PROPOSAL DISERTASI S3 GAN 2014

BAB. I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkembangan pembangunan wilayah di Indonesia setelah era pemberlakukan otonomi daerah memperlihatkan beberapa fenomena yang cukup menarik untuk ditelaah dan dianalisis. Dalam beberapa hal, perkembangan ekonomi yang dapat ditelusuri dari perubahan struktur ekonomi wilayah (regional economic transformation), pulau – pulau besar atau kawasan – kawasan dimana tempat kegiatan ekonomi utama berlangsung seperti Jawa dan Sumatera memperlihatkan adanya kecenderungan mengalam perubahan struktur ekonomi yang sifatnya agak berfluktuatif. Pulau Jawa misalnya, meskipun pertumbuhan ekonomi wlayahnya cukup progresif, namun pertumbuhan ekonomi tersebut tidak terlalu memberikan peran penting terhadap penurunan angka kemiskinan dan pengangguran dan bahkan muncul kecenderungan akan terjadi stagnasi ekonomi yang di ikuti dengan proses de-industrialisasi. Kawasan lain seperti pulau Sumatera tampaknya tidak terlalu memperlihatkan perkembangan yang komprehensif, beberapa wilayah di pulau Sumatera kecenderungan pertumbuhan ekonominya memang mengalami peningkatan, akan tetapi bila dikaitkan dengan upaya – upaya dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, sama halnya dengan Jawa, pertumbuhan ekonominya seperti belum terlalu mampu memberikan kontribusi positif, begitu pula halnya dengan angka pengangguran, dinama muncul kecenderungan jumlahnya terus mengalami peningkatan walaupun tidak begitu signifikan.

Kawassan – kawasan seperti Kalimantan dan Sulawesi pun pada dasarnya tetap terjebak dalam perangkap pertumbuhan lamban (the slow growth trap), apalagi wilayah – wilayah ini telah mengalami penipisan ketersediaan sumberdaya alam yang semakin mengkhawatirkan. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini berbasis pada penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (endowment reources led of economic growth) .

Secara kuantitatif, ekonomi sumatera selama periode 2004 – 2011 bertumbuh rata – rata sebesar 7,99 persen, angka ini tentu jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju ekonomi Indonesia dalam periode yang sama hanya mampu bertumbuh pada kisaran angka 5, 84 persen. Sementara itu nilai total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi – provinsi di pulau Sumatera pada tahun 497.441 trilyun rupiah (BPS, 2014), untuk periode yang sama nilai Produk Domestik Bruto Indonesia mencapai angka 2.464.566 trilyun rupiah (BPS, 2014). Dalam pada itu, pulau Jawa yang merupakan sentra dari kegiatan ekonomi nasional dalam periode yang sama telah memberikan kontribusi sebesar 58,71 persen, sedangkan total nilai tambah perekonomian wilayah telah mencapai angka 1.446.940 trilyun rupiah (BPS, 2014). Dengan kata lain Pulau Sumatera dalam pembentukkan nilai tambah perekonomian nasional memberikan kontribusi sebesar 20,18 persen. Secara umum perekonomian pulau sumatera memiliki karateristik yang lebih cenderung bercorak pada dominasi sektor pertanian (sektor primer termasuk sektor pertambangan dan penggalian) dengan kontribusi rata – rata sebesar 22.17 persen selama periode analisis, sektor – sektor yang tergolong sebagai sektor sekunder (sektor industri manufaktur) memberikan kontrinbusi rata – rata sebesar 20,24 selama periode 2004 – 2011, dan sektor – sekttor jasa atau sektor tersier secara umum memberikan kontribusi sebesar 12,93 persen selama periode analisis.

Sebagai bahan pembandiing, kontribusi sektor primer terhadap perekonomian wilayah pulau Jawa semakin menurun walaupun penurunannya tidak secara cepat, selama periode 2004 – 2011, kontribusi sektor primer yang didominasi sektor pertanian rata memberikan kontribusi sebesar 10,46 persen, sektor sekunder yang didominasi oleh sektor industri manufaktur atau sektor pengolahan telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap perekonomian pulau Jawa, selama periode analisis kontribusi sektor ini sebesar 27,84 persen begitu pula halnya dengan sektor jasa atau sektor tersier, yang dalam periode analisis masing – masing memberikan kontribusi sebesar 20,66 persen.

Secara umum patut diketahui bahwa kedua pulau ini pada dasarnya dapat dikatakan sebagai inti (core) bagi pembentukkan perekonomian nasional, apabila dilihat dari kontribusinya terhadap total ekspor Indonesia maka pulau Sumatera memberikan kontribusi sebesar 29,67 persen atau sebesar 38,749 milyar dollar AS terhadap total ekspor Indonesia, pada bagian lain pulau Jawa juga memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap perolehan ekspor Indonesia. Selama periode analisis 2010, pulau Jawa memberikan sumbangan sebesar 45,11 persen atau berjumlah sebesar 58.523,1 milyar dollar AS.

