T PEKO 1302895 Chapter 4
BAB VI
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat empat variabel yang diteliti yaitu: sikap personal, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, dan intensi kewirausahaan. Sedangkan instrument yang digunakan untuk penelitian yaitu Entrepreneurial Intentions Questionare (EIQ) yang dikembangkan oleh Linan dan Chen (2009) serta dimodifikasi oleh Rijal Assidiq Mulyana (2013) berdasarkan teori Planned Behavior dari Ajzen. Sebelum disebarkan ke responden yang menjadi sampel penelitian, instrument terlebih dahulu diuji validitas dan relibialitasnya terhadap 34 siswa SMK Negeri 1 Katapang, kemudian data diolah menggunakan alat uji statistic SPSS 21.0. Hasil dari uji instrument menunjukkan bahwa instrument penelitian tersebut valid dan reliabel, oleh karena itu penulis dapat melanjutkan penelitian menuju tahap selanjutnya.
Sebagaimana telah dikemukakan pada BAB III, responden yang menjadi sampel penelitian sebanyak 345 siswa SMK kelas XII dari 21 sekolah yang terdapat di UPTD SMK Wilayah 1 Kabupaten Bandung. Instrumen yang telah disebar kemudian dikumpulkan untuk memperoleh deskripsi tentang komposisi responden serta kategorisasi variabel penelitian. Hasil selengkapnya mengenai deskripsi komposisi responden dan kategorisasi variabel penelitian, diuraikan sebagai berikut,
4.1.1 Deskripsi Responden Penelitian
Pada penelitian ini, responden yang dipilih menjadi sampel penelitian adalah siswa SMK Kelas XII yang telah mendapatkan mata pelajaran Kewirausahaan selama di kelas X dan XI serta akan menghadapi kelulusan. Hal ini karena penulis menduga bahwa dalam diri siswa kelas XII telah terbentuk intensi yang kuat dibanding dengan siswa kelas X dan XI. Berikut hasil deskripsi
(2)
responden berdasarkan jenis kelamin, usia, asal tinggal, pekerjaan orang tua dan anggota keluarga lain yang berwirausaha.
4.1.1.1 Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan karakteristik jenis kelamin sebagai tambahan informasi yang dianggap relevan mengenai komposisi responden dalam penelitian. Adapun komposisi responden berdasarkan jenis kelamin ditampilkan dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Gender Frekuensi Persentase
Laki-Laki 186 54
Perempuan 159 46
Total 345 100
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan adanya perbedaaan komposisi responden yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 54 %, sedangkan responden berjenis kelamin perempuan sebesar 46 %. Namun, perbedaan tersebut tidaklah signifikan yaitu hanya berbeda 8 %. Fakta tersebut menunjukkan bahwa SMK di wilayah yang menjadi obyek penelitian diminati baik oleh siswa laki-laki maupun perempuan.
4.1.1.2 Komposisi Responden Berdasarkan Usia
Dalam penelitian ini, penulis memasukkan komposisi usia sebagai salah satu deskripsi karakteristik responden dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kematangan berpikir dalam menjawab instrument penelitian. Adapun komposisi responden berdasarkan usia ditampilkan dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa usia rata-rata siswa SMK kelas XII yaitu pada kisaran usia 17-18 tahun atau sebesar 68 %, sedangkan pada usia 15-16 tahun sebesar 32 %. Menurut Alam S. (2007), penduduk usia kerja (tenaga kerja) adalah penduduk yang berumur 15 tahun ke atas untuk negara-negara berkembang seperti
(3)
Indonesia. Selain itu, pada usia 15 tahun ke atas juga termasuk dalam kategori angkatan kerja. Seperti diungkapkan oleh Alam S. (2007), angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja (15 tahun ke atas), biak yang bekerja maupun yang tidak bekerja, sehingga kelompok ini disebut kelompok usia produktif. Artinya bahwa seluruh siswa SMK yang menjadi responden penelitian, sudah memasuki usia kerja dan termasuk ke dalam angkatan kerja meskipun belum bekerja.
Tabel 4.2
Komposisi Responden Berdasarkan Usia Usia Frekuensi Persentase
>15 -
15-16 109 32
17-18 236 68
Total 345 100
4.1.1.3 Komposisi Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua
Faktor keluarga seringkali mempengaruhi kecenderungan seseorang ketika akan memilih pekerjaan. Semakin tinggi kecenderungan terhadap suatu pekerjaan maka intensi terhadap pekerjaan tertentu juga semakin kuat. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Olawale Fatoki (2014) yang menunjukkan bahwa mahasiswa yang orang tuanya terlibat dalam bisnis memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang orang tuanya tidak terlibat dalam bisnis. Oleh karena itu, penulis menganggap informasi mengenai pekerjaan orang tua menjadi informasi yang relevan. Adapun komposisi responden berdasarkan pekerjaan orang tua dapat dilihat dalam Tabel 4.3.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa jenis pekerjaan orang tua siswa yang menjadi responden didominasi oleh mereka yang bekerja sebagai wirausaha yaitu sebesar 51%. Kemudian diikuti oleh orang tua yang bekerja sebagai buruh atau sebesar 18,6%, pegawai/karyawan swasta 7,5%, PNS/BUMN sebesar 4,9 %TNI/Polri sebesar 0,6%, Guru sebesar 0,3%, dan sebesar 16,2% dari berbagai jenis pekerjaan lainnya. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka yang
(4)
bersekolah di SMK lebih banyak didominasi oleh mereka yang berlatar belakang pekerjaan orang tua sebagai wirausaha.
Tabel 4.3
Komposisi Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase
Wirausaha 179 51,9
Buruh 64 18,6
PNS/BUMN 17 4,9
TNI/Polri 2 0,6
Pegawai/Karyawan Swasta 26 7,5
Guru 1 0,3
Lainnya 56 16,2
Total 345 100
4.1.1.4 Komposisi Responden Berdasarkan Anggota Keluarga Lain yang Berwirausaha
Selain orang tua, anggota keluarga lain juga dapat berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang dalam memilih pekerjaan. Hal ini terutama jika anggota keluarga tersebut merupakan sosok yang menjadi teladan bagi seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Luiz, et al (2015: 760), bahwa faktor keluarga merupakan salah satu unsur dalam dimensi latar belakang pribadi yang mempengaruhi intensi kewirausahaan seseorang. Adapun komposisi responden berdasarkan ada tidaknya anggota keluarga lain yang berwirausaha dapat dilihat dalam Tabel 4.4.
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebanyak 46,1 % mereka yang duduk di SMK memiliki anggota keluarga yang bekerja sebagai wirausaha, terdiri dari paman/bibi sebesar 27,2 %, kakak kandung sebesar 8,7 %, kakek/nenek sebesar 4,9%, dan lainnya sebesar 5,2%. Sedangkan, mereka yang tidak memiliki anggota keluarga lain yang berwirausaha yaitu sebesar 53,9%. Fakta tersebut menunjukkan bahwa mereka yang duduk di bangku SMK tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara mereka yang memiliki anggota keluarga lain yang berwirausaha maupun yang tidak memiliki anggota keluarga lain yang berwirausaha.
(5)
Tabel 4.4
Komposisi Responden Berdasarkan Anggota Keluarga Lain Yang Berwirausaha
Anggota Keluarga Frekuensi Persentase
Paman/Bibi 94 27.2
Kakak Kandung 30 8.7
Kakak Ipar - -
Kakek/Nenek 17 4.9
Lainnya 18 5.2
Tidak ada 186 53.9
Total 345 100
4.2 Aplikasi Penggunaan Sumber Data Empiris
Dalam persamaan structural, data yang dapat dianalisis adalah data yang berskala interval, sedangkan dalam penelitian ini data yang diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan ke responden berupa data dengan skala ordinal. Oleh karena itu, data dengan skala ordinal harus dirubah ke dalam skala interval. Cara untuk mengubah data ordinal menjadi data interval yaitu dengan menggunakan metode suksesif interval (Method Succesive Interval). Dalam penelitian ini, penulis telah mengkonversi data berskala ordinal yang diperoleh menjadi data berskala interval yang dapat dilihat dalam Lampiran 4.
4.3 Uji Asumsi Statistik
Pengolahan data yang dilakukan model persamaan structural yaitu model analisis faktor konfirmatori dan analisis jalur harus memenuhi asumsi-asumsi statistic. Menurut Kusnendi (2008: 46), asumsi-asumsi yang dimaksud ada 4 (empat), antara lain: 1) ukuran sampel minimal berjumlah 100 responden (dalam penelitian ini, asumsi ini telah terpenuhi yaitu sampel berjumlah 345 responden); 2) Normalitas dan Linearitas, 3) Outliers, 4) Multikolinieritas.
(6)
4.3.1 Uji Evaluasi Asumsi Normalitas Data
Uji asumsi normalitas data dalam format AMOS dapat dilakukan dengan membandingkan nilai kriteria critical ratio skewness sebesar ± 2,58. Apabila data memiliki nilai critical ratio skewness di bawah harga mutlak ± 2,58, maka dapat disimpulkan bahwa data memiliki distribusi normal.
Berdasarkan hasil pengujian asumsi normalitas data diperoleh nilai critical ratio skewness sebesar 17,6. Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat problem atau masalah normalitas pada data (Lampiran 5).
4.3.2 Uji Evaluasi Asumsi Multivariate Outliers
Kasus multivariate outliers dapat menimbulkan bias terhadap analisis selanjutnya apabila tetap dibiarkan maka tingkat kepercayaan penelitian menjadi berkurang. (Kusnendi, 2008:51). Untuk mengetahui apakah terjadi multivariate outliers dalam data yaitu dengan memperhatikan nilai mahalanobis distance yang terdapat dalam hasil keluaran AMOS. selain itu, penulis menggunakan bantuan program Microsoft Excel untuk menghitung nilai mahalanobis distance pada tingkat kesalahan 0,001 dan derajat kebebasan (degree of freedom) sebesar 20 (jumlah variabel yang diobservasi). Nilai yang diperoleh dari perhitungan tersebut yaitu sebesar 45,31475. Apabila koefisien d2 (mahalanobis distance) pada nomor responden lebih besar dari 45,31475, maka nomor tersebut diduga merupakan multivariate outliers.
Berdasarkan hasil keluaran (text output) AMOS, diperoleh 8 (delapan) nomor responden yaitu nomor 24, 83, 89, 91, 93, 187, 251, dan 275 yang merupakan multivariate outliers maka penulis mengeluarkan nomor tersebut dari data sampel. Setelah nomor responden tersebut di drop dari data sampel, maka hasil output seluruhnya menunjukkan nomor responden terbebas dari multivariate outliers. Adapun data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7.
4.3.3 Uji Evaluasi Asumsi Multikolinieritas
Asumsi multikolinieritas menunjukkan kondisi di mana antarvariabel penyebab terdapat hubungan linier yang sempurna (Hair, dkk., 2006: 170 dalam
(7)
Kusnendi, 2008: 51). Untuk menguji apakah terdapat multikolinieritas dapat dilihat dari koefisien determinan matriks kovariansi. Apabila koefisien determinan matriks kovariansi dan atau matriks korelasi sangat kecil mendekati nol mengindikasikan terdapat problem multikolinieritas (Kusnendi, 2008: 52).
