KORELASI POSITIF GAMBARAN NEUTROFIL TOKSIK DENGAN SINDROM RESPONS INFLAMASI SISTEMIK PADA ANAK.

(1)

i

TESIS

KORELASI POSITIF

GAMBARAN NEUTROFIL TOKSIK DENGAN

SINDROM RESPONS INFLAMASI SISTEMIK

PADA ANAK

PUTU DIAN SAVITRI IRAWAN NIM 1014018202

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

KORELASI POSITIF

GAMBARAN NEUTROFIL TOKSIK DENGAN

SINDROM RESPONS INFLAMASI SISTEMIK

PADA ANAK

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

PUTU DIAN SAVITRI IRAWAN NIM 1014018202

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 18 APRIL 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. I Made Gd Dwi Lingga Utama, Sp.A(K) DR. dr. Dyah Kanya Wati, Sp.A(K) NIP. 196301251989111001 NIP. 197104112008122002

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

DR. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Sp.GK Prof. DR. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)


(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 18 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 1509/UN 14.4/HK/2016, Tanggal 12 April 2016

Ketua : dr. I Made Gd Dwi Lingga Utama, Sp.A(K) Sekretaris : DR. dr. Dyah Kanya Wati, Sp.A(K)

Anggota : 1. Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And, FAACS 2. Prof. DR. dr. I Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp. Erg 3. DR. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si


(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : dr. Putu Dian Savitri Irawan

NIM : 1014018202

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)

Judul : Korelasi antara gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi dengan sindrom respons inflamasi sistemik pada anak

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 28 Maret 2016 Yang membuat pernyataan,


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul : ”Korelasi positif gambaran neutrofil toksik dengan sindrom respons inflamasi sistemik pada anak” dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. I Made Gd Dwi Lingga Utama, Sp.A(K) (pembimbing I) yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terimakasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada DR. dr. Dyah Kanya Wati, Sp.A(K) (pembimbing II) yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Megister, Program Studi Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terimakasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dr. Bagus Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K) dan Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I)


(7)

vii

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dr. Ketut Suarta, Sp.A(K), yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan dukungan selama pendidikan. Ungkapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And, FAACS; Prof. DR. dr. I Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp. Erg; dan DR. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi dalam penyusunan dan penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh supervisor, staf dan rekan sejawat PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan, dukungan, dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada orangtua tercinta: Ir.Ketut Sudiasa Irawan dan Ir. Ni Made Sulendri; adik tersayang: Ni Made Dhina Avianthi Irawan, ST, MT dan Nyoman Anggha Shaputra Irawan; mertua: dr. Made Widia, Sp.A(K) dan Luh Made Shinta Wati, suami tercinta: dr. Nyoman Adhi Pratama, Sp.OT dan putra tercinta I Gede Raditya Putra Pratama atas segala tuntunan, pengorbanan, dan dukungan yang luar biasa sehingga penulis bisa menjadi seperti sekarang ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini. Sekiranya, besar harapan penulis agar hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Denpasar, 28 Maret 2016


(8)

viii ABSTRAK

KORELASI POSITIF GAMBARAN NEUTROFIL TOKSIK DENGAN SINDROM RESPONS INFLAMASI SISTEMIK

PADA ANAK

Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dapat disebabkan oleh infeksi maupun noninfeksi. Pada SIRS yang disebabkan oleh infeksi, angka kematian mencapai 14,9% dibandingkan pada SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi yakni sebesar 6,3% sehingga deteksi dini SIRS akibat infeksi memegang peranan penting. Kegunaan temuan perubahan morfologi neutrofil dalam mendeteksi adanya infeksi bakteri sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anak di atas usia 28 hari hingga 12 tahun dengan SIRS akibat infeksi dengan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi.

Rancangan penelitian adalah potong lintang. Penelitian dilakukan di Unit Gawat Darurat (UGD) RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari 2016. Kriteria inklusi adalah anak berusia di atas 28 hari hingga 12 tahun, terdapat klinis SIRS berdasarkan International Pediatric Sepsis Consensus Conference tahun 2002, atas persetujuan orangtua atau wali. Subjek dengan imunodefisiensi dan atau SIRS akibat noninfeksi dieksklusi dari penelitian. Terdapat 30 anak yang memenuhi kriteria pemilihan subjek. Interpretasi hapusan darah tepi dilakukan oleh 2 orang dokter spesialis patologi klinik. Analisis hasil menggunakan uji korelasi koefisien kontingensi. Uji reliabilitas menggunakan uji Cohenn’s Kappa.

Dua puluh satu subjek berjenis kelamin laki-laki, dengan median usia 13,5 tahun. Nilai Kappa (қ) untuk gambaran neutrofil toksik adalah 0,792 dengan simpulan kekuatan kesepakatan baik. Korelasi antara gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi dengan klinis SIRS bermakna secara statistik (p < 0,001). Nilai koefisien kontingensi sebesar 0,707 menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi kuat.

Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang kuat antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi.


(9)

ix ABSTRACT

THE POSITIVE CORRELATION BETWEEN NEUTROPHIL TOXIC APPEARANCE

AND SYSTEMIC INFLAMMATORY RESPONSE SYNDROME IN CHILDREN

Sistemic inflammatory response syndrome is caused by infectious and noninfectious agent. There is higher mortality rate in patient with infectious SIRS (14.9%) compared with noninfectious SIRS (6.3%) therefore screening programme take an important role. The benefit of neutrophil toxic finding in detecting bacterial infection has also been debated. The purpose of this study is to evaluate the correlation between children aged 28 days until 12 years with infectious SIRS and neutrophil toxic appearance in bloodsmear.

This study was a cross sectional study. This study was conducted in January 2016. Inclusion criterias were children aged 28 days until 12 years, clinically SIRS according to International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002, and with parents approval. Subject with immunodeficiency and or noninfectious SIRS were excluded. There were 30 children met the eligible criterias. Bloodsmear interpretation was conducted with 2 different clinical pathologic doctor. Data analysis using contingency coefficient correlation test. Reliability was evaluated using Cohenn’s Kappa test.

Twenty one subjects were male, with median age 13.5 year. Kappa value (қ) for neutrophil toxic appearance was 0.792. This value showed a good reliability between observer. Significant correlation is showed between neutrophil toxic appearance in bloodsmear and clinically SIRS due to infection (p < 0.001). Contingency coefficient correlation value of 0.707 showed a positive correlation with strong correlation strength.

This study concluded that there was a positive and significant correlation between neutrophil toxic appearance and clinically SIRS due to infection


(10)

x DAFTAR ISI

Halaman SAMPUL DALAM………... PRASYARAT GELAR ... LEMBAR PENGESAHAN………... PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...…. SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... UCAPAN TERIMA KASIH ... ABSTRAK ... ABSTRACT ... DAFTAR ISI………...……….…… DAFTAR TABEL……… DAFTAR GAMBAR………... DAFTAR SINGKATAN………...….. DAFTAR LAMPIRAN……… BAB I PENDAHULUAN………. 1.1 Latar Belakang……….. 1.2 Rumusan Masalah………... 1.3 Tujuan Penelitian……….. 1.3.1 Tujuan umum………...………... 1.3.2 Tujuan khusus………. 1.4 Manfaat Penelitian……… 1.4.1 Manfaat praktis………... 1.4.2 Manfaat akademik………... BAB II KAJIAN PUSTAKA………. 2.1 Sindrom Respons Inflamasi Sistemik Pada Anak……….. 2.1.1 Epidemiologi………... 2.1.2 Etiologi………... 2.1.3 Patofisiologi………..

i ii iii iv v vi viii ix x xii xiv xv xvi 1 1 6 6 6 6 6 6 7 8 8 8 9 9


(11)

xi

2.1.4 Diagnosis………... 2.1.5 Prognosis………... 2.2 Neutrofil………. 2.2.1 Produksi neutrofil……….. 2.2.2 Maturasi neutrofil………..……… 2.2.3 Mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi………... 2.2.4 Produksi sitokin oleh neutrofil………... 2.2.5 Granula neutrofil………... 2.2.6 Neutrofil pada saat sepsis…...………...………... 2.2.7 Gambaran neutrofil toksik…..………...………... 2.2.8 Keadaan yang mempengaruhi neutrofil toksik…………... 2.2.8.1 Imunodefisiensi………. 2.2.8.2 Usia……… 2.2.8.3 Derajat beratnya sepsis……… …………. 2.2.8.4 Inflamasi sistemik non infeksi………... 2.2.8.5 Kualitas preparat hapusan darah tepi……….……... 2.2.9 Penelitian neutrofil toksik………... BAB III KERANGKA PIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN………... 3.1 Kerangka Berpikir……… 3.2 Konsep Penelitian………... 3.3 Hipotesis Penelitian……….. BAB IV METODE PENELITIAN………... 4.1 Rancangan Penelitian……… 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……… 4.3 Penentuan Sumber Data……… 4.3.1 Populasi penelitian……… 4.3.2 Subjek penelitian………... 4.3.3 Kriteria pemilihan………... 4.3.3.1 Kriteria inklusi………... 4.3.3.2 Kriteria eksklusi………

12 21 22 22 24 25 25 26 27 32 36 36 38 39 39 40 40 42 42 45 46 47 47 47 47 47 48 48 48 48


(12)

xii

4.3.4 Besar subjek………... 4.3.5 Teknik pengambilan subjek………... 4.4 Variabel Penelitian………. 4.4.1 Identifikasi variabel………... 4.4.2 Definisi operasional variabel………. 4.5 Bahan Penelitian………. 4.6 Instrumen Penelitian………... 4.6.1 Instrumen pemilihan subjek………... 4.6.2 Instrumen hapusan darah tepi……….………... 4.7 Prosedur Penelitian………. 4.7.1 Pemilihan subjek………... 4.7.2 Pengambilan darah……… 4.7.3 Hapusan darah tepi……… 4.7.4 Pengukuran……… 4.8 Alur Penelitian………... 4.9 Rencana Pengolahan dan Analisis Data………. BAB V HASIL PENELITIAN………. 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian……….. 5.2 Uji Cohenn’s Kappa………... 5.3 Uji Korelasi Koefisien Kontingensi………... BAB VI PEMBAHASAN………... 6.1 Subjek Penelitian………... 6.2 Kualitas Preparat Hapusan Darah tepi dan Kompetensi Pemeriksa……... 6.3 Tidak Teridentifikasinya Badan Dohle Pada Penelitian ………... 6.4 Mekanisme Perubahan Morfologi Neutrofil Pada Infeksi…... 6.5 Kelebihan dan Kelemahan Penelitian………..……….. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………. 7.1 Simpulan………... 7.2 Saran………... DAFTAR PUSTAKA………... LAMPIRAN……….. 49 49 50 50 50 55 55 55 56 57 57 57 62 64 65 66 68 68 69 70 73 73 76 76 77 79 82 82 82 84 88


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Kategori usia anak berdasarkan International Pediatric Sepsis

Consensus Conference 2002………...

