PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU MENGGUNAKAN MODEL WEBBED UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA TEMA MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN PERUBAHAN SUHU.

(1)

PERUBAHAN SUHU

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam

Oleh Herni Suryaneza

1308073

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG


(2)

MENGGUNAKAN MODEL WEBBED UNTUK

MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA TEMA

MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN

PERUBAHAN SUHU

Disetujui dan disahkan oleh:

Pembimbing

Prof. Dr. Anna Permanasari, M.Si. NIP. 195807121983032002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan IPA

Dr. Phil. H. Ari Widodo, M.Ed. NIP. 19670527 199203 1 001


(3)

MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN

PERUBAHAN SUHU

Oleh

HERNI SURYANEZA

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd)

pada Program Studi Pendidikan IPA

© Herni Suryaneza 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, Dengan cetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis


(4)

(5)

vii Herni Suryaneza, 2015

UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA TEMA MENGAPA TUBUHKU

BISA MERASAKAN PERUBAHAN SUHU

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pembelajaran IPA Terpadu menggunakan model webbed dapat meningkatkan literasi sains siswa dibandingkan dengan pembelajaran tanpa keterpaduan. Pembelajaran IPA Terpadu dengan Model webbed telah diimplementasikan pada Tema Mengapa Tubuhku Bisa Merasakan Perubahan Suhu. Untuk melihat efektivitasnya, implementasi diteliti menggunakan metode Quasi Experiment dengan

Non-randomized Subject Pretest Posttest Control-Group Design. Subjek penelitian

adalah satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol masing-masing dari kelas VII di SMP Negeri 1 Tengah Tani Kabupaten Cirebon. Kelas kontrol mengikuti pembelajaran pada materi yang sama tanpa keterpaduan. Instrumen yang digunakan berupa tes tertulis, lembar observasi, angket, dan pedoman wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran IPA terpadu model Webbed dapat meningkatkan literasi sains siswa, lebih baik bila dibandingkan dengan peningkatan literasi sains pada kelas yang tidak menerapkan pembelajaran IPA terpadu. Signifikansi ini ditunjukkan baik secara keseluruhan maupun pada aspek konten dan aspek proses sains siswa. Selain itu, pembelajaran IPA terpadu dapat pula membangun sikap positif siswa.


(6)

viii

USING WEBBED MODEL

TO IMPROVE STUDENTS SCIENCE LITERACY IN WHY CAN MY BODY FEEL

TEMPERATURE CHANGES THEME

The integrated science learning using webbed model was implemented to increase student science literacy in “why can my body feel temperature changes?” theme. The research was done to learn the effectiveness of the model on using quasi experiment method with non-randomized subject pretest posttest control group design. The subjects were two class of science learning grade VII from one of junior high school at Cirebon District, West Java, Indonesia. The student in control class was taught on using non integrated way. The instrument used were written test, observation sheet, questionnaire and interview guidance. The research shows that learning science through integrated way increase science literacy of students, significantly better than control class. The significantly enhancement were shown in both of content and process aspects. Moreover, integration in learn also science can build positive attitudes of students.


(7)

Herni Suryaneza, 2015

PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU MENGGUNAKAN MODEL WEBBED UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA TEMA MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN PERUBAHAN SUHU

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Definisi Operasional ... 6

F. Asumsi dan Hipotesis Penelitian ... 6

G. Struktur Organisasi Tesis ... 7

BAB II PEMBELAJARAN IPA TERPADU MODEL WEBBED UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA A. Hakekat Pembelajaran IPA Terpadu Model Webbed ... 8

1. Pembelajaran IPA Terpadu ... 8

2. Pembelajaran IPA Terpadu Model Webbed ... 11

B. Literasi Sains ... 18

1. Definisi Literasi Sains ... 18


(8)

3. Assesmen ... 25

C. Tinjauan Pembelajaran Tema Mengapa Tubuhku Bisa Merasakan Perubahan Suhu ... 30

1. Sistem Indera... 32

2. Suhu ... 33

3. Termometer ... 33

4. Kalor... 42

5. Perpindahan Kalor... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian ... 50

B. Subjek Penelitian……….. ...50

C. Prosedur Penelitian ... 51

1. Tahap Persiapan ... 51

2. Tahap Pelaksanaan ... 52

3. Tahap Analisis Data ... 53

D. Instrumen Penelitian ... 55

1. Penyusunan Instrumen Penelitian ... 55

2. Validasi Instrumen Penelitian ... 57

E. Teknik Pengolahan Data... 60

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. Temuan Penelitian ... 65

1. Keterlaksanaan Penerapan Pembelajaran IPA Terpadu Model Webbed pada Tema Mengapa Tubuhku Bisa Merasakan Perubahan Suhu Perubahan Suhu ... 65

a. Tahap Kontak (Contact Phase) ... 65

b. Tahap Kuriositi (Curiosity Phase) ... 69

c. Tahap Elaborasi (Elaboration Phase) ... 71

d. Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Making Phase) ... 75


(9)

Herni Suryaneza, 2015

e. Tahap Pengambilan Intisari Pembelajaran dan

Dekontekstualisasi (Nexus Phase) ... 77

f. Tahap Penilaian (Assesment Phase) ... 79

2. Peningkatan Literasi Sains Siswa Secara Menyeluruh ... 80

3. Peningkatan Literasi Sains Siswa Masing-Masing Aspek ... 84

B. Pembahasan ... 92

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 97

B. Rekomendasi ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Pengembangan kurikulum dilakukan karena adanya berbagai tantangan yang dihadapi, baik tantangan internal maupun tantangan eksternal. Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar pengelolaan, standar biaya, standar sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar isi, standar proses, standar penilaian, dan standar kompetensi lulusan. Terkait dengan tantangan internal, berbagai kegiatan dilaksanakan agar penyelenggaraan pendidikan dapat mencapai ke delapan standar yang telah ditetapkan seperti bantuan siswa miskin (BOS) untuk standar biaya, penyediaan laboratorium pada standar sarana prasarana, peningkatan kualifikasi dan sertifikasi untuk standar pendidik dan tenaga kependidikan dan penyempurnaan kurikulum 2013 untuk standar isi, proses, penilaian dan standar kompetensi lulusan.

Tantangan internal lainnya terkait dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Sumber daya manusian (SDM) usia produktif yang melimpah apabila memiliki kompetensi dan keterampilan akan menjadi modal pembangunan yang luar biasa besarnya. Namun apabila tidak memiliki kompetensi dan keterampilan tentunya akan menjadi beban pembangunan. Oleh sebab itu tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar SDM usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban.


(11)

Herni Suryaneza, 2015

Tantangan eksternal yang dihadapi dunia pendidikan berupa tantangan masa depan seperti materi TIMSS dan PISA, kompetensi yang diperlukan di masa depan seperti kemampuan berkomunikasi, persepsi masyarakat seperti terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, perkembangan pengetahuan dan pedagogi seperti psikologi, serta berbagai fenomena negatif yang mengemuka seperti perkelahian pelajar (Kemendikbud, 2013: 72-74).

Berdasarkan tantangan yang dihadapi maka diperlukan penguatan tata kelola kurikulum dan pendalaman dan perluasan materi. Analisis hasil PISA 2009, ditemukan bahwa dari 6 (enam) level kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA, hampir semua peserta didik Indonesia hanya mampu menguasai pelajaran sampai level 3 (tiga) saja, sementara negara lain yang terlibat di dalam studi ini banyak yang mencapai level 4 (empat), 5 (lima), dan 6 (enam). Dengan keyakinan bahwa semua manusai diciptakan sama, interpretasi yang dapat disimpulkan dari studi ini hanya satu yaitu, yang kita ajarkan berbeda dengan tuntutan zaman.

Kajian yang telah dilakukan baik terhadap hasil evaluasi oleh TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) maupun PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa kelemahan siswa Indonesia pada literasi sains. Penilaian yang dilakukan oleh PISA mengungkapkan bahwa pembelajaran sains di Indonesia kurang berhasil meningkatkan kemampuan literasi sains siswa. Pada tahun pertama Indonesia ikut tahun 2000 berada pada peringkat ke-38 dari 41 negara peserta PISA dengan nilai rerata tes 393; pada tahun 2003 menempati peringkat ke-38 dari 40 negara peserta dengan nilai rerata tes 395; pada tahun 2006 menempati peringkat ke-50 dari 57 negara peserta dengan nilai rerata tes 393; pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 65 negara peserta dengan nilai rerata tes 383 dan terakhir pada tahun 2012 Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara peserta dengan nilai rerata 382 dari nilai rata-rata 501 (OECD, 2012).

Dari hasil penelitian dan pengamatan, umumnya kecenderungan pembelajaran IPA di sekolah adalah peserta didik hanya mempelajari IPA sebagai produk yaitu, menghafalkan konsep, teori dan hukum (Setiawan dalam Mulyitno,


(12)

2006 dan Nurhadi dalam Sumartati, 2009). Sementara itu, model pembelajaran yang digunakan para guru di lapangan masih menggunakan metode ceramah atau kadang demonstrasi, sehingga pembelajaran IPA cenderung dihafal dan membosankan. Akibatnya IPA sebagai proses, aplikasi, dan sikap kurang tersentuh dalam proses pembelajaran. Hal lain yang teramati adalah bahwa sampai saat ini, guru belum mempraktekkan model pembelajaran IPA terpadu dengan cara mengajar yang menyenangkan, meskipun kurikulum tahun 2006 menghendaki pembelajaran terpadu. Dampak dari semua ini menyebabkan rendahnya literasi sains siswa.

Studi pembelajaran IPA Terpadu berbasis literasi sains telah dilakukan beberapa peneliti di Indonesia seperti Losarini (2009) menerapkan pada tema Asupan Makanan dan Pengaruhnya terhadap Kerja Ginjal, Mulyino (2010) menerapkan pada tema Pengaruh Zat Aditif Makanan terhadap Kesehatan dan Nurlaelati (2014) menerapkan pada tema Penjernihan Air. Dampak dari semua penelitian tersebut menunjukkan pembelajaran IPA Terpadu mampu meningkatkan literasi sains siswa pada aspek konten, proses dan sikap.