Berdasarkan hasil keluaran AMOS menunjukkan nilai koefisien determinan matriks kovariansi pada data sampel penelitian yaitu 0,00 atau dapat dikatakan terdapat masalah multikolinieritas dalam data. Namun, dalam keterangan yang terdapat dalam hasil keluaran AMOS menunjukkan bahwa, “the sample covariance matrix is positive definite”. Artinya, sampel matriks kovariansi menunjukkan hasil yang positif. Dengan demikian, data sampel layak digunakan dalam analisis data selanjutnya.
4.4 Uji Model Pengukuran Intensi Kewirausahaan
Model pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini yaitu CFA (Confirmatory Factor Analysis). Dalam format CFA, isu masalah berkisar pada dua masalah penelitian, sebagai berikut: 1) apakah konstruk atau variabel laten yang diteliti secara unidimensional, tepat dan konsisten dapat dijelaskan oleh indikator-indikator sebagaimana yang dikonsepsikan? 2) Indikator-indikator-indikator apa yang dominan membentuk konstruk yang diteliti? (Kusnendi, 2008: 109).
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Kusnendi (2008: 109) menyatakan bahwa model pengukuran tersebut perlu diuji dengan tiga cara, yaitu 1) uji kesesuaian model (overall model fit test); 2) uji kebermaknaan (test of significance) masing-masing koefisien bobot faktor dan; 3) evaluasi reliabilitas konstruk. Uji model pengukuran intensi kewirausahaan dijelaskan sebagai berikut.
4.4.1 Model Intensi Kewirausahaan
4.4.1.1 Uji Kesesuaian Model (Overall Model Fit Test)
Model pengukuran dikatakan fit dengan data apabila model dapat mengestimasi matriks kovariansi populasi (∑) yang tidak berbeda dengan matriks kovariansi data sampel (Kusnendi, 2008: 109). Berdasarkan hasil pengolahan data
(8)
dengan nilai chi-squares 515,983 dengan probabilitas p = 0,000. Selain itu, kriteria tidak fit lainnya CFI = 0,840, AGFI = 0,823, GFI = 0,861, dan TLI = 0,815 berada di bawah nilai yang dipersyaratkan yaitu 0,9. Namun, nilai GFI lainnya menunjukkan kriteria fit seperti ditunjukkan oleh nilai RMSEA = 0,079 yang berada di bawah nilai 0,08 (model dikatakan fit apabila nilai RMSEA lebih kecil dari 0,08). Oleh karena itu, model pengukuran intensi kewirausahaan dapat dikatakan fit atau model yang diusulkan dapat mengestimasi matriks kovariansi populasi yang tidak berbeda dengan matriks kovariansi data sampel.
Gambar 4.1
Estimasi Parameter Overall Measuremet Model, Intensi Kewirausahaan
4.4.1.2 Uji Kebermaknaan Koefisien Bobot Faktor
Uji kebermaknaan koefisien bobot faktor bertujuan untuk menentukan validitas dan reliabilitas masing-masing indikator dalam mengukur variabel latennya (Kusnendi, 2008: 111). Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan
(9)
format AMOS ditemukan bahwa ada satu estimasi koefisien bobot faktor yaitu X1 = 0,291 yang nilainya di bawah angka yang distandarkan yaitu 0,40. Menurut Hair, dkk., 2006 dalam Kusnendi, 2008: 111), jika dari hasil uji kebermaknaan ditemukan ada koefisien bobot faktor yang tidak signifikan (P-hitung > 0,05) dan atau estimasi koefisien bobot faktor yang distandarkan ada yang kurang dari 0,40 atau 0,50 diindikasikan indikator tersebut tidak valid dalam mengukur variabel latennya. Apabila ditemukan ada indikator yang tidak valid maka indikator tersebut didrop atau dikeluarkan dari model pengukuran.
Namun, setelah indikator dikeluarkan dari model, ternyata tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dari model sebelumnya. Dengan pertimbangan bahwa indikator tersebut apabila didrop tidak menunjukkan hasil yang lebih baik, maka penulis tidak mengeluarkan indikator tersebut dari model. Selain itu, indikator tersebut masuk ke dalam variabel laten konstruk sikap personal sehingga secara kelayakan teori tidak memungkinkan indikator tersebut didrop dari model. Secara lengkap, hasil uji kebermaknaan masing-masing koefisien bobot faktor dapat dilihat dalam Standardized Regression Weights (Lampiran 8) pada hasil keluaran AMOS yang ditampilkan dalam Tabel 4.5.
4.4.1.3 Evaluasi Reliabilitas Konstruk
Langkah selanjutnya setelah model pengukuran diuji yaitu mengevaluasi reliabilitas konstruk atau reliabilitas komposit masing-masing model pengukuran. Menurut Kusnendi (2008: 111), apabila koefisien reliabilitas konstruk dan atau koefisien variance extracted tidak kurang dari 0,70 dan atau 0,50 diindikasikan model pengukuran variabel laten reliabel atau dapat mengukur variabel laten atau konstruk yang diteliti. Berdasarkan estimasi koefisien bobot faktor yang distandarkan pada Tabel 4.5, maka estimasi R2 dan kesalahan pengukuran (error
measurement) masing-masing indikator dapat ditentukan. Estimasi R2 dan atau kesalahan pengukuran digunakan untuk menentukan dominan tidaknya suatu indikator dalam mengukur atau membentuk variabel latennya. Apabila indikator memiliki estimasi koefisien R2 tidak kurang dari 0,70 atau tingkat kesalahan
(10)
tersebut dikatakan dominan sebagai pembentuk variabel latennya. (Kusnendi, 2008: 111-112). Adapun estimasi koefisien R2 masing-masing indikator dapat dilihat pada Tabel 4.6. Sedangkan, reliabilitas konstruk untuk model pengukuran intensi kewirausahaan dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas konstruk, hasil estimasi dari sikap personal (0,825), norma subyektif (0,80), persepsi kontrol perilaku (0,833), dan intensi kewirausahaan (0,856), semuanya lebih besar dari angka mutlak yang ditetapkan yaitu 0,70. Artinya bahwa secara komposit masing-masing indikator dari keempat variabel tidak memiliki konsistensi internal yang memadai dalam mengukur variabel yang diteliti.
Tabel 4.5
Koefisien Bobot Faktor Masing-Masing Indikator Model
Pengukuran
Indikator (�) Probabilitas (P) Sikap Personal Menjadi wirausahawan memberikan
banyak keuntungan daripada kerugian untuk saya (X1)
0,291 ***
Karir sebagai wirausaha sangat
menarik bagi saya (X2) 0,663 ***
Jika saya memiliki kesempatan dan modal, saya akan segera memulai sebuah usaha (X3)
0,541 ***
Menjadi seorang wirausahawan memberikan kepuasaan yang besar bagi saya (X4)
0,557 ***
Dari berbagai pilihan karir, saya lebih memilih menjadi seorang wirausahawan (X5)
(11)
Norma Subyektif
Keluarga terdekat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha (X6)
0,458 ***
Teman terdekat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha (X7)
0,456 ***
Teman sejawat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha (X8)
0,496 ***
Pembelajaran kewirausahaan di sekolah memotivasi saya untuk menjadi wirausaha (X9)
0,514 ***
Persepsi Kontrol Perilaku
Untuk memulai sebuah usaha dan membuatnya berjalan akan mudah bagi saya (X10)
0,550 ***
Saya siap memulai sebuah usaha yang
layak (X11) 0,646 ***
Saya mampu mengontrol proses
pendirian sebuah usaha baru (X12) 0,690 *** Saya mengetahui rincian praktis yang
dibutuhkan untuk memulai usaha baru (X13)
0,640 ***
Jika saya mencoba memulai usaha baru, saya akan memiliki kemungkinan tinggi untuk berhasil (X14)
0,602 ***
Intensi
Kewirausahaan
Saya siap melakukan segalanya untuk
menjadi wirausahawan (Y1) 0,652 *** Tujuan profesi saya adalah menjadi
(12)
Saya akan menghadapi setiap rintangan untuk memulai dan menjalankan usaha saya sendiri (Y3)
0,624 ***
Saya bertekad untuk menciptakan
sebuah usaha di masa depan (Y4) 0,653 *** Saya sangat serius berpikir untuk
memulai sebuah usaha (Y5) 0,741 *** Saya memiliki tekad yang kuat untuk
memulai sebuah usaha (Y6) 0,782 ***
Tabel 4.6
Estimasi Koefisien R2 Masing-Masing Indikator Item Variabel Penelitian
Intensi Kewirausahaan Sikap Personal Norma Subyektif Persepsi Kontrol Perilaku X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 0,425 0,450 0,389 0,426 0,549 0,612 0,085 0,440 0,293 0,310 0,404 0,210 0,208 0,246 0,264 0,303 0,417 0,476 0,410 0,362
(13)
Adapun penjabaran indikator-indikator dari keempat variabel yang diurutkan berdasarkan estimasi validitas dan reliabilitas (R2), sebagai berikut:
1. Sikap Personal
a. Karir sebagai wirausaha sangat menarik bagi saya (X2) dengan taksiran validitas terbesar dalam pembentukan sikap personal model intensi kewirausahaan siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung, yaitu sebesar 0,663. Sedangkan besarnya R2 = 0,440. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 44%, sedangkan sisanya 56% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
Tabel 4.7
Reliabilitas Konstruk Untuk Model Pengukuran Intensi Kewirausahaan Model Pengukuran Reliabilitas Konstruk (CRk)
Sikap Personal 0,825
Norma Subyektif 0,800
Persepsi Kontrol Perilaku 0,833
Intensi Kewirausahaan 0,856
b. Dari berbagai pilihan karir, saya lebih memilih menjadi seorang wirausahawan (X5) dengan taksiran validitas sebesar 0,663. Sedangkan besarnya R2 = 0,404. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 40,4%, sedangkan sisanya 59,6% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
c. Menjadi seorang wirausahawan memberikan kepuasaan yang besar bagi saya (X4) dengan taksiran validitas sebesar 0,557. Sedangkan besarnya R2 = 0,310. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 31%, sedangkan sisanya 69% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
d. Jika saya memiliki kesempatan dan modal, saya akan segera memulai sebuah usaha (X3) dengan taksiran validitas sebesar 0,541. Sedangkan besarnya R2 = 0,293. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap
(14)
personal sebesar 29,3%, sedangkan sisanya 70,7% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
e. Menjadi wirausahawan memberikan banyak keuntungan daripada kerugian untuk saya (X1) dengan taksiran validitas sebesar 0,291. Sedangkan besarnya R2 = 0,085. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 8,5%, sedangkan sisanya 91,5% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
2. Norma Subyektif
a. Pembelajaran kewirausahaan di sekolah memotivasi saya untuk menjadi wirausaha (X9) dengan taksiran validitas terbesar dalam pembentukan norma subyektif model intensi kewirausahaan siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung, yaitu sebesar 0,514. Sedangkan besarnya R2 = 0,264. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 26,4%, sedangkan sisanya 73,6% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
b. Teman sejawat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha (X8) dengan taksiran validitas sebesar 0,496. Sedangkan besarnya R2 =0,246. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 24,6%, sedangkan sisanya 75,4% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
c. Keluarga terdekat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha (X6) dengan taksiran validitas sebesar 0,458. Sedangkan besarnya R2 =0,210. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 21%, sedangkan sisanya 79% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
