ANALISIS KUALITAS PRODUK SEPATU BOOT DENGAN METODE SIX SIGMA DI PT.WANGTA AGUNG SURABAYA.

(1)

DI PT.WANGTA AGUNG SURABAYA

SKRIPSI

Oleh :

ANGGARA PRASANDYA BARADITA

0732010173

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

Segala puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini.

Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi persyaratan kelulusan Program Sarjana Strata-1 (S-1) di Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dengan judul :

“ANALISIS KUALITAS PRODUK SEPATU BOOT DENGAN METODE SIX SIGMA DI PT.WANGTA AGUNG SURABAYA “.

Penyelesaian penyusunan Tugas Akhir ini tentunya tidak terlepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu tidak berlebihan bila pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Sang pencipta alam semesta Allah S.W.T

2. Prof. DR. Ir. Teguh Sudarto, MP. Selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Ir. Sutiono, MT. Selaku Dekan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

4. Dr. Ir.Minto Waluyo,MM. Selaku Ketua Jurusan Teknik Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

5. Ir. Budi Santoso, MMT Selaku Dosen Pembimbing I Skripsi. 6. Ir.Nisa Masruroh, MT Selaku Dosen Pembimbing II Skripsi


(3)

yang sudah membantu pelaksanaan penelitian untuk Tugas Akhir ini.

8. Kedua Orang Tuaku dan Kakak,Adik dan My Lovely Girl (Devy Ayu Nova Angelia) yang tak pernah lelah mendoakan agar pengerjaan Tugas Akhir ini dapat berjalan dengan lancar dan sukses demi keberhasilanku dimasa yang akan datang.

9. Semua pihak (Teman-Teman/Saudara) Farihul Ibad,Dedik Hariadi ,Azmil A’la,Taufik Fahmi,Nila Frensiana semua teman2 Paralel D, Ika, Djuangga (Gopok), Septian (Mbambot), Teguh (Menje), Nuansa (Unyil) dan seluruh teman seperjuangan Teknik Industri angkatan 2007 Paralel A,B,C,D yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu yang telah membantu secara moril dan materiil selama pelaksanaan penelitian dan penyelesaian penulisan Tugas Akhir ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan Tugas Akhir ini terdapat kekurangan, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun.

Akhir kata semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Terima Kasih.

Hormat saya,


(4)

KATA PENGANTAR ……….…. i

DAFTAR ISI ……….…. ii

DAFTAR TABEL ………. iii

DAFTAR GAMBAR ………. iv

ABSTRAKSI ……….…. v BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………. 1.2 Rumusan Masalah ……… 1.3 Batasan Masalah ……….. 1.4 Asumsi ...……….. 1.5 Tujuan Penelitian ………. 1.6 Manfaat Penelitian ……….. 1.7 Sistematika Penulisan ………..

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kualitas ………....………. 2.2 Pengendalian Kualitas ………...………. a.Pareto ... b.Histogram ... c.Diagram Sebab-akibat ... 2.3 Six Sigma ...…………... 2.3.1 Konsep Six Sigma Motorolla ... 2.4 DMAIC …………...………...………... 2.4.1 Define ………..…. 2.4.2 Measure ……….... 2.4.3 Analyze ………... 2.4.4 Improve ……….….... 2.4.5 Control ………...

1 2 2 3 3 3 4 6 8 10 11 11 13 18 20 21 23 24 26 27


(5)

2.7 Penentuan Kapabilitas Proses ……….…...…. 2.8 FMEA (Failure Mode and Effect Analyze) ……...….. 2.8.1 Severity ... 2.8.2 Occurrence ... 2.8.3 Detection ... 2.9 Brainstorming …...……….. 2.10 Penelitian Pendahulu ...………...

BAB III : METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian ………... 3.2 Identifikasi dan Definisi Variabel ……….……... 3.2.1 Identifikasi Variabel ... 3.2.2 Definisi Variabel ... 3.3 Metode PengumpulanData ... 3.4 Metode Pengolahan Data ... 3.5 Flowchart Pemecahan Masalah …...………..

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Menetapkan karakteristik kualitas (CTQ) kunci ... 4.2 Pengumpulan data ... 4.2.1 Menentukan defect terbesar ... 4.2.2 Menentukan Karakteristik Kualitas (CTQ) ... a.Prosentase defect sepatu boot jenis cacat TTS ... b. Prosentase defect sepatu boot jenis cacat LTJ ... c. Prosentase defect sepatu boot jenis cacat KNS ... d. Prosentase defect sepatu boot jenis cacat PTA ... e. Prosentase defect sepatu boot jenis cacat STR ... 4.2.3 Baseline kinerja ... 4.3 Analyse ... 4.3.1 Analisis kapabilitas proses ...

29 34 35 36 37 38 39 43 43 43 44 45 46 47 52 53 55 57 58 59 60 61 62 63 71 71


(6)

4.4.1 Menghitung nilai FMEA ... 4.4.2 Membuat tabel FMEA ... 4.4.3 Usulan Prioritas tindakan Perbaikan ... 4.5 Control ...

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 5.2 Saran ...

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

79 80 85 86

87 88


(7)

Tabel Judul Hal

Tabel 2.1 : Pencapaian tingkat Six Sigma ... 15

Tabel 2.2 : Perbedaan True Six Sigma dengan Motorolla Six Sigma ... 20

Tabel 2.3 : Tabel Konversi Sigma Motorolla ... 29

Tabel 2.4 : Skala Penilaian Severity ... 36

Tabel 2.5 : Skala Penilaian Occurrence ... 37

Tabel 2.6 : Skala Penilaian Detection ... 38

Tabel 4.1 : Jumlah produk dan defect pada sepatu boot ... 53

Tabel 4.2 : Data defect jenis CTQ pada sepatu boot ... 54

Tabel 4.3 : Prosentase defect pada sepatu boot ... 55

Tabel 4.4 : Prosentase jenis defect pada sepatu boot ... 56

Tabel 4.5 : Jumlah dan prosentase defect bulan April-September 2011 ... 57

Tabel 4.6 : Data prosentase defect sepatu boot jeis cacat TTS ... 58

Tabel 4.7 : Prosentase defect sepatu boot jenis cacat LTJ ... 59

Tabel 4.8 : Prosentase defect sepatu boot jenis cacat KNS ... 60

Tabel 4.9 : Prosentase defect sepatu boot jenis cacat PTA ... 61

Tabel4.10: Prosentase defect sepatu boot jenis cacat STR ... 62

Tabel4.11: DPMO dan sigma pada sepatu boot ... 64

Tabel4.12: DPMO dan sigma pada sepatu boot ... 65


(8)

iii

Tabel4.16: DPMO dan sigma pada sepatu boot ... 70

Tabel4.17: DPMO dan sigma pada sepatu boot ... 71

Tabel4.18: Rekapan nilai kapabilitas proses produksi sepatu boot ... 72

Tabel4.19: Failure Mode and Effect Analisis (FMEA) ... 82


(9)

Gambar Judul Hal

Gambar 2.1 : Contoh Gambar Pareto ... 10

Gambar 2.2 : Histogram ... 11

Gambar 2.3 : Contoh Fish Bone chart ... 13

Gambar 2.4 : Konsep Six Sigma Motorolla dengan Distribusi Normal bergeser 1,5-Sigma ... 19

Gambar 2.5 : Proses DMAIC ... 21

Gambar 3.1 : Flowchart ... 46

Gambar 4.1 : Jumlah jenis defect sepatu boot ... 54

Gambar 4.2 : Diagram Pareto (defect) pada sepatu boot ... 56

Gambar 4.3 : Diagram Pareto ( jenis defect) pada sepatu boot ... 57

Gambar 4.4 : Diagram Pareto (defect) sepatu boot jenis TTS ... 58

Gambar 4.5 : Diagram Pareto (defect) sepatu boot jenis LTJ ... 59

Gambar 4.6 : Diagram Pareto (defect) sepatu boot jenis KNS ... 60

Gambar 4.7 : Diagram Pareto (defect) sepatu boot jenis PTA ... 61

Gambar 4.8 : Diagram Pareto (defect) sepatu boot jenis STR ... 62

Gambar 4.9 : Diagram Sebab Akibat kecacatan Sol sepatu tidak rata(STR).. 73

Gambar 4.10 : Diagram Sebab Akibat kecacatan Tepi bagian atas sepatu tidak Sama (TTS) ... 74

Gambar 4.11 : Diagram Sebab Akibat kecacatan Logo tidak jelas (LTJ) ... 75

Gambar 4.12 : Diagram Sebab Akibat kecacatan Kain nylon sobek/lubang (KNS) ... 77

Gambar 4.13 : Diagram Sebab Akibat kecacatan penomoran ukuran sepatu Tidak ada/tidak jelas (PTA) ... 78


(10)

Is a series of overall quality and distinctive characteristics of a product or service as a whole or in satisfying the needs of consumers. Consumers as users become more critical in choosing a product or wear or use products and therefore this situation resulted in increasingly important role of quality.

problems in this PT.Wangta Agung is still the product defect boots. Due to relatively high levels of these defects greatly affect the quality of boots is therefore necessary to control quality control integrated with Six Sigma DMAIC aimed at a partial solution to overcome the problems of enterprises today.

Purpose of this study was to identify factors that have a significant influence on the quality of boots so that later in an optimal number of defects that occur can be suppressed with a minimum (zero defect). Separately controlling boots used six sigma method by analyzing the boots produced so that later obtained baseline level of performance that describes the level of output and value DPMO sigma quality level (SQL) for six months.

Case studies show that high levels of the DPMO boots are there in April 2011 at DPMO = 17 500 with a value of 3.608 means that the quality SQL boots this month is still a long way to achieve zero defect because it has a disability percentage of 1.75%. Whereas for the smallest level DPMO occurred in July 2011 with DPMO = 9770 and SQL value = 3.835. Boots products during the month of April 2011 - September 2011 has DPMO rate of 13 640 with the SQL value of 3.707. Of calculating the value of the FMEA table, then get priority in the improvement is on the human factor with RPN = 180 with the proposed improvements to provide training to operators and directed the operators to be more disciplined and rigorous in carrying out the production process.

