Pengawasan Warga Negara Asing yang Kawin Campur dan Hak Memperoleh Pekerjaan di Indonesia.

(1)

PENGAWASAN WARGA NEGARA ASING YANG

KAWIN CAMPUR DAN HAK MEMPEROLEH

PEKERJAAN DI INDONESIA

GUSTI AYU MADE WIDNYANI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

KAWIN CAMPUR DAN HAK MEMPEROLEH

PEKERJAAN DI INDONESIA

GUSTI AYU MADE WIDNYANI NIM : 1190561013

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

(4)

iii

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 2 FEBRUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Johanes Usfunan. Drs. SH. MH. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH. MH. NIP. 195511261985111001 NIP. 195609021985032001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan SH,M.Hum,L.L.M Prof.Dr.dr.A.A Raka Sudewi,Sp.S.(K) NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001


(5)

iv

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

GUSTI AYU MADE WIDNYANI, SH. NIM. 1190561013

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(6)

v

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : 4382/UN.14.4/HK/2015, Tanggal 31 Desember 2015

Ketua : Prof. Dr. Johanes Usfunan. Drs. SH. MH.

Sekretaris : Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH. MH.

Anggota : 1. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS

2. Dr. I Gede Yusa, SH., MH.


(7)

vi Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Gusti Ayu Made Widnyani Program Studi: Ilmu Hukum

Judul Tesis : Pengawasan Warga Negara Asing Yang Kawin Campur Dan Hak Memperoleh Pekerjaan Di Indonesia.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar, 2 Februari 2016 Yang Menyatakan

Gusti Ayu Made Widnyani NIM. 1190561013


(8)

vii

disertai dengan tekad yang sungguh-sungguh maka tesis yang berjudul: Pengawasan Warga Negara Asing Yang Kawin Campur Dan Hak Memperoleh Pekerjaan Di Indonesia dapat diselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi kewajiban untuk dapat meraih gelar Magister pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pemerintahan Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan serta arahan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan yang sangat baik ini perkenankanlah Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Pembimbing I, Bapak Prof.Dr.Johanes Usfunan.Drs.SH.MH.,pada Program

Pascasarjana S2 Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang banyak memberikan arahan, bimbingan dan petunjuk sampai selesainya tesis ini.

2. Pembimbing II, Ibu Dr.Ni Ketut Sri Utari, SH.MH., pada Program

Pascasarjana S2 Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang bersedia meluangkan waktu,dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk sehingga akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.

3. Bapak Rektor Universitas Udayana, Prof.Dr. Ketut Suastika.,SP.,Pd KEMD,

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Pascasarjana S2 pada Universitas Udayana.


(9)

viii terdorong untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. I GustiNgurah Wairocana, SH., MH., sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

6. Ibu Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana S2

pada Universitas Udayana, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,

S.H.,M.Hum.,LLM. dan Sekretaris Program Studi Magister S2, Ilmu Hukum

pada Universitas Udayana, Bapak Dr.Putu Tuni Cakabawa

Landra,S.H.,M.Hum. atas segala arahan dan dorongan selama mengikuti perkuliahan maupun dalam penyusunan tesis ini.

7. Bapak Tim Penguji, baik ketua, sekretaris dan anggota penguji tesis ini, yang

telah banyak memberikan saran, masukan atas tesis ini, sehingga penulisan tesis yang baik dan benar dapat terwujud sesuai dengan harapan penulis.

8. Bapak dan Ibu Dosen pengajar pada Pascasarjana S2 Ilmu Hukum pada

Universitas Udayana yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan atau mentransfer ilmu pengetahuan hukum sesuai bidang masing-masing selama dalam proses perkuliahan dimana penulis menuntut ilmu hukum pada konsentrasi Hukum Pemerintahan pada Universitas Udayana.

9. Bapak Tieldwight Sabaru selaku Kepala Divisi Keimigrasian, yang telah


(10)

ix tesis ini sampai selesai.

11.Bapak Mohamad Soleh selaku Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan

Keimigrasian pada Kantor Imigrasi Klas I Khusus Ngurah Rai, yang telah banyak membantu memberikan data dan informasi tentang pelanggaran keimigrasiansehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan.

12.Bapak Usman selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan

Keimigrasian Pada Kantor Imigrasi Klas I Denpasar, yang telah banyak memberikan informasi serta data pelanggaran keimigrasian.

13.Bapak Yohan Kristian Wijaya, S.H.,M.H, yang telah banyak memberikan

bantuan buku-buku asing dalam proses penulisan tesis ini.

14.Kepada rekan-rekan Magister Hukum angkatan 2011, yang telah banyak

memberikan semangat, dorongan dan saran serta motivasi yang sangat berharga sehingga tercipta suasana perkuliahan yang kondusif, serta penulis dapat menyelesaikan tesis dengan baik.

15.Kepada Suami, anak-anak tercinta serta orang tua yang telah ikut

mendampingi dan memberikan dorongan baik secara moril maupun materiil sehingga proses penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

16.Serta seluruh pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah


(11)

x

Semoga tesis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran serta bermanfaat bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sehingga kedepan Pengawasan Warga Negara Asing Yang Kawin Campur Dan Hak Memperoleh Pekerjaan Di Indonesia menjadi lebih baik lagi, untuk itu kritik serta saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk perbaikan tesis ini.

Denpasar, 2 Februari 2016 Penulis


(12)

xi

keluarga dan sponsor suami/istri WNI mereka diperbolehkan untuk bekerja, hal ini diatur dalam Pasal 61 menentukan bahwa Pemegang Izin Tinggal Terbatas dan pemegang Izin Tinggal Tetap dapat melakukan pekerjaan dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/atau keluarganya.

Disisi lain bagi orang asing yang bekerja di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ditentukan tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing diatur dalam Pasal 42 sampai dengan 49 dimana ditentukan kewajiban Pemberi Kerja yang akan menggunakan Tenaga Kerja Asing harus memperoleh izin tertulis dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing, wajib melakukan penunjukan tenaga kerja WNI sebagai pendamping Tenaga Kerja Asing serta berkewajiban untuk memulangkan TKA ke negara asalnya jika hubungan kerja telah berakhir.

Pengawasan atas hak bekerja terhadap warga negara asing yang kawin campur sudah jelas diatur namun jika WNA pelaku perkawinan campuran akan bekerja sebagai Tenaga Kerja Asing di Indonesia tetap perlu Penjamin selaku pemberi kerja yang akan mengurus Izin Kerja dan yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing tersebut selama berada di Indonesia. Dan ketentuan penjamin sebagai pemberi kerja masih kabur sehingga belum menjamin kepastian hukum tentang hak bekerja WNA pelaku perkawinan campuran di Indonesia.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan Analisis Konsep Hukum dan Pendekatan kasus. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dianalisis melalui teknik deskripsi, teknik evaluasi selanjutnya diinterpretasi secara sistematis dan sosiologis terhadap kaidah hukum sehingga memperoleh kesimpulan terhadap permasalahan yang ada.

Pengawasan warga negara asing yang kawin campur dan hak memperoleh pekerjaan jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian dalam pasal 61 dan jika Warga Negara Asing pelaku perkawinan campuran akan bekerja sebagai Tenaga Kerja Asing tetap harus mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Namun ketentuan tentang Penjamin yang merupakan pemberi kerja dalam hal jika Warga Negara Asing pelaku perkawinan campuran sebagai Tenaga Kerja Asing masih kabur, dimana penjamin yang diatur dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yang dalam hal ini korporasi wajib bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan orang asing tersebut selama berada di Indonesia belum jelas pengaturannya dimana pengaturan tentang kaidah hukum yang menjelaskan konsepsi-konsepsi tanggung jawab penjamin atas keberadaan dan kegiatan orang asing masih kabur sehingga identifikasi oleh pelaksana hukum dan penjamin sendiri sebagai pihak yang menjadi ruang lingkup pengaturan hukum belum jelas dan masih kabur.

Kata-kata kunci : Kepastian Hukum, Warga Negara Asing, Perkawinan Campuran, Hak Bekerja


(13)

xii

from his/her Indonesian spouse they are allowed to work, it is stipulated in Article 61 which determines that the holder of a Limited Stay Permit and Permanent Stay Permit can engage the work and/or the business to satisfy his/her living need and/or his/her family.