Dilihat dari sisi atau dinamika kependudukan dan ketenaga kerjaan, pulau Sumatera pada tahun 2010 dihuni oleh tidak kurang dari 50.631 juta jiwa, sedangkan pada periode yang sama, pulau Jawa dihuni oleh sekitar 140.501,4 juta jiwa. Kedua pulau ini berarti dihuni oleh sekitar 191.132,4 juta jiwa atau sekitar 80,65 persen dari total penduduk Indonesia yang dalam periode tersebut berjumlah sebesar 237.641,3 juta jiwa. Kondisi ketenaga kerjaan di kedua pulau tersebut juga sangat dinamis, dari total angkatan kerja yang bekerja pada seluruh sektor, angkatan kerja yang bekerja di pulau Sumatera jumlahnya sekitar 24.455.952 jiwa, sedangkan di pulau Jawa terdapat tidak kurang dari 72.009.825 jiwa angkatan kerja yang bekerja. Dengan angka – angka ketenaga kerjaan seperti ini tidaklah terlalu mengherankan manakala dikatakan kedua pulau ini merupakan wilayah yang memperkerjakan tidak kurang dari 96.465.777 angkatan kerja.

Bila dilihat dari dinamika investasi regional, kawasan pulau Sumatera dan pulau Jawa boleh dikatakan merupakan kawasan yang menyerap tidak kurang dari 50 persen arus investasi baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Alokasi Penanaman Modal Asing di pulau Sumatera dan di pulau Jawa selama tahun 2011 yang lalu masing – masing berjumlah sekitar 2.076,5 milyar dollar AS dan 12.806,7 milyar dollar AS, sedangkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) diperkirakan sebesar 16.334,20 milyar rupiah dan 40.307,60 milyar rupiah. Angka ini merupakan bagian terbesar dari seluruh penanaman modal yang terrealisir d Indonesia. (Bappenas, 2012)

Corak dan ragam struktur ekonomi yang berbeda antara pulau Jawa dan pulau Sumatera sudah barang tentu memberikan implkasi yang berbeda terhadap dinamika perkembangan ekonomi wilayah pada masing – masing wilayah. Perbedaan ini paling tidak telah memberikan kontribusi nyata terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di kedua kawasan. Dari illustrasi data sebagaimana yang dipaparkan diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang pola ketimpangan antar wilayah Sumatera dan Jawa dalam suatu penelitian yang berjudul “ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PULAU SUMATERA DAN PULAU JAWA SELAMA PERIODE 1990 – 2013 : PENGUJIAN HIPOTESIS KONVERGENSI DAN DIVERGENSI KUZNETS”

2. Perumusan Masalah

Perbedaan dalam pola dan karakeristik pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah pada dasarnya banyak memberikan kontribusi terhadap terciptanya pola dan kinerja perekonomian suatu wilayah. Pulau Sumatera mendasarkan pertumbuhan ekonominya dari pengeksploitasian sumberdaya khususnya sumberdaya alam yang berbasis pada sektor pertanian dan sektor pertambangan, sedangkan pulau Jawa merupakan wilayah atau kawasan yang pertumbuhannya ekonomi lebih banyak dipicu oleh kontribusi kapital (modal) , kualitas sumberdaya manusia dan boleh jadi perkembangan teknologi. Perbedaan dalam sumber – sumber pendorong pertumbuhan ekonomi inilah yang dapat memicu terjadinya perbedaaan dan pola pertumbuhan ekonomi wilayah yang pada gilirannya akan mendorong pula terbentuknya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Dinamika ekonomi wilayah yang ditekankan pada aspek – aspek pertumbuhan ekonomi wilayah, pola investasi wilayah, penciptaan kesempatan kerja, topologi atau pengklasifikasian wilayah termasuk perubahan struktur ekonomi wilayah inilah yang akan menjadi inti dari penelitian ini. Dari latar belakang sebagaimana dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

  1. Bagaimana pola ketimpangan pembangunan wilayah antara pulau Sumatera dengan pulau Jawa selama periode 1990 – 2013

  2. Faktor – faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antara wilayah di pulau Sumatera dengan pulau Jawa selama periode analisis 1990 - 2013

  3. Bagaimana pola perubahan struktur ekonomi wilayah di pulau Sumatera dan pulau Jawa selama periode 1990 – 2013

  4. Bagaimana tipologi perekonomian wilayah di pulau Sumatera dan pulau Jawa selama periode 1990 – 2013

2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian disertasi ini adalah sebagai berikut :

      1. Untuk menganalisis dan mengetahui pola ketimpangan pembangunan antara wilayah pulau sumatera dengan pulau Jawa selama priode 1990 – 2013

      2. Untuk menganalisis dan mengetahui faktor – faktor yang penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antara wlayah pulau Sumatera dengan pulau Jawa selama periode 1990 – 2013

      3. Untuk menganalisis pola perubahan struktur ekonomi wilayah di pulau Sumatera dan pulau Jawa selama periode analisis 1990 – 2013

      4. Untuk menganalisis dan mengetahui pola tipologi perekonomian wilayah di pulau Sumatera dan pulau Jawa selama periode analisis 1990 – 2013

4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Bagi akademisi

Sebagai bahan telaah atau kajian tentang pola ketimpangan pembangunan antar wilayah khususnya wilayah pulau Sumatera dengan pulau Jawa, hasil analisis kiranya akan dapat dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif dan mendalam lagi.

