PENINGKATAN KUALITAS SEPATU DENGAN MENGGUNAKAN METODE SIX SIGMA DI PT. ECCO INDONESIA SIDOARJO.

(1)

PENINGKATAN KUALITAS SEPATU DENGAN

MENGGUNAKAN METODE SIX SIGMA

DI PT. ECCO INDONESIA SIDOARJO

SKRIPSI

Disusun oleh :

SABRINA DWI C

0632010035

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena telah berkenan memberikan rahmat,taufik serta hidayahNya sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul :

PENINGKATAN KUALITAS SEPATU

DENGAN MENGGUNAKAN METODE

SIX SIGMA

DI PT. ECCO INDONESIA

Penyusunan tugas akhir ini guna memenuhi persyaratan dalam memperoleh

gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Industri pada Fakultas Teknologi Industri

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Penulis menyadari bahwa selama melakukan penelitian dan penyusunan

skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis

sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca

sangat penulis harapkan demi kesempurnaan.

Dalam kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1.

Bapak Ir. Sutiyono, MT, selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN

“Veteran” Jawa Timur.

2.

Bapak Ir. M.Tutuk Safirin, MT, selaku Ketua Jurusan Tenik Industri UPN

“Veteran” Jawa Timur.

3.

Bapak DR. Ir. Minto Waluyo, MM, selaku Dosen Pembimbing I.

4.

Bapak Drs. Sartin, Mpd, selaku Dosen Pembimbing II.

5.

Ibu Hj. Rr. Rochmoeljati, MT selaku Dosen Penguji Seminar.

6.

Ibu Erlina Purnamawaty,MT, selaku Dosen Penguji Seminar.

7.

Bapak Bambang S, selaku Pembimbing di PT.ECCO Indonesia.

8.

Segenap Staff dan Karyawan PT. ECCO Indonesia yang telah membantu

penulis


(3)

9.

Kedua orang tua tercinta Heri Agus Rianto dan Sugiyanti yang selalu

memberikan doa, semangat serta bantuan baik moril maupun materiil kepada

penulis selama menyelesaikan skripsi.

10.

Keluarga tercinta Uti, Teteh Riri, Teteh Cicing, Kakak Ruli dan yang lainnya

yang telah membantu dan memberi semangat kepada penulis.

11.

Sahabat-sahabat tersayang Yuni Indah ST , Yuni Kusuma Wardani ST, dan

Aprilianti ST dan tak lupa teman – teman di Teknik Industri angakatan 2006

khususnya paralel A maupun yang diluar kampus atas dukungan dan semangat

yang telah diberikan kepada penulis.

Semoga Allah SWT, senantiasa memberikan balasan atas amal perbuatan

dan segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis

berharap semoga hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini banyak

bermanfaat bagi setiap pembaca pada umumnya.

Surabaya, 11 Juni 2010

Penulis

Sabrina D.C


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar

Belakang...

1

1.2

Perumusan

Masalah... 3

1.3

Batasan

Masalah... 3

1.4

Asumsi... 3

1.5

Tujuan... 4

1.6

Manfaat

Penelitian... 4

1.7

Sistematika

Penulisan... 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kualitas... 7

2.1.1

Pengendalian

Kualitas... 9

2.1.2 Tujuan Pengendalian Kualitas...

9

2.1.3

Manajemen

Kualitas... 11

2.1.4 Dimensi Kualitas...

11

2.1.5 Teknik Pengendalian Kualitas Statistik...

13

2.1.6 Keuntungan Pengendalian Kualitas...

15


(5)

2.2.1 Konsep Six Sigma...

18

2.2.2 Faktor Penentu Dalam Six Sigma...

22

2.2.3 Penentuan Kapabilitas Proses...

23

2.2.3.1 Penentuan kapabilitas proses untuk

data variabel……….…………

25

2.2.3.2 Penentuan kapabilitas proses untuk

data atribut.……….………….

26

2.2.4

Proses

DMAIC... 27

2.2.4.1

Define...

27

2.2.4.2

Measure...

32

2.2.4.3

Analyze... 34

2.2.4.4

Improve... 40

2.2.4.5

Control... 43

2.3

DPMO (Defect Per Million Oportunities)……… 43

2.4

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)... 45

2.4.1 Bagaimana FMEA Bekerja... 45

2.4.2

Severity……… 46

2.4.3

Occurance……… 47

2.4.4

Detectibility... 48

2.5 Seven

Tools... 49

2.6 Tahapan

Produksi...

58

2.6.1

Proses

Produksi...

59


(6)

2.7.1 Penelitian yang Ditulis Oleh Ama Lusiana

F.A Sarjana Ekonomi UNS, 2007...

75

2.7.2 Penelitian yang Ditulis Oleh Rifki F.A

Sarjana Teknik Industri UPN, 2005...

76

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1

Tempat dan Waktu Penelitian...

78

3.2

Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel... 78

3.2.1

Identifikasi

Variabel...

78

3.3 Metode Pengumpulan Data... 79

3.4 Metode Pengolahan Data... 80

3.5 Langkah-langkah Penelitian Dan Pemecahan

Masalah... 83

BAB IV

ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengumpulan

Data... 88

4.2

Define... 90

4.2.1 Identifikasi Obyek Penelitian...

91

4.2.2

Identifikasi

variabel

Critical to Quality (CTQ)

91

4.3

Measure... 92

4.3.1 Menentukan defect terbesar...

92

4.3.2

Baseline

Kinerja... 94

4.4

Analyse... 97

4.4.1 Analisa Kapabilitas Proses...

98

4.4.2 Analisa Untuk Mengidentifikasi


(7)

Faktor-Faktor

Penyebar

Defect...

107

4.5 Improve (Usulan)... 110

4.5.1 Usulan Rencana Perbaikan

(Improvement/Action Plan) dengan

FMEA...

112

4.5.2 Usulan Prioritas Tindakan Perbaikan...

116

4.6

Control

(Pengendalian)...

117

4.6.1 Usulan Pengendalian...

117

4.7

Pembahasan Hasil Penelitian...

118

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan...

119

5.2

Saran...

120

DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1

DPMO pada sigma level………... 22

2.2 Contoh Dari Beberapa Peran Generik Dengan Gelar Atau

“Belt” Dalam Program Six Sigma... 28

2.3 COPQ dari Pencapaian Beberapa Tingkat Sigma...

40

2.4 Penggunaan Metode 5W- 2H Untuk pengembanganRencana

Tindakan. (Gaspersz, 2002)...

42

2.5 Tabel Konversi Sigma Motorola...

44

2.6 Rangking Severity... 47

2.7 Rangking

Occurance... 48

2.8 Rangking

Detectability... 49

2.9 Contoh Data Pengukuran...

54

4.1 Data total produk dan defect sepatu article FLAIR pada

Departemen

QC...

89

4.2 Data defect sep article FLAIR pada Departemen QC...

90

4.3 Data Prosentase defect article FLAIR pada departemen QC...

91

4.4 Data jenis defect article FLAIR departemen QC

Juli – Desember 2009...

91

4.5

Rekapan nilai kapabilitas proses pada proses produksi

di Departemen QC...

94


(9)

4.6 Perhitungan Nilai Proporsi, 3

, USL, LSL Untuk

Bulan Juli 2009...

97

4.7 Data defect article FLAIR bulan Juli 2009...

99

4.8 Data defect article FLAIR bulan Agustus 2009...

100

4.9 Data defect article FLAIR bulan September 2009...

101

4.10 Data defect article FLAIR bulan Oktober 2009...

102

4.11 Data defect article FLAIR bulan November 2009...

103

4.12 Data defect article FLAIR bulan Desember 2009...

104

4.13 FMEA (Failure Mode and Analysis)...

120

4.14 Usulan Prioritas Tindakan Perbaikan...

125


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

2.1

Konsep Six Sigma Motorola dengan

Distribusi Normal bergeser 1,5-sigma...

21

2.2 Bentuk Umum Lembaran Check sheet...

50

2.3 Contoh Bentuk Histogram...

52

2.4 Bentuk Umum Diagram Sebar...

52

2.5 Bentuk Umum Diagram Pareto...

54

2.6 Bentuk Umum Diagram Sebab Akibat...

55

2.7 Peluang dan Tanda Penyebab Variasi...

55

2.8 Contoh Control Chart...

57

2.9 Bentuk Umum Control Chart...

58

3.1 Langkah-langkah Pemecahan Masalah...

83

4.2 Histogram kecacatan produk art. FLAIR pada

Departemen

QC...

90

4.3 Diagram Pareto (defect) pada departemen QC...

92

4.4 Grafik Pola DPMO Bulan Juli-Desember 2009...

95

4.5 Grafik Pola Kapabilitas Sigma Bulan

Juli-Desember

2009...

95

4.6 Peta P Untuk Bulan Juli 2009...

98

4.7 Diagram Pareto (defect) article FLAIR pada

Departemen QC Pada Bulan Juli 2009...

99


(11)

4.8 Diagram Pareto (defect) article FLAIR pada

Departemen QC Pada Bulan Agustus 2009...

100

4.9 Diagram Pareto (defect) article FLAIR pada

Departemen QC Pada Bulan September 2009...

101

4.10 Pareto (defect) article FLAIR pada

Departemen QC Pada Bulan Oktober 2009...

102

4.11 Pareto (defect) article FLAIR pada

Departemen QC Pada Bulan November 2009...

103

4.12 Pareto (defect) article FLAIR pada

Departemen QC Pada Bulan Desember 2009...

104

4.13

Diagram Tulang ikan jenis cacat kulit pada

departemen

QC...

105

4.14

Diagram Tulang ikan jenis cacat kulit pada

departemen

QC...

106

4.15

Diagram Tulang ikan jenis cacat kulit pada

departemen

QC...

106

4.16

Diagram Tulang ikan jenis cacat kulit pada

departemen

QC...

107

4.17

Diagram Tulang ikan jenis cacat kulit pada


(12)

ABSTRAKSI

Perkembangan industri baik industri jasa maupun industri manufaktur

berkembang sangat pesat, perusahaan bersaing untuk mencari pasar konsumen

yang tepat. Untuk memenangkan persaingan ini perusahaan berusaha

memperbaiki sistem pelayanan terhadap kebutuhan pelangggan (customer).

Perusahaan yang mampu bertahan dan bersaing secara efektif adalah perusahaan

yang dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki meliputi

manusia, mesin, material, informasi dan lingkungan kerja, sehingga mampu

menghasilkan produk yang berkualitas baik. Untuk menghasilkan produk yang

berkualitas baik, perusahaan harus mengadakan pengendalian kualitas untuk

menemukan terjadinya cacat (defect), sehingga dapat dilakukan tindakan

perbaikan untuk mengurangi terjadinya cacat (defect) serta meningkatkan kualitas

produk yang dihasilkan.