On the other hand for foreigners working in Indonesia are regulated in Law of the Republic of Indonesia Number 13 of 2003 concerning Employment is determined on the Use of Foreign Workers set out in Article 42 to 49 in which determine the liability of the Employer who use Foreign Workers must obtain written permission from the Minister or authorized officials, should have a foreign manpower plan, required to conduct Indonesian citizen appointment as assistant for Foreign Workers and the obligation to repatriate foreign workers to their home country if the employment relationship has ended.

Controls of the right to work for foreign citizens who intermarrying already clearly stipulated but for foreigners who intermarrying who work as a Foreign Workers in Indonesia still need Guarantor as an employer who will take care of work Permit and who is responsible for the existence and activities of the Foreigner while in Indonesia. And the provisions of the Guarantor which is the employers are still vague, thus not guaranteeing legal certaintly about the rights to work of foreign citizens who intermarrying in Indonesia.

This research is a normative legal research, using Regulations approaches, Legal Concepts Analysis Approach and case Approach. The primary legal materials and secondary legal materials were analyzed through the technique description, evaluation techniques in a systematic and sociological interpretation into a legal norms to derive conclusions on the existing problems.

Controls for foreign citizens who intermarrying and the right in obtaining a job in Indonesia clearly stipulated in Law of the Republic of Indonesia Number 6 of 2011 concerning Immigration in Article 61 and if foreigners who intermarrying will work as Foreign Workers still have to follow the provisions of Law of the Republic of Indonesia Number 13 of 2003 concerning Employment. However, the provisions of the Guarantor which is the employer in the case if the foreign citizens who intermarrying as Foreign Workers still blurred, where the guarantor is regulated in Article 63 of Law of the Republic of Indonesia Number 6 of 2011 concerning Immigration that in this case the corporation shall be responsible for the existence of and the activities of foreigners while in Indonesia is not yet clear arranged where the regulation of the legal rules that describe the conceptions of

guarantor’s responsibility of the existence and activities of foreigners are still

vague, so that the identification by law enforcement and the guarantor itself as the part who became the scope of legal arrangements is unclear and still blurry. Keywords: legal certainty, foreign citizens, intermarriage, the right to work


(14)

xiii (lima) bab yang disusun sebagai berikit:

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini menggambarkan tentang latar belakang masalah yang melandasi rumusan masalah yaitu : Pertama, Pengawasan warga negara asing yang kawin campur dan hak memperoleh pekerjaan di Indonesia. Kedua, Kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dan bekerja di Indonesia. Perlindungan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Dalam undang-undang keimigrasian yang baru ini diatur bahwa orang asing yang kawin dengan warga negara Indonesia diberikan kesempatan untuk bekerja dan berusaha di Indonesia. Ketentuan ini merupakan ketentuan pembaharuan yang menjamin Hak Asasi Manusia (HAM). Disisi lain bagi orang asing yang bekerja di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ditentukan syarat-syarat dan kewajiban Pemberi Kerja yang menggunakan TKA. Namun ketentuan tentang penjamin yang merupakan pemberi kerja dalam hal jika warga negara asing pelaku perkawinan campuran sebagai Tenaga Kerja Asing masih kabur, dimana penjamin yang diatur dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yang dalam hal ini korporasi wajib bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan orang asing tersebut selama berada di Indonesia belum jelas pengaturannya dimana pengaturan tentang kaidah hukum yang menjelaskan konsepsi-konsepsi tanggung jawab penjamin atas keberadaan dan kegiatan orang asing masih kabur sehingga identifikasi oleh pelaksana hukum dan penjamin sendiri sebagai pihak yang menjadi ruang lingkup pengaturan hukum belum jelas dan masih kabur. Sehingga menimbulkan pemaknaan yang berbeda atau penafsiran yang berbeda serta membuat institusi

pelaksananya seakan-akan bebas menentukan tafsirnya sendiri.

Bab II menguraikan tentang gambaran umum pengawasan lalu lintas orang dan pengawasan keimigrasian terhadap orang asing dalam yurisdiksi Republik

Indonesia, bagian pertama dibahas, gambaran umum tentang kedaulatan negara

dan pengawasan keimigrasian terhadap orang asing di Wilayah Negara Republik Indonesia, bagian ini membahas kewenangan keimigrasian mengatur orang masuk, keluar, dan tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan orang asing selama berada di wilayah Republik Indonesia. Kedua gambaran umum tentang dokumen keimigrasian membahas tentang pelayanan keimigrasian bagi warga negara

Indonesia dan Pelayanan Keimigrasian bagi Warga Negara. Ketiga, gambaran

umum tentang pengawasan tenaga kerja asing di Indonesia, bagian ini membahas kebijakan pengawasan penggunaan tenaga kerja asing serta prosedur dan persyaratan sebagai tenaga kerja asing diindonesia. Keempat, gambaran umum perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan orang asing, bagian


(15)

xiv

syarat-syarat perkawinan campuran dan pengaruh perkawinan campuran terhadap keluarga serta perkawinan dan perceraian bagi orang asing yang kawin campur pemegang izin tinggal tetap. Kemudian dikaji hak bertempat tinggal dan hak untuk bekerja atau berusaha bagi orang asing yang kawin campur dari sisi pengawasan dalam undang-undang keimigrasian maupun dari sisi pengawasan dalam undang-undang ketenagakerjaan, selanjutnya dikaji pengawasan hukum warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/atau keluarganya disertai uraian beberapa contoh kasus yang relevan dengan warga negara asing pelaku perkawinan campuran dalam memperoleh pekerjaan beserta analisis terhadap kasus tersebut dalam kontek kebijakan keimigrasian.

Bab IV membahas tentang kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia. Bagian ini membahas tentang pengawasan keimigrasian dan pengawasan ketenagakerjaan terhadap orang asing yang bekerja di Indonesia khususnya pengawasan keimigrasian terhadap orang asing yang kawin campur dalam pemberian izin tinggalnya serta pengawasan ketenagakerjaan asing. Kemudian dibagian berikutnya dibahas pemaknaan/penafsiran dalam praktek hak bertempat tinggal dan hak untuk bekerja warga negara asing yang kawin campur, dimana justru ketentuan mengenai penjamin dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian ini yang masih ambigu, dimana penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan orang asing selama berada di Indonesia. Supaya penjamin memahami arti keberadaan dan kegiatan, mestinya ada rumusan kaidah hukum menjelaskan konsepsi-konsepsi tersebut sehingga mudah diidentifikasi oleh pelaksana hukum dan penjamin sebagai pihak yang menjadi ruang lingkup pengawasan hukum. karena tidak jelas diberlakukan apakah penjamin itu sebagai syarat permohonan atau dasar pembatalan izin tinggal. Lagipula, ketentuan tersebut sama sekali tidak menyebut akibat hukum tertentu atau tidak memuat konsekuensi hukum tertentu terkait norma kewajiban yang diaturnya, memuat norma (kewajiban) administratif, tanpa disertai kejelasan definisi/ ruang lingkup pengaturannya yang tegas dan jelas dan konsekuensi hukum yang menyertainya,

seharusnya diatur pula bentuk konsekuensinya, didalam peraturan

pelaksanaannya, ketidakjelasan ini semakin kentara, apakah kewajiban memiliki penjamin itu dimaksudkan sebagai syarat permohonan dengan konsekuensi penolakan jika tidak dipenuhi, atau merupakan dasar pembatalan jika kewajiban itu dilanggar atau sebagai suatu sanksi sehingga jika tidak dipenuhi maka izin yang diberikan batal.

Kalau ditafsirkan secara sosiologis (Interpretasi sosiologis) artinya bahwa pemaknaan suatu aturan hukum ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat, aturan tersebut (Pasal 63 UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian) sebenarnya berlaku


(16)

xv

Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian kewajiban memiliki penjamin ini dijadikan syarat baru untuk perpanjangan izin tinggal yang tentu saja bertentangan dengan ketentuan undang-undangnya sendiri. Kemudian di bagian berikutnya dibahas kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam bekerja di indonesia, bahwa Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dan tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis, dalam arti ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma dengan norma lain. Kepastian hukum dapat diwujudkan dari penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan jelas pula penerapannya.