1.4.2. Bagi pemerintah

Sebagai bahan atau informasi untuk membuat dan merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi wilayah yang lebih aktual berdasarkan dinamika pembangunan wilayah baik datri sisi mikro maupun dari sisi makro. Sisi mikro ditelaah melalui aspek sumber – sumber pertumbuhan ekonomi wilayah, sedangkan sisi mikro ditelaah melalui komponen penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah khususnya antar pulau Sumatera dengan pulau Jawa

1.4.3. Bagi masyarakat

Sebagai gambaran tentang pola ketimpangan pembangunan di pulau sumatera begitu pula sebaliknya, dengan gamnbaran ini masyarakat dapat memahami tentang betapa pentingnya perumusan kebijakan yang berorientasi pada pengurangan ketimpangan pembangunan antar wilayah atau kawasan tidak hanya bagi wilayah Sumataera dan Jawa saja, namun mencakup seluruh wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup penenelitian ini adalah mencakup perekonomian wilayah di pulau Sumatera dengan penekanan pada aspek – aspek mendasar yang menyebabkan terciptanya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Aspek – aspek yang ditelaah pada dasarnya berupa dinamika PDRB dan PDB provinsi – provinsi di pulau Sumatera dan pulau Jawa, pertumbuhan ekonomi, pola investasi wilayah melalui besaran Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), kesempatan kerja dan, lalu lintas ekspor dan impor yang merefleksikan dinamika perdagangan internasional di wilayah yang bersangkutan sekaligus kaitannya dengan perdagangan internasional Indonesia.

2. Keterbatasan Usulan Proposal Disertasi

Usulan proposal disertasi ini memiliki keterbatasan diantaranya data yang akan disajikan pada bab analisis kemungkinan tidak akan dapat menjelaskan secara lebih detail aspek – aspek yang terkait dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah sebelum pemberlakuan era otonomi daerah. Namun bagaimanapu juga untuk jangka pendek setidak – tidaknya data tersebut dapat memberikan informasi penting dalam merumuskan simulasi model bagi pengurangan ketimpangan antar wilayah dan pendeteksian faktor – faktor pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Hal yang baru dalam usulan proposal disertasi ini adalah lebih banyak menambahkan variabel – variabel independen dalam model regresi data panel dibandingkan dengan model – model yang dihasilkan dari penelitian lain pada beberapa waktu sebelumnya.

BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Pembangunan Ekonomi Wilayah

Dalam literatur standar tentang teori Pertumbuhan Ekonomi wilayah yang merupakan bagian penting dari Ilmu Ekonomi Regional dikenal adanya 4 (empat) mahzab atau arus pemikiran utama tentang teori pertumbuhan ekonomi wilayah. Sjafrizal (2008) dengan tegas membagi teori pertumbuhan ekonomi wilayah menjadi 4 model antara lain

a. Model basis ekspor

Model ini pertama kali di introdusir oleh Douglas C.North, menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan sangat ditentukan oleh keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan. Keuntungan itu bisa diperoleh dengan jalan mendorong perkembangan sektor – sektor unggulan atau sektor – sektor strategis dalam perekonomian wilayah tersebut hingga sektor unggul;an atau sektor strategis tersebut dapat dijadikan sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi wilayah (engine of economic growth). Biasanya sektor – sektor strategis tersebut akan dijadikan sebagai pendorong utama kegiatan ekspor wilayah yang bersangkutan. Dengan demikian akan terjadi peningkatan ekspor yang pada gilirannya akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) terhadap pertumbuhan ekonomi.

b. Model Interregional Income

Model ini pertama kali dikembangkan oleh Harry W.Richardson. pendekatan ini berbeda dengan pendekatan basis ekspor, menurut pendekatan ini ekspor merupakan faktor yang berada dalam sistem (endogeneous variable) yang ditentukan oleh perkembangan kegiatan perdagangan antar wilayah yang secara komoditas terdiri dari 2 jenis baramg yaitu barang konsumsi dan barang modal. Untuk lebih mengembangkan kegiatan perdagangan antar wlayah ini, model antar region ini juga memasukkan unsur pemerintah yang direfleksikan dengan variabel pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah serta kegiatan investasi yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah

c. Model Neo Klasik

Model ini dikembangkan oleh George H.Bort. Teori pertumbuhan ekonomi regional menurut Model Bort bertumpu pada ke mampuan dan kapasitas wilayah yang bersangkutan untuk meningkatkan out wilayah atau kapasitas produksi pada wilayah yang bersangkutan dalam rangka menunjang tingkat pertumbuhan ekonomi. Kegiatan – kegiatan produksi yang dilakukan oleh suatu wilayah, menurut teori ini tidak hanya ditentukan oleh potensi karakteristik wilayah tapi juga akan sangat ditentukan oleh mobilitas tenaga kerja yang diikuti oleh mobilitas modal antar daerah

d. Model Penyebab Berkumulatif

Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Kaldor. Teori ini beranggapan ketimpangan pembangunan antar wilayah hanya akan dapat dikurangi manakala pemerintah ikut campur tangan, dan tidak semata – mata menyerahkan masalah ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi wilayah kepada kehandalan mekanisme pasar. Menurut model ini, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi dan pertumbuhan ekonomi wilayah akan dapat dipacu manakala pemerintah turut melakukan intervensi baik dalam bentuk kebijakan maupun dalam bentuk investasi.

Pada bagian lain juga dikemukakan oleh Sjafrizal (1985) dalam Esmara (1985) bahwa analisis pertumbuhan ekonomi regional tidaklah sama dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Analisis pertumbuhan ekonomi regional lebih menekankan pada aspek pengaruh perbedaaan karakteristik space (ruang), terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Sedangkan analisis pertumbuhan ekonomi nasional lebih menekankan pada aspek lapangan kerja, kemajuan teknologi dan modal dalam upaya untuk mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Pemahaman yang sama tentang arus pemikiran pertumbuhan ekonomi wilayah juga dikemukakan oleh Tarigan (2004) dan Budiharsono (2005) yang memberikan informasi ilmiah tentang kelompok – kelompok pemikiran disekitar pertumbuhan ekonomi wilayah. Menuurt Tarigan (2004), yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertumbuhan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) di wilayah tersebut.

