KAJIAN STRUKTURAL DAN NILAI PENDIDIKAN NOVEL 5CM KARYA DONNY DHIRGANTORO

KAJIAN STRUKTURAL DAN NILAI PENDIDIKAN NOVEL 5CM KARYA DONNY DHIRGANTORO

Skripsi Oleh: Irvandi Arifiansyah K1206028 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 KAJIAN STRUKTURAL DAN NILAI PENDIDIKAN NOVEL 5CM KARYA DONNY DHIRGANTORO

Oleh: Irvandi Arifiansyah K1206028

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I,

Dr. Andayani, M.Pd. NIP 19601030 198601 2 001

Pembimbing II,

Kundharu Saddhono, S.S, M.Hum. NIP 19760206 200212 1 004

HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGAJUAN

ii HALAMAN PERSETUJUAN

iii HALAMAN PENGESAHAN

iv HALAMAN ABSTRAK

v HALAMAN MOTTO

vi HALAMAN PERSEMBAHAN

vii KATA PENGANTAR

viii DAFTAR ISI

x DAFTAR GAMBAR

xiii BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

C. Rumusan Masalah

D. Tujuan Penelitian

E. Manfaat Penelitian

7 BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Novel

a.

Hakikat Novel

b.

J en is -

jenis Novel

ciri Novel

2. Pendekatan Struktural

3. Nilai Pendidikan

28

b. Hakikat Pendidikan

29

c. Macam-macam Nilai Pendidikan

33

B. Penelitian yang Relevan

42

C. Kerangka Berpikir

44

BAB III METODE PENELITIAN

46

A. Tempat dan Waktu Penelitian

46

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

46

C. Sumber Data

46

D. Teknik Sampling (Cuplikan)

47

E. Teknik Pengumpulan Data

47

F. Validitas Data

47

G. Analisis Data

48

H. Prosedur Penelitian

49 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

51

A. Hasil Penelitian

51

1. Unsur Intrinsik

dalam Novel 5Cm Karya Donny Dhirgantoro

..

51

2. K eter jalin an

Antarunsur Intrinsik dalam Novel 5Cm Karya Donny Dhirgantoro

3. Nilai Pendidikan

yang Terdapat dalam Novel 5Cm Karya Donny Dhirgantoro

Pendidikan Sosial

Pendidikan Moral

Pendidikan Religius

Pendidikan Estetika

B. Pembahasan Hasil Penelitian

99 BAB V PENUTUP

.... 104

A. Simpulan

... 104

B. Implikasi

... 105

C. Saran

... 107 DAFTAR PUSTAKA

... 108 LAMPIRAN

… 111

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Kerangka Berpikir

45

2. Model Analisis Mengalir (Flow Model of Analysis)

49

commit to user

Irvandi Arifiansyah. KAJIAN STRUKTURAL DAN NILAI PENDIDIKAN NOVEL 5CM KARYA DONNY DHIRGANTORO . Skripsi. Surakarta :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) unsur intrinsik yang terdapat dalam novel 5Cm; (2) keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel 5Cm, dan; (3) nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel 5Cm. Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan strukturalisme.

Metode yang digunakan adalah metode analisis isi. Sumber data adalah dokumen yang diambil dari teks novel 5Cm. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik catat. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis mengalir (flow model of analysis).

Simpulan penelitian ini, yaitu : (1) unsur intrinsik yang terdapat dalam novel 5Cm adalah, (a) tema yaitu tema tentang persahabatan, percintaan dan mimpi-mimpi para tokohnya; (b) penokohan yaitu lima orang sahabat karib yaitu Genta, Arial, Riani, Zafran dan Ian; (c) alur yaitu alur campuran. Sebagian besar alur yang digunakan oleh pengarang adalah alur maju yang diselingi beberapa alur mundur untuk mengisahkan masa lalu tokoh-tokohnya; (d) latar yang terdiri dari latar tempat, waktu dan sosial; dan (e) sudut pandang yang menggunakan sudut pandang pengarang serba tahu; (2) terdapat keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel 5Cm yaitu tema, penokohan, alur, latar yang dikisahkan dengan menggunakan sudut pandang pengarang serba tahu. Pengarang tidak fokus pada satu tokoh, tetapi terdapat penonjolan pada setiap tokohnya. Dengan sudut pandang tersebut, pengarang bebas untuk menonjolkan setiap tokoh secara detail; dan (3) terdapat nilai-nilai pendidikan dalam novel 5Cm yang dibedakan dalam (a) nilai pendidikan sosial mengacu pada hubungan sosial yang baik dengan sesama sahabat, orang tua, dan dosen, bahkan orang-orang yang baru mereka kenal; (b) nilai pendidikan moral yaitu mau membantu sesama agar menjadi lebih baik, serta sebagai manusia harus memiliki mimpi dan cita-cita yang harus dikejar sekuat tenaga; (c) nilai pendidikan religius yang mengajarkan untuk selalu mempercayai dan selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (d) nilai pendidikan estetika yang tersirat pada penggambaran tempat dan pemilihan kata yang menarik.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membaca merupakan suatu keterampilan yang seharusnya dikuasai oleh manusia. Dengan membaca, manusia dapat mengetahui berbagai macam informasi, pendidikan, keindahan, kisah, dan sebagainya. Membaca karya sastra merupakan salah satu hal yang patut dicoba karena karya sastra memiliki berbagai macam hal yang dapat digali potensi positifnya, sedangkan karya sastra itu merupakan bentuk ekspresi yang dihasilkan oleh indra perasa manusia dalam membuka diri dan menorehkannya melalui bentuk tulisan. Berbagai bentuk hasil ekspresi tersebut adalah puisi, cerpen, prosa, lirik, novel, naskah drama, dan sebagainya.