Bab V merupakan bab Penutup yang berisikan simpulan dan saran, simpulan

yang dapat ditarik adalah Pertama : Pengawasan terhadap warga negara asing

yang kawin campur dan hak memperoleh pekerjaan dan berusaha di Indonesia diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Menurut Permennakertrans Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penggunaan TKA, Pasal 4 ditentukan Pemberi Kerja TKA yang berbentuk persekutuan Perdata, Firma (Fa), Persekutuan Komanditer (CV) dan Usaha Dagang (UD) dilarang mempekerjakan TKA kecuali diatur dalam Undang-Undang. Dari telaah contoh kasus diatas yaitu kasus II WNA atas nama Mustafa Mercan dan contoh kasus ke III WNA atas nama Mehmet Serdar Bayir, adalah WNA yang kawin campur dan memiliki usaha bersama istrinya tidak dikenakan Tindakan atau Sanksi Administratif Keimigrasian (TIMKIM) berupa deportasi karena WNA tersebut pemegang Visa penyatuan keluarga dengan indeks C 317, sehingga boleh berusaha dan bekerja sesuai Pasal 61 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Dalam hal ini Penjamin/sponsor adalah istri/suami WNI, dan dalam Permennakertrans Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penggunaan TKA memberi pengecualian yaitu Pemberi Kerja TKA yang berbentuk persekutuan Perdata, Firma (Fa), Persekutuan Komanditer (CV) dan Usaha Dagang (UD) dilarang mempekerjakan TKA kecuali diatur dalam Undang-Undang, dari pengecualian ini ditafsirkan WNA yang kawin campur bisa

berusaha dan bekerja di badan usaha tersebut. Simpulan kedua: Kepastian hukum

bagi WNA yang kawin campur untuk bekerja atau berusaha di Indonesia tergantung pada visa atau izin masuk yang mereka miliki. Jika WNA tersebut menggunakan visa bekerja untuk memasuki wilayah Republik Indonesia maka kewajiban sponsor/penjamin tetap harus menguruskan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) bagi WNA kawin campur. Apabila WNA pelaku kawin campur pemegang Visa Penyatuan Keluarga bekerja dalam Perseroan Terbatas (PT), dengan menafsirkan ketentuan Permennakertrans Nomor 12 Tahun 2013, maka bagi Pemberi Kerja yang berbentuk PT tetap wajib melakukan prosedur dalam mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Dalam telaah contoh kasus I


(17)

xvi

Saran yang dapat disampaikan dalam penulisan ini adalah :

1. Perlu adanya ketegasan tentang kepastian pengaturan ketentuan mengenai

kewajiban penjamin atau sponsor yang mempekerjakan orang asing di perusahaannya, khususnya bagi pemegang visa Penyatuan Keluarga sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Pasal 63.

2. Perlu pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru sebagai

pengganti dari Permennakertrans Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

3. Agar terus dilakukan penyempurnaan terhadap sistem pengawasan

ketenagakerjaan sehingga peraturan perundang-undangan tentang

ketenagakerjaan dapat dilaksanakan secara efektif oleh para pelaku industri


(18)

xvii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS... HALAMAN PENETAPAN PENGUJI TESIS...

iii iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH... vi

ABSTRAK... x

ABSTRACT... xi

RINGKASAN... xii

DAFTAR ISI... xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 7

1.3 Ruang Lingkup Masalah... 7

1.4 Tujuan Penelitian... 8

1.4.1 Tujuan Umum... 8

1.4.2 Tujuan Khusus... 9

1.5 Manfaat Penelitian... 9

1.5.1 Manfaat Teoritis... 9

1.5.2 Manfaat Praktis... 9

1.6 Orisinalitas Penelitian... 10


(19)

xviii

1.7.3 Asas Kepastian Hukum... 24

1.7.4 Teori Kewenangan... 26

1.7.5 Kebijakan Keimigrasian... 31

1.8 Metode Penelitian... 35

1.8.1 Jenis Penelitian... 35

1.8.2 Jenis Pendekatan... 36

1.8.3 Sumber Bahan Hukum... 38

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum... 39

1.8.5 Teknik Analisa Bahan Hukum... 41

BAB II GAMBARAN UMUM PENGAWASAN LALU LINTAS ORANG DAN PENGAWASAN KEIMIGRASIAN TERHADAP ORANG ASING DALAM YURISDIKSI REPUBLIK INDONESIA... 42

2.1 Kedaulatan Negara Dan Pengawasan Keimigrasian Terhadap Orang Asing Di Indonesia... 42

2.1.1 Kewenangan Keimigrasian Mengatur Orang Masuk, Keluar, Dan Tinggal Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia... 46

2.1.2 Pengawasan Terhadap Keberadaan Dan Kegiatan Orang Asing Selama Berada Di Wilayah Republik Indonesia... 50


(20)

xix

2.3.1 Kebijakan Pengawasan Penggunaan Tenaga Kerja Asing... 74

2.3.2 Prosedur dan Persyaratan Sebagai Tenaga Kerja Asing Di

Indonesia... 82 2.4 Perkawinan Campuran Antara Warga Negara Indonesia dengan

Orang Asing... 85 2.4.1 Pengertian Perkawinan Campuran ...

2.4.2 Soal Kewarganegaraan Dalam Perkawinan Campuran... 85

BAB III PENGAWASAN WARGA NEGARA ASING YANG KAWIN CAMPUR DAN HAK MEMPEROLEH PEKERJAAN DI

INDONESIA... 94 3.1 Prosedur Perkawinan Campuran Orang Asing Dengan Warga

Negara Indonesia... 94 3.1.1 Syarat-Syarat Perkawinan Campuran dan Pengaruh

Perkawinan Campuran Terhadap Keluarga... 94

3.1.2 Perkawinan dan Perceraian Bagi Orang Asing Yang Kawin

Campur pemegang Izin Tinggal Tetap... 101

3.2 Hak Bertempat Tinggal Dan Hak Untuk Bekerja Atau Berusaha

Bagi Orang Asing Yang Kawin Campur... 104

3.2.1 Pengawasan Dalam Undang-Undang Keimigrasian... 104


(21)

xx

YANG KAWIN CAMPUR DAN BEKERJA DIINDONESIA... 144

4.1 Pengawasan Keimigrasian Dan Pengawasan Ketenagakerjaan Terhadap Orang Asing Yang Bekerja Di Indonesia... 144

4.1.1 Pengawasan Keimigrasian Terhadap Orang Asing Yang Kawin Campur dalam Pemberian Izin Tinggalnya... 144

4.1.2 Pengawasan Ketenagakerjaan Asing... 153

4.2 Pemaknaan/Penafsiran Dalam Praktek Hak Bertempat Tinggal Dan Hak Untuk Bekerja Warga Negara Asing Yang Kawin Campur... 161

4.3 Kepastian Hukum Atas Hak Warga Negara Asing Yang Kawin Campur Dan Bekerja Di Indonesia... 182

BAB V PENUTUP... 206

5.1 Simpulan... 206

5.2 Saran... 208 DAFTAR PUSTAKA


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perlindungan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Dalam undang-undang Keimigrasian yang baru ini diatur bahwa orang asing yang kawin dengan warga negara Indonesia diberikan kesempatan untuk bekerja dan berusaha di Indonesia. Ketentuan ini merupakan ketentuan pembaharuan yang menjamin Hak Asasi

Manusia (HAM), sejalan dengan kebijakan dalam Undang-Undang

Kewarganegaraan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 dimana dalam Pasal 19 ayat 1 ditentukan bahwa warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat. Hal ini memberikan peluang dan kesempatan kepada setiap orang baik laki-laki ataupun perempuan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena asas penyatuan keluarga atau karena perkawinan dan berhak untuk hidup layak di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Pasal 61 menentukan bahwa Pemegang Izin Tinggal Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf e dan huruf f dan pemegang Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dan huruf d dapat melakukan pekerjaan


(23)

dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/atau keluarganya. Adapun bunyi Pasal 52 huruf e dan f adalah bahwa Izin Tinggal Terbatas diberikan kepada orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia atau anak dari orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia. Demikian juga dalam Pasal 54 huruf (b) dan (d) ditentukan bahwa Izin Tinggal Tetap dapat diberikan kepada keluarga karena perkawinan campuran dan kepada orang asing eks warga negara Indonesia dan eks subyek anak

berkewarganegaraan ganda Republik Indonesia. Dari ketentuan diatas maka bagi

orang asing pelaku kawin campur dan keluarganya bisa berusaha dan bekerja di Indonesia dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi dia dan keluarganya.