Sama halnya dengan pemikiran Sjafrizal, Budiharsono (2005) juga mengkategorikan pertumbuhan ekonomi wilayah berdasarkan kepada penentuan sektor basis dengan terlebih dahulu mengidentifikasi basis atau tidak basisnya suatu sektor melalui pendekatan location quotient (LQ). dan model ekonomi Tiebout yang menekankan pada aspek pendapatan dengan angka pengganda baik jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sejalan dengan konsepsi pemikiran Budiharsono, Jusmaliani dan Siregar (2001) dalam Masyhuri dan Hidayat (2001) menyatakan bahwa laju tumbuh pembangunan ekonomi suatu wilayah/daeah berjalan melalui suatu proses kenaikan produksi perkapita dalam jangka panjang

2.2. Sumber – sumber Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Secara teoritik, baik dalam konteks regional maupun dalam konteks nasional, arus pemikiran tentang sumber – sumber pertumbuhan ekonomi pada dasarnya dapat di kategorikan menjadi 2 bagian penting. Kelompok pertama menekankan pada pentingnya pertumbuhan produktivitas faktor total (TFP) dengan tekanan pada peranan penambahan input atau faktor produksi didalam proses produksi seperti tenaga kerja dan stok modal fisik (misalnya mesin, tanah gedung dan sebagainya). Disamping itu, sumber pertumbuhan kedua adalah pertumbuhan ekonomi akibat kenaikan output per satu unit input (input tetap tidak bertambah). Baik sumber pertama maupun sumber kedua sama – sama menghasilkan lebih banyak output atau pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu kelompok kedua menyoroti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi ide dasarnya adalah bahwa prospek pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dan kesinambungannya sangat tergantung pada perubahan struktur ekonomi dan evolusinya sepanjang waktu. (Tambunan, 2008).

Lebih lanjut diungkapkan, bahwa dalam teori ekonomi modern pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh tenaga kerja dan kapital saja, tetapi juga kualitas sumberdaya manusia dan kemajuan teknologi telah mengambil peran yang semakin penting terhadap pertumbuhan ekonomi. Pemahaman seperti ini tentu akan berlaku pula pada konteks pemahaman sumber – sumber pertumbuhan ekonomi wilayah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sumber – sumber pertumbuhan ekonomi wilayah pada dasarnya dapat diidentifikasi dalam kalimat matematika sederhana sebagai berikut : pertumbuhan ekonomi wilayah (regional economic growth) = f (investasi, tenaga kerja, kualitas sumberdaya manusia, modal termasuk kapital, sumberdaya alam, kebijakan pemerintah, perkembangan teknologi, energi, kondisi perekonomian baik internal maupun eksternal, kondisi sosial politik, kualitas kelembagaan, dan tingkat demokratisasi, serta jumlah penduduk). Pertumbuhan ekonomi menurut BPS (2013) diartikan sebagai Pertumbuhan ekonomi menunjukka npertumbuhan produksi barang dan jasa disuatu wilayah perekonomian dan dalam selang waktu tertentu.

2.3. Faktor – faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah

Ketimpangan pembangunan wilayah pada dasarnya mencerminkan suatu kondisi dimana satu wilayah dapat tumbuh dan berkembang secara pesat sedangkan wilayah lainnya tidak terlalu mengalami perkembangan yang memadai. Ketimpangan pembangunan wilayah dapat saja terjadi pada awal proses pembangunan atau pada saat proses pembangunan tersebut sedang berlangsung. Dalam dinamika pembangunan wilayah di Indonesia biasanya sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh banyak aspek diantaranya :

a. Ketersediaan sumberdaya alam (resources endowment)

Ketersediaan sumberdaya alam dalam kenyataannya dapat menjadi pemicu utama terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Banyak wilayah yang tidak dapat menghela proses pembangunannya secara progresif dikarenakan wilayah – wilayah tersebut tidak memiliki ketersediaan sumberdaya alam, dilain pihak banyak wilayah atau kawasan dapat maju dan berkembang secara dinamis karena mampu memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang dimillikinya. Saat ini pemahaman kritis tentang peran sumberdaya dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tidak hanya semata – mata diletakkan dari segi kuantitfikasi atau jumlah, namun pola pengelolaan atau pendekatan yang tepatdan rasional justeru lebih penting. Kehadiran pemikiran semcam ini muncul karena saat adanya kenyataan banyak daerah yang sumberdaya alamnya terbatas dapat maju dan berkembang karena manajemen pengelolaaan sumberdaya – nya cukup rasional, namun tidak jarang dijumpai banyak daerah – daerah atau wilayah memiliki sumberdaya alam dalam jumlah yang memadai ternyata tidak terlalu mampu dalam memanfaatkan potensi dan ketersediaan sumberdaya tersebut dan tentu akan berujung pada stagnasi dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah

b. Perbedaan dalam besaran atau jumlah penduduk (the size of population)

Jumlah penduduk yang ideal pada prinsipnya dapat diajdikan salah satu aspek penting dalam mendorong dan mempercepat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Penduduk yang bermukim pada suatu wilayah akan dapat memberikan kontribusi penting terhadap upaya – upaya mengelola potensi sumberdaya alam yang selanjutnya akan memberikan dukungan pula pada penciptaan pertumbuhan ekonomi. Wilayah – wilayah yang berpenduduk jarang tentu akan dihadapkan pada kendala rendahnya aktivitas kegiatan ekonomi dan pembangunan

c. Pola alokasi investasi regional (regional of investment allocation pattern)