Tabel 2.2 Tanda vital dan hasil laboratorium berdasarkan International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002……….. Tabel 2.3 Definisi SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik berdasarkan

International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002…….... Tabel 2.4 Kriteria disfungsi organ berdasarkan International Pediatric

Sepsis ConsensusConference 2002………..

Tabel 2.5 Penyebab imunodefisiensi sekunder pada anak……….. Tabel 5.1 Karakteristik dasar subjek penelitian………... Tabel 5.2 Uji reliabilitas menggunakan Cohenn’s Kappa... Tabel 5.3 Kekuatan korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS………... Tabel 5.4 Kekuatan korelasi antara gambaran granula toksik dengan klinis

SIRS………... Tabel 5.5 Kekuatan korelasi antara gambaran vakuolisasi dengan klinis

SIRS………...

13

14

16

17 37 69 70

71

71


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Hemopoiesis di sumsum tulang... 23

Gambar 2.2 Granulopoiesis di sumsum tulang... 23

Gambar 2.3 Neutrofil di jaringan... 24

Gambar 2.4 Granula neutrofil... 28

Gambar 2.5 Perbedaan respons neutrofil dalam keadaaan normal dan pada saat sepsis ... 31

Gambar 2.6 Patofisiologi terbentuknya gambaran neutrofil toksik... 33

Gambar 2.7 Granula toksik neutrofil pada pemeriksaan hapusan darah tepi ... 34

Gambar 2.8 Vakuola toksik neutrofil pada pemeriksaan hapusan darah tepi ... 35

Gambar 2.9 Badan Dohle neutrofil pada pemeriksaan hapusan darah tepi ... 36

Gambar 3.1 Konsep penelitian... 45

Gambar 4.1 Anatomi ekstremitas kanan atas... 60

Gambar 4.2 Alur penelitian... 67


(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

AAP : American Academy of Pediatrics

ALT : Alanin Transferase

BB : berat badan

CDC : The Centers for Disease Control and Prevention

CRP : C-reactive protein

DPJP : Dokter Penanggung Jawab Pasien G-CSF : Granulocyte - Colony Stimulating Factor

GM-CSF : Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor

HIV : Human Immunodeficiency Viral

ICS : intercostals space

IFN : Interferon

IL : Interleukin

NF : Nuclear Factor

PICU : Pediatric Intensive Care Unit PRISM : Pediatric Risk of Mortality RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SD : Standar Deviasi

SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndrome

SLE : Systemic Lupus Erythemathosus

TB : tinggi badan

UGD : Unit Gawat Darurat


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Keaslian penelitian………... 88 Lampiran 2. Informasi penelitian dan persetujuan subjek………… 92 Lampiran 3. Kuisioner penelitian………. 95 Lampiran 4. Keterangan kelaikan etik……….. 96 Lampiran 5. Hasil analisis data melalui program SPSS…………... 99


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons inflamasi tubuh yang bersifat kompleks dan nonspesifik terhadap suatu keadaan yang berbahaya bagi tubuh (Plevkova, 2011; Balk, 2014). Keadaan yang dapat mencetuskan SIRS dibagi menjadi dua kelompok besar yakni SIRS yang disebabkan oleh infeksi dan SIRS yang disebabkan oleh nonifeksi (Plevkova, 2011). Infeksi bakteri, infeksi pada luka (luka bakar, luka bekas operasi, diabetic foot), kolesistitis, kolangitis, infeksi saluran cerna, pneumonia, infeksi saluran kencing, serta meningitis merupakan beberapa penyakit infeksi yang dapat menimbulkan SIRS. Sindrom respons inflamasi sistemik tidak hanya disebabkan oleh infeksi. Beberapa keadaan noninfeksi juga dapat menyebabkan SIRS antara lain trauma, luka bakar, infark myokard, perdarahan, sirosis, penyakit autoimun, serta reaksi hipersensitivitas baik terhadap obat maupun alergen yang lain (Plevkova, 2011).

Definisi SIRS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 oleh American College of Chest Physicians and Society of Critical Care Medicine. Penggunaan istilah SIRS pertama kali digunakan untuk menggambarkan suatu proses inflamasi nonspesifik yang terjadi setelah trauma, infeksi, luka bakar, maupun penyakit lain (Goldstein dkk, 2005). Penggunaan definisi SIRS pada saat itu hanya terbatas


(18)

2

pada pasien dewasa (Carvalho dan Trotta, 2003). Pada tahun 2002, diadakan kembali konferensi internasional di San Antonio, Texas yang khusus membahas kriteria SIRS pada pasien anak yang sampai saat ini masih luas dipergunakan (Carvalho dan Trotta, 2003; Goldstein dkk, 2005). Konferensi tersebut kemudian menetapkan kriteria diagnosis SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik yang dapat diterapkan pada populasi anak (Goldstein dkk, 2005). Kriteria diagnosis SIRS berdasarkan konsensus tersebut adalah apabila dijumpai minimal dua dari empat kriteria antara lain abnormalitas suhu, abnormalitas jumlah leukosit, takikardi, dan takipne. Penegakan diagnosis SIRS pada pasien anak tidak diperkenankan apabila hanya dijumpai gejala klinis takikardi disertai takipne. Salah satu kriteria yang harus terpenuhi adalah abnormalitas suhu atau abnormalitas jumlah leukosit (Goldstein dkk, 2005).

Data global mengenai epidemiologi SIRS pada anak masih terbatas (Horeczko dan Green, 2013). Penelitian pada tahun 2000 mendapatkan prevalens SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) The Hospital de Clinicas de Porto Alegre Brazil sebesar 68% (Carvalho dkk, 2005). Pasien anak dengan SIRS yang diakibatkan oleh infeksi sebesar 64% sementara 36% lainnya disebabkan oleh noninfeksi (Carvalho dkk, 2005). Sebuah penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2007 hingga 2010 di National Hospital Ambulatory Medical Care Survey (NHAMCS) Amerika Serikat mendapatkan angka kejadian SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun adalah sebesar 21,7%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan bahwa 53% dari keseluruhan kasus SIRS disebabkan oleh infeksi (Horeczko dan Green, 2013).


(19)

3

Penelitian lain di Latvia pada tahun 2007 mendapatkan prevalens SIRS pada anak yang dirawat dengan gejala klinis demam adalah sebesar 72% (Pavare dkk, 2009). Penggunaan istilah SIRS memiliki berbagai kepentingan klinis (Balk, 2014). Meskipun kriteria diagnosis SIRS bersifat nonspesifik, definisi tersebut telah digunakan secara luas di berbagai belahan dunia baik untuk kepentingan penelitian maupun pada aspek terapi. Kriteria diagnosis SIRS sangat mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, murah, tidak memerlukan pemeriksaan penunjang yang rumit, serta tidak membutuhkan waktu yang lama untuk penegakkan diagnosisnya. Berbagai penelitian terutama uji klinis menggunakan definisi SIRS berdasarkan konsensus tahun 2002 pada kriteria inklusi atau eksklusi penelitian (Balk, 2014).

Pada aspek terapi, membedakan kelompok pasien dengan manifestasi klinis SIRS tanpa disertai infeksi (noninfected) dengan pasien SIRS akibat infeksi merupakan hal yang penting. Meskipun memiliki manifestasi klinis SIRS yang serupa, ke dua kelompok tersebut memiliki pendekatan penatalaksanaan serta luaran yang berbeda (Balk, 2014). Risiko kematian yang dinilai berdasarkan skor Pediatric Risk of Mortality (PRISM) lebih tinggi pada pasien SIRS yang disebabkan oleh infeksi (median 6,75%) dibandingkan SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi (median 2,35%) (Carvalho dkk, 2005). Pada SIRS yang disebabkan oleh infeksi, angka kematian mencapai 14,9% dibandingkan pada SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi yakni sebesar 6,3%. Pada SIRS yang disertai kegagalan multiorgan, angka kematian mencapai 32% (Carvalho dkk, 2005).


(20)

4

Sampai saat ini, kultur darah merupakan baku emas untuk diagnosis adanya bakteri yang beredar di dalam darah atau yang disebut bakteremia (Flaws, 2011). Namun pemeriksaan kultur darah memiliki beberapa keterbatasan. Sensitivitas yang rendah merupakan salah satu keterbatasan dari kultur darah (Dark dkk., 2009). Sensitivitas kultur darah dilaporkan sebesar 40% dan nilai sensitivitas akan semakin berkurang apabila pasien telah mendapat terapi antibiotika sebelum pemeriksaan kultur darah. (Afsharpaiman, 2006). Waktu yang diperlukan untuk mengidentifikasi kuman patogen pada kultur darah dan penilaian sensitivitas terhadap antibiotika adalah sekitar 24 hingga 48 jam bahkan pada infeksi yang diakibatkan oleh jamur membutuhkan waktu yang lebih lama (Afsharpaiman, 2006).

Mengingat angka kejadian dan angka kematian yang cukup tinggi, maka diagnosis dini SIRS akibat infeksi memegang peranan yang sangat penting. Beberapa pemeriksaan seperti C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin telah luas digunakan untuk mengidentifikasi adanya infeksi sistemik. Prokalsitonin dibandingkan CRP memiliki nilai diagnostik yang lebih baik untuk membedakan adanya infeksi dengan peradangan sistemik (sensitivitas 88% dan spesifisitas 81%), sementara CRP memiliki sensitivitas 75% dan spesifisitas 67% (Simon dkk., 2004). Prokalsitonin memiliki waktu induksi 2-4 jam setelah onset infeksi dan kadarnya mencapai puncak dalam 6-12 jam setelah onset infeksi (Meisner, 2014). Berbeda dengan prokalsitonin, CRP memerlukan waktu beberapa hari untuk mencapai kadar puncak yakni sekitar 24-48 jam setelah onset infeksi (Koutroulis dkk., 2014). Meskipun memiliki berbagai keunggulan, prokalsitonin


(21)

5

juga memiliki beberapa keterbatasan antara lain harga pemeriksaan yang mahal dan belum tersedia secara luas di berbagai pusat pelayanan kesehatan.