Disisi lain bagi orang asing yang bekerja di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ditentukan syarat-syarat dan kewajiban Pemberi Kerja yang menggunakan TKA harus memperoleh izin tertulis dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (yang selanjutnya disingkat dengan RPTKA) , wajib melakukan penunjukan tenaga kerja WNI sebagai pendamping TKA serta kewajiban untuk memulangkan TKA ke negara asalnya jika hubungan kerja telah berakhir. Orang asing yang datang ke Indonesia dapat bekerja apabila ada yang mempekerjakan dan pekerjaan tersebut harus benar-benar sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki serta dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan atau


(24)

kegiatan yang ada di dalam negeri.1 Dengan demikian orang asing yang hanya memiliki kualifikasi yang dibutuhkan di pasar kerja dalam negerilah yang dapat diberikan izin masuk dan tinggal untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia, dengan kata lain hanya orang asing yang memiliki kualifikasi yang benar-benar dibutuhkan oleh pasar kerja di Indonesia yang bisa bekerja di Indonesia dan akan diberikan Visa Tinggal Terbatas untuk bekerja di Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (yang selanjutnya akan disingkat menjadi UUK) dan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Yang selanjutnya akan disingkat dengan Permennakertrans tentang TCPTKA) menentukan bahwa yang dimaksud dengan Tenaga Kerja Asing (TKA) adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.

Adapun prosedur orang asing yang akan bekerja sebagai TKA di Indonesia wajib memiliki penjamin di Indonesia yaitu Pemberi Kerja TKA seperti : instansi pemerintah, badan-badan internasional, perwakilan negara asing, kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing, kantor perwakitan berita asing, perusahaan swasta asing, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan usaha asing yang terdaftar di instansi berwenang di Indonesia, lembaga sosial, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan serta usaha jasa impresariat.

1 Sumarprihatiningrum C, 2006, Penggunaan Tenaga Kerja Asing Di Indonesia, , Himpunan Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia (HIPSMI), Jakarta , hal., 3


(25)

Bagi Pemberi Kerja TKA hanya dapat mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yaitu rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. RPTKA ini akan digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA), karena setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.

Keharusan memiliki RPTKA dikecualikan bagi Pemberi Kerja TKA dari instansi pemerintah, badan-badan internasional, perwakilan negara asing (Pasal 5 ayat 2 Permennakertrans RI Nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA) dan Pemberi Kerja yang mempekerjakan TKA yang berstatus kawin campuran (Pasal 30 ayat 3 Permennakertrans RI Nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA), tetapi pengecualian tersebut hanyalah tidak perlu mengurus pengesahan RPTKA dan juga persetujuan Visa bekerja (TA-01) bagi TKA yang berstatus kawin campur. Menurut hasil penelitian Charles Christian bahwa Undang-Undang Keimigrasian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 memberikan kesempatan kepada orang asing pelaku kawin campur dengan sponsor istri atau suami untuk bekerja di Indonesia, bertentangan dengan peraturan ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mana masih mengharuskan setiap orang asing yang bekerja di Indonesia memiliki sponsor dari perusahaan tempat dimana mereka bekerja, sehingga terlihat kedua Undang-Undang tersebut


(26)

disharmoni dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi WNA khususnya

orang asing pelaku kawin campur yang ingin bekerja di Indonesia.2 Namun

disharmoni tersebut dihilangkan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Dalam Permennakertrans tersebut diatur ketentuan pengecualian bagi pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA yang berstatus kawin campur dalam tata cara permohonan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA), dimana pengecualian tersebut Pemberi Kerja TKA yang akan mempekerjakan TKA yang berstatus kawin campur tidak perlu mengurus pengesahan RPTKA dan juga persetujuan Visa bekerja (TA-01) bagi TKA yang berstatus kawin campur, karena mereka sudah tinggal di Indonesia dengan Visa Penyatuan Keluarga. Namun demikian bagi WNA pelaku perkawinan campuran jika akan bekerja sebagai TKA di Indonesia tetap perlu Penjamin selaku Pemberi Kerja yang akan mengurus RPTKA maupun IMTA nya, dan Penjamin yang dalam hal ini Korporasilah yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing selama berada di wilayah Indonesia, hal ini diatur dalam Pasal 63 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, dimana ditentukan bahwa Penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing yang dijamin selama tinggal di Wilayah Indonesia serta berkewajiban melaporkan setiap perubahan status sipil, status Keimigrasian, dan perubahan alamat, namun pengaturan tentang kaidah hukum yang menjelaskan konsepsi-konsepsi tanggung

2 Charles Christian , 2013, Politik Hukum Pemberian Izi Politik Hukum Pemberian Izin

Tinggal Terbatas Bagi WNA Yang Bekerja Dan Atau Menikah Di Indonesia, Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, http://hukum.ub.ac.id/wp-content/upload/2013/04/jurnal-Charles.pdf, diakses 23 Desember 2013.


(27)

jawab penjamin sebagai pemberi kerja atas keberadaan dan kegiatan orang asing masih kabur, dalam ketentuan umum belum dijelaskan secara jelas dan pasti, apa

yang dimaksud pada kata “penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan

kegiatan dengan keberadaan dan kegiatan orang asing, mengingat ada dua pihak yang bertanggung jawab terhadap orang asing pelaku perkawinan campuran yang juga akan menjadi TKA, penanggung jawab yang dalam hal ini adalah suami/istri WNI, sementara jika orang asing pelaku perkawinan campuran akan menjadi

TKA dia wajib memiliki penjamin sebagai Pemberi Kerja.

Implementasi kebijakan pemerintah yang baru di bidang keimigrasian dan juga di bidang ketenagakerjaan terhadap orang asing pelaku kawin campur diberikan untuk bekerja dan berusaha di Indonesia menarik untuk diteliti, bagaimana pengawasan warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan, apakah peraturan yang ada telah menjamin kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia, mengingat ada kekaburan norma pasal 63 ayat (2) UU

Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, serta belum jelasnya bagi WNA

pelaku perkawinan campuran jika bekerja disektor informal, punya usaha sendiri dan tidak berbadan hukum atau membantu istri atau suami WNI diperusahaan milik keluarga (berbentuk CV), apakah bisa bekerja dan apakah harus mengurus IMTA (Izin Mempekerjakan Tenaga Asing) masih ada ketidakjelasan dan kekaburan norma tentang hak memperoleh pekerjaan bagi warga negara asing pelaku perkawinan campuran dalam hal jika mereka akan bekerja atau berusaha di sektor informal, tidak diatur dengan jelas. Pengaturan tentang ketenagakerjaan tersebut hanya mengatur tentang TKA yang formil namun bagi orang asing pelaku kawin campur yang bekerja non formil


(28)

untuk bisa bertahan hidup dan menafkahi keluarganya belum diatur dan masih belum jelas, mengingat keputusan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang jabatan-jabatan tertentu yang dapat dan atau di larang diduduki oleh TKA hanya mengatur sektor formal pekerjaan yang berklasifikasi standar internasional.

Berdasarkan hal tersebut diatas, terlihat masih adanya kekaburan norma dan pengaturan yang masih tidak jelas tentang hak tinggal dan hak bekerja dari WNA yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan, sehingga perlu dilakukan pengkajian tentang pengawasan hukum terhadap WNA yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan dan kepastian hukum atas hak WNA yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut :

1.2.1. Bagaimanakah pengawasan bagi warga negara asing yang kawin campur

dan bekerja di Indonesia?