Alokasi investasi region al seringkali dijadikan instrumen utama untuk mendorong dan mengembangkan perekonomian dan pertumbuhan suatu wilayah. Wilayah – wilayah dengan tujuan investasi utama jelas akan memiliki peluang yang lebih besar untuk cepat tumbuh dan berkembang dibandingkan dengan kawasan atau region yang arus investasinya relatif tidak begitu besar. Biasanya akumulasi investasi pada suatu wilayah akan sangat tergantung dengan ketersediaan potensi sumberdaya yang dimiliki suatu daerah

d. Kualitas sumber daya manusia (the human resources quality)

Pada dewasa ini, tidak dapat dipungkiri betapa pentingnya kualitas sumberdaya manusia dalam mendorong dan mempercepat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Wilayah – wilayah yang memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang memadai tentu akan memiliki peluang cukup besar untuk dengan cepat memcau kualitas sumberdaya manusianya, dan ini sudah barang tentu akan sangat bermanfaat dalam menunjang akselerasi proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah

e. Ketersediaan sarana dan parasarana (infrastructure and suprastructure instument)

Tidak dapat dipungkiri lagi bawa untuk lebih menggairahkan perkembangan investasi dalam negeri dan luar negeri, ketersediaan infrastruktur utama dan suprastruktur sangat signifikan. Infrastruktur lunak (software infrastructure) dan infrastruktur keras (hardware infrastructure) dalam perekonomian daerah yang semakin dinamis memang sangat diperlukan dan bahkan telah menjadi parameter utama untuk menghadirkan investasi regional baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri. Kualitas infrastruktur yang baik dapat dijadikan sumber utama (the main sources) pertumbuhan dan pembangunan ekonomi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang

f. Kebijakan pemerintah dan tingkat intervensinya

Pemerintah harus lebih bisa memainkan peranan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, mengingat dalam proses pembangunan wilayah seringkali didapati suatu kondisi dimana mekanisme pasar ternyata gagal dalam mengemban misinya sebagai penggerak ekonomi utama. Untuk menutupi dan mengatasi kelemahan mekanisme pasar tersebut diperlukan kehadiran pemerintah yang dibekali dengan instrumen kebijakan ketataruangan dan pemberdayaan wilayah secara menyeluruh. Kebijakan dan pendekatan yang tepat akan dapat mengurangi derajad ketimpangan pembangunan wilayah secara signifikan, dan ini memang sangat dibutuhkan oleh banyak wilayah yang berupaya mendorong program pembangunan ekonominya dengan tingkat kemampuan yang relatif terbatas

g. Perbedaan dalam akses terhadap pusat pemerintahan dan kekuasaan

Akses yang dimiliki oleh suatu wilayah dewasa ini akan sangat menentukan derajad pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah, apabila suatu wilayah memiliki akses yang lebih luas dan lebih dekat terhadap pusat – pusat pemerintahan dan kekuasaan maka hal ini dapat dijadikan sebagai modal utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Begitu pula sebaliknya manakala wilayah atau region yang ada kurang memilik akses utama ke pusat – pusat pmerintahan dan kekuasaan maka sudah dapat diduga, proses pertumbuhan dan pembangunan ekonominya akan berjalan lebih lamban dan bahkan dapat mengalami stagnasi pembangunan secara terus menerus.

Rajalakshmi (2013) dalam satu studinya yang berjudul Growing Regional Disparites in India’s Development memaparkan secara rinci tentang jenis – jenis ketimpangan pembangunan antar wilayah sebagai berikut: : As regards to India, the history of economic disparities goes back to the British rule. The British government in India developed those regions which were important for them on economic and administrative grounds while rest of the regions were left neglected. At the time of independence India was characterized by different types of disparities. Through the planned economic development since 1951 India has though succeeded in mitigating a few types of socio-cultural disparities to some extent but the economic disparities became more widened instead of being mitigated during the plan period. The ratio of the minimum and the maximum income and wealth stands risen even above the level of one to hundred fifty (1: 150) in India.

Types of Economic Disparities in India: (bentuk – bentuk ketimpangan di India)

Despite various remedial measures taken by the government through its fiscal policy and by the central bank (the Reserve Bank of India) through its monetary policy Indian economy is still fascinated in different inextricable and interwoven types of economic disparities as given below.

1. Income and Wealth Disparity: (ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan)

Income distribution sufficiently unequal even in the pre-independence period but it became more unequal during the plan period after independence. 50% of the total national income goes to the hands of only 20% of the total population and rest 80% of the total population has to depend on the remaining 50% part of total national income. As regards to the distribution of wealth upper 10% of the households own 57% of the total built-up property whence only 43% of the total build-up property is distributed among 90% of the households. Similarly, 72% of the total farming families are marginal farmers and own only 10% of the total agricultural land while 28% of the farming families possess 73% of the total land.

2. Education Disparity: (ketimpangan pendidikan)

In remote rural areas there is widespread poverty and approximately 80% of the families are living in acute privation. In the upper strata of these families family income is too low to pay either for education in the low standard rural institutes or for good quality education in the well equipped urban institutes.