Pada kenyataannya sekarang, membaca karya sastra sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi berbagai macam golongan manusia. Mereka merasa sangat membutuhkan keindahan-keindahan yang disajikan dalam bentuk-bentuk karya sastra. bukan hanya sebagai penyegar pikiran. Kadang kala mereka membaca karya sastra karena membutuhkan inspirasi untuk memulai sesuatu. Mereka merasa butuh sebuah kisah yang dapat membangkitkan semangat hidup dan semangat berkarya mereka.

Dalam karya sastra ini, mereka memilah-milah nilai positif yang dapat diambil dan diterapkan dalam kehidupan mereka. Berbagai macam kisah yang mereka baca dapat menjadi pelajaran dan pendidikan yang berharga. Menikmati pengalaman membaca dan menerapkan hal positif yang diperoleh merupakan suatu pencapaian yang baik dalam menghayati karya sastra, sebab tujuan utama seorang sastrawan dalam menciptakan masterpiece adalah untuk menyampaikan amanat dan pelajaran yang berharga kepada pembacanya. Sastrawan sebagai orang yang menciptakan karya sastra, harus memiliki kemampuan untuk membuat pembaca merasa perlu membaca serta mendalami inti karya sastra, agar pembaca merasa puas dan tersenyum lebar setelah membaca karya sastra tersebut.

Pokok pembahasan yang dapat mengugah inti dari karya sastra terdapat di dalam unsur-unsur intrinsiknya. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra, seperti novel. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya peristiwa, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Burhan Nurgiyantoro 2005:23).

Inti dan amanat sastrawan dalam menciptakan karya sastra dapat tercermin dalam berbagai hal, seperti dalam kekuatan pengisahan, pemilihan tokoh, penggambaran suasana, perjalanan alur, dan kekuatan dialog antartokoh. Pengisahan yang memiliki kekuatan terbesar dalan karya sastra sering mengena dalam hati pembaca dengan ending atau akhir kisah yang bahagia (happy ending) maupun sedih (sad ending). Perjalanan cerita yang dikisahkan sastrawan dapat membawa pembaca untuk selalu ingin tahu bagaimana akhir cerita yang akan terjadi. Pembaca seakan terhipnotis untuk tidak melepaskan pandangannya dari setiap kata dan kalimat selanjutnya dalam cerita.

Pemilihan tokoh juga memiliki peranan besar dalam mengantarkan inti cerita kepada pembaca. Tokoh yang membawa cerita menuju berbagai arah dan bermuara pada akhir cerita membuat pembaca seolah menjadikan dirinya sebagai tokoh utama cerita tersebut. Pembaca merasakan bagaimana kesedihan, kegembiraan, kemarahan, atau kebingungan yang sama dengan tokoh yang mereka baca. Tokoh-tokoh yang membuat pembaca selalu ingin membelanya, mengasihaninya, menyayanginya, bahkan hingga membencinya. Tokoh-tokoh inilah yang sering menjadi panutan dari pembaca yang terhipnotis oleh cerita yang mereka baca.

Suasana dalam cerita tidak dapat luput dari indra perasaan pembaca. Suasana yang disajikan dalam pengisahan cerita dapat membuat pembaca merasakan apa yang sebenarnya terjadi pada tokoh dan bagaimana cerita akan berlanjut menuju babak selanjutnya. Pembaca dapat dibuat terharu, bergelora, takut, bersemangat dan sebagainya, karena penggambaran suasana yang ditangkap oleh pembaca melalui cerita tersebut dapat menyentuh hati dan perasaan pembaca lebih mendalam.

Berbagai macam alur yang dipilih oleh sastrawan sangat menentukan model cerita seperti apa yang akan disajikan pada pembaca. Pembaca dapat dibuat bingung oleh alur yang ada pada cerita. Namun, kadang alur yang membingungkan tersebut dipakai untuk menentukan bagaimana babak dan konflik dalam cerita. Sastrawan dapat menyajikan alur maju yang mudah dipahami oleh pembaca, atau menggunakan alur mundur yang membuat pembaca penasaran untuk terus mengikuti arah cerita.

Hal yang tidak kalah menarik dalam penyajian kisah adalah kekuatan dialog antartokoh. Melalui percakapan antartokoh ini, pembaca dapat menarik berbagai quotation, kutipan yang berharga atau kata-kata yang bagus dan memiliki makna yang menarik. Percakapan antartokoh juga dapat memperkuat setiap babak- babak dalam cerita dengan pengekspresian masing-masing yang tampak dalam ketajaman atau kelembutan dialog. Dialog yang hanya keluar beberapa kata saja dapat mengubah penafsiran pembaca mengenai kelanjutan cerita, emosi pembaca, serta ketertarikan pembaca untuk meneruskan bacaannya.