Pada keadaan peradangan maupun infeksi, tubuh akan mengadakan berbagai upaya untuk mempertahankan keadaan fisiologis melalui sistem imunologi. Respons jaringan tubuh pada keadaan peradangan maupun infeksi akut didominasi oleh neutrofil (Vyver dkk, 2010). Neutrofil menempati 70% dari jumlah leukosit yang berada di sirkulasi (Fraser dan Tilyard, 2008). Neutrofil berperan sebagai lini pertama pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme patogen (Gregory dan Wing, 2002). Pada kondisi peradangan sistemik maupun infeksi, neutrofil dapat menunjukkan perubahan pada morfologinya yang disebut neutrofil toksik (Gwaisz dan Babay, 2007; Vyver dkk, 2010). Namun peran neutrofil toksik dalam mengidentifikasi adanya infeksi sampai saat ini masih menjadi perdebatan (Gwaisz dan Babay, 2007). Neutrofil dikatakan menunjukkan gambaran toksik apabila terdapat salah satu dari gambaran granula toksik, vakuola toksik maupun badan Dohle pada pemeriksaan hapusan darah tepi (George dkk, 2011).

Identifikasi dini adanya SIRS akibat infeksi sistemik memegang peranan yang sangat penting oleh karena angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan pada SIRS akibat noninfeksi. Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh pemeriksaan seperti CRP, prokalsitonin, dan kultur darah maka temuan neutrofil toksik pada hapusan darah tepi diharapkan mampu mengidentifikasi dini SIRS akibat infeksi oleh karena pemeriksaan tersebut terjangkau, cepat, dan tersedia luas di sarana kesehatan.


(22)

6

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat korelasi antara SIRS akibat infeksi dengan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi pada anak di atas usia 28 hari hingga 12 tahun?

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui adanya korelasi antara SIRS akibat infeksi dengan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi pada anak di atas usia 28 hari hingga 12 tahun.

1.3.2 Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian antara lain :

1. Membuktikan besarnya kekuatan korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi.

2. Membuktikan arah korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi.

3. Membuktikan kemaknaan korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis

Mampu mengidentifikasi secara dini adanya SIRS akibat infeksi melalui gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi. Identifikasi dan penatalaksanaan yang dapat dilakukan lebih awal diharapkan mampu memperbaiki luaran pasien anak dengan SIRS akibat infeksi.


(23)

7

1.4.2 Manfaat akademik

Hubungan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi dengan klinis SIRS terutama SIRS yang diakibatkan oleh infeksi sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Penelitian korelasi yang berusaha mencari kekuatan korelasi antara ke duanya belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencari kekuatan korelasi dan arah korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya.


(24)

8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Respons Inflamasi Sistemik Pada Anak 2.1.1 Epidemiologi

Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons inflamasi tubuh yang bersifat kompleks dan nonspesifik terhadap suatu keadaan yang berbahaya bagi tubuh (Plevkova, 2011; Balk, 2014). Data mengenai epidemiologi SIRS pada anak masih terbatas (Horeczko dan Green, 2013). Sebuah penelitian pada tahun 2000 mendapatkan prevalens SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) The Hospital de Clinicas de Porto Alegre Brazil sebesar 68% (Carvalho dkk, 2005). Pasien anak dengan SIRS yang diakibatkan oleh infeksi sebesar 64% sementara 36% lainnya disebabkan oleh noninfeksi (Carvalho dkk, 2005).

Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2007 hingga 2010 di National Hospital Ambulatory Medical Care Survey (NHAMCS) Amerika Serikat mendapatkan angka kejadian SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun adalah sebesar 21,7%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan bahwa 53% dari keseluruhan kasus SIRS disebabkan oleh infeksi (Horeczko dan Green, 2013). Penelitian lain di Latvia pada tahun 2007 mendapatkan prevalens SIRS pada anak yang dirawat dengan gejala klinis demam adalah sebesar 72% (Pavare dkk, 2009). Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Daniela (2010), sepanjang tahun


(25)

9

2006-2009 di Craiova didapatkan prevalensi pasien anak dengan SIRS dan mengalami sepsis adalah sebesar 78%.

2.1.2 Etiologi

Penyebab SIRS dapat dikelompokkan menjadi dua yakni SIRS yang disebabkan oleh infeksi dan SIRS yang disebabkan oleh noninfeksi. Infeksi bakteri, infeksi pada luka (luka bakar, luka bekas operasi, diabetic foot), kolesistitis, kolangitis, infeksi saluran cerna, pneumonia, infeksi saluran kencing, serta meningitis merupakan beberapa penyakit infeksi yang dapat menimbulkan SIRS. Sindrom respons inflamasi sistemik tidak hanya disebabkan oleh infeksi. Beberapa keadaan noninfeksi juga dapat menyebabkan SIRS antara lain trauma, luka bakar, infark myokard, perdarahan, sirosis, penyakit autoimun, serta reaksi hipersensitivitas baik terhadap obat maupun alergen yang lain (Plevkova, 2011). Sebuah penelitian dilakukan oleh National Hospital Ambulatory Medical Care Survey (NHAMCS) di Amerika Serikat pada tahun 2007 hingga 2010 yang melibatkan 30.650 rumah sakit. Penelitian tersebut mendapatkan angka kejadian SIRS pada anak berusia < 18 tahun yang datang ke rumah sakit adalah 18,1%. Penyebab SIRS terbanyak yang didapatkan pada penelitian tersebut adalah infeksi (53%) (Horeczko dan Green, 2013).

2.1.3 Patofisiologi

Sindrom respons inflamasi sistemik atau SIRS terlepas dari apapun penyebabnya memiliki patofisiologi yang sama. Inflamasi merupakan respons tubuh terhadap stimulus yang berbahaya bagi tubuh baik berupa stimulus kimia, traumatik, maupun agen infeksi. Kaskade inflamasi merupakan suatu proses


(26)

10

kompleks yang melibatkan imunitas humoral, seluler, komplemen, dan berbagai sitokin (Plevkova, 2011).

Trauma, inflamasi, infeksi memicu aktivasi kaskade inflamasi. Pada SIRS yang disebabkan oleh infeksi, kaskade inflamasi dicetuskan oleh endotoksin maupun eksotosin. Makrofag pada jaringan, monosit, sel mast, trombosit, dan sel endotel mampu menghasilkan berbagai sitokin proinflamasi. Tissue necrosis factor-α (TNF- α) dan interleukin (IL)-1 merupakan sitokin pertama yang dilepaskan dan kemudian mencetuskan pelepasan sitokin yang lain. Pelepasan dari TNF- α dan IL-1 menyebabkan pemecahan nuclear factor-K B (NF-K B) inhibitor. Pemecahan dari NF-K B inhibitor menyebabkan produksi mRNA oleh NF-K B yang mampu mencetuskan sitokin proinflamasi yang lain. Apabila SIRS dicetuskan oleh infeksi virus, interferon gamma (IFN ) merupakan stimulus utama yang dilepaskan oleh sel yang terinfeksi oleh virus tersebut (Plevkova, 2011).

Interleukin (IL)-6, IL-8, dan IFN merupakan mediator proinflamasi utama yang dicetuskan oleh NF-K B. Interleukin (IL)-1 dan TNF- α merupakan sitokin yang dilepaskan dalam jumlah besar dalam 1 jam pertama. Kedua sitokin tersebut dapat menyebabkan kerusakan paru berat, hipotensi, demam, serta pelepasan hormon stres (norepinefrin, vasopressin, aktivasi sistem renin-angiotensin-aldostreson). Sitokin lain seperti IL-6 merangsang pelepasan reaktan fase akut yakni C-reactive protein (CRP). Infeksi menyebabkan pelepasan TNF- α yang lebih besar dibandingkan pada saat trauma, sehingga pelepasan IL-6 dan IL-8 juga


(27)

11

menjadi lebih besar. Hal tersebut mendasari terjadinya demam yang lebih tinggi pada infeksi dibandingkan pada saat trauma (Plevkova, 2011).

Tubuh mengadakan berbagai upaya untuk mengkompensasi respons inflamasi yang sifatnya merugikan tersebut melalui mekanisme pelepasan sitokin anti inflamasi seperti TNF receptor, IL-1 receptor type II, inaktivasi komplemen, IL-10, dan IL-4. Selanjutnya akan terjadi apoptosis dari limfosit, perubahan sitokin proinflamasi yang menghasilkan sel T-helper tipe I menjadi sitokin anti inflamasi yang menghasilkan sel T-helper tipe II, dan sel T yang tidak responsif (Kleinpell dkk, 2006).

Semua mekanisme kompensasi tersebut diatur sedemikian rupa secara seimbang untuk mengatasi respons proinflamasi. Apabila respons anti inflamasi terjadi secara berlebihan, maka akan mengakibatkan tubuh tidak mampu untuk melawan mikroorganisme infeksi tersebut (Kleinpell dkk, 2006).

Pada SIRS, keseimbangan antara respons inflamasi dan anti inflamasi terganggu (Aneja dan Carcillo, 2011). Kompensasi terhadap keadaan proinflamasi seringkali terjadi secara berlebihan sehingga terjadi suatu kondisi penekanan sistem imun (imunosupresi). Hal tersebut kemudian mendasari terjadinya gangguan fungsi limfosit, penurunan jumlah limfosit yang berada di sirkulasi dan jaringan pada pasien sepsis (Brown dkk, 2006). Berbagai keadaan tersebut mengakibatkan ketidakmampuan tubuh melawan mikroorganisme dan di sisi lain mengakibatkan ketidakmampuan untuk mencegah kerusakan jaringan. Reaksi proinflamasi yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan jaringan sementara reaksi anti inflamasi yang berlebihan akan menyababkan keadaan imunosupresi.


(28)

12

Ketidakseimbangan kedua reaksi tersebut berperan dalam terjadinya sepsis dan kegagalan organ berganda (Aneja dan Carcillo, 2011).

2.1.4 Diagnosis

Konferensi internasional mengenai diagnosis SIRS pertama kali diselenggarakan pada tahun 1991. Hasil dari konferensi tersebut memiliki kelemahan dalam hal spesifisitas terutama untuk pasien anak. Pada tahun 2001, kembali diselenggarakan International Sepsis Definitions Conference yang melibatkan lebih banyak peneliti dan klinisi dari seluruh dunia. Konferensi tersebut bertujuan untuk memperbaharui berbagai kriteria diagnosis sepsis terutama dalam hal manifestasi klinis (Carvalho dan Trotta, 2003). Namun konferensi pada tahun 2001 tersebut tidak secara spesifik membahas mengenai kriteria diagnosis sepsis pada pasien pediatri. Untuk itu pada bulan Februari tahun 2002 diselenggarakan di San Antonio, Texas yang melibatkan dokter spesialis anak dari seluruh dunia, peneliti yang memiliki pengalaman meneliti kasus sepsis pada anak serta anggota dari U.S Food and Drug Administration. Konferensi tersebut bertujuan untuk menetapkan definisi serta kriteria penegakan diagnosis SIRS dan sepsis yang dapat diterapkan pada populasi anak (Goldstein dkk, 2005).

Definisi SIRS dan disfungsi organ sangat dipengaruhi oleh faktor usia. Untuk itu, konferensi pada tahun 2002 menetapkan 6 kategori tanda vital dan hasil laboratorium berdasarkan usia yakni baru lahir, neonatus, bayi, masa prasekolah, masa sekolah, dan remaja (Tabel 2.1 dan 2.2). Usia tersebut dikategorikan secara


(29)

13

spesifik berdasarkan risiko menderita infeksi berat, rekomendasi pemberian antibiotik, dan fisiologi sistem kardiorespirasi (Goldstein dkk, 2005).

Penegakan diagnosis SIRS secara dini selain merupakan hal yang cukup sulit, juga merupakan tantangan tersendiri bagi para klinisi. Manifestasi klinis SIRS yang bervariasi sehingga sering terlewatkan merupakan salah satu penyebabnya. Identifikasi maupun pengobatan SIRS yang tidak dilakukan sedini mungkin, akan meningkatkan risiko untuk terjadinya kegagalan organ berganda bahkan kematian (Carvalho dan Trotta, 2003). Berdasarkan hal tersebut, maka International Pediatric Sepsis Consensus Conference menetapkan beberapa kriteria yang digunakan untuk menegakkan diagnosis SIRS pada anak seperti yang tertera pada Tabel 2.3 dan 2.4(Goldstein dkk, 2005).

Tabel 2.1 Kategori usia anak berdasarkan International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005)

Baru lahir 0 hari – 7 hari Neonatus 7 hari – 30 hari

Bayi 30 hari – 1 tahun

Masa pra sekolah 2 tahun – 5 tahun Masa sekolah 6 tahun – 12 tahun


(30)

14

Tabel 2.2 Tanda vital dan hasil laboratorium berdasarkan International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005)

Frekuensi Jantung/menit

Usia Takikardi Bradikardi Frekuensi

Napas/menit

Jumlah Leukosit (103/mm3)

Tekanan Darah Sistolik (mmHg) 0 hari – 7

hari

>180 <100 >50 >34 <65

7 hari – 1 bulan

>180 <100 >40 >14,5 atau

<5

<75

30 hari– 1 tahun

>180 <90 >34 >17,5 atau

<5

<100

2 tahun – 5 tahun

>140 Tidak valid >22 >15,5 atau <6

<94

6 tahun – 12 tahun

>130 Tidak valid >18 >13,5 atau <4,5

<105

13 tahun - <18 tahun

>110 Tidak valid >14 >11 atau

<4,5

<117

Terdapat beberapa modifikasi pada kriteria diagnosis SIRS. Salah satu contoh adalah kriteria bradikardi. Bradikardi merupakan salah satu tanda SIRS pada neonatus dan bayi, namun kriteria tersebut tidak valid apabila digunakan pada anak dengan usia yang lebih besar (Goldstein dkk, 2005). Terdapat perbedaan yang mendasar antara kriteria diagnosis SIRS dan sepsis pada anak dan dewasa. Pada anak, diagnosis SIRS baru dapat ditegakkan apabila terdapat abnormalitas suhu atau abnormalitas jumlah leukosit. Jadi SIRS pada anak tidak dapat ditegakkan apabila hanya terdapat peningkatan frekuensi napas dan denyut


(31)

15

jantung, tanpa adanya salah satu dari abnormalitas suhu maupun jumlah leukosit (Goldstein dkk, 2005).

Demam atau pireksia merupakan keadaan suhu tubuh di atas normal sebagai akibat dari peningkatan pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (Soedarmo dkk, 2010). Dalam protokol Kaiser Permanente Appointment and Advice Call Center pada tahun 2000 mendefinisikan demam untuk anak apabila suhu rektal di atas 38˚C, aksila di atas 37,5˚C, membran timpani di atas γ8,β˚C (Goldstein dkk, 2005; Soedarmo dkk, 2010). Namun berdasarkan konsensus internasional sepsis pada anak, digunakan suhu inti tubuh di atas 38,5˚C untuk mendefinisikan demam. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan spesifisitas diagnosis (Goldstein dkk, 2005).

Pengukuran suhu tubuh ditujukan untuk mengukur suhu inti tubuh (Soedarmo dkk, 2010). Syarat suatu pengukuran suhu tubuh yang baik adalah menggunakan metoda pengukuran yang sederhana dan tidak invasif (Kara dkk, 2009). Hal yang sama diungkapkan oleh Pooya dan Kashef (2006) bahwa teknik ideal untuk mengukur suhu tubuh adalah nyaman bagi pasien, cepat, dan akurat untuk menggambarkan suhu inti tubuh.

Nilai suhu tubuh sangat dipengaruhi oleh metabolisme tubuh dan tempat pengukuran. Pengukuran yang dilakukan pada organ yang mendekati permukaan tubuh memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan organ yang lebih dalam Pengukuran temperatur inti tubuh sebaiknya dilakukan pada rektum,oral, atau melaui kateter sentral (Soedarmo dkk, 2010).


(32)

16

Tabel 2.3 Definisi SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik berdasarkan International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005) SIRS ditegakkan apabila terdapat minimal 2 dari 4 kriteria sebagai berikut : (dengan syarat 1 dari 2 kriteria yang terpenuhi tersebut adalah abnormalitas temperatur atau hitung jenis leukosit)

1. Temperatur inti > 38,5˚C atau < γ6˚C

2. Takikardi merupakan rerata frekuensi jantung di atas 2 SD di atas nilai normal berdasarkan usia tanpa disertai rangsangan eksternal (penggunaan obat dan rangsang nyeri), atau peningkatan frekuensi jantung secara menetap selama periode 30 menit hingga 4 jam.

Khusus untuk bayi (usia < 1 tahun), bradikardi merupakan rerata frekuensi jantung di bawah persentil 10 berdasarkan usia selama periode minimal 30 menit, tanpa adanya rangsangan eksternal (rangsangan reflex vagal, penggunaan obat penghambat- , penyakit jantung bawaan)

3. Rerata frekuensi pernapasan diatas 2 SD di atas nilai normal berdasarkan usia 4. Peningkatan maupun penurunan jumlah leukosit berdasarkan usia (bukan merupakan leukopenia akibat dari kemoterapi)

Infeksi merupakan proses patologis yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme patogen atau yang secara potensial dapat menjadi mikroorganisme patogen pada jaringan atau cairan tubuh yang steril dalam keadaan normal .

Infeksi dapat dibuktikan melalui pemeriksaan antara lain hasil positif pada biakan, pewarnaan jaringan, atau reaksi rantai polymerase.

Sepsis merupakan SIRS dengan bukti adanya atau merupakan suatu akibat dari infeksi baik yang sifatnya diduga maupun infeksi yang telah dapat dibuktikan. Sepsis berat merupakan sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular, atau disfungsi respirasi, atau minimal 2 dari disfungsi organ lainnya seperti yang tercantum pada Tabel 2.4.

Syok septik merupakan sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular seperti yang tercantum pada Tabel 2.4.


(33)

17

Tabel 2.4 Kriteria disfungsi organ berdasarkan International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005)

Disfungsi Kardiovaskular

Meskipun dengan pemberian bolus cairan intravena ≥ 40 ml/kgBB, terdapat kondisi: Penurunan tekanan darah di bawah persentil 5 berdasarkan usia, atau tekanan darah sistolik < 2 SD di bawah nilai normal berdasarkan usia

atau

Memerlukan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah dalam rentang normal (dopamin dengan dosis > 5µ g/kgBB/menit atau dobutamin, epinefrin, dan norepinefrin pada semua dosis yang diberikan

atau 2 dari keadaan berikut :

Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan, dengan defisit basa > 5 mEq/L Peningkatan kadar laktat arteri > 2x lipat diatas kadar normal

Oliguri, dengan produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam Pemanjangan waktu pengisian kapiler, yakni > 5 detik Perbedaan antara temperatur inti dan perifer > 3˚C

Disfungsi Respirasi

PaO2/FiO2 < 300 tanpa disertai penyakit jantung bawaan sianotik atau penyakit paru yang mendasari; atau

PaCO2 > 65 atau 20 mmHg diatas batas bawah PaCO2; atau

Memerlukan FiO2 > 50% untuk mempertahankan saturasi perifer ≥ 9β%; atau Memerlukan alat bantu ventilasi mekanik invasif maupun non invasif

Disfungsi Neurologi

Skor Glasgow Coma Scale≤ 11

Perubahan status mental secara akut dengan penurunan skor Glasgow Coma Scale≥ γdari batas bawah yang abnormal

Disfungsi Hematologi

Jumlah platelet < 80.000/mm3 atau penurunan 50% dari jumlah platelet tertinggi selama periode 3 hari

Disfungsi Ginjal

Kadar kreatinin serum ≥ β kali lipat dari batas atas kadar kreatinin serum berdasarkan usia; atau

Peningkatan kreatinin serum 2 kali lipat dari batas bawah kreatinin serum

Disfungsi Hati

Kadar bilirubin total ≥ 4 mg/dL (kriteria ini tidak dapat digunakan pada usia 0 hari sampai 7 hari); atau

Kadar ALT 2 kali lipat diatas nilai normal berdasarkan usia


(34)

18

Pengukuran suhu inti tubuh yang direkomendasikan adalah melalui daerah rektum karena hasilnya yang akurat (Pooya dan Kashef, 2006). Pengukuran suhu tubuh pada membran timpani dan aksila sebaiknya dihindari karena hasil pengukuran yang tidak akurat (Goldstein dkk, 2005). Hal ini berbeda menurut Soedarmo dkk. (2010), yang menyatakan bahwa meskipun pengukuran suhu rektal dianggap sebagai baku emas namun metoda ini memiliki beberapa kelemahan. Pada rektum tidak ditemukan sistem termoregulai sehingga suhu rektal lebih tinggi dibandingkan tempat lain, misalnya arteri pulmonalis. Hal ini juga disebabkan oleh aktivitas metabolik bakteri feses. Suhu rektal juga berubah sangat lambat dibandingkan penurunan suhu inti, sehingga tidak dapat digunakan pada keadaan hipoperfusi. Hasil pengukuran suhu rektal dipengaruhi oleh kedalaman insersi termometer dan ada atau tidaknya feses (Soedarmo dkk, 2010). Pengukuran suhu rektal juga seringkali membuat pasien tidak nyaman dan berbahaya (Pooya dan Kashef, 2006). Risiko pengukuran suhu rektal yang paling sering dijumpai adalah perforasi rektal dan infeksi nasokomial (Soedarmo dkk, 2010).

Rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP) adalah pengukuran suhu tubuh melalui aksila. Pengukuran suhu aksila memiliki beberapa keuntungan antara lain mudah bagi pemeriksa, nyaman bagi pasien, dan yang paling penting adalah memiliki risiko yang paling kecil untuk penyebaran penyakit dibandingkan dengan metoda pengukuran lainnya (Pooya dan Kashef, 2006; Soedarmo dkk, 2010). Hal yang serupa dinyatakan oleh Kara dkk. (2009) bahwa pengukuran suhu tubuh pada daerah aksila dengan menggunakan termometer air raksa memiliki


(35)

19

beberapa kelebihan seperti harganya yang murah dan ketersediaan alat yang luas. Kelemahan dari metoda pengukuran ini terletak pada sensitivitasnya yang rendah dan sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Soedarmo dkk, 2010). Kelemahan lain dari metoda ini adalah memerlukan waktu minimal 5 menit untuk mendapatkan hasil pengukuran yang akurat (Kara dkk, 2009).

Menentukan suhu inti melalui suhu aksila masih menjadi perdebatan sampai saat ini, begitu pula mengenai tingkat akurasinya (Chaturvedi dkk, 2004; Pooya dan Kashef, 2006). Meta analisis dari beberapa penelitian dilakukan untuk membandingkan suhu rektal dan aksila. Sebagian besar penelitian tidak menunjukkan hubungan konsisten antara suhu rektal dan aksila (Chaturvedi dkk, 2004). Rumus untuk menghitung suhu rektal yakni sebagai berikut : (Chaturvedi dkk, 2004)

Suhu rektal (˚C) = 0,99 x suhu aksila (˚C) + 0,8β

Pada penelitian yang dilakukan oleh Pooya dan Kashef (2006), didapatkan bahwa suhu aksila adalah 0,55˚C lebih rendah dibandingkan suhu rektal. Suhu aksila apabila ditambah 0,55˚C mendekati suhu inti tubuh pada daerah rektum. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Chaturvedi dkk. (2004). Perbedaan tersebut didasari oleh perbedaan metodologi penelitian yang digunakan. Pada penelitian Chaturvedi dkk, peneliti mengukur suhu aksila dengan menggunakan termometer air raksa selama 2 menit, sementara pada penelitian Pooya dan Kashef pengukuran dilakukan selama 5 menit. Simpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Pooya dan Kashef adalah bahwa pengukuran suhu aksila aman, nyaman bagi pasien dan mendekati gambaran suhu rektal. Suhu


(36)

20

rektal didapatkan dengan menambahkan 0,55˚C pada suhu aksila setelah dilakukan pengukuran dengan termometer air raksa selama 5 menit (Pooya dan Kashef, 2006).

Selain demam, jumlah leukosit total dalam darah juga merupakan kriteria lain dari SIRS (Goldstein dkk, 2005). Peningkatan maupun penurunan leukosit yang terjadi pada sepsis disesuaikan dengan usia anak oleh karena sertiap kelompok usia memiliki nilai rentang normal yang berbeda (Goldstein dkk, 2005; Pesce, 2007).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui titik potong peningkatan leukosit total dalam darah yang bermakna untuk memprediksi terjadinya infeksi bakteri sistemik. Berdasarkan rekomendasi The American College of Emergency Physicians , leukosit di atas 15.000/mm3 dapat dijadikan salah satu prediktor terjadinya infeksi bakteri sistemik pada anak dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 64%-82% dan 67%-75% (Stephens dkk, 2007). Sementara berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andreola dkk. (2007), titik potong leukosit > 15.000/mm3 memberikan nilai prediksi yang cukup baik dalam memprediksi infeksi bakteri pada anak dengan memberikan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP) dan nilai duga negatif (NDN) masing-masing sebesar 51,6%; 75,5%; 2,11 dan 0,64.

Selain pada keadaan infeksi, leukosit juga mengalami peningkatan pada beberapa keadaan lain. Stres fisiologik seperti pada pasien yang menjalani operasi dengan anastesi umum, mengalami trauma, sindrom gawat napas akut, syok hipovolemik akibat perdarahan maupun dehidrasi dapat menyebabkan


(37)

21

peningkatan jumlah leukosit. Secara umum, pasien yang mengalami stress fisiologik mengalami peningkatan jumlah leukosit mencapai 15.000-19.999 sel/mm3. Namun pada anak dengan sindrom gawat napas akut dapat mengalami peningkatan jumlah leukosit lebih dari 30.000 sel/mm3 (Wanahita dkk, 2002).

Pasien yang mendapat terapi steroid seperti prednison dengan dosis ≥ 40 mg/hari maupun dosis ekuivalennya juga mengalami peningkatan jumlah leukosit yang umumnya berkisar antara 15.000-19.999 sel/mm3. Keganasan hematologi seperti leukemia, limfoma, maupun metastase kanker ke sumsum tulang serta keadaan nekrosis atau inflamasi juga dapat menimbulkan keadaan tersebut (Wanahita dkk, 2002).

2.1.5 Prognosis

Kegagalan multiorgan merupakan salah satu luaran yang dapat terjadi pada pasien dengan SIRS. Disfungsi multiorgan yang paling sering terjadi adalah disfungsi yang berkaitan dengan ginjal, hati, susunan saraf pusat, dan jantung (Plevkova, 2011). Carvalho dkk, meneliti luaran anak dengan SIRS pada tahun 1999 hingga 2000 di Hospital de Clinicas de Porto Alegre. Penelitian tersebut mendapatkan risiko kematian berdasarkan skor Pediatric Risk of Mortality (PRISM) lebih tinggi pada pasien anak dengan SIRS (median 4,15%) dibandingkan anak tanpa SIRS (median 2,65%). Risiko kematian juga lebih tinggi pada pasien SIRS yang disebabkan oleh infeksi (median 6,75%) dibandingkan SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi (median 2,35%) (Carvalho dkk, 2005).

Penelitian tersebut juga mendapatkan angka kematian yang lebih tinggi pada pasien anak dengan diagnosis SIRS pada saat masuk rumah sakit (12%)


(38)

22

dibandingkan pasien anak tanpa SIRS (5,8%). Pada SIRS yang disebabkan oleh infeksi, angka kematian mencapai 14,9% dibandingkan pada SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi yakni sebesar 6,3%. Pada SIRS yang disertai kegagalan multiorgan, angka kematian mencapai 32% (Carvalho dkk, 2005).

Perbedaan secara bermakna juga tampak pada lama rawat inap di Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Pasien dengan SIRS akibat infeksi memiliki median lama rawat adalah 3 hari, sementara median pasien SIRS tanpa infeksi adalah 2 hari (p=0,006) (Carvalho dkk, 2005).

2.2 Neutrofil

2.2.1 Produksi neutrofil

Neutrofil dihasilkan di sumsum tulang melalui suatu proses yang disebut granulaopoeisis (Gambar 2.1 dan 2.2). Sumsum tulang menghasilkan neutrofil secara stabil, yakni sekitar 1-2 x 1011 sel setiap hari pada orang dewasa normal. Produksi neutrofil diatur oleh laju apoptosis di jaringan (Brown dkk, 2006; Borregaard, 2010).

Fagositosis neutrofil yang telah mengalami apoptosis dilakukan oleh makrofag dan sel dendritik di jaringan (Gambar 2.3). Proses fagositosis ini merangsang pengeluaran IL-23 oleh neutrofil. IL-23 kemudian merangsang pengeluaran IL-17A oleh sel T yang terutama berlokasi di nodus limfe mesentrika. IL-17A merupakan sitokin penting untuk merangsang pengeluaran Granulaocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF). Apabila jumlah neutrofil di jaringan meningkat maka produksi dari G-CSF akan menurun (Borregaard, 2010).


(39)

23

Gambar 2.1 Hemopoiesis di sumsum tulang (Dikutip dari Fraser dan Tilyard, 2008)

Gambar 2.2 Granulaositopoiesis di sumsum tulang (Dikutip dari Borregaard, 2010)


(40)

24

Gambar 2.3 Neutrofil di jaringan (Dikutip dari Borregaard, 2010)

2.2.2 Maturasi neutrofil

Neutrofil memerlukan waktu sekitar 8-14 hari untuk menjalani rangkaian pembelahan sel sebanyak 4-6 kali dan melengkapi proses maturasi (Gambar 2.1) (Brown dkk, 2006; Borregaard, 2010). Setelah proses pembelahan sel berakhir dilanjutkan dengan proses maturasi neutrofil selama 3-4 hari. Neutrofil yang telah matur sementara disimpan di storage pool sebelum dilepaskan ke peredaran darah. Neutrofil memerlukan waktu sekitar 12-14 jam untuk berada di peredaran darah (circulating pool) sebelum melakukan kontak dengan dinding pembuluh darah (marginating pool). Apabila tidak terjadi infeksi bakteri, neutrofil kemudian memasuki organ retikuloendotelial seperti hati, atau kembali menuju sumsum tulang untuk mengalami apoptosis. Neutrofil tua kemudian akan mengkerut


(41)

25

menjadi badan apoptosis (apoptotic bodies) dan mengalami fagositosis oleh makrofag lokal. Hal tersebut dapat mencegah kerusakan jaringan akibat faktor lisis yang dilepaskan oleh neutrofil tua tersebut (Brown dkk, 2006).

2.2.3 Mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi

Sinyal spesifik seperti IL-1, IL-3, TNF-α, Colony Stimulating Factor , dan komplemen seperti C3a dan C5a berperan dalam mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi. Dalam keadaan normal, 90% dari neutrofil matur tetap berada di sumsum tulang, 2-3% di sirkulasi, dan sisanya berada di jaringan (Borregaard, 2010).

Retensi dan mobilisasi neutrofil terjadi berkat keseimbangan antara reseptor sitokin CXCR4 yang berperan dalam retensi neutrofil di sumsum tulang dan CXCR2 yang berperan dalam mobilisasi neutrofil ke sirkulasi. Sitokin G-CSF merangsang mobilisasi neutrofil menuju sirkulasi secara tidak langsung dengan cara menurunkan ekspresi SDF-1 oleh sumsum tulang dan meningkatkan ekspresi Gro (Gambar 2.2). Hal tersebut kemudian menyebabkan ketidakseimbangan antara CXCR4 dan CXCR2. Dominasi sinyal CXCR2 menyebabkan terjadinya pelepasan neutrofil menuju ke sirkulasi. Keadaan seperti inflamasi dan infeksi akan meningkatkan laju produksi dan pelepasan neutrofil ke sirkulasi (Borregaard, 2010).

2.2.4 Produksi sitokin oleh neutrofil

Selain merupakan target dari sitokin, neutrofil sendiri juga dapat menghasilkan berbagai jenis sitokin yang bersifat proinflamasi. Berbagai agen dilaporkan dapat menginduksi produksi sitokin. Neutrofil menjadi target dari


(42)

26

berbagai sitokin yang bersifat proinflamasi seperti IL-1, TNF-α, G-CSF, GM-CSF, dan kemokin seperti IL-8. Sitokin-sitokin tersebut meningkatkan fungsi dari neutrofil seperti kapasitas menempel pada sel endotel dan pengiriman sinyal migrasi neutrofil menuju lokasi inflamasi atau infeksi (Witko-Sarsat dkk, 2000).

Interleukin 8 (IL-8) dan TNF-α merupakan sitokin utama yang dihasilkan oleh neutrofil. TNF-α meningkatkan aktivasi oksidan reaktif dan merangsang pelepasan enzim granulasi oleh neutrofil. Sementara IL-8 yang merupakan sitokin terbanyak yang dihasilkan neutrofil menyebabkan peningkatan aktivitas degranulasi dari neutrofil (Witko-Sarsat dkk, 2000).

Seperti halnya sel inflamasi yang lain, aktivitas neutrofil juga diatur oleh berbagai sitokin. Aktivitas neutrofil menghasilkan sitokin diatur oleh sel T helper 1 yakni interferon- (IFN- ). Sementara sitokin yang bertugas menekan aktivitas tersebut diatur oleh sel Thelper 2 yakni IL-4, IL-10, dan IL-13 (Witko-Sarsat dkk, 2000).

2.2.5 Granula neutrofil

Granula merupakan tanda atau hallmark dari granulaosit (eosinofil, basofil, dan neutrofil) yang terbentuk pada saat granulaopoiesis di sumsum tulang (Witko-Sarsat dkk, 2000). Granula merupakan simpanan protein yang dapat digunakan untuk membunuh mikroorganisme patogen. Keberadaan granula menandai peralihan dari myeloblas ke promyelosit. Pembentukan granula berlanjut hingga fase segmentasi pada proses maturasi tercapai (Borregaard, 2010).

Granula neutrofil diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan karakteristik kandungan protein yang dimiliki. Klasifikasi tersebut meliputi granula primer


(43)

27

(azurofil), granula sekunder (spesifik), dan granula tersier (granula gelatinosa) (Borregaard, 2010). Sementara Witko-Sarsat dkk. (2000) mengklasifikasikan granula neutrofil menjadi 4 dengan vesikel sekretorik sebagai tambahannya.

Keempat granula tersebut memiliki perbedaan dalam fase pembentukan dan kandungan protein yang dimiliki (Gambar 2.4). Granula primer terbentuk pada fase promyelosit dan mengandung myeloperoksidase, protease serin, dan protein antibiotik. Granula sekunder yang mengandung laktoferin dan kolagenase terbentuk pada fase myelosit-metamyelosit, sementara granula tersier yang terbentuk pada fase sel band mengandung gelatinase. Vesikel sekretorik tampak pada saat neutrofil telah matur (Borregaard, 2010; Witko-Sarsat dkk, 2010). 2.2.6 Neutrofil pada saat sepsis

Pada manusia, neutrofil merupakan leukosit utama dalam darah (Brown dkk., 2006). Neutrofil menempati 70% dari jumlah leukosit yang berada di sirkulasi (Fraser dan Tilyard, 2008). Neutrofil berperan sebagai lini pertama pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme patogen. Pada tempat terjadinya infeksi, neutrofil berfungsi untuk melakukan fagositosis, menghasilkan metabolit toksik, dan enzim proteolitik. Meskipun membantu dalam eliminasi mikroorganisme patogen, neutrofil juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Gregory dan Wing, 2002).


(44)

28

Gambar 2.4 Granula neutrofil. Elektron mikroskop memperlihatkan neutrofil dengan berbagai granula intrasitoplasma. Granula primer (primary granulae, pg) tampak sebagai granula yang berwarna gelap dengan ukuran relatif besar. Granula

Sekunder (secondary granulae, sg) memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan granula primer. Nukleus (N); mitokondria (m); sentriol (ce)

(Dikutip dari Witko-Sarsat dkk, 2000)

Neutrofil memiliki banyak simpanan enzim proteolitik dan dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif atau ROS (Reactive Oxygen Species) untuk membunuh bakteri patogen. Apabila faktor litik maupun sitokin proinflamasi yang dihasikan neutrofil dilepaskan ke ekstrasel akan menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Pada infeksi bakteri yang bersifat lokal, maka kerusakan jaringan yang terjadi hanya sebatas pada lokasi infeksi tersebut. Sementara pada keadaan sepsis, terjadi infeksi bakteri sistemik yang kemudian mengaktifkan neutrofil secara sistemik sehingga kerusakan jaringan yang terjadi akan lebih luas (Brown dkk, 2006).


(45)

29

Berdasarkan hal tersebut, maka neutrofil diibaratkan seperti pisau bermata dua. Neutrofil di satu sisi sangat berperan dalam eradikasi patogen. Namun di sisi lain, pelepasan oksidan dan protease berlebihan oleh neutrofil justru menyebabkan kerusakan organ (Hotchkiss dan Karl, 2003).

Sitokin yang berperanan dalam mobilisasi neutrofil ke sirkulasi adalah Colony Stimulating Factor (CSF) meliputi Granulaocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF) dan Granulaocyte-Macrophage Stimulating Factor (GM-CSF). Keduanya meningkatkan jumlah neutrofil yang beredar di sirkulasi, mempercepat maturasi, dan memperpanjang umur neutrofil. Pada individu normal, konsentrasi CSF dalam darah adalah sangat rendah. Sementara pada sepsis, konsentrasi G-CSF yang beredar dalam darah meningkat beberapa kali lipat (Brown dkk, 2006).

Sitokin juga mempengaruhi berbagai aspek dari aktivitas neutrofil. TNF-α memiliki aktivitas anti inflamasi dengan merangsang apoptosis dari neutrofil. Berlawanan dengan TNF-α, peningkatan sitokin proinflamasi seperti pada keadaan sepsis terutama IL-1 dan IL-6 dapat memperpanjang umur neutrofil dengan cara menekan apoptosis yang diatur oleh TNF-α (Gregory dan Wing, 2002).

Terdapat 3 bentuk neutrofil dalam tubuh yakni neutrofil dalam keadaan istirahat (resting,unstimulated), neutrofil primer (melawan mikroorganisme maupun produknya dengan nilai ambang lebih rendah dibandingkan yang diperlukan untuk activated neutrophil) dan neutrofil yang teraktivasi atau activated neutrophil. Peralihan neutrofil dari bentuk neutrofil istirahat di sirkulasi menjadi neutrofil teraktivasi di tempat terjadinya infeksi dicetuskan oleh beberapa


(46)

30

hal antara lain C5a, sitokin dan lipopolisakarida. Pada pasien dengan sepsis, neutrofil yang berada di sirkulasi adalah neutrofil dalam bentuk primer. Hal ini dibuktikan dengan tingginya aktivitas neutrofil dan peningkatan ekspresi gen transkripsi nuclear factor kB (NFkB) (Brown dkk, 2006).

Proses apoptosis neutrofil merupakan suatu mekanisme homeostatis. Mekanisme tersebut bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan berlebihan akibat produk yang dihasilkan oleh neutrofil yang telah lisis. Namun pada keadaan inflamasi sistemik, infeksi sistemik (sepsis), sepsis berat, dan kegagalan organ berganda, proses apoptosis dari neutrofil menjadi terhambat. Hal tersebut diakibatkan oleh lipopolisakarida dan lipoteichoic acid serta sitokin proinflamasi yang menyebabkan pemanjangan umur neutrofil melalui mekanisme penempelan pada endotel. Pemanjangan umur neutrofil yang menginfiltrasi jaringan akan meningkatkan terjadinya kerusakan ekstraselular akibat ketidakmampuan neutrofil mengontrol pelepasan radikal oksigen dan enzim proteolitik (Brown dkk, 2006).

Pada pasien sepsis terjadi peningkatan konsentrasi C5a dalam darah yang dapat menyebabkan deaktivasi respons kemotaksis dari neutrofil. Selain itu, peningkatan konsentrasi TNF-α pada pasien sepsis menyebabkan gangguan migrasi dari neutrofil, memperpanjang umur neutrofil dengan menghambat proses apoptosis, serta meningkatkan produksi ROS. Hal tersebut membuktikan bahwa pada sepsis terjadi aktivasi sistemik dari neutrofil yang justru menyebabkan disfungsi dari neutrofil tersebut (Brown dkk, 2006).


(47)

31

Gambar 2.5 Perbedaan respons neutrofil dalam keadaan normal dan pada saat sepsis

(Dikutip dari Brown dkk., 2006)

Sebagai respons terhadap adanya infeksi bakteri, sitokin seperti G-CSF dan GM-CSF akan merangsang migrasi neutrofil dari sumsum tulang (Gambar 2.5). Pada keadaan normal, neutrofil di sirkulasi dalam jumlah besar akan menuju tempat terjadinya infeksi dengan menempel pada endotel yang telah teraktivasi, sebelum migrasi sepanjang gradien konsentrasi dari faktor kemotaksis (seperti C5a, leukotrin B, dan IL-8) yang dihasilkan pada tempat infeksi. Perlawanan terhadap bakteri gram positif dilakukan neutrofil dengan cara mengekpresikan TLR2, sementara TLR4 digunakan neutrofil untuk melawan bakteri gram negatif. Ekspresi kedua reseptor tersebut kemudian akan mengakibatkan fagositosis terhadap bakteri (Brown dkk, 2006).


(48)

32

Pada pasien sepsis, terdapat rangsangan terhadap neutrofil di sirkulasi oleh faktor inflamasi dalam konsentrasi tinggi di sirkulasi (seperti IL-1, TNF-α, G -CSF, C5a, dan oxida nitrat) dan produk dari bakteri (seperti lipopolisakarida dan lipoteichoic acid). Faktor-faktor inflamasi tersebut menyebabkan neutrofil menempel secara kuat pada endotel. Namun beberapa dari faktor inflamasi tersebut juga menekan ekspresi reseptor kemotaksis. Selain menyebabkan ikatan yang sangat kuat dengan endotel, aktivitas faktor inflamasi yang menekan ekspresi reseptor kemotaksis juga menyebabkan neutrofil tidak responsif terhadap reseptor kemotaksis tersebut dibandingkan pada keadaan normal (Brown dkk, 2006).

2.2.7 Gambaran neutrofil toksik

Neutrofil dikatakan mengalami perubahan toksik apabila terdapat salah satu dari gambaran granula toksik, vakuola toksik, dan badan Dohle dalam sitoplasma neutrofil pada pemeriksaan hapusan darah tepi. Gambaran neutrofil toksik terjadi apabila terdapat peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti G-CSF secara sistemik sehingga menyebabkan pemendekan waktu transit neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi (Gambar 2.6). Pada pasien sepsis, neutrofil menunjukkan peningkatan internalisasi dan penghancuran terhadap mikroorganisme sehingga pada hapusan darah tepi dapat dijumpai gambaran vakuola toksik dan granula toksik pada neutrofil (Brown dkk, 2006).