3. Regional Development Disparity: (ketimpangan pembangunan wilayah)

A considerable number of socially and economically sound and effective elites had already emerged in cities and urban towns during the British period. After independence these elites either entered into the government or supported their men to win election and thereby enter into the government. This made them interfere in the formulation and execution of development plans, on one hand, in the fixation of priorities, on the other. Thereby Indian development plans became urban oriented and concentrating on rich minority. Therefore, great many portion of the fruits of planned economic development remained centred towards and around the urban cities, towns and those rural regions where natural resources are abundantly available. Thus rural regions devoid of natural resources lagged far behind in the run of economic development and thence remained either undeveloped or insignificantly developed in comparison to the urban and the naturally resourced regions.

4. Sectoral Development Disparity: (ketimpangan pembangunan sektoral)

Instead of starting from the very beginning and covering the right locus of economic development India, being enticed and allured by the surprisingly fascinating fruits of heavy industrialisation, started its efforts but having longed for being developed and grabbing fruits thereof in a haste. Thus India lost sequences in its development path. Thus agriculture, the spine of Indian economy, was ignored. Thereby agricultural development and the development of agriculture based small and cottage industries lagged far behind the development of heavy industries. Thus the village industries were shattered and the villages were ruined on account of the acute shortage of energetic workforce, service centers, infrastructure, intellectuals etc. emerged there due to the rural-urban migration. In this way the industrial sector became more developed than the agriculture sector and heavy industry sector became more developed than the small and cottage industry sector. Moreover, during industrial development both the private and the public sector were aimed at to be developed simultaneously for healthy competition to save the general public from being exploited by the profit motivated private producers. But the corruption prevailing in public sector and the manipulations by the private producers the public sector industries sustained heavy losses whereby a large number of these industries became auctioned to private hands and that too under some political strategies. The remaining ones also are running with old technology without renovation. Thus the private sector became more developed and flourished in comparison to the public sector.

5. Technology Disparity: (ketimpangan teknologi)

The multinational companies and the heavy industries of private sector are running with modern technology and earning large abnormal profits while almost all small and cottage industries along with the industries of the public sector are running either with normal profits or even loss. A number of public sector industries with loss are still running only because of some political strategy of the government or the public pressure. Similarly a large number of small and cottage industries are running without profit only because the family workforce working therein is getting salary. The technology used in all of these with loss or without profit industries is traditional, old, obsolete or rather discarded too while that of the heavy abnormal profit earning MNC's and private heavy industries is modern and rather latest technology.

6. Credit Disparity: (ketimpangan kredit)

The (central and state) governments in their fiscal policies and RBI (Reserve Bank of India) in its credit control have been talking quite loudly about subsidies, rural credit, agricultural credit, small and cottage industrial finance and credit to poor mass. The statistics also show quite big amounts. But the story of resultant effects remained different. The great many part of the subsidies was grabbed by undeserving socio-economic and political elites on the basis of false poverty documents and fake small or cottage industrial units. Thus the actually needy persons and small or cottage industrial units went on sustaining the lack of subsidy and credit facilities. In case of subsidies the prevailing corruption and the target based policy rather helped the malpractice get impetus.

Moreover, the prevailing corruption and target based policy along with the profit motivated nature of the commercial banks strengthened the malpractice in case of credit distribution. Furthermore, the actually needy poor people and the small or cottage industrial units were not having enough assets to be pledged, wherever it was required, against loan. This factor also prevented them to avail the available credit facility. On the other hand, heavy industrial units, business houses and socioeconomic and political elites were above these constraints and therefore went on enjoying not only the share of subsidies and credit assigned to them but also a sufficiently large portion of the share assigned to poor mass and the small or cottage industrial units.

(Internatioanl Journal of Educational Research and Technology (IJERT) Volume 4 [3] September 2013 : 47 – 55 www.soeagra.com/ijert/ijert/htm

Teori Pertumbuhan ekonomi wilayah

Ada banyak teori yang dikemukakan sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah diantaranya teori – teori sebagai berikut (Daniela Antonescu, 2012 Identifying Regional Economic Dispariies and Convergence in Romania, Scientific Papers (www.scientificpapers.org) Journal of Knowledge Management, Economics and Information Technology) Volume II, Issue 2 April 2012

Theoretical approaches of regional convergence (pendekatan teoritis tentang konvergensi wilayah)

Generally, the term convergence is commonly used in comparative economic analysis regarding economic integration in order to identify trends entities (national, sectorial, regional) to a landmark considered the most performant or of medium level. Convergence studies take into consideration how the involved factors in a process or another (integration, globalization, etc.) acts to reduce disparities between the analyzed entities2. Reducing disparities requires close values established performance indicators and ensuring reduce disparities in development of these entities. In literature, there can be identified three specific convergences of application domains: 1. Real convergence (konvergensi nyata) - to eliminate disparities between countries or regions in the development level given by income per capita and labour productivity; 2. Nominal convergence (konvergensi nominal) – is applied in monetary policy and refers to achieving economic stability and the transition to the euro; 3. Institutional convergence (konvergensi institusi - requires compatibility in terms of structure and functioning of institutions. In Romania, all three types of convergence above is a particular concern given the important difference from other EU Member States. In this study we limit our scope to address a few key aspects of real convergence in the developing regions (statistical or planning). Generally, theoretical approaches on regional convergence have focused attention on the process of catching-up (catch up): the less developed regions make significant efforts to catch up the rich regions. The main trends of the current process of convergence - crowding and dispersion - are analyzed and interpreted on recent approaches of regional theory: 1. Endogenous growth theory (model pertumbuhan ekonomi baru) pelopor : (Lucas, P. Romer, P. Nijkamp) 2. New economic geography --- ekonomi geografi baru (P. Krugman) 3. Institutional theory ---- teori kelembagaan (WR Scott, DiMaggio P., Powell W.). Endogenous growth theory ----- teori pertumbuhan endogen focuses on the concentration of economic activities due to the effect of increasing the profit level of investment in human capital and research and development. According to this theory, the concentration of the factors mentioned above in the central area and not in the peripheral area is the result of the economic integration process. Economic growth at regional level, including those based on innovation (Schumpeter's growth theory) are effective at change, adaptation, and less than optimal allocation adjustment of certain locations, and focused on integration and trade. Regional economic growth is taking place on the basis of the gaining process of innovation – learning - knowledge - assimilation associated to labour. This process involves important spatial implications until the associated transaction costs of the knowledge transmission elements remain high (Romer, 1986, Lucas, 1988; Fontagne, Freudenberg, Ünal-Kesenci, 1999, Grossman, Helpman, 1991, Aghion, Howitt, 2005).