PT. ECCO Indonesia Sidoarjo merupakan salah satu perusahaan yang

bergerak di bidang manufaktur yang memproduksi sepatu dengan standart tinggi

yang berdiri sejak tahun 1991. Dalam pengoperasiannya PT.ECCO tentu tidak

lepas dari masalah-masalah pengendalian kualitas produk dan menjaga konsistensi

dari kualitas produk mereka. Dalam rangka menjaga kekonsistensian mutu suatu

produk maka perlu dilakukan suatu usaha untuk meningkatkan performa dari

perusahaan salah satunya dengan metode Six Sigma.

Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan usulan dalam hal

meningkatkan kualitas untuk mengurangi defect

yang dominan dan

mengidentifikasi faktor-faktor terjadinya kecacatan produk dengan menggunakan

Metode Six Sigma dengan tujuan zero defect.

Penulis menggunakan tools dari six sigma dengan pendekatan metode

DMAIC (Define-Measure-Analyze-Improve-Control) dengan bantuan Software

Minitab 14, agar dapat mengurangi cacat hasil proses yang dihasilkan. Hasil dari

penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan hasil penelitian dari total produksi

sebesar 105.055 dan total defect sebesar 2809 PT.ECCO Indonesia Sidoarjo telah

mencapai level sigma 4.06. Terdapat 5 CTQ terbesar yaitu Cacat Kulit, Cacat

Jahitan, Cacat Warna, Cacat Sol, Cacat Pencetakan. Dengan hasil FMEA terbesar

dari Cacat Kulit, dikarenakan inspeksi dalam pemilihan bahan baku lemah dengan

nilai RPN sebesar 294.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perkembangan industri baik industri jasa maupun industri manufaktur berkembang sangat pesat, perusahaan bersaing untuk mencari pasar konsumen yang tepat. Untuk memenangkan persaingan ini perusahaan berusaha memperbaiki sistem pelayanan terhadap kebutuhan pelangggan (customer).

Perusahaan yang mampu bertahan dan bersaing secara efektif adalah perusahaan yang dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki meliputi manusia, mesin, material, informasi dan lingkungan kerja, sehingga mampu menghasilkan produk yang berkualitas baik. Untuk menghasilkan produk yang berkualitas baik, perusahaan harus mengadakan pengendalian kualitas untuk menemukan terjadinya cacat (defect), sehingga dapat dilakukan tindakan

perbaikan untuk mengurangi terjadinya cacat (defect) serta meningkatkan kualitas

produk yang dihasilkan.

PT. ECCO Indonesia Sidoarjo merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur yang memproduksi sepatu dengan standart tinggi yang terletak di Jl. Candi Sidoarjo, Jawa Timur. Produk yang dihasilkan oleh PT. ECCO Indonesia adalah sepatu untuk orang dewasa dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. PT. ECCO Indonesia Sidoarjo dalam memasarkan hasil produksinya melalui eksport ke berbagai negara, diantaranya adalah : EROPA, AMERIKA SERIKAT, JEPANG, INDIA, THAILAND, BRAZIL. Pada Sepatu


(14)

Beberapa masalah yang dihadapi oleh perusahaan ini adalah masih tingginya defect produk yang terjadi pada sepatu article ”FLAIR”. Jenis Defect

tersebut adalah cacat jahitan, cacat sol, cacat kulit, cacat warna, dan cacat pencetakan. Kecacatan ini terjadi dikarenakan oleh beberapa hal diantaranya adalah operator yang kurang teliti, bahan baku yang kurang baik, perawatan mesin dan peralatan yang kurang maksimal dan lain sebagainya. Jika dihitung, jumlah produk cacat rata-rata bisa mencapai 2.7%. Untuk itu diperlukannya suatu strategi yang dapat menjamin kualitas.

Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya cacat tersebut harus dilakukan pengendalian kualitas mulai bahan baku, proses produksi sampai produk akhir sehingga dapat diketahui terjadinya penyimpangan dengan lebih cepat dan efektif. Salah satu metode yang digunakan untuk mengendalikan kualitas adalah six sigma, yaitu suatu metode yang berfokus pada cacat atau variasi, menstabilkan kemampuan proses, mendefinisikan, mengukur, menganalisa, memperbaiki dan mengendalikan proses untuk menghilangkan cacat produk dengan hanya 3,4 cacat diantara sejuta kesempatan.

Dengan mengaplikasikan pendekatan metode six sigma yang menggunakan konsep DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control)

diharapkan dapat meningkatkan kestabilan proses, mengurangi cacat dan melakukan usaha – usaha untuk memperbaiki kualitas sepatu sehingga mendapat kepercayaan konsumen, mampu bersaing di pasar global yang semakin kompetitif serta meningkatkan produktivitas dan profitabilitas.


(15)

1.2Perumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan sutau permasalahan, yaitu :

“Bagaimana upaya perusahaan dalam meningkatkan kualitas dengan menurunkan prosentase defect yang terjadi pada produk sepatu di PT. ECCO Indonesia Sidoarjo?”

1.3Batasan Masalah

Dalam penelitian Tugas Akhir ini, batasan yang akan digunakan adalah : 1. Penelitian hanya dilakukan pada akhir proses pada Departemen Quality

Control.

2. Penelitian hanya dilakukan pada produk sepatu article ” FLAIR”

3. Penelitian tidak memperhitungkan waktu dan biaya yang ditimbulkan. 4. Tahap Improve dan Control hanya dalam bentuk usulan pada perusahaan

1.4Asumsi

Dengan menggunakan asumsi sebagai berikut : 1. Kondisi kerja pada saat penelitian dalam kondisi tetap. 2. Sistem manajemen perusahaan dalam kondisi normal.


(16)

1.5Tujuan

Tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut :

1. Mengetahui jenis-jenis cacat dan faktor – faktor penyebab terjadinya defect

produk sepatu pada proses produksinya.

2. Mengetahui sigma dan kapabilitas proses produksi pembuatan sepatu dengan metode Six Sigma.

3. Memberikan usulan perbaikan pada proses produksi untuk mengurangi terjadinya cacat (defect).

1.6Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dengan melakukan penelitian ini adalah : 1. Bagi Perusahaan:

Dengan adanya penerapan metode six sigma, pihak Perusahaan memperoleh

masukan berupa kerangka DMAIC untuk mengendalikan kualitas produk yang dihasilkan dan mengetahui tingkat kualitas produk dan penyebab yang dapat menimbulkan terjadinya Defect.

2. Bagi Peneliti:

Dapat menambah pengetahuan serta wawasan mengenai metode six sigma.

3. Bagi Universitas:

Memberikan referensi tambahan dan perbendaharaan perpustakaan agar berguna di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga berguna sebagai pembanding bagi mahasiswa dimasa yang akan datang.


(17)

1.7Sistematika Penulisan

Sistematika ini menjelaskan rangkaian tahapan masalah sebagi berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, asumsi, manfaat penelitian serta urutan sistematikanya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang konsep dan teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian, terutama yang berkaitan dengan konsep Six Sigma. Tujuan dalam bab ini adalah untuk memberikan dasar atau acuan secara ilmiah dan berguna dalam membentuk kerangka berpikir yang akan berguna dalam penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan metode atau cara berupa langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melakukan penelitian serta kerangka pemecahan masalah mulai dari pengumpulan data, perhitungan, dan analisa yang diperlukan dari hasil analisis tersebut, yang menggunakan prinsip peninggkatan kualitas Six Sigma DMAIC (Define, Measure, Analyxe, Improve, Control).


(18)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang siklus DMAIC (Define, Measure, Analyxe,

Improve, Control). Tahap Define memaparkan pemilihan obyek

penelitian, Measure berisi pengumpulan data dan pengukuran

kinerja, Analyze tenang analisa terhadap kemampuan proses dan

mengidentifikasi sumber penyebab Defect, tahap Improve

menjelaskan usulan tindakan perbaikan dan Contol dilakukan oleh

pihak perusahaan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian, serta berisi saran yang dapat digunakan sebagai masukan bagi perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kualitas

Kualitas merupakan topik yang hangat di dunia bisnis dan akademik. Namun demikian, istilah tersebut memerlukan tanggapan secara hati–hati dan perlu mendapat penafsiran secara cermat. Faktor utama yang menentukan kinerja suatu perusahaan adalah kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Produk dan jasa yang berkualitas adalah produk dan jasa yang sesuai dengan apa yang diinginkan konsumennya. Oleh karena itu organisasi atau perusahaan perlu mengenal pelanggannya dan mengetahui kebutuhan dan keinginannya. Pengertian kualitas menurut beberapa ahli antara lain adalah :

1.Joseph M. Juran (1993) “Kualitas adalah kecocokan untuk pemakaian (fitness for use) yang mengandung pengertian bahwa suatu produk atau jasa harus dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh konsumen.

2.Philip B. Crosby (1979) “Kualitas adalah conformance to requirements, yaitu sesuai dengan yang diisyaratkan atau distandartkan. Suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan standart kualitas yang telah ditentukan.

3.W. Edwards Deming (1982) “Kualitas adalah suatu tingkat yang dapat diprediksi dari keseragaman dan ketergantungan pada biaya yang rendah dan sesuai dengan pasar.


(20)

4.Feigenbaum (1991) “Kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi marketing, engeneering, manufacture, dan maintenance,di mana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan pelanggan’

5.Scherkenbach (1991) “Kualitas ditentukan oleh pelanggan-pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut”.

6.Elliot (1993) “ Kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, atau dikatakan sesuai dengan tujuan”.

7.Goetch dan Davis (1995) “Kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, orang proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan”.

Istilah kualitas memang tidak terlepas dari manajemen kualitas yang mempelajari setiap area dari manajemen operasi, dari perencanaan lini produk dan fasilitas sampai penjadwalan dan memonitor hasil. Kualitas merupakan bagian dari semua fungsi usaha yang lain (pemasaran, sumber daya manusia, keuangan, dan lain-lain). Dalam kenyataannya, penyelidikan kualitas adalah suatu penyebab umum (common cause) yang alamiah untuk mempersatukan fungsi-fungsi usaha.

Ada beberapa alasan perlunya kualitas bagi suatu organisasi. Russel

mengidentifikasi 6 peran pentingnya kualitas yaitu : 1. Meningkatkan reputasi perusahaan


(21)

3. Meningkatkan pangsa pasar 4. Dampak Internasional

5. Adanya pertanggungjawaban produk

6. Untuk penampilan produk dan mewujudkan kualitas yang dirasakan penting dan masih banyak lagi alasan mengapa kualitas begitu penting bagi perusahaan.