Namun gambaran neutrofil toksik tidak spesifik untuk menandai terjadinya proses infeksi sistemik. Keadaan lain yang menyebabkan peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi di sirkulasi seperti trauma, keracunan obat, dan luka bakar


(49)

33

juga dapat memberikan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi. Granula toksik dan badan Dohle juga dapat dijumpai pada saat kehamilan dan proses peradangan sistemik. Berbeda dengan gambaran granula toksik dan badan Dohle, vakuola toksik pada neutrofil dilaporkan lebih spesifik sebagai tanda adanya sepsis dibandingkan 2 gambaran lainnya (Alqep, 2009).

Gambar 2.6 Patofisiologi terbentuknya gambaran neutrofil toksik (Dikutip dari Alqep, 2009)

Peningkatan sitokin proinflamasi seperti G-CSF dan GM-CSF di sirkulasi menyebabkan proses maturasi neutrofil di sumsum tulang terjadi lebih cepat dan produksi enzim lisosom meningkat sehingga terbentuk granula neutrofil dengan ukuran lebih besar (Gambar 2.6). Granula toksik pada neutrofil merupakan granula primer yang berukuran lebih besar dan berwarna lebih gelap dibandingkan granula neutrofil normal. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi, granula toksik tampak sebagai granula kasar pada sitoplasma neutrofil dan memberikan warna


(50)

34

biru hingga hitam pada pewarnaan (Gambar 2.7). Apabila terdapat granula toksik dalam jumlah besar, maka akan memberikan gambaran neutrofil yang berwarna kebiruan. Gambaran granula toksik dijumpai pada keadaan infeksi maupun inflamasi sistemik (Alqep, 2009).

Gambar 2.7 Granula toksik neutrofil pada pemeriksaan hapusan darah tepi

(Dikutip dari Alqep, 2009)

Vakuola toksik merupakan ruangan jernih yang terdapat pada sitoplasma neutrofil (Gambar 2.8). Keberadaan vakuola tersebut menunjukkan peningkatan aktivitas fagositosis pada neutrofil akibat peningkatan konsentrasi sitokin pro inflamasi, seperti yang dijumpai pada keadaan sepsis. Vakuola tersebut bervariasi dari segi ukuran dan dapat bergabung menjadi satu membentuk vakuola yang lebih besar. Namun seringkali ditemui kesulitan untuk membedakan vakuola toksik dengan vakuola degeneratif. Hal tersebut terjadi akibat penyimpanan darah yang terlalu lama dalam tabung EDTA (Alqep, 2009).


(51)

35

Gambar 2.8 Vakuola toksik neutrofil pada pemeriksaan hapusan darah tepi

(Dikutip dari Alqep, 2009)

Badan Dohle atau Dohles bodies merupakan sisa dari retikulum endoplasma kasar (rough endoplasmic reticulum) yang memberikan warna biru atau abu-abu pada saat pewarnaan. Badan Dohle tidak dijumpai pada sitoplasma granulosit normal. Badan Dohle umumnya berukuran kecil sekitar 1-2µm dan lebih sering ditemukan tunggal sehingga sangat sulit teridentifikasi (Gambar 2.9). Peningkatan sitokin proinflamasi mencetuskan respons sumsum tulang untuk meningkatkan jumlah neutrofil yang dilepaskan ke sirkulasi. Selain sebagai respons sumsum tulang, pada keadaan sepsis juga terjadi peningkatan sitokin G-CSF yang diperlukan untuk pelepasan neutrofil ke sirkulasi (Brown dkk, 2006). Kedua mekanisme tersebut kemudian menyebabkan proses maturasi neutrofil di sumsum tulang menjadi lebih singkat sehingga terbentuk badan Dohle. Selain ditemukan pada keadaan infeksi sistemik, badan Dohle juga ditemukan pada


(52)

36

keadaan inflamasi sistemik, luka bakar, leukemia, kehamilan, dan pasien dengan kemoterapi (Alqep, 2009).

Gambar 2.9 Badan Dohle neutrofil pada hapusan darah tepi (Dikutip dari Alqep, 2009)

2.2.8 Keadaan yang mempengaruhi gambaran neutrofil toksik 2.2.8.1 Imunodefisiensi

Berdasarkan penyebab yang mendasari, terdapat 2 klasifikasi imunodefisiensi yakni imunodefisiensi primer dan sekunder. Imunodefisiensi primer disebabkan akibat kelainan genetik, sementara imunodefisiensi sekunder atau didapat disebabkan oleh infeksi, keganasan, dan penggunaan obat-obatan yang dapat menekan sistem imun seperti steroid dan kemoterapi (Tabel 2.5) (Michaels dan Green, 2007).


(53)

37

Tabel 2.5 Penyebab imunodefisiensi sekunder pada anak (Michaels dan Green, 2007)

Imunodefisiensi Sekunder HIV

Keganasan Transplantasi organ

Luka bakar Diabetes mellitus

Penggunaan obat maupun prosedur imunosupresif (steroid, kemoterapi, dan radioterapi)

Gizi buruk

Secara umum, pada keadaan imunodefisiensi terjadi gangguan pada beberapa aspek dari sistem imun. Namun abnormalitas utama dan paling sering terjadi adalah neutropenia. Kekurangan jumlah neutrofil yang beredar di sirkulasi akan menyebabkan hilangnya respons inflamasi (Michaels dan Green, 2007).

Selain obat-obat kemoterapi, neutropenia juga dapat disebabkan oleh pengobatan dengan radioterapi juga dapat menyebabkan neutropenia. Sebagian besar obat-obatan tersebut merusak sel prekursor sumsum tulang dan menghambat replikasi normal sel-sel di sumsum tulang sehingga menyebabkan neutropenia (Mudita, 2010).

Neutrofil mampu mengenali bakteri maupun produknya, apabila bakteri patogen diselimuti dengan IgG. Reseptor yang memiliki afinitas tinggi terhadap IgG adalah CD64. Reseptor CD64 merupakan petanda neutrofil dalam bentuk teraktivasi dan reseptor tersebut tidak terdapat pada neutrofil dalam bentuk istirahat. Sehingga peningkatan ekspresi resptor CD64 seringkali digunakan sebagai indikator terjadinya sepsis. Terapi steroid mempengaruhi aktivitas neutrofil dengan menekan ekspresi CD64. (Brown dkk., 2006).


(54)

38

Dosis tunggal steroid telah dapat menimbulkan efek pada neutrofil yakni menyebabkan neutrofilia setelah pemberian 4-6 jam. Neutrofilia yang ditimbulkan terjadi akibat peningkatan migrasi neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi dan penurunan neutrofil menuju tempat terjadinya inflamasi maupun infeksi. Steroid juga menghambat pelepasan lisosom hidrolase pada granula neutrofil sehingga menurunkan kemampuan neutrofil dalam membunuh bakteri (Klein dkk, 2001). 2.2.8.2 Usia

Pada masa neonatus, terjadi proses adaptasi dari lingkungan intra uterin ke ekstra uterin, termasuk di dalamnya sistem imun. Pada masa ini, perkembangan sistem imun baik sistem imun alamiah dan adaptif belum berkembang sempurna. Neonatus memiliki cadangan neutrofil yang sedikit di sumsum tulang. Pada keadaan sepsis, neutrofilia umumnya dijumpai hanya pada fase awal sepsis dan berlangsung singkat. Keadaan tersebut akan segera diikuti oleh neutropenia oleh karena cadangan neutrofil tidak memadai (Chirico, 2005).

Pada neonatus juga terjadi penurunan produksi G-CSF dan GM-CSF oleh sel T. Hal tersebut yang kemudian mendasari terjadinya neutropenia pada neonatus selama terjadinya sepsis. Sitokin G-CSF dan GM-CSF merupakan sitokin penting yang berfungsi untuk proliferasi, diferensiasi, dan fagositosis dari granulaosit. Selain itu G-CSF dan GM-CSF juga berfungsi untuk merangsang proses proliferasi progenitor myeloid, meningkatkan simpanan neutrofil di sumsum tulang, serta meningkatkan pelepasan neutrofil ke peredaran darah selama proses infeksi (Chirico, 2005).


(55)

39

Keadaan leukopenia berat juga dijumpai selama fase awal sepsis. Selain penurunan jumlah leukosit selama infeksi berat, abnormalitas polimorfonuklear granulaosit lainnya pada neonatus adalah penurunan kemampuan seperti adhesi, kemotaksis, fagositosis, ekspresi reseptor, produksi metabolisme oksidatif dan kemampuan membunuh bakteri. Penurunan jumlah simpanan neutrofil secara kuantitatif di sumsum tulang selama sepsis serta penurunan kualitas kemampuan fagositosis granulaosit menyebabkan peningkatan risiko neonatus mengalami sepsis berat (Chirico, 2005).

2.2.8.3 Derajat beratnya sepsis

Semakin berat derajat sepsis, sensitivitas gambaran neutrofil toksik akan semakin besar (Gwaisz dan Babay, 2007). Melalui penelitiannya, Gwaisz dan Babay (2007) mencari hubungan antara derajat sepsis dengan sensitivitas neutrofil toksik dengan melibatkan subjek penelitian berusia 2 hari hingga 93 tahun. Sensitivitas granula toksik, vakuola toksik dan badan Dohle pada seluruh pasien masing-masing sebesar 48%, 22%, dan 32%. Pada anak berusia di bawah 1 tahun didapatkan sensitivitas granula toksik, vakuola toksik dan badan Dohle masing-masing sebesar 50%, 27%, dan 10%. Sementara sensitivitas yang lebih tinggi didapatkan pada pasien dengan sepsis berat yakni 78% untuk granula toksik, 37% untuk vakuola toksik, dan 50% untuk badan Dohle.

2.2.8.4 Inflamasi sistemik non infeksi

Keadaan inflamasi sistemik yang bersifat non infeksi seperti trauma, luka bakar, kelainan jantung, dan operasi kardiopulmoner seringkali menyebabkan terjadinya kegagalan organ dengan imunopatologi sama dengan yang terjadi pada


(56)

40

sepsis. Keadaan tersebut juga dapat memberikan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi (Brown dkk, 2006).

2.2.8.5 Kualitas preparat hapusan darah tepi

Interpretasi dari suatu hapusan darah tepi sangat bergantung dengan kualitas preparat itu sendiri. Segera setelah pengambilan darah, dalam 6 jam pertama preparat hapusan darah tepi yang sudah difiksasi dengan methanol selama 15-30 detik harus sudah dikerjakan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah lisisnya neutrofil sehingga mempengaruhi gambaran morfologinya (Alqep, 2009).

2.2.9 Penelitian neutrofil toksik

Gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi untuk mendeteksi suatu infeksi bakteri sistemik sampai saat ini masih menjadi perdebatan (Gwaisz dan Babay, 2007). Menurut Liu dkk. (1984), vakuola toksik dan granula toksik pada neutrofil merupakan parameter hematologi yang akurat dalam menentukan adanya sepsis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Liu dkk. (1984), didapatkan sensitivitas dan spesifisitas vakuola toksik pada neutrofil sebesar 81% dan 93%. Sementara sensitivitas dan spesifisitas granula toksik pada neutrofil didapatkan sebesar 67% dan 90%. Pada tahun 1985, Liu dkk kembali mengadakan penelitian pada pasien anak yang rawat jalan dengan usia di bawah 24 bulan. Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas dan spesifisitas vakuola toksik pada neutrofil sebesar 84% dan 96%. Sementara sensitivitas dan spesifisitas granula toksik pada neutrofil didapatkan sebesar 86% dan 93%. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Kumar dan Singhi (1994), yang mendapatkan nilai sensitivitas dan


(57)

41

spesifisitas granula toksik sebesar 95% dan 89%, dengan melibatkan pasien anak berusia di atas 8 minggu sebagai subjek penelitian.

Sementara melalui penelitian yang dilakukan oleh Setyawati dkk. (2006) disimpulkan bahwa meskipun memiliki nilai sensitivitas diagnosis lebih dari 90% yakni 92%, namun gambaran vakuola dan granula toksik memiliki nilai spesifitas yang rendah yakni 34% dalam mendiagnosis sepsis pada neonatus. Simpulan serupa juga dinyatakan oleh Bhat dan Rao (2010), bahwa vakuola dan granula toksik neutrofil tidak dapat digunakan untuk mendeteksi dini sepsis pada neonatus, dengan nilai sensitivitas hanya 2,8%.


(1)

keadaan inflamasi sistemik, luka bakar, leukemia, kehamilan, dan pasien dengan kemoterapi (Alqep, 2009).

Gambar 2.9 Badan Dohle neutrofil pada hapusan darah tepi (Dikutip dari Alqep, 2009)

2.2.8 Keadaan yang mempengaruhi gambaran neutrofil toksik

2.2.8.1 Imunodefisiensi

Berdasarkan penyebab yang mendasari, terdapat 2 klasifikasi imunodefisiensi yakni imunodefisiensi primer dan sekunder. Imunodefisiensi primer disebabkan akibat kelainan genetik, sementara imunodefisiensi sekunder atau didapat disebabkan oleh infeksi, keganasan, dan penggunaan obat-obatan yang dapat menekan sistem imun seperti steroid dan kemoterapi (Tabel 2.5) (Michaels dan Green, 2007).


(2)

Tabel 2.5 Penyebab imunodefisiensi sekunder pada anak (Michaels dan Green, 2007)

Imunodefisiensi Sekunder

HIV Keganasan Transplantasi organ

Luka bakar Diabetes mellitus

Penggunaan obat maupun prosedur imunosupresif (steroid, kemoterapi, dan radioterapi)

Gizi buruk

Secara umum, pada keadaan imunodefisiensi terjadi gangguan pada beberapa aspek dari sistem imun. Namun abnormalitas utama dan paling sering terjadi adalah neutropenia. Kekurangan jumlah neutrofil yang beredar di sirkulasi akan menyebabkan hilangnya respons inflamasi (Michaels dan Green, 2007).

Selain obat-obat kemoterapi, neutropenia juga dapat disebabkan oleh pengobatan dengan radioterapi juga dapat menyebabkan neutropenia. Sebagian besar obat-obatan tersebut merusak sel prekursor sumsum tulang dan menghambat replikasi normal sel-sel di sumsum tulang sehingga menyebabkan neutropenia (Mudita, 2010).

Neutrofil mampu mengenali bakteri maupun produknya, apabila bakteri patogen diselimuti dengan IgG. Reseptor yang memiliki afinitas tinggi terhadap IgG adalah CD64. Reseptor CD64 merupakan petanda neutrofil dalam bentuk teraktivasi dan reseptor tersebut tidak terdapat pada neutrofil dalam bentuk istirahat. Sehingga peningkatan ekspresi resptor CD64 seringkali digunakan sebagai indikator terjadinya sepsis. Terapi steroid mempengaruhi aktivitas neutrofil dengan menekan ekspresi CD64. (Brown dkk., 2006).


(3)

Dosis tunggal steroid telah dapat menimbulkan efek pada neutrofil yakni menyebabkan neutrofilia setelah pemberian 4-6 jam. Neutrofilia yang ditimbulkan terjadi akibat peningkatan migrasi neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi dan penurunan neutrofil menuju tempat terjadinya inflamasi maupun infeksi. Steroid juga menghambat pelepasan lisosom hidrolase pada granula neutrofil sehingga menurunkan kemampuan neutrofil dalam membunuh bakteri (Klein dkk, 2001). 2.2.8.2 Usia

Pada masa neonatus, terjadi proses adaptasi dari lingkungan intra uterin ke ekstra uterin, termasuk di dalamnya sistem imun. Pada masa ini, perkembangan sistem imun baik sistem imun alamiah dan adaptif belum berkembang sempurna. Neonatus memiliki cadangan neutrofil yang sedikit di sumsum tulang. Pada keadaan sepsis, neutrofilia umumnya dijumpai hanya pada fase awal sepsis dan berlangsung singkat. Keadaan tersebut akan segera diikuti oleh neutropenia oleh karena cadangan neutrofil tidak memadai (Chirico, 2005).

Pada neonatus juga terjadi penurunan produksi G-CSF dan GM-CSF oleh sel T. Hal tersebut yang kemudian mendasari terjadinya neutropenia pada neonatus selama terjadinya sepsis. Sitokin G-CSF dan GM-CSF merupakan sitokin penting yang berfungsi untuk proliferasi, diferensiasi, dan fagositosis dari granulaosit. Selain itu G-CSF dan GM-CSF juga berfungsi untuk merangsang proses proliferasi progenitor myeloid, meningkatkan simpanan neutrofil di sumsum tulang, serta meningkatkan pelepasan neutrofil ke peredaran darah selama proses infeksi (Chirico, 2005).


(4)

Keadaan leukopenia berat juga dijumpai selama fase awal sepsis. Selain penurunan jumlah leukosit selama infeksi berat, abnormalitas polimorfonuklear granulaosit lainnya pada neonatus adalah penurunan kemampuan seperti adhesi, kemotaksis, fagositosis, ekspresi reseptor, produksi metabolisme oksidatif dan kemampuan membunuh bakteri. Penurunan jumlah simpanan neutrofil secara kuantitatif di sumsum tulang selama sepsis serta penurunan kualitas kemampuan fagositosis granulaosit menyebabkan peningkatan risiko neonatus mengalami sepsis berat (Chirico, 2005).

2.2.8.3 Derajat beratnya sepsis

Semakin berat derajat sepsis, sensitivitas gambaran neutrofil toksik akan semakin besar (Gwaisz dan Babay, 2007). Melalui penelitiannya, Gwaisz dan Babay (2007) mencari hubungan antara derajat sepsis dengan sensitivitas neutrofil toksik dengan melibatkan subjek penelitian berusia 2 hari hingga 93 tahun. Sensitivitas granula toksik, vakuola toksik dan badan Dohle pada seluruh pasien masing-masing sebesar 48%, 22%, dan 32%. Pada anak berusia di bawah 1 tahun didapatkan sensitivitas granula toksik, vakuola toksik dan badan Dohle masing-masing sebesar 50%, 27%, dan 10%. Sementara sensitivitas yang lebih tinggi didapatkan pada pasien dengan sepsis berat yakni 78% untuk granula toksik, 37% untuk vakuola toksik, dan 50% untuk badan Dohle.

2.2.8.4 Inflamasi sistemik non infeksi

Keadaan inflamasi sistemik yang bersifat non infeksi seperti trauma, luka bakar, kelainan jantung, dan operasi kardiopulmoner seringkali menyebabkan terjadinya kegagalan organ dengan imunopatologi sama dengan yang terjadi pada


(5)

sepsis. Keadaan tersebut juga dapat memberikan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi (Brown dkk, 2006).

2.2.8.5 Kualitas preparat hapusan darah tepi

Interpretasi dari suatu hapusan darah tepi sangat bergantung dengan kualitas preparat itu sendiri. Segera setelah pengambilan darah, dalam 6 jam pertama preparat hapusan darah tepi yang sudah difiksasi dengan methanol selama 15-30 detik harus sudah dikerjakan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah lisisnya neutrofil sehingga mempengaruhi gambaran morfologinya (Alqep, 2009).

2.2.9 Penelitian neutrofil toksik

Gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi untuk mendeteksi suatu infeksi bakteri sistemik sampai saat ini masih menjadi perdebatan (Gwaisz dan Babay, 2007). Menurut Liu dkk. (1984), vakuola toksik dan granula toksik pada neutrofil merupakan parameter hematologi yang akurat dalam menentukan adanya sepsis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Liu dkk. (1984), didapatkan sensitivitas dan spesifisitas vakuola toksik pada neutrofil sebesar 81% dan 93%. Sementara sensitivitas dan spesifisitas granula toksik pada neutrofil didapatkan sebesar 67% dan 90%. Pada tahun 1985, Liu dkk kembali mengadakan penelitian pada pasien anak yang rawat jalan dengan usia di bawah 24 bulan. Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas dan spesifisitas vakuola toksik pada neutrofil sebesar 84% dan 96%. Sementara sensitivitas dan spesifisitas granula toksik pada neutrofil didapatkan sebesar 86% dan 93%. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Kumar dan Singhi (1994), yang mendapatkan nilai sensitivitas dan


(6)

spesifisitas granula toksik sebesar 95% dan 89%, dengan melibatkan pasien anak berusia di atas 8 minggu sebagai subjek penelitian.

Sementara melalui penelitian yang dilakukan oleh Setyawati dkk. (2006) disimpulkan bahwa meskipun memiliki nilai sensitivitas diagnosis lebih dari 90% yakni 92%, namun gambaran vakuola dan granula toksik memiliki nilai spesifitas yang rendah yakni 34% dalam mendiagnosis sepsis pada neonatus. Simpulan serupa juga dinyatakan oleh Bhat dan Rao (2010), bahwa vakuola dan granula toksik neutrofil tidak dapat digunakan untuk mendeteksi dini sepsis pada neonatus, dengan nilai sensitivitas hanya 2,8%.