New economic geography theory takes into account the following hypothesis: regional clusters are the effect of clustering phenomena of work forces in certain areas and which have important relationships. According to this theory, high transport costs protect companies from small markets. With lower cost of transport is increasing competition among firms and ultimately, lower dispersion forces. Theory emphasizes, in particular, market integration, economies of scale, transport and local markets, promoting the combined effects of economic concentration in the centre Identifying Regional Economic Disparities and Convergence in Romania

region, the benefits from labor market and location of advanced technologies (Krugman 1991, Fujita, Venables, 1999). According to the institutional theory, the key element for development of a region is the institutions that determine the technological frontiers of the economic hierarchy. The reason is the fact that these institutions can control the economy's ability to use and develop their own resources in a particular way. When institutional capacity is unevenly distributed in space, institutional factors contribute to agglomeration of economic activity, strengthening the more advanced activities in most developed areas. An important feature of these institutions is that it facilitates innovation, research and development, business support, all known as "innovative systems" (Lundvall, 1992; Nelson, 1993). In the theoretical approaches mentioned above, the polarization of economic activities is a slow, inevitable and convergent process in terms of GDP per capita. At regional level is recognized the importance of political measures and actions necessary to ensure balance between the work forces and tendencies of agglomeration (concentration). Myrdal is the first to propose and promote regional concept in the theory of circular and cumulative economic processes (1957), which explains the increase in international differences in development from similar initial conditions. The movement of capital, migration and trade in goods and services are continued and even increased international and regional inequalities. The liberalization of trade, less developed regions, lack of human capital and innovative technologies are required to specialize in production of goods, especially primary goods with inelastic demand (low elasticity) in relation to price and income. Developed regions become poles of attraction and absorb increasing amounts of capital and labour force from less developed regions. Neoclassical theories even if they anticipated long-term unconditional convergence (club convergence), failed to clarify the basic conditions that may affect regional disparities (including in times of crisis, recession, etc.). Despite all the efforts made on the proposed reforms in the integration process, there is still a natural tendency, universally valid, that the polarization process is leading ultimately to greater regional differences.

Since 1956, Williamson believes that the convergence process, inter-regional relations and public policy factors interact for the main clusters. Thus, faster increase in growth poles (e.g., capital regions) causes an increase in regional disparities. In a later stage of development, regional disparities can be reduced to a level of aggregation higher than revenues. The distribution is the emergence of agglomeration diseconomies (high cost of labour work or the effect of congestion), and continue with the growth poles. Thus, regions lagging behind in some countries can benefit from technology diffusion. There are many economists who believe that the new Member States can be assigned to the process called "catch-up" (to catch). 3 Lackenbauer J. (2004), ″Catching-up, Regional Disparities, and EU Cohesion Policy: the case of Hungary″ p.5 4 Williamson J. ″Regional inequality and the process of national development: a description of the patterns″, Economic Development and Cultural Change, vol. 13, 1965. 5 Prof. ing. František Turnovec CSc, ″Regional Disparities in the EU″, www.ies.fsv.cuni.cz

Relations between national economic growth and regional imbalances can be graphically presented with a form of an inverted U curve (Williamson curve). The new European Union member states find their place on the upward curve, while the old members are placed on the flat. The curve drawn by Williamson, this category of countries recorded increases in regional disparities, which makes them to be represented on the left side of income Y in Figure 1.

Williamson curve

Sumber : Williamson J. ″Regional inequality and the process of national development: a description of the patterns″, Economic Development and Cultural Change, vol. 13, 1965.

Compared with the old theories, new approaches to regional convergence have in the spotlight the following: Increasing importance of intangible factors (including economic policies) in the widening of regional disparities also the investment associated with innovation, research and development capabilities and human capital skills are sources of growth of the disparities between regions;

New approaches are complementary and update old methods proposed by neoclassical theory, by extending the object of research, methods and techniques used, especially by modern methods of calculation and processing with computer and programming; You may also notice a much more anchored in reality interpretation of regional economies, which are part of the convergence process (both in terms of speed and in terms of growth rates).

Summarizing, one can see that, in terms of theoretical approaches, regional convergence has attracted comments and critics alike, who helped develop the field of wide interest. However, with all the developments made, we cannot yet speak of a magic formula, specifying the exact solution or solutions that ensure convergence of regional structures, characterized by high diversity, both in terms of different conditions development (natural, human, infrastructure, innovative structures, etc.), traditions, mentalities and different growth rates.

