TINJAUAN PERSAMAAN LAPLACE DIMENSI DUA DENGAN SYARAT BATAS DIRICHLET DAN ROBIN.

(1)

TINJAUAN PERSAMAAN LAPLACE DIMENSI DUA DENGAN SYARAT BATAS DIRICHLET DAN ROBIN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Oleh: Rini Widya Astuti

12305144042

PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Mulk:1)

Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al Baqarah:286)

Menjadi bahagia tidak harus menunggu semuanya sempurna. Berbahagialah dengan ketidaksempurnaan yang dimiliki. (Anonim)


(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya yang sederhana ini dipersembahkan untuk

Kedua orang tua, Bapak Eriyono dan Ibu Sriati Ambarwati yang telah banyak berkorban demi kebahagiaanku.

Saudara terbaikku, Kak Handoko, Mbak Fetty , dan juga adik mungilku kesha yang selalu memberikan perhatian, maupun pengertiannya.

Bulek Widati dan Om Pur yang sudah aku anggap seperti orang tua kedua. Terimakasih atas kasih sayang dan bantuan yang kalian berikan.

Sahabatku, Mohammad Ahzaul Umam yang selalu ada disaat-saat terbaik maupun terburuk. Terimakasih atas kasih sayang sederhana dan kesabaranmu menghadapiku. Sahabat sekamar, Septiana Dwi Hapsari. Terimakasih telah menjadi ojek tangguhku. Sahabat Edelweizem, Ninik, Tika, kunita, Mbak Pipit, Mbak Evi, Mbak Nur, Jupe,

dan Nurhayati yang telah menjadi keluarga di perantauan. Terimakasih atas segalanya.

Sahabat ingkung, Anita, Ratih, Mada, Isas, Zen, dan Lela. Terimakasih atas semangat, perhatian, dan pengalaman yang kalian berikan.

Teman seperbimbingan, Ahmadi dan Agus Supratama. Terimakasih atas bantuan dan semangatnya.

Matswa 2012 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas pengalaman luar biasa bersama kalian.


(7)

TINJAUAN PERSAMAAN LAPLACE DIMENSI DUA DENGAN SYARAT BATAS DIRICHLET DAN ROBIN

Oleh Rini Widya Astuti NIM. 12305144042

ABSTRAK

Tugas akhir ini bertujuan untuk mengetahui pemodelan persamaan Laplace dimensi dua dan membahas tentang penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua pada koordinat kartesius dan koordinat polar. Syarat batas yang digunakan yaitu syarat batas Dirichlet dan syarat batas Robin.

Tahapan yang dilakukan dalam memodelkan persamaan Laplace dimensi dua yaitu mengambil sebuah bidang berbentuk persegi panjang dengan panjang dan lebar . Kemudian dihubungkan dengan sumber potensial ( ). Bidang tersebut dipartisi menjadi subpartisi yang sangat kecil. Berdasarkan hukum fisika yang menjelaskan hubungan laju aliran potensial (fluks) terhadap perbedaan potensial, maka diperoleh persamaan gradien potensial untuk bidang subpartisi tersebut. Dengan melibatkan penjumlahan fluks pada subpartisi, diperoleh model persamaan Laplace dimensi dua + = 0 dengan dan menggambarkan domain posisi yang terletak diantara 0 sampai dan diantara 0 sampai . Dalam hal ini menunjukkan potensial pada posisi dan .

Setelah diperoleh model persamaan Laplace dimensi dua, berikutnya akan dibahas penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua pada koordinat kartesius dan koordinat polar. Menentukan penyelesaian permasalahan syarat batas Dirichlet dan syarat batas Robin pada bidang persegi panjang. Kemudian akan dilakukan simulasi distribusi suhu untuk kedua permasalahan tersebut dengan mengambil tinjauan lempengan logam berbentuk persegi panjang. Selanjutnya menentukan penyelesaian permasalahan syarat batas Dirichlet pada suatu daerah dalam cakram. Pada kasus ini simulasi distribusi suhu dilakukan dengan mengambil tinjauan lempengan logam berbentuk lingkaran. Simulasi distribusi suhu berupa simulasi untuk grafik dua dimensi maupun tiga dimensi. Dalam mencari penyelesaian masalah syarat batas tersebut digunakan metode separasi variabel.

Kata Kunci: Persamaan Laplace Dimensi Dua, Metode Separasi Variabel, syarat batas Dirichlet, syarat batas Robin.


(8)

(9)

(10)

DAFTAR ISI

TUDUL ... i

PERSETUTUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan Masalah... 4

C. Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan Penulisan ... 5

E. Manfaat Penulisan ... 6

BAB II KATIAN TEORI ... 7

A. Limit ... 7

B. Turunan……….. .. ... 9

C. Turunan Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik ... .. 11

D. Aturan Rantai pada Turunan ... 13

E. Turunan Parsial ... 18

F. Persamaan Diferensial ... 20

G. Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas ... 27


(11)

I. Persamaan Karakteristik ... 31

J. Deret Fourier ... 33

K. Metode Separasi Variabel ... 45

L. Keadaan Steady-State ... 53

BAB III PEMBAHASAN ... 55

A. Pemodelan Persamaan Laplace ... 55

B. Penyelesaian Masalah Syarat Batas Persamaan Laplace pada Koordinat Kartesius dan Polar ... 63

1. Permasalahan Syarat Batas Dirichlet pada Bidang Persegi Panjang ... ... 63

2. Permasalahan Syarat Batas Robin pada Bidang Persegi Panjang ... 85

3. Permasalahan Syarat Batas Dirichlet pada Daerah dalam Cakram ... 97

C. Tinjauan Hasil Simulasi ... 117

BAB IV PENUTUP ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 124


(12)

DAFTAR TABEL


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Ilustrasi Konsep Turunan ... 9

Gambar 3. 1 Bidang Persegi Panjang dengan Sumber Potensial ... 56

Gambar 3. 2 Aliran Fluks ( ) pada Bidang Partisi ... 58

Gambar 3. 3 Syarat Batas Dirichlet pada Bidang Persegi Panjang ... 63

Gambar 3. 4 Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45) ... 72

Gambar 3. 5 Grafik 2D Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45) ... 73

Gambar 3. 6 Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45a)... 77

Gambar 3. 7 Grafik 2D Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45a) ... 78

Gambar 3. 8 Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45b) ... 82

Gambar 3. 9 Grafik 2D Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45b) ... 83

Gambar 3.10 Syarat Batas Robin pada Bidang Persegi Panjang ... 85

Gambar 3.11 Distribusi Suhu pada Persamaan (3.77) ... 95

Gambar 3.12 Grafik 2D Distribusi Suhu pada Persamaan (3.77) ... 96

Gambar 3.13 Syarat Batas Dirichlet pada Daerah dalam Cakram ... 102

Gambar 3.14 Distribusi Suhu pada Persamaan (3.125) ... 112


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45) pada Gambar (3.4).

Lampiran 2 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45) pada Gambar (3.5).

Lampiran 3 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45a) pada Gambar (3.6).

Lampiran 4 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45a) pada Gambar (3.7).

Lampiran 5 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45b) pada Gambar (3.8).

Lampiran 6 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45b) pada Gambar (3.9).

Lampiran 7 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.77) pada Gambar (3.11).

Lampiran 8 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.77) pada Gambar (3.12).

Lampiran 9 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.125) pada Gambar (3.14).

Lampiran 10 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.126) pada Gambar (3.15).


(15)

1 BABBIB PENDAHULUANB

B

A. LatarBBelakangBMasalahB

Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang sering menjadi pedoman untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari dan juga untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai sarana berfikir dalam memecahkan masalah secara logis, sistematis, obyektif, kritis, dan juga rasional, matematika dapat diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu. Permasalahan-permasalahan dalam disiplin ilmu sains maupun teknik telah banyak ditransformasi ke dalam persamaan matematika melalui proses pemodelan matematika. Melalui pemodelan matematika permasalahan yang ada menjadi lebih sederhana dan lebih mudah dicari penyelesaiannya. Salah satu model matematika yang banyak digunakan adalah persamaan diferensial.

Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas (Ross, 1984). Salah satu jenis persamaan diferensial yaitu persamaan diferensial parsial. Persamaan diferensial parsial memegang peranan penting dalam penggambaran keadaaan fisis, dimana besaran-besaran yang terlibat di dalamnya berubah terhadap ruang dan waktu. Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel bebas (Ross, 1984). Dengan kata lain, persamaan ini haruslah melibatkan paling sedikit dua variabel bebas.