1.2.2. Bagaimana kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin

campur dan bekerja di Indonesia?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam Penelitian ini pembahasan dibatasi mengenai Pengawasan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di


(29)

Indonesia dan Kepastian hukum atas Hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, adapun tujuan

umum (het doel van het onderzoek) dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan

pemahaman dan untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma

ilmu sebagai proses (science as a process), dengan pandangan ini ilmu adalah

sebagai suatu proses jadi ilmu secara nyata/khas merupakan suatu aktifitas manusia yakni melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia, dan ilmu tidak hanya aktifitas tunggal tetapi merupakan rangkaian aktifitas sehingga merupakan

suatu proses. Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam

proses penggaliannya atas suatu kebenaran dari obyeknya masing-masing. Tujuan

Khusus (het doel in het onderzoek) mendalami permasalahan hukum yang dikaji

dan dianalisis secara khusus dan dijabarkan dalam rumusan permasalahan dalam penelitian ini yaitu kajian dan analisis tentang pengawasan warga negara asing

yang kawin campur dan hak memperoleh pekerjaan di Indonesia.3

1.4.1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menggali dan menganalisis agar ada kejelasan jaminan untuk bekerja dan pengawasan hukum terhadap warga

3 Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013 , Pedoman Penulisan Usulan PenelitianTesis dan PenulisanTesis Program studi


(30)

negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.

1.4.2. Tujuan Khusus

Penelitian ini diharapkan mencapai tujuan yang lebih spesifik dan khusus yaitu :

1. Mengkaji Pengawasan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.

2. Menganalisis kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.

Manfaat Penelitian 1.4.3. Manfaat Teoritis

Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam penyusunan peraturan bagi WNA yang bekerja di Indonesia yang kawin campur dalam rangka pembuatan aturan pembaharuan yang lebih menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga kepastian hukum atas hak WNA yang kawin campur dan bekerja dapat dijamin dan diatur dengan lebih jelas sehingga tidak menimbulkan suatu kekeliruan dalam pemaknaannya.

1.4.4. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan sebagai masukan untuk bahan pertimbangan bagi instansi lintas sektoral dalam menyikapi persoalan orang asing yang bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan dalam rangka penyatuan keluarga bagi komunitas pelaku perkawinan campuran.


(31)

1.5. Orisinalitas Penelitian

Tesis ini merupakan karya asli Penulis, sehingga dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Adapun tesis yang menyangkut tenaga kerja asing yakni :

1. Tesis dengan judul “Pembatasan Penggunaan Tenaga kerja Asing pada

Perusahaan-perusahaan PMA di Jawa Tengah” ditulis oleh Sri Badi

Purwaningsih, 2005, Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, diakses tanggal 22 Desember 2013 dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan pembatasan penggunaan TKA pada

perusahaan-perusahaan PMA di Jawa Tengah dan apa manfaat dari penggunaan TKA?

b. Apa saja kebijakan-kebijakan yang dipergunakan untuk mengatur

penggunaan TKA pada perusahaan PMA di Jawa Tengah ?

Pada tesis ini dikaji mekanisme penggunaan TKA pada perusahaan PMA , manfaat dan kebijakan-kebijakan pengawasan penggunaan TKA pada perusahaan PMA, sedangkan usulan proposal ini mengkaji Pengawasan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia dan menganalisis kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia sehingga substansi usulan Proposal ini berbeda dengan tesis tersebut diatas. 2. Tesis dengan judul “Politik Hukum Pemberian Izin tinggal Terbatas bagi


(32)

Christian, 2013, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang, diakses tanggal 23 Desember 2013, dibahas masalah Politik Hukum dibalik pemberian Izin Tinggal Terbatas terhadap WNA yang bekerja atau menikah dengan WNI. Pada Tesis ini dikaji tentang Politik hukum diberikannya ITAS terhadap warga negara asing yang bekerja atau menikah dengan warga negara Indonesia. Usulan penelitian ini membahas Pengawasan terhadap warga negara asing yang kawin campur dan bekerja di Indonesia serta mengkaji kepastian hukum atas hak warga negara asing tersebut sehubungan dengan adanya aturan baru berkaitkan dengan Ketenagakerjaan yaitu Tata Cara Penggunaan TKA.

3. Tesis dengan judul “ Analisis Hukum Perkawinan Campuran Dalam Status

Kewarganegaraan menurut Undang-Undang nomor 12 tahun 2006”. Ditulis

oleh Damerianti Purba, 2012, Universitas Simalungun, Pematang Siantar, diakses 22 Desember 2013, dengan rumusan masalah kedudukan hukum yang berbeda kewarganegaraan asing dalam suatu keluarga. Dalam tesis ke 3 ini menganalisis mengenai Hukum Perkawinan Campuran Dalam Status Kewarganegaraan menurut Undang-Undang nomor 12 tahun 2006. Sedangkan dalam usulan proposal ini dikaji pengawasan hukum bagi WNA yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia serta bagaimana kepastian hukum atas hak WNA yang kawin campur melakukan pekerjaan di Indonesia. Berdasarkan ke 3 penelitian sebelumnya penelitian ini berbeda kajiannya baik secara substansial maupun judulnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.


(33)

1.6. LandasanTeoritis

Dalam landasan teori ini pula dilengkapi dengan pandangan-pandangan para sarjana. Pandangan-pandangan teoritik dimaksud untuk memberikan dasar

ketentuan-Ketentuan konstitusional, peraturan perundang-undangan, dan

instrumen-instrumen hukum pemerintah, khususnya pengawasan pemerintah terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia dan mengkaji kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.

Berdasarkan atas hal-hal tersebut diatas maka Teori, Konsep yang digunakan sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam tesis ini

adalah:

1). Konsep Negara Hukum

2). Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) 3). Asas Kepastian Hukum

4). Teori Kewenangan

5). Kebijakan Keimigrasian

1.7.1. Konsep Negara Hukum

Konsep Negara hukum Indonesia pada hakekatnya sedikit banyak tidak lepas dari pengaruh perkembangan konsep Negara hukum di dunia, dimana dalam

Konsep negara hukum modern dikenal dengan istilah “Rechtstaat”. Penggunaan


(34)

Inggris dan Government of law but not of man4. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey

dengan sebutan “The Rule of Law”, Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule of

Law antara lain: (1) Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy of the law) yaitu

tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum; (2)

Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the law) dalil

ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat; (3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negera lain oleh undang-undang dasar) serta

keputusan-keputusan pengadilan. 5 Konsep negara hukum yang disebut dengan

The Rule of Law”, menurut pendapat Hilaire Barnett bahwa “The essence of the rule of law is the sovereignty or supremacy of law over man”6 (esensi dari The Rule of Law adalah kedaulatan atau supremasi hukum atas manusia). Namun konsep negara hukum Indonesia memiliki karakter tersendiri yang membedakan

dengan konsep rechtstaat. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam recshtstaat

mengedepankan prinsip “Wet Matigheid” yang kemudian menjadi prinsip “Recht

Matigheid” sedangkan negara hukum Indonesia yang menjadi titik sentralnya adalah keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat Indonesia,

sebaiknya syarat umum rechtsstaat maupun the rule of law juga harus dipenuhi.

Dengan demikian syarat dasar rechtsstaat maupun the rule of law juga harus

dipenuhi sebagai syarat negara hukum.

4 Ni Matul Huda,2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada,Jakarta, hal.73.

5 HR.Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.,3 6 Hilaire Barnett, 2011, Constitutional & Administrative Law, Eight Edition, Routledge, London and New York, hal. 52


(35)

Negara hukum rechtsstaat itu sendiri didasari oleh:

a). Asas Legalitas, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar

peraturan perundang-undangan (wetelijke gronslag).

b). Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.

c). Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan

hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang.

d). Pengawasan pengadilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang

bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah (rechtmatigheids

toetsing).

e). Negara hukum Indonesia dirumuskan dalam penjelasan Undang-Undang dasar, dan juga dalam pasal 1 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945 yaitu Negara

Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat) sebagai Negara hukum, maka

konsep atau pola tersebut disesuaikan dengan kondisi Indonesia, yaitu dengan

menggunakan tolak ukur pandangan bangsa Indonesia ialah Pancasila.7

Dan rumusan yang hampir sama, yaitu pendapat H.D. Van Wijk/Willem

Konijnenbelt menyebutkan prinsip-prinsip (rechtsstaat) antara lain :

1. Pemerintahan berdasarkan undang-undang

2. Pemerintah hanya memiliki kewenangan yang secara tegas diberikan oleh

UUD atau UU lainnya;

3. Hak-hak asasi


(36)

Terdapat hak-hak manusia yang sangat fundamental yang harus dihormati oleh pemerintah;

4. Pembagian Kekuasaan

Kewenangan pemerintah tidak boleh dipusatkan pada satu lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang berbeda agar saling mengawasi yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan;