Salah satu model pembelajaran IPA Terpadu yang dapat meningkatkan kebermaknaan dalam belajar IPA karena pengemasan materi dalam konteks kehidupan sehari-hari dan dikemas dalam tema sehingga dapat membangun literasi sains siswa maka yang dipilih untuk diterapkan yaitu model webbed. Model ini direkomendasikan karena mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran sehingga tidak memungkinkan terjadinya tumpang tindih dan pengulangan materi, meningkatkan minat dan motivasi peserta didik untuk mengenal, menerima, menyerap dan memahami keterkaitan antara konsep pengetahuan dan nilai yang termuat dalam tema tersebut dan beberapa kompetensi dasar dapat dicapai sekaligus sehingga menghemat waktu, tenaga dan sarana serta biaya(Kemdiknas, 2005).

Model webbed adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan tematik. Pendekatan ini dimulai dengan menentukan tema. Pengembangan tema-tema ini dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antar berbagai sub bidang ilmu yang relevan. Dari tema tersebut diharapkan aktivitas


(13)

Herni Suryaneza, 2015

siswa dapat berkembang dengan sendirinya dan literasi sains siswa secara otomatis juga meningkat.

Berdasarkan analisis materi IPA SMP menurut kurikulum 2013, salah satu tema yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran IPA terpadu model

webbed adalah Mengapa Tubuhku Bisa Merasakan Perubahan Suhu. Tema ini

memayungi KD 3.7 Memahami konsep indera peraba, suhu, termometer, kalor dan perpindahan kalor, KD 4.7.1 Melakukan percobaan untuk menyelidiki suhu dan perubahannya serta pengaruh kalor terhadap perubahan suhu dan perubahan wujud benda dan KD 4.7.2 Melakukan penyelidikan terhadap karakteristik perambatan kalor secara konduksi, konveksi, dan radiasi. Tema ini sesuai dengan model webbed karena dapat mempersatukan antara materi biologi dari konsep indera peraba, kimia dari konsep bahan pengisi termometer, dan fisika dari konsep suhu, kalor dan perpindahan kalor.

Dengan menerapkan pembelajaran IPA Terpadu model webbed sangat potensial dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan literasi sains siswa. Berdasarkan latar belakang tersebut telah dilakukan penelitian terkait yaitu

“Penerapan Pembelajaran IPA terpadu menggunakan model webbed untuk meningkatkan literasi sains siswa pada tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu”.

B. Rumusan Masalah

Masalah umum yang akan diungkapkan dalam penelitian ini adalah;

“Apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam peningkatan literasi sains siswa pada kelas yang menerapkan pembelajaran IPA terpadu model webbed dengan kelas yang tidak menerapkan pembelajaran IPA terpadu. Secara rinci masalah tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah keterlaksanaan pembelajaran IPA terpadu model webbed pada tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu?

2. Bagaimanakah peningkatan literasi sains siswa SMP setelah diberikan pembelajaran IPA terpadu model webbed pada tema mengapa tubuhku bisa


(14)

merasakan perubahan suhu dibandingkan dengan peningkatan literasi sains siswa tanpa keterpaduan?

3. Bagaimanakah respon siswa terhadap penerapan pembelajaran IPA Terpadu model webbed pada tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan literasi sains siswa pada pembelajaran IPA terpadu model webbed pada tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu, secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

1. Menganalisis keterlaksanaan penerapan pembelajaran IPA Terpadu model

webbed tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu.

2. Menganalisis tentang penguasaan literasi sains siswa SMP pada tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu, dan membandingkannya dengan kelas kontrol tanpa keterpaduan.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi guru :

a. Memberikan wawasan dan informasi tentang tingkat literasi sains siswa SMP khususnya pada tema Mengapa Tubuhku Bisa Merasakan Perubahan Suhu.

b. Memberikan wawasan dan pengalaman tentang penerapan pembelajaran IPA Terpadu model webbed.

c. Menjadikan pembelajaran IPA terpadu model webbed sebagai alternatif penerapan model pembelajaran terpadu di sekolah.

2. Bagi siswa

a. Melatihkan kemampuan literasi sains dengan melihat hubungan yang bermakna antar konsep

b. Meningkatnya minat dan motivasi dalam mengikuti proses pembelajaran.


(15)

Herni Suryaneza, 2015

3. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian dapat dijadikan masukkan dan bahan pertimbangan untuk penelitian sejenis dengan menggunakan model pembelajaran dan tema yang berbeda.

E. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini terdapat istilah-istilah yang digunakan oleh peneliti, untuk menghindari kesalahpahaman pengertian, maka peneliti mendefinisikan istilah-istilah tersebut sebagai berikut:

1. Pembelajaran IPA Terpadu Model Webbed

Pembelajaran IPA terpadu model webbed merupakan model pembelajaran terpadu dengan menggunakan pendekatan tematik. Tema dalam penelitian ini adalah mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu yang terdiri dari subtema indera peraba, suhu, termometer, kalor dan perpindahan kalor. 2. Literasi Sains

Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam.

F. Asumsi dan Hipotesis Penelitian 1. Asumsi Penelitian

Peningkatan literasi sains siswa dengan pendekatan integratif yang mensintesis perspektif (sudut pandang/tinjauan) semua bidang kajian dalam IPA dapat memecahkan permasalahan yang menghubungkan atau menyatu-padukan berbagai bidang kajian IPA menjadi satu kesatuan bahasan yang mencakup aspek konten, proses dan sikap dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu maka penelitian ini menggunakan asumsi dasar bahwa pembelajaran IPA dengan keterpaduan model webbed dapat meningkatkan literasi sains siswa.


(16)

2. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan asumsi di atas peneliti membuat hipotesis yaitu terdapat perbedaan peningkatan literasi sains yang signifikan antara kelas yang menerapkan pembelajaran IPA terpadu model webbed dengan kelas yang tidak menerapkan pembelajan IPA terpadu.

G. Struktur Organisasi Tesis

Tesis ini disusun dalam 5 (lima) bab, bab I Pendahuluan terdiri atas; Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Operasional dan Struktur Organisasi Tesis, bab II Pembelajaran IPA Terpadu Model Webbed Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa meliputi; Hakekat Pembelajaran IPA Terpadu Model Webbed, Pengertian Literasi Sains dan Tinjauan Pembelajaran Tema Mengapa Tubuhku Bisa Merasakan Perubahan Suhu, bab III Metodologi Penelitian membahas; Metode dan Desain Penelitian, Subjek Penelitian, Prosedur Penelitian, Instrumen Penelitian dan Teknik Pengolahan Data, bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian menjelaskan; Temuan Penelitian dan Pembahasan dan bab V Kesimpulan dan Rekomendasi.


(17)

8

Herni Suryaneza, 2015

BAB II

PEMBELAJARAN IPA TERPADU MODEL WEBBED UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA

A. Hakekat Pembelajaran IPA Terpadu Model Webbed 1. Pembelajaran IPA Terpadu

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangan IPA selanjutnya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta saja, tetapi juga munculnya “metode ilmiah” (scientific methods) yang terwujud melalui suatu rangkaian ”kerja ilmiah” (working scientifically), nilai dan “sikap ilmiah” (scientific attitudes). Sejalan dengan

pengertian tersebut, IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan dengan sub-sub konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan observasi, selanjutnya akan bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih lanjut. (Carin dan Sund, 1993)

Merujuk pada pengertian IPA di atas, maka hakikat IPA meliputi empat unsur, yaitu:

1. produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum;

2. proses: yaitu prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi; evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan;

3. aplikasi: merupakan penerapan metode atau kerja ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari;

4. sikap: yang terwujud melalui rasa ingin tahu tentang obyek, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru namun dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar. Oleh karena itu IPA bersifat open ended karena selalu berkembang mengikuti pola perubahan dinamika dalam masyarakat. (Kemendikbud, 2013)


(18)

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah.

IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan. Diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) secara terpadu yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.

Berdasarkan uraian Fogarty tentang keterpaduan, Depdiknas (2006) menyatakan empat diantara keterpaduan sesuai untuk dikembangkan dalam pembelajaran IPA di tingkat satuan pendidikan sekolah menengah di Indonesia. Keempat model yang dimaksud adalah model integrated, shared, webbed, dan

connected. Empat model keterpaduan dipilih karena konsep-konsep dalam KD

IPA memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga memerlukan model yang sesuai agar memberikan hasil yang optimal. Perbandingan deskripsi karakteristik, kelebihan dan keterbatasan keempat model tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.


(19)

Herni Suryaneza, 2015

Tabel 2.1. Empat Model Pembelajaran IPA Terpadu yang Potensial untuk Diterapkan

Model Karakteristik Kelebihan Keterbatasan

Integrated  Membelajarkan konsep pada beberapa KD yang beririsan atau tumpang tindih

hanya konsep yang beririsan yang dibelajarkan  Pemahaman terhadap konsep lebih utuh (holistik)

 Lebih efisien

 Sangat kontekstual

 KD-KD yang konsepnya beririsan tidak selalu dalam semester atau kelas yang sama

 Menuntut wawasan dan penguasaan materi yang luas

 Sarana-prasarana, misalnya buku belum mendukung

Shared Membelajarkan semua konsep dari beberapa KD, dimulai dari konsep yang beririsan sebagai unsur pengikat

 Pemahaman terhadap konsep utuh

 Efisien

 Kontekstual

 KD-KD yang konsepnya beririsan tidak selalu dalam semester atau kelas yang sama

 Menuntut wawasan dan penguasaan materi yang luas

 Sarana-prasarana, misalnya buku belum mendukung

Webbed Membelajarkan beberapa KD yang berkaitan melalui sebuah tema  Pemahaman terhadap konsep utuh  Kontekstual

 Dapat dipilih tema-tema menarik yang dekat dengan kehidupan

 KD-KD yang konsepnya berkaitan tidak selalu dalam semester atau kelas yang sama

 Tidak mudah menemukan tema pengait yang tepat.