2.1.1 Pengendalian Kualitas

Pada tiap produk terdapat sejumlah unsur yang bersama – sama menggambarkan kecocokan penggunaannya. Parameter – parameter ini biasanya dinamakan ciri – ciri kualitas. Ciri – ciri kualitas menurut (Douglas C. Montgomery,1998:3) ada beberapa jenis :

1.Fisik : panjang, berat, voltage, kekentalan. 2.Indera: rasa, penampilan, warna.

3.Orientasi waktu: keandalan (dapat dipercaya), dapat dipelihara, dapat dirawat. Pengendalian kualitas adalah aktivitas keteknikan dan manajemen, yang dengan kualitas itu kita ukur ciri – ciri kualitas produk, membandingkannya dengan spesifikasi atau persyaratan, dan menggambil tindakan penyehatan yang sesuai apabila ada perbedaan antara penampilan yang sebenarnya dan yang standard.

2.1.2 Tujuan Pengendalian Kualitas

Pengendalian kualitas merupakan suatu pengendalian untuk memeriksa atau menguji karakteristik kualitas yang dimiliki oleh produk yang berguna


(22)

untuk penilaian atas kemampuan proses produksi yang dikaitkan dengan standar spesifikasi produk.

(Ghalia Indonesia. Manajemen Kualitas Pendekatan Sisi Kualitatif. Dorothea Wahyu Ariani, S.E, M.T. Hal. 8-9)

Tujuan dari pelaksanaan kualitas adalah:

1. Pencapaian kebijaksanaan dan target perusahaan secara efisien. 2. Perbaikan hubungan manusia.

3. Peningkatan moral karyawan.

4. Pengembangan kemampuan tenaga kerja.

Dengan mengarahkan pada pencapaian tujuan–tujuan diatas akan terjadi peningkatan produktivitas dan profitabilitas usaha.

Secara spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan pengendalian kualitas adalah :

1. Memperbaiki kualitas produk yang dihasilkan. 2. Penurunan ongkos kualitas secara keseluruhan.

Ada beberapa alasan perlunya kualitas bagi suatu organisasi. Russel

mengidentifikasi 6 peran pentingnya kualitas yaitu : 1. Meningkatkan reputasi perusahaan

2. Menurunkan biaya

3. Meningkatkan pangsa pasar 4. Dampak Internasional


(23)

6. Untuk penampilan produk dan mewujudkan kualitas yang dirasakan penting dan masih banyak lagi alasan mengapa kualitas begitu penting bagi perusahaan.

2.1.3 Manajemen Kualitas

Penataan atau biasa disebut manajemen sangat diperlukan di setiap organisasi. Baik buruknya organisasi banyak bergantung pada masing-masing manajemen di setiap bagiannya, misalnya manajemen perawatan, manajemen keuangan, manajemen pemasaran, manajemen mutu, manajemen lingkungan, dsb. Menurut Trry (syamsi, 1983 : 23), manajemen merupakan suatu proses yang terdiri dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengoperasian, dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber-sumber daya yang telah ada atau tersedia.

Sementara itu, menurut Gasperz (1997), manajemen kualitas dapat dikatakan sebagai semua aktivitas dari fungsi manajemen secara keseluruhan yang menentukan kebijaksanaan kualitas, tujuan dan tanggung jawab, serta mengimplementasikannya melalui alat-alat manajemen kualitas, seperti perencaan kualitas, pengendalian kualitas, penjamin kualitas, dan peningkatan kualitas.

(Ghalia Indonesia. Manajemen Kualitas Pendekatan Sisi Kualitatif. Dorothea Wahyu Ariani, S.E, M.T. Hal. 17)


(24)

Menurut Garvin (dalam Lovelok, 1994; Peppard dan Rowland, 1995; Fandy Tjiptono, 2000: 68) ada 8 dimensi kualitas yang dikembangkan dan dapat digunakan sebagai kerangka perencanaan strategi dan analisis. Dimensi tersebut adalah :

1. Performansi (Performance) berkaitan dengan aspek fungsional dari produk dan merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan ketika ingin membeli suatu produk.Sebagai contoh, performa dari produk TV berwarna adalah memiliki gambar yang jelas. Untuk mobil, memiliki kenyamanan, kecepatan, dan lain sebagainya.

2. Features merupakan aspek kedua setelah performansi yang menambah fungsi dasar dengan beberapa pilihan dan pengembangan. Misalnya dalam produk penerbanganadalah memberikan minuman atau makanan gratis dalam pesawat, pembelian tiket melalui telepon.

3. Keandalan (Reliability) berkaitan dengan kemungkinan keberhasilan suatu produk dalam melakukan berfungsi.Dengan demikian keandalan merupakan karakteristik kemungkinan tingkat keberhasilan, misalnya kehandalan mobil adalah kecepatan.

4. Konformansi (Conformance) berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keingginan konsumen. Karakteristik ini mengukur banyaknya atau persentase produk yang gagal memenuhi sekumpulan standar yang telah ditetapkan dan karena itu perlu dikerjakan ulang atau diperbaiki. Sebagai contoh, apakah semua pintu mobil untuk model tertentu diproduksi dengan toleransi yang dapat diterima : 30 + 0.01 inci.


(25)

5. Daya tahan (Durability) merupakan ukuran masa pakai dan daya tahan suatu produk. Misalnya masa pakai dalam produk ban mobil.

6. Kemampuan Pelayanan (Service ability) merupakan karakteristik yang berkaitan dengan kecepatan, keramahan, kesopanan, kompetensi, kemudahan serta akurasi dalam perbaikan. Misalnya pelayanan melalui telepon dan perbaikan mobil dilakukan dirumah.

7. Estetika (Aesthetics), yaitu karakteristik yang bersifat subyektif sehingga berkaitan dengan pertimbangan atau pilihan individu. Seperti keelokan, kemulusan, suara yang merdu.

8. Kualitas yang dirasakan (Perceived Quality)

Karakteristik yang bersifat subyektif, berkaitan dengan perasaan pelanggan dalam mengkonsumsi produk seperti meningkatkan harga diri. Seperti seseorang yang akan membeli produk Sony karena memiliki reputasi sebagai produk yang berkualitas, meskipun dia belum pernah menggunakannya.

2.1.5 Teknik Pengendalian Kualitas Statistik

Statistika digunakan dalam proses kendali kualitas kapan saja dan dimana mungkin. Ada empat macam metode statistik yang dapat digunakan secara terpisah maupun bersamaan atau kombinasi antar mereka.

a. Distribusi frekuensi.

Suatu tabulasi atau cacah (tally) yang menyatakan banyaknya suatu ciri kualitas muncul dalam sampel yang diamati. Ini dapat digunakan untuk melihat kualitas sampel secara sepintas, yaitu:


(26)

1.Kualitas rata-rata. 2.Penyebaran kualitas.

3.Perbandingan kualitas dengan spesifikasi yang diinginkan.

Teknik ini digunakan dalam analisis kualitas suatu proses atau alat yang diketahui.

b. Gambar kontrol (control chart / peta kontrol).

Suatu yang menyajikan secara grafis keadaan produksi secara kronologis (jam perjam atau hari per hari). Jika kurve yang dihasilkan melampaui batas-batas yang ada, maka suatu perubahan atau penyesuaian dalam proses produksi bisa dianjurkan, bahkan mungkin diperlukan suatu penyelidikan mendalam.

Teknik ini mungkin dilakukan untuk mengontrol suatu proses setelah cara teknik distribusi frekuensi menunjukkan hasil, bahwa proses dalam keadaan terkontrol. Gambar kontrol ini sangat sederhana, sehingga para insinyur maupun inspektur sangat menaruh perhatian.

c. Tabel sampling.

Tabel yang terdiri dari jadwal untuk pengamatan kualitas biasanya dalam bentuk persentase. Hal ini dilakukan untuk menjamin pencapaian kualitas yang dikehendaki untuk produksi maupun barang kiriman.

d. Metode khusus.

Metode ini digunakan untuk kontrol kualitas dalam industri . Analisis yang digunakan secara statistik yang cukup rumit, antara lain korelasi, analisis variance, analisis toleransi dan lain-lain.


(27)

2.1.6 Keuntungan Pengendalian Kualitas

Keuntungan dari pengendalian kualitas adalah :

1. Dengan pengendalian kualitas akan terlihat variasi dari kualitas, sehingga menolong untuk secara langsung atau tak langsung memperbaiki kualitas atau menurunkan biaya atau kedua-duanya.

2. Menjaga kualitas lebih uniform (merata atau tidak banyak variasi).

Produksi barang tidak dapat dibuat sama persis satu sama lain,pasti timbul variasi Selama variasi kualitas tidak menunjukkan gejala yang besar maka proses produksi dikatakan cukup terkontrol secara statistik. Sering juga dikatakan bahwa produksinya tidak menunjukkan banyak variasi kualitas atau singkatnya produksinya uniform. Pengendalian kualitas akan menjaga ke-uniforman ini.

3. Menolong menentukan penilaian sumber bahan baku.

Jika dalam produksi digunakan bahan baku dari beberapa sumber, maka metode statistik akan menolong menentukan penilaian sumber bahan baku. Apalagi jika biaya produksi untuk menjaga kualitas produksi sangat dipengaruhi oleh sumber bahan baku, maka penilaian ini menjadi sangat penting. Suatu contoh, pabrik gula akan memproduksi gula dengan kualitas tertentu. Tebu sebagai bahan baku datang dari ladang-ladang yang berbeda mutunya. Jika tanpa penyesuaian proses produksi maka kualitas gula hasil pabrik itu akan sangat bervariasi.


(28)

4. Penggunaan alat produksi yang lebih efisien.

Didalam suatu industri sering digunakan beberapa mesin untuk memproduksi barang yang sama. Tentunya tiap mesin mempunyai karakteristik tersendiri, perlu penyetelan atau bahkan perlu direparasi. Jika digunakan gambar kontrol untuk setiap mesin, maka petugas akan segera tahu akan keadaan mesin, apakah perlu segera penyetelan atau perlu dihentikan. Tentunya untuk hal ini juga digunakan statistika.

5. Mengurangi kerja ulang atau pembuangan.

Produk yang kurang baik kadang masih dilakukan perbaikan atau diproses kembali. Hal ini sangat merugikan , karena perlu biaya dan waktu.

6. Memperbaiki hubungan produsen–konsumen.

Banyak industri sekarang ini menggunakan komponen-komponen dari hasil industri lain. Disini akan tampak bahwa bahan baku dari industri lain akan sangat mempengaruhi kualitas produksi, atau mungkin malah merusak kualitas. Jika produsen bahan baku itu memberikan kualitas yang baik, maka tentunya akan meningkatkan hubungan antar produsen dan konsumen. Saling percaya mempercayai dan tentunya tidak akan ada keluhan dari konsumen.

2.2 Six Sigma

Huruf kecil “Sigma” dalam alfabet Yunani –σ- merupakan sebuah simbol yang digunakan dalam notasi statistik untuk menunjukkan deviasi standar dari sebuah populasi. Deviasi standar merupakan indikator jumlah “variasi” atau inkonsistensi di semua kelompok item atau proses (Pande, 2002).


(29)

Six Sigma Motorola merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas. Karena Six Sigma mampu melakukan peningkatan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol (zero defect) dan mampu memberikan solusi yang ampuh dalam hal terobosan–terobosan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol. Prinsip–prinsip pengendalian dan peningkatan kualitas Six Sigma telah dilakukan oleh Motorola selama kurang lebih 10 tahun dan telah mampu mencapai tingkat kualitas 3,4 Defect Per Millon Opportunities –kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO). (Gasperz, 2002)

Sedangkan menurut Pyzdek (2000), Six Sigma adalah suatu Implementasi yang secara ketat, terfokus dan sangat efektif dalam meningkatkan kualitas. Six Sigma bertujuan untuk kinerja bisnis yang hampir sepenuhnya bebas dari error atau kegagalan. Kinerja suatu perusahaan diukur dengan level sigma proses bisnis mereka.

Defect adalah kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan, dalam hal ini ada beberapa defect dalam konsep Six Sigma yaitu:

a) Defect Per Opportunity (DPO)

Ukuran kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan persatu

kesempatan, untuk menghitung menggunakan formula

DPO = Banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan


(30)

misalnya , dari 500 pesanan yang diterima diketahui bahwa terdapat 12 pesanan yang dikembalikan dan/ dikeluhkan karena 9 hal defect dengan nilai DPO = 12/ (500 x 9) = 0,002667

b) Defect Per Million Opportunities (DPMO)

Ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan kegagalan persejuta kesempatan, untuk menghitung menggunakan formula

DPMO = DPO  1.000.000

Selanjutnya jika ingin mengetahui tingkat kegagalan per satu juta kesempatan (DPMO), dalam Microsoft Excel menggunakan formula berikut :

DPMO = 1.000.000-normdist (– 1,5 + Nilai Sigma) 1.000.000

Dalam metode ini, parameter yang dipakai : DPMO (defect per million opportunities), yaitu kegagalan per sejuta kesempatan dan COPQ (cost of poor quality), yaitu biaya yang dikeluarkan karena kualitas yang rendah.

2.2.1 Konsep Six Sigma

Pada dasarnya pelanggan akan puas jika mereka menerima nilai sebagaimana yang diharapkan. Apabila produk diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99966 % dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Pengendalian Kualitas Six Sigma sebesar 3,4 DPMO diinterpretasikan sebagai dalam satu unit produk tunggal terdapat rata–rata kesempatan gagal dari suatu CTQ adalah hanya


(31)

sebesar 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO). Semakin tinggi target Sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma dipandang Sebagai pengendalian proses industri berfokus kepada pelanggan, melalui penekanan pada kapabilitas proses (process capability)..

Menurut Gasperz (2002), terdapat enam aspek kunci utama dalam aplikasi konsep Six Sigma, yaitu :

1. Identifikasi pelanggan. 2. Identifikasi produk.

3. Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan. 4. Definisi proses.

5. Menghindari kesalahan dalam proses dan menghilangkan pemborosan yang ada .

6. Meningkatkan proses secara terus – menerus menuju target Six Sigma. Sedangkan jika konsep Six Sigma akan diterapkan dalam bidang manufacturing terdapat enam aspek yang perlu diperhatikan, yaitu :

1. Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan (sesuai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan).

2. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas tersebut sebagai Critical To Quality (CTQ) individual. Critical To Quality adalah atribut–atribut yang penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Merupakan elemen dari suatu produk, proses atau praktek–praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan.

3. Menentukan apakah setiap CTQ tersebut dapat dikendalikan melalui pengendalian material, mesin, proses–proses kerja, dll.


(32)

4. Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang diinginkan pelanggan (menentukan nilai USL dan LSL,dari setiap CTQ). 5. Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan nilai

maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ).

6. Mengubah desain produk dan atau proses sedemikian rupa agar mampu mencapai nilai target Six Sigma, yang berarti memiliki indeks kapabilitas proses (Cpk) maksimum sama dengan 2(Cpm  2). (Gaprersz, Vincent, 2002 : 9).

Pendekatan pengendalian proses 6-sigma Motorola (Motorola’s Six

Sigma process control) mengizinkan adanya pergeseran nilai rata-rata (mean) setiap CTQ individu dari proses industri terhadap nilai spesefikasi target (T) sebesar  1,5–sigma , sehingga menghasilkan 3,4 DPMO (defect per million

opportunities). Dengan demikian berdasarkan konsep Six Sigma Motorola, berlaku penyimpangan :(mean–Target ) =

T

=  1,5 atau

  T 1,5 . Disini (mu) merupakan nilai rata–rata (mean) dari proses, sedangkan (sigma) merupakan variasi proses, ditunjukkan dalam Gambar 2.1.


(33)

T

- 1,5 sigma +1,5 sigma

mean

LSL USL

- 6sigma - 3sigma - 2sigma - 1sigma + 1sigma + 2sigma + 3sigma + 6 sigma Keterangan : sigma dalam bagan menunjukkan ukuran variasi dari proses yang stabil mengikuti distribusi normal

Gambar 2.1. Konsep Six Sigma Motorola dengan Distribusi Normal bergeser

1,5–Sigma. (Vincent Gaspersz,2002, hal 11)

Program peningkatan kualitas Six Sigma berorientasi pada peningkatan kemampuan proses menuju tingkat kegagalan nol atau menuju nilai spesifikasi terget kualitas (T) yang diinginkan pelanggan, maka terdapat hubungan antara pencapaian peningkatan kualitas dan nilai toleransi standar deviasi maksimum (Smaks) yang diijinkan dalam program peningkatan kualitas

Six Sigma.

Jika pelanggan mempunyai dua batas spesifikasi yang ditetapkan (USL dan LSL) maka menggunakan formula : Smaks = [1 / (2 x nilai kapabilitas

Sigma)] x (USL – LSL).Jika pelanggan hanya menetapkan satu batas spesifikasi (SL = spesifikasi limit) apakah batas spesifikasi bawah(LSL) atau batas


(34)

spesifikasi atas(USL), gunakan formula berikut : Smaks = [1 /nilai kapabilitas

sigma] x absolut (SL – T), dimana SL = batas spesifikasi yang ditetapkan pelanggan dan T adalah nilai target. (Gaspersz, Vincent, 2002 : 10).

Tingkat Six Sigma sering dihubungkan dengan kapabilitas proses, yang dihitung dalam defect per million opportunities / (DPMO). Berapa tingkat pencapaian Sigma berdasarkan DPMO dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 DPMO pada sigma level

Sigma Yield DPMO

1 – sigma 31,0 % 691.462 (sangat tidak kompetitif)

2 – sigma 69,2 % 308.538 (rata-rata industri Indonesia)

3 – sigma 93,3 % 66.807

4 – sigma 99,4 % 6.210 (rata-rata industri USA)

5 – sigma 99,97 % 230

6 – sigma 99,99966 % 3,4 (industri kelas dunia) ( sumber : Gaspersz, 2002 )

2.2.2 Faktor Penentu Dalam Six Sigma

Dijelaskan pula bahwa faktor penentu dalam pelaksanaan Six Sigma ini antara lain (George, 2002) :

1. Customer Centric

Pelanggan adalah tujuan utama Six Sigma dimana kualitas dari produk diukur melalui perspektif pelanggan dengan jalan :

a.Voice of customer (VOC), menyatakan keinginan pelanggan.

b.Requirements, masukan dari VOC ditransfer secara spesifik dengan elemen yang dapat diukur.

c.Critical to Quality (CTQ), permintaan yang paling penting bagi pelanggan.


(35)

2.Financial Result

Total Quality Management (TQM) dikenal lebih dulu daripada Six Sigma. TQM sendiri susah menentukan hal mana yang dijadikan prioritas utama bahkan hampir semua proyek yang dikerjakan mengenakan biaya pada pelanggan dan penanam saham, sehingga dapat menghabiskan banyak biaya. TQM sering dipimpin oleh pihak yang paling kurang pemahaman terhadap pengendalian kualitas dan cenderung menemukan cara pengukurannya sendiri. Sedangkan Six Sigma mengakomodasikan penurunan biaya dan kenaikan pendapatan.

3. Management Engagement

Pada penerapan Six Sigma ini selain pada proses juga memerlukan perhatian dan kerja sama pada semua lini manajemen perusahaan.

4. Resources Commitment

Komitmen untuk maju lebih ditekankan daripada jumlah personel yang terlibat dalam implementasi ini.

5. Execution Infrastructure

Six Sigma didukung oleh infrastruktur yang berisi orang–orang dari top management sampai operasional, dimana keseluruhan memiliki fokus yang sama yaitu kepuasan pelanggan.

2.2.3 Penentuan Kapabilitas Proses

Kapabilitas proses adalah perangkat untuk mengukur variabilitas yang terdapat dalam proses manufaktur. Keberhasilan implementasi program


(36)

peningkatan kualitas Six Sigma ditunjukkan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Oleh karena itu, perhitungan kapabilitas proses menjadi sangat penting untuk dipahami dalam implementasi program Six Sigma.

Pengukuran kapabilitas meliputi :

1) Stabilitas, yaitu keadaan di mana data hasil pengukuran dalam keadaan stabil, suatu kondisi di mana tidak terdapat data berada di luar kendali dan tidak terdapat sebab-sebab khusus dalam pola data. Jika sebaliknya, maka penyebab harus dihilangkan agar bisa dilakukan kapabilitas, atau langsung dihitung cacat per sejuta bagian dan diterjemahkan ke dalam nilai sigma.

2) Normalitas, apabila data diasumsikan berdistribusi normal maka harus dilakukan uji kenormalan data melalui plot probabilitas dan uji hipotesis.

1. Plot probabilitas, adalah memplot data ke dalam bentuk distribusi komulatif. Apabila data mengikuti distribusi normal maka ia akan mendekati bentuk garis linier

2. Uji hipotesis, yaitu pengujian anggapan bahwa data berdistribusi normal. Pengujian H0:  = 0 dan H1:   0. Penghitungan

menggunakan rumus Zx untuk mendapatkan nilai-P (P-value).