5. Pengawasan lembaga kehakiman

Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan harus dapat dinilai aspek hukumnya

oleh hakim yang merdeka.8

Menurut Mukthie Fadjar, bahwa elemen-elemen yang penting dari Negara hukum, yang merupakan ciri khas dan tidak boleh tidak ada (merupakan syarat mutlak), adalah :

a). Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, b). Asas legalitas,

c). Asas pembagian kekuasaan negara,

d). Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, e). Asas kedaulatan rakyat,

f). Asas demokrasi, dan

g). Asas konstitusional.9)

Terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini bahwasannya dalam negara hukum terdapat asas legalitas dan kepastian hukum, asas legalitas digunakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah berdasarkan hukum,

8

H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1995, Hoofdstukken van Administratief Recht (Utrecht: Uitgeverij Lemma BV), hal., 41

9


(37)

pembatasan ini menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dan untuk mencegah agar penguasa tidak melanggar hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang. Relevan dengan hal ini maka pengawasan hukum oleh pemerintah terhadap warga negara asing yang

kawin campur dalam rangka penyatuan keluarga diberikan hak – hak dasarnya

untuk melakukan pekerjaan atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai TKA, ini merupakan ketentuan yang menjamin kepastian hukum bagi WNA yang kawin campur yaitu hak memperoleh pekerjaan sebagai TKA. Hal ini ditentukan dalam UU Keimigrasian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian pasal 61 bahwa pemegang ITAS dan ITAP dapat melakukan pekerjaan dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan /atau keluarganya.

Relevan dengan hal tersebut diatas menurut Diana Halim Koentjoro ada beberapa ciri negara yang dapat disebut sebagai negara hukum yaitu : a.

Supremacy of the law; b. Equality before the law; c. Constitusional based on the human right.10 Bahwa dalam negara hukum diperlukan asas perlindungan, artinya dalam UUD ada ketentuan yang menjamin hak-hak asasi manusia, dimana asas yang mengandung makna perlindungan antara lain:

a. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan (Pasal 28)

b. Berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27)

10Diana Halim Kontjoro, 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.,34


(38)

c. Kemerdekaan memeluk agama (Pasal 29)

d. Berhak ikut mempertahankan negara (Pasal 30).

Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa suatu negara hukum mempunyai ciri-ciri Pertama; adanya pembatasan kekuasaan negara (asas legalitas) sehingga tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum, Kedua; kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the law) dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat, Ketiga adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia (terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang), hal ini terkait dengan permasalahan penelitian pengawasan hukum terhadap WNA yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan, dimana semakin maraknya kawin campur di Indonesia maka untuk menjamin dan melindungi hak - hak mereka khususnya hak untuk memperoleh pekerjaan serta untuk menjamin kepastian hukum atas hak warga negara asing yang berdiam dan bertempat tinggal di Indonesia khususnya orang asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan maka pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengakomodir kepentingan tersebut dan menjamin hak memperoleh pekerjaan bagi warga negara asing yang kawin campur dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan keluarganya. Asas legalitas digunakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah berdasarkan hukum, pembatasan ini menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dan untuk mencegah agar penguasa tidak melanggar hak-hak dasar


(39)

yang merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus

membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang.

Berbicara negara hukum tidak dapat dilepaskan dengan konsep rechtsstaat.

MenurutP.H.M. Meuwissen ciri dari rechtsstaat adalah :

1. Adanya Undang-undang atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis

tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.

2. Adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi kekuasaan

pembuatan undang-undang yang ada di tangan parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas, juga antara penguasa dan rakyat dan pemerintah

yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur).

3. Diakui dan dilindungi hak kebebasan rakyat (vriheidsrechten van de

burger)11

Menurut Philipus M Hadjon bahwa ciri tersebut diatas menunjukan bahwa

titik sentral dari rechstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi

manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan.12 Dimana relevan

dengan permasalahan yang penulis teliti bahwasannya orang asing yang berdiam dan bertempat tinggal di Indonesia yang kawin campur diberikan kebebasan dalam berusaha dan bekerja sebagai TKA ketentuan ini merupakan ketentuan pembaharuan yang menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Pasal 61.

11Philipus M Hadjon, dkk 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (Selanjutnya disebut Philipus M Hadjon I), hal. 130


(40)

1.7.2. Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)

Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan, maka pemerintah dalam menjalankan fungsinya perlu menggunakan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang baik sebagai pedoman dalam membuat keputusan maupun perbuatan nyata.

Fungsi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) merupakan pedoman yang bersifat umum yang mempunyai nilai hukum atau minimal mempunyai nilai penentu dalam suatu tindakan pemerintahan. Asas-asas yang dimaksud bersifat tidak tertulis atau dalam arti tidak diatur tersendiri dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan, namun walaupun sifatnya tidak tertulis Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB ) tersebut hidup dan menjiwai dalam setiap bentuk tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, mengisi ketidaklengkapan dan ketidakjelasan serta kekosongan peraturan perundang-undangan, juga sekaligus sebagai pelengkap bagi keberadaan Negara hukum Indonesia, sehubungan dengan hal tersebut maka badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melaksanakan urusan

pemerintahan seperti membuat keputusan (beschikking) yang materinya bersifat

konkrit umum maupun konkrit individual, serta mengeluarkan Peraturan (regeling) merupakan perbuatan pemerintah dalam hukum publik, pengawasan yang bersifat umum abstrak dan dalam melakukan perbuatan nyata atau perbuatan

materiil (Materiil Daad), yang dilakukan oleh pemerintah. Semua tindakan


(41)

(AAUPB) baik yang formal maupun materiil sehingga keputusan tersebut benar-benar menurut hukum dan mencerminkan kepastian hukum.

Selanjutnya maksud dirumuskannya Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) adalah mewujudkan penyelenggaraan Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab, menurut Ridwan HR Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

(AAUPB) meliputi:13

1) Asas Kepastian Hukum : asas dalam Negara hukum yang mengutamakan

landasan Peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap tindakan pemyelenggara negara;

2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara: asas ini menjadi landasan

keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian

penyelenggaraan negara, asas ini menghendaki agar penggunaan wewenang oleh penyelenggaraan negara, tetap berdasarkan dan sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga terjaga keharmonisan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat;

3) Asas Kepentingan Umum: asas yang mendahulukan kesejahteraan umum

dengan cara aspiratif. Akomodatif dan selektif. Asas ini mengharuskan administrasi Negara menjalankan kekuasaan untuk mencapai atau memenuhi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara;

4) Asas Keterbukaan: asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif


(42)

tentang penyelenggaraan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi manusia, golongan dan rahasia negara;

5) Asas Proporsionalitas: asas yang mengutamakan keseimbangan hak dan

kewajiban penyelenggara negara;

6) Asas Profesionalitas: asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas ini mengutamakan agar pembuatan peraturan oleh pemerintah didasarkan atas keahlian sehingga tepat dari segi aturan hukum yang diterapkan maupun dari segi prosedurnya;

7) Asas Akuntabilitas: asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil

akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari sudut masyarakat sebagai sasaran pengawasan, maka Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) tersebut hakekatnya adalah berkaitan dengan alasan mengajukan keberatan atau pun dapat pula sebagai alasan mengajukan gugatan apabila ternyata tindakan pemerintahan tersebut merugikan masyarakat. Mengingat bahwa tidak dapat dipungkiri antara masyarakat dengan pemerintah dapat terjadi perbedaan pendapat sehingga dirasakan menimbulkan kerugian, maka diperlukan penyelesaian.