Connected Membelajarkan sebuah KD, konsep-konsep pada KD tersebut dipertautkan dengan konsep pada KD yang lain

 Melihat perma-salahan tidak hanya dari satu bidang kajian

 Pembelajaran dapat mengikuti KD-KD dalam standar isi

Kaitan antara bidang kajian sudah tampak tetapi masih didominasi oleh bidang kajian tertentu

Sumber Depdiknas, 2006

Diantara semua jenis model keterpaduan, model webbed merupakan salah satu model keterpaduan yang relevan digunakan dalam penelitian ini dengan mengusung tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu yang terdiri


(20)

dari subtema indera peraba, suhu, termometer, kalor, dan perpindahan kalor secara konduksi, konveksi dan radiasi. Pemilihan model webbed dengan tema ini karena pemahaman terhadap konsep menjadi utuh, kontekstual dan tema sangat menarik karena dekat dengan kehidupan sehari-hari (Depdiknas, 2006).

2. Pembelajaran IPA Terpadu Model Webbed

Pembelajaran IPA terpadu model webbed merupakan pembelajaran terpadu yang menggunakaan pendekatan tematik untuk mengintegrasikan materi pelajaran (Fogarty, 1991: 54). Pendekatan ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema tertentu. Tema bisa ditetapkan dengan negosiasi antara guru dengan siswa, tetapi dapat pula dengan cara diskusi sesama guru. Setelah tema tersebut disepakati, maka dikembangkanlah sub-sub temanya dengan memperhatikan kaitannya dengan bidang-bidang studi. Dari sub-sub tema tersebut dikembangkan aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan (Trianto, 2012: 41).

a. Prinsip Penggalian Tema

Penggalian tema merupakan prinsip utama (fokus) dalam pembelajaran terpadu terutama model webbed. Artinya tema-tema yang akan ditentukan ada keterkaitan dan menjadi target utama dalam pembelajaran, dengan demikian penggalian tema tersebut hendaklah memperhatikan beberapa hal, yaitu:

1. Tidak terlalu luas, tetapi dengan mudah dapat digunakan untuk memadukan banyak mata pelajaran;

2. Bermakna, artinya bahwa tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya;

3. Disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologi siswa; 4. Mewadahi sebagian besar minat siswa;

5. Mempertimbangkan peristiwa-peristiwa otentik yang terjadi di dalam rentang waktu belajar;

6. Dipertimbangkan kurikulum yang berlaku serta harapan masyarakat; 7. Mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar (Trianto, 2012: 58).


(21)

Herni Suryaneza, 2015

b. Manfaat Penerapan Model Webbed

Manfaat penerapan model webbed dalam pembelajaran, yaitu:

1. Merupakan wahana ideal untuk mengangkat realita sehari-hari sebagai tema pengajaran;

2. Keterpaduan topik merupakan realita sehari-hari, pengalaman, dan dunia siswa;

3. Mengangkat realita sehari-hari dalam kegiatan pembelajaran dapat meningkatkan keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran;

4. Semua realita sehari-hari tidak berdiri sendiri dalam tatanan konsep-konsep pada satu mata pelajaran; dan

5. Pengajaran akan lebih bermakna apabila dimulai dari realita sehari-hari sebagai pengalaman siswa Majid (2013: 124).

c. Kelebihan dan Kelemahan Model Webbed

Kelebihan Pembelajaran IPA terpadu model webbed, yaitu;

1. Penyeleksian tema yang sesuai dengan minat akan memotivasi anak untuk belajar, sehingga siswa memperoleh pandangan yang utuh tentang kegiatan dari ilmu-ilmu yang berbeda;

2. Memudahkan perencanaan; dan

3. Memberi kemudahan bagi anak didik dalam melihat kegiatan-kegiatan dan ide-ide berbeda yang terkait, sehingga siswa dengan mudah melihat bagaimana kegiatan yang berbeda dan ide yang berbeda dapat saling berhubungan (Majid, 2013: 125).

Kelemahan pembelajaran IPA terpadu model webbed, yaitu:

1. Sulit dalam menyeleksi tema yang menyebabkan kecenderungan untuk mengambil tema sangat dangkal sehingga kurang bermanfaat bagi siswa; 2. Dalam pembelajaran guru lebih memusatkan perhatian pada kegiatan dari

pada pengembangan konsep, sehingga materi atau konsep menjadi terabaikan; dan


(22)

3. Memerlukan keseimbangan antara kegiatan dan pengembangan materi pelajaran (Trianto 2012: 42).

d. Pelaksanaan Pembelajaran Terpadu Model Webbed

Pembelajaran model webbed dilaksanakan mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual melalui enam tahapan keterlaksanaan yaitu tahap kontak, tahap kuriositi, tahap elaborasi, tahap pengambilan keputusan, tahap pengambilan intisari pembelajaran dan rekontekstualisasi dan tahap penilaian. Menurut Trianto (2012: 63) langkah-langkah model webbed dapat direduksi dari berbagai model pembelajaran seperti model pembelajaran langsung (direct

intructions), model pembelajaran kooperatif (cooperative learning), maupun

model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).

Dengan demikian langkah-langkah model webbed dapat bersifat fleksibel, artinya bahwa langkah-langkah model webbed dapat diakomodasi dari berbagai model pembelajaran yang dikenal dengan istilah setting atau merekonstruksi. (Trianto, 2012: 63).

1. Perencanaan

Secara umum dalam merencanakan pembelajaran terpadu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya profil siswa yang akan diharapkan, kebijakan-kebijakan kurikulum, kerangka kerja, dan silabus. Lonning (Majid, 2013: 127) mengungkapkan bahwa untuk merancang pembelajaran model webbed hendaknya memperhatikan langkah-langkah berikut 1) Menentukan atau memilih tema sentral; 2) Mengidentifikasi konsep-konsep yang akan dibahas; 3) Memilih kegiatan pembelajaran yang sesuai; dan 4) Menyusun jadwal kegiatan secara sistematis.

Pada dasarnya keterpaduan pemahaman selalu berlangsung bagi peserta didik, baik secara vertikal maupun horizontal (Majid, 2013: 125). Keterpaduan secara vertikal berlangsung mulai dari materi kelas VII sampai kelas IX, bahkan keterpaduan pemahaman tersebut berlangsung mulai dari Sekolah Dasar. Sedangkan keterpaduan secara horizontal merupakan keterpaduan tentang


(23)

Herni Suryaneza, 2015

keluasan dan kedalaman materi pembelajaran dalam satu mata pelajaran. Untuk pelaksanaan pembelajaran model webbed perlu dilakukan pemetaan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) terlebih dahulu. Namun harus diupayakan tidak satupun KI atau KD yang pencapaiannya parsial tanpa mengaitkan atau memadukannya dengan KI atau KD lain yang relevan. Dalam buku panduan pelaksanaan pembelajaran IPA Terpadu (2011). Pemetaan dan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1. Pemetaan dan Penyusunan RPP Pembelajaran Terpadu Model Webbed Sumber Kemendiknas

Merumuskan indikator pembelajaran IPA terpadu model webbed Memetakan SK dan KD bidang kajian IPA yang akan dipadukan

Menentukan tema pemersatu

Menyusun silabus pembelajaran IPA terpadu model webbed

Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu model webbed Menentukan jenis keterpaduan konsep-konsep

antar KD dalam bidang kajian IPA

webbed

Membuat matriks atau bagan hubungan konsep dalam KD


(24)

Langkah-langkah Penyusunan Rencana Pembelajaran Model Webbed :

1. Mengkaji dan memetakan semua KI dan KD dari bidang kajian yang akan dipadukan. Kegiatan pemetaan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh dan utuh.

2. Menentukan beberapa konsep dari beberapa KD dipersatukan melalui sebuah tema.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan tema, pada pembelajaran webbed adalah a) Relevan dengan KD-KD yang dipadukan; b) Memperhatikan isu-isu yang aktual dan menarik; dan c) Kontekstual, yaitu dekat dengan pengalaman pribadi peserta didik dan sesuai dengan keadaan lingkungan setempat.

1. Merumuskan indikator pencapaian hasil belajar sesuai KD-KD yang dipadukan.

2. Menyusun silabus pembelajaran model webbed berdasarkan sejumlah indikator yang telah dihasilkan. Setelah silabus tersusun, selanjutnya dikembangkan RPP.

2. Pelaksanaan Pembelajaran

Menurut buku panduan pengembangan pembelajaran IPA Terpadu (2011) pembelajaran harus dijabarkan dari silabus menjadi RPP dan dikemas menjadi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup/tindak lanjut yang akan diuraikan di bawah ini.

a. Kegiatan Pendahuluan/Awal

Kegiatan pendahuluan dilakukan untuk menciptakan suasana awal yang kondusif, sehingga pembelajaran akan berjalan efektif dan peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Efisiensi waktu dalam kegiatan awal ini perlu diperhatikan, karena waktu yang tersedia relatif singkat, yaitu antara 5-10 menit.

Langkah-langkah dalam kegiatan pendahuluan antara lain: menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran, melakukan kegiatan apersepsi (apperception) yang berupa mengecek atau


(25)

Herni Suryaneza, 2015

memeriksa kehadiran siswa (presence, attendance). memotivasi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai, dan menyampaikan cakupan materi, serta penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus untuk menumbuhkan kesiapan belajar siswa (readness), selain itu guru dapat pula melakukan penilaian awal (tes awal/pretest) secara lisan maupun tertulis.

b. Kegiatan Inti

Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan inti dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menan -tang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik sehingga dapat membentuk pengalaman belajar peserta didik (learning experience).

Menurut Permen Diknas 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses Pembela-jaran, kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

Dalam kegiatan eksplorasi, guru melibatkan peserta didik untuk : (i) mencari informasi yang luas dan dalam tentang tema yang akan dipelajari; (ii) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar yang beragam, (iii) memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; (iv) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan (v) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium atau lapangan.