Nilai-P adalah peluang untuk mendapatkan adalah peluang untuk mendapatkan suatu nilai Z sebesar atau lebih besar daripada Zhitung bila

memang  = 0. Bila nilai-P lebih besar daripada galat jenis I maka


(37)

3) Penghitungan nilai indeks kapabilitas, potensial dan aktual. Kapabilitas potensial adalah variabilitas pada suatu saat dan kapabilitas aktual adalah variabilitas setiap saat. Indeks kapabilitas:

1. Potensial (Cp, Cpk, Cpm) 2. Aktual (Pp, Ppk)

Cp dan Pp adalah indeks kapabitas umum, Cpk dan Ppk dilakukan untuk mengetahui kecenderungan dan lokasi proses. Penghitungan Cpk merupakan nilai minimum antara indeks CPU dan CPL, yaitu penghitungan rentang salah satu batas spesifikasi dan rata-rata proses proses () terhadap sebaran proses ().. Sedangkan Cpm menghitung penyimpangan rata-rata proses terhadap target. Jika nilai Cp = Cpk = Cpm, maka proses dikatakan berada pada target capable.

4) Menghitung nilai sigma yang dihasilkan. Dalam metode six sigma, setiap pengukuran diterjemahkan ke dalam nilai sigma sebagai ukuran performansi. 5) Menghitung jumlah peluang bagian yang berada di luar spesifikasi ke dalam nilai bagian per sejuta (PPM = part per million).

2.2.3.1 Penentuan kapabilitas proses untuk data variabel

Data variabel merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuat berdasarkan keadaan aktual, diukur secara langsung maka karakteristik kualitas yang diukur tersebut disebut sebagai variabel.


(38)

Teknik penentuan kapabilitas proses untuk data variabel adalah sebagai berikut :

1. Menentukan proses yang ingin diukur.

2. Menentukan nilai batas spesifikasi atas dan batas spesifikasi bawah. 3. Menentukan nilai target yang ingin dicapai.

4. Menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi dari proses.

5. Menghitung nilai DPMO,dengan menggunakan formula sebagai berikut : _ _

DPMO =

[

P

{

Z ≥ (USL – Xbar)/S

}

X1 juta

]

+

[

P

{

Z ≤ (LSL – Xbar )/S

}

X1 juta

]

6. Mengkonversikan nilai DPMO ke dalam nilai sigma.

7. Hitung kapabilitas proses di atas dalam indeks kapabilitas proses dengan perhitungan sebagai berikut:

(USL-LSL)

Cpm =

{ 6

(Xbar – T)2 + S2 }

Dimana biasanya dipergunakan criteria sebagai berikut: Cpm ≥ 2,00 ; proses dianggap mampu dan kopetitif

Cpm antara 1,00–1,99 ; proses dianggap cukup mampu, namun perlu

upaya peningkatan kualitas

Cpm < 1,00 ; proses dianggap tidak mampu dan tidak kompetitif untuk

bersaing di pasar global

2.2.3.2 Penentuan kapabilitas proses untuk data atribut

Data atribut adalah data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Jika suatu catatan hanya merupakan suatu ringkasan atau


(39)

klasifikasi yang berkaitan dengan sekumpulan persyaratan yang telah ditetapkan.

Teknik penentuan kapabilitas proses untuk data atribut adalah sebagai berikut :

1. Menentukan proses yang ingin diukur.

2. Menentukan banyaknya unit yang dikerjakan pada proses tersebut. 3. Menghitung jumlah unit yang gagal.

4. Menentukan banyaknya CTQ yang dapat mengakibatkan kegagalan. 5. Menghitung nilai DPMO, dengan menggunakan formula sebagai berikut:

banyaknya cacat

DPMO = _____________________________________ X 1juta banyaknya unit yang diproduksi x CTQ

6. Mengkonversikan nilai DPMO ke dalam nilai sigma

2.2.4 Proses DMAIC

Program peningkatan kualitas Six Sigma, dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan Define, Measure, Analyze, Improve dan Control (DMAIC). Konsep DMAIC merupakan sebuah closed loop dimana output dari tiap fase akan menjadi input bagi fase selanjutnya, bahkan output dari fase terakhir dalam satu loop (fase Control), akan menjadi input bagi rencana / proyek perbaikan (tahapan DMAIC) selanjutnya (Pande, 2002).

2.2.4.1 Define

Define (D) merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, perlu dilakukan:


(40)

Pemilihan proyek Six Sigma adalah prioritas, artinya kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah–masalah dan / atau kesempatan–kesempatan peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu.

2. Peran dan tanggung jawab dari orang – orang yang akan terlibat

dalam proyek Six Sigma

Terdapat beberapa orang atau kelompok orang dengan peran generik beserta gelar–gelar yang umum dipakai dalam program Six Sigma sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.4

Tabel 2.2 Contoh Dari Beberapa Peran Generik Dengan Gelar Atau “Belt” Dalam Program Six Sigma

No Peran Generik dengan berbagai Gelar atau

“Belt”

1 Dewan Kepemimpinan ( Leadership Council ), Dewan Kualitas ( Quality Council),

Komite Pengarah (Steering Committee) Six Sigma, Senior Champions

2 Champions

3 Master Black Belts 4 Black Belts

5 Greean Belts

6 Anggota Tim (Team Members)

Sumber : Vincent Gasperz,2002, hal 35 keterangan :

1. Dewan Kepemimpinan

Dewan kepemimpinan, dikenal juga sebagai Dewan kualitas , Komite pengarah Six Sigma atau Senior Champions, merupakan orang – orang yang

berada pada posisi manajemen puncak ( top management ) dari organisasi Peranan dari orang – orang yang berada dalam posisi ini adalah


(41)

a) Menetapkan visi, peran, dan infrastruktur dari Six Sigma

b) Memilih proyek–proyek spesifik Six Sigma dan mengalokasikan sumber–sumber daya

c) Meninjau–ulang secara periodik tentang kemajuan dari berbagai proyek Six Sigma

d) Membantu mengkuantifikasikan dampak dari usaha–usaha Six Sigma kepada orang–orang yang berada ditingkat bawah dalam organisasi

e) Menilai kemajuan serta mengidentifikasikan kekuatan–kekuatan dan kelemahan–kelemahan dalam usaha–usaha Six Sigma

f) Membagi atau menyebarluaskan praktek–praktek terbaik dari Six Sigma ke seluruh organisasi serta kepada pemasok–pemasok kunci dan pelanggan–pelanggan utama

g) Membantu mengatasi hambatan–hambatan dalam organisasi yang

berdampak negatif proyek–proyek Six Sigma 2. Champions

Merupakan individu yang berada pada manajemen atas (top managemen) yang memahami Six Sigma dan bertanggung jawab untuk keberhasilan dari Six Sigma itu. Secara umum , champions bertanggung jawab untuk :

1. Mendefinisikan jalur implementasi Six Sigma ke seluruh oganisasi

2. Menetapkan dan memelihara atau mempertahankan sasaran yang luas untuk proyek peningkatan kualitas Six Sigma

3. Menyetujui perubahan–perubahan dalam arah atau lingkup dari proyek Six Sigma


(42)

4. Mengembangkan rencana pelatihan komprehensif untuk implementasi Six Sigma

5. menemukan dan menegosiasikan sumber–sumber daya untuk proyek Six Sigma

6. Memberikan pengakuan dan penghargaan

7. Menerapkan pengetahuan yang diperoleh melalui peningkatan proses pada tugas–tugas manajemen

3. Master Black Belts

Merupakan individu–individu yang dipilih oleh Champions untuk bertindak sebagai tenaga ahli atau konsultan dalam perusahaan untuk menumbuh kembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan–pengetahuan stategis yang bersifat terobosan– terobosan Six Sigma keseluruh organisasi. Secara umum, Master Black Belts bertanggung jawab untuk :

 Bekerja sama dengan Champions

 Mengembangkan dan menyebarluaskan bahan – bahan pelatihan tentang Six Sigma ke berbagai tingkat dalam organisasi

 Membantu dalam menidentifikasi proyek – proyek Six Sigma

 Mengambil tanggung jawab kepemimpinan dari program – program utama

 Memudahkan atau menyediakan fasilitas untuk penyebarluasan praktek– praktek terbaik berdasarkan Six Sigma keseluruh organisasi

4. Black Belts

Orang yang menempati posisi pemimpin penuh waktu ( full time position) dalam proyek Six Sigma. Secara umum , Black Belt bertanggung jawab untuk


(43)

a) Mengidentifikasikan hambatan–hambatan yang ada dalam proyek Six Sigma

b) Memimpin dan mengarahkan tim dalam mengeksekusi proyek Six Sigma c) Menyiapkan penilaian proyek secara terperinci selama tahap pengukuran d) Mempertahankan jadual proyek dan menjaga kemajuan proyek menuju

solusi akhir dan hasil – hasil

e) Mendokumentasikan hasil –hasil akhir dan menciptakan “Story board” (peta – peta kemajuan) dari proyek.

5. Green Belts

Six Sigma Green Belt merupakan individu – individu yang bekerja paruh waktu dalam area spesifik atau mengambil tanggung jawab pada proyek – proyek kecil dalam lingkup proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black Belts. Secara umum, Green Belts memiliki tanggung jawab untuk :

1. Mempelajari metodologi Six Sigma untuk dapat diaplikasikan pada proyek–proyek tertentu berskala kecil

2. Melanjutkan mempelajaridan mempraktekkan metode–metode dan alat– alat Six Sigma setelah proyek Six Sigma berakhir

6. Anggota Tim ( Team Members)

Anggota – anggota tim proyek Six Sigma yang harus menerima pelatihan dasar tentang metode – metode dan alat – alat Six Sigma agar mampu menerapkan dalam proyek – proyek spesifik atau proses – proses dalam organisasinya.


(44)

Pernyataan tujuan proyek harus ditetapkan untuk setiap proyek Six Sigma yang terpilih. Pernyataan tujuan yang benar adalah apabila mengikuti prinsip SMART sebagai berikut :

a. Spesific: Tujuan peningkatan kualitas Six Sigma bersifat spesifik. b. Measureable: Tujuan peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat

diukur menggunakan indikator pengukuran yang tepat guna mengevaluasi keberhasilan, peninjauan ulang dan tindakan perbaikan di waktu mendatang.

c. Achiveable: Tujuan peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat dicapai.

d. Result–Oriented: Tujuan peningkatan kualitas Six Sigma harus berfokus pada hasil – hasil berupa pencapaian target – target kualitas yang ditetapkan.

e. Time–Bound: Tujuan peningkatan kualitas Six Sigma harus

menetapkan batas waktu pencapaian tujuan itu dan tepat waktu.

2.2.4.2 Measure

Measure (M) merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat tiga hal yang harus dilakukan pada tahap Measure (M), yaitu :

1. Menetapkan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan.


(45)

Pengukuran karakteristik kualitas dapat dilakukan dengan menggunakan data variabel dan data atribut :

1. Data Variabel : data kuantitatif yang diukur dengan menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis.

2. Data Atribut : data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis.

3. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output dan atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance baseline) pada awal obyek penelitian Six Sigma.

Oleh karena proyek–proyek peningkatan kualitas Six Sigma yang ditetapkan akan berfokus kepada upaya–upaya dalam peningkatan kualitas menuju kegagalan nol (zero defect), maka kita harus mengetahui tingkat kinerja yang sekarang (current performance) atau dalam terminologi Six Sigma disebut sebagai baseline kinerja. Baseline kinerja dalam proyek Six Sigma biasanya ditetapkan menggunakan satuan pengukuran Defects Per Millon Opportunities (DPMO) atau tingkat kapabilitas sigma (sigma level)

Beberapa cara untuk menghitung dan mengekspresikan ukuran-ukuran berbasis defect, yaitu :

a. Defect per Opportunity (DPO)

Menunjukkan proporsi defect atas jumlah total peluang dalam sebuah kelompok.

Formula untuk atribut=

potensial CTQ

Jumlah x

diperiksa Unit

defect Jumlah


(46)

P{z (LSL – X-bar)/S} b. Defect per Million Opportunities (DPMO)

Mengindikasikan berapa banyak defect akan muncul jika ada 1 juta peluang.

Formula = DPO x 106

2.2.4.3 Analyze

Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, perlu dilakukan beberapa hal berikut :

1. Menganalisa kapabilitas (capability) dari proses.

Process Capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan (Gasperz, 2002).

Dalam pengukuran kemampuan proses diasumsikan variasinya stabil. Variasi adalah ketidak seragaman dalam sistem industri sehingga menimbulkan perbedaan dalam kualitas pada produk ( barang dan atau jasa ) yang dihasilkan.

A. Teknik penentuan kapabilitas proses untuk data varioabel adalah sebagai berikut :

Untuk mengetahui apakah suatu produk stabil atau tidak, kita dapat menggunakan formula sebagai berikut :


(47)

Sehingga didapat nilai toleransi untuk USL dan LSL adalah : USL = T + 1.5 Smaks dan LSL = T + 1.5 Smaks

Selanjutnya kita dapat menganalisa kemampuan proses dengan menggunakan Cpm dan Cpmk . Indeks Cpm dihitung menggunkana

formula berikut :

Cpm =

2 2

6 x T s

LSL USL

 

Dimana : Cpm = indeks kapabilitas proses (Process Capability Indeks) USL = batas spesifikasi atas (Upper Specification Limit) LSL = batas spesifikasi bawah (Lower Specification Limit) T = target

s = standart deviasi (S = R-bar/d2 atau S= (xi – x-bar)2 / n - 1 )

x = arithmetic mean

Dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, biasanya dipergunakan kriteria (rule of thumb) sebagai berikut :

a. Cpm  2,00; maka proses dianggap mampu dan kompetitif

(perusahaan berkelas dunia).

b. Cpm antara 1,00 – 1,99; maka proses dianggap cukup mampu,

namun perlu upaya giat untuk penigkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan sangat kecil menuju nol (zero defect oriented). Perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai Cpm yang berada diantara 1,00 – 1,99 memiliki


(48)

kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma.

c. Cpm < 1,00; maka proses dianggap tidak mampu dan tidak

kompetitif untuk bersaing dipasar global.

Indeks kapabilitas proses (Cpm) digunakan untuk mengukur

tingkat pada mana suatu output proses berada pada nilai spesifikasi target kualitas (T) yang diinginkan oleh pelanggan. Semakin tinggi nilai Cpm menunjukkan bahwa output proses itu semakin mendekati

nilai spesifikasi target kualitas (T) yang diinginkan oleh pelanggan, yang berarti pula bahwa tingkat kegagalan dari proses semakin berkurang menuju target tingkat kualitas kegagalan nol (zero defect oriented). Dengan demikian indikator keberhasilan program peningkatan kualitas Six Sigma dapat terlihat melalui indeks nilai kapabilitas proses Cpm yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Bersamaan dengan penggunaan indeks Cpm , juga digunakan indeks

Cpmk yang mengukur tingkat pada mana output proses itu berada dalam

batas – batas toleransi (batas-batas spesifikasi atas dan bawah, USL dan LSL) yang diinginkan pelanggan. Indeks Cpmk dihitung dengan

menggunakan formula :

Cpmk =

2 pk

T)/S} -{(X_bar 1

C

Dimana :

Cpk = minimum [(X bar – LSL)/3S ; (USL – Xbar)/3S]


(49)

LSL = batas bawah spesifikasi CTQ yang diinginkan oleh pelanggan. T = spesifikasi target CTQ yang diinginkan oleh pelanggan. Xbar = nilai rata-rata CTQ dari proses.

S = standar deviasi CTQ dari proses.

Dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, biasanya digunakan kriteria sebagai berikut :

1. Cpmk > 2,00 ; maka proses dianggap mampu memenuhi batas-batas

toleransi (batas spesifikasi bawah dan atas, LSL dan USL) dan kompetitif (perusahaan berkelas dunia).

2. Cpmk antara 1,00 – 1,99 ; maka proses dianggap cukup mampu,

namun perlu upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan sangat kecil menuju nol (zero defect oriented). Perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai Cpmk yang berada diantara 1,00 – 1,99

memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma.

3. Cpm < 1,00; maka proses dianggap tidak mampu dan tidak

kompetitif untuk bersaing dipasar global.

Selanjutnya jika kita ingin mengetahui tingkat kegagalan per satu kesempatan(DPMO),gunakan formula berikut dalam Microsoft Excel : = 1.000.000 – normsdist (-1,5 + NILAISIGMA)*1.000.000

B. Teknik penentuan kapabilitas proses untuk data atribut adalah sebagai berikut :


(50)

b. Menentukan banyaknya unit yang dikerjakan pada proses tersebut. c. Menghitung jumlah unit yang gagal.

d. Menentukan banyaknya CTQ yang dapat mengakibatkan

kegagalan.

e. Menghitung nilai DPMO, dengan formula sebagai berikut: DPMO = Banyaknya cacat x 1.000.000 Banyaknya unit yang diperiksa x CTQ

2. Menentukan target – target kinerja dari karakteristik kualitas kunci

(CTQ).

Setelah melakukan analisis kapabilitas proses, maka kita menetapkan target-target kinerja dari setiap karakteristik kualitas (CTQ) kunci untuk ditingkatkan. Secara konseptual penerapan target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas Six Sigma merupakan hal yang sangat penting, oleh karena itu harus mengikuti prinsip “SMART”.

3. Mengidentifikasi sumber–sumber penyebab kecacatan atau

kegagalan.

Untuk mengidentifikasi sumber–sumber penyebab kegagalan, dapat menggunakan Fishbone Diagram (Cause and Effect Diagram). Dengan analisa cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat sebuah masalah atau dalam beberapa kasus merupakan akibat atau hasil yang diinginkan dan membuat daftar terstruktur dari penyebab–penyebab potensial.

Menurut Gaspersz (2002), setelah akar–akar penyebab dari masalah yang ditemukan, dimasukkan ke dalam cause and effect diagram yang


(51)

telah mengkategorikan sumber–sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu :

a. Manpower (tenaga kerja): berkaitan dalam kekurangan dalam pengetahuan dan ketrampilan dasar.

b. Machine (peralatan dan mesin–mesin): berkaitan dengan tidak adanya perawatan, tidak sesuai dengan spesifikasi tugas.

c. Method (metode kerja): berkaitan dengan tidak ada prosedur dan metode kerja yang benar.

d. Materials (bahan baku dan bahan penunjang): berkaitan dengan ketiadaan spesifikasi kualitas dari bahan baku dan bahan penolong yang digunakan,ditetapkan dan tidak sesuai dengan cara penanganannya.

e. Media: berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak memperhatikan aspek kebersihan, kesehatan dan keselamatan kerja dan lingkunga kerja yang tidak konduktif.

f. Motivation: berkaitan dengan ketiadaan sikap kerja yang benar dan profesional.

g. Money: berkaitan dengan ketiadaan dukungan finasial (keuangan) yang mantap guna mmeperlancar proyek peningkatan kualitas Six Sigma yang akan diterapkan.

4. Mengkonversikan banyak kegagalan ke dalam biaya kegagalan

kualitas ( cost of poor quality).

Hasil-hasil dari peningkatan kualitas Six Sigma, yang diukur berdasarkan persentase antara COPQ(cost of poor quality) terhadap penjualan


(52)

terus-menerus menurun sejalan dengan peningkatan Kapabilitas Sigma, seperti ditunjukkan dalam tabel 2.2.

Tabel 2.3 COPQ dari Pencapaian Beberapa Tingkat Sigma COPQ (Cost of Poor Quality)

Tingkat Pencapaian Sigma DPMO COPQ

1-sigma 2-sigma 3-sigma 4-sigma 5-sigma 6-sigma

691.462 (sangat tidak kompetitif) 308.538 (rata-rata industri Indonesia) 66.807

6.210 (rata-rata industri USA) 233

3.4 (industri kelas dunia)

Tidak dapat dihitung Tidak dapat dihitung 25-40% dari penjualan 15-25% dari penjualan 5-15% dari penjualan < 1 % dari penjualan (Vincent Gaspersz, 2002, hal 3)

2.2.4.4 Improve

Setelah sumber–sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas teridenfikasi, maka perlu dilakukan penetapan rencana tindakan (action plan) untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma. Pada dasarnya rencana– rencana tindakan (action plan) akan mendeskripsikan tentang alokasi sumber– sumber daya prioritas atau alternatif yang dilakukan dalam implementasi dari rencana itu. Tool yang digunakan untuk tahap improve adalah FMEA (Failure Mode and Effect Analysis ).

FMEA adalah suatu prosedur tersetruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure modes). Suatu mode kegagalan adalah apa saja yang termasuk dalam kecacatan / kegagalan dalam desain, kondisi di luar batas spesifikasi yang telah ditetapkan, atau perubahan-perubahan dalam produk yang menyebabkan terganggu fungsi dari produk itu.


(53)

Melalui menghilangkan mode kegagalan, maka FMEA akan meningkatkan keandalan dari produk dan pelayanan itu. FME dapat diterapkan dalam semua bidang, baik manufaktur maupun jasa, juga pada semua jenis produk.

Pada tahap ini tim peningkatan kualitas Six Sigma harus memutuskan apa yang harus dicapai serta alasan kegunaan rencana tindakan itu harus dilakukan, dimana rencana tindakan itu akan dilakukan, bilamana rencana tindakan itu akan dilakukan, siapa yang akan menjadi penanggung jawab dari rencana tindakan itu, bagaimana melaksanakan, dan berapa besar biaya untuk melaksanakan serta manfaat positif yang diterima dari implementasi rencana tindakan itu. Analisis dengan menggunakan metode 5W-2H dapat digunakan seperti yang telah disebutkan diatas. Adapun penjelasan penggunaan metode 5W-2H adalah sebagai berikut:


(54)

Tabel 2.4 Penggunaan Metode 5W- 2H Untuk pengembangan Rencana Tindakan. (Gaspersz, 2002)

Jenis 5W-2H Diskripsi Tindakan

Tujuan Utama

What (Apa)?

Apa yang menjadi target utama dari Perbaikan / peningkatan kualitas?

Alasan Kegunaan

Why

(Mengapa)?

Mengapa rencana tindakan itu diperlukan? Penjelasan tentang kegunaan dari rencana tindakan yang dilakukan.

Merumuskan target sesuai dengan

kebutuhan pelanggan.

Lokasi Where

(Dimana)?

Dimana rencana tindakan itu akan dilaksanakan?

Apakah aktivitas itu harus dikerjakan disana?

Sekuens (Urutan)

When (Bilamana)?

Bilamana aktivitas rencana tindakan itu akan terbaik untuk dilaksanakan?

Apakah aktivitas itu dapat dikerjakan kemudian?

Orang Who

(Siapa)?

Siapa yang akan mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu? Apakah ada orang lain yang dapat mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu?

Mengapa harus orang itu yang ditunjuk untuk mengerjakan aktivitas itu? Mengubah sekuens (urutan) aktivitas atau mengkombi- nasikan aktivitas-aktivitas yang dapat dilaksanakan bersama.

Metode How

(Bagaimana)?

Bagaimana mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu?

Apakah metode yang digunakan sekarang merupakan metode terbaik?

Apakah ada cara lain yang lebih mudah? Menyederha nakan aktivitas-aktivitas rencana tindakan yang ada Biaya/ Manfaat How Much (Berapa)?

Berapa biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan aktivitas rencana tinadakan itu?

Apakah akan memberi dampak

Memilih rencana

tindakan yang paling efektif


(55)

positif pada pendapatan dan biaya(meningkatkan efektif dan efisien), setelah melaksanakan rencana tindakan itu?

dan efisien

2.2.4.5 Control

Control (C) merupakan tahap operasional terakhir dalam proyek peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil–hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktek–praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses distandarisasikan dan disebarluaskan, prosedur–prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standard, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung jawab proses, yang berarti proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini.(Gaspersz, 2002).

Tujuan dari standardisasi adalah menstandardisasikan sistem kualitas Six Sigma yang telah terbukti menjadi terbaik dalam bisnis kelas dunia. Hasil–hasil yang memuaskan dari proyek peningkatan kualitas Six Sigma

harus distandardisasikan, dan selanjutnya dilakukan peningkatan terus– menerus pada jenis masalah yang lain melalui proyek–proyek Six Sigma yang lain mengikuti konsep DMAIC. (Sumber: “Pedoman Implementasi Six

Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gaspersz, Vincent, 2002).

2.3 DPMO (Defects per million opportunities)

Defect adalah kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan. Sedangkan Defects per Opportunity (DPO) merupakan ukuran


(56)

kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu kesempatan. Dihitung menggunakan formula DPO = banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan dibagi dengan (banyaknya unit yang diperiksa dikalikan banyaknya CTQ potensial yang menyebabkan cacat atau kegagalan itu). Besaran DPO ini, apabila dikalikan dengan konstanta 1.000.000, akan menjadi ukuran Defect Per Million Opportunities (DPMO).

Defects Per Million Opportunities (DPMO) merupakan ukuran kegagalan dalam program peningkatan Six Sigma , yang menunjukkan kegagalan per satu juta kesempatan. Target dari pengendalian kualitas Six Sigma Motorola, sebesar 3,4 DPMO seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai 3,4 unit output yang cacat dari sejuta unit output yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai dalam satu unit produk tunggal terdapat rata–rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik CTQ adalah hanya 3,4 kegagalan per satu juta kesempatan.

(Sumber: “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gaspersz, Vincent, 2002)

Saat ini pihak Motorola telah membuat gambaran kapabilitas sebuah proses dalam perbandingan antara sigma dan DPMO yang ditunjukkan di tabel 2.6

Tabel 2.5 Tabel konversi Sigma Motorola (Gasperz, 2002)

Presentase yang

memenuhi spesifikasi DPMO Sigma

30,9 % 69,2 % 93,3 % 99,4 %

690.000 308.000 66.800

6.210

1 2 3 4


(57)

99,98 % 99,9997 %

320 3,4

5 6

2.4 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

FMEA adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses dan form untuk mengidentifikasi dan mendahulukan masalah–masalah potensial (kegagalan). Dengan mendasarkan aktivitas mereka pada FMEA, seorang manajer, tim perbaikan, atau pemilik proses dapat memfokuskan energi dan sumber daya pada pencegahan, monitoring dan rencana–rencana tanggapan yang paling mungkin untuk memberikan hasil.

Metode FMEA mempunyai banyak aplikasi dalam lingkungan Six Sigma, dalam hal mencari berbagai masalah bukan hanya dalam proses serta perbaikan kerja, tetapi juga dalam akivitas pengumpulan dana, usaha-usaha Voice of Customer, prosedur dan bahkan dalam pelaksanaan inisiatif Six Sigma. Satu-satunya prasyarat adalah adanya situasi yang kompleks atau berisiko tinggi dimana perlu penekanan khusus untuk menghentikan masalah (Pande, 2002).

2.4.1 Bagaimana FMEA Bekerja

Berikut ini langkah–langkah dan konsep–konsep kunci : 1. Mengidentifikasi proses atau produk / jasa.

2. Mendaftarkan masalah–masalah yang dapat muncul (Failure Modes). Ide– ide untuk masalah potensial dapat berasal dari berbagai sumber, meliputi brainstorming, analisa proses dan sebagainya.


(58)

3. Menilai masalah untuk kerumitan (severity), probabilitas kejadian (occurance)dan detektabilitas (detection). Dengan menggunakan skala 1– 10, berikan skor pada masing–masing faktor untuk setiap masalah potensial. Masalah–masalah yang lebih serius mendapatkan rating yang lebih tinggi, demikian juga masalah yang sulit untuk dideteksi. Hal ini dapat dinilai atau didasarkan pada data historis.

4. Menghitung Risk Priority Number (RPN) dan tindakan–tindakan prioritas. Dengan menggunakan RPN dari semua masalah, maka diperoleh

gambaran resiko total untuk semua proses atau produk/jasa.

5. Melakukan tindakan–tindakan untuk mengurangi resiko. Dengan

memfokuskan pertama–tama pada masalah–masalah potensial yang memiliki prioritas tertinggi, maka kemudian dapat memikirkan tindakan– tindakan untuk mengurangi salah satu atau semua faktor : keseriusan (severity), kejadian (occurance) dan detekbilitas (detection).

(Pande , 2002)

2.4.2 Severity

Severity adalah suatu perkiraan subyektif mengenai kerumitan suatu kegagalan dan bagaimana buruknya akhir akan merasakan akibat dari kegagalan tersebut. Penilaian terhadap severity menggunakan skala 1–10 sebagai berikut :


(59)

Tabel 2.6. Rangking Severity

Rangking Kriteria

1 Neigligible severity (pengaruh buruk yang dapat diabaikan). Kita tidak perlu memikirkan bahwa akibat ini akan berdampak pada kinerja produk. Pengguna akhir mungkin tidak akan memperhatikan kecacatan atau kegagalan ini.

2 3

Mild severity (pengguna buruk yang ringan/sedikit). Akibat yang ditimbulkan hanya bersifat ringan. Pengguna akhir tidak akan merasakan perubahan kinerja. Perbaikan dapat dikerjakan pada saat pemeliharaan reguler.

4 5 6

Moderate severity (pengaruh buruk yang moderat). Pengguna akhir akan merasakan penurunan kinerja atau penampilan, namun masih dalam batas toleransi. Perbaikan yang dilakukan tidak akan mahal, tetapi jika terjadi downtime hanya dalam waktu singkat

7 8

High severity (pengaruh buruk yang tinggi). Pengguna akhir akan merasakan akibat buruk yang tidak dapat diterima, berada pada batas luar toleransi. Akibat ini akan terjadi tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih dahulu.

9 10

Potensial safety problem (masalah keselamatan/keamanan potensial). Akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya, yang dapat terjadi tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih dahulu.

( Sumber : Gaspersz, 2002 )

2.4.3 Occurance

Occurance adalah perkiraan subyektif tentang probabilitas atau peluang bahwa penyebab itu akan terjadi, akan menghasilkan mode kegagalan yang memberikan akibat tertentu dengan skala 1–10 sebagai berikut :


(60)

Tabel 2.7 Rangking Occurance

Rangking Kriteria Verbal Tingkat

Kecacatan/Kegagalan

1 Adalah tidak mungkin bahwa penyebab ini yang menyebabkan mode kegagalan

1 dalam 1.000.000 2

3

Kegagalan akan jarang terjadi 1 dalam 20.000 1 dalam 4.000 4

5 6

Kegagalan agak mungkin terjadi 1 dalam 1.000 1 dalam 400 1 dalam 80 7

8

Kegagalan sangat mungkin terjadi 1 dalam 40 1 dalam 20 9

10

Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan akan terjadi

1 dalam 8 1 dalam 2 ( Sumber : Gaspersz, 2002 )

2.4.4 Detecbility

Detecbility adalah suatu perkiraan subyektif mengenai suatu metode pencegahan atau deteksi yang dapat menghilangkan mode kegagalan dengan menggunakan skala 1–10 sebagai berikut :


(61)

Tabel 2.8 Rangking Detectability

Rangking Kriteria Verbal Tingkat

Kecacatan/Kegagalan

1 Metode pencegahan atau deteksi sangat efektif.

Spesifikasi akan dapat dipenuhi secara konsisten

1 dalam 1.000.000

2 3

Kemungkinan kecil bahwa spesifikasi tidak akan dipenuhi.

1 dalam 20.000 1 dalam 4.000 4

5 6

Kemungkinan bersifat moderat. Metode pencegahan atau deteksi masih memungkinkan kadang-kadang spesifikasi itu tidak terpenuhi

1 dalam 1.000 1 dalam 400 1 dalam 80 7

8

Kemungkinan bahwa spesifikasi produk tidak dapat dipenuhi masih tinggi. Metode pencegahan atau deteksi kurang efektif.