(43)

Selain asas-asas tersebut diatas dapat dikemukakan pendapat Prof. Crince Ie Roi mengenai unsur-unsur dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai berikut :14

1. Asas kepastian hukum

2. Asas kesamaan

3. Asas Keseimbangan

4. Asas Kecermatan

5. Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah

6. Asas tidak menyalahkan wewenang

7. Asas permainan yang wajar

8. Asas keadilan atau kewajaran

9. Asas menanggapi harapan yang wajar

10.Asas peniadaan akibat keputusan yang batal

11.Asas perlindungan atas pandangan hidup atau cara hidup

Eksistensi 11 (sebelas) macam AAUPB diatas dapat dipakai sebagai patokan dan pegangan untuk menentukan suatu kebijakan, yang walaupun asas itu tidak memberikan patokan sanksi penjara, denda namun satu hal yang universal yaitu

tanggung jawab moral karena asas ini tergolong sebagai “ code of conduct” dalam

hidup bermasyarakat. Dan khusus bagi kalangan pejabat, baik di bidang legislatif maupun eksekutif dan yudikatif, AAUPB sebenarnya sudah terdapat baik secara eksplisit maupun implisit, hal ini dapat dilihat dari peraturan disiplin kerja,

14 M. Solly Lubis, 2002, Hukum Tata Negara, CV. Mandar Maju, Bandung (Selanjutnya disebut M. Solly Lubis II) hal., 127-134


(44)

tatakrama sosial, Kolegialitas, standing order (tata tertib legislatif), peraturan

kepegawaian serta berbagai pedoman, dan petunjuk kerja. 15

Dari pandangan tersebut diatas dapat dipahami bahwa asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) sangat penting fungsinya yakni sebagai pedoman atau patokan bagi badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal membuat keputusan, mewujudkan penyelenggaraan negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, khususnya dalam hal ini pemberian fasilitias keimigrasian berupa visa tinggal terbatas dan izin kerja bagi Tenaga kerja Asing yang akan bekerja di Indonesia diterapkan asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) salahnya satunya yaitu asas kepastian hukum bagi orang asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia, mengingat asas kepastian hukum dalam Negara hukum mengutamakan landasan Peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap tindakan penyelenggara negara; serta melakukan perbuatan atau tindakan-tindakan nyata, jadi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara termasuk tindakan yang didasarkan pada wewenang diskresi dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Sehingga dengan telah dimuatnya asas-asas hukum ini dalam hukum positif kita maka secara normatif asas-asas ini dapat digunakan sebagai alasan gugatan oleh warga masyarakat dalam membela hak-haknya terhadap tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak layak dan tidak adil.


(45)

1.7.3. Asas Kepastian Hukum

Asas Kepastian hukum merupakan asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggaraan Negara. Esensi Negara Hukum terdapat asas legalitas dan kepastian hukum, Asas Legalitas di ilhami atas pemikiran untuk membatasi kekuasaan penguasa dengan bersaranakan hukum. Pembatasan ini menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah untuk ikut serta/campur tangan dalam kehidupan pribadi. Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah penguasa melanggar hak-hak individu, sedangkan sarana yang membatasi campur tangan Negara pada kehidupan individu diatur

dalam undang-undang16.

Dengan demikian maka dapat dikatakan undang-undang merupakan landasan keabsahan campur tangan negara dalam kehidupan pribadi, diluar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dianggap sebagai suatu pelanggaran dalam kehidupan pribadi. Selanjutnya tujuan utama dalam asas legalitas adalah menciptakan kepastian hukum agar pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang. Asas kepastian hukum merupakan asas yang mengutamakan landasan peraturan

perundang-undangan, kepatutan, keadilan, dalam setiap kebijakan

penyelenggaraan Negara. Sedangkan asas legalitas merupakan asas yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai Negara

16Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum


(46)

hukum17, artinya setiap wewenang pemerintah atau badan-badan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Asas kepastian hukum diberlakukan untuk jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat maupun aparat pemerintahan.

Terciptanya suatu kepastian hukum dalam suatu peraturan hukum apabila dikaitkan dengan asas pembentukan peraturan Perundang-Undangan yang baik, maka asas kepastian hukum dapat dikaitkan dengan asas kejelasan rumusan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 huruf Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut penjelasan Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Jadi dalam hal ini kepastian hukum dapat diartikan bahwa suatu aturan hukum harus dirumuskan dan dibentuk secara jelas, sehingga dapat memberikan kepastian bagi pemerintah dalam mengambil suatu tindakan hukum. begitu juga dalam hal pemberian visa C317 bagi WNA yang karena penyatuan keluarga terhadap mereka diberikan untuk melakukan pekerjaan dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan/atau keluarganya. Kebijakan ini dirumuskan secara jelas yaitu diatur dalam pasal 61 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian sehingga tidak menimbulkan suatu kekeliruan dalam

17 Indroharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha


(47)

pemaknaannya atau tidak bertentangan antara Pasal yang satu dengan yang lainnya, hal ini merupakan kebijakan pembaharuan yang menjamin Hak Asasi Manusia (HAM), namun kita ketahui bahwa masalah ketenagakerjaan merupakan kewenangan Menakertrans dimana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mewajibkan bahwa TKA harus memiliki sponsor dari perusahaan tempat dia bekerja selaku Pemberi kerja tetapi disharmoni antara kedua Undang-Undang tersebut dihilangkan oleh aturan baru yaitu Permennakertrans nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA sehingga orang asing pelaku kawin campur dapat bekerja di Indonesia dapat memberikan suatu kepastian hukum.

1.7.4. Teori Kewenangan

Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam menjalankan roda pemerintahan, dimana didalam kewenangan mengandung hak dan kewajiban

dalam suatu hubungan hukum publik.

Secara teoritis pemerintah memperoleh kewenangan dari tiga sumber yaitu, atribusi, delegasi dan mandat.

Menurut Philipus M. Hadjon dalam tulisannya yang berjudul ”Tentang

Wewenang Pemerintah (Bestuursbevoegheid)” membedakan cara administrasi

negara (pemerintah) untuk mendapatkan kewenangan menjadi 3 yaitu secara

atribusi, delegasi (sub delegasi), ataupun mandat.18

18Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid), Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1, Januari 1998, (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II), hal., 91


(48)

a). Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi ini dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Mengenai kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan yang melibatkan peran serta rakyat sebagai pemegang asli kewenangan seperti UUD 1945, undang-undang maupun peraturan daerah.

b). Delegasi adalah penyerahan kewennagan untuk membuat suatu keputusan oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Dalam penyerahan kewenangan ini terjadi perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegetaris).

c). Mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang melimpahkan kewenangan atau memberi mandat. Dalam mandat, tanggung jawab tidak berpindah kepada penerima mandat, sehingga semua akibat hukum yang timbul dari keputusan yang dikeluarkan penerima mandat menjadi tanggung jawab pemberi mandat.

Dalam relevansinya dengan penelitian ini teori kewenangan diisyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah, tanpa kewenangan yang sah maka pejabat ataupun badan usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan, begitu pula dalam kaitannya dengan kewenangan pemberian visa bagi orang asing


(49)

yang kawin campur dalam rangka penyatuan keluarga merupakan kewenangan atribusi, kewenangan asli diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan yaitu UU nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian, dimana dalam hal ini Kewenangan atribusi ada pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusian RI yaitu kewenangan asli dalam memberikan izin Keimigrasian yaitu Visa Kunjungan dan Visa Tinggal Terbatas, kemudian adanya pendelegasian kepada Pejabat Dinas Luar Negeri di Perwakilan Republik Indonesia. Untuk selanjutnya Pelaksanaannya didaerah dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia merupakan bentuk sebagian urusan pemerintahan pusat yang dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, kemudian pelaksanaan pemberian izin tinggal di lakukan oleh Kepala Divisi Keimigrasian yang diberikan Mandat Untuk Menandatangani persetujuan pemberian Perpanjangan Izin Keimigrasian Atas nama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan untuk pemberian izin kerja kepada TKA adalah kewenangan atribusi dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam pemberian izin mempekerjakan TKA yang merupakan kewenangan yang diperoleh dari peraturan perundangan yaitu undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Mengenai pelimpahan wewenang pemerintahan dalam bentuk delegasi, Philipus M. Hadjon memberikan pendapat bahwa delegasi harus memuat

syarat-syarat sebagai berikut:19

19 Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Pers, hal., 104 - 105


(50)

1. Delegasi harus bersifat definitif, delegans tidak dapat lagi menggunakan wewenang yang telah dilimpahkan.

2. Delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam

peraturan perundang-undangan.

3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.

Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.

Peraturan kebijakan (beleidstegel), artinya delegans memberikan instruksi

(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Syarat-syarat yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon menunjukkan bahwa pelimpahan kewenangan dengan cara delegasi hanya terbatas pada peringanan atas suatu beban kerja. Ini berarti penerima pendelegasian bertanggung jawab secara yuridis atas segala perbuatan hukum yang dilakukan. Sedangkan menurut F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, hanya ada 2 (dua) cara organ pemerintah untuk dapat memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi dimana Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, dan Delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, sehingga delegasi didahului oleh adanya atribusi. Mengenai mandat, beliau berpendapat bahwa pada mandat tidak dibicarakan penyerahan wewenang, tidak pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan apapun, yang ada hanyalah hubungan internal, contohnya menteri kepada pegawainya. Menteri mempunyai


(51)

kewenangan dan melimpahkannya kepada pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada organ kementerian, pegawai memutuskan secara factual,

sedangkan Menteri secara yuridis.20

Demikian pula halnya dalam pemberian izin Keimigrasian bagi orang asing yang kawin campur merupakan kewenangan dari Direktorat Jenderal Imigrasi yang mendapatkan pelimpahan wewenang dari Menteri Hukum dan HAM RI sehingga dalam hal ini penerima pendelegasian bertanggung jawab secara yuridis atas segala perbuatan hukum yang dilakukan dan kemudian dalam pelaksanaan didaerah pemberian izin tinggal di lakukan oleh Kepala Divisi Keimigrasian yang diberikan Mandat Untuk Menandatangani persetujuan pemberian Perpanjangan Izin Keimigrasian Atas nama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.

Berdasarkan paparan diatas, maka harus dibedakan antara pembentuk wewenang yang diperoleh secara atributif dengan pembentuk wewenang yang diperoleh secara delegasi, dan pada setiap delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang. Dan setiap wewenang pemerintah di isyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah, tanpa adanya kewenangan yang sah maka pejabat ataupun badan tata usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah, sehingga pembentukan wewenang pemerintah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini


(52)

penting karena dengan mengetahui sumber kewenangan tersebut maka akan mempermudah pembagian tugas, koordinasi dan juga pengawasannya.

Sehingga teori kewenangan dipergunakan disini karena baik Imigrasi maupun Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga sama-sama mempunyai kewenangan dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya dalam relevansinya dengan keberadaan orang asing di Indonesia dimana untuk kewenangan Visa kerja merupakan domain Imigrasi dan pemberian izin kerja untuk Tenaga Kerja Asing merupakan wewenang dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik yang bersumber langsung dari perundang-undangan (Atribusi) ataupun pelimpahan wewenang dari pemegang kewenangan asli (delegans). Pelimpahan wewenang dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk penerbitan IMTA (Izin Mermpekerjakan Tenaga Asing) yang baru dilimpahkan kepada Direktur dalam hal ini Direktur Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja, sedangkan untuk IMTA perpanjangan diterbitkan oleh Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diberikan Mandat oleh Direktur untuk penerbitan IMTA didaerah, dimana Kepala Dinas Provinsi berwenang untuk menerbitkan IMTA untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/Kota.

1.7.5. Kebijakan Keimigrasian

Menurut Carl J Friedrich bahwa kebijakan adalah serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seseorang atau kelompok orang atau pemerintah


(1)

Status WNI dapat diperoleh orang asing melalui 3 (tiga) cara yang bersifat alternatif, yaitu dengan naturalisasi, perkawinan, dan dengan pemberian oleh pemerintah RI antara lain 49 :

1. Naturalisasi (pewarganegaraan), hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan ke Presiden.

Untuk dapat memperoleh status WNI maka yang dilakukan orang asing adalah dengan cara naturalisasi (pewarganegaraan) hal ini datur dalam pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI. Adapun caranya orang asing mengajukan permohoan naturalisasi di Indonesia. Permohnannya diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dibuat diatas kertas bermaterai cukup kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM RI. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk naturalisasi ditentukan dalam pasal 9 sebagai berikut :

a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;

b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara 1 (satu) a. tahun atau lebih;


(2)

f. jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;

g. mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan h. membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

i. Persyaratan-persyaratan diatas sifatnya kumulatif, artinya seluruh persyaratan harus dipenuhi semua tanpa terkecuali.

2. Perkawinan

Orang asing di Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena melakukan perkawinan dengan WNI, Perolehan WNI tersebut tanpa melihat jenis kelamin WNI yang menikah laki atau perempuan hal ini didasarkan atas asas kesetaraan dan keadilan gender. Perolehan WNI melalui perkawinan ini diatur dalam Pasal 19 ayat (1) ditentukan warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat. Bagi laki-laki asing aturan ini merupakan suatu kemudahan yang baru, karena UU yang lama untuk menjadi WNI ia harus melalui prosedur pewarganegaraan. Pada ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 ditentukan Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda, kemudian dalam ayat (3) ditentukan dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diakibatkan oleh


(3)

kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi Izin Tinggal Tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam ayat (4) diatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

3. Pemberian Permerintah.

Pemerintah dapat memberikan status WNI kepada orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia karena telah berjasa kepada negara. Ketentuan pasal 20 UU kewarganegaraan mengatur, orang asing yang telah berjasa kepada negara RI atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberikan kewarganegaraan RI oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat RI, kecuali dengan pemberian

kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan

berkewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan tersebut merupakan penghargaan karena jasa-jasa orang asing tersebut sangat bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia. Orang asing yang akan diberikan penghargaan tersebut bersedia menjadi WNI. Adapun kriteria orang asing untuk mendapatkan kewarganegaraan RI menurut penjelasan pasal 20 yaitu :

“Orang asing yang telah berjasa kepada negara RI adalah orang asing yang karena prestasinya yang luar biasa dibidang kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, lingkungan hidup serta


(4)

keolahragaan telah memberikan kemajuan dan keharuman nama bangsa Indonesia.”

Orang asing yang diberikan kewarganegaraan karena alasan kepentingan negara adalah orang asing yang dinilai oleh negara telah dan dapat memberikan sumbangan yang luar biasa untuk kepentingan memantapkan kedaulatan negara dan untuk meningkatkan kemajuan khususnya di bidang perekonomian Indonesia. Dalam memberikan status WNI tersebut pemerintah tidak dapat bertindak sendiri karena merupakan penambahan WNI bukan karena kelahiran melainkan datang dari luar negeri, sehingga sebagai bentuk pengawasan maka para wakil rakyat harus memberikan persetujuan terhadap hal tersebut, dalam artian persetujuan itu hanya dapat dilakukan apabila tidak menyebabkan yang bersangkutan menjadi berkewarganegaraan ganda.

Menurut UU Kewarganegaraan ini ada beberapa hal yang menjadi penyebab WNI kehilangan kewarganegaraan Indonesia antara lain :

A. Masuk menjadi WNA, sebagaimana diatur dalam pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI, ditentukan:

a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;

b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas

permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;

d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;

e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- ndangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia;


(5)

f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;

g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;

h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau

i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

B. Akibat perkawinan dengan WNA

Perkawinan antara WNA dengan WNI dapat menyebabkan suami atau istri memperoleh kewarganegaraan asing sehingga mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan kewarganegaraan Indonesia, hal tersebut diatur di dalam Pasal 26 UU Kewarganegaraan yang berbunyi:

(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.

(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.

(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda. (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan


(6)

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.

Jika dilihat ketentuan pasal 26 ayat (1) dan (2) diatur mengenai kehilangan kewarganegaraan bagi perempuan WNI maupun laki-laki WNI yang menikah dengan WNA apabila negara istri atau suami menganut ketentuan istri atau suami mengikuti kewarganegaraan asing pasangannya. Jadi dalam UU ini dianut adanya kesatuan hukum didalam keluarga. Sedangkan dalam ayat (3) dan (4) diatur bahwa bila perempuan atau laki-laki WNI tetap ingin mempertahankan kewarganegaraan Republik Indonesia dalam waktu tiga tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung dapat menyatakan kepada Pejabat, kecuali hal itu mengakibatkan ia menjadi bipatride. 50

Di dalam ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan ini tidak ditentukan bahwa seorang WNA yang kawin dengan WNI maka secara otomatis menjadi WNI, namun mereka dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang RI Nmor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI. Namun jika mereka ingin menetap di Indonesia tetap dengan kewarganegaraan mereka maka ketentuan yang berlaku adalah bahwa WNA pelaku kawin campur selama tinggal di Indonesia harus memiliki izin tinggal dan izin tinggal tersebut diberikan berdasarkan visa yang dimiliki.

50 Basuki, Zulfa Djoko, 2007, Kewarganegaraan Dalam Persoalan Perkawninan Campuran,