(16)

2

Salah satu persamaan diferensial parsial yang merupakan contoh klasik dari persamaan elliptik yaitu persamaan Laplace. Persamaan Laplace merupakan persamaan dasar dari teori potensial dan memegang peranan penting pada ilmu fisika maupun teknik. Persamaan ini dapat digunakan untuk mendeskripsikan perilaku potensial listrik, potensial gravitasi, potensial fluida, maupun suatu aliran suhu yang tidak bergantung pada waktu (Arfken, 1985).Tidak ada nilai awal yang menyertai persamaan Laplace, karena persamaan tersebut tidak bergantung pada waktu atau steady state (Duffy, 2003). Berbeda dengan persamaaan diferensial parsial yang berhubungan dengan waktu seperti persamaan panas dan persamaan gelombang. Meskipun demikian, persamaan ini diikuti dengan syarat batas tertentu.

Penyelesaian masalah persamaan diferensial parsial pada tugas akhir ini menggunakan metode separasi variabel. Pemilihan metode tersebut dikarenakan persamaan Laplace merupakan persamaan yang separabel pada koordinat kartesius, polar, maupun silinder (Greenberg, 1998). Ide dasar metode separasi variabel yaitu transformasi suatu persamaan diferensial parsial kedalam persamaan diferensial biasa, setelah diperoleh persamaan diferensial biasa kemudian diselesaikan sehingga diperoleh penyelesaian dari persamaan diferensial parsial. Dalam penyelesaian persamaan diferensial parsial akan diperoleh penyelesaian secara umum. Untuk memperoleh penyelesaian secara khusus, diperlukan adanya nilai awal dan syarat batas.

Penelitian mengenai persamaan Laplace dimensi dua sudah pernah dilakukan oleh Thoriq Aziz (2013) dengan judul Fungsi Harmonik dan


(17)

3

Penerapan Persamaan Laplace dalam Menyelesaikan Masalah iilai Batas pada Koordinat Polar. Penelitian tersebut membahas tentang penerapan fungsi harmonik digunakan untuk menyelesaikan permasalahan nilai batas Dirichlet pada koordinat polar dalam domain yang berbeda, dimana fungsi harmonik merupakan penyelesaian dari persamaan Laplace. Namun, pada penelitian tersebut lebih menekankan pada perhitungan penyelesaian persamaan Laplace dalam koordinat polar dalam beberapa domain secara matematis.

Salah satu topik pada tugas akhir ini sudah pernah dibahas dalam buku yang berjudul “Boundary Value Problems and Partial Differential Equations” oleh Mayer Humi, namun pada buku tersebut lebih menekankan perhitungan secara matematis. Hal yang serupa juga terlihat dalam buku yang berjudul “Advanced Engineering Mathematics (Second Edition)” oleh Greenberg. Oleh karena itu, tugas akhir ini membahas persamaan Laplace dimensi dua yang lebih menekankan tentang implementasi secara riil dengan syarat batas yang berbeda. Implementasi secara riil yang dimaksud yaitu aplikasi persamaan Laplace pada proses perambatan panas.

Proses pemanasan atau pendinginan pada suatu lempengan logam dua dimensi banyak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja untuk memonitoring kondisi suhu dari suatu bahan dalam pabrik atau industri rumahan. Penggunaan konsep perambatan panas ini sebenarnya menggunakan persamaan diferensial parsial parabolik yaitu persamaan panas yang bergantung terhadap ruang dan waktu. Namun karena proses pemanasan terjadi dalam waktu yang lama, sehingga kondisi sistem mengalami steady state dimana panas tidak


(18)

4

berubah terhadap perubahan waktu secara langsung. Perubahan panas hanya terjadi karena adanya sumber panas yang diletakkan pada batas lempengan logam dan perubahannya hanya tergantung kepada posisi. Sehingga berdasarkan kondisi diatas, permasalahan ini bisa dikaji dengan menggunakan persamaan Laplace.

Kajian yang dimaksud pada penelitian ini meliputi pemodelan persamaan Laplace serta penentuan penyelesaian untuk permasalahan syarat batas dengan metode separasi variabel. Syarat batas yang digunakan yaitu syarat batas Dirichlet dan syarat batas Robin. Simulasi proses perambatan panas dilakukan pada lempengan logam dua dimensi, sehingga akan melibatkan persamaan Laplace yang berdimensi dua pula. Terdapat dua sistem koordinat yang bersesuaian dengan persamaan diferensial yang berdimensi dua yaitu sistem koordinat kartesius dan koordinat polar. Dalam hal ini bidang dua dimensi berbentuk persegi panjang untuk sistem koordinat kartesius dan berupa cakram untuk sistem koordinat polar.

B. BatasanBMasalahB

Beberapa pembatasan ruang lingkup permasalahan yang perlu diperhatikan dalam tugas akhir ini yaitu sebagai berikut.

1. Persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet dan Robin. 2. Penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua menggunakan metode separasi


(19)

5

C. RumusanBMasalahB

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, sehingga dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana model persamaan Laplace dimensi dua?.B

2. Bagaimana penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet pada bidang persegi panjang?B

3. Bagaimana penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Robin pada bidang persegi panjang?B

4. Bagaimana penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet pada daerah dalam cakram?B

B

D. TujuanBPenulisanB

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut.

1. Menjelaskan model persamaan Laplace dimensi dua.

2. Menjelaskan penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet pada bidang persegi panjang.B

3. Menjelaskan penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Robin pada bidang persegi panjang.B

4. Menjelaskan penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet pada daerah dalam cakram.B

B B


(20)

6

E. ManfaatBPenulisanB

Manfaat dari penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut

1. Bagi Mahasiswa, menambah pengetahuan tentang model persamaan Laplace dimensi dua, mampu menyelesaikan persamaan Laplace dimensi dua sehingga dapat diperoleh penyelesaian dari persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet maupun syarat batas Robin.

2. Bagi Universitas, mampu memberikan tulisan yang berkualitas tentang persamaan Laplace dimensi dua dan beberapa kasus persamaan Laplace dimensi dua.

3. Bagi pembaca, mampu memberikan tambahan referensi mengenai persamaan Laplace dimensi dua dan penyelesaiannya.


(21)

BAB II KAJIAN TEORI

Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika, antara lain tentang Limit, Turunan, Turunan Fungsi Trigonometri dan Fungsi Hiperbolik, Aturan Rantai pada Turunan, Turunan Parsial, Persamaan Diferensial, Persamaan Diferensial Biasa, Persamaan Diferensial Parsial, Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas, Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen, Deret Fourier, Metode Separasi Variabel, dan Keadaan Steady State.

A. Limit

Pemikiran tentang limit yang menyatakan bahwa berarti

bahwa selisih antara dan dapat dibuat sekecil mungkin dengan mensyaratkan bahwa cukup dekat, tetapi tidak sama dengan (Purcell, 2010). Definisi 2.1 Limit (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010)

Diberikan yang artinya untuk setiap yang nilainya sangat kecil, terdapat sedemikian sehingga dengan syarat atau dengan kata lain


(22)

Contoh 2.2 Akan dibuktikan bahwa

Analisis Pendahuluan:

Akan ditentukan nilai dari , sebagai berikut

sehingga

Berdasarkan Persamaan (2.1) diperoleh nilai dari

Bukti baku:

Andaikan nilai dari , dan dipilih nilai dari , sehingga didapatkan


(23)

B. Turunan

Konsep dasar dari turunan adalah perubahan suatu fungsi dalam sesaat. Gambar (2.1) berikut diilustrasikan tentang konsep dari turunan. Misalkan terdapat , dan dimana , serta .

Gambar (2.1) Ilustrasi Konsep Turunan Berdasarkan Gambar (2.1) diperoleh

Apabila nilai diperkecil mendekati nol, sehingga Persamaan (2.2) menjadi


(24)

Jika nilai limit ini ada, maka nilai limit tersebut disebut dengan turunan (perubahan nilai suatu fungsi sesaat) dari di .

Definisi 2.3 Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010)

Turunan pertama fungsi dinotasikan dengan yang nilainya pada

sebarang adalah

dengan syarat nilai limit dari f(x) ada.

Notasi dari turunan disimbolkan dengan notasi Leibniz

atau notasi prima atau bisa dinotasikan sebagai atau .