1 dalam 40 1 dalam 20

9 10

Kemungkinan bahwa spesifikasi produk tidak dapat dipenuhi sangat tinggi. Metode pencegahan atau deteksi tidak efektif.

1 dalam 8 1 dalam 2

( Sumber : Gaspersz, 2002 ).

2.5 Seven Tools

Tujuh perangkat yang digunakan dalam memecahkan suatu masalah pengendalian mutu kualitas beserta fungsinya dikenal dengan istilah 7 Tools, dimana perangkat ini mempunyai keuntungan antara lain :

a) Peningkatan Ratio : Kualitas / Biaya b) Tingkat kualitas yang lebih baik

c) Menjaga kualitas lebih uniform/ seragam d) Penyediaan bahan baku yang lebih baik


(62)

e) Mengurangi kerja ulang atau pembuangan f) Inspeksi yang lebih baik

Tujuh alat pengendali mutu kualitas yang dimaksud adalah :

1. Lembar Isian (Check Sheet)

Lembar isian merupakan alat Bantu untuk mempermudah proses pengumpulan data. Bentuk dan isinya disesuaikan dengan kebutuhan maupun kondisi kerja yang ada.Didalam pengumpulan data maka data yang diambil harus benar-benar dengan kebutuhan analisis dalam arti bahwa data harus:

a.Jelas,tepat dan mencerminkan fakta

b.Dikumpulkan berdasarkan cara yang benar,hati-hati dan teliti Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam suatu lembar isian: a. Maksud pembuatan jelas

b. Stratifikasi harus sebaik mungkin

c. Dapat diisi dengan cepat,mudah dan secara otomatis bias segera dianalisa

A B C D E

Check Sheet

Gambar.2.2 Bentuk umum lembaran check sheet


(63)

Salah satu alat dari metode statistik yang dipakai untuk menganalisa data. Dapat digunakan untuk mengetahui :

a. Harga rata-rata atau central tendency dari nilai data yang terkumpul. b. Harga maksimum dan minimum data.

c. Range data .

d. Besar penyimpangan atau dispersi terhadap harga rata-rata. e. Bentuk distribusi data yang terkumpul.

f. Untuk menganalisa secara cepat apakah proses sesuai dengan spesifikasi standar yang diterapkan.

g. Alat untuk melihat perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu.

h. Alat untuk mengkomunikasikan informasi tentang variasi dalam proses produksi.

i. Alat untuk membantu dalam pembuatan keputusan sebagai usaha perbaikan terus menerus.

Histogram adalah merupakan sebuah grafik yang menampilkan sekilas dari sekumpulan data. Manfaat Histogram adalah untuk melihat bentuk, pemusatan, dan penyebaran sekumpulan data dari beberapa prosesdan untuk mendapatkan gambaran bagaimana sebenarnya proses sedang beroperasi, yaitu:

a.Nilai yang paling sering muncul (mode) b.Lebih dari satu buah puncak yang terlihat jelas c.Kesimetrisan data

d.Nilai data yang letaknya terpencil

e.Data yang terlalu banyak atau kurang dipresentasikan (puncak atau lembah yang tidak diharapkan pada histogram)


(1)

4.5 Control (Pengendalian)

Control merupakan langkah operasional yang terakhir dalam program

peningkatan kualit e sistem

l proses baik itu mengontrol standar spesifikasi maupun untuk mengontrol truksi kerja sehingga setiap proses dapat dikendalikan, cacat yang terjadi dapat turunka dan target dari peningkatan k

5.1 U P Agar pe dihara isa

hingga m aka dari itu pe

menindak lanjuti rencana perbaikan tersebut seperti yang terlihat pada tabel 4.15 berikut ini:

Tabel 4.15 Usulan Pengendalian Perbaikan

Rencana Perbaikan Usulan Pengendalian as six sigma. Pada tahap ini dibuat suatu mekanism kontro

ins

di n ualitas six sigma dapat tercapai.

4. sulan engendalian

rbaikan dapat berjalan, diperlukan rencana pengendalian yang pkan b memenuhi target yang diinginkan yaitu mengurangi jumlah defect

rlu diberikan usulan perbaikan untuk endekati nol, m

Memberikan teguran tegas kepada operator yang ceroboh dan lalai dan diharapkan lebih memperhatikan pengawasan dalam pemilihan bahan baku

Pemberian sanksi tegas pada operator yang ceroboh dan lalai dan mencatatnya

Melakukan perawatan mesin dengan teratur sesuai jadwal yang telah

Perlu adanya control yang ketat dalam perawatan mesin agar berjalan dengan konsisten

ditentukan Me

proses produksi berlangsung proses produksi berlangsung.

ngontrol setting mesin sebelum Membuat jadwal untuk control sebelum

Melakukan pengecekan pada material Diberikan bukti pengecekan material control tiap-tiap divisi


(2)

Dengan mel menerus sesuai dengan prioritas yang telah dusulkan maka, ndatang pada produksi sepatu article FLAIR,

Secara umum, nilai sigma pada sepatu article FLAIR sudah menunjukkan

rata-rata seb ada bulan

sebesar 4,14 sigma, bulan Oktober sebes ovember sebesar ,03 sigma dan bulan Desember sebesar 4,15 sigma . Tetapi nilai-nilai tersebut tidak b

tikan pengawasan dalam pemilihan bahan baku, perlu adanya control yang ketat dalam perawatan mesin agar berjalan dengan konsisten mengontrol setting mesin sebelum proses produk

akukan tindakan perbaikan secara terus

pada tahun-tahun me diharapkan terdapat peningkatan kualitas

hingga mencapai 6 Sigma.

4.5.2 Pembahasan Hasil Penelitian

nilai yang cukup baik dengan esar 4,06 sigma diantaranya p

Juli sebesar 4,02 sigma, bulan Agustus sebesar 4,00 sigma, bulan September ar 4,03 sigma, bulan N

4

isa dikatakan sudah konsisten karena bisa berubah setiap saatnya. Jadi proses kontrol yang harus dilakukan yaitu melalui tindakan perbaikan yang utama adalah memberikan teguran tegas kepada operator yang ceroboh dan lalai dan diharapkan lebih memperha

(sesuai jadwal yang telah ditentukan),

si berlangsung, melakukan pengecekan pada material sebelum dilakukan proses produksi, dan lain sebagainya.

Setelah tindakan – tindakan perbaikan kualitas dilakukan, selanjutnya dilakukan pendokumentasian hasil perbaikan dari proyek Six Sigma, kemudian dilakukan standarisasi praktek kerja terbaik untuk memperbaiki kualitas produk agar menuju target penurunan tingkat kegagalan produk sehingga mendekati zero defect serta pencapaian level sigma menjadi 6-Sigma.


(3)

(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PT. ECCO Indonesia dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Jenis cacat paling dominan pada sepatu adalah cacat kulit (sebesar 27%), disebabkan karena lemahnya inspeksi dalam pemilihan bahan.

2. Dari data selama 6 bulan (Juli-Desember 2009), diketahui bahwa dari total produksi sebesar 105.055 dan defect sebesar 2.7% diperoleh nilai sigma sebesar 4,06 sigma serta diperoleh nilai indeks kapabilitas prosesnya = 1,11 atau 1 ini berarti bahwa proses produksi dianggap cukup mampu untuk bersaing dengan perusahaan lain serta memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan six sigma.

3. Prioritas tindakan perbaikan yang diusulkan adalah memberikan teguran tegas kepada operator yang ceroboh dan lalai dan diharapkan lebih memperhatikan pengawasan dalam pemilihan bahan baku, perlu adanya control yang ketat dalam perawatan mesin agar berjalan dengan konsisten (sesuai jadwal yang telah ditentukan), mengontrol setting mesin sebelum proses produksi berlangsung, melakukan pengecekan pada material sebelum dilakukan proses produksi, dan lain sebagainya.


(5)

5.2 Saran

Pada akhir penelitian ini dapat diberikan beberapa saran bagi perusahaan yaitu sebagai berikut:

1. Sebaiknya fokus perbaikan proses ditujukan pada kualitas gedung, Memberikan training secara intensif kepada operator, membuat jadwal perawatan mesin dan peralatan, dan yang paling penting memperhatikan kualitas kulit karena dapat mempengaruhi proses produksi

2. Meningkatkan inspeksi terhadap penerimaan material awal agar diketahui mana material yang memenuhi spesifikasi dan mana yang tidak memenuhi spesifikasi sebelum dilakukan proses produksi.

3. Mengimplementasikan metode six sigma sebagai penilaian kapabilitas proses. Dan untuk mencapai target 3,4 defect dari setiap sejuta proses seperti tujuan dari six sigma, maka tingkat kewaspadaan terhadap faktor yang berpengaruh harus diperhatikan.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Ariana, Wahyu Dorothea. 2003, Manajemen Kualitas Pendekatan Sisi Kualitatif, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Cahyanti, Dwi S. 2009, Sistem Produksi dan Pengendalian Kualitas di PT. ECCO Indonesia. Laporan Praktek Kerja Lapangan.

Eugene L.Grant,Richard S.Leavenworth,1998,Pengendalian Mutu Statistik, Edisi Keenam,Erlangga,Surabaya.

Gaspersz, Vincent. (2002), Pedoman Implementasi Program Six Sigma: Terintegrasi dengan ISO 9001, MBNQA, dan HACCP, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Handoyo, 2007, Statistik Industri I, Buku Ajar, Surabaya.

Inc George,Michael,2002,Lean Six Sigma,Mc Graw Hill Companies.

Lusiana, Ama, 2007, Analisis Pengendalian Kualitas Produk Dengan Menggunakan Metode Six Sigma Pada PT. Nusantara Unit Patal Secang, FE UNS - Semarang.

Pande, Peter S; Neuman, Robert P; Cavanagh, Rolland R (2002), The Six Sigma Way – Bagaimana GE, Motorola, dan Perusahaan Terkenal Lainnya Mengasah Kinerja Mereka, edisi Bahasa Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Pyzdek, T., 2002, “The Six Sigma Handbook”, Salemba Empat, Jakarta.

Rifki, 2005, Peningkatan Kualitas Menggunakan Pendekatan DMAIC (Define, Measure, Analize, Improve, Control Di CV. Gemilang Karya Pontianak, FTI UPN – Surabaya.

Soejanto, Irwan, 2007, Pemrograman Komputer, Buku Ajar, Surabaya V. ---, 2007, Rekayasa Kualitas, Yayasan Humaniora, Surabaya.V. Sudjana, 1996, Metode Statistika, Edisi Enam, Tarsito, Bandung.