Hubungan kadar kortisol Dengan kejadian postpartum blues Pada persalinan dengan seksio sesarea Tesis Dr PONCO

(1)

HUBUNGAN KADAR KORTISOL DENGAN KEJADIAN POSTPARTUM BLUES PADA PERSALINAN DENGAN SEKSIO SESAREA

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga

Minat Utama : Ilmu Biomedik

Oleh : PONCOROSO NIM S 500809011

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2013


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini yang disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Studi Dokter Spesialis I di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret serta untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Magister Kesehatan di Program Studi Magister Kesehatan Universitas Sebelas Maret Surakarta

dengan judul “Hubungan Kadar Kortisol Dengan Kejadian Postpartum Blues Pada Persalinan Dengan Seksio Sesarea”.

Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Dr. Soetrisno, dr. Sp.OG(K) sebagai pembimbing I yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan dorongan, bimbingan, dan saran dalam proses penyelesaian tesis ini.

Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Dr. Supriyadi Hari R, dr. Sp.OG. sebagai pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan dorongan, bimbingan, dan saran dalam proses penyelesaian tesis ini.

Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Dr. Abkar Raden, dr. Sp.OG (K) sebagai koordinator tesis yang telah memberikan dorongan, waktu dan kesempatan yang seluas-luasnya dalam proses penyelesaian tesis ini.

Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada tim penguji, yang telah berkenan memberikan waktu dan tenaga dalam proses penyelesaian tesis ini.


(7)

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan rasa hormat setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Si., sebagai Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta..

2. Prof.Dr. Ir. Ahmad Yunus MS, sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas

Sebelas maret.

3. Dr. Hari Wujoso,dr.Sp.F,M.M sebagai Ketua Program Studi Magister Kedokteran

Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Basoeki Sutardjo, drg., MMR., sebagai Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

6. Dr. Supriyadi Hari R, dr., Sp.OG., sebagai Ka. Bag SMF Obgin Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Dr. Sri Sulistyowati, dr., Sp.OG (K)., sebagai KPS SMF Obgin Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Muhammad Adrianes Bachnas, dr., Sp.OG.(K) sebagai SPS SMF Obgin Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

9. Seluruh Staff PPDS I Bagian Obgin Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Prof. Dr. JB Dalono, dr., Sp.OG (K)., Dr. Soetrisno, dr., Sp.OG (K)., Dr.

Supriyadi Hari R, dr., Sp.OG., Dr. Abkar Raden, dr., Sp.OG (K)., Rustam Sunaryo, dr., Sp.OG, Glondong Suprapto, dr., Sp.OG, Darto, dr., Sp.OG, Dr. Sri Sulistyowati, dr., Sp.OG (K)., A. Laqief, dr., Sp.OG (K)., Prof. Dr. KRMT. Tedja D.O, dr., Sp.OG (K)., Tribudi, dr., Sp.OG (K)., Eriana Melinawati, dr., Sp.OG (K)., Heru Priyanto, dr., Sp.OG (K)., Wuryatno, dr., Sp.OG., Sp.OG., Hermawan U, dr., Sp.OG., Teguh Prakosa, dr., Sp.OG., Wisnu Prabowo, dr., Sp.OG., Affi Angelia R, dr., Sp.OG., Muh. Adrianes Bachnas, dr., Sp.OG., Eric Edwin, dr., Sp.OG., Asih Anggraeni, dr. SpOG, Dr. Uki Retno, dr.SpOG (K)

10. Terima kasih yang sebesar-besarnya buat Ibunda tercinta, Ibu Mursinah, kakanda tercinta, Mas Supranto Aji dan Mas Imam Supangat atas doa dan dukunganya yang begitu besar, serta buat kedua buah hati tercinta: Arjuna Adiradewa Andika dan


(8)

Cassandra Aurellia Aisyha yang selalu menjadi penyemangat dalam menyelesaikan tulisan ini.

11.Semua rekan residen PPDS I Obgin Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang banyak membantu pelaksanaan tesis ini.

12. Semua ibu-ibu yang menjalani persalinan dan seksio sesarea di RSDM yang telah membantu dan bersedia menjadi subjek penelitian tesis saya ini, yang dengan ikhlas memberikan pengorbanan demi kemajuan ilmu pengetahuan.

13. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, dan semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.

Wasalamualaikum Wr. Wb.

Poncoroso


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI………...…………...………...…...…………... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... x

DAFTAR SINGKATAN……….…...………... xi

ABSTRAK... ... xii

ABSTRACT... xiii

BAB I PENDAHULUAN……….……...…...………... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah…...………...……….……... 4

C. Tujuan Penelitian…………...………...…….…..…... 4

1. Tujuan Umum………...…...………….…..………. 4

2. Tujuan Khusus………...…....…..………. 5

D. Manfaat Penelitian... 5

1. Manfaat Teoritis... 5

2. Manfaat Praktis………...…………... 5

E. Keaslian Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……...………...………... 8


(10)

A. Kajian Teori... 8

1. Seksio sesarea...………...……...……….... 8

a. Psikoneuroimmunologi respon pada persalinan dengan seksio sesarea...………...……...………...….. 8

b. Respon stres psikologis pasien yang menjalani pembedahan ...………...………. 8

c. Respon stres dari tindakan anesthesi dan pembedahan ... 9

2. Postpartum Blues………... 10

a. Definisi ... 13

b. Teori ... 13

3. Perubahan neuroendokrin pada kehamilan …...…... 15

a. Hypotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis selama kehamilan…... 17

b. Psikoneuroimmunologi dan depresi post partum (DPP)... 21

c. Sistem imun bawaan... 22

d. HPA-axis... 24

e. Disregulasi HPA-axis... 25

f. Hubungan sistem imun bawaan dan HPA-axis... 26

g. Hubungan sistem imun bawaan- HPA-axis dan depresi post partum (DPP)... 27

h. Hubungan sistem imun bawaan, HPA-axis dan kehamilan…...,,,,,,,,,,,,,,,,...29


(11)

BAB III METODE PENELITIAN………...……...………..…... γ6

A. Tempat dan Waktu... 36

B. Jenis dan Rancangan Penelitian..…………...………….……….. γ6 1. Jenis Penelitian..………...………... 36

2. Rancangan Penelitian..………...…...…….……... 36

C. Populasi dan Sample………...……...………...…….. γ7 1. Kriteria Inklusi ……….………..…...…………...…... 37

β. Kriteria Eksklusi……….……...…………... 37

D. Variabel Penelitian………...………... 39

1. Variabel bebas ………….……...………...… γ9 β. Variabel terikat …………..…………...…...…...……. 39

E. Definisi Operasional ………...……..…. γ9 F. Prosedur Penelitian yang Dilakukan………...……..….... 41

G. Teknik Pengumpulan Data... 42

H. Instrumen... 42

I. Uji Statistik... 44

J. Teknik Analisa Data ……...………...…..…... 44


(12)

BAB IV. HASIL DAN ANALISIS…...………...………….. 45

BAB V. PEMBAHASAN... 49

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN... 54

BAB VII. DAFTAR PUSTAKA……….………...……...………... 56 LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel. 1.1. Penelitian postpartum blues dan postpartum depresi yang

dilakukan di Indonesia... 6

Tabel 2.1. Perubahan hormon selama pembedahan... 10 Tabel 2.2. Hormon-hormon yang diproduksi placenta... 17 Tabel 4.1. Karakteristik Dan Uji Homogenitas Data Subyek Penelitian

Umur dan penghasilan... 45 Tabel 4.2. Karakteristik Dan Uji Homogenitas Data Subyek Penelitian Pada

Tingkat Pendidikan ... 46 Tabel 4.3. Hasil Uji Chi Kuadrat tentang perbedaan persentase pendidikan

dasar dan tinggi subyek penelitian... 47 Tabel 4.4. Hasil Uji Chi Kuadrat tentang perbedaan persentase penghasilan

responden subyek penelitian... 48 Tabel 4.5. Uji Homogenitas kadar kortisol menurut kelompok persalinan

normal dan seksio sesarea... 50

Tabel 4.6. Hasil uji normalitas variabel kadar kortisol pada persalinan

normal dan seksio sesarea... 50

Tabel 4.7. Uji Sample t-test kadar kortisol kelompok persalinan normal dan

Seksio sesarea... 51 Tabel 4.8. Hasil Uji Chi Kuadrat persalinan normal dan seksio sesarea dengan

Kadar Kortisol... 52 Tabel 4.9. Hasil Uji Chi Kuadrat kejadian postpartum blues pada kelompok

persalinan normal dan seksio sesarea... 53

Tabel 4.10.Uji Sample t Test kadar kortisol dengan kejadian postpartum

blues... 56

Tabel 4.11.Analisis regresi logistik tentang hubungan antara kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues pada persalinan normal dan

seksio sesarea... 54 commit to user


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Dampak dari stres pembedahan terhadap sistem tubuh dan

pengaruhnya terhadap penyembuhan luka operasi... 12 Gambar 2.2. Regulasi neurohormonal pada perempuan hamil... 15 Gambar 2.3. Kehamilan dan pengaruhnya terhadap HPA-axis... 18 Gambar 2.4. Peningkatan plasma cortisol dan ACTH selama kehamilan

normal... 19 Gambar 2.5. Mekanisme umpan balik kadar kortisol terhadap hipotalamus dan hipofisis

anterior... 20

Gambar 2.6.Mekanisme interaksi psikoimmunologi dalam sistem tubuh

manusia... 23

Gambar 2.7. Gambaran kurva unshaped pada disregulasi HPA-axis... 26 Gambar 2.8. Hubungan respon immun-HPA –axis dalam suasana yang

normal... 28 Gambar 2.9. Adanya rangsangan yang kronis menyebabkan disregulasi

HPA-axis dan berakibat terjadinya depresi postpartum... 28 Gambar 4.1. Distribusi Kadar Kortisol Subyek Penelitian... 49 Gambar 4.2. Distribusi Rerata Kadar Kortisol Pada Persalinan Normal dan Sekso

Sesarea... 51


(15)

DAFTAR SINGKATAN

ACOG : American Collage Obstetric and Gynecology

ACTH : AdrenoCortico Trophic Hormone

CBG : Corticosteroid Binding Globulin

CNS : central nervus system

CRF : Cortikotropin Releasing Factor

CRH : Cortico Trophic Releasing Hormone

DHEA : Dehidroepiandrosterone

DPP : depresi post partum

GA : General Anesthesia

HPA : Hypothalamic- Pytuitary -Adrenal

IL : inter leucine

INF : Interferon

L-MMPI : Lie Scale Mnnesota Multiphasic Personality Inventory

PND : Postnatal Depresion

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

TNF : Tumor necroting Factor

UFC : urine free cortisol


(16)

ABSTRAK

Poncoroso1, NIM S 500809011, 2013, Hubungan kadar kortisol Dengan kejadian postpartum

blues Pada persalinan dengan seksio sesarea, TESIS, Soetrisno2, Supriyadi Hari Respati2. Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang: Intervensi dalam persalinan, seperti persalinan dengan seksio sesarea

meningkatkan stress postpartum. Keadaan ini sebagai akibat dari stres psikologis ibu, reaksi terhadap agen anestesi dan raksi inflamasi dari daerah insisi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya rangsangan pada hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA-axis) dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol, dengan dampak meningkatnya kejadian postpartum blues.