Sebagai ilustrasi dari definisi turunan tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.4 Akan ditentukan turunan pertama dari . Menurut Definisi (2.3), sehingga

Jadi, turunan pertama dari adalah 3.


(25)

C. Turunan Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik

Adapun aturan-aturan atau teorema pencarian turunan fungsi trigonometri adalah sebagai berikut.

Teorema 2.5 Turunan Fungsi Sin (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika , maka .

Bukti:

Berdasarkan Definisi (2.3), sehingga

Terbukti.

Teorema 2.6 Turunan Fungsi Cos (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika , maka .

Bukti:

Berdasarkan Definisi (2.3), sehingga


(26)

Terbukti.

Aturan-aturan atau teorema pencarian turunan fungsi hiperbolik adalah sebagai berikut.

Bentuk lain dari , sementara .

Teorema 2.7 Turunan Fungsi Sinh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika , maka .

Bukti:

Karena bentuk lain dari adalah , sehingga


(27)

Terbukti.

Teorema 2.8 Turunan Fungsi Cosh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika , maka

Bukti:

Karena bentuk lain dari adalah , sehingga

Terbukti.

D. Aturan Rantai pada Turunan

Sebelum membahas teorema aturan rantai pada turunan, perlu diketahui sifat dasar dari suatu turunan. Dalam hal ini akan ditunjukkan hubungan antara keberadaan turunan suatu fungsi pada titik terhadap kekontinuan suatu fungsi tersebut pada titik .

Teorema 2.9 Kekontinuan Fungsi (Bartle, 2000)


(28)

Bukti:

Diberikan interval , dan berlaku . Akan dibuktikan bahwa

kontinu pada dengan menunjukkan bahwa mendekati ketika . Untuk setiap , sedangkan , sedemikian sehingga

Karena ada, maka nilai limitnya ada. Sehingga diperoleh

Karena selisih mendekati 0 ketika , dapat disumpulkan bahwa . Sehingga kontinu pada .

Terbukti.

Pernyataan-pernyataan berikut merupakan ringkasan dari hubungan antara kekontinuan dan turunan.

(i) Jika suatu fungsi memiliki turunan pada , maka fungsi tersebut kontinu pada . Sehingga, turunan mengakibatkan kekontinuan.


(29)

(ii) Ada kemungkinan suatu fungsi kontinu pada , tetapi tidak memiliki turunan pada . Sehingga, kekontinuan tidak menjamin adanya turunan.

Sebagai ilustrasi dari teorema kekontinuan tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.10 Diberikan fungsi 1. untuk

Merupakan fungsi yang memiliki turunan pada , sehingga fungsi tersebut kontinu pada . Karena jika diambil diperoleh .

2. untuk .

Merupakan fungsi yang kontinu, tetapi tidak punya turunan pada . Karena untuk diperoleh,

untuk dan

untuk . Namun untuk nilai limitnya tidak terdefinisi. Sehingga fungsi tersebut tidak punya turunan pada .

Aturan rantai dapat digunakan untuk mempermudah penurunan suatu fungsi komposit. Fungsi komposit merupakan suatu fungsi yang variabel bebasnya adalah suatu fungsi juga.


(30)

Teorema 2.11 Aturan Rantai pada Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010)

Misalkan dan . Jika g terdiferensiasikan di dan terdiferensiasikan di , maka fungsi komposit , yang didefinisikan oleh adalah terdiferensiasikan di dan

yakni atau Bukti:

Misalkan bahwa dan , bahwa terdiferensiasikan di dan bahwa terdiferensiasikan di Ketika diberikan pertambahan , terdapat pertambahan yang berkorespondensi dalam dan yang diberikan oleh

Jadi,


(31)

Berdasarkan Teorema (2.9) yang menyatakan bahwa jika punya turunan di , maka kontinu di , sehingga . Hal tersebut mengakibatkan , mengingat merupakan fungsi atas . Oleh karena itu,

Terbukti.

Pada penulisan bab III, aturan rantai digunakan dalam proses pengubahan persamaan Laplace dari koordinat kartesius ke dalam koordinat polar. Sebagai ilustrasi dari teorema mengenai aturan rantai pada turunan tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.12 Diberikan fungsi

.

Akan ditentukan turunan pertama dari fungsi sebagai berikut.

Fungsi dapat dinyatakan sebagai dengan dan

. Karena dan

sehingga


(32)

Apabila menggunakan notasi Leibnitz, maka turunan dapat ditentukan sebagai berikut.

Jika dimisalkan , dengan , maka

dan . Sehingga

E. Turunan Parsial

Turunan parsial merupakan turunan dari sebuah fungsi dari beberapa variabel terhadap salah satu variabel bebasnya, dengan menganggap semua variabel bebas yang lainnya konstan (Spiegel, 1992).

Definisi 2.13 Turunan Parsial (Spiegel, 1992)

Misalkan suatu fungsi merupakan fungsi dari dua variabel dan , turunan

parsial dari terhadap dan berturut-turut dinyatakan oleh dan , dengan definisi: serta


(33)

Andaikan bahwa adalah suatu fungsi dua variabel dan , dengan menganggap konstan, maka adalah fungsi satu variabel . Turunan fungsi di disebut turunan parsial terhadap di dan dinyatakan oleh . Jadi

Dengan cara yang sama, turunan parsial terhadap di dinyatakan

dengan dan diberikan oleh

Sebagai ilustrasi dari definisi turunan parsial tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.14 Akan ditentukan dan

dari fungsi

Menurut Definisi (2.13) sehingga diperoleh


(34)

dan

F. Persamaan Diferensial

Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang persamaan diferensial. Definisi 2.15 Persamaan Diferensial (Ross, 1984)

Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.


(35)

Berdasarkan banyaknya variabel bebas, persamaan diferensial dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Berikut diberikan definisi persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial.

Definisi 2.16 Persamaan Diferensial Biasa (Ross, 1984)

Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.

Definisi 2.17 Persamaan Diferensial Parsial (Ross, 1984)

Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel bebas.

Persamaan diferensial biasa (PDB) dinotasikan dengan notasi Leibniz

atau notasi prima , atau bisa juga dinotasikan dengan . Persamaan diferensial parsial (PDP) dinotasikan dengan

untuk turunan pertama fungsi atas variabel tak bebas terhadap variabel bebas . Untuk turunan parsial kedua, ketiga dan seterusnya sampai turunan ke berturut-turut dinotasikan sebagai

.

Persamaan diferensial parsial juga bisa dinotasikan dengan untuk turunan kedua fungsi atas variabel tak bebas terhadap variabel bebas .


(36)

Definisi 2.18 Order Persamaan Diferensial (Ross, 1984)

Order persamaan diferensial adalah order tertinggi dari semua turunan yang terdapat pada persamaan diferensial tersebut.

Definisi 2.19 Derajat Persamaan Diferensial (Ross, 1984)

Derajat persamaan diferensial adalah pangkat tertinggi dari order tertinggi dari semua turunan pada persamaan diferensial.

Sebagai ilustrasi dari definisi order dan derajat persamaan diferensial parsial tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.20 Berikut ini contoh persamaan diferensial

(1)

, merupakan persamaan diferensial biasa berorder 2 dan berderajat 1.

(2)

, merupakan persamaan diferensial parsial

berorder 2 dan berderajat 2.

Berdasarkan hubungan antara variabel tak bebas dan turunan-turunannya, persamaan diferensial order dibagi menjadi dua yaitu persamaan diferensial linear dan persamaan diferensial non linear.

Definisi 2.21 Persamaan Diferensial Linear (Ross, 1984)

Persamaan diferensial linear order dengan variabel bebas dan variabel tak bebas dapat dinyatakan sebagai berikut


(37)

dengan .

Persamaan diferensial dikatakan muncul dalam bentuk linear jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:

(i) derajat dari variabel tak bebas dan turunan-turunannya adalah satu

(ii) tidak ada perkalian antara variabel tak bebas dengan turunan-turunannya dan perkalian antara turunan dengan turunannya

(iii) tidak ada fungsi transenden dari variabel-variabel tak bebas.

Persamaan diferensial yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut disebut persamaan diferensial non linear.

Diberikan persamaan diferensial parsial linear order dengan satu variabel tak bebas dan dua variabel bebas dan yang terdefinisi pada domain

didefinisikan sebagai berikut:

dengan , dan fungsi dan konstanta yang diberikan dalam variabel dan .