2.4. Konsep perekonomian wilayah : pandangan teori
This section has four sub sections. The first section discusses on the existing studies on convergence from the theoretical ground. Its following section looks on the numerical testing of convergence issue on different economies excepting India. The third sub section notices on the existing studies on the test of convergence on Indian economy. The last sub section gives a quick overview on the policies after Independence to combat regional disparity, or in other words, to manifest the existence of convergence on this economy.

There are different theories discussing the heterogeneous effects of economic growth and development on different economies and on a particular economy during different time periods. Some of the studies consider the issue of regional disparity as a natural consequence of development and describes the way of its evolution; while other studies discuss a few suggestive ways to get rid of the problem of regional disparity. Theories of regional divergence/convergence are long run theories. Different schools in growth economics have discussed to find an equilibrium growth rate for all the economies. The long run growth has been discussed in Classical school, Neo-classical school, Cambridge school etc. excepting Keynesian school. According to Classical theory, growth process of output is explained in terms of population growth and technological progress. These economists (Adam Smith, Ricardo, Malthus) thought that a growing capitalist economy would reach stationary state where a diminishing returns to capital results no fresh capital accumulation. In other words, further capital accumulation leads no contribution to the technological progress in this state. On the other hand, Keynesian economics purely discusses on the short run growth process. It hardly provides any highlight on the long run growth and therefore, the Catch-up hypothesis. The economists who first bridged the gap between Keynes’ short-run static theory of employment and the dynamics of Classical long-term growth were R.F.Harrod and E,D,Domar. Their theory indicates a ‘knife-edge’ of equilibrium growth where the economic system can be balanced best in the long run. All of the theories from different schools of development economics indicate a supreme state of growth – a possibility where an economy can be equilibrated. But, what is the actual way of adjustment that is not clear in any of the theories. It is the neo-classical theory, which firstly tries to find out the answer of this question. R.M. Solow, J.E.Meade et al. are the major contributors of this school of thought. The application area of this theory is much wider than any other theory dealt above because of its consideration of full substitutability between labor and capital and long run growth. The assumptions of neo-classical growth model are (I) Single commodity market, (ii) two factors of production, (iii) full employment of labor and capital, (iv) Continuous substitutability between labor and capital and (v) Free mobility of factors across the economies. Here the model has only one parameter, i.e., the capital-output ratio. The two main limitations of the model are that it considers technology as the exogenous factor and contribution of capital seems as homogeneous in all kinds of economies.

Convergence of income growth, basically, derived from neo-classical school of thought in growth economics, is mainly based on the ‘catch up’ hypothesis. The most popular version of the convergence hypothesis states that poor countries will have a natural tendency to steadily approach the income levels of the developed countries which implies a higher growth rate. It, in turn, implies the differential existence of factor prices across the regions as the main driving force behind the convergence of income across economies.

At the heart of the Solow model the prediction of convergence comes in several flavors. Let us postulate that countries, in the long run, have no tendency to display differences in the rate of technical progress, savings, population growth, and capital depreciation. In such a case, Solow model predicts that all countries, capital per efficiency unit of labor converges to the common value corresponding to the common steady state of growth irrespective of the initial state of each economy, as measured by their starting levels of per capita income (or initial per capita capital stock). Convergence, thus, is indicated by a strong negative relationship between growth rates of per capita income and the initial value of the per capita income. This is known as the ‘unconditional’ convergence.

In reality, the countries are rather heterogeneous in terms of many features. This erodes the assumption of unconditional convergence. Although this has no effect on the Solow prediction that countries must converge to their steady states, but, the steady states can now be different from country to country, so that there is no need for the two countries to converge each other. This hypothesis leads to the notion of ‘conditional’ convergence. Growth rate convergence implies that a country which is below its own steady state grows faster than its steady-state growth rate, but to test this we have to use the data to identify where steady states are. So, in this case, the hypothesis of growth rate convergence is being conditioned on the position of the steady states. Such a concept is called ‘conditional’ convergence.

In general, the conditional convergence or β-convergence (poor countries grow faster than the rich ones subject to the variability of the initial conditions) tends to generate unconditional convergence or σ- convergence (reduced dispersion of per capita income), but the converse is not true. Furthermore the ‘unconditional’ convergence process may be disturbed by new shocks resulting a higher dispersion of income.

2.5. Review Literatur Empiris

Studies have referred that the story of divergence or contrast of convergence has been experienced in European Union. Button and Eric J. Pentecost (1995) examine changes in the economic performance of Western European regional economies, in particular the degree of convergence introducing structural variables, country dummies since the mid 1970s when the larger European Union was established. Interestingly, the set of country dummies reflect potential differences in domestic regional policy and variations in national technologies and preferences.

Between the 19th and 20th centuries, the regions of the United States went from a set of relatively isolated regional economies to an integrated national economy. Economic integration as well as long-run secular changes in the economic structure is associated with aggravated pace of economic growth playing an important role in determining U.S. regional industrial structures. Specifically, it is the industrial structure in U.S. which is playing a substantial role behind this trend of convergence of regional incomes. This has been possible because of factor price equalization of different industries that in turn has been possible by free mobility of labor force. But, the flexibility of factor movement is not the sufficient condition behind convergence. For example, Japan. The gradually increasing convergence in Japan is not being followed by the flexibility of the factors of production. The law of flexibility of factors of production is, in fact, very restricted in this economy. But, balanced disbursement of the natural resources is one of the distinct causes playing vital role behind the convergence of ‘Japan’ economy.