Dalam kegiatan elaborasi, guru: (i) membiasakan peserta didik mencari literatur yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna, termasuk mencari informasi dari internet; (ii) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas dan diskusi untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun


(26)

tertulis; (iii) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; (iv) berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; (v) membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik secara lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; serta (vi) melalui kegiatan-kegiatan lain yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.

Dalam kegiatan konfirmasi, guru: (i) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik; (ii) melakukan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi sehingga peserta didik memahami hasil-hasil yang benar; serta (iii) melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar bermakna dalam mencapai kompetensi dasar.

c. Kegiatan Penutup/Akhir dan Tindak Lanjut

Sebagaimana waktu untuk kegiatan pendahuluan, waktu yang tersedia untuk kegiatan penutup atau kegiatan akhir ini juga cukup singkat, karena itu guru perlu mengatur dan memanfaatkannya secara efisien. Kegiatan penutup antara lain: mengajak peserta didik untuk menyimpulkan materi yang telah diajarkan, melaksanakan tindak lanjut pembelajaran dengan pemberian tugas atau latihan yang harus dikerjakan di rumah, menjelaskan kembali bahan yang dianggap sulit oleh peserta didik, membaca materi pelajaran tertentu, mendiskusikan terapannya dalam kehidupan sehari-hari, mengemukakan tema/topik yang akan dibahas pada pertemuan selanjutnya, memberikan evaluasi secara lisan atau tertulis (posttest), dan memberikan penghargaan kepada peserta didik yang kinerjanya bagus.

Peneliti memilih pembelajaran IPA terpadu model webbed karena pembelajaran terpadu model webbed lebih mudah dilakukan oleh guru yang belum berpengalaman, memudahkan perencanaan juga merupakan wahana ideal untuk mengangkat realita sehari-hari sebagai tema pengajaran. Keterpaduan topik merupakan realita sehari-hari, pengalaman, dan dunia nyata siswa, dengan mengangkat realita sehari-hari dalam kegiatan pembelajaran dapat meningkatkan


(27)

Herni Suryaneza, 2015

keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran, sehingga pengajaran akan lebih bermakna apabila dimulai dari realita sehari-hari sebagai pengalaman siswa. Selain itu penyeleksian tema yang sesuai dengan minat akan memotivasi anak untuk belajar, sehingga siswa memperoleh pandangan yang utuh tentang kegiatan dari ilmu-ilmu yang berbeda sehingga memberi kemudahan bagi anak didik dalam melihat kegiatan-kegiatan dan ide-ide berbeda yang terkait, sehingga siswa dengan mudah melihat bagaimana kegiatan yang berbeda dan ide yang berbeda dapat saling berhubungan.

B. Literasi Sains

1. Definisi Literasi Sains

Literasi sains terbentuk dari dua kata yaitu literasi dan sain. Secara harfiah bahwa literasi berasal dari kata “literacy” yang artinya melek huruf/gerakan pemberantasan buta huruf (Echols & Shadily, 1998). Sedangkan sains berasal dari kata “science” dari bahasa Inggris yang berarti ilmu

pengetahuan. Literasi sains (science literacy), berasal dari kata literatus (latin: ditandai dengan huruf, melek huruf, berpendidikan) dan scientia (latin: memiliki pengetahuan).

Literacy dulu diartikan sebagai kegiatan membaca, menulis, dan

berhitung (dikenal dengan 3 R’s), sedangkan sekarang diartikan lebih luas yakni kemampuan esensial yang diperlukan orang dewasa untuk memberdayakan pribadi, memperoleh dan melaksanakan pekerjaan, serta berpartisipasi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politiknya (Nuryani, 2012).

Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (Pinto, 2009) literasi sains merupakan kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti untuk memahami dan membantu membuat keputusan tentang alam semesta dan perubahannya melalui kegiatan manusia. Literasi sains melibatkan penggunaan konsep-konsep kunci ilmiah untuk memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia dan isinya. Hal ini juga melibatkan kemampuan untuk mengenali pertanyaan ilmiah, menggunakan bukti, menarik


(28)

kesimpulan ilmiah dan mengkomunikasikan kesimpulan. Konsep-konsep ilmiah yang relevan dengan dunia siswa baik sekarang maupun dalam waktu yang akan datang.

Konsep Literasi sains tersebut lebih luas dari pada hanya sekedar kemampuan menbaca dan menulis melainkan diukur secara kontinum, bukan sekedar yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang. Artinya seseorang yang “literate” memiliki rentang kompetensi, dan tidak ada pembatas yang nyata antara

seseorang yang “fully literarate” dengan yang tidak (Nuryani, 2012). Hal ini sesuai dengan Pinto (2009) bahwa litersai sains sebagai tindakan yang menggunakan mental (dan kadang-kadang fisik) dalam memperoleh, menafsirkan dan menggunakan bukti-bukti atau data untuk mendapatkan pengetahuan atau pemahaman. Bahkan dalam PISA 2009 literasi sains tersebut berfokus pada tiga proses ilmiah, yaitu, 1) mengidentifikasi isu-isu ilmiah, 2) menjelaskan fenomena ilmiah, dan 3) menggunakan bukti ilmiah

Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains saja, melainkan lebih dari itu. PISA juga menilai pemahaman peserta didik terhadap karakteristik sains sebagai penyelidikan ilmiah, kesadaran akan betapa sains dan teknologi membentuk lingkungan material, intelektual dan budaya, serta keinginan untuk terlibat dalam isu-isu terkait sains, sebagai manusia yang reflektif.

Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah meneruskan belajar sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warga negara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan teknologi.

Literasi sains memiliki beberapa aspek, berikut ini akan dibahas beberapa aspek dari literasi sains dari beberapa pendapat.


(29)

Herni Suryaneza, 2015

2. Aspek Literasi Sains

Menurut Gasdent (1979: 44) ada tujuh (7) aspek literasi sains, yaitu : 1)

Processes of science (Proses Sains); 2) Concepts underlying science (Konsep

sains) ; 3) Nature of science (Hakikat Sains) 4) Science and society (Sains dan masyarakat); 5) Manipulative skills (Ketarampilan sains); 6) Attitudes toward

science (Sikap Sains); (7) Values of science (Nilai Sains).

PISA menetapkan 3 (tiga) dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yaitu konten sains (scientific content), proses sains (scientific

processes), dan sikap siswa (scientific attitude). Dalam penelitian ini diterapkan

ketiga dimensi literasi sains tersebut, yaitu konten sains (contents science), proses sains (scientific processes) dan sikap siswa (scientific attitude).

a. Konten Sains (Scientific Content)

Pada dimensi konten atau scientific content siswa perlu menangkap sejumlah konsep kunci atau esensi untuk dapat memahami fenomena alam tertentu dan perubahan-perubahan yang terjadi akibat kegiatan manusia. Hal tersebut merupakan gagasan besar pemersatu yang membantu menjelaskan aspek-aspek lingkungan fisik. PISA mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mempersatukan konsep-konsep fisika, kimia, biologi, ilmu bumi, dan antariksa.

Oleh karena menyatukan konsep-konsep fisika, kimia, biologi, ilmu bumi dan antariksa sesuai dengan tujuan PISA yang bermaksud mendeskripsikan seberapa jauh siswa mampu mengaplikasikan pengetahuan dalam konteks yang terkait kehidupannya, dan soal-soal PISA hanya mencakup sampel pengetahuan sains, maka PISA menentukan kriteria pemilihan konten sains sebagai berikut : 1) relevan dengan situasi kehidupan nyata; 2) merupakan pengetahuan penting sehingga penggunaannya berjangka panjang; 3) sesuai untuk tingkat perkembangan anak usia 15 tahun.

Pengetahuan ini diperlukan untuk memahami tentang alam dan untuk memberikan pengalaman dalam situasi pribadi, sosial dan global. Kerangka kerja ini menggunakan sistem jangka bukan hanya deskripsi ilmu bidang utama untuk


(30)

menyampaikan gagasan bahwa warga negara harus menerapkan pemahaman mereka tentang konsep-konsep dari ilmu fisika dan kehidupan, Bumi dan ilmu ruang, dan teknologi, dalam situasi yang berinteraksi secara lebih menyatu.

Tabel 2.2. Kategori PISA Tentang Ilmu IPA

Kategori Cakupan Pengetahuan

Sistem Fisik

Struktur materi (a.l. Model particle, obligasi)

Properties materi (a.l. perubahan negara, konduktivitas panas dan listrik)

Perubahan kimia materi (a.l. reaksi, transfer energi, asam / basa) Gerakan dan kekuatan (a.l.kecepatan, gesekan)

Energi dan transformasinya (a.l. konservasi, pemborosan, reaksi kimia)

Interaksi energi dan materi (a.l. cahaya dan gelombang radio, suara dan gelombang seismik)

Sistem Hidup

Sel (a.l. struktur dan fungsi, tumbuhan dan cahaya)

Tubuh manusia (a.l. kesehatan, nutrisi, sub-sub sistem tubuh manusia yang mencakup pencernaan, pernapasan, sirkulasi, ekskresi, serta penyakit dan reproduksi)

Populasi (a.l. spesies, evolusi, keanekaragaman hayati, variasi genetik)

Ekosistem (a.l. rantai makanan, aliran materi, dan energi) Biosfer (a.l. kelestarian alam)

Sistem Bumi dan Antariksa

Struktur dan sistem bumi (al. Litosfer, atmosfer, hidrosfer) Energi dalam sistem bumi (a.l. sumber daya alam, iklim global) Perubahan dalam sistem bumi (a.l. tektonik lempeng, siklus geokimia, gaya-gaya konstruktif dan destruktif)

Sejarah bumi (a.l. fosil, asal-usul dan evolusi bumi) Bumi dan antariksa (a.l. sistem tatasurya)

Sistem Teknologi

Peran teknologi berbasis ilmu pengetahuan (a.l. memecahkan masalah, membantu manusia memenuhi kebutuhan dan keinginan, desain dan melakukan investigasi)

Hubungan antara ilmu pengetahuan dan teknologi (a.l. teknologi berkontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan)

Konsep (a.l. optimasi, trade-off, biaya, risiko, manfaat)

Prinsip-prinsip penting (a.l. kriteria, batasan, inovasi, penemuan, pemecahan masalah)


(31)

Herni Suryaneza, 2015

Selain pengetahuan IPA yang harus dikuasai siswa juga harus menguasai struktur keilmuan dari IPA. Menurut PISA 2009 bahwa struktur keilmuan dari sains memiliki dua kategori yaitu berpusat pada penyelidikan ilmiah dan penjelasan ilmiah. Penjelasan ilmiah adalah hasil dari penyelidikan ilmiah. Seseorang dapat berpikir bahwa penyelidikan sebagai sarana ilmu (bagaimana para ilmuwan mendapatkan data) dan penjelasan ilmiah merupakan tujuan ilmu pengetahuan (bagaimana para ilmuwan menggunakan data).

Tabel 2.3. Kategogori PISA Tentang Pengetahuan Alam

Kategori Struktur Keilmuan yang Harus Dikuasai

Penyelidikan Ilmiah

Asal (a.l. keingintahuan, pertanyaan-pertanyaan ilmiah)

Tujuan (a.l. untuk menghasilkan bukti yang membantu pertanyaan ilmiah jawaban, ide-ide saat ini / model / teori pertanyaan panduan) Percobaan (a.l. pertanyaan yang berbeda menunjukkan berbeda ilmiah penyelidikan, desain)

Tipe data (a.l.. kuantitatif [pengukuran], kualitatif [observasi]) Pengukuran (a.l. ketidakpastian yang melekat, pengulangan, variasi, akurasi / presisi dalam peralatan dan prosedur)

Karakteristik hasil (a.l. empiris, tentatif, diuji, difalsifikasi, mengoreksi diri)

Penjelasan Ilmiah

Tipe (a.l. hipotesis, teori, model hukum)

Pembentukan (a.l. representasi data, peran pengetahuan yang masih ada dan bukti baru, kreativitas dan imajinasi, logika)

Aturan (a.l. harus logis konsisten, berdasarkan bukti, sejarah dan pengetahuan saat ini)

Hasil (a.l. menghasilkan pengetahuan baru, metode baru, teknologi baru, menimbulkan pertanyaan baru dan investigasi)

Sumber : PISA 2009 b. Proses Sains (Scientific Processes)

PISA mengutamakan penilaian kompetensi kemampuan untuk mengidentifikasi isu yang berorientasi ilmiah, seperti menjelaskan, atau memprediksi fenomena berdasarkan pengetahuan ilmiah; menafsirkan bukti dan membuat kesimpulan, serta menggunakan bukti ilmiah untuk membuat keputusan dan berkomunikasi juga mampu mendemonstrasikan. Kompetensi dalam penilaian PISA melibatkan penerapan pengetahuan ilmiah, baik ilmu pengetahuan sebagai


(32)

ilmu maupun pengetahuan tersebut berbentuk pengetahuan dengan pendekatan penyelidikan/eksperimen.

PISA menjadikan proses sains sebagai salah satu domain penilaiannya. PISA memilih istilah “kompetensi sains” sebagai pengganti proses sains. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat saat menjawab pertanyaan ilmiah atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan sesuai dengan bukti yang ada (Nuryani, 2012).

PISA 2009 menetapkan tiga (3) aspek dari komponen proses/kompetensi sains dalam penilaian literasi sains, yaitu 1) mengidentifikasi isu-isu ilmiah; 2) menjelaskan fenomena ilmiah; dan 3) menggunakan bukti ilmiah. Alasan utama PISA menggunakan ketiga aspek tersebut adalah bahwa beberapa proses kognitif memiliki arti khusus dan relevan untuk literasi sains.

Di antara proses kognitif yang tersirat dalam kompetensi ilmiah adalah penalaran induktif (penalaran rinci dari fakta kepada prinsip-prinsip umum) dan penalaran deduktif (penalaran dari umum ke khusus), pemikiran kritis yang terintegrasi, mengubah representasi (dari data ke tabel, dari tabel menjadi grafik), membangun dan mengkomunikasikan argumen serta penjelasan berdasarkan data, berpikir dengan model-model, dan menggunakan matematika, proses pengetahuan dan keterampilan.

Tabel 2.4. Penjelasan Penilaian Proses Sains oleh PISA

Proses Sains Penjelasan dari Proses Sains Mengidentifikasi

isu-isu ilmiah

Mengakui masalah yang mungkin untuk melakukan penyelidikan secara ilmiah

Mengidentifikasi kata kunci untuk mencari informasi ilmiah

Menyadari fitur kunci dari sebuah penyelidikan ilmiah Menjelaskan Menerapkan pengetahuan ilmu dalam situasi tertentu


(33)

Herni Suryaneza, 2015

Proses Sains Penjelasan dari Proses Sains

fenomena ilmiah Menggambarkan atau menafsirkan fenomena ilmiah dan memprediksi perubahan

Mengidentifikasi deskripsi yang tepat, penjelasan, dan prediksi

Menggunakan bukti ilmiah

Menafsirkan bukti ilmiah dan membuat kesimpulan dan mengkomunikasikan

Mengidentifikasi asumsi, bukti dan alasan di balik kesimpulan

Berkaca pada implikasi sosial dari ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi

Sumber : PISA 2009 c. Sikap Sains

Sikap individu memainkan peran penting dalam minat dan respons mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya dan isu-isu yang mempengaruhi mereka secara khusus. Salah satu tujuan dari ilmu pendidikan bagi siswa adalah untuk mengembangkan sikap yang membuat mereka lebih perduli terhadap masalah ilmiah dan selanjutnya dapat memperoleh dan menerapkan ilmu dan pengetahuan teknologi yang diperolehnya untuk kepentingan pribadi, sosial, dan global.

Perhatian PISA untuk sikap terhadap ilmu pengetahuan didasarkan pada keyakinan bahwa literasi sains seseorang termasuk adanya sikap, keyakinan, orientasi motivasi, rasa self-efficacy, nilai-nilai, dan tindakan yang utama. Hal ini didukung oleh Klopfer (1976) tentang struktur domain afektif dalam ilmu pendidikan, serta ulasan penelitian sikap (misalnya, Gardner, 1975, 1984; Gauld & Hukins, 1980; Blosser, 1984; Laforgia, 1988; Osborne, Simon & Collins, 2003; Schibeci, 1984) dan penelitian sikap siswa terhadap lingkungan (misalnya, Bogner & Wiseman, 1999; Eagles & Demare, 1999; Weaver, 2002; Rickinson, 2001) dalam PISA 2009.

Pada PISA 2006, ketika ilmu pengetahuan merupakan domain utama yang dinilai, penilaian sikap dengan menggunakan angket siswa dan melalui pertanyaan yang diajukan dikontekstualisasikan segera setelah tes pertanyaan


(34)

dengan banyak unit (OECD, 2006). Pertanyaan-pertanyaan tentang sikap dikontekstualisasikan dengan isu yang dibahas dalam pertanyaan tes. Namun, karena ilmu merupakan bagian kecil dari penilaian PISA di 2009, maka pertanyaan sudah mengandung penilaian sikap.

Tabel 2.5. Aspek Respon Sikap Terhadap Isu Sains dalam PISA 2006

Kategori Cakupan Aspek Respon Sikap Terhadap Isu Sains Mendukung

inkuiri sains

Menyatakan perbedaan perspektif sains dan argumen Mendukung penggunaan informasi faktual dan eksplanasi Menyatakan kebutuhan logika dan proses yang hati-hati dalam menggambarkan kesimpulan

Percaya diri sebagai pembelajar sains

Mengerjakan tugas sains secara efektif

Mengatasi kesulitan untuk memecahkan masalah secara ilmiah

Menunjukkan kekuatan kemampuan ilmiah Ketertarikan

terhadap sains

Menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dengan usaha yang keras terhadap sains dan isu-isu terkait sains

Menunjukkan kemauan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan ilmiah dan kemampuan menggunakan sejumlah sumber dan metode

Menunjukkan kemauan untuk mendapatkan informasi dan ketertarikan yang terus-menerus terhadap sains, termasuk mempertimbangkan karir yang berhubungan dengan sains Tanggungjawab

terhadap sumber dan lingkungan alam

Menunjukkan rasa bertanggungjawab secara personal untuk memelihara lingkungan

Menunjukkan kepedulian pada dampak lingkungan akibat perilaku manusia

Menunjukkan kemauan untuk mengambil sikap menjaga sumber alam

Sumber : PISA 2006

3. Assesmen

PISA merancang asesmen sains yang berkaitan dengan : a. Ilmu atau Konsep Sains

Dalam PISA, selain konsepnya yang terkait dengan ilmu fisika, kimia, biologi, dan Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA) juga aplikasinya dalam suatu konten tertentu sehingga bukan hanya sekedar mengingat


(35)

Herni Suryaneza, 2015

kembali konsep. Hal inilah yang mendasari hubungan yang membantu pemahaman dari fenomena tertentu.

b. Proses Ilmiah

Ketiga proses ini terdapat dalam PISA yang berhubungan dengan: 1) mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi suatu fenomena, 2) memahami pencarian ilmiah, dan 3) menginterpretasikan bukti ilmiah dan kesimpulan. Hal ini dipusatkan pada kemampuan untuk memperoleh, menginterpretasi, dan bertindak berdasarkan bukti.

c. Situasi atau Konteks

Kerangkanya mengidentifikasi tiga area utama, diantaranya: sains dalam kehidupan dan kesehatan, sains mengenai Bumi dan lingkungan, serta sains dan teknologi. Hal inilah yang terkait dengan aplikasi pengetahuan sains dan proses sains yang diterapkan.

Untuk tujuan asesmen, definisi PISA mengenai literasi sains dapat dikarakterisikan menjadi empat aspek yang saling berhubungan, yaitu : 1) Konteks: mengenal situasi dalam kehidupan yang melibatkan sains dan teknologi; 2) Pengetahuan: memahami alam berdasarkan pengetahuan sains yang meliputi ilmu mengenai alam dan ilmu mengenai sains; 3) Kompetensi: mendemonstrasikan kompetensi sains termasuk mengidentifikasi isu-isu ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti; 4) Sikap: mengindikasikan ketertarikan terhadap sains, mendukung inkuiri ilmiah, dan motivasi untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab terhadap sumber daya alam dan lingkungan.

d. Karakteristik Tes

Sejalan dengan pengertian PISA mengenai literasi sains, butir-butir soal memerlukan penggunaan kompetensi sains dalam konteks. Ini melibatkan aplikasi dari pengetahuan. Kerangka untuk asesmen PISA dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini


(36)

Gambar 2.2. Kerangka Assesmen Sains PISA 2009 (OECD, 2009)

PISA 2009 lebih memberikan perhatian terhadap aspek kognitif dan afektif siswa. Aspek kognitif meliputi pengetahuan siswa dan kapasitasnya untuk menggunakan pengetahuan secara efektif serta melibatkan proses kognitif yang merupakan karakteristik sains dalam bidang personal, sosial, dan global. Aspek afektif berhubungan dengan masalah yang dapat dipecahkan oleh pengetahuan sains dan yang dapat membentuk siswa mampu untuk membuat keputusan pada saat ini maupun masa yang akan datang (OECD, 2009).

Selain itu PISA juga memberikan perhatian terhadap aspek non-kognitif mengenai bagaimana siswa merespon keadaan, hal ini dinilai dari segi aspek sikap, terkait dengan ketertarikan yang melibatkan dukungan dan motivasi untuk melakukan tindakan (Schibeci, 1984 dalam OECD, 2009).

SIKAP Respon terhadap isu sains:

 Minat

 Dukungan terhadap inkuiri ilmiah  Tanggung jawab

PENGETAHUAN  Pengetahuan tentang alam (konsep dasar)  Pengetahuan tentang

sains

KOMPETENSI  Mengidentifikasi

isu-isu ilmiah

 Menjelaskan fenomena secara ilmiah dengan menerapkan

pengetahuan ilmiah  Menggunakan bukti

ilmiah untuk membuat dan mengkomunikasikan keputusan KONTEKS Situasi dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan sains dan teknologi

Diperlukan untuk:

Dipengaruhi oleh:


(37)

Herni Suryaneza, 2015

e. Hasil Tes PISA

Hasil PISA dilaporkan dalam suatu skala yang dibangun menggunakan bentuk generalisasi dari model Rasch seperti yang digambarkan oleh Adams,

Wilson, dan Wang (1997, OECD, 2009). Untuk masing-masing domain

(membaca, matematika, dan sains), skalanya disusun dengan nilai rata-rata 500 dan standar deviasi 100 untuk negara-negara OECD. Sekitar dua pertiga siswa di negara-negara OECD mencapai skor antara 400 dan 600 poin.

Ketika sains menjadi domain asesmen utama pada tahun 2006, enam level kecakapan digunakan dalam skala penilaian sains. Level-level ini juga digunakan pada PISA 2009. Tingkat kecakapan pada tiap-tiap level dapat dipahami dalam hubungannya dengan jenis-jenis kompetensi sains yang harus dicapai siswa pada level tertentu. Level yang menjadi baseline dari literasi sains adalah level 2. Pada level ini, siswa mulai bisa mendemonstrasikan pengetahuan ilmiah dan keterampilannya sehingga mereka mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan terkait dengan sains dan teknologi.

Penjelasan mengenai deskripsi untuk masing-masing level tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2.6.

Tabel 2.6

Deskripsi Enam Level Literasi Sains PISA (OECD, 2009)

Level Skor

terendah Kemampuan yang dapat dilakukan Siswa 6 708 Pada level 6, siswa dapat mengidentifikasi secara

konsisten, menjelaskan dan menerapkan pengetahuan sains dan pengetahuan tentang sains dalam berbagai situasi kehidupan yang kompleks. Mereka dapat

menghubungkan sumber-sumber informasi yang berbeda dan menjelaskan serta menggunakan bukti-bukti tersebut untuk pengambilan keputusan. Mereka jelas dan

konsisten menunjukkan kemajuan perkembangan pemikiran ilmiah dan penalaran, mereka menunjukkan kesediaan untuk menggunakan pemahaman sains mereka untuk mendukung pemecahan masalah pada situasi sains dan teknologi baru. Siswa pada level ini dapat


(38)

Level Skor

terendah Kemampuan yang dapat dilakukan Siswa pendapatnya untuk mendukung rekomendasi dan keputusan yang berpusat pada situasi personal, sosial maupun global.

5 633 Pada level 5, siswa dapat mengidentifikasi komponen-komponen sains dalam situasi kehidupan yang kompleks, menerapkan konsep sains dan pengetahuan tentang sains pada situasi tersebut, dan dapat membandingkan, memilih dan mengevaluasi bukti ilmiah yang sesuai untuk

menanggapi situasi kehidupan. Siswa pada level ini dapat menggunakan kemampuan penyelidikan yang

berkembang dengan baik, menghubungkan pengetahuan yang sesuai, dan berwawasan kritis terhadap situasi yang dihadapi. Mereka dapat membangun penjelasan

berdasarkan bukti dan berpendapat berdasarkan analisis kritis mereka

4 559 Pada level 4, siswa dapat bekerja secara efektif dengan situasi dan issu yang mungkin melibatkan fenomena eksplisit dan mengharuskan mereka untuk membuat kesimpulan tentang peran ilmu pengetahuan atau teknologi. Mereka dapat memilih dan mengintegrasikan penjelasan dari disiplin ilmu yang berbeda dari ilmu pengetahuan dan teknologi dan menghubungkan

penjelasan tersebut langsung ke aspek situasi kehidupan. Siswa dari level ini dapat merefleksikan tindakan mereka dan dapat mengkomunikasikan keputusan mereka menggunakan pengetahuan ilmiah dan bukti-bukti ilmiah 3 484 Pada level 3, siswa dapat dapat mengidentifikasi dengan

jelas dan menjelaskan masalah ilmiah dalam berbagai konteks.Mereka dapat memilih fakta dan ilmu

pengetahuan untuk menjelaskan fenomena dan

menerapkan model sederhana atau strategi penyelidikan. Siswa pada level ini dapat menginterpretasi dan

menggunakan konsep sains dari disiplin ilmu yang berbeda dan dapat menerapkannya. Mereka dapat

mengembangkan pernyataan singkat menggunakan fakta-fakta dan membuat keputusan berdasarkan pengetahuan ilmiah

2 409 Pada level 2, siswa memiliki pengetahuan yang cukup untuk memberikan penjelasan dalam konteks familiar atau menarik kesimpulan berdasarkan penyelidikan sederhana. Mereka mampu memberikan alasan dan memberikan interpretasi harfiah dari hasil penyelidikan ilmiah atau teknik pemecahan masalah.


(39)

Herni Suryaneza, 2015

Level Skor

terendah Kemampuan yang dapat dilakukan Siswa 1 335 Pada level 1, siswa memiliki pengetahuan ilmiah yang

terbatas yang hanya dapat diaplikasikan pada beberapa situasi yang dikenalinya. Mereka dapat menjelaskan secara ilmiah dengan jelas dan eksplisit berdasarkan bukti-bukti yang diberikan.

Sumber : PISA 2009

C. Tinjauan Pembelajaran Tema Mengapa Tubuhku Bisa Merasakan Perubahan Suhu

Tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu dapat dibahas secara terpadu dilihat berdasarkan dari subtema yang dipergunakan yaitu indera peraba, suhu, termometer, kalor dan perpindahan kalor secara konduksi, konveksi dan radiasi. Secara rinci dapat diamati dari KI dan KD yang dipergunakan dalam tema ini.

Tabel 2.7 KI dan KD yang Terkait

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya

1.1 Mengagumi keteraturan dan kompleksitas ciptaan Tuhan tentang aspek fisik dan kimiawi, kehidupan dalam ekosistem, dan peranan manusia dalam lingkungan serta mewujudkannya dalam pengamalan ajaran agama yang dianutnya 2. Menghargai dan menghayati

perilaku jujur, disiplin,

tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya

2.1 Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu; objektif; jujur; teliti; cermat; tekun; hati-hati; bertanggung jawab; terbuka; kritis; kreatif; inovatif dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi sikap dalam melakukan pengamatan, percobaan, dan berdiskusi


(40)

3 . Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata

3.7 Memahami konsep suhu, pemuaian, kalor, perpindahan kalor,dan penerapannya dalam mekanisme menjaga kestabilan suhu tubuh pada manusia dan hewan serta dalam kehidupan sehari-hari

4 . Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret

(menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori

4.7.1 Melakukan percobaan untuk

menyelidiki suhu dan perubahannya serta pengaruh kalor terhadap perubahan suhu dan perubahan wujud benda 4.7.2 Melakukan penyelidikan terhadap

karakteristik perambatan kalor secara konduksi, konveksi, dan radiasi

Adapun jaring-jaring materi dalam tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu dapat dilihat dalam Gambar 2.3 berikut ini.

Gambar 2.3 Materi pada tema Kalor dan Perubahan Suhu KALOR DAN PERUBAHAN SUHU (BIOLOGI) INDERA PERABA

(FISIKA)

SUHU

(KIMIA) TERMO METER (FISIKA) KALOR (FISIKA) PERPINDAHAN KALOR SECARA KONDUKSI, KONVEKSI DAN RADIASI MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN PERUBAHAN SUHU


(41)

Herni Suryaneza, 2015

Tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu dapat dibahas secara terpadu dilihat berdasarkan kompetensi dasar biologi, kompetensi dasar kimia, dan kompetensi dasar fisika. Kompetensi dasar biologi diaplikasikan dalam konsep indera peraba, kompetensi dasar kimia diaplikasikan dalam konsep zat pengisi termometer, sedangkan kompetensi dasar fisika diaplikasikan dalam konsep suhu, kalor dan perpindahan kalor.