Novel-novel pembangkit semangat atau pemotivasi saat ini memang marak di kalangan masyarakat. Masyarakat seakan kehilangan figur teladan, sehingga membutuhkan cerita pembangkit semangat untuk dapat memulai harinya secara lebih baik dan lebih termotivasi. Masyarakat sekarang ini seakan telah kehilangan mimpi, sehingga harus mengutip mimpi dari berbagai kisah-kisah novel untuk menempatkannya sebagai mimpi-mimpi mereka. Namun, kehadiran novel pemotivasi bukanlah hal yang patut disesalkan, sebaliknya hadirnya novel Novel-novel pembangkit semangat atau pemotivasi saat ini memang marak di kalangan masyarakat. Masyarakat seakan kehilangan figur teladan, sehingga membutuhkan cerita pembangkit semangat untuk dapat memulai harinya secara lebih baik dan lebih termotivasi. Masyarakat sekarang ini seakan telah kehilangan mimpi, sehingga harus mengutip mimpi dari berbagai kisah-kisah novel untuk menempatkannya sebagai mimpi-mimpi mereka. Namun, kehadiran novel pemotivasi bukanlah hal yang patut disesalkan, sebaliknya hadirnya novel

Novel-novel populer sekarang ini memiliki standar tertentu untuk dapat menarik minat pembaca, salah satunya adalah novel 5Cm. Kekuatan-kekuatan yang dapat menarik minat pembaca disajikan secara lembut dan tajam dalam pengisahan dan berbagai faktor intrinsik cerita. Pembaca tidak hanya tertarik untuk menikmati cerita, namun juga tertantang untuk mendalami amanat dari penulis, karena memang inti cerita yang disajikan oleh penulis bertujuan untuk memotivasi pembaca. Novel 5Cm yang berisi tentang mimpi, persahabatan, perjuangan dan cinta ini memiliki banyak nilai positif yang dapat membangun semangat pembaca untuk lebih memperbaiki diri.

Novel 5Cm berkisah tentang lima orang bersahabat yang selalu bersama, senang bersama, sedih bersama, gila bersama, hingga sampai puncaknya mereka merasa bosan terus bersama. Mereka adalah Genta, Riani, Arial, Zafran dan Ian. Mereka memutuskan untuk berpisah selama tiga bulan agar ketika bertemu kelak mereka telah berubah menjadi manusia yang baru yang lebih baik dengan segala perubahan menuju kedewasaan. Selama tiga bulan perpisahan mereka telah banyak yang mereka rasakan, Arial yang tidak lagi datar dan mulai merasakan cinta kepada Indy, Ian yang berhasil menyelesaikan skripsi dan mendapat nilai A pada seminar skripsinya, Genta yang semakin sukses dengan EO-nya (Event Organizer), serta kerinduan yang dirasakan oleh Zafran dan juga Riani. Puncak kerinduan mereka terbayar dengan pertemuan yang telah direncanakan di puncak gunung Mahameru. Mereka berangkat bersama-sama dan menempuh petualangan yang mendebarkan bersama-sama. Pemandangan menakjubkan, maut yang di depan mata, kisah menyedihkan yang diceritakan teman seperjalanan mereka menuju puncak, Deniek, tentang teman mereka yang hilang di gunung, tentang tujuan mereka yang tak bosan-bosannya berziarah ke makam teman mereka tersebut, serta harunya upacara bendera 17 Agustus di puncak Mahameru yang semakin menambah cinta mereka kepada Tanah Air Indonesia.

Dalam novel karya Donny Dhirgantoro ini terdapat kelebihan yang sangat membekas bagi siapa saja yang membacanya. Pembaca dirangsang untuk menekuni sebuah motivasi yang baik, yaitu untuk mengejar cita-cita dan mimpinya agar menjadi kenyataan dengan cara baru yang lebih berkesan dan dapat memompa semangat, agar setiap saat cita-cita dan mimpi itu tetap terlihat dan selalu mengingatkan pembaca untuk berusaha mengejarnya tanpa putus asa. Motivasi ini lah yang membuat penulis memutuskan untuk menggunakan pendekatan struktural yang cocok terhadap karya sastra dan dengan pendekatan ini penulis bermaksud untuk menjaga keobjektifan sebuah karya sastra, sehingga untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula efeknya pada pembaca (Tirto Suwondo, 2003:54).

Penyampaian motivasi dan kebaikan-kebaikan dalam novel ini memberikan pendidikan yang baik serta beragam bagi pembaca. Pendidikan mengenai kehidupan, budi pekerti serta contoh-contoh pelajaran yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pembaca kadang terjebak dalam kehidupan lingkup sekitarnya yang tenang, damai, glamor, dan individualistis. Pada kenyataannya dunia yang luas ini berisi berbagai macam manusia serta seluk-beluk kehidupannya. Banyak pelajaran berharga yang hanya tersampaikan melalui kenyataan hidup yang pahit. Proses yang dilalui oleh seorang manusia mewajibkan mereka untuk mengetahui dan menyaksikan sebuah pelajaran yang membuat beberapa pilihan yang harus mereka pilih. Pilihan mereka tersebut yang akan menentukan apa yang terjadi selanjutnya.

Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel 5Cm terdapat secara menyeluruh dalam berbagai aspek. Maka dari itu, aspek-aspek tersebut dapat dikaji menggunakan pendekatan struktural. Aspek-aspek itu terdapat pada setiap tokoh dengan kelebihannya masing-masing, sehingga penulis merasa perlu mengkaji novel ini untuk menunjukkan berbagai nilai pendidikan yang baik bagi pembaca. Nilai pendidikan yang tersembunyi tidak akan tersampaikan dengan baik apabila tidak melihat sisi yang seharusnya diperhatikan dangan detail oleh Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel 5Cm terdapat secara menyeluruh dalam berbagai aspek. Maka dari itu, aspek-aspek tersebut dapat dikaji menggunakan pendekatan struktural. Aspek-aspek itu terdapat pada setiap tokoh dengan kelebihannya masing-masing, sehingga penulis merasa perlu mengkaji novel ini untuk menunjukkan berbagai nilai pendidikan yang baik bagi pembaca. Nilai pendidikan yang tersembunyi tidak akan tersampaikan dengan baik apabila tidak melihat sisi yang seharusnya diperhatikan dangan detail oleh

Pendekatan struktural yang diterapkan untuk mengkaji karya sastra menilik pada karya sastra saja dengan mengambil nilai-nilai positif dan pengembangan pemikiran yang dapat memberikan motivasi terhadap penalaran yang diterima pembaca. Motivasi yang diciptakan oleh pengarang novel tersebut menegasan bahwa sebuah karya sastra sebaiknya memiliki maksud yang mendorong pembaca menuju kebenaran dan perubahan menuju kebaikan. Maka dari itu, pada saat karya sastra ini dikaji menggunakan pendekatan struktural, berbagai macam dorongan dan rangsangan positif akan membangun sebuah pemikiran baru yang lebih konstruktif.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, diambil rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana unsur intrinsik yang terdapat dalam novel 5Cm karya Donny Dhirgantoro?

2. Bagaimana keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel novel 5Cm karya Donny Dhirgantoro?

3. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel 5Cm karya Donny Dhirgantoro?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel 5Cm karya Donny Dhirgantoro.

2. Mendeskripsikan keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel 5Cm karya Donny Dhirgantoro.

3. Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel 5Cm karya Donny Dhirgantoro.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan secara teoretis kepada pembaca mengenai penelitian dan kegiatan dalam bidang sastra, terutama penelitian sastra dengan pendekatan struktural.

2. Manfaat Praktis

a. Manfaat bagi siswa Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan kemampuan siswa untuk mengapresiasi karya sastra dengan memahami latar belakang lahirnya suatu karya sastra.

b. Manfaat bagi guru Hasil penelitian ini memberikan gambaran bagi guru tentang pendekatan struktural untuk dijadikan pedoman dalam pembelajaran sastra yang menarik, kreatif, dan inovatif.

c. Manfaat bagi pengambil kebijakan pendidikan Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pedoman untuk menentukan arah kebijakan pendidikan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia secara inovatif dan kontekstual.

d. Manfaat bagi peneliti lain Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi para peneliti yang berniat d. Manfaat bagi peneliti lain Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi para peneliti yang berniat

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Novel

a. Hakikat Novel

Novel secara umum dapat diidentifikasi sebagai sebuah karangan yang memaparkan ide, gagasan atau khayalan dari penulisnya. Hal tersebut sejalan dengan definisi novel yang terdapat di dalam The American Collage Dictionary (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 120). Novel sebagai sebuah karya fiksi merupakan sebuah karangan yang memaparkan ide, gagasan, atau khayalan dari pengarangnya. Ide atau gagasan tersebut berupa pengalaman langsung yang dimiliki pengarang maupun sebuah ide yang bersifat imajinasi. Brooks (dalam Henry G. Tarigan, 1993: 120) mendefinisikan bahwa fiksi adalah “sebuah bentuk penyajian atau cara seseorang memandang hidup ini”. Bertolak dari pengertian itu, diambil sebuah pemikiran bahwa karya fiksi memang tidak nyata, tetapi karya sastra juga bukan sebuah kebohongan karena fiksi adalah suatu jenis karya sastra yang menekankan kekuatan kesastraan pada daya penceritaan. Karya sastra tidak hanya sebuah khayalan, tetapi merupakan sebuah cerminan dari suatu hal yang dirasakan, dilihat, bahkan mungkin dialami oleh seorang pengarang.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 9) memaparkan bahwa novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9) mengemukakan bahwa secara harfiah novella berarti sebagai “sebuah barang baru yang kecil” yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Berdasarkan pengertian tersebut, dijelaskan bahwa novel adalah salah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa.

Berdasarkan beberapa pengertian novel di atas, ditarik sebuah simpulan bahwa novel adalah suatu karya sastra berbentuk prosa fiksi. Novel mengandung Berdasarkan beberapa pengertian novel di atas, ditarik sebuah simpulan bahwa novel adalah suatu karya sastra berbentuk prosa fiksi. Novel mengandung

b. Jenis-jenis Novel

Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Jakob Sumardjo & Saini K.M. (1988: 29) membagi novel menjadi tiga jenis, yakni novel percintaan, petualangan dan fantasi.

1) Novel Percintaan Novel ini melibatkan peranan tokoh wanita dan pria secara imbang.

Terkadang peranan wanita lebih dominan. Novel ini biasanya berisi berbagai macam tema dan hampir sebagian besar novel termasuk ke dalam jenis novel ini.