Keyword : Defect, Six Sigma DMAIC, Baseline, DPMO, Sigma Quality Level (SQL), FMEA


(11)

Kualitas merupakan rangkaian keseluruhan karakterstik dan keistimewaan dari suatu produk atau jasa dalam memuaskan sebagian atau

keseluruhan kebutuhan dari konsumen. Konsumen sebagai pemakai produk semakin kritis dalam memilih atau memakai produk oleh karena itu keadaan ini mengakibatkan peranan kualitas semakin penting.

Permasalahan di PT. Wangta Agung ini adalah masih terjadinya defect produk Sepatu boot. Akibat relatif tingginya tingkat defect ini sangat mempengaruhi kualitas Sepatu boot oleh karena itu perlu adanya pengendalian kontrol kualitas yang diintegrasikan dengan Six Sigma DMAIC yang bertujuan sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan perusahaan saat ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kualitas Sepatu boot sehingga nantinya secara optimal jumlah defect yang terjadi dapat ditekan dengan seminimal mungkin (zero defect). Untuk pengendalian kualitas Sepatu boot digunakan metode Six Sigma dengan cara menganalisa dari Sepatu boot yang dihasilkan sehingga nantinya didapatkan baseline kinerja tingkat output yang menggambarkan tingkat DPMO serta Nilai Sigma Quality Level (SQL) selama enam bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat DPMO pada sepatu boot adalah terdapat pada bulan April 2011 sebesar DPMO = 17.500 dengan nilai SQL sebesar 3,608 berarti kualitas produk sepatu boot pada bulan ini masih jauh untuk mencapai zero defect karena memiliki persentase kecacatan sebesar 1,75%., sedangkan untuk tingkat DPMO yang terkecil terjadi pada bulan Juli 2011 dengan DPMO = 9.770 dan nilai SQL = 3,835. Produk Sepatu boot selama bulan April 2011 – September 2011 memiliki tingkat DPMO sebesar 13.640 dengan nilai SQL sebesar 3,707. Dari penghitungan nilai pada tabel FMEA, maka didapatkan prioritas utama dalam perbaikan adalah pada faktor manusia dengan RPN = 180 dengan memberikan usulan perbaikan Memberikan training kepada operator dan pengarahan kepada operator agar lebih disiplin dan teliti dalam menjalankan proses produksi.

Keywords : Defect, Six Sigma DMAIC, Baseline, DPMO ,Sigma Quality Level (SQL), FMEA


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kualitas merupakan keseluruhan karakteristik dan keistimewaan dari suatu produk atau jasa yang dihasilkan dari kemampuan produk atau jasa untuk memuaskan sebagian atau secara keseluruhan kebutuhan dari konsumen. Konsumen sebagai pemakai produk semakin kritis dalam memilih atau memakai produk, keadaan ini mengakibatkan peranan kualitas semakin penting. Berbagai macam metode dikembangkan untuk mewujudkan suatu kondisi yang ideal dalam sebuah proses produksi, yaitu zero defect atau tanpa cacat.

PT.Wangta Agung adalah perusahaan manufaktur yang memproduksi jenis Sepatu Boot didalam produksinya dengan jumlah karyawan ± 300 orang,PT. Wangta Agung sering mengalami masalah didalam hasil produksi pembuatan sepatu boot. Sepatu Boot yang dihasilkan sering mengalami kecacatan seperti Penomeran sepatu tidak ada, logo produk kurang jelas, dan lain sehingga sepatu boot yang cacat akan di proses ulang kembali (re-cyle) kembali dengan prosentase kecacatan secara keseluruhan sebesar 6,82%. Hal ini merugikan perusahaan karena akan memakan waktu produksi dan menimbulkan biaya tambahan yang semestinya tidak terjadi sehingga dilakukan analisa tingkat kualitas produk sepatu

boot sebagai upaya untuk mengurangi tingkat kecacatan (defect) Sepatu Boot.

Karakteristik dari perusahaan ini dalam hal jumlah produk yang diproduksi secara


(13)

Dengan menggunakan metode six sigma melalui pendekatan DMAIC akan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas yang menjadi akar penyebab masalah dari proses produksi sepatu boot sehingga dapat menentukan tindakan perbaikan yang tepat untuk memperbaiki kualitas produksi sepatu tersebut serta meminimalkan jumlah defect yang terjadi pada proses produksi sehingga akan menghemat biaya, waktu dan tenaga dan menjadikan kepuasan tersendiri bagi pelanggan. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dilakukan PT. Wangta Agung karena adanya masalah diatas.

Pada penelitian ini ada dua peneliti pandahulu yang telah menggunakan Six Sigma adalah Farihul Ibad pada tahun 2010 dengan judul penelitian “Analisis kualitas Aluminium Fluorida (AlF3 ) dengan metode Six Sigma di PT.Petrokimia Gresik Tbk” dan Moses L.Singgih dan Renanda pada tahun 2008 dengan judul penelitian “ Peningkatan kualitas produk kertas dengan menggunakan pendekatan Six Sigma di pabrik kertas Y “

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Berapa tingkat kualitas

Sepatu Boot dengan menggunakan metode six sigma di PT.WANGTA AGUNG Surabaya?”.

1.3 Batasan Masalah

Adapun Batasan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian hanya dilakukan pada produk sepatu boot


(14)

3. Pendekatan Six sigma yang digunakan adalah DMAIC

4. Tahap Control dilakukan oleh perusahaan sedangkan tahap Improve hanya sebatas usulan pada pihak perusahaan.

1.4 Asumsi

Asumsi-asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data yang digunakan dalam penelitian ini sudah mewakili data hasil kecacatan per bulan.

2. Produksi berjalan normal selama penelitian berlangsung.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui faktor–faktor penyebab terjadinya defect pada pembuatan produk Sepatu Boot.

2. Menganalisis kualitas produk berdasarkan Metode Six Sigma.

3. Memberikan rencana usulan perbaikan dengan menggunakan FMEA (Failure

Mode and Effect Analyze).

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(15)

Dapat mngetahui kinerja proses produksi dari segi level sigma dan dapat mengetahui prioritas tindakan dan tindakan yang harus dilakukan.

2. Bagi Peneliti :

Dapat memenuhi persyaratan kelulusan program pendidikan S1 di UPN ‘Veteran’ Jatim dan menambah pengetahuan mengenai analisis kualitas produk Sepatu Boot dengan pendekatan DMAIC

3. Manfaat bagi Universitas

Diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang mengadakan penelitian dengan permasalahan yang serupa dan untuk penelitian lebih lanjut dimasa yang akan datang.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, asumsi, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang landasan teori-teori yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian sebagai penunjang untuk mengolah dan


(16)

menganalisa data-data yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung yaitu teori tentang DMAIC.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang langkah-langkah dalam melakukan penelitian, mulai dari lokasi pencarian data, metode pengambilan data, identifikasi variabel, dan metode pengolahan data, yang dilakukan untuk mencapai tujuan dari penelitian selama pelaksanaan penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang data-data yang telah terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang ada.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan penutup tulisan yang berisi kesimpulan dan saran mengenai analisa yang telah dilakukan sehingga dapat memberikan suatu rekomendasi sebagai masukan ataupun perbaikan bagi pihak perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kualitas

Kualitas dalam konteks peningkatan proses adalah bagaimana baiknya kulitas suatu produk (barang dan/atau jasa) itu memenuhi spesifikasi dan toleransi yang ditetapkan oleh desain dan pengembangan dari suatu perusahaan. Spesifikasi dan toleransi yang ditetapkan oleh bagian desain dan pengembangan produk yang disebut sebagai kualitas desain (Quality of design) harus berorientasi kepada

kebutuhan dan ekspektasi pelanggan (Gaspersz,V 2001).

Menentukan kualitas produk harus dibedakan antara produk manufaktur atau

barang (goods) dengan produk layanan (service) karena keduanya memiliki

banyak perbedaan. Menyediakan produk layanan (jasa) berbeda dengan menghasilkan produk manufaktur dalam beberapa cara. Perbedaan tersebut mempunyai implikasi penting dalam manajemen kualitas. Perbedaan antara produk manufaktur dengan produk layanan adalah : (Purnama,2006)

1. Kebutuhan konsumen dan standart kinerja sering kali sulit diidentifikasi dan diukur, sebab masing-masing konsumen mendefinisikan kualitas sesuai keinginan mereka dan berbeda satu sama lain.

2. Produksi layanan memerlukan tingkatan “customization atau individual customer” yang lebih tinggi disbanding manufaktur. Dalam manufaktur


(18)

sasarannya adalah keseragaman. Sedangkan dalam jasa harus menyesuaikan layanan mereka dengan konsumen individual.

3. Output sistem layanan tidak berwujud, sedangkan dalam manufaktur

berwujud. Kualitas produk manufaktur dapat diukur berdasar spesifikasi desain, sedangkan kualitas layanan pengukurannya subyektif menurut pandangan consume, dikaitkan dengan harapan dan pengalaman mereka. Produk manufaktur jika rusak bias ditukar dan diganti, sementara produk layanan harus diikuti permohonan maaf dan reparasi.

4. Produk layanan diproduksi dan dikonsumsi secara bersama-sama, sedangkan produk manufaktur diproduksi sebelum dikonsumsi. Produk layanan tidak bisa disimpan atau diperiksa sebelum disampaikan ke konsumen.

5. Konsumen seringkali terlibat dalam proses layanan dan hadir ketika layana dibentuk, sedangkan produk manufaktur dibentuk diluar keterlibatan langsung dari konsumen.

6. Layanan secara umum padat tenaga kerja, sedangkan manufaktur lebih banyak padat modal. Kualitas interaksi antara produsen dan konsumen merupakan faktor vital dalam penciptaan layanan.

7. Banyak organisasi layanan harus menangani sangat banyak transakasi konsumen.

Menurut Garvin(1996) untuk melihat kualitas produk manufaktur


(19)

1. Performance, karakteristik utama suatu produk yang tercermin dari

kemampuan produk dalam menjalankan fungsi utama

2. Feature, karakteristik pelengkap yang membedakan suatu produk

dengan produk lain dan bisa member kesan berbeda

3. Reliability, keandalan suatu produk bila digunakan selama waktu

tertentu

4. Conformance, kesesuaian produk dengan spesifikasi yang telah

ditentukan

5. Durability, tingkat keawetan produk yang digambarkan dengan umur

ekonomis produk atau seberapa lama produk member manfaat ekonomis.

6. Serviceability, kemudahan dalam perawatan produk, kemudahan

menemukan pusat-pusat reparasi jika produk mengalami kerusakan, dan kemudahan mendapatkan suku cadang jika ada suku cadang yang perlu diganti.

7. Aesthethic, nilai keindahan atau daya tarik produk, bagaimana daya

tarik produk.

8. perceived, reputasi produk atau citra produk.


(20)

Secara tradisional, para pembuat produk (manufacturers) biasanya

melakukan inspeksi terhadap produk setelah produk itu selesai dibuat dengan jalan menyortir produk yang baik dari yang jelek, kemudian mengerjakan ulang bagian-bagian produk yang cacat itu. Dengan demikian pengertian tradisional tentang konsep pengedalian kualitas hanya berfokus pada aktifitas inspeksi untuk mencegah lolosnya produk-produk cacat ke tangan pelanggan. Kegiatan inspeksi ini dipandang dari perspektif sistem manajemen kualitas ISO 9001:2000 adalah sia-sia, karena tidak memberikan kontribusi kepada peningkatan kualitas (quality

improvement).

Pada masa sekarang, terutama dengan berlakunya sistem manajemen kualitas ISO 9001:2000, pengertian dari konsep pengendalian kualitas adalah lebih luas daripada sekedar aktifitas inspeksi yang mengandalkan pada strategi

pendeteksian (strategy of detection). Pengertian pengendalian kualitas

berdasarkan konsep ISO 9001:2000 berorientasi pada tindakan prefentif (klausul 8.5.3 dari ISO 9001:2000)

Salah satu cirri dari pengendalian kualitas modern adalah bahwa di dalamnya terdapat aktifitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, dan bukan bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja. Kualitas melalui inspeksi saja tidak cukup dan hal itu terlalu mahal. Meskipun tetap menjadi persyaratan untuk melakukan beberapa inspeksi singkat atau audit terhadap produk akhir, tetapi usaha pengendalian kualitas dari perusahaan seharusnya lebih difokuskan pada tindakan pencegahan sebelum terjadinya kerusakan dengan jalan melakukan aktifitas secara baik dan benar pada waktu pertama kali mulai melaksanakan suatu aktifitas. Dengan melaksanakan


(21)

prinsip ini, usaha peningkatan kualitas akan mampu mengurangi ongkos produksi. Berkaitan dengan hal ini perlu dibangun suatu sistem pengendalian proses sebagai implementasi dari tindakan prefentif (klausul 8.5.3 dari ISO 9001:2000) dalam sistem manajemen kualitas itu(Gaspersz,V 2002).

Dalam pengendalian kualitas terdapat alat-alat yang menggunakan data numerik untuk mengadakan perbaikan kualitas pada penelitian ini antara lain sebagai berikut:

a. Pareto

Analisis pareto adalah proses dalam mempersingkat kesempatan untuk menentukan yang mana dari kesempatan potensial yang banyak harus dikejar lebih dahulu. Ini juga dikenal sebagai “memisahkan sedikit yang penting dari banyak yang sepele”.

Analisis pareto harus digunakan pada berbagai tahap dalam suatu program peningkatan kualitas untuk menentukan langkah mana yang diambil berikutnya. Analisis pareto digunakan untuk menjawab pertanyaan seperti”departemen apa yang harus memiliki tim SPC berikutnya?” atau “pada jenis kerusakan apa kita seharusnya mengkonsentrasikan usaha ?” (Sumber : Pyzdek,T, 2002).


(22)

Gambar 2.1 Contoh Pareto

b. Histogram

Histogram adalah alat yang digunakan untuk menunjukkan variasi data pengukuran dan variasi setiap proses. Berbeda dengan pareto chart yang penyusunanya menurut urutan yang memiliki proporsi terbesar ke kiri hingga proporsi terkecil, histogram ini penyusunannya tidak menggunakan urutan apapun.

Contoh histogram dapat dilihat pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Histogram

Sumber: Schonberger dan Knood (1997) 0

5 10 15 20 25 30

Gumpil Pecah Retak Kait Rusak

Jenis Cacat

Ju

m

lah

C


(23)

c. Diagram Sebab-Akibat

Diagram sebab akibat adalah suatu diagram yang menunjukkan hubungan

antara sebab dan akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses statistikal,

diagram sebab-akibat dipergunakan untuk menunjukkan factor-faktor

penyebab (sebab) dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan oleh

faktor-faktor penyebab itu. Diagram sebab-akibat ini sering juga disebut

diagram tulang ikan (fishbone diagram) karena bentuknya seperti kerangka

ikan, atau diagram ishikawa (ishikawa’s diagram) karena pertama kali

diperkenalkan oleh prof. Kaoru Ishikawa dari Universitas Tokyo pada tahun

1943(Gaspersz,2002).

Pada dasarnya diagram sebab-akibat dapat dipergunakan untuk kebutuhan

berikut:

 Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari suatu masalah

 Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah

 Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut.

Menurut Pande&Neuman(2002), Langkah-langkah dalam pembuatan


(24)

 Mulai dengan pernyataan masalah-masalah utama yang penting dan mendesak untuk diselesaikan.

 Tuliskan pernyataan masalah itu pada kepala ikan, yang merupakan

akibat (effect). Tuliskan pada sisi sebelah kanan dari kertas , kemudian

gambarkan tulang belakang dari kiri ke kanan dan tempatkan pernyataan masalah itu dalam kotak.

 Tuliskan faktor-faktor penyebab utama yang mempengaruhi masalah

kualitas sebagai tulang besar, juga ditempatkan dalam kotak. Faktor-faktor penyebab atau kategori-kategori utama dapat dikembangkan melalui stratifikasi ke dalam pengelompokan dari faktor-faktor; manusia, mesin, peralatan, material, metode, lingkungan, dll, atau stratifikasi melalui langkah-langkah actual dalam proses. Faktor-faktor penyebab atau kategori-kategori dapat dikembangkan melalui

brainstorming.

 Tuliskan penyebab sekunder yang mempengaruhi

penyebab-penyebab utama, serta penyebab-penyebab-penyebab-penyebab sekunder itu dinyatakan sebagai tulang berukuran sedang.

 Tuliskan penyebab tersier yang mempengaruhi

penyebab-penyebab sekunder, serta penyebab-penyebab-penyebab-penyebab tersier itu dinyatakan sebagai tulang berukuran kecil.

 Tentukan item-item yang penting dari setiap faktor dan tandailah

faktor-faktor penting tertentu yang kelihatannya memiliki pengaruh nyata terhadap karakteristik kualitas.


(25)

 Catatlah informasi yang perlu di dalam diagram sebab-akibat itu.

Gambar 2.3 Contoh Fish bone chart

2.3 Six Sigma

Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai

sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk (barang dan/atau jasa) diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4

kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99966 % dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang

bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem

industri akan semakin baik. Sehingga Six Sigma dapat dipandang sebagai

pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability).


(26)

Sigma adalah abjad Yunani ( ) yang yang menotasikan standart deviasi suatu proses pada statistik yang menunjukkan jumlah variasi atau ketidaktepatan suatu proses. Dengan kata lain, sigma merupakan unit pengukuran statistikal yang mendeskripsikan distribusi tentang nilai rata-rata (mean) dari setiap proses atau

prosedur.

Six sigma merupakan suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap transaksi produk (barang dan/atau jasa). Upaya giat menuju kesempurnaan (zero defect-kegagalan nol). .

(Sumber : Gaspersz,2002).

Simbol Sigma ( ) sendiri seringkali dihubungkan dengan kemampuan

proses yang terjadi terhadap produk yang diukur dengan defect per million

opportunities (DPMO). Sumber dari defect atau cacat hampir selalu dihubungkan

dengan variasi, misalnya variasi material, prosedur, perlakuan proses. Dengan

demikian Six Sigma sendiri telah mengalami pertambahan lingkup seperti

keterlambatan deadline, variabilitas lead time, dan lain-lain. Maka perhatian

utama dari Six Sigma ini adalah variasi karena dengan adanya variasi maka kurang

memenuhi spesifikasi dengan demikian mempengaruhi potensi pasar bahkan juga pertumbuhan pendapatan.

Tingkat kualitas sigma biasanya juga dipakai untuk menggambarkan variasi dari suatu proses. Semakin tinggi tingkat sigma maka semakin kecil toleransi yang diberikan pada kecacatan dan semakin tinggi kemampuan proses. Sehingga variasi yang dihasilkan semakin rendah dan dapat mengurangi frekuensi munculnya


(27)

defect, biaya-biaya proses, waktu siklus proses mengalami penurunan dan

kepuasan konsumen meningkat. (Gaspersz,2002).

Tingkat six sigma sering dihubungkan dengan kapabilitas proses yang

dihitung dalam Defect per Million Opportunities (DPMO). Beberapa tingkat

pencapaian six sigma sebagai berikut :

Tabel 2.1. : Pencapaian Tingkat Six Sigma

Tingkat Pencapaian Sigma

DPMO Hasil Keterangan

1-Sigma 691.462 31% Sangat tidak kompetitif

2-Sigma 308.538 69,2% Rata-rata industri Indonesia

3-Sigma 66.807 93,32% Rata-rata industri Indonesia

4-Sigma 6.210 99,379% Rata-rata industri USA

5-Sigma 233 99,977% Rata-rata industri USA

6-Sigma 3,4 99,9997% Industri kelas mapan/dunia

Sumber(Gaspersz 2002)

“ Setiap peningkatan atau pergeseran 1-Sigma akan memberikan peningkatan keuntungan sekitar 10% dari penjualan

Pada dasarnya pelanggan akan puas jika mereka menerima nilai sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk diproses pada tingkat

kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta


(28)

pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Dengan demikian Six Sigma dapat

dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Six

Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada

pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability).

(Gaspersz 2002).

Menurut Gaspersz (2002) dalam aplikasi konsep six sigma terdapat 6 aspek

kunci yaitu :

1. Identifikasi pelanggan. 2. Identifikasi produk.

3. Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan. 4. Definisi proses.

5. Menghindari kesalahan dalam proses dan menghilangkan pemborosan

yang terjadi.

6. Meningkatkan proses secara terus menerus menuju target yang telah

ditetapkan.

Terdapat 6 aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam penerapan Six

Sigma dibidang manufakturing, yaitu :

1. Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan (sesuai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan).

2. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ (Critical

To Quality) individual. Critical To Quality adalah atribut-atribut yang


(29)

kebutuhan dan kepuasan pelanggan. CTQ merupakan elemen dari suatu produk, proses atau praktek-praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan.

3. Menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui

pengendalian material, mesin, proses-proses kerja, dll.

4. Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang

diinginkan pelanggan (menentukan nilai USL dan LSL dari setiap CTQ).

5. Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan

nilai maksimum standart deviasi untuk setiap CTQ).

6. Mengubah desain produk atau proses sedemikian rupa agar mampu

mencapai nilai target Six Sigma. (Gaspersz,2002).

Six Sigma tidak muncul begitu saja. Sejak dulu konsep ilmu manajemen

sudah berkembang di Amerika, kemudian dilanjutkan dengan gebrakan manajemen Jepang dengan konsep Total Quality. Total Quality Manajemen juga

merupakan program peningkatan yang terfokus. Didalam Six Sigma terdapat lebih

banyak tool improvement yang bisa dipakai. Selain itu didalam six sigma akan

diperkenalkan suatu konsep mengenai defect, opportunity, DPMO, yang menjadi

rujukan nilai sigma proses.

2.3.1Konsep Six Sigma Motorola

Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilaisebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk (barang / jasa) di proses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan persejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99% dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Dengan


(30)

demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target Sigma yang dicapai ,

kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma juga dapat dianggap sebagai strategi terobosan yang

memungkinkan perusahaan melakukan peningkatan luar biasa (dramatic) di

tingkat bawah. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability).

Pendekatan pengendalian proses 6-sigma Motorola (Motorola’s Six

Sigma process control) mengizinkan adanya pergeseran nilai rata-rata (mean)

setiap CTQ individu dari proses industri terhadap nilai spesefikasi target (T) sebesar  1,5–sigma , sehingga menghasilkan 3,4 DPMO (defect per million

opportunities). Dengan demikian berdasarkan konsep Six Sigma Motorola,

berlaku penyimpangan :(mean–Target ) =

T

= 1,5 atau

  T 1,5 . Disini (mu) merupakan nilai rata–rata (mean) dari proses, sedangkan  (sigma) merupakan variasi proses.

Proses Six Sigma dengan distribusi normal yang mengizinkan nilai rata–rata (mean) proses bergeser 1,5–sigma dari nilai spesifikasi target kualitas


(31)

T

- 1,5 sigma +1,5 sigma

mean

LSL USL

- 6sigma - 3sigma - 2sigma - 1sigma + 1sigma + 2sigma + 3sigma + 6 sigma

Keterangan : sigma dalam bagan menunjukkan ukuran variasi dari proses yang stabil mengikuti distribusi normal

Gambar 2.4 : Konsep Six sigma Motorola dengan Distribusi Normal

bergeser 1,5–Sigma. Sumber : Vincent Gaspersz,2002

Konsep Six Sigma Motorola dengan pergeseran nilai rata – rata (mean)

dari proses yang diizinkan sebesar 1,5 –sigma (1,5 x standard deviasi

maksimum ) adalah berbeda dari konsep Six Sigma dalam distribusi normal yang umum dipahami selama ini yang tidak mengizinkan pergeseran dalam nilai rata – rata (mean) dari proses. Perbedaan itu ditunjukkan dalam Tabel 2.3


(32)

Sumber : Vinscent Gasperz , 2002

2.4 DMAIC (Define, measure, analyze, improve, control)

Merupakan proses untuk peningkatan terus – menerus menuju target Six Sigma. Program peningkatan kualitas Six Sigma dapat dilaksanakan

menggunakan pendekatan DMAIC (Define, Measure, Analyze Improve, and

Control ) secara sistematik. Dukungan manajemen puncak dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma dapat dilihat melalui komitmen manajemen

Motorola Corporation yang merumuskan kebijakan dan prinsip – prinsip kualitas

dalam sebuah booklet.

DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah–langkah proses yang tidak produktif,


(33)

sering berfokus pada pengukuran–pengukuran baru, dan menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. (Gaspersz,V,2002).

Gambar 2.5 Proses DMAIC

2.4.1. Define

Merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan adalah

identifikasi produk dan/atau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah-masalah dan/atau kesempatan peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan proyek terbaik adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan, kapabilitas dan tujuan organisasi. Langkah kedua yaitu pernyataan tujuan proyek harus ditetapkan untuk setiap proyek Six Sigma yang terpilih. Pernyataan tujuan

yang benar menurut Gasperz,V.(2002) adalah apabila mengikuti prinsip SMART


(34)

Specific Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus bersifat

spesifik yang dinyatakan dengan tegas. Tim peningkatan kualitas Six Sigma harus menghindari pernyataan-pernyataan tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik. Pernyataan tujuan seyogianya menggunakan kata kerja, seperti : menaikkan, menurunkan, menghilangkan, dll.

Measurable Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat

diukur menggunakan indikator pengukuran yang tepat guna mengevaluasi keberhasilan, peninjauan-ulang, dan tindakan perbaikan diwaktu mendatang. Pengukuran harus mampu memunculkan fakta-fakta yang di-nyatakan secara kuantitatif menggunakan angka-angka.

Achievable Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat

dicapai melalui usaha-usaha yang menantang

(challenging effort).

Result-oriented Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma harus berfokus

pada hasil-hasil berupa pencapaian target-target kualitas yang

ditetapkan, yang ditunjukkan melalui penurunan DPMO (defect

per million opportunities), peningkatan kapabilitas proses

(cpm;cpmk), dll.

Time-bound Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma harus

menetapkan batas waktu pencapaian tujuan itu dan harus dicapai secara tepat waktu.


(35)

Tahap ini merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat 3 hal pokok yang harus dilakukan dalam

tahap Measure,Gasperz,V.(2002) yaitu :

1. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang

berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan.

2. Melakukan pengumpulan data melalui pengukuran yang dapat

dilakukan pada tingkat proses, output dan outcome.

Sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu harus membedakan apakah data yang diukur itu merupakan data variabel atau data atribut. Data variabel merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume.

Data atribut merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan

daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk kayu lapis yang cacat karena corelap, dan lain-lain.

3. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses,


(36)

(performance baseline) pada awal proyek Six Sigma. Baseline kinerja

dalam proyek Six Sigma biasanya diterapkan menggunakan satuan

pengukuran DPMO dan tingkat kapabilitas sigma (sigma level). Sesuai

dengan konsep pengukuran yang biasanya diterapkan pada tingkat

proses, output dan outcome, maka baseline kinerja juga dapat

ditetapkan pada tingkat proses, output dan outcome. Pengukuran

biasanya dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output dari

proses dapat memenuhi kebutuhan pelanggan.

2.4.3 Analyze

Tahap ini merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah

beberapa hal sebagai berikut :

1. Menentukan kapabilitas/kemampuan dari proses.

Process capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang

menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.

Keberhasilan implementasi program peningkatan kualitas six sigma

ditunjukkan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol. Kemampuan proses didefinisikan sebagai “ukuran statistik dari variansi yang inheren pada suatu peristiwa tertentu dalam proses yang stabil.”

Cpm =

2 2

6 x T s

LSL USL

 


(37)

Dimana : Cpm = indeks kapabilitas proses (Process Capability Indeks)

USL = batas spesifikasi atas (Upper Specification Limit)

LSL = batas spesifikasi bawah (Lower Specification Limit)

T = target

s = standart deviasi x = arithmetic mean

Kriteria penilaian indeks kapabilitas proses sebagai berikut : Cpm > 2,00 : maka proses dianggap mampu (capable)

Cpm = 1,00 – 1,99 : maka proses dianggap mampu namun perlu upaya upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia.

Cpm < 1,00 : maka proses dianggap tidak mampu (not capable)

Semakin tinggi Cpm menunjukkan bahwa output proses itu semakin mendekati nilai spesifikasi target kualitas yang diinginkan pelanggan.

Menurut (Gasperz,V.,2002) bahwa analisis kapabilitas proses Cpm dan

Cpk tidak dapat diterapkan pada data atribut karena data tersebut mengikuti pola distribusi binomium. Data atribut sering berbentuk kategori

atau klasifikasi seperti : baik/buruk, sukses/gagal.

Mengidentifikasi sumber–sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan. Untuk mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kegagalan, dapat menggunakan Fishbone diagram (cause and effect diagram). Dengan analisa

cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat sebuah masalah,

atau dalam beberapa kasus, merupakan akibat atau hasil yang diinginkan dan membuat daftar terstruktur dari penyebab potensial Gasperz,V.(2002).Setelah


(38)

akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan, dimasukkan ke dalam

cause and effect diagram yang telah mengkategorikan sumber-sumber

penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu : 1) Manpower ( tenaga kerja ).

2) Machines ( mesin-mesin ).

3) Methods ( metode kerja ).

4) Material ( bahan baku dan bahan penolong ).

5) Media (surat kabar). 6) Motivation ( motivasi ).

7) Money ( keuangan ).

2.4.4 Improve

Tahap Improve merupakan langkah operasional keempat dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah ini dilakukan setelah sumber–sumber

dan akar penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi. Pada tahap ini ditetapkan suatu rencana tindakan (action Plan) untuk melaksanakan peningkatan kualitas

Six Sigma. Tool yang digunakan untuk tahap improve ini adalah FMEA (Failure

Mode and Effect Analysis).

Pada tahap ini tim peningkatan kualitas Six Sigma harus memutuskan apa yang harus dicapai serta alasan kegunaan rencana tindakan itu harus dilakukan, dimana rencana tindakan itu akan dilakukan, bilamana rencana tindakan itu akan dilakukan, siapa yang akan menjadi penanggung jawab dari rencana tindakan itu, bagaimana melaksanakan, dan berapa besar biaya untuk melaksanakan serta


(39)

manfaat positif yang diterima dari implementasi rencana tindakan itu(Sumber:Pande&Neuman,2002).

2.4.5 Control

Tahap ini merupakan langkah operasional kelima dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil–hasil peningkatan kualitas

didokumentasikan dan disebarluaskan, prosedur–prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standar. Standarisasi dimaksudkan untuk mencegah masalah yang sama atau praktek–praktek lama terulang kembali.Sumber:(Pande&Neuman,2002)

2.5 CTQ (critical to quality)

CTQ merupakan karakteristik kualitas yang mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap suatu produk.

Menurut Pande&Neuman(2002) CTQ dapat diklasifikasi kedalam tiga

kategori, seperti yang disarankan oleh professor dari jepang, Noriaki Kano:

1. Penyebab ketidak puasan : sesuatu yang diharapkan didalam suatu produk atau jasa. Pada sebuah mobil, radio, pemanas, dan fitur-fitur keselamatan yang penting merupakan beberapa contoh yang tidak diminta langsung oleh pelanggan tetapi diharapkan ada di dalam ptoduk tersebut. Jika fitur-fitur ini tidak ada, maka pelanggan akan merasa tidak puas.

2. Penyebab kepuasan : sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan. Banyak


(40)

Meskipun kebutuhan-kebutuhan ini tidak diminta oleh pelanggan. Memenuhi kebutuhan ini akan menciptakan kepuasan.

3. Pembuat senang : fitur baru atau otomatis yang tidak diharapkan pelanggan. Adanya fitur yang tidak diharapkan, seperti tombol prkiraan cuaca di radio atau kontrol audio khusus di kursi belakang yang terpisah yang member kesempatan pada anak-anak untuk mendengarkan music yang berbeda dari orang tua mereka, menghasilkan persepsi kualitas yang lebih tinggi.

2.6 DPMO (Defects per million opportunities)

Defect adalah kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh

pelanggan. Sedangkan Defects per Opportunity (DPO) merupakan ukuran

kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang

menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu kesempatan. Dihitung menggunakan formula DPO = banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan dibagi dengan (banyaknya unit yang diperiksa dikalikan banyaknya CTQ potensial yang menyebabkan cacat atau kegagalan itu). Besaran DPO ini, apabila dikalikan dengan konstanta 1.000.000, akan menjadi ukuran Defect Per Million

Opportunities (DPMO).

Defects Per Million Opportunities (DPMO) merupakan ukuran kegagalan

dalam program peningkatan Six Sigma , yang menunjukkan kegagalan per satu

juta kesempatan. Target dari pengendalian kualitas Six Sigma Motorola, sebesar

3,4 DPMO seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai 3,4 unit output yang cacat


(41)

unit produk tunggal terdapat rata–rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik CTQ adalah hanya 3,4 kegagalan per satu juta kesempatan.

Saat ini pihak Motorola telah membuat gambaran kapabilitas sebuah proses dalam perbandingan antara sigma dan DPMO yang ditunjukkan di tabel 2.4

Tabel 2.3 Tabel konversi Sigma Motorola

Presentase yang memenuhi spesifikasi DPMO Sigma 30,9 % 69,2 % 93,3 % 99,4 % 99,98 % 99,9997 % 690.000 308.000 66.800 6.210 320 3,4 1-Sigma 2-Sigma 3-Sigma 4-Sigma 5-Sigma 6-Sigma

Sumber : (Pande&Neuman,2002)

2.7 Penentuan Kapabilitas Proses (Process Capability)

Kapabilitas proses adalah kemampuan proses untuk memproduksi atau menyerahkan output sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan pelanggan. Perlu

dipahami bahwa indeks Cpm yang digunakan mengacu pada CTQ (

Critical-To-Quality) tunggal atau item karakteristik kualitas individual. Indeks Cpm mengukur

kapabilitas potensial atau melekat dari suatu proses yang diasumsikan stabil, dan biasanya didefinisikan sebagai :

Cpm =

2 2 ) ( 6 ) (     T LSL USL


(42)

USL = Upper Specification Limit (batas spesifikasi atas)

LSL = Lower Specification Limit (batas spesifikasi bawah)

T = Nilai target (nilai terbaik untuk karakteristik kualitas yang diharapkan Pelanggan) dari produk.

Ketiga nilai USL, LSL, dan T ditentukan berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi rasional dari pelanggan.

μ

= Nilai rata-rata (mean) proses aktual

σ

2

= Nilai varian (variance) dari proses yang merupakan ukuran variasi proses

Kapabilitas proses hanya diukur untuk proses yang stabil, sehingga apabila proses itu dianggap tidak stabil, maka proses itu harus distabilkan terlebih dahulu. Dengan demikian nilai standar deviasi yang digunakan dalam pengukuran kapabilitas proses (Cpm) harus berasal dari proses yang stabil, sehingga merupakan

variasi yang melekat pada proses yang stabil itu (common-cause variation).

Keberhasilan implementasi program peningkatan kualitas Six Sigma

ditunjukkan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Oleh karena itu, konsep perhitungan kapabilitas proses menjadi sangat penting untuk dipahami dalam implementasi program Six Sigma.

Dalam konteks pengendalian proses statistikal dikenal dua jenis data, yaitu :

- Data Attribut (Attributes Data) merupakan data kualitatif yang dihitung

menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan

analisis. Data attribut bersifat diskrit. Contoh data attribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi


(43)

buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat karena corelap, dana lain-lain. Data attribut biasanya diperoleh dalam bentuk unit-unit nonkonformans/ketidaksesuaian atau cacat/kegagalan terhadap spesifikasi kualitas yang ditetapkan.

- Data Variabel (Variables Data) merupakan data kuantitatif yang diukur

menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah ; diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume merupakan data variabel.

Berikut ini akan dibahas tentang teknik memperkirakan kapabilitas proses dalam ukuran pencapaian target Sigma untuk data atribut (data yang diperoleh

melalui perhitungan-bukan pengukuran langsung). Pada umumnya data atribut hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK.

Langkah-langkah dalam memperkirakan kapabilitas proses : 1. Proses apa yang ingin anda tahu ?

2. Berapa banyak unit yang dikerjakan melalui proses? 3. Berapa banyak unit transaksi yang gagal

4. Hitung tingkat cacat berdasarkan langkah 3

(langkah 3) / (langkah 2)

5. Tentukan banyaknya CTQ potensial yang dapat mengakibatkan cacat

Banyaknya karakteristik CTQ

6. Hitung peluang tingkat cacat per karakteristik CTQ


(44)

7. Hitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan (DPMO)

(langkah 6) x 1.000.000

8. Konversi DPMO (langkah 7) ke dalam nilai sigma

9. Buat kesimpulan

DPO = Banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan

(Banyaknya unit yang diperiksa x banyaknya kegagalan)

DPMO = DPO x 1.000.000

Data variabel merupakan data kuantitatif yang dihitung menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuatberdasarkan keadaan aktual, diukur secara langsung, maka karakteristik kualitas yang diukur itu disebut variable. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tingi, diameter, volume merupakan variabel.

Menurut Pande&Neuman(2002) Teknik penentuan kapabilitas proses untuk

data variabel adalah sebagai berikut :

a. Menentukan proses yang ingin diukur.

b. Menentukan nilai batas spesifikasi atas dan batas spesifikasi bawah. c. Menentukan nilai target yang ingin dicapai.

d. Menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi dari proses.

e. Menghitung nilai DPMO, dengan menggunakan formula sebagai berikut :

DPMO = [ P { Z ≥ ( USL – X-bar ) / S } x 1juta ] + [ P { Z ≤ ( LSL – X-bar ) / S } x 1juta ]


(45)

Dimana , USL : Batas spesifikasi atas LSL : Batas spesifikasi bawah X-bar : Nilai rata-rata

S : Standart deviasi

f. Mengkonversikan nilai DPMO kedalam nilai sigma.

g. Menghitung kemampuan proses didalam nilai sigma.

h. Menghitung kapabilitas proses didalam indeks kapabilitas proses, dengan formula sebagai berikut :

Cpm = (USL – LSL) / {6√X-bar – T)² + S²} Dimana, Cpm : Indeks kapabilitas proses

T : Nilai spesifikasi target Kriteria (rule of thumb) dari Cpm adalah :

1) Cpm ≥ 2,00; maka poses dianggap mampu dan kompetitif (perusahaan berkelas dunia)

2) Cpm antara 1,00-1,99; maka proses dianggap cukup mampu, namun

perlu upaya-upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan sangat kecil menuju nol (zero defect oriented). Persusahaan yang memiliki

nilai Cpm yang berada diantara 1,00-1,99 memiliki kesempatan terbaiki dalam melakukan program peningkatan kualitas Six sigma. 3) Cpm < 1,00; maka proses dianggap tidak mampu dan tidak kompetitif


(46)

2.8 Failure Mode and Effect Analyze (FMEA)

FMEA adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses, dan form untuk mengidentifikasi dan mendahulukan masalah-masalah potensial (kegagalan). (Sumber : “The Six Sigma Way”, hal.402, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cavanagh, Peter S. Pande, Robert P.Neuman, 2002).

Definisi FMEA yang lain yaitu suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan. Mode kegagalan ini meliputi apa saja yang termasuk dalam kecacatan desain, kondisi di luar batas spesifikasi yang telah ditetapkan atau perubahan-perubahan dalam produk yang menyebabkan terganggunya fungsi dari produk itu.

Pada dasarnya FMEA terbagi menjadi 2 yaitu FMEA Design yang

dipergunakan untuk memprediksi kesalahan yang akan terjadi pada desain proses

produk, sedangkan FMEA process untuk mendeteksi kesalahan pada saat proses

telah dijalankan. Dengan menggunakan FMEA maka akan meningkatkan keandalan dari suatu produk dan pelayanan sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan yang menggunakan produk dan pelayanan tersebut.

Tahapan FMEA sendiri adalah :

1. Menetapkan batasan proses yang akan dianalisa, didapatkan dari tahap

define dari proses DMAIC.

2. Melakukan pengamatan terhadap proses yang akan dianalisa.

3. Hasil pengamatan digunakan untuk menemukan kesalahan / defect


(47)

4. Mengidentifikasi potensial cause (penyebab dari kesalahan / defect

yang terjadi).

5. Mengidentifikasikan akibat (effect) yang ditimbulkan.

6. Menetapkan nilai-nilai (dengan jalan brainstorming) dalam point :

- Keseriusan akibat kesalahan terhadap proses lokal, lanjutan dan

terhadap konsumen (severity).

- Frekuensi terjadinya kesalahan (occurance).

- Alat kontrol akibat potential cause (detection).

7. Memasukkan kriteria nilai sesuai dengan 3 kriteria yang telah dibuat sebelumnya.

8. Dapatkan nilai RPN (Risk Potential Number) dengan jalan mengalikan

nilai SOD (Severity, Occurance, Detection).

9. Pusatkan perhatian pada nilai RPN yang tertinggi, segera lakukan

perbaikan terhadap potential cause, alat control dan efek yang

diakibatkan.

10. Buat implementation action plan, lalu terapkan.

11. Ukur perubahan yang terjadi dalam RPN dengan langkah-langkah yang sama diatas.

12. Apabila ada perubahan maka pusatkan perhatian pada potential cause

yang lain. Tidak ada angka acuan RPN untuk melakukan perbaikan.

2.8.1. Severity

Severity merupakan suatu estimasi atau perkiraan subyektif tentang


(48)

atau jasa. Adapun skala yang menggambarkan severity dapat diinterpretasikan

pada tabel 2.5 berikut :

Tabel 2.4. Skala Penilaian Severity

Rating Kriteria Deskripsi

1 Negligible severity Pengaruh buruk yang dapat diabaikan

2 Mild severity Pengaruh yang ringan atau sedikit 3 Mild severity Pengaruh yang ringan atau sedikit

4 Moderat severity

Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi)

5 Moderat severity

Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi)

6 Moderat severity

Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi)

7 High severity Pengaruh buruk yang tinggi (berada di luar batas

toleransi)

8 High severity Pengaruh buruk yang tinggi (berada di luar batas

toleransi)

9 Potential safety problem

Akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya (berkaitan dengan keselamatan atau keamanan potensial)

Sumber (Gaspersz 2002)

2.8.2 Occurrence

Occurrence menunjukkan nilai keseringan suatu masalah terjadi karena

potensial cause. Adapun skala yang menggambarkan occurrence dapat


(49)

Tabel 2.5. Skala Penilaian Occurrence

Rating Tingkat Kegagalan Deskripsi

1 1 dalam 1.000.000 Tidak mungkin bahwa penyebab ini yang

menyebabkan mode kegagalan

2 1 dalam 20.000 Kegagalan akan jarang terjadi

3 1 dalam 4.000 Kegagalan akan jarang terjadi

4 1 dalam 1.000 Kegagalan agak mungkin terjadi

5 1 dalam 400 Kegagalan agak mungkin terjadi

6 1 dalam 80 Kegagalan agak mungkin terjadi

7 1 dalam 40 Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi

8 1 dalam 20 Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi

9 1 dalam 8 Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan

akan terjadi

10 1 dalam 2 Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan

akan terjadi

Sumber (Gaspersz 2002)

2.8.3 Detection

Detection merupakan alat kontrol yang digunakan untuk mendeteksi

potential cause. Adapun skala yang menggambarkan detection dapat


(50)

Tabel 2.6. Skala Penilaian Detection

Rating Degree Deskripsi

1 Very high Otomatis proses dapat mendeteksi kesalahan yang terjadi

(komputerisasi)

2 Very high Hampir semua kesalahan dapat dideteksi oleh alat kontrol

(visual pada bentuk barang dan double checking)

3 High Alat kontrol cukup andal untuk mendeteksi kesalahan

(visual pada bentuk barang)

4 High Alat kontrol relatif andal untuk mendeteksi kesalahan

(visual pada bentuk barang)

5 Moderate Alat kontrol bisa mendeteksi kesalahan (visual pada

susunan barang)

6 Moderate Alat kontrol cukup bisa mendeteksi kesalahan (visual

pada susunan barang)

7 Low Keandalan alat kontrol untuk mendeteksi kesalahan

rendah (pengamatan fisik)

8 Low Keandalan alat kontrol untuk mendeteksi kesalahan sangat

rendah (perubahan warna)

9 Very low Alat kontrol tidak bisa diandalkan untuk mendeteksi

kesalahan (feeling berdasar pengalaman masa lalu)

10 Very low Tidak ada alat kontrol yang bisa digunakan untuk

mendeteksi kesalahan

Sumber (Gaspersz 2002)

2.9 Brainstorming

Brainstorming membantu membangkitkan ide-ide alternative dan persepsi dalam suatu tim kerja sama (teamwork) yang bersifat terbuka dan bebas (tidak

malu-malu).Menurut Gaspersz (2002) Brainstorming dapat digunakan berkaitan

dengan hal-hal berikut:

 Menentukan penyebab yang mungkin dari masalah-masalah dalam


(51)

 Memutuskan masalah apa (atau kesempatan peningkatan apa) yang perlu diselesaikan.

 Anggota tim merasa bebas untuk berbicara dan menyumbangkan

ide-ide kreatif mereka.

 Menginginkan untuk menjaring sejumlah besar persepsi alternatif  Kreatifitas merupakan outcome yang diinginkan.

 Fasilitator dapat secara efektif mengelola tim kerja sama itu.

2.10 Penelitian Pendahulu

Sebagai komparasi untuk penelitian yang terkait maka dicantumkan pula judul, pembahasan, dan kesimpulan dari penelitian pendahulu :

1.Farihul Ibad (2010), Analisis kualitas produk Aluminium Fluorida ( AlF3)

dengan metode Six Sigma di PT. Petrokimia Gresik Tbk.

Dengan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kualitas Aluminium Fluorida

(AlF3), menganalisis kualitas produk Aluminium Fluorida ( AlF3) berdasarkan

nilai sigma dan memberikan usulan perbaikan dengan tujuan mengurangi jumlah

defect paling dominan (terbesar) yang ada pada proses produksi sehingga nantinya

secara optimal jumlah defect yang terjadi dapat ditekan dengan seminimal

mungkin (zero defect). Untuk pengendalian kualitas Aluminium Fluorida (AlF3)


(52)

kandungan dalam produk Aluminium Fluorida (AlF3) yakni kandungan AlF3,

SiO2, Fe2O3, P2O5, LOI, H2O, Untamp, dan Mesh + 325. maka nantinya

didapatkan baseline kinerja tingkat output yang menggambarkan tingkat DPMO

serta Nilai Sigma Quality Level (SQL) selama tiga bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat DPMO yang

mempengaruhi kualitas Aluminium Fluorida (AlF3) adalah Kandungan

Aluminium Fluorida (Purity) sebesar DPMO = 117.023 dengan nilai SQL

sebesar 2,69 berarti kualitas produk ini (kandungan AlF3) masih jauh untuk

mencapai zero defect karena memiliki persentase kecacatan sebesar

11,7023%., untuk kandungan Air (H2O) sebesar DPMO = 178.786 dengan

nilai SQL sebesar 2,42 berarti kualitas produk ini (kandungan Air) masih jauh untuk mencapai zero defect karena memiliki persentase kecacatan sebesar 17,8786 %, dan untuk ukuran mesh + 325 sebesar DPMO = 11.011 dengan nilai SQL sebesar 3,79 berarti kualitas produk ini (kandungan Air) mau mendekati untuk mencapai zero defect karena memiliki persentase kecacatan sebesar 1,1011 %.

2.Moses L. Singgih dan Renanda tahun 2008 dengan judul :

Peningkatan Kualitas Produk Kertas Dengan Menggunakan Pendekatan Six

Sigma Di Pabrik Kertas Y

Kualitas merupakan salah satu jaminan yang diberikan dan harus dipenuhi oleh perusahaan kepada pelanggan, karena kualitas suatu produk merupakan salah satu kriteria penting yang menjadi pertimbangan pelanggan dalam memilih produk.


(53)

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengukur dan melakukan perbaikan kualitas agar dapat mengurangi variabilitas output terhadap

spesifikasi ukuran dengan menggunakan DMAIC (Define, Measure, Analyze,

Improve, Control) pada Six Sigma.

Permasalahan yang dihadapi oleh PT. Y adalah terdapat variabilitas output

terhadap spesifikasi ukuran yang telah ditentukanbsehingga diperlukan upaya peningkatan kualitas untuk mengurangi variabilitas output tersebut.

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah:

1. Dari data historis pada awal penelitian, pada tahap Measure diperoleh bahwa terdapat nilai kapabilitas proses untuk masing-masing parameter yaitu:

a. Brightness: nilai kapabilitas prosesnya sebesar 0,53 dan nilai sigmanya sebesar 3,15 yang memiliki DPMO sebesar 50.447.

b. L*: nilai kapabilitas prosesnya sebesar 0,47 dan nilai sigmanya sebesar 2,95 yang DPMO sebesar 73.489.

c. a*: nilai kapabilitas prosesnya sebesar 0,26 dan nilai sigmanya sebesar 2,30 dan memiliki DPMO sebesar 211.873.

d. b*: nilai kapabilitas prosesnya sebesar 0,28 dan nilai sigmanya sebesar 2,36 dan memiliki DPMO sebesar 194.358.

2. Dari hasil perolehan nilai kapabilitas proses, nilai sigma dan DPMO pada keempat parameter tersebut, bisa dikatakan bahwa proses produksi kertas


(54)

tersebut belum mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.

3. Berdasarkan pada analisa FMEA, penyebab yang paling berpengaruh terhadap penyimpangan warna adalah dari faktor manusia. Selanjutnya dari faktor machine, metode dan material.

4. Prioritas yang utama dalam melakukan tindakan perbaikan berdasarkan pada FMEA adalah memberikan peringatan kepada operator agar tidak melakukan kesalahan dalam pengontrolan.

5. Konfirmasi hasil perhitungan nilai sigma dan kapabilitas proses setelah perbaikan adalah sebagai berikut:

a. Brightness: nilai sigma meningkat menjadi 3,50 dengan DPMO sebesar 22.750 dan kapabilitas proses juga meningkat menjadi 0,68.

b. L*: nilai sigma meningkat menjadi 3,10 dengan DPMO sebesar 54.799 dan kapabilitas proses juga meningkat menjadi 0,60.

c. a*: nilai sigma meningkat menjadi 2,70 dengan DPMO sebesar 115.070 dan kapabilitas proses juga meningkat menjadi 0,33.

d. b*: nilai sigma meningkat menjadi 2,50 dengan DPMO sebesar 158.655 dan kapabilitas proses juga meningkat menjadi 0,31.


(55)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian untuk penyusunan tugas akhir ini dilakukan di bagian produksi PT.Wangta Agung Surabaya yang beralamatkan Jl.Simo pomahan 144 P Surabaya. Waktu pengambilan data dimulai pada bulan September 2011 sampai selesai.

3.2 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel 3.2.1 Identifikasi Variabel

Berdasarkan data dari perusahaan yang digunakan dalam perhitungan DMAIC. Variabel-variabel yang didapat adalah adalah sebagai berikut:

1. Variabel bebas

Variabel bebas (independent variable) / variabel sebab/ variabel pengaruh/ variabel eksperimen adalah faktor yang menjadikan pokok permasalah yang ingin diteliti, yaitu faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap produk Sepatu Boot antara lain meliputi:

a. Penomeran tidak ada (PTA) b. Logo produk tidak jelas (LTJ)

c. Kain nylon dalam berlubang/sobek (KNB) d. Tepi atas sepatu tidak rata/ sama (TTS) e. Sol bagian bawah tidak rata (STR)


(56)

2. Variabel terikat

Variabel tak bebas (dependent variable) / variabel akibat/ variabel terikat/ variabel terpengaruh/ variabel tergantung adalah variabel yang besarnya tergantung dari variabel bebas yang diukur untuk menentukan ada/ tidaknya pengaruh dari variabel bebas, yaitu yang dipergunakan sebagai variabel respon dalam penelitian ini yang sesuai dengan tingkat mutu kualitas produk Sepatu

Boot antara lain :

1. DPMO 2. Nilai Sigma

3.2.2 Definisi variabel 1. Variabel bebas

1. Tepi Atas Sepatu Tidak Sama (TTS)

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh tepi atas sepatu tidak sama karena pemotongan yang terlalu berlebihan.

2. Logo Produk Tidak Jelas (LTJ)

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh pemberian logo yang kurang jelas karena kurangnya panas pada mesin.

3. Kain Nylon Bagian Dalam Sobek (KNS)

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh kain nylon bagian dalam sepatu sobek karena disebabkan memasukkan kain yang terlalu keras .

4. Penomoran Tidak Ada/ Tidak Jelas (PTA)

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan karena didapatkannya sepatu tanpa nomor berdasarkan ukurannya karena permasalahan ada pada mesin.


(57)

5. Sol Sepatu Tidak Rata (STR)

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh tidak ratanya sol sepatu bagian bawah karena permasalahan pada mesin.

Jadi terdapat lima type CTQ yang menyebabkan produk tersebut gagal untuk diserahkan kepada pelanggan.

2. Variabel Terikat

DPMO : Kegagalan dalam program peningkatan Six Sigma yang menunjukkan kegagalan persatuan juta kesempatan. Nilai Sigma : Tingkat ukuran kecacatan pada sebuah produk,semakin Besar level sigmanya semakin baik kualitas produknya.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk bahan penelitian ialah menggunakan dua macam data yaitu :

a. Data Primer

Data yang dikumpulkan sendiri oleh penulis dengan cara melakukan penelitian lapangan secara langsung dengan cara sebagai berikut:

1. Observasi

Pengamatan secara langsung kelokasi/unit dalam perusahaan yang berhubungan dan menunjang dalam proses pengumpulan data.

2. Wawancara (Interview)

Wawancara digunakan untuk memperoleh data dan keterangan atau kejelasan dari hal-hal yang belum diungkapkan dalam data atau dokumen observasi dengan cara komunikasi secara langsung dengan bagian


(58)

candal,produksi,pembelian dang gudang bahan baku.Adapun data primer yang diperoleh adalah :

- Sejarah Perusahaan

- Sistem pengadaan bahan baku b. Data Sekunder

Data yang diperoleh dengan cara pengumpulan data yang telah ada diperusahaan dalam bentuk dokumen-dokumen atau data yang didapat berupa arsip-arsip yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Adapun data sekunder yang diambil adalah : a. Data hasil produksi

b. Data kecacatan

3.4 Metode Pengolahan Data

Metode pengolahan data yang dilakukan adalah berdasarkan siklus DMAIC

(define, measure, analyze, improve, control)yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Define

Menentukan obyek penelitian dan membuat Diagram SIPOC (supplier, input,

process, output, customer)

2. Measure

Menentukan CTQ dari obyek yang telah ditentukan dan mengukur baseline kinerja dalam DPMO dan level Sigma.

DPO =

DPMO = DPO x 1.000.000


(59)

Mulai

Tujuan Peneltian

Perumusan Masalah Studi Pustaka

Survey Lapangan 

Identifikasi Variabel 3. Analyze

Menganalisa hasil dari DPMO dan Nilai sigma dan menganalisa penyebab terjadinya cacat terbesar dengan alat brainstorming yaitu fishbone diagram

4. Improve

Memberikan usulan perbaikan dari potensial cacat sekaligus prioritas perbaikan dengan menggunakan metode FMEA.

5. Control

Memantau dan menjaga hasil dari perbaikan yang telah dilakukan, tapi dalam hal ini dilakukan oleh pihak perusahaan sendiri.

3.5 Langkah-langkah Penelitian

Untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini dapat dibuat tahapan / langkah pemecahan masalah, hal ini seperti ditunjukan pada gambar 3.1.

Tahap Define

Tahap Measure

Identifikasi object penelitian

Menentukan persyaratan defect


(60)

Selesai Tahap Analyze

Tahap Improve

Control

Gambar : 3.1. Langkah- langkah Penelitian

Mengidentifikasi Sumber dan akar penyebab

Menghitung nilai FMEA

Menentukan nilai Severity

Menentukan nilai Occurrence

Menentukan nilai Detection Membuat Tabel FMEA & Memberikan Rencana Usulan Perbaikan

Dilakukan oleh perusahaan

Kesimpulan dan Saran Pengumpulan data

Mengukur baselin kinerja : - DPMO dan Sigma


(61)

Penjelasan langkah-langkah Pemecahan Masalah 1. Mulai

Tahap ini menjelaskan langkah awal yang dilakukan sebelum penelitian

dilakukan yaitu mengidentifikasi sistem yang berjalan pada perusahaan dengan jalan melakukan pengamatan pada proses produksi.

2. Survey lapangan

Survey lapangan sangat diperlukan dalam suatu penelitian karena pada tahap ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi nyata obyek yang akan diteliti serta untuk merencanakan dan memilih lokasi penelitian yang nantinya akan diperbaiki dengan metode yang sesuai.

3. Studi pustaka

Studi pustaka merupakan tahap penelusuran referensi, dapat bersumber dari buku, jurnal, maupun penelitian yang telah ada sebelumnya. Berguna untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Dari studi kepustakaan akan diperoleh landasan teori serta acuan-acuan yang akan digunakan dalam penelitian ini.

4. Perumusan Masalah

Masalah yang muncul dalam tugas akhir ini adalah mengurangi jumlah cacat pada produk Sepatu boot untuk meningkatkan kualitas. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran tingkat defect (cacat), identifikasi potential-potential

problem dalam hal proses produksi. Identifikasi proses perbaikan (usulan

perbaikan) pada proses pembuatan produk Sepatu Boot.

5. Tujuan Penelitian

Setelah dilakukan penentuan perumusan masalah yang akan diteliti, maka dapat ditentukan tujuan akhir yang akan dilaksanakan tersebut guna memberikan arah dalam melaksanakan penelitian. Adapun tujuan dari


(62)

penelitian ini adalah memperbaiki sistem proses produksi, yang berdasarkan fase improvement DMAIC pada six sigma.

6. Identifikasi Variabel

Setelah menentukan perumusan masalah dan tujuan penelitian, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi permasalahan tersebut.

7. Define

Mendefinisikan dan mendeskripsikan masalah dalam ruang lingkup yang jelas dan penentuan produk yang menjadi obyek penelitian. Dalam penelitian ini ruang lingkup yang dimaksud adalah pada produk Sepatu Boot di PT Wangta Agung Surabaya dengan obyek penelitian hanya difokuskan pada bagian proses produksi produk Sepatu Boot. Selain itu juga didefinisikan critical to

quality yang ada pada hasil produksi produk Sepatu Boot.

8. Measure

Menetapkan CTQ (critical to quality) dan pengumpulan data-data yang dibutuhkan yang nantinya akan dijadikan sebagai baseline kinerja. Dimana semakin tinggi target sigma yang dicapai, maka kinerja sistem industri akan semakin baik.

9. Analyze

Menganalisa kapabilitas proses untuk mengetahui potential cause dan pengidentifikasian faktor-faktor penyebab tingkat kegagalan tinggi pada produk dengan menggunakan Cause & Effect Diagram. Diagram ini dibuat dengan jalan secara brainstorming antara staf produksi dengan pengawas lapangan, dimana brainstorming menjadi satu bagian yang paling berpengaruh dalam pengerjaan penelitian ini.


(63)

Pada tahapan ini variabel dilakukan pengukuran kapabilitas prosesnya apakah sudah sesuai dengan kriteria rule of tumb Six Sigma, dan seberapa besar pencapaian Sigma yang ideal dengan kondisi perusahaan saat ini apakah berapa tingkat; 1-Sigma sampai 3-Sigma atau sampai dengan 6-Sigma.