Tujuan penelitian: Untuk mengetahui adanya hubungan kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues pada persalinan dengan seksio sesarea.

Metode penelitian: suatu observasional analitik dengan desain penelitian cohort prospektive. Variabel bebas adalah kadar kortisol dan variable tergantung postpartum blues. Analisas tatistik dengan uji-t dan uji Chi kuadrat.

Hasil: dari 30 subyek penelitian, dibagi dalam 2 kelompok (persalinan normal dan persalinan

dengan seksio sesarea) dan setiap kelompok 15 subjek. Nilai mean kadar kortisol pada persalinan seksio sesarea 31,27±11,72, dan persalinan normal 35,17±11,28, p=0,36 (> 0,05). Kadar kortisol pada postpartum blues didapatkan nilai mean lebih tinggi 45,80 + 10,08 dibandingkan dengan nilai mean yang tidak postpartum blues sebesar 30,72 + 8,06, dengan nilai p <0,05 (p=0,00). Kejadian postpartum blues didapatkan angka yang lebih tinggi pada ibu yang menjalani persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan persalinan normal (p=0,06;CI 95%:0,87-18,25; OR:4,00).

Kesimpulan: ada hubungan rerata kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues pada persalinan dengan seksio sesarea.

Kata kunci: Kortisol, Postpartum blues , seksio sesarea

Korespondensi: Poncoroso, Telephone: 082134399969 Email: dr.ponco@gmail.co commit to user


(17)

17 ABSTRACT

Poncoroso1, NIM NIM S 500809011, 2013. The Correlation between the Cortisol Level and

the Episode of postpartum blues in Cesarean Section. THESIS, Soetrisno2, Supriyadi Hari

Respati2. The Graduate Program in Family Medicine, the Core Interest in Biomedics

Sebelas Maret University, Surakarta.

Background: Intervention in labor such as cesarean section (c-section) increases postpartum

stress. This is due to the psychological stress experienced by the women as a reaction to anesthetic agent and inflammatory reaction of the incision area. This will bring about stimulus to the hypothalamus-hypophysis-adrenal axis (HPA-axis) with the impact of increasing ACTH secretion by anterior hypophysis, and the adrenal cortex will be stimulated to secrete cortisol, resulting in the increasing episode of postpartum blues.

Objective: The objective of this research is to investigate the correlation between the cortisol

level and the episode of postpartum blues in the c-section labor.

Method: This research used the observational analytical research method with the prospective

cohort design. The independent and dependent variables of the research were cartisol level and the episode of postpartum blues respectively. The data of the research were statistically analyzed by using the t test and Chi Square test.

Result: Of 30 subjects of the research, they were divided into two groups (normal labor group

c-section labor group), each 15 subjects. The value of the cortisol level in the c-c-section labor group was 31.27±11.72, and that of the cortisol level in the normal labor group was 35.17±11.28 with the p value = 0.36 (> 0.05). The mean score of the cortisol level in the labor with the episode of postpartum blues = 45.80 + 10.08 was higher than that of the cortisol level in the labor without the episode of postpartum blues = 30.72 + 8.06, with the p value <0,05 (p=0.00). The episode of postpartum blues was found higher in the c-section labor group than in the normal labor group (p=0.06;CI 95%:0,87-18.25; OR:4.00).

Conclusion: There is a correlation between the mean score of the cortisol level and the episode

of postpartum blues in the c-section labor.

Keywords: Cortisol, Postpartum blues, cesarean section

Correspondence: Poncoroso, Telephone: 082134399969 Email: dr.ponco@gmail.com


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Postpartum blues adalah perasaan sedih dan cemas yang timbul segera, biasanya dua atau tiga hari dan hilang dalam waktu satu atau dua minggu pasca persalinan. Perasaan lain yang sering dirasakan ibu pasca persalinan adalah rasa khawatir, cepat marah dan menangis tanpa alasan yang jelas, gangguan tidur (isomnia) dan makan serta merasa ragu akan dapat mengurus bayinya dengan baik. Mereka juga merasakan ketidaksenangan pada bayi dan pasangannya serta kebanyakan anak kecil disekitarnya (Jhon 2005, American Collage Obstetri and Gynecology (ACOG) 2008, Elizabeth 2008). Apabila gejala tersebut masih bertahan dalam beberapa minggu bahkan memberat atau persisten, sehingga akan timbul depresi post partum, sebaiknya hal ini harus dilakukan penanganan yang adekuat, mengingat dampak jangka panjang yang buruk bagi ibu dan perkembangan anak (ACOG 2008).

Gejala postpartum blues terjadi sekitar 50% dari perempuan pasca melahirkan, dimana 20-30% terjadi pada perempuan tanpa adanya riwayat depresi mayor sebelum kehamilan, dan dapat berlanjut sampai dengan 6 bulan postpartum (Fatimah 2009, Kathryn 2008).

Faktor predisposisi terjadinya postpartum blues sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab postpartum blues adalah pernikahan yang tidak bahagia, masalah sosial yang didapat dalam tahun terakhir sebelum kehamilan, dukungan sosial yang

18


(19)

kurang dari orang terdekat dan kekhawatiran saat persalinan dan pasca persalinan (Kathryn 2010).

Beberapa hipotesis terakhir menghubungkan terjadinya postpartum blues dengan gangguan pada sistem neuroendokrin. Sebagian besar peneliti memfokuskan kepada perubahan hormon estradiol dan progesterone sebagai parameter neuroendokrin terjadinya postpartum blues, dan hanya sedikit penelitian yang menghubungkan peningkatan kortisol dengan terjadinya postpartum blues (Nierop 2006).

Metode persalinan merupakan suatu kondisi yang dapat memicu terjadinya peningkatan HPA-aksis dan berdampak pada pelepasan kortisol oleh korteks adrenal. Persalinan normal maupun persalinan dengan tindakan memiliki tingkat stresor yang berbeda dan menyebabkan respon yang berbeda pula terhadap reaktivitas dari HPA-aksis (Gunther 2010).

Diana (2012) dalam penelitiannya mengatakan bahwa persalinan dengan tindakan pembedahan khususnya seksio sesarea secara umum menyebabkan tingkat stres yang tinggi, hal ini karena rasa takut yang berlebihan akan tindakan tersebut. Ketakutan dari pasien dapat menimbulkan stres yang meningkat, bukan hanya berasal dari pembedahan, melainkan juga terjadi akibat pengaruh obat anetesi, ruang operasi, peralatan operasi, serta nyeri daerah insisi, infeksi dan reaksi inflamasi pasca operasi. Stresor pembedahan ini akan dapat menimbulkan reaksi berupa postpartum blues.

Proses terjadinya postpartum blues akibat stresor pembedahan seksio sesarea sampai saat ini belum dapat dijelaskan secara detail, kususnya secara


(20)

biomolekuler dan hormonal. Pada penelitian ini bertujuan menjelaskan secara

biomolekuler/hormonal terjadinya postpartum blues pada tindakan

pembedahan secara seksio sesarea (Selimuzzaman 2007).

Seksio sesarea merupakan suatu keadaan yang menyebabkan terjadinya stress maternal, melalui beberapa mekanisme. Stres psikis dari ibu, yang berupa ketakutan akan menjadi berlebihan bila persalinanya diakhiri dengan seksio sesarea. Hal ini akan menyebabkan terjadinya rangsangan pada hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA-axis) dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol, dengan dampak meningkatnya kejadian postpartum blues (Elizabeth 2008, Lisa 2012, Mary 2012).

Jhon (2005) menemukan mekanisme lain terjadinya postpartum blues. Proses pembiusan memberikan reaksi immunologi berupa supresi terhadap sistem immune. Sistem immune ini akan mengaktivasi sitokin proinflamasi. Peningkatan dan pengeluaran sitokin proinflamsi ini akan menyebabkan disregulasi dari HPA-axis dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol.

Aggo (2012) juga menemukan dalam penelitianya bahwa insisi pada organ tubuh akan mengakibatkan terjadinya reaksi inflamasi, dimana keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya supresi sistem immune yang akan mengaktivasi sitokin proinflamasi melepaskan mediator inflamasi, sehingga terjadi disregulasi HPA-axis. Selain itu, insisi akan menyebabkan sekresi


(21)

endorphine yang dapat menyebabkan perangsangan pada aktivitas HPA-axis dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol.

Pada tulisan ini akan diamati kadar kortisol ibu melahirkan secara pembedahan seksio sesarea dibandingkan dengan persalinan normal. Dari hasil tulisan ini diharapkan bahwa kadar kortisol dapat dipakai sebagai prediktor terjadinya postpartum blues.

B. Rumusan Masalah

“Apakah ada hubungan antara kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues pada persalinan dengan seksio sesarea?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan peningkatan kadar kortisol serum ibu yang menjalani persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan normal serta mengetahui apakah kadar kortisol bisa dipakai sebagai prediktor terjadinya postpartum blues. 2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kadar kortisol pada ibu yang menjalani persalinan dengan seksio sesarea

b. Mengetahui kadar kortisol pada ibu yang menjalani persalinan normal.

c. Mengetahui adanya perbedaan kadar kortisol pada ibu yang bersalin secara seksio sesarea dan normal

d. Mengetahui hubungan peningkatan kadar kortisol dengan terjadinya postpartum blues

e. Mengetahui apakah kadar kortisol serum dapat dipakai sebagai prediktor terjadinya postpartum blues.


(22)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang Obstetri dan Ginekologi kususnya hubungan antara kortisol dan terjadinya pospartum blues pada ibu yang menjalani persalinan dengan seksio sesarea.

2. Manfaat praktis

a. Memberikan informasi bagi teman sejawat dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi dan dokter keluarga tentang hubungan kadar kortisol serum dan postpartum blues, sehingga bisa mengenali, memahami timbulnya stres akibat kehamilan dan persalinan. Dengan demikian bisa melakukan upaya-upaya pencegahan terjadinya postpartum blues, serta terjadinya gangguan yang lebih berat depresi postpartum yang berdampak pada kesehatan ibu dan bayi.

b. Memberikan informasi kepada masyarakat kususnya calon ibu untuk bersikap realistis terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan dan persalinan sehingga pada waktunya tidak timbul stress psikologis dengan dampak yang tidak menguntungkan. c. Memberikan informasi bagi suami dan keluarga dekat untuk lebih

memperhatikan kesehatan psikologis ibu hamil dan melahirkan

sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya gangguan

emosional.


(23)

d. Memberikan informasi bagi pihak penyedia layanan kesehatan untuk lebih memperhatikan kesehatan psikologis ibu hamil dan melahirkan.

e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber referensi dan kerangka pikir bagi penelitian selanjutnya dengan mempertimbangkan kesesuaian konteks penelitian.

E. Keaslian penelitian

Tabel. 1.1 Penelitian postpartum blues dan depresi postpartum yang pernah dilakukan

No Nama

peneliti & tahun

Judul Hasil Perbedaan dengan

penelitian kami

1. Gunther M,

2006

Maternal cortisol in late pregnancy and

hypothalamic–pituitary– adrenal reactivity to psychosocial stress postpartum in women

Reaktivitas HPA-axis selama kehamilan berhubungan dengan resposnsivitas HPA sebagai penyebab depresi post partum

Pemeriksaan kadar kortisol pada

penelitian ini terbatas pada kehamilan postdate dan

dampaknya pada stres postpartum

2. Neirop A,

2006

Are Stress-Induced Cortisol Changes During Pregnancy Associated With

Postpartum Depressive Symptoms?

Wanita sehat yang mengalami depresi postpartum dapat diidentifikasi selama kehamilan dengan tingginya reaktivitas dari kortisol dan tingginya reaktifitas terhadap stresor Pemrikasaan kadar kortisol dilakukan tanpa adanya intervensi dan hanya mencari dampak dari peningkatan kadar kortisol selama kehamilan terhadap terjadinya depresi postpartum. 3. Sarah L,

2006

Disturbance in morning cortisol secretion in associated maternal postnatal depression predict subsequent depresive symptomatology in adolescents Perubahan sekresi dari hormon steroid berhubungan dengan depresi postnatal yang juga berdampak pada keturunanya

Pengambilan sampel kortisol melalui saliva


(24)

4. Selimuzzam a, 2007

Effect of surgical stress on serum cortisol level: A comparative study between elective and emergency surgeri

Operasi emergency memberikan stres yang lebih tinggi ditunjukan dengan meningkatnya kadar kosrtisol plasme

Serum kortisol yang diperiksa bukan pada wanita hamil, namun pada semua operasi emergency dan elektive

5. Ilona 2009 Risk of postpartum depressive symptoms with elevated

Corticotropin-Realisisng Hormone in Human Pregnancy

Plasma CRH spesifik untuk deteksi dini mengetahuai risiko depresi post partum

Parameter hormon yang dipakai adalah CRH

6. Fatimah S, 2009

Hubungan dukungan suami dengan kejadian postpartum blues pada ibu primipara Dukungan suami memiliki peran dalam pencegahan terhadap kejadian postpartum blues pada primipara

Studi ini tidak melakukan

pemeriksaan secara hormonal.


(25)

BAB II TINJAUAN TEORI

A.Kajian Teori 1. Seksio sesarea

Angka kejadian seksio sesarean bervariasi sangat besar. Di Amerika Serikat sekitar 23 % sedang di Belanda 9%. Kenaikan angka seksio di Amerika disertai dengan penurunan angka kematian perinatal. Tetapi di Dublin walaupun angka seksio tetap rendah (kurang dari 5 %) ternyata juga disertai penurunan angka kematian perinatal yang mencapai tinggi yang sama seperti di Amerika. Morbiditas maternal pada seksio lebih tinggi dibandingkan persalinan pervaginam misalnya infeksi saluran kemih, endometritis, perdarahan, anemia, transfusi darah, dan thromboemboli (Cuningham 2010).

Indikasi untuk seksio sesarea yang umum adalah plasenta previa, disproporsi sefalo-pelvik, preeklampsia berat, eklampsia, gawat janin, letak lintang, prolapsus tali pusat, makrosomia dan lain lain. Adanya tali pusat sekitar leher yang dapat diketahui dengan pemeriksaan ultrasonografi bukan merupakan indikasi untuk seksio sesarea (Cuningham 2010)

Gawat janin atas dasar kardiotokografi dan auskultasi intermiten sering kurang memadai karena tingginya “false postive” dan juga karena interpretasi yang berbeda. Lebih baik dengan pengukuran “fetal blood

25


(26)

sampling” tetapi tidak semua fasilitas mampu menyediakan “fetal blood

sampling” yang memang lebih tepat.

d. Psikoneuroimunologi respon pada persalinan dengan seksio sesarea

Respon stres pada pembedahan mayor mempunyai karakteristik pada peningkatan sekresi hormon pada hipofisis dan aktivasi dari sistem syaraf simpatetic. Perubahan pada seksresi hormon hipofisis memiliki efek sekunder pada organ target. Sebagai contoh, sekresi dari ACTH oleh hipofisis anterior akan memacu pelepasan kortisol oleh korteks adrenal, arginin vasopresin yang diproduksi oleh hipofisis anterior memiliki efek terhadap ginjal. Secara keseluruhan efek dari perubahan sekresi hormon tersebut akan menyebabkan peningkatan katabolisme dengan mobilisasi substrat penghasil energi, dan terjadinya retensi natrium dan cairan yang berdampak pada beban kardiovaskuler (Kim 2010).

e. Respon stres psikologis pasien yang menjalani pembedahan

Pembedahan merupakan suatu kondisi yang ditakutkan oleh sebagian besar pasien. Masih ada anggapan jika pembedahan memiliki risiko yang besar sampai terjadinya kematian. Keadaan ini menimbulkan suatu respon tubuh berupa stres yang berlebihan. Stres sebelum pembedahan saat ini telah menjadi fokus perhatian terutama bagi anesthesiologi dan obstetrican, mengingat dampak negatif dari adanya respons tubuh terhadap stres yang ditimbulkan sebelum pembedahan (Deborah 2012).


(27)

Tabel 2.1. Perubahan hormon selama pembedahan (Desborough 2009)

Stres yang terjadi sebelum pembedahan sudah dapat menyebabkan perubahan pada psikoneuroimunologi pasien yang akan berdampak pada perlambatan dari penyembuhan luka operasi. Stres yang terjadi bila tidak ditangani secara baik, akan berakibat terjadinya gangguan pada regulasi HPA-axis, dimana keadaan ini akan merangsang korteks adrenal mensekresi kortisol akibat meningkatnya produksi ACTH dari hipofisis anterior (Desborough 2009, Deborah 2012).

Peran dari psikosuportif pre operatif dapat menurunkan tingkat stres pada perempuan yang akan menjalani persalinan dengan seksio sesarea. Hal ini sangat positif, karena memberika suatu ketenangan, dan menurunkan tingkat stres ibu sebelun dilakukanya tindakan seksio sesarea.

f.Respon stres dari tindakan anesthesi dan pembedahan

Kunci utama yang menjadi tujuan anestesi modern adalah outcome operasi yang baik. Tujuan anestesi modern saat ini mengacu kepada commit to user


(28)

kenyamanan pasien selama menjalani pembedahan. Dalam perkembangan terakhir, dengan diketahuinya patofisiologi terjadinya penyakit, maka temuan-temuan tentang metode anestesi yang aman juga terus berkembang (Aggo 2012).

Respon stres dari pengaruh tindakan anestesi akan berakibat terjadinya sekresi dari anabolik dan katabolik hormon yang berakibat terjadinya hipermetabolisme, dengan adanya percepatan dari reaksi biologi. Mengingat besarnya stres yang diterima tubuh akibat pengaruh stres psikologis dan stres pembedahan, diharapkan tindakan anestesi tidak menyumbang stres yang lebih tinggi dari proses pembedahan. Epidural analgesia dapat mengurangi komplikasi infeksi dengan mengurangi penekanan limfosit, mengurangi penekanan pada sitokin proinflamasi, dan lebih memeberikan rasa nyaman bagi pasien sehingga mengurangi tingkat stres selama pembedahan.

Anestesi umum disertai dengan stres bedah dianggap sebagai faktor terbesar dalam mensupresi sistem imun saat pembedahan, hal ini diduga karena GA disertai dengan proses pembedahandapat langsung mempengaruhi sistem kekebalan tubuh atau mengaktifkan hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) axis dan sistem saraf simpatik. Sitokin proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, dan tumor necrosis factor (TNF)-dari monosit dan makrofag dan limfosit diaktifkan karena reaksi inflamasi daerah incisi dan akan berakibat terjadinya disregulasi dari HPA-axis. Interleukin-6 (IL-6) merupakan mediator penting dari respon fase akut


(29)

dan penanda sensitif kerusakan jaringan (Manorama 2003, Aggo 2012). Tindakan pembedahan akan merangsang pelepasan hormon seperti katekolamin (norepinefrin dan epinefrin), adrenokortikotropik hormone (ACTH) dan kortisol melalui rangsang pada saraf otonom dan HPA-axis yang berdampak pada supresi sistem imun tubuh.

Gambar 2.1. Dampak dari stres pembedahan terhadap sistem tubuh

dan pengaruhnya terhadap penyembuhan luka operasi (Manorama 2003).

2. Post partum blues a. Definisi

Postpartum blues adalah perasaan sedih dan depresi segera setelah persalinan, dengan gejala dimulai dua atau tiga hari pasca persalinan


(30)

dan biasanya hilang dalam waktu satu atau dua minggu (Kathryn 2010).

b. Teori

Postpartum blues adalah suatu tingkat keadaan depresi bersifat sementara yang dialami oleh kebanyakan ibu yang baru melahirkan karena perubahan tingkat hormon, tanggung jawab baru akibat perluasan keluarga dan pengasuhan terhadap bayi. Keadaan ini biasanya muncul antara hari ke-tiga hingga ke-sepuluh pasca persalinan, seringkali setelah pasien keluar dari rumah sakit. Apabila gejala ini berlanjut lebih dari dua minggu, maka dapat menjadi tanda terjadinya gangguan depresi yang lebih berat, ataupun psikosis postpartum dan tidak boleh diabaikan (Elizabeth 2008, Michael 2008, Mary 2012).

Periode postpartum adalah periode waktu yang muncul sesegera setelah seorang perempuan melahirkan hingga 52 minggu. Ciri-ciri postpartum blues menurut Young dan Ehrhardt diantaranya: (Mary 2012), pola tidur yang tidak teratur karena kebutuhan bayi yang baru dilahirkannya, ketidaknyamanan karena kelahiran anak, dan perasaan asing terhadap lingkungan tempat bersalin, kehilangan kontrol terhadap kehidupannya karena ketergantungan bayi yang baru dilahirkannya, perubahan keadaan dan suasana hati ibu yang bergantian dan sulit diprediksi seperti menangis, kelelahan, mudah tersinggung, kadang-kadang mengalami kebingungan ringan atau mudah lupa, merasa


(31)

kesepian, jauh dari keluarga, menyalahkan diri sendiri karena suasana hati yang terus berubah.

Berdasarkan beberapa faktor yang dikemukakan oleh ahli-ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya postpartum blues dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok (Elizabeth 2008, Mary 2012).

Faktor yang diduga terjadinya postpartum blues termasuk faktor bilogis, yang mencakup faktor hormonal, yaitu terjadinya perubahan kadar sejumlah hormon dalam tubuh ibu pasca persalinan secara tiba-tiba dalam jumlah yang besar, yaitu progesteron, estrogen, kelenjar tiroid, endorfin, estradiol, cortisol, dan prolaktin yang menimbulkan reaksi afektif tertentu.

Faktor lainya adalah faktor kelelahan fisik, yaitu kelelahan fisik akibat proses persalinan yang baru dilaluinya, dehidrasi, kehilangan banyak darah, atau faktor fisik lain yang dapat menurunkan stamina ibu.

Postpartum blues merupakan gejala awal atau gejala ringan dari depresi post partum. American Collage of obstetric and Gynecology merekomendasikan dilakukanya sreening pada perempuan post partum yang memiliki faktor risiko terjadinya depresi post partum seperti tersebut diatas (ACOG 2008).


(32)

3. Perubahan neuroendokrin pada kehamilan

Pada kehamilan, akan terjadi keseimbangan interaksi hormonal antara fetus/placenta dan ibu yang akan mengontrol proses kehamilan baik terhadap perkembangan janin, maupun terhadap ibu sampai proses persalinan terjadi (Messiano, 2009, Kathryn 2010).

Gambar 2.2. Regulasi neurohormonal pada perempuan hamil (Messiano

2009)

Plasenta merupakan organ yang berperan besar dalam menjaga stabilisasi status hormonal maternal amaupun fetal. Hormon plasenta mendominasi lingkungan endokrin manusia selama kehamilan. Placenta merupakan organ yang sangat luar biasa, karena tidak hanya sebagai sarana penyalur nutrisi dari ibu ke janin, pertukaran gas, dan ekskresi bagi janin, juga merupakan organ endokrin utama, memproduksi sejumlah besar protein (termasuk sitokin dan faktor pertumbuhan) dan hormon steroid,


(33)

yang dikeluarkan dalam jumlah besar terutama ke dalam sirkulasi maternal (Messiano, 2009).

Sebagian besar hormon yang diproduksi oleh placenta adalah sama seperti hormon yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar yang memproduksi hormon pada perempuan dewasa yang tidak hamil. Dalam hal ini, placenta juga berperan dalam mengatur aktivitas dari Hipotalamus-pituitary axis, dimana axis ini sangat berperan dalam mekanisme terjadinya stres pada ibu hamil bila terjadi ketidakstabilan (Rusmawan 2005, Messiano, 2009).

Adanya peran dari plasenta yang sedemikian besar sebagai organ yang mensekresi hampir semua hormon yang diproduksi oleh perempuan dewasa normal, termasuk stres hormon, menyebabkan konsentrasi hormon-hormon tersebut meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi maternal. Namun, keadaan ini umumnya menimbulkan pengaruh yang tidak terlalu besar terhadap perubahan sistemik dari tubuh maternal (Messiano, 2009).

Perbedaan respon tubuh maternal terhadap perubahan besar yang terjadi selama kehamilan, menimbulkan gejala yang bervariasi. Hal ini sangat tergantung dari faktor-faktor luar yang berperan dalam timbulnya respon tubuh terhadap perubahan tersebut.

Stres pada kehamilan, persalinan dan pasca persalinan sering dihubungkan dengan proses perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan. Namun, 20% perempuan yang mengalami stres kehamilan, persalinan dan pasca persalinan umumnya memiliki riwayat atau faktor


(34)

risiko yang kurang menyenangkan sebelum atau saat kehamilan terjadi (Kathryn 2010).

Tabel 2.2. Hormon-hormon yang diproduksi placenta (Messiano, 2009) Neuropeptides Pituitary-like

hormons

Steroid hormons Monoamines and adrenal-like peptides

CRH ACTH Progeterone Epinephrine

TRH TSH Estradiol Norepinephrine

GnRH GH Estrone Dopamine

Melatonin PL Estrol Serotonine

Cholecystokinin CG Estetrol Adrenomedullin

Met-enkephalin LH 2-methoxyestradiol

Dynorpine FSH Allopregnanolone

Neurotesin Β-endorphin Pregnenolone

VIP Prolactin 5α

-dihydroprogesterone

Galanin Oxytocin

Somatostatin Leptin

CGRP Activin

Neuropeptide Y Follistatin

Substance P Inhibin

Endothelin ANP Renin Angiotensin Urocortin

a. Hypotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis selama kehamilan

Kehamilan pada mamalia, secara nyata akan berefek pada HPA-axis. Peningkatan produksi estrogen placenta akan merangsang produksi corticosteroid –binding globulin (CBG), dimana situasi ini akan menstimulasi produksi kortisol dan akan meningkatkan cortisol terikat dalam sirkulasi maternal. Kadar ACTH juga meningkat sejalan dengan peningkatan kortisol. Peningkatan hormone-hormon ini belum jelas, namun diduga karena adanya aktifitas dari plasenta yang akan


(35)

memproduksi biologi aktif dari CRH dan ACTH, desinsitasi dari mekanisme umpan balik pituitary terhadap kadar kortisol atau peningkatan respon dari pituitary terhadap corticotropin realisisng factor (CRF), seperti vasopressin dan CRH (Jhon, 2005, Sarah 2007). Kondisi ini lah yang mendasari konteks terjadinya supresi HPA-axis pada kehamilan.

Gambar 2.3. Kehamilan dan pengaruhnya terhadap HPA-axis

(Messiano 2009)

Kehamilan dihubungkan dengan fungsi dari HPA-axis, dan dibuktikan dengan peningkatan eksresi cortisol bebas urine (UFC), plasma 17-hydroxysteroids (17-hydroxycorticosteroid), total dan cortisol bebas plasma dan angka CBG selama kehamilan (Jhon, 2005). Hal ini diasumsikan sebagai akibat dari produksi estrogen plasenta yang akan menstimulasi produksi CBG dari liver dan peningkatan ini akan berlanjut sampai dengan hari ke 12 post partum. (Jhon, 2005). Situasi dimana kadar kortisol menurun ternyata berhubungan dengan commit to user


(36)

peningkatan CBG. Penurunan cortisol ini akan memberikan umpan balik negative terhadap pusat hipotalamus-hipofisis dan akan merangsang hipofisis melepaskan ACTH sehingga kadar normal dari kortisol plasma tetap terjaga. Secara fisiologis, kadar cortisol akan meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan dengan perempuan sehat tidak hamil (Jhon 2005, Illona 2009).

Gambar 2.4.Peningkatan plasma cortisol dan ACTH selama kehamilan

normal (Jhon, 2005).

Regulasi dari HPA-axis dipengaruhi oleh stimulasi ACTH oleh sekresi kortisol. Hal ini sudah diteliti sejak tahun 1955 bahwa pada kehamilan lanjut, glandula adrenal lebih responsive terhadap kadar ACTH dibandingkan dengan perempuan yang tidak hamil.

Dalam kondisi stres, hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) dikontrol oleh suatu regulasi dengan down-regulasi control atau umpan balik negatif. Corticotropin-releasing factor (CRF) hipersekresi dari hipotalamus akan menginduksi pelepasan hormon adrenocorticotropin


(37)

(ACTH) dari hipofisis. ACTH berinteraksi dengan reseptor pada sel adrenocortical dan kortisol dilepaskan dari kelenjar adrenal. Keadaan ini juga mengakibatkan hipertrofi kelenjar adrenal. Pelepasan kortisol ke dalam sirkulasi memiliki sejumlah efek, termasuk efek metabolik (peningkatan kadar glukosa darah). Umpan balik negatif kortisol ke hipotalamus, hipofisis dan sistem kekebalan akan terjadi bila kadar cortisol plasma meningkat. Hal ini menyebabkan aktivasi terus-menerus dari HPA-axis dan pelepasan kortisol oleh korteks adrenal terus terjadi yang menyebabkan kadar kortisol plasma selalu tinggi. Reseptor kortisol menjadi peka menyebabkan peningkatan aktivitas mediator

kekebalan pro-inflamasi dan gangguan dalam transmisi

neurotransmitter (Jessica 2005).

Gambar 2.5. Mekanisme umpan balik kadar kortisol terhadap hipotalamus dan hipofisis anterior (Jessica 2005).


(38)

Pada saat persalinan, CRH plasma dan ACTH serta kortisol plasma meningkat beberapa kali lipat ketika dimulainya onset persalinan sampai dengan kelahiran. Persalinan dan kelahiran merupakan sutu fase stres akut dimana saat ini terjadi peningkatan ACTH sampai 10 kali lipat dibandingkan perempuan sehat tidak hamil. Dalam suatu penelitian, persalinan pervaginam dihubungkan dengan kadar kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan seksio sesarea.

Dalam penelitian lanjutan, kadar ACTH, -endorpin dan -lipotropin didapatkan lebih tinggi pada persalinan pervaginam dibandingkan dengan persalinan seksio sesarea. Namun, bila dibandingkan dengan perempuan tidak hamil, peningkatan kadar cortisol pada persalinan dengan seksio sesarea didapatkan angka yang lebih tinggi (Jhon, 2005).

b. Psikoneuroimunologi dan depresi post partum (DPP)

Kelahiran bayi, hampir selalu merupakan saat-saat yang paling membahagiakan. Namun, pada ibu-ibu baru, kedatangan seorang bayi dapat merupakan suatu stresor tersendiri yang dapat menyebabkan gangguan depresi post partum. Dalam laporan terakhir, angka kejadian depresi post partum didapatkan sekitar 15-20% perempuan pada tahun pertama setelah melahirkan (Elizabeth 2008, Mary 2012). Gejala ringan dari depresi post partum ditunjukan dengan gejala-gejala yang disebut

post partum blues atau “baby blues” syndrome. Dalam perkembanganya, partum blues atau “baby blues” syndrome dapat berkembang menjadi periode yang lebih berat dan sampai jatuh kepada


(39)

depresi post partum atau sampai kepada psikosis post partum. Keadaan ini sangat berdampak biruk bagi ibu maupun perkembangan janin.

Penemuan penting dari penelitian psikoneuroimunologi adalah untuk mengungkapkan berbagai cara bahwa perilaku dan kesehatan adalah saling berkaitan, dengan fokus pada mekanisme imunologi yang

mendasari interaksi ini. Penelitian pada mekanisme

psikoneuroimunologi manusia telah menunjukkan bahwa proses imunoregulator merupakan bagian integral dari jaringan kompleks respon adaptif. Dengan demikian, interaksi dari sistem psikoimunologi menentukan hubungan antara perilaku dan kekebalan, untuk mengidentifikasi hubungan mekanisme HPA-axis dan hipotalamus-pituitari dan hubunganya dengan sistem saraf pusat dan respon imun, untuk memeriksa implikasi klinis perubahan imun selama depresi atau stres dan untuk mengetahui mekanisme pertahanan manusia dalam menerima stresor dari dalam maupun dari luar tubuh. (Mary 2012). Dalam kehamilan, psikoimunologi yang menjadi fokus pengamatan adalah hubungan antara kemampuan dari sistim imun bawaan dan HPA-axis.

c. Sisitem imun bawaan

Respon sisitem imun bawaan di stimulasi oleh adanya infeksi, cedera, keganasan, penyakit auto imun dan stres. Respon sistem imun merupakan sutu kesatuan sintesis dan pengeluaran sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi. Sitokin pro inflamasi termasuk didalamnya:


(40)

interleukin-1-beta (IL-1- ), IL-2, IL-6, tumor necroting factor-alfa (INF-α), interferon-alfa (IFN-α) dan interferon-gama (INF- ), merupakan protein yang dilepaskan oleh sel-sel darah putih sebagai respon inflamasi terhadap kondisi-kondisi di atas. Pelepasan dari sitokin pro inflamasi mengakibatkan gejala tubuh antara lain: demam, frekuensi tidur yang meningkat, penurunan aktivitas, kelelahan, menurunya nafsu makan, gangguan aktivitas sexual, penurunan mood (Mary 2012).

Gambar 2.6. Mekanisme interaksi psikoimunologi dalam sistem tubuh manusia (Mary 2008).

Penelitian menunjukan bahwa berlangsung lamanya atau dan meningkatnya intensitas aktivasi dari respon imun pro inflamasi dapat merupakan suatu mekanisme timbulnya depresi pada manusia. Para klinisi mendapatkan bahwa konsentrasi pro inflamasi sebesar


(41)

nanomollar pada pasien kanker, hepatitis C atau penyakit lainya disertai dengan gejala-gejala depresi. Pada individu dengan gejala depresi, pro inflamasi, termasuk: IL-1 , IL-6, TNF-α didapatkan kadarnya meningkat (Mary 2012).

d. HPA-axis

HPA-axis memiliki efek yang luas pada system imune, metabolism dan fungsi reproduksi. Hal ini berhubungan dengan sekresi diurnal dari hormone kortisol dan adanya lonjakan sekresi bila adanya stimulasi dari lingkungan sekitar. Sekresi kortisol adalah produk akhir dalam jalur HPA-axis yang diawali dengan adanya rangsangan stressor yang menyebabkan pelepasan hormon corticotrophin-realising hormon (CRH) dari hipotalamus. CRH merangsang sekresi hormon adrenocorticotrophin (ACTH) dari hipofisis anterior, yang berfungsi sebagai stimulus untuk sekresi kortisol oleh korteks adrenal. Fungsi dari HPA-axis diatur oleh adanya mekanisme umpan balik negatif. Pengendalian aktivitas HPA-axis sangat penting dalam melindungi organisme dari katabolik, lipogenic, antireproductive, dan efek imunosupresif dari paparan glukokortikoid (Jesica 2005, Mary 2012).

Ketika terjadi perubahan lingkungan atau paparan stress, termasuk kehamilan dan kelahiran terutama pada primigravida, HPA-axis akan mengalami raktivitas dan dengan hasil akhir produksi kortisol akan meningkat, menyebabkan peningkatan kadar plasma kortisol. Respons kewaspadaan tubuh terhadap stress ini diikuti dengan meningkatnya


(42)

konsumsi energy melalui proses glukoneogenesis, disertai dengan penekanan hamper semua system imune tubuh, termasuk produksi sitokin pro inflamasi (Jesica 2005, Mary 2012).

Reaktivitas HPA-axis ini biasanya kembali ke ritme basal dalam beberapa jam setelah paparan stress. Tetapi, jika paparan kronis berlanjut, akan terjadi disregulasi dan akan menimbulkan pola yang hiperaktif atau hipoaktif (Mary 2012).

e. Disregulasi HPA-axis

Chrousos dan Gold dalam hipotesisnya menyatakan bahwa disregulasi fungsi dari HPA-axis memiliki karakteristik dengan gambaran unshaped curve dari hubungan kadar kortisol dengan tingkat paparan stress. Gambaran puncak kurva adalah situasi dimana terjadi puncak stress dengan gejala yang mungkin timbul adalah depresi, disphoria, ancaman bunuh diri dan semua gejala neurovegetatif yang mungkin timbul bila terjadi stress (Jesica 2005, Mary 2012).

Secara klinis hiperaktifitas respon terhadap stress dihubungkan dengan mereka yang bertipe kepribadian melankolic, anoreksia nervosa, paparan trauma stress saat masa anak-anak, dan salah asuhan pada masa anak-anak. Sementara hipoaktifitas dari respons stress berhubungan dengan tipe depresi yang atipikal, penderita rematoid arthritis, fibromyalgia, dan gangguan kelelahan kronis. Chrousos memasukan perkembangan stress post partum kedalam kelompok ini (Mary 2012).


(43)

Gambar 2.7. Gambaran kurva unshaped pada disregulasi HPA-axis

(Mary 2012)

f. Hubungan sistem imune bawaan dan HPA-axis

Ada hubungan dua arah yang terdokumentasi dengan baik antara respon imun bawaan dan HPA axis. IL-1, IL-2, IL-6, dan TNF-α merangsang sekresi kortisol, langsung dengan mempengaruhi sel-sel dari korteks adrenal dan secara tidak langsung melalui stimulasi CRH dari hipotalamus dan ACTH dari anterior pituitary. IL-2 sifatnya lebih kuat sebagai stimulator sekresi ACTH dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap sekresi CRH. Rangsangan kronis sekresi sitokin proinflamasi yang tinggi akan menginduksi penurunan sistem saraf pusat (CNS), fungsi reseptor glukokortikoid, mengurangi sensitivitas sel-mensekresi CRH hipotalamus, meningkatnya kortisol dan menumpulkan respon umpan balik negatif normal hipotalamus terhadap kortisol (Mary 2012).


(44)

Aktivasi HPA-axis, pada gilirannya, memiliki efek penghambatan yang mendalam pada respon imun / inflamasi, bertindak untuk

memblokir hampir setiap langkah dari prose proinflamasi.

Glukokortikoid, dalam hal ini kortisol yang merupakan jenis utama pada manusia, memiliki efek menghambat produksi sitokin proinflamasi pada tingkat DNA dengan menghalangi gen yang bertanggung jawab untuk memproduksi dan menginduksi produksi NFkB, sebuah protein yang mengikat dan menetralkan faktor transkripsi sitokin. Regulasi sitokin diketahui menurun karena efek kortisol dan glukokortikoid lainnya termasuk IL-1, IL-2, TNF-α, dan IFN- . Selain itu, glukokortikoid mendukung produksi dari sitokin anti-inflamasi, terutama pada konsentrasi glukokortikoid yang rendah (Jesica 2005, Ilona 2009, Mary 2012).

g. Hubungan sistem imun bawaan- HPA-axis dan depresi post partum (DPP)

Implikasi bahwa disregulasi dalam sistem kekebalan tubuh atau sumbu HPA atau keduanya dapat berkontribusi untuk terjadinya DPP secara konseptual didasarkan pada model psikoneuroimunologi yang dikemukakan oleh Chrousos dan Gold. Dampak dari respon imun bawaan dan fungsi HPA-axis pada regulasi emosi postpartum digambarkan sebagai terjadi secara individual maupun melalui hubungan dua arah.


(45)

Gambar 2.8. Hubungan respon imun-HPA –axis dalam suasana yang normal (Mary 2012).

Dalam Gambar 8, respon imun dan sumbu yang normal HPA-axis, secara individual dan berkontribusi untuk terjadinya regulasi emosi post partum. Dalam Gambar 9, disfungsi baik dalam sistem tubuh sendiri atau dalam interaksi dua arah dengan stressor dari luar yang berdampak pada kekacauan regulasi emosional dan berkontribusi untuk terjadinya DPP (Jhon 2005, Mary 2012).

Gambar 2.9. Adanya rangsangan yang kronis menyebabkan disregulasi

HPA-axis dan berakibat terjadinya depresi post partum (Mary 2012).


(46)

h. Hubungan sstem imun bawaan, HPA-axis dan kehamilan

Kehamilan menampilkan keadaan yang unique mengenai perubahan sistem imunologi pada tubuh maternal. Seorang ibu, harus menjaga kehamilanya sampai kepada kondisi aterm, walaupun kadang kala ada keadaan reaksi auto imun, namun tubuh maternal tidak berusaha menghancurkan janin, yang dianggap sebagai benda asing. Pada saat yang sama, selain menjaga kelangsungan perkembangan janin, tubuh maternal juga harus menjaga sistem imunya sendiri. Studi menunjukan bahwa selama kehamilan, akan diproduksi sistem imun yang menguntungkan baik bagi janin maupun ibu, sementara sitokin pro inflamasi ditekan pengeluaranya. (Jhon 2005, Elizabeth 2008, Ilona 2009). Dengan berhentinya kehamilan dan terjadinya kelahiran, dari keadaan sistem imun yang menguntungkan bagi ibu dan janin, akan bergeser menjadi pengeluaran sitokin pro inflamasi dalam hitungan beberapa menit sampai dengan beberapa jam setelah kelahiran janin dan placenta. Hal ini dikarenakan beberapa alasan (Elizabeth 2008) kelahiran sering didertai dengan adanya cedera jalan lahir (portio, dinding vagina dan perineum), dalam beberapa tingkatan. Involusi uterus terjadi pada semua perempuan pasca persalinan dan ditandai oleh iskemia, otolisis, dan fagositosis. Proses-proses ini melibatkan aktifitas sitokin pro inflamasi, adanya nyeri persalinan, stres psikis dan usaha ibu melahirkan memerlukan tenaga dan hal ini menyebabkan perangsangan sistem inflamasi.


(47)

Perubahan yang signifikan terjadi pada fungsi HPA-axis selama kehamilan dan persalinan. Kadar CRH, ACTH, dan kortisol meningkat secara dramatis selama kelahiran, mencapai tingkat puncak dalam trimester ketiga. Setelah melahirkan, Hormon HPA-axis hormo turun dalam 3 hari pertama, dengan penekanan pada poros central HPA-axis, mirip seperti percobaan dengan pemberian steroid exogen pada penekanan HPA-axis (Kathryn 2010).

Kelenjar adrenal janin sangat penting dalam peranya terhadap fungsi fisiologis HPA-axis selama kehamilan dan periode perinatal. Kelenjar adrenal janin memprodukdi sebagian besar kortisol, yang di bawah pengaruh progesteron, merangsang sel-sel dari trofoblas dan plasenta untuk meningkatkan produksi dari CRH. CRH yang diproduksi oleh plasenta diperlukan untuk kesuksesan implantasi dan pemeliharaan terhadap kehamilan awal dan mungkin memainkan peran dalam memulai persalinan. Produksi CRH oleh plasenta menyebabkan propaganda dari peningkatan CRH janin yang akan merangsang produksi kortisol janin lebih lanjut. Yang penting, meskipun kortisol janin merangsangsekresi CRH plasenta, namun, keadaan itu menekan sekresi CRH maternal. CRH maternal akan tersupresi setelah persalinan. Supresi dari HPA-axis mungkin berlangsung selama beberapa minggu pada perempuan postpartum sehat (Jhon 2005, Elizabeth 2008, Ilona 2009).


(48)

Dalam sutu studi, diamati bahwa pada kejadian depresi post partum, mungkin terjadi gangguan pada psikoneuroimunologi. Pada perempuan postpartum yang sehat, respon imun bawaan akan dirangsang oleh proses persalinan dan menyebabkan peningkatan sel sitokin pro inflamasi. Dalam hitungan minggu sampai bulan, seorang perempuan akan pulih dari melahirkan, dan proses peradangan selesai. Fungsi HPA-axis, meskipun meningkat sejak awal, tertekan saat persalinan, sitokin pro inflamasi tidak merangsang sekresi hormon HPA-axis (Elizabeth 2008).

Berfokus pada HPA-axis, setelah kelahiran bayi dan plasenta, tingkat CRH, ACTH, dan kortisol turun dibandingkan saat kehamilan, dan axis menjadi hyporesponsive, dan akan terjadi normalisasi axis sekitar 12 weeks post partum. Setelah terjadi pemulihan hormon HPA-axis, akan membantu dalam membatasi peradangan. Bersama-sama, langkah-langkah ini menjamin terjadinya regulasi emosi yang normal pada perempuan post partum (Nierop 2006, Elizabeth 2008).

Bagi perempuan yang mimiliki risiko mengalami DPP, beberapa studi mendapatkan adanya respon inflamasi setelah persalinan yang berlebihan, fungsi HPA-axis tidak tertekan secara memadai, atau kedua kondisi ini terjadi secara bersama-sama. Dengan adanya respon pro inflamasi yang berlebihan, akan terjadi sindrom respon inflamasi sistemik, ditandai dengan kelelahan, gangguan tidur, nafsu makan berkurang, dan suasana hati depresi. HPA axis hiperaktif akan dikaitkan


(49)

dengan agitasi, dysphoria, insomnia, dan anoreksia. Hal yang mungkin dapat menerangkan kejadian diatas dan terjadi pada perempuan melahirkan disebabkan oleh respon stres setelah persalinan lama atau sulit, kehilangan darah yang banyak, cedera perineum, infeksi klinis atau subklinis, operasi, atau karena adanya ketidakstabilan emosi saat persalinan (Nierop 2006).

Ada beberapa data penelitian yang mendukung hipotesis ini. Peningkatan kadar IL-6 telah dilaporkan pada perempuan dengan DPP awal pada periode perinatal dan pada perempuan dengan sejarah depresi di masa lalu. Selain itu, sebuah studi telah meneliti kadar sitokin dan kortisol pada perempuan post partum. Suatu cross-sectional, yang melibatkan perempuan post partum dan dilakukan kunjungan rumah pada 4-6 bminggu post partum. Kemudian dilakukan pemeriksaan Serum IFN- , IL-10, dan kortisol dan dievaluasi tentang gangguan mood yang kini dirasakan oleh perempuan tersebut. Temuan menunjukan bahwa ibu yang mengalami depresi memiliki nilai kortisol saliva yang lebih rendah tetapi didapatkan kadar yang tinggi pada kortisol serum. Rasio serum IFN- / IL-10, kadar IL-6, sebaliknya, didapatkan lebih tinggi sebesar 3 kali lipat pada perempuan depresi. Penelitian ini menunjukkan bahwa hipoaktifitas dari HPA-axis mungkin berkontribusi terhadap DPP dan idukung dengan peran respond imune pro inflamasi (Nierop 2006, Elizabeth 2008, Gunther 2009).


(50)

REAKSI INFLAMASI DAERAH INSISI

STRES AKIBAT AGEN ANESTESI STRES PSIKIS SUPRESI SISTEM IMUN IL-6,

TNF-α, IL-1

ACTH KORTISOL Sekresi β-Endorpine CRF Sekresi sitokin proinflamasi HIPOTALAMUS (-) KORTEKS ADRENAL H P A A X I S KORTISOL PLASMA ↑↑↑

D I S R E G U L S I H P A A X I S

Post partum blues

: parameter yang diteliti

HIPOFISI ANTERIOR


(51)

a. Keterangan kerangka konsep

Seksio sesarean merupakan suatu keadaan yang menyebabkan terjadinya stress maternal, melalui beberapa mekanisme. Stres psikis dari ibu, yang mengalami ketakutan yang berlebihan bila persalinanya akan diakhiri dengan seksio sesarea, menyebabkan terjadinya rangsangan pada hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA-axis) dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol (Elizabeth dkk 2008, Michael 2008, Mary 2012).

Disamping hal di atas proses pembiusan memberikan reaksi immunologi berupa supresi terhadap sistem immune. Sistem immune ini akan mengaktivasi sitokin proinflamasi. Peningkatan dan pengeluaran sitokin proinflamsi ini akan menyebabkan disregulasi dari HPA-axis dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol (Jhon, 2005, Desborough 2009, Deborah 2012)

Insisi pada organ tubuh akan mengakibatkan terjadinya reaksi inflamasi, dimana keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya supresi sistem immune yang akan mengaktivasi sitokin proinflamasi melepaskan mediator inflamasi, sehingga terjadi disregulasi HPA-axis. Selain itu, insisi akan menyebabkan sekresi -endorphine yang dapat menyebabkan perangsangan pada aktivitas HPA-axis dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya


(52)

korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol (Manorama 2003, Aggo dkk 2012)

Keadaan di atas merupakan suatu kesatuan proses dan akan berakhir terjadinya disregulasi HPA-axis dan peningkatan kortisol dengan dampak terjadinya post partum blues.

5. Hipotesis

“Ada hubungan kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues pada persalinan dengan seksio sesarea”


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Bangsal dan poliklinik Obstetri dan Ginekologi, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) DR.Moewardi Surakarta, September 2013

B. Jenis dan Rancangan Penelitian B.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah cohort prospective B.2. Rancangan Penelitian

Kuesioner L-MMPI

Persalinan normal Seksio sesarea

Subjek penelitian

Kuesioner L-MMPI

Blues questionnair Blues questionnair

Postpartum blues

Tidak

postpartum blues

Postpartum blues

Uji Statistik

Tidak

postpartum blues

Kadar Kortisol Naik/ Kadar Kortisol

Turun

5 hari post partum

53


(54)

C. Populasi dan subjek Penelitian 1. populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek dalam penelitian (Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien pasca persalinan yang menjalani rawat inap di Bangsal Perawatan Kebidanan dan Kandungan di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah non random purposive quota sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti.

1. Kriteria inklusi a. Umur 20-35 tahun

b. Persalinan seksio sesarea elektif c. Umur kehamilan aterm (37-41 minggu)

d. Tidak ada riwayat pengobatan depresi sebelumnya e. Primipara

f. Apgar Score ≥ 8 2. Kriteria eksklusi

a. Skor L-MMPI > 10 b. Seksio sesarea emergensi

c. Kehamilan disertai penyakit penyerta ( penyakit jantung, darah tinggi, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hepar dan diabetes militus)

d. Didapatkan kelainan kongenital mayor commit to user


(55)

Kelompok kasus adalah subjek dengan persalinan dengan seksio sesarea sedangkan kelompok kontrol adalah subjek dengan persalinan normal.

2. Subjek

Karena penelitian ini belum pernah dilakukan, sehingga jumlah sampel di cari dengan rumus Rule Of Thumb (Gerald Van Belle, 2007):

 

 

2

2

2 1 1 8 pc pc cv

n  

Dimana PC adalah perubahan proporsional dalam

sarana

pc 

12

1

dan CV adalah koefisien variasi

cv1 12 2

Untuk situasi yang dijelaskan dalam penelitian ini, ukuran sampel menjadi :

 

 

 

 

30 52 , 29 64 , 1 18 80 , 0 1 04 , 0 72 , 0 20 , 0 1 1 20 , 0 30 , 0 8 2 2 2 2         n n n n

Dalam hal ini peneliti akan membutuhkan sekitar 30 subjek per kelompok, jika penelitian yang akan dibandingkan dengan standar hanya satu kelompok, maka ukuran sampel yang diperlukan menjadi 30:2=15 subjek (15 seksio sesarea dan 15 persalinan normal).


(56)

D.1. Variabel bebas

Kadar hormon kortisol pada persalinan dengan seksio sesarea dan persalinan normal

D.2. Variabel terikat

Post partum blues

E. Definisi Operasional.

1. Persalinan normal adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan aterm (bukan premature atau postmatur), mempunyai onset yang spontan (tidak diinduksi), selesai setelah 4 jam dan sebelum 24 jam sejak saat awitannya, mempunyai janin tunggal dengan presentase belakang kepala, terlaksana tanpa bantuan artificial, tidak mencakup komplikasi, plasenta lahir normal, persalinan dengan kekuatan ibu sendiri, ibu dan bayinya normal. (Cunningham, 2006).

2. Persalinan seksio cesarean adalah proses kelahiran janin dengan jalan melakukan laparotomi atau membuka dinding perut dan histerotomi atau mebuka dinding rahim melalui jalan operasi (Cunningham 2006). 3. Kadar kortisol ditunjukkan dari hasil laboratorium. Kortisol adalah

hormon steroid yang dihasilkan oleh bagian korteks kelenjar adrenal yang terikat oleh Corticoid Binding Protein (CBP) dan albumin (Talbott, 2011). Pemeriksaan hormon kortisol menggunakan metode immulite kortisol (solid phase two site chemiluminescent enzym immuno assay). Harga normal 5-β5 ʯg/100ml. Prinsip prosedur pemeriksaan hormon kortisol: immulite kortisol merupakan solid


(57)

phase, two-site chemiluminescent enzyme imuno assay. Manik-solid-phase, suatu bola-bola polystryrene pada immulite test unit, dilapisi dengan antibodi monoklonal yang spesifik untuk kortisol. Sample pasien dan alkali phosphatase conjugatedpolyclonal dan kortisol antibody diinkubasi selama 30 menit pada 37°c pada test unit dengan kortisol berlabel enzym terhadap lokasi ikatan antibodi, kemudian enzym konjugat yang tidak terikat dibersihkan dengan sentrifugal selanjutnya ditambah substrat dan test unit diinkubasi selama 10 menit lagi, sehingga dapat terukur konsentrasi kortisol dalam sample.

4. Postpartum blues ialah suatu keadaan transien dari peningkatan reaktivitas emosional yang dialami oleh separuh dari wanita dalam jangka waktu satu minggu pasca persalinan. Gejala klinis terlihat dari hari ke 2 hingga ke 5, kemudian menghilang dalam beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Jika gejala ini bertahan hingga 2 minggu maka dapat berlanjut menjadi depresi postpartum.

F. Prosedur penelitian yang dilakukan

a. Memohon ijin kepada direktur RSUD dr muwardi untuk melakukan penelitian

b. Memohon ijin untuk etical clearance

c. Memilih kelompok penelitian dan kontrol. Kelompok penelitian dan kontrol adalah ibu bersalin yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang memeriksakan diri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.


(58)

d. Kelompok penelitian adalah kelompok yang menjalani persalinan seksio sesarea baik atas indikasi maternal maupun indikasi fetal serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan.

e. Kelompok kontrol adalah kelompok yang di diagnosis dengan persalinan normal, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan.

f. Kedua kelompok kemudian dilakukan pemeriksaan kadar hormon kortisol plasma di laboratorium Prodia.

g. lima hari kemudian kedua kelompok diberikan kuisioner L-MMPI (Lie Scale Minnesota Multiphasic Personality Inventory), dilanjutkan kuisioner postpartum blues

h. Hasilnya kemudian dilakukan uji statistik

G. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini mengumpulkan data dengan cara observasi

nonpartisipan, peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independen, data diperoleh dengan bantuan instrument yaitu tes laborat, kuesioner dan computer. Data yang dikumpulkan dengan cara pengujian di laboratorium, dengan mengambil sample darah ibu yang mengalami persalinan dengan seksio sesarea dan ibu yang menjalani persalinan normal. Kemudian diolah dengan bantuan computer.

H. Instrumen

1. Instrumen identitas pribadi


(59)

2. Skala Inventori L-MMPI (Lie Scale Minnesota Multiphasic Personality Inventory)

Instrumen ini digunakan untuk menguji kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner penelitian. Skala L-MMPI berisi 15 butir pernyataan untuk dijawab responden

dengan ”ya” bila butir pertanyaan dalam L-MMPI sesuai dengan

perasaan dan keadaan responden, dan ”tidak” bila tidak sesuai dengan

perasaan dan keadaan responden. Responden dapat

dipertanggungjawabkan kejujurannya bila jawaban ”tidak” berjumlah

10 atau kurang (Peter 2010). 3. Blues Questionnaire

Post partum blues diukur dengan menggunakan Blues Questionnaire yang berdasarkan teori postpartum blues dari Kennerley & Gath. Kuesioner ini terdiri dari 28 item gejala post partum blues dengan pilihan jawaban “ya” dan “tidak”. Untuk “ya”

diberi skor 1 dan “tidak diberi skor “0”. Seseorang dianggap mengalami postpartum blues bila terdapat dua belas gejala dalam pengisian kuesioner. Blues Questionnaire merupakan alat ukur sistematis untuk mengetahui gangguan postpartum blues dan telah diuji validitasnya.

Kuisioner diukur dengan Blues Quesionnair yang disusun oleh Kennerly dan Gath yang telah digunakan dalam penelitian Gambaran Postpartum Blues pada Wanita Post Sectio Caesarea di RS PKU


(60)

Muhammadiyah Yogyakarta dan RSUP dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. Uji validitas dan reabilitas instrumen dilakukan di bangsal Sakinah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Februari sampai awal Maret 2009. Uji coba dilakukan pada 20 orang responden (Priyastiwi, 2009).

I. Uji Statistik

Uji variabel penelitian ini dengan menggunakan Chi Square, uji t dan data diolah dengan SPSS. Rumus Chi Square :

         

e e o f f f x 2 2

Di mana :

X2 fe f0 : : :

Nilai chi-Squre

Frekuensi yang diharapkan

Frekuensi yang diperoleh / diamati

J. Analisis Data

Program SPSS versi 19 for windows digunakan untuk :

1. Uji Asumsi yang terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas dengan menggunakan chi square test

2. Uji Hipotesis untuk menunjukkan bahwa ada terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan antara kadar kortisol serum post seksio sesarea dan persalinan normal, dimana kadar kortisol serum postpartum pada persalinan seksio sesarea lebih tinggi dibandingkan


(61)

dengan persalinan normal dengan menggunakan uji t dan regresi logistic.


(62)

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik demografi dari kelompok persalinan normal dan persalinan seksio sesarea dengan perhitungan statistik kelompok perlakuan berada pada rentang yang telah sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, sedangkan karakteristik demografi yang akan disajikan dalam penelitian ini mengenai umur, pendidikan dan penghasilan. Subjek penelitian adalah 30 wanita postpartum, yang dirawat di bangsal kebidanan RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu 15 orang persalinan normal dan 15 orang persalinan seksio sesarea. Sebaran dan keragaman data subjek penelitian seprti pada table berikut.

Tabel 4.1. Sebaran dan keragaman subjek penelitian

Variabel N Min Max Rerata SD

Umur ibu (tahun) 30 20 30 24,23 3,31

Pendidikan 30 1 4 2,33 0,95

Penghasilan 30 400.000 3.000.000 1.093.000 591.341

Kadar kortisol 30 16,67 64,00 33,23 11,47

Q-blues 30 3 20 10,86 5,28

Dari data di atas, didapatkan rerata umur subjek penelitian adalah 24,23 + 3,31. Rerata penghasilan subjek penelitian 1.093.000 + 591.341. Rerata kadar kortisol 33,23 + 11,47 dan rerata skor kuisioner (Q-blues) postpartum blues 10,86 + 5,28.

62


(63)

Tabel 4.2. Uji rerata variabel subjek penelitian menurut kelompok seksio sesarea

dan persalinan normal

Variabel Kelompok N Mean SD Nilai p

Umur (tahun) SC 15 25,00 3,33 0,21

Normal 15 23,46 3,22

Pendidikan SC 15 2,33 0,91 1,00

Normal 15 2,33 0,97

Penghasilan(Rp) SC 15 1.146.667 791,928 0,63

Normal 15 1.040.000 585.296

Kadar kortisol SC 15 31,27 11,72 0,36

Normal 15 35,17 11,28

Q-blues SC 15 13,13 3,35 0,01*

Normal 15 8,60 5,96

* Nilai signifikan p < 0.05

Dari uji rerata variabel kedua kelompok subjek penelitian, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada variabel umur, tingkat pendidikan, penghasilan dan kadar kortisol. Perbedaan yang bermakna terdapat pada skor kuisioner postpartum blues dengan nilai p=0.01 (<0.05).

Tabel 4.3. Hubungan tindakan seksio sesarea dengan kenaikan kadar kortisol

Tindakan Kortisol Total,

n=30 p OR CI 95%

Tinggi Normal

SC 12 3 15 0,66 1,45 0,26-8,00

Normal 11 4 15

Pada tabel diatas, didapatkan peningkatan kadar kortisol pada persalinan dengan seksio sesarea pada 12 kasus (80%), sedangkan pada persalinan normal didapatkan pada 11 kasus (73,3%). Dari uji commit to user Chi-Square didapatkan bahwa tidak


(64)

ada perbedaan yang bermakna kadar kortisol persalinan dengan seksio sesarea dibanding persalinan normal (p=0.06; CI 95%:0,26-8,00; OR:1,45).

Tabel 4.4. Hubungan seksio sesarea dengan kejadian postpartum blues

Tindakan Post partum blues Total n=30 P OR CI 95%

Ya tidak

SC 10 5 15 0,06 4,00 0,87-18,25

Normal 5 10 15

Pada tabel di atas, angka kejadian postpartum blues pada persalinan dengan seksio sesarea didapatkan 10 kasus (66,7%) dan yang tidak mengalami postpartum blues 5 kasus (33,3%). Sedangkan kejadian postpartum blues pada persalinan normal 5 kasus (33,3%) dan yang tidak mengalami postpartum blues 10 kasus (66,7%). Dari uji Chi-square kejadian postpartum blues pada persalinan dengan seksio sesarea tidak didapatkan perbedaan yang bermakna disbanding dengan persalinan normal (p=0.06;CI 95%:0,87-18,25; OR:4,00).

Tabel 4.5. Hubungan kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues Kortisol

Postpartum blues Mean SD p CI

Ya 45,80 10,08 0,00* 8,26-21,91

Tidak 30,72 8,06

Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai rerata kadar kortisol pada kejadian postpartum blues lebih tinggi, yaitu sebesar 45,80±10,08 dibanding nilai rerata kadar kortisol yang tidak postpartum blues yaitu, sebesar 30,72±8,06. Dari hasil diatas menunjukan ada perbedaan bermakna pada rerata kadar kortisol * Nilai signifikan p < 0.05


(65)

pada ibu yang mengalami postpartum blues disbanding yang tidak postpartum blues (p=0,00; CI 95%:8,26-21,91).


(66)

BAB V

PEMBAHASAN

Persalinan merupakan suatu fase yang menimbulkan dampak psikologis besar, terutama pada wanita primipara. Adanya perasaan takut, cemas dan kurang yakin akan dapat melalui fase tersebut, menyebabkan dampak stres yang berlebihan.

Perbedaan metode persalinan memiliki dampak stresor yang berbeda. Beberapa hipotesis mendapatkan adanya perbedaan raksi neuroendokrin tubuh pada setiap metode persalinan. Stres persalinan dapat memicu terjadinya reaktivitas HPA-aksis dan berdampak pada pelepasan kortisol oleh korteks adrenal. (Gunther 2010).

Tindakan pembedahan khususnya seksio sesarea secara umum

menyebabkan tingkat stres yang tinggi, hal ini karena rasa takut yang berlebihan akan tindakan tersebut. Ketakutan dari pasien dapat menimbulkan stres yang meningkat, bukan hanya berasal dari pembedahan, melainkan juga terjadi akibat pengaruh obat-obatan anetesi, ruang operasi, peralatan operasi, serta nyeri daerah insisi, infeksi dan reaksi inflamasi pasca operasi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya rangsangan pada hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA-axis) dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol, dengan dampak meningkatnya kejadian postpartum blues.(Diana 2012).

66


(1)

K_Bl ues * kelompok Crosstabulation

10 5 15

66,7% 33,3% 100,0% 66,7% 33,3% 50,0% 33,3% 16,7% 50,0%

5 10 15

33,3% 66,7% 100,0% 33,3% 66,7% 50,0% 16,7% 33,3% 50,0%

15 15 30

50,0% 50,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 50,0% 50,0% 100,0% Count

% wit hin K_Blues % wit hin kelompok % of Total

Count

% wit hin K_Blues % wit hin kelompok % of Total

Count

% wit hin K_Blues % wit hin kelompok % of Total

Y a Tidak K_Blues Total SC Normal kelompok Total Chi-Square Tests

3,333b 1 ,068

2,133 1 ,144

3,398 1 ,065

,143 ,072

3,222 1 ,073

30 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by -Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asy mp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only f or a 2x2 table a.

0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 7,50.

b.

Risk Esti mate

4,000 ,876 18,256 2,000 ,899 4,452 ,500 ,225 1,113

30 Odds Rat io f or K_Blues

(Ya / Tidak)

For cohort kelompok = SC For cohort kelompok = Normal

N of Valid Cases

Value Lower Upper 95% Conf idence

Interv al


(2)

Model Summary

,565a ,319 ,294 4,43766

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

St d. Error of the Estimate

Predictors: (Constant), kortisol a.

ANOVAb

258,068 1 258,068 13,105 ,001a

551,399 28 19,693

809,467 29

Regression Residual Total Model 1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Const ant), kortisol a.

Dependent Variable: post_blues b.

Coeffi ci entsa

2,342 2,490 ,941 ,355

,241 ,066 ,565 3,620 ,001

(Constant) kortisol Model

1

B St d. Error Unstandardized

Coef f icients

Beta St andardized Coef f icients

t Sig.

Dependent Variable: post_blues a.


(3)

BAB VII DAFTAR PUSTAKA

Ada Nierop, Aliki Bradsikas, Roland Zimmermann, Ulrike Ehlert. Dalam (2006).

Are Stress induced Cortisol Changes During Pregnancy Associated With

Postpartum depression Symtoms? Departement of Clinical Psychology and

Psychoteraphy University of Zurich Switzeland.

Allameh, Aron DC, Tyrell JB. (1998). Glucocorticoid dan androgen adrenal. Dalam : Greenspan FS, Baxter D. Editor. Endokrinologi dasar dan klinik. Edisi 4. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC: 398-445

Anwar Ruswana (2005). Fungsi kelenjar Adrenal Dan Kelainannya. Jurnal PIT Fertilitas Endokrinologi Reproduksi bagian Obstetri dan Ginekologi RSHS/FKUP Bandung 11 Juni 2005. Sub bagian Fertilitas Dan Endokrinologi Reproduksi Bagian Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung

Arikunto (2003). Metodologi Penelitian: Edisi Revisi. UPP Akademi Manajemen Perusahaan YKPN

American Collage of Obsteric and Gynecology (2008). Postpartum depression

Guid line: diagnistic and treatment.

Berghella, Schetter CD, Roesch SC, et al. (2007). Maternal plasma corticotrophin- releasing hormone associated with stress at 20 weeks

gestation in pregnancies ending preterm delivery. Am J. Obstet

Gynecol:180; 257-263

Bobak, Loudermik, Jensen, (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta: 480-665

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap Iii LC, Hauth JC, Wenstrom KD (2001). Williams obstetric. 21th ed. New York: Prentice-Hall International: 262-266

Deborah B, Grainne N, George H. (2012). Endocrine and Metabolic respons to

Surgery. Journal of Medicine Universidad Del Pais Vasco November.

Desborough J.P (2009). The stress respons to trauma and surgery. Departement of Anesthesia, Epsom General Hospital, Dorking Road Epsom KT 18 7EG, UK.

85 commit to user


(4)

Diana G, Jurate S, Egle K, Eligijus P (2012). Impact of Anethesia Methode on Cortisol and Interleukin-6 concentration change during and after

laparoscopic colorectal surgery. Acta Medical Lituanica Vol 19. No.3.

Elizabeth J, Corwin, and Kathleen. Dalam (2008). The psychoneuroimmunology

of postpartum Depression. Journal of Women’s Health. Vol 17, No. 9.

Fatimah S (2009). Hubungan Dukungan Suami Dengan Kejadian Postpartum Blues Pada Ibu Primipara di Ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Gerald van Belle (2007). STRUTS: Statistical Rules of Thumb, Departments of

Environmental Health and Biostatistics University of Washington.

Gunther M, Cyrill M, Inga D dan Markus H (2010). Maternal Cortisol in late Pregnancy and Hypothalamic-Pituitary-Adrenal reactivity to Psychosocial

stress postpartum in womwn. Informa healttcare USA. March.

Jhon R, Lindsay and Lynnete, Numman K. (2005). Dalam The Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis in pregnancy: Challanges in Disease Detection and

Treatment. Reproductive Biology and Medicine Branch, National Institute

of Health Bethesda, Maryland.

Jessica Z and Jack M. Gorman, (2005). The Neurobiology of Postpartum

Depression, Journal of CNS spectrum Vol 10, No 10.

Ilona S, Yim, Laura M, Glynn, Cristine DS, Calvin J, Hobel.(2009). Risk of post pertum depression Symtoms With Elevated Corticotropin-Realisisng

Hormone in Human pregnancy. Journal of American medical Associations.

Karean B (2008). Are symtom of postpartum depression associated with deficits in

facial and auditory emotional recognition? Doctor of Philosophy in Clinical

Psychology.

Katthryn P dan Christine YM (2010). Postpartum Major Depression. University of California, San Diego, School of Medicine, La Jolla, California.

Kennerly, H., & Gath, D. (1989). Maternity blues: I. Detection and measurement

by questionnaire. British Journal of Psychiatry, 155:356-62.

Lisa M and Cristian. (2012). Psychoneuroimmunology in pregnancy: immune Pathway Linking Stress With Maternal Health, adverse Birth Outcomes, and Fetal Development. Neurosci Biobehav.

Manorama Singh (2003). Stress Response and Anesthesia, Altering The Peri and Post Operative Management, Indian J of Anesthesia: 427-434. commit to user


(5)

Mary E dan Coussons. (2012). The Psychoneuroimmunology of stres in

pregnancy. Departement of Psycology University of Colorado Danver.

Peter A, Weiss, James A. Vivian. (2010). exploring the MMPI-L 2 scale cutoff in

police selection. Portland state university.

Pitkin, et all, (2003). Registered Nurses’ Association of Ontario. Interventions for

Postpartum Depression. Toronto, Canada: Registered Nurses’ Association

of Ontario.: 66

Priyastiwi dan Nunik. (2009). Gambaran Postpartum Blues pada Wanita Post Sectio Caesarea di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSUP dr

Soeradji Tirtonegoro Klaten. FK UGM: Yogyakarta (Tidak diterbitkan).

Rauh C et all (2012). Delivery mode and the course of pre-and postpartum

depression. Journal of Maternal Fetal Medicine. Departement of Psyciatriy

and Psychotherapy, Erlangen University Hospital, Friederich Alexander University of Erlangen-Nuremberg Germany.

Poncoroso, Soetrisno dan Respati SH (2012). Perbedaan kadar kortisol pada ibu

yang menjalani persalinan dengan seksio sesarea dan persalinan normal,

Departemen obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Sam Mesiano (2012). The Endokrinology of Human Pregnancy and Fetoplacental

Neuroendocrine Development. Endokrinology Reproduction.

Sarah L, Joe H, Ian G dan Lynne M (2012). Disturbance in morning cortisol secretion in associated with maternal postnatal depression predict subsequent depresive symtomatology in adolescent.

Selimuzzaman SM, Begum N, Islam N dan Begum S (2007). Effect of Surgical on Serum Cortisol Level: A Comparative Study between Elwctive and Emergency Surgery, J Bangladesh soc Physiol. Dec;(2):28-33.

Sword W, Kurtz Landy C, Thabane L, Watt S, Kruenger P, Farine D and Foster G (2011). Is mode of delivery associated with postpartum depression at 6

weeks: a prospective cohort. BJOG An International Journal of Obsterics

and Gynecology.

Tae Kwane Kim and Jun Rho Yoon. (2010). Comparison of the neuroendocrine and inflammatory respons after laparoscopic and abdominal hysterectomy.

Departement of Anesthesiology and pain medicine, Collage of Medicine, The Chatholic University of Korea.


(6)

Talbott. 2011. Board review series obstetric and gynecology. 2nd ed. Baltimore: Lippincot Williams & Wilkins, 26-27.