2) Novel Petualangan Novel petualangan sedikit sekali memasukkan peranan wanita. Jika wanita

disebut dalam novel ini, penggambarannya hampir stereotip dan kurang berperan dalam cerita. Walau terkadang di dalam novel jenis petualangan terdapat tema percintaan, tetapi hal itu hanya sebagai sampingan saja.

3) Novel Fantasi Novel fantasi bercerita tentang hal-hal yang tidak realitis dan serba tidak

mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari. Novel dengan jenis ini mementingkan ide, konsep, dan gagasan pengarang yang hanya jelas jika disampaikan dalam bentuk cerita fantastik yang dalam hal ini menyalahi hukum empiris dan bertentangan dengan relitas.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 16) membedakan novel menjadi novel serius dan novel populer.

1) Novel Serius Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara penyajian yang baru pula. Secara singkat disimpulkan bahwa unsur kebaruan sangat diutamakan dalam novel serius. Di dalam novel serius, gagasan diolah dengan cara yang khas. Hal ini penting mengingat novel serius 1) Novel Serius Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara penyajian yang baru pula. Secara singkat disimpulkan bahwa unsur kebaruan sangat diutamakan dalam novel serius. Di dalam novel serius, gagasan diolah dengan cara yang khas. Hal ini penting mengingat novel serius

2) Novel Populer Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel ini cenderung menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu baru. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha untuk meresapi hakikat kehidupan lebih dalam. Staton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 19) mengemukakan bahwa novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita. Novel populer tidak begitu memfokuskan pada efek estetis, tetapi memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya. Novel populer cenderung untuk mengejar selera pembaca dan komersial sehingga novel ini tidak akan menceritakan sesuatu dengan serius.

c. Fungsi Novel

Alasan para pengarang menuangkan dan menuliskan ide-idenya dalam sebuah karya sastra (novel) dengan harapan dapat diambil manfaatnya bagi pembacanya. Selain itu, karya sastra dapat berfungsi sebagai karya fiksi yang bertujuan sebagai sarana untuk menghibur diri bagi pembacanya sehingga dapat memperoleh kepuasan batin. Kepuasan batin yang diperoleh pembaca dapat mengubah pemahaman dan dapat berfungsi sebagai pemotivasi dalam menjalani

ehidupnya. Agustien S., Sri Mulyani, dan Sulistiono (1999: 92-93) menguraikan beberapa fungsi karya sastra (novel), yaitu: (a) fungsi rekreatif, yaitu apabila sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi pembacanya; (b) fungsi didaktif, yaitu apabila sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena adanya nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya; (c) fungsi estetis, yaitu apabila sastra mampu memberikan keindahan bagi pembacanya; (d) fungsi moralitas, yaitu apabila sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembacanya sehingga mengetahui moral yang baik dan buruk; dan (e) fungsi religius, yaitu apabila sastra mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para pembaca sastra.

Haji Saleh (dalam Atar Semi, 1993: 20-21) secara ringkas menguraikan fungsi karya sastra di dalamnya termasuk novel, antara lain: (a) fungsi pertama sastra adalah sebagai alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca kepada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan bila mengalami suatu masalah; (b) sebagai pengimbang sains dan teknologi; (c) sebagai alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa dalam arti yang positif, bagi masyarakat sezamannya dan masyarakat yang akan datang, antara lain: kepercayaan, cara berfikir, kebiasaan, pengalaman sejarahnya, rasa keindahan, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaan; dan (d) sebagai suatu tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan mendapat tempat yang sewajarnya, dipertahankan dan disebarluaskan, terutama di tengah-tengah kehidupan modern yang ditandai dengan menggebu-gebunya kemajuan sains dan teknologi.

Beracuan dari berbagai fungsi karya sastra (novel) di atas, sastra banyak memberikan manfaat bagi pembacanya, baik sebagai hiburan, maupun mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya agar dapat lebih bermoral dan dapat menghargai orang lain, serta meneladani ajaran-ajaran agama yang ada di dalam karya sastra tersebut. Novel juga berfungsi sebagai penyeimbang antara nilai-nilai kemanusiaan dengan dunia nyata yang berisi ilmu dan kemajuan teknologi.

d. Ciri-ciri Novel

Zaidan Hendy (1993: 225) menguraikan ciri-ciri novel sebagai berikut: (a) sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dari roman. Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian; (b) bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang; (c) penyajian cerita berlandas pada alur pokok atau alur utama yang menjadi batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri); (d) tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut; dan (e) karakter tokoh-tokoh dalam novel berbeda-beda. Demikian juga karakter tokoh lainnya. Selain itu dalam novel dijumpai pula tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis ialah tokoh yang digambarkan berwatak tetap sejak awal hingga akhir cerita, sedangkan tokoh dinamis sebaliknya, ia bisa mempunyai beberapa karakter yang berbeda dan tidak tetap.

Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan ciri-ciri yang ada dalam sebuah novel, yaitu adanya: (a) perubahan nasib dari tokoh cerita; (b) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; dan (c) biasanya tokoh utama tidak sampai mati. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994: 11) menyatakan bahwa novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu.