1. Sistem Indera

Tubuh manusia mempunyai lima macam indera, yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, pembau, dan pengecap. Masing-masing organ imdera dikhususkan untuk mendeteksi adanya rangsangan tertentu. Mata mendeteksi adanya cahaya. Hidung dan lidah mendeteksi adanya molekul-molekul zat kimia. Telinga mendeteksi adanya getaran atau gelombang udara. Kulit mendeteksi adanya panas, dingin, sentuhan, dan tekanan. Organ indera bisa menentukan adanya rangsang tertentu karena ada sel-sel reseptor. Reseptor adalah bagian saraf yang menanggapi rangsang. Reseptor tertentu peka terhadap rangsang tertentu.

Indera peraba pada tubuh manusia adalah kulit. Di kulit terdapat beberapa organ penginderaan khusus disebut reseptor. Reseptor merupakan percabangan akhir dendrit dari neuron sensorik. Beberapa reseptor tersusun atas beberapa dendrit dan ada yang mempunyai sel khusus. Tiap reseptor hanya cocok untuk jenis rangsang tertentu saja. Jika reseptor dirangsang, terjadi impuls sepanjang dendrit yang diteruskan ke sistem saraf pusat. Ada lima cara menanggapi rangsang yang berupa sentuhan, tekanan, sakit, panas, atau dingin. Sebagai contoh, reseptor rasa sakit merupakan reseptor dengan dendrit yang gundul, terdapat di seluruh permukaan kulit. Jika rangsang cukup kuat, misalnya rangsang mekanik, temperatur, listrik atau kimiawi, maka reseptor ini akan bereaksi. Sensasi rasa sakit yang timbul merupakan suatu upaya untuk proteksi (melindungi diri). Hal ini merupakan sinyal-sinyal (pertanda) bahwa ada ancaman bagi tubuh yang dapat menyebabkan luka-luka.


(42)

Gambar 2.4 Kulit manusia dan reseptor inderanya Sumber : Kemdikbud

2. Suhu

Suhu sebuah benda adalah tingkat (derajat) panas suatu benda. Benda yang panas mempunyai derajat panas lebih tinggi daripada benda yang dingin. Hasil kegiatan penyelidikanmu menunjukkan bahwa indera perasa memang dapat merasakan tingkat panas benda. Akan tetapi, indera perasa bukan pengukur tingkat panas yang andal. Benda yang tingkat panasnya sama dirasakan berbeda oleh tangan kanan dan kirimu. Jadi, suhu benda yang diukur dengan indera peraba menghasilkan ukuran suhu kualitatif yang tidak dapat dipakai sebagai acuan. Suhu merupakan kuantitas fisika yang menunjukkan derajat panas suatu benda atau suatu lingkungan.

3. Termometer

a. Zat Pengisi Termometer

Suhu diukur secara kuantitatif dengan alat ukur suhu yang disebut termometer. Zat cair sebagai bahan pengisi termometer ada dua macam, yaitu air raksa dan alkohol. Zat cair tersebut memiliki beberapa keuntungan dan kerugian.

Reseptor Reseptor Rambut

Reseptor

Reseptor Reseptor


(43)

Herni Suryaneza, 2015

1. Termometer air raksa.

Gambar 2.5 Air Raksa Sumber : Kemdikbud

Nama Unsur : Mercury

Simbol : Hg

Nomor Atom : 80

Kelompok : Logam

Golongan : 2b

Sifat-sifat fisika dan kimia merkurium yaitu : a. Fase : liquid

b. Massa jenis ( cair) : 13.534 g.cm-3 c. Titk didih :6.29 – 88 K

d. Titk lebur : 234.32 K e. Titik leleh :79 oC

f. Titik kritis : 1750 K -172.00 Mpa g. Kalor peleburan : 2.29 kj.mol-1 h. Kalor penguapan : 59.11 kj.mol

i. Kapasitas kalor : (250C)27.983 j mol-1k-1 j. Berat spesifik : 4.3 di 68,0 Ao F (USCG, 1996) k. Molekul berat : 342,6 (USCG, 1996)


(44)

Berikut ini beberapa keuntungan air raksa sebagai pengisi termometer, antara lain :

1. Air raksa tidak membasahi dinding pipa kapiler, sehingga pengukurannya menjadi teliti.

2. Air raksa mudah dilihat karena mengkilat.

3. Air raksa cepat mengambil panas dari suatu benda yang sedang diukur. 4. Jangkauan suhu air raksa cukup lebar, karena air raksa membeku pada suhu –

400C dan mendidih pada suhu 3600C. 5. Volume air raksa berubah secara teratur.

Selain beberapa keuntungan, ternyata air raksa juga memiliki beberapa kerugian, antara lain:

1. Air raksa harganya mahal.

2. Air raksa tidak dapat digunakan untuk mengukur suhu yang sangat rendah. 3. Air raksa termasuk zat beracun sehingga berbahaya apabila tabungnya pecah.

2. Termometer alkohol

Senyawa alkohol memiliki sifat-sifat fisika dan sifat-sifat kimia sebagai berikut: a. Alkohol memiliki sifat yang mudah terbakar

b. Alkohol memiliki sifat yang mudah tercampur, terlarut dengan air, kelarutan ini disebabkan oleh adanya kemiripan struktur antara alkohol (R–OH) dan air (H–OH).

c. Alkohol dengan jumlah atom karbon sebanyak satu sampai empat berupa gas atau cair. Alkohol dengan jumlah atom lima sampai sembilan berupa cairan kental seperti minyak, sedangkan yang memiliki atom sepuluh atau lebih berupa zat padat.

d. Alkohol bersifat heterepolar. Memiliki sifat polar dari gugus –OH dan nonpolar dari gugus –R (alkil). Sifat polarnya tergantung dari panjang rantai alkilnya. Semakin panjang rantai alkilnya, maka sifat kepolarannya berkurang. Hal ini menyebabkan berkurangnya sifat kelarutannya. Alkohol


(45)

Herni Suryaneza, 2015

dengan suku rendah seperti metanol dan etanol lebih mudah larut dalam pelarut-pelarut yang polar seperti air.

e. Titik didih alkohol lebih tinggi daripada titik didih alkana. Hal ini disebabkan oleh gugus fungsi –OH yang sangat polar, sehingga gaya tarik-menarik antarmolekul alkohol mejadi sangat kuat.

Keuntungan menggunakan alkohol sebagai pengisi termometer, antara lain : 1. Alkohol harganya murah.

2. Alkohol lebih teliti, sebab untuk kenaikan suhu yang kecil ternyata alkohol mengalami perubahan volume yang besar.

3. Alkohol dapat mengukur suhu yang sangat rendah, sebab titik beku alkohol – 1300C.

Kerugian menggunakan alkohol sebagai pengisi termometer, antara lain : 1. Membasahi dinding kaca.

2. Titik didihnya rendah (780C)

3. Alkohol tidak berwarna, sehingga perlu memberi pewarna dahulu agar dapat dilihat.

b. Macam-macam Termometer 1. Termometer Zat Cair

Secara umum, benda-benda di alam akan memuai (ukurannya bertambah besar) jika suhunya naik. Kenyataan ini dimanfaatkan untuk membuat termometer dari zat cair. Perhatikan gambar di bawah ini, cairan terletak pada tabung kapiler dari kaca yang memiliki bagian penyimpan (reservoir/ labu).


(46)

Gambar 2.6. Termometer Zat Cair. Sumber : Andi Suhandi

Beberapa termometer yang menggunakan jenis zat cair yang berbeda, tergantung dari peruntukan termometer terlihat saat digunakan.

2. Termometer laboratorium

Bentuknya panjang dengan skala dari -10°C sampai 110°C menggunakan raksa.

Gambar 2.7. Termometer Laboratorium Sumber : Kemdikbud

Zat cair yang diperlukan : 1. Pemuaian teratur 2. Titik didih cukup tinggi 3. Tidak membasahi dinding

kapiler Pipa kapiler

Balon tempat


(47)

Herni Suryaneza, 2015

3. Termometer suhu badan

Termometer ini digunakan untuk mengukur suhu badan manusia. Skala yang ditulis antara 35⁰C dan 42⁰C. Pipa di bagian bawah dekat labu dibuat sempit sehingga pengukuran lebih teliti akibat raksa tidak segera turun kelabu/reservoir.

Gambar 2.8. Termometer Suhu Badan Sumber : Kemdikbud

4. Termometer Bimetal

Perubahan suhu pada dua logam yang jenisnya berbeda dan dilekatkan akan melengkung, karena logam yang satu memuai lebih panjang dibanding yang lain. Hal ini dimanfaatkan untuk membuat termometer.


(1)

97 Herni Suryaneza, 2015

PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU MENGGUNAKAN MODEL WEBBED UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA TEMA MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN PERUBAHAN SUHU

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan hasil penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pembelajaran IPA Terpadu model webbed untuk tema “mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu” dapat meningkatkan literasi sains, lebih baik daripada pembelajaran yang tidak menggunakan keterpaduan.

2. Pembelajaran IPA Terpadu model webbed pada tema “mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu” di kelas VII telah diimplementasikan, dengan mengelaborasi materi pelajaran Indera Peraba (Biologi), Termometer (Kimia) dan Suhu, Kalor dan Perpindahan Kalor (Fisika). Tahap pembelajaran meliputi tahap kontak (contact phase), tahap kuriositi (curiosity phase), tahap elaborasi (elaboration phase), tahap pengambilan keputusan (decision making phase), tahap pengambilan intisari pembelajaran (nexus phase) dan tahap penilaian (assessment phase). Pada implementasinya semua tahapan penerapan pembelajaran IPA terpadu model webbed telah terlaksana 100% sesuai dengan rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP).

3. Literasi sains siswa dengan pembelajaran IPA Terpadu model webbed meningkat lebih baik dari pada literasi sains siswa dengan pembelajaran tanpa keterpaduan, baik pada aspek konten maupun aspek proses. Peningkatan pada aspek konten terjadi dengan kategori tinggi untuk kelas eksperimen dan kategori sedang untuk kelas kontrol. Pada aspek proses, peningkatan terjadi pada kategori sedang, baik untuk kelas eksperimen maupun kontrol.

4. Siswa menunjukkan respon positif terhadap penerapan pembelajaran IPA Terpadu model webbed pada tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu.


(2)

98

Herni Suryaneza, 2015

PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU MENGGUNAKAN MODEL WEBBED UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA TEMA MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN PERUBAHAN SUHU

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil-hasil yang dicapai dalam penelitian ini, maka dapat direkomendasikan sebagai berikut :

1. Penelitian yang telah dilakukan baru terbatas pada lingkup pembelajaran di satu kelas saja. Untuk memperoleh hasil penelitian dengan tingkat kepercayaan lebih tinggi, perlu dilakukan perluasan implementasi pada kelas yang relevan di sekolah lainnya.

2. Pada penelitian ini fokus keterpaduan baru pada bidang studi IPA. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan literasi melalui keterpaduan dengan bidang studi lain yang potensial, seperti matematika dan IPS.

3. Siswa menemukan kesulitan dalam pembelajaran IPA terpadu model webbed pada tema mengapa tubuhku bisa merasakan perubahan suhu ketika harus mengambil kesimpulan dan presentasi hasil diskusi. Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi yang tepat dalam pembelajaran ini dan lebih lanjut di teliti efektifitasnya.


(3)

99

Herni Suryaneza, 2015

PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU MENGGUNAKAN MODEL WEBBED UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA TEMA MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN PERUBAHAN SUHU

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Alamendah’s Blog. (2013). http://journal_edu.424.

Arikunto, S. (2012). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Asniar. (2012). Software Pembelajaran IPA Terpadu Berdasarkan Model Connected untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa Kelas VIII pada Tema Rokok dan Kesehatan. Tesis SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan

Bahriah, E.S. (2012). Literasi Sains. [Online]. Tersedia http://evisapinatulbahriah.wordpress.com/2012/06/05/literasi-sains/ [7 Juli 2012) Campbell. (2000). Biologi. Jilid 1 (Edisi Kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Carin, A. A (1997). Teaching Science Thought Discovery. 8th Edition. New Jersey. Prentice

Hall, Inc

Chang, Raymond. (2005). Kimia Dasar. Konsep-konsep Inti. Jilid 1. Edisi ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Dahar, Ratna. W. (2011). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Darmadi, H. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Materi Pelatihan Terintegrasi Sains. Buku1 Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan Nasional.

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Contoh/Model Silabus Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Penerbit Direktorat Pembinaan SMP : Badan Standarisasi Nasional Pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional.

Echols, J.M dan Hassan Shadily. (1998). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

Fensham, Peter. (1979). Strategies And Implementation Of Integrated Science Education At The Post-Secondary Level. Volume V. UNESCO.

Fogarty. R. (1991). The Mindful School: How to Integrate the Curricula. Palatine Illinois. IRI/Skylight Publishing, Inc.

Fraenkel, J. R. & Wallen, N. E. (2007). How To Design And Evaluate Research In Education, 6thEdition. Singapore: McGrawHill.

Gasden T, Beclit P and Dawson G. (1979). The Design And Content Of Integrated Science Courses. Volume V. UNESCO


(4)

100

Herni Suryaneza, 2015

PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU MENGGUNAKAN MODEL WEBBED UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA TEMA MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN PERUBAHAN SUHU

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Holbrook, J. (1998). A Source Book for Teacher of Science Subjects. UNESCO

Holbrook. (2007). “The Nature of Science Education for Enhancing Scientific Literacy”.

International Journal of Science Education, 29: (11), 1347-1362, First published on: 03 April 2007 (iFirst)

Jacobs, L.C and Chase, C.I. (1992). Developing and Using Test Effectively. A Guide For Faculty. San Fransisco. USA: Jossey-Bass Publishers.

Kaniawati, Ida (2013). Hakikat IPA dan Pembelajaran IPA: Slide show Bandung; Universitas Pendidkan Indonesia.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013). Ilmu Pengetahuan Alam : Buku Guru Kelas VII. Jakarta: Penerbit Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Majid, Abdul. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: Penerbit Remaja Rosda Karya.

Meltzer, D. E. 2002.The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning in Physics: A Possible Hidden Variable in Diagnotice Pretest Scores. American Journal Physics. 70, (12), 1259-1286.

Muijs, D and Reynolds, D. (2008). Effective Teaching Theori dan Aplikasi. Edisi kedua. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Mulyitno. (2010). Pembelajaran Tematik Pengaruh Zat Aditif Makanan Terhadap Kesehatan dengan Pendekatan STL (Science Technology Literacy) untuk Meningkatkan Literasi Sains. Tesis pada SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Nentwig, P., Parchmann, I., Demuth, R., Grasel, C., Ralle, B. (2002). Chemie im Context-From situated learning in relevant contexts to a systematic IPN-UYSEG Oktober 2002, Kiel Jerman

Nurdin, A. (2012). Model Pembelajaran Webbed. [Online] tersedia :

http://www.ahmatnurdin.com/model-pembelajaran-terpadu-tipe-webbed. html [3

Maret 2013]

Nurdiyanti, Dewi. (2010). Pembelajaran IPA Terpadu pada Tema Sampah dan Usaha Penanggulangannya untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Nurlaelati. (2014). Penerapan Pembelajaran Ipa Terpadu Berdasarkan Model Webbed Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa Pada Tema Penjernihan Air. Tesis pada SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Nuryani. (2012). Litersi Sains Untuk Generasi Muda. Slide Show. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.


(5)

Herni Suryaneza, 2015

PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU MENGGUNAKAN MODEL WEBBED UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA TEMA MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN PERUBAHAN SUHU

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Nuryani. (2012). Literasi Sains Anak Indonesia 2000 dan 2003. Makalah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

OECD. (2003). PISA 2009 Assesment Framework :Key Competencies in Reading, Mathematic and Science.

OECD. (2006). PISA 2006: Science Competencies for Tomorrow’s World Executive Summary.

OECD (2009). Pisa 2009 Assessment Framework – Key Competencies In Reading, Mathematics And Science.

Peratuan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tentang Standar Proses.

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

Pinto. (2009). “Scientific Processes in PISA Tests Observed for Science Teachers”. International Journal of Science Education, 31, (16), 2137-2159.

Priatna. D.R. (2009). Pembelajaran IPA Terpadu Pada Topik Perubahan Materi untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. Paduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu SMP/MTs. Jakarta : Penerbit Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas.

Pusat Penelitian Pendidikan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2011), Seminar PISA : Analisis Trend Kemampuan Siswa Indonesia Hasil PISA 2000-2009. Jakarta: Penerbit PUSLITBANG KEMENDIKBUD.

Pusat Pengembangan Kurikulum. (2006). Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu SMP/MTs. Jakarta: Penerbit Puskur Balitbang Depdiknas.

Riki Nuryadin. (2013). Penerapan Metode Pembelajaran Tutor Sebaya Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Menggambar Konstruksi Bangunan SMK Negri 5 Bandung. Tesis pada SPs UPI. Tidak diterbitkan

Setiawan, W. (2001). Biologi Lingkungan 1C. Bandung: Penerbit Pusat Pengembangan Penataran Guru Ilmu Pengetahuan Alam.

Solihat, N. (2010). Penerapan Model Pembelajaran Fisika Berbasis Fenomena untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Penguasaan Konsep Sains. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Sudargo, Fransica. (2013). Metodologi Penelitian. Slide show Bandung; Universitas Pendidkan Indonesia.


(6)

102

Herni Suryaneza, 2015

PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU MENGGUNAKAN MODEL WEBBED UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA TEMA MENGAPA TUBUHKU BISA MERASAKAN PERUBAHAN SUHU

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Suhandi, Andi. (2013). Kajian IPA Fisika. Slide show Bandung; Universitas Pendidkan Indonesia.

Suanda, Dedi. (2010). Pembelajaran IPA Terpadu dengan Multimedia pada Tema Pencemaran Lingkungan untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Sumartati, Losarini. (2010). Pembelajaran IPA Terpadu pada Tema Makanan dan Pengaruhnya terhadap Kerja Ginjal untuk Meningkatkan Literasi sains Siswa MTs. Tesis pada SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

UPI. (2014). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Penerbit Universitas Pendidikan Indonesia.

Trianto. (2012). Model Pembelajatran Terpadu : Konsep, strategi, dan Implementasinya dalam KTSP. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Toharudin, Uus. (2011). Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung: Penerbit Humaniora

Wartono. (2004). Tema Pelatihan Terintegrasi. SAINS. Buku 4. Jakarta: Penerbit Depdiknas.

Wasis. (2008). Contextual Teaching and Learning Ilmu Pengetahuan Alam. Sekolah Menengah Pertama. Kelas VII. Jakarta: Penerbit Pusat Perbukuan Depdiknas.

Wilujeng, I. (2011). Pengembangan Program IPA Terintegrasi Guna Membekali Kompetensi Pendidik Calon Guru IPA SMP. Disertasi pada SPs. Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.

Winatapura, Udin S. (1999). Pendekatan Pembelajaran Kelas Rangkap. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Wuriyatmi. (2012). Pengembangan Perangkat Pembelajran IPA Terpadu dengan Menggunakan Pendekatan Guided Inquairy Model Webbed di SMP Negeri 3 Depok dan SMP Negeri 2 Tempel. FPMIPA UNY. Tidak diterbitkan.

Zulaiha, R. ( 2007). Analisis Butir Soal Secara Manual. Jakarta: Penerbit Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.