Definisi 2.22 Persamaan Diferensial Homogen (Humi, 1992)


(38)

Contoh 2.23 Berikut ini contoh-contoh persamaan diferensial

(1)

(2)

(3)

(4)

Contoh 2.23 (1) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder enam, berderajat satu, linear, dan homogen.

Contoh 2.23 (2) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder tiga, berderajat dua, non linear, dan non homogen

Contoh 2.23 (3) merupakan persamaan diferensial parsial, berorder tiga, berderajat satu, linear, dan homogen,

Contoh 2.23 (4) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder dua dan berderajat satu, non linear, dan homogen,

Selanjutnya akan diberikan teorema mengenai prinsip superposisi yang berlaku untuk persamaan diferensial homogen berorder .

Teorema 2.24 Prinsip Superposisi (Dennis G Zill, 2005)

Jika adalah penyelesaian dari persamaan diferensial homogen berorde dari Persamaan (2.3) pada interval I, maka kombinasi linearnya adalah


(39)

dengan untuk adalah konstanta, juga penyelesaian dalam interval I.

Bukti:

Misalkan didefinisikan sebagai operator diferensial dan

adalah penyelesaian dari persamaan diferensial homogen, sehingga Jika didefinisikan

, maka linearitas dari adalah

karena nilai dari maka

Terbukti.

Persamaan diferensial parsial linear order dua dengan variabel tak bebas dan variabel bebas dan , yang terdefinisi pada domain mempunyai bentuk umum sebagai berikut


(40)

Definisi 2.25 Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial (Humi, 1992)

Persamaan diferensial (2.4) disebut

(i) elliptik jika untuk semua

(ii) parabolik jika untuk semua

(iii) hiperbolik jika untuk semua

Sebagai ilustrasi dari definisi klasifikasi persamaan diferensial parsial linear order dua tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.26 Persamaan diferensial

(1) Laplace

merupakan persamaan diferensial elliptik,

karena

(2) Panas

merupakan persamaan diferensial parabolik, karena

(3) Gelombang

merupakan persamaan diferensial

hiperbolik, karena


(41)

G. Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas

Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian Nilai Awal, Syarat Batas serta Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas yang menyertai suatu persamaan diferensial parsial. Mengingat apabila persamaan diferensial diselesaikan, maka akan diperoleh suatu penyelesaian umum. Namun untuk memperoleh penyelesaian khusus diperlukan adanya nilai awal dan syarat batas.

Menurut (Humi, 1992) yang dimaksud dengan nilai awal adalah kondisi yang harus dipenuhi pada awal waktu tertentu . Dalam hal ini persamaan Laplace merupakan persamaan yang tidak disertai dengan nilai awal, karena persamaan Laplace tidak bergantung pada waktu. Sebagai contoh dari pengertian nilai awal tersebut, diberikan suatu persamaan panas dengan nilai awal . Nilai awal menyatakan bahwa suhu pada posisi

saat waktu adalah

Syarat Batas adalah suatu syarat atau kondisi yang harus dipenuhi pada batas-batas domain terkait dengan ruang (Humi, 1992). Sebagai ilustrasi, diberikan suatu persamaan panas dengan syarat batas dan

. Syarat batas menunjukkan bahwa suhu pada posisi saat waktu dipertahankan sebesar nol derajat, sedangkan

menunjukkan bahwa

perubahan suhu terhadap posisi saat waktu dipertahankan nol derajat.

Selanjutnya akan diuraikan mengenai jenis-jenis syarat batas untuk persamaan diferensial parsial order dua. Diberikan domain dengan dan merupakan titik-titik batas . Bentuk umum syarat batas adalah


(42)

dan

dengan

sebarang konstanta. Dalam (Humi, 1992) syarat batas dikatakan

(i) Dirichlet jika syarat batasnya memberikan nilai dari sebarang fungsi pada atau dapat ditulis dan dengan dan fungsi dalam variabel .

(ii) Neumann jika syarat batasnya memberikan nilai turunan terhadap pada atau dapat ditulis

dan

dengan dan fungsi dalam variabel .

(iii) Robin jika syarat batasnya memberikan relasi linear antara dengan

pada atau dapat ditulis

dan

dengan sebarang konstanta serta dan fungsi dalam variabel . Sebagai ilustrasi mengenai jenis-jenis syarat batas tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.27 Diberikan persamaan diferensial

. Syarat batas

(1) merupakan Syarat Batas Dirichlet. (2)

merupakan Syarat Batas Neumann.

(3)


(43)

Selanjutnya akan diuraikan mengenai Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas atau disingkat MNASB. Masalah yang bersesuaian dengan persamaan diferensial parsial akan rumit jika jumlah penyelesaian independen untuk persamaan tersebut adalah tak terbatas (Humi, 1992). Sehingga formulasi lengkap dari sistem fisik dalam hal persamaan diferensial parsial membutuhkan perhatian tidak hanya untuk persamaan yang mengatur sistem tetapi juga untuk perumusan yang benar dari kondisi batas maupun kondisi awal. Masalah nilai awal dan syarat batas adalah masalah yang terdiri dari suatu persamaan diferensial yang dilengkapi dengan nilai awal dan syarat batas. Kemudian jika masalah nilai awal dan syarat batas tersebut diselesaikan maka akan diperoleh penyelesaian khusus.

Sebagai ilustrasi mengenai pengertian masalah nilai awal dan syarat batas tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.28 Diberikan sebuah senar dengan panjang yang diikat pada kedua ujungnya. Kemudian senar tersebut dipetik. Pergerakan senar pertama kali (saat ) mempunyai fungsi posisi untuk , sehingga diperoleh nilai awal . Setelah dipetik, pergerakan di kedua ujung senar yang terikat pada dan dipertahankan nol untuk . Sehingga diperoleh syarat batas dan

Jadi diperoleh Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas sebagai berikut


(44)

dan syarat batas

H. Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen

Definisi 2.29 Masalah Sturm-Liouville (Dean G. Duffy, 2003) Diberikan persamaan diferensial linear berorde 2 berikut ini

dengan syarat batas

Dalam hal ini nilai dari dan merupakan fungsi bilangan real atas sedangkan adalah suatu parameter. Nilai dari merupakan suatu konstanta real, sedangkan nilai dari dan merupakan suatu fungsi yang kontinu dan positif yang terletak pada interval Persamaan (2.5) disebut sebagai persamaan Sturm-Liouville dan bersama-sama dengan syarat batas pada Persamaan (2.6) dan (2.7), membentuk suatu Masalah Sturm-Liouville.

Jika diperhatikan pada Persamaan (2.5), masalah tersebut mempunyai penyelesaian untuk setiap nilai yaitu , . Penyelesaian tersebut dinamakan dengan penyelesaian trivial. Tetapi akan diperoleh penyelesaian lain yang tak nol jika mengambil nilai tertentu, maka penyelesaian


(45)

tersebut dinamakan penyelesaian non trivial. Nilai yang bersesuaian dinamakan nilai eigen dan fungsinya disebut sebagai fungsi eigen.

I. Persamaan Karakteristik

Diberikan persamaan diferensial homogen berorder dua dengan variabel tak bebas dan variabel bebas yang terdefinisi pada domain sebagai berikut

dengan dan merupakan suatu konstanta. Untuk memudahkan mencari

penyelesaian Persamaan (2.8) diperlukan suatu persamaan karakteristik yang sepadan dengan persamaan tersebut. Persamaan karakteristik dapat diperoleh dengan melakukan subtitusi

dan berturut-turut oleh dan . Sehingga dalam hal ini persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.8) adalah

Persamaan karakteristik yang diperoleh berupa persamaan pangkat biasa yang dapat diselesaikan dengan melakukan pemfaktoran sehingga diperoleh akar-akar karakteristik. Secara umum, akar-akar-akar-akar karakteristik dari suatu persamaan diferensial linear homogen orde 2 menurut (Ross, 1984) dibedakan menjadi tiga, yaitu

1. Akar-akar karakteristik riil berbeda.

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) adalah

dan dengan , maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9)


(46)

2. Akar-akar karakteristik riil kembar.

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) suatu akar riil kembar yaitu , maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9) adalah

3. Akar-akar karakteristik bilangan kompleks.

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) adalah

dan , maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9)

adalah

Sebagai ilustrasi dari definisi persamaan karakteristik dan akar-akar karakteristik tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.30

1. Akan ditentukan penyelesaian umum dari

Persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.13) adalah

dan

Karena diperoleh akar-akar karakteristik riil berbeda, sehingga berdasarkan Persamaan (2.10) diperoleh penyelesaian umum Persamaan (2.13) sebagai berikut


(47)

2. Akan ditentukan penyelesaian umum dari

Persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.14) adalah

.

Karena diperoleh akar-akar karakteristik riil kembar, sehingga berdasarkan Persamaan (2.11) diperoleh penyelesaian umum Persamaan (2.13) sebagai berikut

J. Deret Fourier

Pada bagian ini akan dibahas mengenai Deret Fourier. Definisi 2.31 Fungsi Periodik (Humi, 1992)

Diberikan fungsi yang terdefinisi untuk setiap . Fungsi dikatakan periodik dengan periode jika , dengan

Contoh 2.32

(1) Fungsi adalah fungsi yang periodik dengan periode 2 . Sebab

.

(2) Fungsi adalah fungsi yang periodik dengan periode .

Sebab


(48)

Definisi 2.33 Deret Fourier (Humi, 1992)

Diberikan fungsi yang terdefinisi pada interval . Deret Fourier fungsi tersebut adalah

dengan

dan

Contoh 2.34 Akan ditentukan Deret Fourier dari

Berdasarkan Definisi (2.33) tentang Deret Fourier, sehingga diperoleh nilai dari


(49)

Jadi, Deret Fourier dari adalah

(Mayer Humi & William B. Miller, 1992).

Kemudian diberikan definisi fungsi genap dan fungsi ganjil.

Definisi 2.35 Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil (Humi, 1992)

Diberikan fungsi terdefinisi pada interval . Fungsi dikatakan sebagai fungsi genap jika pada interval dan dikatakan sebagai fungsi ganjil jika pada interval .


(50)

Contoh 2.36

1. Fungsi merupakan fungsi ganjil, karena untuk setiap pada interval .

2. Fungsi merupakan fungsi genap, karena untuk setiap pada interval .

3. Fungsi bukan merupakan fungsi genap maupun fungsi ganjil

karena

Kemudian dibahas mengenai Deret Fourier sinus dan Deret Fourier cosinus.

Teorema 2.37 Deret Fourier Sinus (Humi, 1992)

Diberikan fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi ganjil pada interval Jika Deret Fourier dari ada, maka Deret Fourier tersebut berbentuk

dengan


(51)

Bukti:

Diketahui fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi ganjil pada interval Deret Fourier dari ada, sehingga Deret Fourier tersebut adalah

dengan

Dimisalkan , sehingga diperoleh


(52)

Karena merupakan fungsi ganjil dan merupakan fungsi

genap, sehingga diperoleh

dan


(53)

Karena merupakan fungsi ganjil dan merupakan fungsi ganjil, diperoleh

Jadi terbukti bahwa Deret Fourier untuk adalah

dengan

Deret Fourier ini disebut Deret Fourier sinus fungsi .

Contoh 2.38 Diberikan fungsi


(54)

Akan ditentukan Deret Fourier sinus untuk fungsi tersebut.

Berdasarkan Teorema 2.37 maka Deret Fourier sinus dari fungsi adalah

dengan

Jadi, Deret Fourier dari adalah


(55)

Teorema 2.39 Deret Fourier Cosinus (Humi, 1992)

Diberikan fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi genap pada interval Jika Deret Fourier dari ada, maka Deret Fourier tersebut berbentuk

dengan

Bukti :

Diketahui fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi genap pada interval Deret Fourier dari ada, sehingga Deret Fourier tersebut adalah

dengan


(56)

Dimisalkan , sehingga diperoleh

karena merupakan fungsi genap, maka


(57)

Karena dan merupakan fungsi genap, sehingga diperoleh

Jadi terbukti bahwa Deret Fourier untuk adalah

dengan

Torema 2.39 disebut juga deret Fourier cosinus.


(58)

Contoh 2.40 Diberikan fungsi

Akan ditentukan Deret Fourier cosinus untuk fungsi tersebut.

Berdasarkan Teorema 2.39 maka Deret Fourier cosinus dari fungsi adalah

dengan

dan


(59)

Jadi Deret Fourier cosinus dari fungsi adalah

K. Metode Separasi Variabel

Metode Separasi Variabel adalah metode untuk mencari penyelesaian persamaan diferensial dengan cara mengasumsikan penyelesaian tersebut merupakan perkalian dari fungsi-fungsi variabel bebas yang ada pada persamaan diferensial tersebut. Metode separasi variabel bertujuan untuk mereduksi persamaan diferensial parsial yang diberikan menjadi bentuk persamaan diferensial biasa. Dengan demikian persamaan diferensial parsial tersebut lebih mudah untuk dicari penyelesaiannya.


(60)

Diberikan persamaan diferensial linear homogen dengan variabel bebas dan , serta variabel tak bebas yang dilengkapi dengan syarat batas tertentu. Diasumsikan penyelesaian dari persamaan diferensial tersebut adalah Langkah-langkah penyelesaian persamaan diferensial tersebut dengan metode separasi variabel yaitu sebagai berikut (Humi, 1992):

1. Persamaan disubstitusi ke persamaan diferensial. 2. Hasil dari langkah (1) dibagi dengan .

3. Jika hasil dari langkah (2) dapat dinyatakan sebagai jumlahan suku-suku yang hanya tergantung dari dan suku-suku yang hanya tergantung dari , maka dengan konstanta pemisah atau akan didapat sistem dua persamaan diferensial biasa.

4. Gunakan syarat batas yang diberikan untuk menentukan syarat batas untuk persamaan diferensial biasa dari langkah (3).

5. Selesaikan persamaan diferensial (Masalah syarat Batas) hasil dari langkah (3) dan langkah (4).

6. Diperoleh , yang merupakan penyelesaian dari

persamaan diferensial di atas. Kemudian dengan prinsip superposisi ditentukan penyelesaian umumnya.

7. Gunakan nilai awal yang diberikan, kemudian ditentukan penyelesaian Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas.

Contoh 2.41 Diberikan persamaan diferensial parsial


(61)

dengan syarat batas

dan nilai awal

Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas (2.15) sampai (2.17) akan diselesaikan dengan menggunakan metode Separasi Variabel. Jika diasumsikan adalah penyelesaian dari MNASB di atas maka langkah-langkah penyelesaiannya sebagai berikut:

1. Persamaan disubstitusikan ke Persamaan (2.15)

sehingga diperoleh

2. Persamaan (2.18) dibagi dengan sehingga diperoleh

atau

3. Untuk mendapatkan dua persamaan diferensial biasa dari Persamaan (2.19),

digunakan konstanta pemisah – sehingga

Dari Persamaan (2.20) diperoleh dua persamaan diferensial biasa yaitu


(62)

dan

4. Jika digunakan syarat batas (2.16) yaitu dengan

pada persamaan maka diperoleh

dan

Berdasarkan Persamaan (2.20) disyaratkan , sehingga

.

5. Diperoleh Masalah Sturm-Liouville sebagai berikut

Selanjutnya dicari penyelesaian non trivial dari Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) yang dapat ditinjau menjadi tiga kemungkinan yaitu untuk dan .

Kemungkinan 1 :

Dari persamaan (2.22a) didapat , penyelesaiannya

adalah , dengan A dan B konstanta sebarang. Jika

digunakan syarat batas (2.22b) yaitu , maka diperoleh . Jadi untuk Masalah Syarat Batas (2.22a) dan (2.22b) mempunyai penyelesaian trivial.


(63)

Kemungkinan 2 :

Persamaan (2.22a) mempunyai persamaan karakteristik

Karena diketahui , persamaan karakteristiknya

menjadi , dan akar-akar karakteristiknya adalah dan – yang bernilai real. Penyelesaian Persamaan (2.22a) adalah dengan dan konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas (2.22b) yaitu , maka diperoleh

dan

Karena , sehingga . Penyelesaian Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) adalah penyelesaian trivial .

Jadi untuk Masalah Syarat Batas (2.22a) dan (2.22b) mempunyai penyelesaian trivial.


(64)

Persamaan (2.22a) mempunyai persamaan karakteristik . Karena diketahui , persamaan karakteristiknya menjadi , dan akar-akar karakteristiknya adalah bilangan kompleks dan – . Penyelesaian Persamaan (2.22a) adalah dengan dan konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas (2.16b) yaitu , maka diperoleh

dan

Agar mempunyai penyelesaian non trivial diambil sehingga diperoleh

Jadi untuk Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) mempunyai penyelesaian non trivial dengan Nilai Eigen

dan konstanta sebarang,

Jadi penyelesaian Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) adalah


(65)

dengan Nilai Eigen dan konstanta sebarang,

Kemudian dicari penyelesaian untuk persamaan (2.21a).

Telah diketahui bahwa sehingga diperoleh

Persamaan (2.24) diintegralkan terhadap , sehingga diperoleh

dengan .


(66)

6. Persamaan (2.23) dan (2.25) disubstitusi ke persamaan , sehingga diperoleh

atau

dengan

Kemudian dengan menggunakan prinsip superposisi, diperoleh

penyelesaian dari Masalah Syarat Batas tersebut yaitu

7. Berdasarkan nilai awal (2.17) yaitu , sehingga Persamaan

(2.27) menjadi

Kalikan Persamaan (2.28) dengan fungsi yang orthogonal dengan yaitu , sehingga diperoleh

Kemudian integralkan kedua ruas pada Persamaan (2.29) diperoleh


(67)

Bentuk orthogonal yang berada di ruas kanan pada Persamaan (2.30) nilainya akan sama dengan nol, kecuali jika , sehingga Persamaan (2.30) menjadi

Jadi, penyelesaian Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas (2.15) sampai (2.17) adalah

dengan

I. Keadaan Steady State

Keadaan steady state merupakan kondisi dimana sifat-sifat suatu sistem tidak berubah dengan berjalannya waktu (Freedman, 2008). Jika dimisalkan terdapat suatu sistem dengan variabel tak bebas dan variabel bebas dan . Hal


(68)

ini berarti untuk setiap nilai dari sistem tersebut, turunan parsial terhadap waktu adalah nol.

Keadaan ini dapat diekspresikan pada sebuah lempengan logam berbentuk persegi panjang ataupun berbentuk lingkaran yang diberi sumber panas pada sisi-sisinya. Sebelum mencapai steady state, suhu pada lempengan logam tersebut akan merambat dan mengalami perubahan. Perubahan suhu yang terjadi disebut keadaan transien. Pada hal ini perambatan suhu merupakan jenis perambatan dua dimensi, dimana perambatan yang terjadi bergantung pada posisi atau . Proses perambatan ini terjadi karena pada masing-masing sisi telah diberi sumber panas sehingga pada waktu tertentu akan mencapai keadaan steady state.


(69)

BAB III PEMBAHASAN

A. Pemodelan Persamaan Laplace

Pemodelan persamaan ini akan diilustrasikan untuk sistem dimensi dua. Diberikan sebuah bidang berbentuk persegi panjang dengan panjang dan lebar

direntangkan sepanjang sumbu dan sumbu seperti pada Gambar (3.1). Bidang

persegi panjang tersebut bisa berupa bidang yang terbuat dari suatu perantara listrik konduktif, atau penampang aliran fluida, atau dapat juga terbuat dari penampang konduktor suhu. Jika bidang tersebut dihubungkan dengan sumber potensial , maka akan ada aliran potensial yang melewatinya. Dalam kasus ini, diasumsikan bahwa

1. Material yang membentuk bidang persegi panjang memiliki sifat murni dissipatif konstan per satuan panjang, yang berarti bahwa bidang tersebut merupakan bidang yang tidak dapat menyimpan energi.

2. Bidang persegi panjang terhubung dengan sumber potensial pada salah satu titik.

3. Aliran potensial yang mengalir pada bidang hanya mengalir dari potensial tinggi menuju ke potensial rendah.


(70)

Gambar (3.1) Bidang Persegi Panjang dengan Sumber Potensial

Berdasarkan Gambar (3.1) diketahui bidang persegi panjang dengan

panjang dan lebar direntangkan sepanjang sumbu dan sumbu , kemudian

bidang tersebut dipartisi menjadi sangat banyak sehingga setiap bidang partisi berukuran sangat kecil. Selanjutnya akan dipilih partisi interval . Misalkan terletak pada interval dengan kata lain kemudian pada interval dipartisi sebesar dengan untuk setiap . Banyak partisi pada interval adalah dengan menuju tak berhingga. Hal tersebut berakibat jarak antar ke nilainya mendekati nol sehingga . Begitu juga partisi pada interval . Misalkan terletak pada interval ,


(71)

kemudian pada interval dipartisi sebesar dengan untuk setiap . Banyak partisi pada interval adalah dengan menuju tak berhingga. Hal tersebut berakibat jarak antar ke nilainya mendekati nol sehingga .

Karena bidang persegi panjang terhubung dengan sumber potensial, yaitu sehingga akan melibatkan suatu aliran potensial yang dapat memicu terjadinya perbedaan potensial. Aliran potensial pada bidang persegi panjang dalam kasus ini merupakan fungsi dari posisi . Laju aliran potensial yang melewati bidang tidak dapat diukur secara langsung. Akan tetapi konsepnya mempunyai arti fisik karena berhubungan dengan kuantitas skalar yang dapat diukur yaitu potensial. Besarnya laju aliran potensial yang menembus luasan bidang disebut fluks . Aliran potensial pada suatu bidang partisi dengan laju aliran , dapat diilustrasikan sebagai berikut


(72)

Gambar (3.2) Aliran fluks pada suatu Bidang Partisi

Berdasarkan Gambar (3.2) diketahui bahwa dan merupakan fluks yang masuk pada sisi 1 dan sisi 3, sedangkan dan merupakan fluks yang keluar dari sisi 2 dan 4 pada suatu bidang partisi. Laju aliran potensial pada bidang partisi tersebut dapat dihitung berdasarkan hukum fisika yang menjelaskan hubungan laju aliran potensial dengan perbedaan potensial . Perbedaan potensial antara dua ujung bidang partisi berbanding lurus dengan ketahanan bidang per satuan panjang, fluks yang melewati bidang partisi, dan panjang bidang partisi (Vemuri, 1981). Secara matematis perbedaan potensial tersebut dapat dinyatakan sebagai


(73)

dengan indeks 1 menunjukkan perbedaan potensial pada sisi 1. Tanda negatif menunjukkan bahwa fluks mengalir dari potensial tinggi menuju potensial rendah. Persamaan (3.1) dapat ditulis menjadi

Karena sehingga Persamaan (3.2) menjadi

Persamaan (3.3) merupakan persamaan gradien potensial untuk sisi pertama.

Analog untuk mencari gradien potensial pada ketiga sisi lainnya, kemudian diperoleh gradien potensial pada keempat sisi elemen bidang partisi adalah Perhatikan bahwa untuk menyederhanakan Persamaan (3.4a) sampai dengan Persamaan (3.4d) digunakan definisi turunan parsial karena terdapat lebih dari satu variabel bebas yang terlibat.


(74)

Penyelesaian untuk komponen fluks sebagai berikut

Berdasarkan hukum konservasi yang menyatakan bahwa fluks yang masuk berbanding lurus dengan fluks yang keluar (Vemuri, 1981), maka

Substitusi Persamaan (3.5a) sampai dengan Persamaan (3.5d) ke Persamaan (3.6) diperoleh


(75)

Apabila Persamaan (3.7) dikalikan dengan

sehingga diperoleh atau dapat ditulis

Karena dan , sehingga Persamaan (3.8) menjadi

karena

maka Persamaan (3.9) menjadi

Kasus di atas dilakukan pada bidang persegi panjang dengan sumber potensial . Jika sumber potensial terletak pada posisi untuk


(76)

, maka diperoleh syarat batas . Karena bidang persegi panjang ketiga sisinya terbatas pada dan , sedangkan potensial pada ketiga sisi tersebut dipertahankan sebesar nol sehingga diperoleh syarat batas . Dari Persamaan (3.13) dan syarat batas yang telah diketahui, didapatkan Masalah Syarat Batas sebagai berikut:

Persamaan (3.10) merupakan Persamaan Laplace dimensi dua, dengan menunjukkan potensial secara umum. Sedangkan potensial secara khususnya bergantung pada area fisika yang akan dikaji, dalam (Vemuri, 1981) beberapa area fisika yang dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 1: Potensial dan Fluks dalam Beberapa Area Fisika

No Area Fisika Variabel p (Potensial) Variabel f (Fluks)

1 Elektrodinamika Tegangan Arus Listrik

2 Elektrostatis Potensial Listrik Fluks

3 Mekanika Fluida Tekanan Laju Aliran


(77)

B. Penyelesaian Masalah Syarat Batas Persamaan Laplace pada Koordinat Kartesius dan Koordinat Polar

1. Permasalahan Syarat Batas Dirichlet pada Bidang Persegi Panjang Syarat batas pada bidang persegi panjang berdasarkan Persamaan (3.12) sampai dengan Persamaan (3.15) dapat diilustrasikan dalam bentuk koordinat kartesius seperti gambar berikut

Gambar (3.3) Syarat Batas Dirichlet pada Bidang Persegi Panjang

Masalah persamaan Laplace pada bidang persegi panjang dengan panjang dan lebar , kemudian diasumsikan bahwa sumber potensial . Masalah tersebut dapat disajikan secara matematis sebagai berikut:

dengan syarat batas


(78)

Akan ditentukan penyelesaian dari Persamaan (3.16) dengan

menggunakan metode separasi variabel. Misalkan sehingga

Apabila Persamaan (3.18) dan (3.19) disubstitusikan ke Persamaan (3.16), maka diperoleh

Persamaan (3.20) dibagi dengan sehingga diperoleh

dengan mengambil variabel pemisah negatif , sehingga Persamaan (3.21) menjadi

Berdasarkan Persamaan (3.22) diperoleh dua persamaan diferensial biasa yaitu


(79)

dan

Dalam kasus ini digunakan syarat batas , dengan pada persamaan maka diperoleh

dan

Berdasarkan Persamaan (3.21) disyaratkan , sehingga , dan diperoleh Masalah Nilai Eigen Sturm-Liouville sebagai berikut

Selanjutnya ditentukan penyelesaian non trivial dari Persamaan (3.25) dan (3.26) yang dapat ditinjau menjadi tiga kemungkinan yaitu dan .

Kemungkinan 1: untuk nilai , sehingga Persamaan (3.25) menjadi


(80)

dengan syarat batas . Penyelesaian umum dari Persamaan (3.27) adalah

syarat batas

syarat batas

karena nilai dan , sehingga nilai dari , hal tersebut akan berakibat nilai . Jadi, untuk nilai diperoleh penyelesaian trivial.

Kemungkinan 2: untuk nilai , sehingga Persamaan (3.25) menjadi

dengan syarat batas . Penyelesaian umum dari Persamaan (3.28) dapat dicari dengan mengintegralkan kedua ruas, sehingga diperoleh


(81)

syarat batas

karena nilai tidak sama dengan nol, hal tersebut akan berakibat nilai . Jadi, untuk nilai diperoleh penyelesaian trivial.

Kemungkinan 3: untuk nilai , sehingga Persamaan (3.25) menjadi dengan syarat batas . Penyelesaian umum dari Persamaan (3.29) adalah

syarat batas

syarat batas

Agar diperoleh solusi nontrivial, maka nilai . Tetapi nilai dari


(82)

karena nilai bergantung dengan , sehingga . Oleh karena itu Persamaan (3.30) dapat dituliskan

Jadi untuk Masalah Nilai Eigen Sturm-Liouville (3.25) dan (3.26) mempunyai penyelesaian non trivial sebagai berikut

dengan Nilai Eigen dan konstanta sebarang.

Selanjutnya akan ditentukan penyelesaian dari Persamaan yaitu Mengingat nilai yang memenuhi adalah dan nilai bergantung pada . Hal tersebut berakibat nilai dari juga bergantung

pada , sehingga Persamaan (3.24) dapat

dituliskan menjadi

dengan syarat batas . Penyelesaian umum dari Persamaan (3.32) adalah

syarat batas


(83)

Jadi, penyelesaian dari Persamaan adalah

dengan konstanta sebarang.

Kombinasikan penyelesaian dan yang telah diperoleh dengan

mensubtitusi Persamaan (3.31) dan Persamaan (3.33) ke persamaan sehingga diperoleh

dengan . Apabila Persamaan (3.34) diubah dengan menggunakan

prinsip superposisi, sehingga diperoleh

Menggunakan syarat batas (3.17c) yaitu untuk , sehingga Persamaan (3.35) menjadi

yang merupakan suatu Deret Fourier sinus. Sehingga


(84)

atau dapat ditulis

Jadi, penyelesaian dari Persamaan (3.16) dengan syarat batas (3.17a) sampai dengan (3.17d) adalah

dengan

Mengkaji area fisika Perambatan Panas, mengingat Persamaan Laplace dapat digunakan untuk menjelaskan konduksi panas yang tidak bergantung pada waktu (Duffy, 2003). Selanjutnya akan dilakukan simulasi distribusi suhu pada suatu lempengan logam berbentuk persegi panjang dengan berbagai ukuran. a. Simulasi distribusi suhu untuk kasus dan .

Diambil lempengan logam dengan panjang satuan panjang dan lebar satuan panjang, sehingga Persamaan (3.39) menjadi

sedangkan suhu pada posisi sebesar derajat, sehingga hal ini akan berakibat Persamaan (3.40) menjadi


(85)

Selanjutnya akan dicari hasil dari sebagai berikut

Berdasarkan Persamaan (3.43) maka Persamaan (3.42) menjadi

Substitusi Persamaan (3.44) ke Persamaan (3.41) diperoleh


(86)

Apabila Persamaan (3.45) diplot dengan menggunakan Software Matlab, maka tampak seperti pada gambar berikut

Gambar (3.4) Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45)

Berdasarkan output tampilan Matlab pada Gambar (3.4) terlihat bahwa suhu pada posisi suhunya paling tinggi yaitu sebesar 100 derajat. Hal ini terjadi karena sumber panas terletak pada posisi . Pada posisi suhunya mengalami penurunan hingga diperoleh suhunya sama dengan 0 derajat. Penurunan suhu terhadap posisi pada kasus ini tidak bersifat linear. Suhu pada posisi sampai dengan sebesar 0 derajat. Hal ini dikarenakan suhu


(87)

pada posisi tersebut dipertahankan sebesar 0 derajat. Proses perambatan panas dari sampai dengan berupa kurva yang dalam hal ini merupakan syarat batas. Suhu maksimum dan suhu minimumnya terletak tepat pada daerah batas, bukan terletak pada daerah interior. Kemudian jika ditinjau distribusi suhu secara keseluruhan pada Gambar (3.4), terlihat bahwa hubungan antara suhu dengan posisi berbentuk permukaan jala dengan pola turun yang tidak linear.

Apabila Gambar (3.4) dipandang sebagai gambar dua dimensi, maka tampak seperti pada gambar berikut


(88)

Berdasarkan output tampilan Matlab pada Gambar (3.5) terlihat bahwa suhu pada posisi untuk merupakan suhu paling tinggi dibandingkan dengan posisi yang lain yaitu sebesar 100 derajat. Pada posisi suhunya mengalami penurunan dari 100 derajat hingga diperoleh suhunya sebesar 0 derajat. Penurunan suhu terhadap sumbu tersebut tercermin dalam garis gradasi warna seperti yang terlihat pada Gambar (3.5). Jika pada gambar tersebut ditarik sebuah garis tengah dari sumbu , sehingga tepat membagi gambar menjadi dua

bagian. Dalam hal ini sumbu dibagi menjadi dua daerah domain yaitu

dan .

Perhatikan bahwa suhu pada posisi dan saling simetri terhadap garis tengah. Misalnya jika diambil dan diperoleh suhunya sebesar derajat untuk . Kemudian jika diambil dan diperoleh suhunya sebesar untuk . Pergantian posisi dengan memberikan nilai suhu yang setara. Jadi pola garis gradasi warna tersebut memberikan gambaran distribusi suhu pada kasus ini simetri terhadap garis tengah. Pada posisi untuk diperoleh suhunya sebesar 0 derajat. Hal tersebut karena suhu pada posisi untuk dipertahankan sebesar 0 derajat, sesuai dengan syarat batas yang diberikan pada permasalahan ini.

Kemudian jika ditinjau berdasarkan gradasi suhu pada Gambar (3.5), diketahui bahwa suhu yang lebih tinggi terletak di daerah sebelah atas lempengan logam dengan berbagai variasi gradasi suhu. Hal ini dimungkinkan karena pada daerah ini merupakan sumber panas bagi daerah sekitarnya. Gradasi suhu terlihat


(89)

sedikit lebih landai pada bagian tengah domain permasalahan ini, namun cukup curam pada daerah kanan dan kiri. Hal ini disebabkan karena kontribusi suhu rendah pada batas domain kanan dan kiri yaitu sebesar 0 derajat. Sehingga menyebabkan sumber panas menempatkan daerah yang bersuhu lebih tinggi berada pada daerah tengah. Gradasi semakin melandai kearah bawah, dimana suhu lempengan logam dipertahankan sebesar 0 derajat.

b. Simulasi distribusi suhu untuk kasus dan .

Diambil lempengan logam dengan panjang satuan panjang dan lebar satuan panjang, sedangkan suhu pada posisi sebesar derajat. Sehingga Persamaan (3.39) menjadi

dengan


(90)

Jadi untuk kasus lempengan logam dengan panjang satuan panjang dan lebar satuan panjang, sedangkan suhu pada posisi sebesar derajat diperoleh persamaan sebagai berikut

Apabila Persamaan (3.45a) diplot dengan menggunakan Software Matlab, maka tampak seperti pada gambar berikut


(91)

Gambar (3.6) Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45a)

Berdasarkan output tampilan Matlab pada Gambar (3.6) terlihat bahwa suhu pada posisi suhunya paling tinggi yaitu sebesar 100 derajat. Hal ini terjadi karena sumber panas terletak pada posisi . Pada posisi suhunya mengalami penurunan hingga diperoleh suhunya sama dengan 0 derajat. Penurunan suhu terhadap posisi pada kasus ini tidak bersifat linear, meskipun sekilas terlihat mendekati linear.

Suhu pada posisi sampai dengan sebesar 0 derajat. Hal ini dikarenakan suhu pada posisi tersebut dipertahankan sebesar 0 derajat. Proses perambatan panas dari sampai dengan berupa kurva


(92)

yang dalam hal ini merupakan syarat batas. Suhu maksimum dan suhu minimumnya terletak tepat pada daerah batas, bukan terletak pada daerah interior. Kemudian jika ditinjau distribusi suhu secara keseluruhan pada Gambar (3.6), terlihat bahwa hubungan antara suhu dengan posisi berbentuk permukaan jala dengan pola turun yang tidak linear.

Apabila Gambar (3.6) dipandang sebagai gambar dua dimensi, maka tampak seperti pada gambar berikut

Gambar (3.7) Grafik 2D Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45a)

Berdasarkan output tampilan Matlab pada Gambar (3.7) terlihat bahwa suhu pada posisi untuk merupakan suhu paling tinggi dibandingkan


(93)

dengan posisi yang lain yaitu sebesar 100 derajat. Pada posisi suhunya mengalami penurunan dari 100 derajat hingga diperoleh suhunya sebesar 0 derajat. Penurunan suhu terhadap sumbu pada kasus ini tercermin dalam garis gradasi warna dengan pola yang berbeda dengan kasus sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena ukuran panjang dan lebar lempengan logam yang digunakan tidak sama. Distribusi suhu pada kasus ini juga simetri terhadap garis tengah. Jika pada Gambar (3.7) ditarik sebuah garis tengah dari sumbu , sehingga tepat membagi gambar tersebut menjadi dua bagian. Dalam hal ini sumbu dibagi menjadi dua daerah domain yaitu dan .

Perhatikan bahwa suhu pada posisi dan saling simetri terhadap garis tengah. Misalnya jika diambil dan diperoleh suhunya sebesar derajat untuk . Kemudian jika diambil dan diperoleh suhunya sebesar untuk . Pergantian posisi dengan memberikan nilai suhu yang setara. Jadi pola garis gradasi warna tersebut memberikan gambaran distribusi suhu pada kasus ini simetri terhadap garis tengah. Pada posisi untuk diperoleh suhunya sebesar 0 derajat. Hal tersebut karena suhu pada posisi untuk dipertahankan sebesar 0 derajat, sesuai dengan syarat batas yang diberikan pada permasalahan ini.

Kemudian jika ditinjau berdasarkan gradasi suhu pada Gambar (3.7) diketahui bahwa suhu yang lebih tinggi terletak di daerah sebelah atas lempengan logam dengan berbagai variasi gradasi suhu. Hal ini dimungkinkan karena pada daerah tersebut merupakan sumber panas bagi daerah sekitarnya. Gradasi suhu


(1)

132

Lx=1; Ly=1; hx=Lx/M; hy=Ly/M; V=zeros(M,M); vo=100;

for i=1:2:N for ix=1:M

x=ix*hx; for iy=1:M

y=iy*hy;

V(ix,iy)=V(ix,iy)+

vo*(4/(i*pi))*sin(i*pi*x)*sinh(i*pi*y)/sinh(i*pi); end

end end

subplot(121) mesh(V);

xlabel('Sumbu y'); ylabel('Sumbu y'); zlabel('Suhu');

Lampiran 6

M-Script

untuk distribusi suhu Persamaan (3.45b) pada Gambar

(3.9).

%Permasalahan syarat batas dirichlet pada bidang persegi panjang N=input('Masukkan jumlah suku (ganjil) N-');


(2)

133

Lx=1; Ly=1; hx=Lx/M; hy=Ly/M; V=zeros(M,M); vo=100;

for i=1:2:N for ix=1:M

x=ix*hx; for iy=1:M

y=iy*hy;

V(ix,iy)=V(ix,iy)+

vo*(4/(i*pi))*sin(i*pi*x)*sinh(i*pi*y)/sinh(i*pi); end

end end

hp1 = pcolor(V);

set(hp1,'FaceColor','interp', ... 'FaceLighting','phong', ... 'BackFaceLighting','lit', ... 'AmbientStrength',.3, ... 'DiffuseStrength',.1,... 'SpecularStrength',.9, ... 'SpecularExponent',25, ... 'EdgeColor','none', ... 'FaceAlpha',1)


(3)

134

axis tight

xlabel('Sumbu x'); ylabel('Sumbu y'); colorbar

Lampiran 7

M-Script

untuk distribusi suhu Persamaan (3.77) pada Gambar

(3.11).

%Permasalahan syarat batas robin pada bidang persegi panjang N=input('Masukkan jumlah suku (ganjil) N-');

M=input('Masukkan jumlah grid-'); Lx=1; Ly=1;

hx=Lx/M; hy=Ly/M; V=zeros(M,M); vo=2;

for i=1:2:N for ix=1:M

x=ix*hx; for iy=1:M

y=iy*hy; V(ix,iy)=V(ix,iy)+vo; end

end end

subplot(121) mesh(V);


(4)

135

xlabel('Sumbu x'); ylabel('Sumbu y'); zlabel('Suhu');

Lampiran 8

M-Script

untuk distribusi suhu Persamaan (3.77) pada Gambar

(3.12).

%Permasalahan syarat batas robin pada bidang persegi panjang syms n

a0=input('Masukkan Koefisien a0: '); an=input('Masukkan Koefisien an: '); a=input('Masukkan batas bawah: '); b=input('Enter batas atas: '); t=linspace(a,b,10000);

suma=0;

for n=1:100 %% n bisa lebih besar

suma=suma+(subs(an,'n',n).*cos(2.*n.*pi.*t./(b-a))); end

series=(a0/2)+suma; subplot(121)

plot(t,series,'-r'); grid off


(5)

136

Lampiran 9

M-Script

untuk distribusi suhu Persamaan (3.125) pada Gambar

(3.14).

%Permasalahan syarat batas dirichlet pada daerah dalam cakram clc

[r,t] = meshgrid(0:.1:1,0:pi/30:(2*pi)); z = 50+((r/1).^1).*(200/pi).*sin(t); % Convert to Cartesian

x = r.*cos(t); y = r.*sin(t); h = polar(x,y); hold on;

contourf(x,y,z);

% Hide the POLAR function data and leave annotations set(h,'Visible','off')

axis off axis image colorbar


(6)

137

Lampiran 10

M-Script

untuk distribusi suhu Persamaan (3.126) pada Gambar

(3.15).

%Permasalahan syarat batas dirichlet pada daerah dalam cakram clc

[r,t] = meshgrid(0:.1:1,0:pi/30:(2*pi)); z = 75+((r.^1).*(100/pi).*sin(t));

% Convert to Cartesian x = r.*cos(t);

y = r.*sin(t); h = polar(x,y); hold on;

contourf(x,y,z);

% Hide the POLAR function data and leave annotations set(h,'Visible','off')

axis off axis image colorbar