2. Pendekatan Struktural

a. Hakikat Strukturalisme

Kata “struktur” secara etimologis berasal dari bahasa latin, yakni structura yang berarti bentuk atau bangunan. Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan strukturalisme Praha. Pendekatan ini mendapat pengaruh dari Kata “struktur” secara etimologis berasal dari bahasa latin, yakni structura yang berarti bentuk atau bangunan. Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan strukturalisme Praha. Pendekatan ini mendapat pengaruh dari

Strukturalisme disebut dengan pendekatan objektif, yakni pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi (Iswanto, 2003: 60). Pendekatan ini menyerahkan pemberian makna karya sastra terhadap eksistensi karya sastra tanpa mengaitkan unsur yang ada di luar signifikansinya.

Strukturalisme sebagai pendekatan dalam penelitian sastra memandang bahwa sebuah karya sastra mengandung kebulatan makna yang diakibatkan oleh perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Hal ini berarti penelitian sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan pengarang, penyair, pembaca atau hal yang bersifat ekstrinsik dari karya sastra tersebut. Karya sastra dalam pendekatan struktural dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Penjabaran tentang strukturalisme tersebut sepadan dengan pendapat Teeuw (1984: 135) yang menjelaskan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.

Langkah awal dalam sebuah penelitian karya sastra adalah dengan menggunakan analisis struktural. Analisis secara struktural akan menghasilkan suatu analisis yang objektif terhadap suatu karya. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 36) menjelaskan bahwa struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah.

Terdapat tiga gagasan pokok yang termuat dalam teori struktur (Peaget dalam Tirto Suwondo, 2003: 55). Ketiga unsur tersebut adalah:

1) gagasan keseluruhan (wholeness) yang dapat diartikan sebagai bagian- bagian atau analisisnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian- bagiannya;

2) gagasan transformasi (transformation), yaitu sebuah struktur menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus sehingga memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru; dan

3) gagasan mandiri (self regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal yang

berasal dari luar dirinya untuk mempertahankan transformasinya. Penggunaan pendekatan struktural dalam pengkajian karya sastra

merupakan dasar dari penelitian secara keseluruhan. Sebab pendekatan struktural meneliti karya sastra dari segi karya sastra itu sendiri tanpa campur tangan dari objek lain. Objek penelitian utama dari pendekatan struktural adalah unsur intrinsiknya, tanpa terpengaruh oleh unsur ektrinsiknya.

Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu kepaduan cerita. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun suatu karya sastra sehingga membentuk suatu kesatuan cerita yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, unsur intrinsik adalah unsur yang berada di dalam karya sastra dan terlepas dari unsur-unsur yang berada di luar karya sastra. Pengkajian unsur intrinsik dalam karya sastra merupakan wujud kerja strukturalisme. Pengkajian unsur intrinsik dalam karya sastra bersifat otonom. Hal ini diperkuat oleh Budi Darma (2004: 23) yang menyatakan bahwa kajian intrinsik membatasi diri pada karya sastra itu sendiri, tanpa menghubungkan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra tersebut.

Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud. Atau, sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud. Atau, sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai

Nugraheni Eko Wardani (2009: 183) menyebutkan bahwa strukturalisme memandang bahwa struktur karya sastra terdiri atas: tema, plot, setting, penokohan dan perwatakan, dan sudut pandang. Di dalam penelitian ini dibahas beberapa unsur intrisik novel yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang. Berikut adalah penjelasan tentang unsur-unsur intrinsik tersebut.

1) Tema

Setiap fiksi harus mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan (Henry G. Tarigan, 1993: 125). Stanton (2007: 41) menjelaskan bahwa tema merupakan makna yang merangkum semua elemen dalam cerita dengan cara yang paling sederhana. Penjelasan ini senada dengan pendapat Brooks & Warren (dalam Henry G. Tarigan, 1993: 125) yang mengatakan bahwa tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel. Siti Ajar Ismiyati (2000: 161) berpendapat bahwa tema cerita memegang peran dan fungsi yang sama pentingnya dengan unsur lainnya, yakni merupakan alat bantu atau sarana untuk memahami seluk- beluk novel secara keseluruhan. Seseorang harus mengetahui tema karya sastra untuk menjawab makna suatu karya sastra. Tema sebuah karya sastra berada dalam jalinan cerita yang membangun karya sastra tersebut.

Shipley dalam Dictionary of World Literature mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 80). Pengertian lain disampaikan oleh Zainuddin Fananie (2002: 84) yang menjelaskan bahwa tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 68) yang menjelaskan bahwa tema dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum sebuah novel. Hal ini juga diperkuat oleh Panuti Sudjiman (1988: 50) yang menjelaskan Shipley dalam Dictionary of World Literature mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 80). Pengertian lain disampaikan oleh Zainuddin Fananie (2002: 84) yang menjelaskan bahwa tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 68) yang menjelaskan bahwa tema dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum sebuah novel. Hal ini juga diperkuat oleh Panuti Sudjiman (1988: 50) yang menjelaskan

Beracuan dari beberapa pendapat di atas, ditarik sebuah simpulan bahwa tema adalah gagasan dasar dari sebuah cerita atau karya sastra yang terkandung di seluruh unsur cerita dan dapat digunakan untuk menjawab makna cerita atau karya sastra tersebut. Pemahaman terhadap tema dapat menguatkan pengertian pembaca tentang jalannya cerita. a)

Jenis-jenis Tema Burhan Nurgiyantoro (2005: 77) memaparkan bahwa tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda, tergantung dari segi mana penggolongan itu dilakukan. Di dalam kajian teori ini, dipaparkan jenis-jenis tema dipandang dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley. Berikut adalah penjelasan tentang tingkatan tema menurut Shipley (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 80-81).