11. Improve

. Setelah akar permasalahan diketahui pada tahap analyze, maka langkah selanjutnya adalah melakukan usulan perbaikan. Dimana usulan perbaikan yang dibuat dapat memberikan masukan sehingga jumlah defect (cacat) atau

scrap (produk tak terpakai) dapat dikurangi. Usulan perbaikan difokuskan

pada potential cause, dimana hal ini dipandang sebagai penyebab defect (cacat) pada hasil cetakan. Adapun alat yang digunakan adalah FMEA (Failure Mode Effect Analyse). Dengan menggunakan FMEA, maka dapat diketahui prioritas tindakan perbaikan yang akan dilaksanakan

12.Control

Pengontrolan dilakukan oleh pihak perusahaan langsung.

13. Kesimpulan dan Saran

Tahap ini merupakan tahap akhir dalam penelitian yaitu menarik kesimpulan atas hal-hal yang diperoleh dari serangkaian langkah penelitian yang telah dilakukan. Disamping itu juga diajukan saran-saran untuk mengembangkan penelitian sejenis dimasa mendatang.


(64)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap-tahap dalam Six Sigma mempresentasikan 5 (lima) tahap yaitu DMAIC. Tahap DMAIC merupakan langkah-langkah yang perlu dilakukan secara berurutan dan berguna untuk mencapai hasil yang diinginkan. Akronim DMAIC dalam metodologi six sigma, yaitu Pendefinisian (Define), Pengukuran (Measure), Analisa (Analysis), Perbaikan (Improve), dan Pengendalian (Control).

4.1 Menetapkan Karakteristik Kualitas (CTQ) Kunci.

Penetapan karakteristik kualitas kunci (CTQ) berdasarkan jenis produk yang telah ditetapkan pada tahap Define, yaitu Sepatu boot. Karakteristik kualitas (CTQ) kunci pada produk tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tepi Atas Sepatu Tidak Sama (TTS)

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh tepi atas sepatu tidak sama. 2. Logo Produk Tidak Jelas (LTJ)

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh pemberian logo yang kurang jelas.

3. Kain Nylon Bagian Dalam Sobek (KNS)

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh kain nylon bagian dalam sepatu sobek .

4. Penomoran Tidak Ada/ Tidak Jelas (PTA)

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan karena didapatkannya sepatu tanpa nomor berdasarkan ukurannya.


(65)

5. Sol Sepatu Tidak Rata (STR)

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh tidak ratanya sol sepatu bagian bawah.

Jadi terdapat lima type CTQ yang menyebabkan produk tersebut gagal

untuk diserahkan kepada pelanggan.

4.2 Pengumpulan Data

Data yang akan diolah adalah data total defect pada bulan April 2011 hingga September 2011 untuk produk Sepatu Boot.

Tabel 4.1 Jumlah produk dan defect pada sepatu boot

Bulan Total Produk

(pasang)

Total Defect (pasang)

April 2011 640 56

Mei 2011 663 38

Juni 2011 893 62

Juli 2011 675 33

Agustus 2011 502 41

September 2011 687 47

JUMLAH 4.060 277

Sumber : Data Internal Perusahaan

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa total produksi yang paling tinggi terjadi pada bulan Juni 2011 dengan total produksi sebesar 893 pasang. Sedangkan untuk total defect yang terkecil terjadi pada bulan Juli 2011 dengan total kecacatan sebesar 33 pasang.


(66)

Tabel 4.2 Data defect jenis CTQ pada Sepatu Boot

Bulan TTS LTJ KNS PTA STR Jumlah

April 2011 10 16 7 14 9 56

Mei 2011 9 14 5 4 6 38

Juni 2011 17 12 8 15 10 62

Juli 2011 8 6 4 5 10 33

Agustus 2011 10 6 8 5 12 41

September 2011 16 7 5 12 7 47

Jumlah 70 61 37 55 54 277

Sumber: Data Internal Perusahaan

Keterangan :

 Tepi Atas Sepatu Tidak Sama (TTS)  Logo Produk Tidak Jelas (LTJ)

 Kain Nylon Bagian Dalam Sobek (KNS)  Penomoran Tidak Ada/ Tidak Jelas (PTA)  Sol Sepatu Tidak Rata (STR)


(1)

4.4.3 Usulan Prioritas Tindakan Perbaikan

Dengan alternatif-alternatif tindakan perbaikan yang ada maka dilakukan perankingan yang dapat dijadikan prioritas tindakan perbaikan yang akan dilakukan berdasarkan pada penyebab kegagalan. Perakingan ini diperoleh dengan menggunakan FMEA, berdasarkan nikai yang ada yaitu kerumitan (severity), probabilitas kejadian (accurance) dan detection secara bersama-sama kemudian diperoleh nilai Risk Potential Number (RPN) yang diperoleh dari hasil perkalian severity, accurance, dan detection. Dengan memfokuskan pada masalah-masalah potensial yang memiliki prioritas tertinggi, yaitu nilai RPN yang tertinggi. Maka dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko kecacatan. Berdasarkan FMEA pada Tabel 4.19..maka prioritas tindakan perbaikan dapat dilihat pada Tabel 4.20

Dengan melakukan tindakan perbaikan secara terus menerus sesuai dengan prioritas yang telah dusulkan maka, pada tahun-tahun mendatang diharapkan terdapat peningkatan kualitas mendekati zero defect.


(2)

Tabel 4.20. Usulan Rencana Perbaikan

RPN Faktor Potential root cause Rencana Perbaikan 180 Manusia Kurangnya disiplin

dan konsentrasi dalam bekerja.

 Memberikan training kepada operator untuk memperbaiki hasil kerja

 Memberi peringatan dan pengarahan kepada operator agar lebih disiplin dan teliti dalam menjalankan proses produksi

Setting mesin kurang diperhatikan.

Mengontrol setting mesin sebelum proses produksi berlangsung.

96 Mesin

Perawatan mesin kurang diperhatikan

Merencanakan jadwal perawatan mesin dengan baik

72 Material Kualitas material awal yang tidak bagus

Pengecekan kualitas awal material diperketat sebelum dilakukan proses produksi.  Prosedur kerja

kurang dipahami

Diadakan pelatihan tentang prosedur kerja yang tepat 36 Methode

 Sistem inspeksi kurang diperhatikan

Membuat jadwal inspeksi secara intensif

4.5 Control (Pengendalian)

Control merupakan langkah operasional yang terakhir dalam program peningkatan kualitas six sigma. Pada tahap ini dibuat suatu mekanisme sistem kontrol proses baik itu mengontrol standar spesifikasi maupun untuk mengontrol instruksi kerja sehingga setiap proses dapat dikendalikan, cacat yang terjadi dapat direduksi dan target dari peningkatan kualitas sisx sigma dapat tercapai.


(3)

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor yang menyebabkab terjadinya defect pada proses pembuatan

produk Sepatu Boot yaitu:

a. Kurangnya disiplin dan konsentrasi dalam bekerja. b. Setting mesin dan perawatan kurang diperhatikan. c. Kualitas material awal yang tidak bagus

d. Metode/ prosedur kerja yang kurang difahami oleh operator.

2. Kualitas produk Sepatu Boot dari bulan April – September 2011 berdasarkan nilai sigma adalah dengan memiliki tingkat DPMO sebanyak 13.640 dan level sigma sebesar 3,707 dari total pemeriksaan sebanyak 4.060 pasang dan defect sebanyak 277 pasang.

Dari data diatas maka dapat di simpulkan bahwa DPMO ( Defect per million opportunities) dari total pemeriksaan sebanyak 4.060 pasang sepatu dan didapat defect /kecacatan sebanyak 277 pasang adalah sebesar 13.640 atau setara dengan 1,36 % dengan level sigma sebesar 3,707 maka pelitian ini mandapatkan hasil dengan penurunan kecacatan dapat dilihat dari DPMO nya dan mendapatkan peningkatan pada level sigmanya yang menjadi 3,707.


(4)

3. Adapun usulan rencana perbaikan berdasarkan nilai RPN terbesar yang didapatkan dari tabel FMEA dalah sebagai berikut :

 Manusia (RPN = 180), usulan perbaikannya adalah dengan memberikan training kepada operator untuk memperbaiki hasil kerja dan memberikan pengarahan kepada operator agar lebih disiplin dan teliti dalam menjalankan proses produksi,

 Mesin (RPN = 96) usulan perbaikannya adalah mengontrol setting mesin sebelum proses produksi berlangsung dan merencanakan jadwal perawatan mesin dengan baik,

 Material (RPN = 72) usulan perbaikannya adalah pengecekan kualitas awal material lebih diperketat,

 Methode kerja (RPN = 36) usulan perbaikannya adalah diadakan pelatihan tentang prosedur kerja yang tepat serta membuat jadwal inspeksi secara intensif

5.2. Saran

Dari hasil penelitian ini maka dapat diberikan beberapa saran sebagai

berikut :

1. Untuk pencapaian target 3,4 defect dari setiap juta proses seperti tujuan dari Six Sigma, maka tingkat kewaspadaan terhadap faktor yang berpengaruh harus diperhatikan.

2. Mempertimbangkan usulan perbaikan dari peneliti untuk diimplementasikan di perusahaan.


(5)

3. Mengimplementasikan metode Six Sigma sebagai untuk perbaikan proses secara terus menerus.


(6)

Gaspersz, V., (2001), Metode Analisis Untuk Peningkatan Kualitas, Gramedia

Pustaka Utama.

Gaspersz, V., (2002), Pedoman implementasi Program :Six sigma; Terintegrasi dengan iso9001:2000,MBNQA,dan HACCP,cetakan pertama PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Peter S.Pande,Robert P Neuman,(2002), The Six Sigma Way, Andi Yogyakarta.

Purnama, N., (2006), Manajemen Kualitas Perspektif Global, Ekonisia, Yogyakarta

Pyzdek, T., (2002), The Six Sigma Handbook, Salemba Empat.

Ibad F (2010), Jurnal Analisis kualitas produk aluminium fluorida dengan metode Six Sigma di Petrokimia Gresik,Surabaya

Singgih dan Renanda, (2008), Jurnal Peningkatan Kualitas Produk Kertas Dengan Menggunakan Pendekatan Six Sigma Di Pabrik Kertas Y, Yogyakarta

Aritonang , dkk,(2007), Usaha Penurunan Persentase Cacat Ring Piston Tipe 4JA1 Pada Proses Habanakashi Mesin Besly, Bandung