa orang lain memberi perhatian dan rasa nyaman.

e. Dukungan Integrasi Sosial Dukungan integrasi sosial adalah perasaan individu sebagai bagian dari kelompok. Cohen & Wills (dalam Orford, 1992), menyatakan dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas, juga melakukan rekreasi di waktu senggang. Dukungan ini dapat mengurangi stress dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan kontak dengan orang lain membantu mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang mengganggu serta memfasilitasi suatu suasana hati yang positif. Barren dan Ainlaiy (dalam Orford, 1992), juga menambahkan bahwa dukungan ini dapat meliputi e. Dukungan Integrasi Sosial Dukungan integrasi sosial adalah perasaan individu sebagai bagian dari kelompok. Cohen & Wills (dalam Orford, 1992), menyatakan dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas, juga melakukan rekreasi di waktu senggang. Dukungan ini dapat mengurangi stress dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan kontak dengan orang lain membantu mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang mengganggu serta memfasilitasi suatu suasana hati yang positif. Barren dan Ainlaiy (dalam Orford, 1992), juga menambahkan bahwa dukungan ini dapat meliputi

3. Model Kerja Dukungan Sosial

Dukungan sosial akan mempengaruhi individu tergantung pada ada atau tidaknya tekanan dalam kehidupan individu. Tekanan tersebut dapat berasal dari individu itu sendiri atau dari luar dirinya untuk menghindari gangguan baik secara fisik dan psikologis. Individu membutuhkan orang lain disekitarnya untuk memberi dukungan guna memperoleh kenyamanannya. Menurut Sarafino (2006) ada dua model teori untuk mengetahui bagaimana dukungan ini bekerja dalam diri individu., yaitu :

a. The buffering hypothesis Menurut teori ini, dukungan sosial melindungi individu dengan melawan efek-efek negatif dari tingkat stres yang tinggi, yaitu dengan dua cara berikut :

1) Ketika individu menghadapi stressor yang kuat, seperti krisis keuangan, maka individu dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi menjadi kurang melihat situasi tersebut sebagai situasi yang penuh stres, bila dibandingkan dengan individu dengan tingkat dukungan sosial yang rendah. Individu dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi dapat berharap bahwa seseorang yang dikenal individu akan 1) Ketika individu menghadapi stressor yang kuat, seperti krisis keuangan, maka individu dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi menjadi kurang melihat situasi tersebut sebagai situasi yang penuh stres, bila dibandingkan dengan individu dengan tingkat dukungan sosial yang rendah. Individu dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi dapat berharap bahwa seseorang yang dikenal individu akan

2) Dukungan sosial dapat merubah respon seseorang terhadap stressor yang telah diterima sebelumnya. Contohnya, individu dengan dukungan sosial yang tinggi mungkin memiliki seseorang yang memberikan solusi terhadap masalah individu, atau menjadi melihat masalah tersebut sebagai suatu yang tidak terlalu penting, atau membuat individu dapat melihat titik terang dari masalah tersebut.

b. The direct effect hyputhesis Individu dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi memiliki perasaan yang kuat bahwa individu tersebut dicintai dan dihargai. Individu dengan dukungan sosial tinggi merasa bahwa orang lain peduli dan membutuhkan individu tersebut, sehingga hal ini dapat mengarahkan individu kepada gaya hidup yang sehat.

4. Sumber-sumber Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (2006), dukungan sosial dapat berasal dari berbagai sumber seperti pasangan hidup, keluarga, pacar, teman, rekan kerja, dan organisasi komunitas. Wortman, Loftus & Weaver (1999), sumber dukungan sosial adalah teman, pasangan hidup (suami atau istri), pacar, anak-anak, anggota keagamaan, kelompok dimana individu tersebut berada. Dukungan sosial juga dapat diperoleh Menurut Sarafino (2006), dukungan sosial dapat berasal dari berbagai sumber seperti pasangan hidup, keluarga, pacar, teman, rekan kerja, dan organisasi komunitas. Wortman, Loftus & Weaver (1999), sumber dukungan sosial adalah teman, pasangan hidup (suami atau istri), pacar, anak-anak, anggota keagamaan, kelompok dimana individu tersebut berada. Dukungan sosial juga dapat diperoleh

B. KESEPIAN

1. Pengertian Kesepian

Kesepian diartikan oleh de Jong Gierveld (1987) sebagai suatu situasi dimana jumlah atau kuantitas dari hubungan yang ada lebih kurang daripada hubungan yang diinginkan, ataupun suatu situasi dimana keintiman yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada (dalam Gierveld & Havens, 2004).

Menurut pendapat Robert Weiss (dalam Santrock, 2003), kesepian merupakan reaksi dari ketiadaan jenis-jenis tertentu dari suatu hubungan. Wrightsman (1993) mengemukakan bahwa kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada intepretasi individu terhadap suatu kejadian. Kaasa (1998) mendefinisikan kesepian sebagai perasaan subyektif dan negatif yang berhubungan dengan pengalaman seseorang akibat dari berkurangnya hubungan sosial yang dimilikinya. Sementara Archibald, Bartholomew, dan Marx (dalam Baron & Byrne, 2000) menyatakan bahwa kesepian adalah reaksi emosi dan kognisi karena memiliki hubungan yang sedikit dan tidak memuaskan dari yang diharapkannya.

Peplau dan Perlman menyimpulkan tiga elemen dari definisi kesepian yaitu :

a. Merupakan pengalaman subyektif, yang mana tidak bisa diukur dengan observasi sederhana.

b. Kesepian merupakan perasaan yang tidak menyenangkan.

c. Secara umum merupakan hasil dari kurangnya atau terhambatnya hubungan sosial (dalam Wrightsman, 1993). Bruno (2000) menyebutkan kesepian sebagai suatu keadaan mental dan

emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan berkurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Selanjutnya, kesepian akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, serta menyalahkan diri sendiri ( Anderson, 1994).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kesepian merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan karena memiliki hubungan yang sedikit dan tidak memuaskan serta adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dengan hubungan sosial pada kenyataan akibat terhambat atau berkurangnya hubungan sosial yang dimiliki seseorang.

2. Bentuk-bentuk Kesepian

Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk kesepian yang berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda, yaitu :

a. Isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami kesepian jenis ini.

b. Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; b. Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya;

dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan durasi kesepian yang dialaminya, yaitu :

a. Transcient loneliness, yaitu perasaan kesepian yang singkat dan muncul sesekali, banyak dialami individu ketika kehidupan sosialnya sudah cukup layak. Misalnya ketika mendengar sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh.

b. Transitional loneliness, yaitu ketika individu yang sebelumnya sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi kesepian setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya (misal, meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ketempat baru)

c. Chronic loneliness adalah kondisi ketika individu merasa tidak dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun tidak memperoleh tingkat intimasi dengan orang lain dalam interaksi tersebut (Berg & Peplau, 1982).

3. Penyebab Kesepian

Menurut Brehm et al (2002) terdapat empat hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian, yaitu :

a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang Menurut Brehm et al (2002), hubungan seseorang yang tidak adekuat akan

menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimilikinya. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang dimilikinya tersebut. Rubenstein dan Shaver (1982) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang kesepian, yaitu sebagai berikut :

1) Being unattached : tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangan atau kekasihnya.

2) Alienation : merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat.

3) Being alone : pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, atau bisa dikatakan selalu sendiri.

4) Forced isolation : dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit, tidak bisa kemana-kemana.

5) Dislocation : jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan.

Kelima kategori ini dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya. Being unattached , alienation dan being alone disebabkan oleh karakteristik individu yang Kelima kategori ini dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya. Being unattached , alienation dan being alone disebabkan oleh karakteristik individu yang

b. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang

diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan, orang tersebut tidak mengalami kesepian. Akan tetapi ada saat dimana hubungan tersebut tidak lagi memuaskan, karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm et al, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu :

1) Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang berbeda dengan jenis hubungan ketika sedang sedih. Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orang tuanya ketika sedang senang, dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih.

2) Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu terhadap suatu hubungan.

3) Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika sedang membina karir. Ketika karir 3) Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika sedang membina karir. Ketika karir

c. Self-esteem Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki

self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial. Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak- kontak sosial tertentu secara terus menerus yang akan berakibat pada kesepian.

d. Perilaku interpersonal Perilaku interpersonal akan menentukan keberhasilan individu dalam

membangun hubungan yang diharapkan. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif, tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, mengintepretasi tindakan orang lain secara negatif, dan cenderung berpegang pada sikap-sikap yang bermusuhan. Orang yang mengalami kesepian juga cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum, cenderung tidak responsif, tidak sensitif secara sosial, dan lambat membangun keintiman dalam hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan seseorang tersebut untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Perlman, Saks & Krupart, dalam Brehm et al, 2002).

e. Atribusi penyebab Menurut pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002), perasaan

kesepian muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan hubungan sosial pada individu ditambah dengan atribusi penyebab. Atribusi penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil. Penjelasan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1 Penjelasan Kesepian Berdasarkan Atribusi Penyebab

Penyebab

Kestabilan

Eksternal Stabil

Internal

Saya kesepian karena saya Orang-orang disini tidak dicintai. Saya tidak tidak menarik. Tidak akan pernah dicintai.

satupun dari mereka yang mau berbagi. Saya rasa saya akan pindah.

Tidak Stabil Saya kesepian saat ini, tapi Semester pertama tidak akan lama. Saya akan memang selalu buruk, menghentikannya dengan saya yakin segalanya pergi dan bertemu orang akan menjadi baik di baru.

waktu yang akan datang.

Sumber : Shaver & Rubeinstein (dalam Brehm et al, 2002)

Tabel diatas menunjukkan bahwa individu yang memandang kesepian secara internal dan stabil menganggap dirinya adalah penyebab kesepian sehingga individu lebih sulit untuk keluar dari perasaan kesepian tersebut. Individu yang memandang kesepian secara internal dan tidak stabil menganggap kesepian yang dialaminya hanya bersifat sementara dan berkeinginan menemukan orang lain untuk mengatasi kesepian yang dialaminya. Individu yang memandang kesepian secara eksternal dan Tabel diatas menunjukkan bahwa individu yang memandang kesepian secara internal dan stabil menganggap dirinya adalah penyebab kesepian sehingga individu lebih sulit untuk keluar dari perasaan kesepian tersebut. Individu yang memandang kesepian secara internal dan tidak stabil menganggap kesepian yang dialaminya hanya bersifat sementara dan berkeinginan menemukan orang lain untuk mengatasi kesepian yang dialaminya. Individu yang memandang kesepian secara eksternal dan

4. Perasaan Individu Ketika Kesepian

Pada saat mengalami kesepian, individu akan merasa ketidakpuasan, kehilangan dan distress, namun hal ini tidak berarti bahwa perasaan ini sama disetiap waktu. Faktanya menunjukkan bahwa orang-orang yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang berada dalam situasi yang berbeda pula (Lopata dalam Brehm et al, 2002).

Wrightsman (1993) mendeskripsikan perasaan-perasaan kesepian, yaitu :

a. Desperation (pasrah) Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta perasaan yang sangat menyedihkan sehingga mampu melakukan tindakan yang berani dan tanpa berpikir panjang. Beberapa perasaan yang spesifik dari desperation adalah : (1) Putus asa, yaitu memiliki harapan sedikit dan siap melakukan sesuatu tanpa memperdulikan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain, (2) Tidak berdaya, yaitu membutuhkan bantuan orang lain tanpa kekuatan mengontrol sesuatu atau tidak dapat melakukan sesuatu, (3) Takut, a. Desperation (pasrah) Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta perasaan yang sangat menyedihkan sehingga mampu melakukan tindakan yang berani dan tanpa berpikir panjang. Beberapa perasaan yang spesifik dari desperation adalah : (1) Putus asa, yaitu memiliki harapan sedikit dan siap melakukan sesuatu tanpa memperdulikan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain, (2) Tidak berdaya, yaitu membutuhkan bantuan orang lain tanpa kekuatan mengontrol sesuatu atau tidak dapat melakukan sesuatu, (3) Takut,

b. Impatient Boredom (tidak sabar dan bosan) Impatient boredom adalah rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, dan tidak sabar. Beberapa indikator impatient boredom seperti (1) Tidak sabar, yaitu menunjukkan perasaan kurang sabar, sangat menginginkan sesuatu, (2) Bosan, yaitu merasa jemu, (3) Ingin berada ditempat lain, yaitu seseorang yang merasa dirinya ditempat yang berbeda dari tempat individu tersebut berada saat ini, (4) Kesulitan, yaitu khawatir atau cemas dalam menghadapi suatu keadaan, (5) Sering marah, yaitu filled with anger , serta (6) Tidak dapat berkonsentrasi, yaitu tidak mempunyai keahlian, kekuatan, atau pengetahuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap sesuatu.

c. Self-Deprecation (mengutuk diri sendiri) Self-deprecation yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, mulai menyalahkan serta mengutuk diri sendiri. Indikator self-deprecation diantaranya (1) Tidak atraktif, yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak senang atau tidak tertarik terhadap suatu hal, (2)

Terpuruk, yaitu sedih yang mendalam, lebih rendah dari sebelumnya, (3) Bodoh, yaitu menunjukkan kurangnya inteligensi yang dimiliki, (4) Malu, yaitu menunjukkan perasaan malu atau keadaan yang sangat memalukan terhadap sesuatu yang telah dilakukan, serta (5) Merasa tidak aman, yaitu kurangnya kenyamanan, tidak aman.

d. Depression (depresi) Depression merupakan tahapan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, serta kurang tidur. Indikator depression seperti (1) Sedih, yaitu tidak bahagia atau menyebabkan penderitaan, (2) Depresi, yaitu murung, muram, sedih, (3) Hampa, yaitu tidak mengandung apa-apa atau tidak memiliki nilai atau arti, (4) Terisolasi, yaitu jauh dari orang lain, (5) Menyesali diri, yaitu perasaan kasihan atau simpati pada diri sendiri, (6) Melankolis, yaitu perasaan sedih yang mendalam dan dalam waktu yang lama, (7) Mengasingkan diri, yaitu menjauhkan diri sehingga menyebabkan seseorang tidak bersahabat, serta (8) Berharap memiliki seseorang yang spesial, yaitu individu mengharapkan memiliki seseorang yang dekat dengannya dan lebih intim.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Tidak ada orang yang kebal terhadap kesepian, tetapi beberapa orang memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami kesepian (Taylor, Peplau, & Sears, 2000). Menurut Brehm (2002) beberapa orang rentan terhadap kesepian Tidak ada orang yang kebal terhadap kesepian, tetapi beberapa orang memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami kesepian (Taylor, Peplau, & Sears, 2000). Menurut Brehm (2002) beberapa orang rentan terhadap kesepian

a. Usia Usia tua dan kesepian merupakan gambaran stereotipe yang umum pada lansia. Banyak orang yang menganggap bahwa semakin tua seseorang, maka akan semakin merasa kesepian. Akan tetapi penting untuk tidak mempersepsikan bahwa lansia itu kesepian dan tidak bahagia. Walaupun konsekuensi dari kesepian pada lansia tersebut perlu untuk diperhatikan (Kaasa, 1998).

b. Status Perkawinan Secara umum, orang yang tidak menikah lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan orang menikah (Freedman; Perlman & Peplau; dalam Brehm et al, 2002). Berdasarkan penelitian Perlman dan Peplau; Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002), dapat disimpulkan bahwa kesepian lebih merupakan reaksi terhadap kehilangan hubungan perkawinan (marital relationship ) dan ketidakhadiran dari pasangan suami atau istri pada diri seseorang.

c. Gender Studi mengenai kesepian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesepian antara laki-laki dan perempuan. Walaupun begitu, menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian c. Gender Studi mengenai kesepian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesepian antara laki-laki dan perempuan. Walaupun begitu, menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian

d. Status sosial ekonomi Weiss (dalam Brehm et al, 2002) melaporkan fakta bahwa individu dengan tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami kesepian lebih tinggi dibandingkan individu dengan penghasilan tinggi.

e. Dukungan sosial Ada berbagai pendapat yang mengemukakan bahwa kesepian terkait langsung dengan keterbatasan dukungan sosial. Fessman dan Lester (2000) menjelaskan bahwa dukungan sosial merupakan prediktor bagi munculnya kesepian. Maksudnya disini adalah individu yang memperoleh dukungan sosial terbatas lebih berpeluang mengalami kesepian, sementara individu yang memperoleh dukungan sosial yang lebih baik tidak terlalu merasa kesepian (Gunarsa, 2004).

f. Karakteristik latar belakang yang lain Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor kesepian. Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih kesepian bila dibandingkan dengan individu yang orang tuanya tidak bercerai. Kemudian f. Karakteristik latar belakang yang lain Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor kesepian. Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih kesepian bila dibandingkan dengan individu yang orang tuanya tidak bercerai. Kemudian

C. LANSIA

1. Pengertian Lansia

Masa lansia adalah periode perkembangan yang bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian. Masa ini adalah masa penyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menata kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peran-peran sosial (Santrock, 2006). Usia tua merupakan periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah “ beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock, 1999). Papalia (2004) membagi masa lansia kedalam tiga kategori yaitu :

a. Orang tua muda (young old) : usia 65 tahun sampai 74 tahun

b. Orang tua tua (old-old) : usia 75 tahun sampai 84 tahun

c. Orang tua yang sangat tua (oldest old) : usia 85 tahun keatas Barbara Newman dan Philip Newman membagi masa lansia kedalam 2 periode, yaitu masa dewasa akhir (later adulthood) (usia 60 sampai 75 tahun) dan c. Orang tua yang sangat tua (oldest old) : usia 85 tahun keatas Barbara Newman dan Philip Newman membagi masa lansia kedalam 2 periode, yaitu masa dewasa akhir (later adulthood) (usia 60 sampai 75 tahun) dan