(1) Tema tingkat fisik Tema sebuah karya sastra pada tingkatan ini lebih ditunjukkan dengan aktivitas fisik dari pada kejiwaan. Jadi, cerita lebih menekankan mobilitas fisik dari pada konflik kejiwaan tokoh yang berada dalam sebuah cerita atau karya sastra.

(2) Tema tingkat organik Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan mempersoalkan masalah seksualitas—suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Tema ini menekankan pada aspek persoalan kehidupan seksual manusia, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang, misalnya peselingkuhan, homo seksual, pelecehan seksual, dan lain-lain.

(3) Tema tingkat sosial

Tema ini mengarah kepada manusia sebagai makhluk sosial. Tema ini menekankan pada persoalan hidup manusia dengan lingkungan sosialnya. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, dan masalah lainnya terutama yang berhubungan dengan kritik sosial.

(4) Tema tingkat egoik Tema ini mengarah pada manusia sebagai makhluk individu. Di dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri, sifat, citra diri, jati diri, dan lain-lain.

(5) Tema tingkat divine Tema ini mengarah pada tataran manusia sebagai makhluk dengan tingkatan yang tinggi. Masalah yang menonjol dalam tema ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

b) Tema Mayor dan Tema Minor Tema dipandang sebagai makna yang dikandung dalam cerita. Makna sebuah cerita atau karya sastra dapat lebih dari satu. Oleh sebab itu, banyak interpretasi yang muncul dari sebuah karya sastra. Hal inilah yang menyebabkan kesulitan untuk menentukan tema pokok cerita atau dapat disebut dengan tema mayor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum suatu karya (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 82). Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai di antara sejumlah makna yang ditafsirkan yang ada dikandung oleh karya sastra yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 82). Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar atau keseluruhan cerita dan b) Tema Mayor dan Tema Minor Tema dipandang sebagai makna yang dikandung dalam cerita. Makna sebuah cerita atau karya sastra dapat lebih dari satu. Oleh sebab itu, banyak interpretasi yang muncul dari sebuah karya sastra. Hal inilah yang menyebabkan kesulitan untuk menentukan tema pokok cerita atau dapat disebut dengan tema mayor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum suatu karya (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 82). Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai di antara sejumlah makna yang ditafsirkan yang ada dikandung oleh karya sastra yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 82). Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar atau keseluruhan cerita dan

2) Penokohan

Penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya fiksi. Suatu peristiwa terjadi karena adanya aksi dan reaksi tokoh-tokoh. Suatu peristiwa cerita tidak mungkin terjadi tanpa adanya tokoh. Istilah penokohan menurut Herman J. Waluyo (1994: 165) adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis- jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak, tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang menggambarkan tokoh-tokoh itu. Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165) yang menjelaskan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165) menjelaskan bahwa “tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”. Burhan Nurgiyantoro (2005: 165) menambahkan bahwa penokohan itu juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Batasan ini memberi indikasi bahwa masing-masing tokoh mempunyai karakter tertentu yang mampu mendukung jalannya cerita sekaligus berhubungan dengan unsur lain yang akhirnya membentuk keterjalinan cerita yang padu dan utuh dalam novel.

Albertine Minderop (2005: 6) menjelaskan bahwa dalam menyajikan Albertine Minderop (2005: 6) menjelaskan bahwa dalam menyajikan

Metode Langsung (Telling) Pickering & Hoeper (dalam Albertine Minderop, 2005: 6) memberi penjelasan bahwa metode telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Ada beberapa cara menentukan karakter tokoh dengan metode langsung (telling).

(1) Karakterisasi menggunakan nama tokoh Nama tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali digunakan untuk memberikan ide atau menumbuhkan gagasan, memperjelas, serta mempertajam perwatakan tokoh. Para tokoh diberikan nama yang melukiskan karakteristik yang membedakannya dengan tokoh yang lain. Nama tersebut mengacu pada karakteristik dominan si tokoh.

(2) Karakterisasi melalui penampilan tokoh Faktor penampilan tokoh memegang peranan penting sehubungan dengan telaah karakterisasi. Penampilan tokoh misalnya, pakaian yang dikenakan oleh tokoh atau bagaimana ekspresi tokoh dalam cerita. Perincian penampilan memperlihatkan kepada pembaca tentang usia, kondisi fisik/ kesehatan, dan tingkat kesejahteraan tokoh. Pada karakterisasi perwatakan tokoh melalui penampilan terkait pula dengan kondisi psikologis tokoh dalam cerita.