d. Teman terdekat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha (X7) dengan taksiran validitas sebesar 0,456. Sedangkan besarnya R2 =0,208. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 20,8%, sedangkan sisanya 79,2% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
(15)
a. Saya mampu mengontrol proses pendirian sebuah usaha baru (X12) dengan taksiran validitas terbesar dalam pembentukan persepsi kontrol perilaku model intensi kewirausahaan siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung, yaitu sebesar 0,690. Sedangkan besarnya R2 = 0,476. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 47,6%, sedangkan sisanya 52,4% dijelaskan oleh indikator lain di luar model. b. Saya siap memulai sebuah usaha yang layak (X11) dengan taksiran validitas sebesar 0,646. Sedangkan besarnya R2 =0,417. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 41,7%, sedangkan sisanya 58,3% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
c. Saya mengetahui rincian praktis yang dibutuhkan untuk memulai usaha baru (X13) dengan taksiran validitas sebesar 0,640. Sedangkan besarnya R2 =0,410. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 41%, sedangkan sisanya 59% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
d. Jika saya mencoba memulai usaha baru, saya akan memiliki kemungkinan tinggi untuk berhasil (X14) dengan taksiran validitas sebesar 0,602. Sedangkan besarnya R2 =0,362. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 36,2%, sedangkan sisanya 63,8% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
e. Untuk memulai sebuah usaha dan membuatnya berjalan akan mudah bagi saya (X10) dengan taksiran validitas sebesar 0,550. Sedangkan besarnya R2 =0,303. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 30,3%, sedangkan sisanya 69,7% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
4. Intensi Kewirausahaan
a. Saya memiliki tekad yang kuat untuk memulai sebuah usaha (Y6) dengan taksiran validitas terbesar dalam pembentukan intensi model intensi kewirausahaan siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung, yaitu sebesar 0,514. Sedangkan besarnya R2 =0,612. Artinya bahwa indikator ini
(16)
mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 61,2%, sedangkan sisanya 38,8% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
b. Saya sangat serius berpikir untuk memulai sebuah usaha (Y5) dengan taksiran validitas sebesar 0,456. Sedangkan besarnya R2 =0,549. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 54,9%, sedangkan sisanya 45,1% dijelaskan oleh indikator lain di luar model. c. Tujuan profesi saya adalah menjadi wirausahawan (Y2) dengan taksiran
validitas sebesar 0,456. Sedangkan besarnya R2 =0,450. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 45%, sedangkan sisanya 55% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
d. Saya bertekad untuk menciptakan sebuah usaha di masa depan (Y4) dengan taksiran validitas sebesar 0,456. Sedangkan besarnya R2 =0,426. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 42,6%, sedangkan sisanya 57,4% dijelaskan oleh indikator lain di luar model. e. Saya siap melakukan segalanya untuk menjadi wirausahawan (Y1) dengan taksiran validitas sebesar 0,456. Sedangkan besarnya R2 =0,425. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 42,5%, sedangkan sisanya 79,2% dijelaskan oleh indikator lain di luar model. f. Saya akan menghadapi setiap rintangan untuk memulai dan menjalankan usaha saya sendiri (Y3) dengan taksiran validitas sebesar 0,456. Sedangkan besarnya R2 =0,389. Artinya bahwa indikator ini mampu menjelaskan variabel sikap personal sebesar 38,9%, sedangkan sisanya 57,4% dijelaskan oleh indikator lain di luar model.
Berdasarkan perspektif teoritis, hasil penelitian model intensi kewirausahaan siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung menunjukkan adanya perbedaan dan persamaan dengan model intensi kewirausahaan yang dikembangkan oleh Linan dan Chen (2009) dan dimodifikasi oleh Rijal Assidiq Mulyana (2013). Perbedaan tersebut dapat dilihat dari indikator yang paling dominan membentuk konstruk variabel yang diteliti. Seperti pada konstruk sikap personal, hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator karir sebagai wirausaha sangat menarik bagi saya memiliki validitas dan reliabilitas paling tinggi atau
(17)
menjadi penciri utama konstruk variabel, sedangkan pada penelitian Linan dan Chen menunjukkan bahwa yang menjadi penciri utama dari konstruk sikap personal adalah indikator jika saya memiliki kesempatan dan modal, saya akan segera memulai sebuah usaha. Selanjutnya untuk konstruk norma subyektif menggunakan modifikasi instrument oleh Rijal Assidiq Mulyana (2013), hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator pembelajaran kewirausahaan di sekolah memotivasi saya untuk menjadi wirausaha menjadi penciri utama dari konstruk norma subyektif. Hal ini tentu berbeda dengan penelitian Linan dan Chen yang tidak menggunakan indikator tersebut dalam instrument yang mereka kembangkan. Dalam penelitian Linan dan Chen, penciri utama dari konstruk norma subyektif adalah indikator teman dekat. Sedangkan pada penelitian Rijal Assidiq Mulyana, indikator pembelajaran kewirausahaan di sekolah memotivasi saya untuk menjadi wirausaha menempati urutan kedua setelah indikator keluarga dekat dalam membentuk konstruk norma subyektif.
Untuk konstruk persepsi kontrol perilaku, hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator saya mampu mengontrol proses pendirian sebuah usaha baru memiliki validitas dan reliabilitas paling tinggi atau dominan dalam membentuk konstruk tersebut. Begitu pula dengan penelitian Linan dan Chen yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Kemudian diperkuat pula oleh hasil penelitian Rijal Assidiq Mulyana pada siswa SMKN 12 Garut yang menunjukkan bahwa indikator tersebut dominan sebagai pembentuk konstruk persepsi kontrol perilaku. Sedangkan untuk konstruk intensi kewirausahaan, hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator saya memiliki tekad yang kuat untuk menciptakan sebuah usaha baru menjadi penciri utama dari konstruk intensi kewirausahaan. Sedangkan, hasil penelitian Linan dan Chen, indikator saya bertekad untuk menciptakan sebuah usaha baru di masa depan dominan sebagai pembentuk konstruk intensi kewirausahaan.
Perbedaan hasil penelitian dengan Linan dan Chen (2009), terutama pada sikap personal, norma subyektif dan intensi kewirausahaan menurut penulis karena adanya perbedaan budaya dan kebiasaan diantara subyek penelitian. Pada subjek
(18)
bekerja sebagai wirausaha tetapi norma subyektif mengenai perilaku wirausaha justru terbentuk paling dominan dari pembelajaran kewirausahaan di sekolah sedangkan pada penelitian Linan dan Chen norma subyektif terbentuk dari teman dekat. Kemudian, adanya persamaan hasil penelitian dengan Linan dan Chen mengenai persepsi kontrol perilaku menunjukkan bahwa diantara subjek penelitian sebagian besar memiliki keyakinan kuat akan mampu mengontrol proses pendirian sebuah usaha baru.
4.5 Deskripsi Variabel Penelitian
4.5.1 Deskripsi Sikap Personal Siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung
Sikap personal dalam penelitian ini diukur dari 5 (lima) item pernyataan dengan alternatif jawaban sebanyak 7 alternatif pilihan yang diberi bobot 1 sampai 7. Hasil selengkapnya distribusi dan kategori tanggapan responden mengenai sikap personal dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8
Distribusi dan Kategori Jawaban Responden terhadap Variabel Sikap Personal
Item/Indikator Rata-rata Skor
Kriteria
1 2 3
1. Menjadi wirausahawan memberikan banyak keuntungan daripada kerugian untuk saya
5,28 Tinggi
2. Karir sebagai wirausaha sangat menarik bagi saya
5,65 Tinggi
3. Jika saya memiliki kesempatan dan modal, saya akan segera memulai sebuah usaha
6,38 Sangat Tinggi
4. Menjadi seorang wirausahawan memberikan kepuasaan yang besar bagi saya
(19)
5. Dari berbagai pilihan karir, saya lebih memilih menjadi seorang wirausahawan
5,06 Tinggi
SIKAP PERSONAL 5,54 Tinggi
Sumber: Penelitian, diolah
Berdasarkan Tabel 4.8, menunjukkan sikap personal siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung berada dalam kriteria “tinggi” dengan skor rata-rata 5,54. Informasi tersebut memberikan gambaran bahwa siswa SMK memiliki penilaian yang positif terhadap perilaku wirausaha. Penilaian yang positif tersebut dapat membantu siswa dalam menentukan bagaimana melihat situasi, serta bagaimana bersikap terhadap perilaku wirausaha. Selain itu, juga dapat membentuk kepercayaan diri siswa dalam mewujudkan perilaku wirausaha.
Adapun item/indikator yang memberikan skor tertinggi yaitu jika saya memiliki kesempatan dan modal, saya akan segera memulai sebuah usaha dengan skor 6,38 berada pada kriteria “sangat tinggi”. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya siswa SMK sudah memiliki kesiapan berwirausaha namun seringkali terkendala oleh kesempatan dan modal. Oleh karena itu, untuk mendukung program pemerintah dalam mengatasi pengangguran perlu diberikan kesempatan bagi siswa SMK untuk mengembangkan ide berwirausaha serta memberikan bantuan modal yang sesuai dengan kebutuhan usaha mereka. Selanjutnya, pada item/indikator karir sebagai wirausaha sangat menarik bagi saya dengan skor 5,65 berada pada kriteria “tinggi”. Artinya siswa SMK sebenarnya tertarik dengan karir wirausaha, namun perlu diberikan bimbingan baik dari pemerintah atau sekolah terutama guru dalam mewujudkan ide atau kreativitas usaha mereka. Bimbingan yang dilakukan dapat berupa pemberian materi tentang seluk-beluk dunia kewirausahaan, menunjukkan contoh-contoh wirausahawan sukses yang memulai usaha dari bawah, serta memberikan teladan langsung terutama pada guru kewirausahaan yaitu guru tersebut juga memiliki sebuah usaha sehingga materi yang diberikan dapat bermakna bagi siswa.
(20)
Kemudian item/indikator menjadi seorang wirausahawan memberikan kepuasaan yang besar bagi saya dengan skor 5,33 juga berada pada kriteria “tinggi”. Artinya siswa SMK yang menjadi responden telah memiliki pengalaman tertentu berkaitan perilaku wirausaha baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengalaman tersebut dapat memberikan pengaruh secara langsung terhadap pembentukan kepercayaan diri siswa dalam mewujudkan keinginan berwirausaha. Informasi tersebut dapat memudahkan sekolah atau guru dalam mengarahkan siswa SMK untuk berwirausaha. Namun, hal tersebut perlu mendapat dukungan dari keluarga dekat terutama orang tua siswa sehingga diharapkan orang tua dapat ikut memperhatikan, membina, membimbing dan mengarahkan minat atau keinginan mereka.
Item/indikator selanjutnya yaitu menjadi wirausahawan memberikan banyak keuntungan daripada kerugian untuk saya dan item/indikator dari berbagai pilihan karir, saya lebih memilih menjadi seorang wirausahawan dengan skor 5,28 dan 5,06 juga berada pada kriteria “tinggi”. Kedua skor dan kriteria tersebut menunjukkan kekonsistenan responden dalam memberikan tanggapan terhadap variabel sikap personal. Artinya konsisten dalam penilaian yang positif terhadap keuntungan menjadi wirausahawan serta memilih karir sebagai wirausahawan.
Berdasarkan penjelasaan di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap positif dalam diri siswa SMK berkaitan dengan perilaku wirausaha telah terbentuk dengan baik. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran di sekolah perlu ditanamkan jiwa kewirausahaan pada diri siswa sehingga kelak mereka menjadi wirausahawan yang mandiri dan bertanggung jawab.
4.5.2 Deskripsi Norma Subyektif Siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung
Norma subyektif dalam penelitian ini diukur dari 4 (empat) item pernyataan dengan alternatif jawaban sebanyak 7 alternatif pilihan yang diberi bobot 1 sampai 7. Hasil selengkapnya distribusi dan kategori tanggapan responden mengenai norma subyektif dapat dilihat pada Tabel 4.9.
(21)
Berdasarkan Tabel 4.9, menunjukkan norma subyektif siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung berada dalam kriteria “tinggi” dengan skor rata-rata 5,65. Informasi tersebut memberikan gambaran bahwa tekanan-tekanan social yang dirasakan siswa memberikan norma yang positif terhadap perilaku wirausaha. Siswa SMK meyakini bahwa lingkungan terdekat mereka baik dari keluarga, teman atau lingkungan sekitar akan mendukung mereka secara positif apabila mereka memilih karir berwirausaha.
Tabel 4.9
Distribusi dan Kategori Jawaban Responden terhadap Variabel Norma Subyektif
Item/Indikator Rata-rata Skor
Kriteria
1 2 3
1. Keluarga terdekat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha
5,90 Sangat Tinggi
2. Teman terdekat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha
5,46 Tinggi
3. Teman sejawat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha
5,34 Tinggi
4. Pembelajaran kewirausahaan di sekolah memotivasi saya untuk menjadi wirausaha
5,92 Sangat Tinggi
NORMA SUBYEKTIF 5,65 Tinggi
Sumber: Penelitian, diolah
Adapun item/indikator yang memberikan skor tertinggi yaitu pembelajaran kewirausahaan di sekolah memotivasi saya untuk menjadi wirausaha dengan skor 5,92 berada pada kriteria “sangat tinggi”. Artinya, siswa termotivasi menjadi wirausahawan berasal dari pembelajaran kewirausahaan di sekolah. Selanjutnya, motivasi tersebut juga dirasakan siswa berasal dari keluarga terdekat yang ditunjukkan dengan skor 5,90 berada pada kriteria “sangat tinggi”. Uraian tersebut
(22)
karena didukung penuh oleh guru dalam kegiatan pembelajaran di sekolah serta keluarga terdekat terutama orang tua mereka.
Kemudian item/indikator teman terdekat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha dengan skor 5,46 berada pada kriteria “tinggi”. Diikuti item/indikator teman sejawat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha dengan skor 5,34 juga berada pada kriteria “tinggi”. Infomasi tersebut menunjukkan bahwa baik teman terdekat maupun teman sejawat (teman sepermainan) juga mendukung siswa SMK untuk menjadi wirausahawan. Dengan adanya keyakinan bahwa orang-orang penting tertentu/terdekat akan menyetujui keputusan mereka berwirausaha, akan menguatkan keinginan mereka untuk mewujudkan perilaku wirausaha.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa norma positif telah terbentuk dalam diri siswa SMK berkaitan dengan perilaku wirausaha. Oleh karena itu, informasi tersebut dapat membantu guru dalam mengkreasikan kegiatan pembelajaran kewirausahaan menjadi menarik dan bermakna bagi siswa seperti mengadakan workshop hasil karya siswa SMK, mengadakan pelatihan untuk membuat hasil karya, atau mengadakan kunjungan ke sentra industri rumah tangga.
4.5.3 Deskripsi Persepsi Kontrol Perilaku Siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung
Persepsi Kontrol Perilaku dalam penelitian ini diukur dari 5 (empat) item pernyataan dengan alternatif jawaban sebanyak 7 alternatif pilihan yang diberi bobot 1 sampai 7. Hasil selengkapnya distribusi dan kategori tanggapan responden mengenai persepsi kontrol perilaku dapat dilihat pada Tabel 4.10.
Berdasarkan Tabel 4.10, menunjukkan persepsi kontrol perilaku siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung berada dalam kriteria “tinggi” dengan skor rata-rata 5,33. Informasi tersebut memberikan gambaran bahwa siswa SMK memiliki persepsi bahwa menjadi wirausahawan mudah dilakukan dan mereka merasa mampu mengatasi hambatan sebagai wirausahawan. Selain itu, siswa SMK juga memiliki persepsi positif dalam mengendalikan atau mengontrol perilaku wirausaha.
(23)
Adapun item/indikator yang memberikan skor tertinggi yaitu saya siap memulai sebuah usaha yang layak dengan skor 5,77 berada pada kriteria “tinggi”. Artinya, siswa SMK memiliki kesiapan untuk membuat usaha yang layak menurut mereka. Namun, permasalahan yang sering muncul yaitu mereka belum memahami bagaimana memulai sebuah usaha sehingga diperlukan bimbingan dari guru berupa pembuatan bisnis plan (rencana bisnis) dengan memperhatikan peluang usaha yang ada. Selanjutnya, item/indikator jika saya mencoba memulai usaha baru, saya akan memiliki kemungkinan tinggi untuk berhasil dengan skor 5,74 berada pada kriterita “tinggi”. Artinya, siswa SMK merasa memiliki kemampuan dalam memulai usaha baru, namun demikian guru tetap perlu membekali siswa SMK dengan ilmu-ilmu kewirausahaan agar mereka menjadi wirausahawan yang cerdas dan pandai melihat peluang usaha.
Tabel 4.10
Distribusi dan Kategori Jawaban Responden terhadap Variabel Persepsi Kontrol Perilaku
Item/Indikator Rata-rata Skor
Kriteria
1 2 3
1. Untuk memulai sebuah usaha dan membuatnya berjalan akan mudah bagi saya
4,94 Tinggi
2. Saya siap memulai sebuah usaha yang layak 5,77 Tinggi 3. Saya mampu mengontrol proses pendirian
sebuah usaha baru
5,17 Tinggi
4. Saya mengetahui rincian praktis yang dibutuhkan untuk memulai usaha baru
5,03 Tinggi
5. Jika saya mencoba memulai usaha baru, saya akan memiliki kemungkinan tinggi untuk berhasil
5,74 Tinggi
PERSEPSI KONTROL PERILAKU 5,33 Tinggi
(24)
Kemudian item/indikator saya mampu mengontrol proses pendirian sebuah usaha baru dengan skor 5,17 berada pada kriteria “tinggi”. Informasi tersebut menunjukkan bahwa siswa SMK merasa memiliki kemampuan dalam mengontrol proses pendirian usaha baru. Dapat dikatakan bahwa guru telah membekali siswa SMK dengan ilmu-ilmu kewirausahaan sehingga mereka merasa memiliki kemampuan tersebut, oleh karena itu sekolah dan guru dapat memfasilitasi siswa SMK untuk mendirikan sebuah usaha baru yang akan dikelola oleh mereka sendiri. Selanjutnya item/indikator saya mengetahui rincian praktis yang dibutuhkan untuk memulai usaha baru menempati urutan berikutnya dengan skor 5,03 berada pada kriteria “tinggi”. Sedangkan item/indikator untuk memulai sebuah usaha dan membuatnya berjalan akan mudah bagi saya dengan skor 4,94 berada pada kriteria “tingg”. Informasi tersebut menggambarkan bahwa siswa SMK telah memiliki kepercayaan diri akan kemampuan mereka dalam memulai sebuah usaha namun permasalahan yang sering muncul yaitu siswa SMK kurang memiliki keberanian untuk segera mewujudkan ide usaha mereka secara riil. Selain itu, keterbatasan modal juga turut menjadi permasalahan bagi mereka sehingga diharapkan adanya bantuan dari pemerintah maupun sekolah berupa bantuan modal yang memadai. Bantuan modal dapat berupa pinjaman kepada siswa yang ingin berwirausaha, pihak sekolah dapat mengawal bantuan modal dari pemerintah, membimbing, dan mengawasi kegiatan usaha siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi kontrol perilaku wirausaha siswa SMK telah terbentuk dalam diri mereka artinya mereka memiliki keyakinan terhadap kemampuan mereka untuk berwirausaha. Kuatnya keyakinan diri mereka perlu didukung oleh pemerintah dan sekolah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memulai usaha secara riil. Pada akhirnya, usaha ini dapat membantu mengurangi permasalahan pengangguran yang ada di Indonesia.
4.5.4 Deskripsi Intensi Kewirausahaan Siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung
(25)
Intensi Kewirausahaan dalam penelitian ini diukur dari 6 (enam) item pernyataan dengan alternatif jawaban sebanyak 7 alternatif pilihan yang diberi bobot 1 sampai 7. Hasil selengkapnya distribusi dan kategori tanggapan responden mengenai persepsi kontrol perilaku dapat dilihat pada Tabel 4.11.
Berdasarkan Tabel 4.11, menunjukkan intensi kewirausahaan siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung berada dalam kriteria “tinggi” dengan skor rata-rata 5,66. Informasi tersebut memberikan gambaran bahwa siswa SMK memiliki niat, motivasi atau kesiapan menjadi wirausahawan. Intensi dapat mempengaruhi perilaku seseorang artinya semakin kuat intensi yang dimiliki maka akan semakin besar terwujudnya perilaku yang diharapkan. Seperti yang dikemukakan Indarti dan Rostiani (2008: 4) bahwa seseorang dengan intensi yang kuat untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha.
Tabel 4.11
Distribusi dan Kategori Jawaban Responden terhadap Variabel Persepsi Kontrol Perilaku
Item/Indikator Rata-rata Skor
Kriteria
1 2 3
1. Saya siap melakukan segalanya untuk menjadi wirausahawan
5,23 Tinggi
2. Tujuan profesi saya adalah menjadi wirausahawan
5,04 Tinggi
3. Saya akan menghadapi setiap rintangan untuk memulai dan menjalankan usaha saya sendiri
5,80 Tinggi
4. Saya bertekad untuk menciptakan sebuah usaha di masa depan
6,23 Sangat Tinggi
5. Saya sangat serius berpikir untuk memulai sebuah usaha
(26)
6. Saya memiliki tekad yang kuat untuk memulai sebuah usaha
5,85 Sangat Tinggi
INTENSI KEWIRAUSAHAAN 5,66 Tinggi
Sumber: Penelitian, diolah
Adapun item/indikator yang memberikan skor tertinggi yaitu saya bertekad untuk menciptakan sebuah usaha di masa depan dengan skor 6,23 berada pada kriteria “tinggi”, diikuti oleh item/indikator saya memiliki tekad yang kuat untuk memulai sebuah usaha dengan skor 5,85 yang juga berada pada kriteria “tinggi”. Artinya, siswa SMK yang menjadi responden konsisten dalam menjawab kuesioner berkaitan dengan tekad kuat mereka untuk berwirausaha. Siswa dengan tekad yang kuat akan lebih mudah menyerap pelajaran yang berkaitan dengan minat mereka sehingga diharapkan pihak sekolah terutama guru kewirausahaan dapat menangkap potensi tersebut dengan membimbing dan mengembangkannya sehingga akan muncul wirausahawan-wirausahawan muda yang siap bersaing di dunia perdagangan baik nasional maupun internasional. Selanjutnya, item/indikator saya akan menghadapi setiap rintangan untuk memulai dan menjalankan usaha saya sendiri dan item/indikator saya sangat serius berpikir untuk memulai sebuah usaha dengan skor yang sama yaitu 5,80 berada kriteria “tinggi”. Artinya, siswa SMK memiliki kesiapan menghadapi rintangan di kemudian hari ketika menjadi wirausahawan serta didukung oleh keseriusan berpikir mereka dalam memulai sebuah usaha yang mandiri.
Kemudian item/indikator saya siap melakukan segalanya untuk menjadi wirausahawan dengan skor 5,23 berada pada kriteria “tinggi”, diikuti oleh item/indikator tujuan profesi saya adalah menjadi wirausahawan dengan skor 5,04 juga berada pada kriteria “tinggi”. Informasi tersebut mendukung tekad siswa untuk menjadi wirausahawan. Dengan kesiapan melakukan segalanya untuk menjadi wirausahawan artinya siswa siap melakukan upaya untuk mewujudkan keinginan mereka termasuk menghadapi tantangan dan hambatan yang ada serta siap menanggung resiko yang akan muncul dalam perjalanan usaha mereka.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa SMK memiliki niat, motivasi yang tinggi serta kesiapan untuk berwirausaha. Oleh karena itu,
(27)
diharapkan guru dapat memberikan informasi-informasi yang memadai mengenai tantangan, hambatan dan resiko yang akan muncul dalam menjalankan sebuah usaha sehingga di kemudian hari mereka siap menghadapinya.
4.6 Uji Model Struktural
Pengujian model structural dilakukan dengan analisis jalur (Path Analysis) dengan tujuan untuk menguji hipotesis hubungan asimetris yang dibangun atas dasar kajian teori tertentu, dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung seperangkat variabel penyebab terhadap variabel akibat yang dapat diobservasi secara langsung (Kusnendi, 2008: 147). Adapun hubungan pengaruh dapat dilihat dalam gambar diagram jalur hipotesis penelitian yang disajikan dalam Gambar 3.2. pada Bab III. Kemudian, berdasarkan estimasi parameter model struktural intensi kewirausahaan pada Gambar 4.1 diperoleh hasil uji kesesuaian model yang diusulkan fit dengan data sampel (RMSEA < 0,08), tetapi ada hasil estimasi koefisien jalur yang tidak signifikan yaitu NS (Norma Subyektif) IK (Intensi Kewirausahaan) yaitu -0,04. Oleh karena itu, model perlu diperbaiki dengan trimming dengan tujuan untuk memperoleh model yang paling sederhana. Adapun hasil trimming model intensi kewirausahaan disajikan dalam Gambar 4.2.
(28)
Gambar 4.2 Estimasi Koefisien Jalur (Path) Model Intensi Kewirausahaan setelah Trimming
Berdasarkan Gambar 4.2, model intensi kewirausahaan setelah trimming tetap fit dengan data, sama dengan model sebelum trimming. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai RMSEA yaitu 0,078 < 0,08. Dengan demikian, model intensi kewirausahaan menjadi lebih sederhana dan model yang diajukan dalam penelitian ini menggunakan model intensi kewirausahaan setelah trimming. Adapun penjelasan mengenai model intensi kewirausahaan diuraikan sebagai berikut. 4.6.1 Pengaruh Norma Subyektif Terhadap Sikap Personal Siswa SMK di
UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung
Pengujian hipotesis dalam model sikap personal yaitu norma subyektif berpengaruh positif terhadap sikap personal siswa SMK. Berdasarkan hasil keluaran AMOS mengenai model intensi kewirausahaan diperoleh estimasi parameter persamaan structural sebagai berikut:
SP = 0,89 NS + 0,016 errorvar ; R2 = 0,79
Hasil keluaran koefisien parameter menunjukkan nilai t-hitung sebesar 4,331. Hal ini berarti pengaruh norma subyektif terhadap sikap personal (H1) secara statistic signifikan pada tingkat kesalahan α = 0,05. Dengan demikian hipotesis 1 yang menyatakan bahwa norma subyektif berpengaruh positif terhadap sikap personal siswa SMK dapat diterima.
Berdasarkan hasil persamaan structural di atas dapat dijelaskan bahwa tinggi rendahnya sikap personal siswa dalam memandang wirausaha dipengaruhi positif oleh norma subyektifnya. Adapun pengaruh norma subyektif terhadap sikap personal adalah sebesar 0,89 (79%). Sedangkan variansi yang terjadi pada sikap personal dapat dijelaskan oleh kuat lemahnya norma subyektif sebesar 79%, sementara sisanya sebesar 21% merupakan variansi yang berasal dari eksogen lain yang tidak terjelaskan dalam model.
(29)
4.6.2 Pengaruh Norma Subyektif Terhadap Persepsi Kontrol Perilaku Siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung
Pengujian hipotesis dalam model persepsi kontrol perilaku yaitu norma subyektif berpengaruh positif terhadap persepsi kontrol perilaku siswa SMK. Berdasarkan hasil keluaran AMOS mengenai model intensi kewirausahaan diperoleh estimasi parameter persamaan structural sebagai berikut:
PKP = 0,74 NS + 0,144 errorvar ; R2 = 0,547
Hasil keluaran koefisien parameter menunjukkan nilai t-hitung sebesar 6,627. Hal ini berarti pengaruh norma subyektif terhadap persepsi kontrol perilaku (H2) secara statistic signifikan pada tingkat kesalahan α = 0,05. Dengan demikian hipotesis 2 yang menyatakan bahwa norma subyektif berpengaruh positif terhadap persepsi kontrol perilaku siswa SMK dapat diterima.
Berdasarkan hasil persamaan structural di atas dapat dijelaskan bahwa tinggi rendahnya persepsi kontrol perilaku siswa dalam memandang wirausaha dipengaruhi positif oleh norma subyektifnya. Adapun pengaruh norma subyektif terhadap sikap personal adalah sebesar 0,74 (55%). Sedangkan variansi yang terjadi persepsi kontrol perilaku dapat dijelaskan oleh kuat lemahnya norma subyektif sebesar 55%, sementara sisanya sebesar 45% merupakan variansi yang berasal dari eksogen lain yang tidak terjelaskan dalam model.
4.6.3 Pengaruh Sikap Personal, Norma Subyektif, dan Persepsi Kontrol Perilaku Terhadap Intensi Kewirausahaan Siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung
Pengujian hipotesis dalam model intensi kewirausahaan yaitu sikap personal, norma subyekti, dan persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK. Berdasarkan hasil keluaran AMOS mengenai model intensi kewirausahaan diperoleh estimasi parameter persamaan structural sebagai berikut:
IK = 0,60 SP + 0,28 PKP + 0,130 errorvar ; R2 = 0,669
(30)
perilaku sebesar 0,28 dengan t-hitung 3,360. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh sikap personal dan persepsi kontrol perilaku terhadap intensi kewirausahaan secara statistic signifikan pada tingkat kesalahan α = 0,05. Sedangkan, norma subyektif sebesar (-) 0,04 dengan t-hitung (-) 0,136. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh norma subyektif terhadap intensi kewirausahaan secara statistic tidak signifikan pada tingkat kesalahan α = 0,05. Oleh karena itu, jalur norma subyektif (NS) terhadap intensi kewirausahaan (IK) dilepaskan melalui trimming.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa intensi kewirausahaan dipengaruhi secara positif oleh sikap personal dan persepsi kontrol perilaku sedangkan norma subyektif tidak berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan. Oleh karena itu, pada hipotesis 3 yaitu sikap personal berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK diterima, begitu pula dengan hipotesis 5 yaitu persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK diterima. Sedangkan untuk hipotesis 4 yaitu norma subyektif berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK ditolak. Selanjutnya berdasarkan hasil persamaan structural di atas dapat dijelaskan bahwa tinggi rendahnya intensi kewirausahaan siswa dipengaruhi positif oleh sikap personal dan persepsi kontrol perilaku, sementara norma subyektif menunjukkan angka yang negative. Secara individual besarnya pengaruh sikap personal terhadap intensi kewirausahaan adalah sebesar 0,60 (36 %) memberikan pengaruh relative paling kuat, kemudian diikuti persepsi kontrol perilaku adalah sebesar 0,28 (8,41 %). Secara bersama sebesar 67 % variansi yang terjadi pada intensi kewirausahaan dapat dijelaskan oleh kuat lemahnya sikap personal dan persepsi kontrol perilaku siswa SMK. Sedangkan sisanya sebesar 33 % merupakan variansi yang berasal dari variabel eksogen lain yang tidak terjelaskan dalam model.
4.6.4 Dekomposisi Pengaruh Antara Variabel Penelitian
Berdasarkan model intensi kewirausahaan, berikut disajikan dalam Tabel 4.12 dekomposisi pengaruh antar variabel independen norma subyektif terhadap variabel dependen intensi kewirausahaan. Berdasarkan Tabel 4.12 dapat dinyatakan bahwa meski norma subyektif memiliki pengaruh langsung yang bernilai negative,
(31)
tetapi pengaruh tidak langsung variabel norma subyektif terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK dimediasi oleh sikap personal dan persepsi kontrol perilaku. Adapun besarnya pengaruh tidak langsung melalui sikap personal yaitu sebesar 0,53 atau 28 %. Sedangkan melalui persepsi kontrol perilaku yaitu sebesar 0,21 atau 4,4 %.
Dilihat dari pengaruh totalnya, norma subyektif memiliki pengaruh yang relative paling kuat terhadap intensi kewirausahaan meskipun dimediasi oleh sikap personal dan persepsi kontrol perilaku yaitu sebesar 0,70 (49 %), kemudian diikuti variabel sikap personal sebesar 0,60 (36 %), dan variabel persepsi kontrol perilaku sebesar 0,28 (7,84%).
Tabel 4.12
Dekomposisi Pengaruh Antar Variabel Intensi Kewirausahaan Siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung
Pengaruh Antar Variabel
Pengaruh Langsung Tidak Langsung
Melalui
Total
SP PKP
SP NS 0,89 - - 0,89
PKP NS 0,74 - - 0,74
IK NS -0,041 0,53 0,21 0,70
IK SP 0,60 - - 0,60
IK PKP 0,28 - - 0,28
Sumber: Penelitian, diolah
4.7 Penyimpangan Asumsi Statistik dan Aplikasi Bootstrapping
Dalam penelitian menggunakan model persamaan structural, asumsi terpenting dalam analisis struktur covariance dan mean adalah data harus berskala kontinyu dan berdistribusi normal secara multivariate (Ghozali, 2014: 313). Dengan terpenuhinya asumsi tersebut akan menjadikan penelitian yang dilakukan dapat dipercaya. Namun, permasalahan yang sering ditemui oleh peneliti yaitu
(32)
multivariate serta permasalahan multikolinieritas. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan penulis juga mengalami permasalahan tersebut.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan penyimpangan asumsi statistik yaitu menggunakan prosedur “bootsrap”. Prosedur ini pertama kali
dikenalkan oleh Elfron (1979 dan 1982) dan dikembangkan oleh Kotz dan Johnson (1992). Prosedur “bootstrap” merupakan prosedur resampling (per-sampel-an kembali) dimana sampel asli atau original sample diperlakukan sebagai populasi.
Multiple sub-sampel dengan ukuran sampel sama dengan sampel asli kemudian secara random, dengan replacement dari populasi. Dengan demikian peneliti dapat menciptakan multiple sampel dari original data base (Ghozali, 2014: 313-314).
Berdasarkan hasil uji normalitas data pada model yang diuji penulis menunjukkan nilai critical ratio multivariate sebesar 17,6. Kemudian terdapat problem multikolinieritas dengan angka 0,000 pada model yang diujikan. Dengan adanya permasalahan penyimpangan asumsi statistik, penulis menggunakan aplikasi bootstrapping atau lebih dikenal dengan The Bollen Stine Bootstrap untuk mengevaluasi model yang digunakan penulis.
Dari hasil pengujian menggunakan prosedur “bootstrap”, diperoleh nilai probabilitas Bollen Stine Bootstrap = 0,002. Sebelum “bootstrap” dilakukan nilai chi-square pada model yang diujikan sebesar 515,983 dengan probabilitas = 0,000. Dengan nilai probabilitas yang meningkat menjadi 0,002 dapat dinyatakan bahwa model yang diujikan tidak dapat ditolak dan hasil ini konsisten dengan hasil chi-squares yang juga tidak dapat menolak hipotesis nol.
4.8 Pembahasan Hasil Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan data empiris dengan mengambil sampel siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung terutama di wilayah yang diteliti merupakan daerah yang termasuk ke dalam jalur wisata. Dengan adanya tempat atau lokasi wisata di suatu daerah akan membuka banyak peluang usaha bagi masyarakat. Hal tersebut dapat mempengaruhi kecenderungan masyarakat dalam mencari penghasilan dengan berwirausaha baik dengan berdagang, membuka jasa penginapan, maupun jasa-jasa
(33)
lainnya. Berdasarkan komposisi pekerjaan orang tua dari responden diperoleh hasil bahwa sebesar 51,9% orang tua responden bekerja sebagai wirausaha. Artinya bahwa sebagian besar mata pencaharian masyarakat di wilayah yang diteliti penulis yaitu berwirausaha. Lalu dari hasil penelitian menunjukkan bahwa intensi kewirausahaan siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung masuk dalam kategori “tinggi”. Adapun skor rata-rata dan standar deviasi dari masing-masing variabel yang menjadi indikator pembentuk intensi kewirausahaan dapat dilihat pada Tabel 4.13.
Tujuan utama dari penelitian ini yaitu mengetahui berbagai prediktor yang muncul dan berpotensi untuk berkontribusi terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap personal siswa SMK menunjukkan kriteria “tinggi”. Artinya bahwa siswa SMK memiliki penilaian yang positif tentang menjadi wirausahawan. Kemudian untuk norma subyektif siswa SMK menunjukkan kriteria “tinggi”. Artinya bahwa tekanan-tekanan social yang dirasakan siswa memberikan norma yang positif terhadap perilaku wirausaha serta siswa meyakini bahwa lingkungan terdekat mereka baik dari keluarga, teman atau lingkungan sekitar akan mendukung mereka secara positif apabila mereka memilih karir berwirausaha.
Tabel 4.13 Skor Rata-Rata dan Kriteria Masing-Masing Variabel
Variabel Skor Rata-Rata Kriteria
Sikap Personal 5,44 Tinggi
Norma Subyektif 5,65 Tinggi
Persepsi Kontrol Perilaku 5,33 Tinggi Intensi Kewirausahaan 5,66 Tinggi Sumber: Penelitian, diolah
Untuk persepsi kontrol perilaku siswa SMK menunjukkan kriteria “tinggi”. Artinya bahwa siswa SMK memiliki persepsi bahwa menjadi wirausahawan mudah dilakukan dan mereka merasa mampu mengatasi hambatan sebagai wirausahawan. Selain itu, siswa SMK juga memiliki persepsi positif dalam mengendalikan atau mengontrol perilaku wirausaha.
(34)
Selanjutnya, intensi kewirausahaan siswa SMK menunjukkan kriterita “tinggi”. Artinya bahwa siswa SMK memiliki niat, motivasi atau kesiapan menjadi wirausahawan. Siswa dengan intensi yang kuat terhadap kewirausahaan akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha (Indarti dan Rostiani, 2008:4).
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa siswa SMK di wilayah yang diteliti penulis memiliki intensi kewirausahaan yang tinggi. Menurut pengamatan penulis, masyarakat yang tinggal di daerah atau lokasi yang menjadi tujuan wisata atau menjadi jalur wisata sebagian besar bermata pencaharian sebagai wirausahawan. Hal ini ditenggarai karena masyarakat memanfaatkan peluang dari adanya kunjungan wisatawan dengan membuka usaha berjualan oleh-oleh khas daerah baik berupa kuliner, souvenir, pakaian, dan sebagainya. Selain itu, terdapat juga usaha penginapan yang selalu ramai di akhir pekan. Banyaknya peluang usaha yang muncul dari kunjungan wisatawan menjadikan masyarakat setempat termotivasi untuk mencari penghasilan melalui usaha sendiri. Lingkungan yang mendukung terhadap kegiatan wirausaha dapat mempengaruhi intensi siswa untuk menjadi wirausahawan di kemudian hari. Seperti yang dikemukakan oleh Luiz,et.al (2015: 760) bahwa salah satu dimensi yang mempengaruhi intensi kewirausahaan yaitu latar belakang pribadi meliputi faktor demografi, keluarga dan lingkungan social.
4.6.1 Pengaruh Norma Subyektif Terhadap Sikap Personal
Hipotesis 1 menyatakan bahwa norma subyektif berpengaruh positif terhadap sikap personal. Menurut Ajzen (1991), sikap personal mengacu pada sejauh mana seseorang memiliki penilaian akan hal yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dari perilaku tertentu. Sikap personal sifatnya internal dan terbentuk dalam diri seseorang akibat pengalaman individu maupun pengaruh dari luar individu. Sikap personal juga didefinisikan sebagai perasaan positif atau negative individu dalam melakukan perilaku yang menjadi sasaran. Selain itu, sikap personal juga mengacu pada ukuran kekuatan intensi seseorang untuk melakukan perilaku tertentu (Fishbein dan Ajzen, 1975). Dari berbagai definisi yang ada, dapat
(35)
disimpulkan bahwa sikap personal meski bersifat internal seseorang tetapi terbentuknya sikap personal sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu dan pengaruh dari luar individu misalnya dari keluarga, teman dekat, lingkungan sosial, dan sebagainya. Pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar individu akan menjadi tekanan-tekanan social yang dirasakan individu (norma subyektif) yang kemudian akan membentuk sikap pada individu. Dalam hal ini sikap yang dimaksud berkaitan dengan intensi kewirausahaan.
Menurut Linan dan Chen (2009), norma subyektif sebagai proses mental yang dapat mempengaruhi sikap terhadap perilaku dan persepsi kontrol perilaku yang berarti bahwa sebelum sikap dan persepsi kontrol perilaku terbentuk, terlebih dahulu individu dipengaruhi oleh norma-norma dalam dirinya. Sedangkan berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa norma subyektif berpengaruh positif terhadap sikap personal. Besarnya pengaruh norma subyektif terhadap sikap personal adalah sebesar 79%, dan secara statistik pengaruh tersebut signifikan. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis 1 diterima yang berarti bahwa norma subyektif berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap personal wirausaha. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Linan dan Chen (2009), Z.X. Peng et.al (2012) dan Rijal Assidiq Mulyana (2013).
Penciri utama yang membentuk variabel norma subyektif siswa SMK yaitu indikator pembelajaran kewirausahaan di sekolah memotivasi saya untuk menjadi wirausaha sebesar 26,4%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran kewirausahaan yang selama ini diterapkan di sekolah mampu membentuk norma positif pada siswa mengenai perilaku wirausaha. Dalam definisi yang dikemukakan oleh Alberti et.al (2004) dalam Fatoki dan Olawali (2014:587) disebutkan bahwa pendidikan kewirausahaan bertujuan untuk membangun kompetensi yang mengacu pada konsep, keterampilan, dan kesadaran mental individu selama proses memulai dan mengembangkan usaha, kompetensi tersebut merupakan kombinasi dari keterampilan, pengetahuan dan sikap. Sedangkan tujuan pembelajaran kewirausahaan menurut BSNP (2006:199) salah satunya agar siswa mampu
(36)
pembelajaran kewirausahaan tersebut dan berdasarkan hasil penelitian penulis dapat dikatakan bahwa pembelajaran kewirausahaan di sekolah yang menjadi objek penelitian telah berjalan secara efektif. Hal ini dikarenakan pembelajaran kewirausahaan telah mampu membentuk norma subyektif pada siswa yang kemudian norma tersebut membentuk sikap siswa secara positif terhadap perilaku wirausaha. Pada penelitian sebelumnya oleh Fayolle dan Gailly (2004) menunjukkan bahwa pembelajaran kewirausahaan memiliki pengaruh kuat, terukur dan berdampak positif pada intensi kewirausahaan meskipun dampak tersebut tidak signifikan terhadap sikap dan persepsi kontrol perilaku. Lalu pada penelitian lanjutan yang dilakukan Fayolle, Gailly dan Clerc (2006) menunjukkan hasil bahwa pembelajaran kewirausahaan dapat memiliki pengaruh kuat pada beberapa mahasisiwa tergantung dari latar belakang dan perspektif awal mereka pada intensi kewirausahaan. Pada waktu yang sama, pembelajaran kewirausahaan dapat juga menurunkan tingkat intensi kewirausahaan pada mahasiswa lain yang belum mengenal dunia kewirausahaan. Dari berbagai hasil penelitian tersebut, dapat dinyatakan bahwa pembelajaran kewirausahaan memiliki peran yang cukup penting dalam membentuk sikap wirausaha. Selanjutnya didukung pula oleh penelitian, Soutaris, et.al (2007) dalam Sarah S. Ahmad, et.al (2014: 167) yang menemukan bahwa, “entrepreneurship programs significantly raised students’ subjective norms
and intentions toward entrepreneurship by inspiring them to choose
entrepreneurial careers.” Artinya, program kewirausahaan secara signifikan meningkatkan norma subjektif siswa dan intensi berwirausaha dengan menginspirasi mereka untuk memilih karir berwirausaha.
Indikator pembentuk konstruk norma subyektif selanjutnya yaitu teman sejawat akan menyetujui keputusan saya untuk memulai usaha sebesar 24,6%. Hal ini berarti teman-teman di sekolah lebih berpengaruh terhadap pembentukan sikap wirausaha pada siswa dibanding keluarga terdekat. Indikator keluarga terdekat justru menempati urutan ketiga dalam pembentukan norma subyektif siswa yaitu sebesar 21%, kemudian diikuti oleh teman terdekat sebesar 20,8 %. Meskipun perbedaan tersebut tidak terlalu besar pada masing-masing indikator tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran kewirausahaan di sekolah serta teman
(37)
sejawat atau teman sekolah lebih berpengaruh terhadap pembentukan sikap wirausaha dibanding keluarga dan teman terdekat.
Berkaitan dengan sikap personal, penciri utama yang membentuk sikap personal siswa SMK adalah indikator karir sebagai wirausaha sangat menarik bagi saya sebesar 44%. Hal ini menyiratkan bahwa pembelajaran kewirausahaan di sekolah mampu menumbuhkan minat siswa untuk berkarir sebagai wirausahawan. Dengan didukung oleh teman sekolah maka semakin memberikan pengaruh bagi siswa untuk memilih karir wirausaha. Argumentasi penulis, bahwa pembelajaran kewirausahaan di SMK selama ini telah berjalan secara efektif sehingga mampu menumbuhkan minat siswa untuk berwirausaha. Suatu pembelajaran dapat dikatakan efektif jika dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Sedangkan, pengukuran efektivitas pembelajaran dilihat dari tercapainya expected output (hasil belajar yang diharapkan) berupa perubahan perilaku yang meliputi perilaku kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan). Apabila perubahan perilaku tersebut telah tercapai dan minat siswa untuk berkarir sebagai wirausaha menjadi semakin kuat maka sudah seharusnya sekolah dan pemerintah memfasilitasi pembelajaran kewirausahaan secara memadai seperti mengadakan pelatihan pembuatan hasil karya, memberikan bantuan modal usaha, mengadakan pameran hasil karya siswa SMK dan sebagainya.
4.6.2 Pengaruh Norma Subyektif Terhadap Persepsi Kontrol Perilaku
Hipotesis 2 menyatakan bahwa norma subyektif berpengaruh positif terhadap persepsi kontrol perilaku. Persepsi kontrol perilaku mengacu pada persepsi kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku dan diasumsikan untuk mencerminkan pengalaman masa lalu serta hambatan dan rintangan yang perlu diantisipasi (Ajzen, 1991). Sedangkan, Contento (2011) mengungkapkan bahwa gagasan atau kemampuan mengatasi hambatan atau dapat melakukan suatu perilaku termasuk ke dalam teori persepsi kontrol perilaku. Persepsi kontrol perilaku berperan penting dalam teori Planned Behavior karena sebelum memprediksi intensi dan perilaku, hal yang perlu dipertimbangkan adalah membangun konsep
(38)
dipengaruhi oleh kepercayaan mereka terhadap kemampuan mereka untuk melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 1991). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika seseorang mempersepsikan berwirausaha mudah atau mampu dilakukan, maka ia akan berhasil dalam mewujudkan perilaku tersebut. Begitu sebaliknya, jika seseorang mempersepsikan bahwa berwirausaha sulit dilakukan dan ia merasa tidak mampu, maka yang terjadi yaitu ia tidak akan berusaha untuk mewujudkannya. Berbeda kondisi jika seseorang memiliki persepsi kuat bahwa ia mampu berwirausaha meskipun terdadapat hambatan dan rintangan yang dihadapi, maka ia akan tetap berusaha mewujudkannya.
Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa persepsi seseorang muncul mencerminkan pengalaman masa lalu, artinya ada pengaruh yang diperoleh individu baik saat individu melihat perilaku tersebut dilakukan orang lain (keluarga dekat maupun teman dekat) atau individu pernah melakukan perilaku tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut membentuk sebuah persepsi positif atau negative pada diri individu terhadap perilaku tersebut. Berdasarkan hasil pengujian pada siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa norma subyektif berpengaruh positif terhadap persepsi kontrol perilaku. Besarnya pengaruh norma subyektif terhadap persepsi kontrol perilaku sebesar 55%, dan secara statistic pengaruh tersebut signifikan. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis 2 diterima yang berarti norma subyektif berpengaruh positif dan signifikan terhadap persepsi kontrol perilaku. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Linan dan Chen (2009), Ferreira, et.al (2012), dan Rijal Assidiq Mulyana (2013).
Penciri utama yang membentuk konstruk persepsi kontrol perilaku siswa SMK yaitu indikator saya mampu mengontrol proses pendirian sebuah usaha sebesar 47,6%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran kewirausahaan di sekolah mampu membentuk persepsi positif pada siswa sehingga siswa merasa mampu untuk menjadi wirausahawan serta siap menghadapi hambatan dan tantangan terutama dalam mengontrol proses pendirian sebuah usaha baru. Begitu pula dengan hasil penelitian Linan dan Chen (2009) terhadap mahasiswa Taiwan dan Spanyol menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Kemudian diperkuat oleh hasil penelitian Rijal Assidiq Mulyana (2013) pada siswa SMKN 12
(39)
Garut yang menunjukkan bahwa indikator tersebut dominan sebagai pembentuk konstruk persepsi kontrol perilaku.
Indikator selanjutnya pembentuk konstruk persepsi kontrol perilaku yaitu indikator saya siap memulai usaha yang layak sebesar 41,7%. Kemudian diikuti oleh indikator saya mengetahui rincian praktis yang dibutuhkan untuk memulai usaha baru sebesar 41%, indikator jika saya mencoba memulai usaha baru, saya akan memiliki kemungkinan tinggi untuk berhasil sebesar 36,2%, dan indikator untuk memulai sebuah usaha dan membuatnya berjalan akan mudah bagi saya sebesar 30,3%. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa masing-masing indikator menunjukkan hasil yang signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran kewirausahaan di sekolah telah berjalan secara efektif sehingga mampu membentuk persepsi positif pada siswa SMK mengenai perilaku wirausaha. Melihat munculnya persepsi positif terhadap perilaku wirausaha dapat menjadi acuan bagi guru maupun pihak sekolah untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran kewirausahaan dan mampu mendorong lulusan SMK berkarir sebagai wirausahawan.
4.6.3 Pengaruh Sikap Personal, Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku Terhadap Intensi Kewirausahaan
Untuk menguji hipotesis selanjutnya dalam model intensi kewirausahaan yang menyatakan bahwa sikap personal, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan. Intensi memiliki arti secara bahasa yaitu niat, maksud, tujuan atau motif. Sedangkan, menurut Ajzen (1991:181) intensi sebagai faktor motivasi yang memengaruhi perilaku dan menjadi indikasi seberapa keras individu untuk mencoba, berapa banyak upaya individu untuk mengerahkan dalam mewujudkan sebuah perilaku. Almeida (2013: 120) dalam Luiz, et.al (2015: 760) menyatakan intensi sebagai predictor terbaik dari perilaku yang direncanakan, terutama saat perilaku tersebut jarang dilakukan, sulit diamati, dan terjadi dalam ruang waktu yang kontinyu. Berkaitan dengan kewirausahaan, Fini, et.al (2009: 4) menyatakan bahwa intensi kewirausahaan
(40)
individu baik yang akan membangun usaha mandiri baru atau menciptakan nilai baru dalam perusahaan yang ada. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang dengan intensi yang kuat untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha (Indarti dan Rostiani (2008: 4). Intensi kewirausahaan selalu berkaitan dengan kuatnya motif seseorang dalam berwirausaha sehingga mempengaruhi perilakunya.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa intensi kewirausahaan termasuk dalam kategori tinggi yang artinya siswa SMK memiliki niat, motivasi, atau kesiapan berwirausaha. Adapun tinggi rendahnya intensi kewirausahaan dipengaruhi oleh sikap personal dan persepsi kontrol perilaku. Sementara norma subyektif menunjukkan angka yang negative (-0,04). Secara individual besarnya pengaruh sikap personal terhadap intensi kewirausahaan adalah sebesar 0,60 (36 %) memberikan pengaruh relative paling kuat, kemudian diikuti persepsi kontrol perilaku adalah sebesar 0,28 (7,84 %). Secara bersama sebesar 67 % variansi yang terjadi pada intensi kewirausahaan dapat dijelaskan oleh kuat lemahnya sikap personal dan persepsi kontrol perilaku siswa SMK. Sedangkan sisanya sebesar 33 % merupakan variansi yang berasal dari variabel eksogen lain yang tidak terjelaskan dalam model.
Sedangkan, berdasarkan dekomposisi pengaruh antarvariabel meski norma subyektif memiliki pengaruh langsung yang bernilai negative, tetapi ada pengaruh tidak langsung variabel norma subyektif terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK dimediasi oleh sikap personal dan persepsi kontrol perilaku. Adapun besarnya pengaruh tidak langsung melalui sikap personal yaitu sebesar 0,53 atau 28%. Sedangkan melalui persepsi kontrol perilaku yaitu sebesar 0,21 atau 4,41%. Apabila dilihat dari pengaruh totalnya, norma subyektif memiliki pengaruh relative lebih kuat terhadap intensi kewirausahaan meskipun dimediasi oleh sikap personal dan persepsi kontrol perilaku yaitu sebesar 0,70 (49 %), kemudian diikuti variabel sikap personal sebesar 0,60 (36 %), dan variabel persepsi kontrol perilaku sebesar 0,28 (7,84%).
(41)
Penelitian yang dilakukan penulis sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ajzen (1991) serta Linan dan Chen (2009) yang menemukan bahwa norma subyektif memberikan kontribusi paling lemah terhadap intensi kewirausahaan dibanding dengan variabel sikap personal dan persepsi kontrol perilaku. Dalam penelitian penulis, norma subyektif memiliki pengaruh langsung yang negatif terhadap intensi kewirausahaan. Artinya, lingkungan terdekat siswa baik itu dari keluarga, teman dekat maupun sekolah tidak memengaruhi siswa dalam intensi berwirausaha mereka atau dapat dikatakan bahwa didukung atau tidak didukung oleh lingkungan terdekat, mereka tetap berniat menjadi wirausahawan. Meskipun tidak memiliki pengaruh secara langsung, norma subyektif memiliki pengaruh tidak langsung terhadap intensi kewirausahaan yang dimediasi oleh sikap personal dan persepsi kontrol perilaku. Artinya, tekanan social atau dukungan lingkungan terdekat siswa hanya mampu memengaruhi sikap siswa dan persepsi kontrol perilaku siswa dalam berwirausaha, lalu keduanya berkontribusi terhadap pembentukan intensi berwirausaha mereka.
Kemudian, variabel yang memiliki pengaruh langsung paling kuat terhadap intensi kewirausahaan yaitu sikap personal. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Linan dan Chen (2009) serta Rijal Assidiq Mulyana (2013), dimana dalam penelitian mereka, variabel persepsi kontrol perilaku menjadi variabel yang memiliki pengaruh paling kuat dibanding dengan sikap personal. Penulis menduga adanya pengaruh dari lingkungan terdekat siswa seperti keluarga, teman dekat, atau sekolah serta pengalaman yang pernah dirasakan siswa sehingga membentuk sikap positif mengenai menjadi wirausahawan. Sikap positif berwirausaha siswa kemudian membentuk intensi kuat bagi siswa untuk berkarir sebagai wirausahawan.
Sementara, persepsi kontrol perilaku menempati urutan kedua setelah sikap personal dalam memengaruhi intensi kewirausahaan. Meskipun memiliki pengaruh terhadap intensi kewirausahaan, tetapi pengaruh yang ditimbulkan sangatlah rendah yaitu sebesar 8,41%. Artinya, sebagian besar siswa SMK mempersepsikan perilaku wirausaha sulit dilakukan, sedangkan sebagian kecil siswa SMK mempersepsikan
(1)
Penelitian yang dilakukan penulis sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ajzen (1991) serta Linan dan Chen (2009) yang menemukan bahwa norma subyektif memberikan kontribusi paling lemah terhadap intensi kewirausahaan dibanding dengan variabel sikap personal dan persepsi kontrol perilaku. Dalam penelitian penulis, norma subyektif memiliki pengaruh langsung yang negatif terhadap intensi kewirausahaan. Artinya, lingkungan terdekat siswa baik itu dari keluarga, teman dekat maupun sekolah tidak memengaruhi siswa dalam intensi berwirausaha mereka atau dapat dikatakan bahwa didukung atau tidak didukung oleh lingkungan terdekat, mereka tetap berniat menjadi wirausahawan. Meskipun tidak memiliki pengaruh secara langsung, norma subyektif memiliki pengaruh tidak langsung terhadap intensi kewirausahaan yang dimediasi oleh sikap personal dan persepsi kontrol perilaku. Artinya, tekanan social atau dukungan lingkungan terdekat siswa hanya mampu memengaruhi sikap siswa dan persepsi kontrol perilaku siswa dalam berwirausaha, lalu keduanya berkontribusi terhadap pembentukan intensi berwirausaha mereka.
Kemudian, variabel yang memiliki pengaruh langsung paling kuat terhadap intensi kewirausahaan yaitu sikap personal. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Linan dan Chen (2009) serta Rijal Assidiq Mulyana (2013), dimana dalam penelitian mereka, variabel persepsi kontrol perilaku menjadi variabel yang memiliki pengaruh paling kuat dibanding dengan sikap personal. Penulis menduga adanya pengaruh dari lingkungan terdekat siswa seperti keluarga, teman dekat, atau sekolah serta pengalaman yang pernah dirasakan siswa sehingga membentuk sikap positif mengenai menjadi wirausahawan. Sikap positif berwirausaha siswa kemudian membentuk intensi kuat bagi siswa untuk berkarir sebagai wirausahawan.
Sementara, persepsi kontrol perilaku menempati urutan kedua setelah sikap personal dalam memengaruhi intensi kewirausahaan. Meskipun memiliki pengaruh terhadap intensi kewirausahaan, tetapi pengaruh yang ditimbulkan sangatlah rendah yaitu sebesar 8,41%. Artinya, sebagian besar siswa SMK mempersepsikan perilaku wirausaha sulit dilakukan, sedangkan sebagian kecil siswa SMK mempersepsikan perilaku wirausaha mudah dilakukan. Meskipun menjadi wirausahawan dianggap
(2)
sulit oleh sebagian besar siswa, tetapi hal tersebut tidak memengaruhi secara signifikan terhadap motivasi, niat atau kesiapan siswa dalam berwirausaha.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa intensi kewirausahaan (Y) dipengaruhi secara positif oleh sikap personal (X1) dan persepsi kontrol perilaku (X3). Sedangkan, norma subyektif tidak berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan. Oleh karena itu, hipotesis 3 yaitu sikap personal berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan secara statistic dapat diterima dan hipotesis 5 yaitu persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan siswa SMK secara statistic dapat diterima. Sedangkan, hipotesis 4 yaitu norma subyektif berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan secara statistic tidak dapat diterima atau ditolak. Penelitian penulis diperkuat oleh hasil penelitian Gelderen, et.al (2008) yang menunjukkan bahwa dua variabel yang paling penting untuk menjelaskan kewirausahaan adalah persepsi kontrol perilaku (perceived behavioral control) dan sikap (attitude). Berdasarkan hasil penelitian, penulis menduga bahwa hasil interaksi individu dengan lingkungan terdekat berkaitan dengan situasi kerja, lingkungan kerja, dan jenis pekerjaan belum dapat mempengaruhi siswa untuk memilih berkarir sebagai wirausahawan, tetapi hanya mampu mempengaruhi penilaian mengenai karir wirausaha dan sedikit merubah persepsi siswa terhadap kemudahan atau kesulitan berwirausaha. Namun, berdasarkan hasil deskripsi variabel ditemukan bahwa semua variabel dalam penelitian menunjukkan kriteria ”tinggi”. Artinya bahwa tingginya intensi kewirausahaan siswa lebih banyak dipengaruhi oleh variabel lain di luar model intensi kewirausahaan.
Dalam pembahasan bab sebelumnya, intensi merupakan faktor motivasi yang dapat memengaruhi perilaku seseorang, semakin kuat intensi yang dimiliki maka akan semakin besar terwujudnya perilaku yang diharapkan. Menurut Luiz, et.al (2015: 760) lima dimensi dari intensi kewirausahaan, antara lain:
1. Latar belakang pribadi: dimensi ini meliputi unsur-unsur akademis, yaitu faktor demografi, keluarga dan lingkungan social.
2. Pengetahuan bisnis: sebagai dasar yang fundamental mengenai keterampilan yang dibutuhkan untuk kinerja pelaksanaan kegiatan usaha, dengan
(3)
mempertimbangkan pengetahuan yang berbeda mengenai manajemen perusahaan. Terutama untuk membedakan pengusaha yang memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi peluang dan mengambil keuntungan penuh dari bisnis yang muncul dari waktu ke waktu.
3. Motivasi berwirausaha: keterampilan ini berhubungan dengan motivasi untuk membuat bisnis pribadi, dengan mempertimbangkan empat faktor motivasi: kebutuhan untuk kebebasan, pengembangan pribadi, memperoleh kemakmuran dan kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan.
4. Auto efektivitas kewirausahaan: menjelaskan sejauh mana seseorang percaya pada kemampuan mereka untuk melakukan tugas yang diberikan.
5. Lingkungan pendidikan: persepsi individu mengenai pengaruh lingkungan, berkaitan dengan lembaga pendidikan tinggi dan bagaimana dapat mempengaruhi aspirasi berwirausaha mereka.
Sedangkan, Ajzen (1991) dalam teori Planned Behavior menyatakan bahwa intensi diasumsikan dapat memprediksi faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku, indikasinya yaitu seberapa keras orang bersedia untuk mencoba, berapa banyak dari upaya mereka untuk mengerahkan, dalam rangka mewujudkan perilaku tertentu. Artinya, semakin kuat intensi yang terlibat dalam perilaku, semakin besar kinerja yang dilakukan individu. Selanjutnya, perilaku intensi dapat diekspresikan jika perilaku yang dimaksud berada di bahwa kontrol kehendak, yaitu jika seseorang mampu memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut meskipun perilaku tersebut mudah dilakukan tetapi tetap bergantung pada faktor-faktor nonmotivasi seperti ketersediaan peluang, dan sumber daya (waktu, uang, keterampilan, kerja sama dengan orang lain) (Ajzen, 1991). Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa intensi kewirausahaan merupakan predictor terbaik dalam mengukur kemungkinan besar siswa memilih karir sebagai wirausaha.
4.9 Temuan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan beberapa temuan, sebagai berikut:
(4)
1. Menurut teori Planned Behavior dari Ajzen, intensi kewirausahaan dipengaruhi oleh sikap personal, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku. Temuan penulis, norma subyektif berpengaruh negative terhadap intensi kewirausahaan, kemudian hanya sikap personal dan persepsi kontrol perilaku yang berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan. Namun demikian, norma subyektif berpengaruh terhadap sikap personal dan persepsi kontrol perilaku yang kemudian kedua variabel tersebut berkontribusi terhadap intensi kewirausahaan. Hasil penelitian penulis tidak mendukung teori Planned Behavior dari Ajzen berkaitan dengan pengaruh norma subyektif terhadap intensi kewirausahaan, namun temuan tersebut didukung oleh penelitian Linan dan Chen (2009) sebagai peneliti yang mengembangkan model intensi kewirausahaan yang disebut dengan Entrepreneurial Intentions Questionare (EIQ).
2. Berdasarkan estimasi parameter model struktural intensi kewirausahaan diperoleh hasil uji kesesuaian model yang diusulkan fit dengan data sampel tetapi ada hasil estimasi koefisien jalur yang tidak signifikan yaitu NS (Norma Subyektif) terhadap IK (Intensi Kewirausahaan) sehingga model perlu diperbaiki dengan trimming dengan tujuan untuk memperoleh model yang paling sederhana. Oleh karena itu, penulis mengajukan model intensi kewirausahaan untuk siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung seperti Gambar 4.3.
Sikap Personal
Norma Subyektif
Persepsi Kontrol Perilaku
Intensi Kewirausahaan
(5)
Gambar 4.3 Model Intensi Kewirausahaan setelah Trimming
3. Model persamaan structural yang digunakan dalam analisis empiris pada siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Hal tersebut dikarenakan adanya pengaruh lain di luar model yang berpengaruh cukup besar terhadap intensi kewirausahaan. Berdasarkan hasil penelitian penulis dan penelitian lainnya menunjukkan bahwa model intensi kewirausahaan yang dikembangkan oleh Linan dan Chen (2009) yang mengadaptasi teori Planned Behavior dari Azjen masih terdapat keterbatasan. Meskipun terdapat keterbatasan tetapi model tersebut masih cukup memadai untuk mengukur intensi kewirausahaan siswa SMK. Hal tersebut dapat dilihat dari model yang digunakan pada siswa SMK di UPTD Wilayah 1 Kabupaten Bandung menunjukkan model yang fit.
4. Berdasarkan model intensi kewirausahaan yang digunakan penulis, ditemukan bahwa pembelajaran kewirausahaan memiliki pengaruh dalam pembentukan norma subyektif, sikap personal, dan persepsi kontrol perilaku yang pada akhirnya membentuk intensi kewirausahaan pada siswa SMK. Model yang digunakan penulis mengadaptasi dari hasil modifikasi Rijal Assidiq Mulyana (2013) terhadap model intensi kewirausahaan Linan dan Chen (2009), dimana indikator pembelajaran kewirausahaan pada model yang dikembangkan Linan dan Chen (2009) tidak ada. Dengan demikian model intensi kewirausahaan yang digagas oleh Linan dan Chen (2009) memerlukan adanya modifikasi lebih lanjut guna menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
5. Model intensi kewirausahaan yang digunakan penulis tidak menggunakan faktor modal individu dan faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, jenis pekerjaan orang tua, dan anggota keluarga lain yang berwirausaha sebagai variabel kontrol, tetapi hanya sebagai informasi mengenai karakteristik responden yang diteliti. Menurut Linan dan Chen (2009), faktor modal individu dan faktor demografi memengaruhi sikap personal, norma subyektif dan persepsi kontrol perilaku yang kemudian berkontribusi langsung dengan intensi kewirausahaan. Maka, perlu diadakan penelitian lebih mendalam
(6)
mengenai faktor modal individu dan faktor demografi dalam hubungannya dengan intensi kewirausahaan.