(3) Karakterisasi melalui tuturan pengarang Metode ini memberikan tempat yang luas dan bebas kepada pengarang atau narator dalam menentukan kisahnya. Pengarang berkomentar tentang watak dan kepribadian para tokoh hingga menembus ke dalam pikiran, perasaan dan gejolak batin sang tokoh. Oleh karena itu, pengarang terus menerus mengawasi karakterisasi tokoh. Pengarang tidak sekadar menggiring perhatian pembaca terhadap komentarnya tentang watak tokoh, tetapi juga mencoba membentuk persepsi pembaca tentang tokoh (3) Karakterisasi melalui tuturan pengarang Metode ini memberikan tempat yang luas dan bebas kepada pengarang atau narator dalam menentukan kisahnya. Pengarang berkomentar tentang watak dan kepribadian para tokoh hingga menembus ke dalam pikiran, perasaan dan gejolak batin sang tokoh. Oleh karena itu, pengarang terus menerus mengawasi karakterisasi tokoh. Pengarang tidak sekadar menggiring perhatian pembaca terhadap komentarnya tentang watak tokoh, tetapi juga mencoba membentuk persepsi pembaca tentang tokoh

b) Metode Tidak Langsung (Showing) Metode tidak langsung mengarah pada metode dramatik yang mengabaikan kehadiran pengarang sehingga para tokoh dalam karya sastra dapat menampilkan diri secara langsung melalui tingkah laku mereka. Berikut adalah cara untuk mengetahui karekter tokoh dengan metode tidak langsung.

(1) Karakterisasi melalui dialog Karakterisasi melaui dialog dapat berupa sesuatu yang dikatakan penutur dan jati diri penutur. Jadi, dalam sebuah teks dialog menyiratkan suatu watak atau karakter dari tokoh yang mengucapkan dialog tersebut.

(2) Lokasi dan situasi percakapan Dalam kehidupan nyata, percakapan yang berlangsung secara pribadi dalam suatu kesempatan di malam hari biasanya lebih serius dan lebih jelas daripada percakapan di malam hari. Bercakap-cakap di ruang keluarga biasanya lebih signifikan daripada berbincang di jalan. Dengan demikian, sangat mungkin hal tersebut terjadi pada cerita fiksi.

(3) Jati diri tokoh yang dituju oleh penutur Penutur dalam hal ini adalah tuturan yang disampaikan tokoh dalam cerita. Maksudnya adalah tuturan yang diucapkan tokoh tertentu tentang tokoh lain.

(4) Kualitas mental para tokoh Kualitas mental para tokoh dapat dikenali melalui jalinan dan aliran tuturan ketika para tokoh bercakap-cakap. Misalnya, para tokoh yang terlibat dalam suatu diskusi yang hidup menandakan bahwa mereka memiliki sikap mental yang cerdas dan terbuka.

(5) Nada suara, tekanan, dialek, dan kosa kata Nada suara dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang watak (5) Nada suara, tekanan, dialek, dan kosa kata Nada suara dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang watak

(6) Karakterisasi melalui tindakan para tokoh Selain melalui tuturan, watak tokoh dapat diamati melalui tingkah laku. Tokoh dan tingkah laku bagaikan dua sisi uang logam, misalnya adalah penampilan tokoh yang berupa perubahan ekspresi wajah dapat memperlihatkan watak tokoh. Selain itu, terdapat motivasi yang melatarbelakangi perbuatan dan memperjelas gambaran watak para tokoh. Apabila pembaca mampu menelusuri motivasi ini, pembaca tidak sulit untuk menentukan watak tokoh.

Setiap tokoh memiliki suatu karakter atau watak tertentu. Satu tokoh dalam suatu cerita dapat dideskripsikan memiliki banyak karakter. Ada beberapa cara untuk menggambarkan watak tokoh. Herman J. Waluyo (2002: 17) menyebutkan tiga cara melukiskan tokoh.

(1) Keadaan fisik Keadaan fisik tokoh meliputi umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi atau pendek, kurus atau gemuk, suka senyum atau cemberut, dan lain-lain. Ciri-ciri fisik tersebut dihubungkan dengan pemilikan watak pada seorang tokoh.

(2) Keadaan psikis Keadaan psikis tokoh meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, temperamen, ambisius, kompleks psikologis yang dialami, keadaan emosi, dan lain-lain.

(3) Keadaan Sosiologis

Keadaan sosiologis tokoh meliputi jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, dan sebagainya. Keadaan sosiologis tertentu akan memengaruhi sikap dan watak suatu tokoh.

E.M. Forster (dalam Budi Darma, 2004: 14) membagi tokoh menjadi dua, yaitu tokoh bulat (round character) dan tokoh pipih (flat character). Budi Darma menambahkan bahwa tokoh bulat mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Tokoh bulat memiliki berbagai dimensi watak dan tidak bersifat hitam putih (yang jahat selalu jahat dan yang baik selalu baik). Tokoh pipih berkebalikan dengan tokoh bulat, yakni tidak mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Tokoh pipih bercirikan dimensi watak statis, sederhana, tidak kompleks atau bersifat hitam putih (Nugraheni Eko Wardani, 2009: 41)

Burhan Nurgiyantoro (2005: 176-177) berpendapat bahwa tokoh dibagi menjadi dua macam. Pembagian berdasar pada segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam suatu cerita. Tokoh tersebut adalah:

(1) tokoh utama cerita, yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan; dan (2)

tokoh tambahan, yaitu tokoh yang berperan sebagai tambahan dalam cerita. Pembedaan antara tokoh utama dan tambahan tak dapat dilakukan secara eksak. Pembedaan lebih bersifat gradasi dan kadar keutamaan tokoh bertingkat. Berdasar peranannya terhadap jalan cerita, Herman J. Waluyo (2002: 16) mengklasifikasikan tokoh menjadi beberapa macam, yakni:

(1) tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita;