Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Utang Piutang di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur

2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Utang Piutang di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur

2.1 Anjuran Untuk Memberikan Utang Kepada Orang Lain Di atas telah dijelaskan bahwa utang piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi utang kepada orang yang berutang dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama dengan yang diterima oleh orang yang berutang tanpa adanya penambahan atau kelebihan pembayaran dari jumlah utang yang diutang sesuai dengan kesepakatan bersama. Tidak boleh ada penambahan atau membayar lebih dari jumlah utang yang diutang pada saat akad berlangsung. Maksudnya orang yang memberikan utang tidak boleh mensyaratkan kepada orang yang berutang pada saat awal kesepakatan untuk membayar lebih utang dari jumlah yang seharusnya dibayar.

Utang piutang dimaksudkan sebagai akad kasih sayang, serta mendekatkan hubungan kekeluargaan. Adapun bagi orang yang ikhlas menolong saudaranya di dunia maka Allah akan melapangkan kesusahnnya di dunia. Sebagaimana hadis berikut :

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan

Menurut hadis di atas dapat disimpulkan bahwa Allah menganjurkan kepada manusia agar membantu orang yang sedang dalam kesusahan. Orang yang sedang dalam kesusahan tentunya sangat membutuhkan pertolongan dari orang lain baik dalam bentuk materi maupun tenaga. Sebagai imbalannya barangsiapa yang melapangkan orang lain dari kesulitan dunia, maka Allah akan melapangkan pula baginya satu kesulitan di hari kiamat. Allah senantiasa menolong hambanya selagi hamba tersebut membantu saudaranya.

Selanjutnya janji Allah dari ayat di atas adalah barang siapa yang memudahkan urusan orang yang kesulitan dalam masalah utang, maka Allah akan memudahkan baginya kesulitan dunia dan akhirat. Jadi bagi siapapun yang memudahkan urusan orang lain dalam masalah utang maka ia tidak hanya mendapatkan keuntungan dunia namun juga di akhirat, yaitu Allah permudah segala urusannya baik di dunia dan di akhirat.

Selain itu, pelajaran yang dapat dipetik dari hadis di atas adalah ketika seseorang menutupi aib dari seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya baik di dunia maupun di akhirat. Allah akan menolong seorang hamba selagi hamba tersebut menolong saudaranya. Sungguh Allah maha mulia, ketika seorang hamba melakukan sebuah kebaikan di dunia, Allah akan membalas kebaikan tersebut di dunia dan akhirat.

Selain itu, anjuran untuk menolong orang lain juga terdapat

“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qardh dua kali, maka seperti sedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah) (Al-AlBani 2007, 414)

Maksudnya yaitu tidaklah seorang muslim mengutangkan hartanya kepada muslim lainnya sebanyak dua kali kecuali perbuatannya sama dengan sedekah satu kali. Sebagai contoh ketika seorang memberikan utang sebesar Rp 100.000,- kepada orang lain sebanyak dua kali, maka perbuatannya tersebut sama dengan bersedekah sebanyak Rp 100.000,-

Begitu banyaknya kebaikan yang didapat ketika seseorang memberikan utang kepada orang lain dibandingkan bersedekah. Orang yang memberikan utang tersebut tidak hanya mendapatkan keuntungan di dunia saja tetapi juga di akhirat. Keuntungan lain yang dapat kita lihat dari keutamaan memberikan utang dibandingkan bersedekah adalah dari segi jumlah harta, ketika orang memberikan utang kepada orang lain hartanya tersebut tidak akan berkurang sebab ketika orang yang berutang sudah mampu untuk membayarnya ia akan mengembalikan lagi utang tersebut. Bagi orang yang bersedekah dilihat dari segi hartanya akan berkurang. Ia hanya akan mendapatkan kebaikan akhirat saja. Selain itu, nilai mempiutangkan lebih tinggi daripada bersedekah karena memberikan utang kepada orang lain karena mereka butuh, sedangkan bersedekah kepada orang lain belum tentu mereka membutuhkan.

Begitu juga bagi orang yang berutang. Jika mereka diberikan bantuan oleh orang lain baik itu meteri, maka orang tesebut harus tepat janji dalam membayar utang tersebut. Ketika saatnya sudah tiba Begitu juga bagi orang yang berutang. Jika mereka diberikan bantuan oleh orang lain baik itu meteri, maka orang tesebut harus tepat janji dalam membayar utang tersebut. Ketika saatnya sudah tiba

“Menunda pembayaran utang dalam kondisi mampu adalah suatu kezaliman.” (HR. Bukhari) (Al-AlBani 2007, 161)

Berdasarkan hadis di atas jelas bahwa orang yang menunda- nunda dalam membayarkan utang termasuk orang yang zalim. Maksudnya adalah orang tersebut sebenarnya sudah mampu membayar utang, namun orang tersebut menunda-nunda dalam membayar utangnya, maka itu termasuk suatu kezaliman. Adapun perbuatan tersebut termasuk sebuah kezaliman karena bisa jadi pihak pemberi utang sedangkan memerlukan uang tersebut.

Berbeda halnya jika memang tidak mampu untuk membayar utang tersebut, maka dianjurkan bagi orang yang memberikan utang untuk memberikan tambahan waktu kepada orang yang berutang tersebut. Jika dari pihak yang berutang tetap belum bisa membayar utangnya padahal tambahan waktu juga sudah diberikan maka orang yang memberikan utang tersebut dianjurkan untuk memaafkan orang yang berutang dan mengiklaskan saja utang tersebut, jika kondisi orang yang berutang sangat tidak memungkinkan untuk membayar utang, untuk makan saja mereka sudah kesulitan apalagi untuk membayar utang itu akan menambah kesusahan bagi mereka.

Jika dari pihak pengutang sudah mampu membayar utangnya, akan lebih baik lagi bila ia melebihkan dalam membayar utangnya dengan syarat tidak ditetapkan pada saat akad. Bahkan cara ini dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW karena sebaik-baiknya orang adalah yang baik dalam membayar utang. Sebagaimana hadis nabi

“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki' dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur tertentu. Kemudian beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang telah berumur yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang dipinjam)” (HR. Tirmidzi) (Al-AlBani 2014, 86)

Berdasarkan hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ketika seseorang berutang harta maupun benda kepada orang lain dan pada saat ia telah mampu membayarnya, alangkah lebih baik jika ia mengembalikan harta maupun benda tersebut dengan yang lebih baik dari apa yang ia terima. Seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang mengembalikan utangnya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang ia utang. Adapun maksud dari sesuatu yang lebih baik dapat dilihat dari tiga segi, yaitu dari jumlah, kualitas, dan waktu. Pertama dari segi jumlah, maksudnya adalah ketika seseorang berutang kepada orang lain dan ketika telah mampu membayarnya dianjurkan kepada orang tersebut untuk melebihkan pembayaran utang tersebut. Contoh ketika seseorang berutang uang sebesar Rp 100.000,- kepada orang lain, maka pada saat membayar utang ia bisa melebihkan dari jumlah yang ia terima. Misalnya saja utang yang semula Rp 100.000,- menjadi Rp 150.000,-

Kedua, dari segi kualitas yaitu ketika seseorang telah mampu membayar utangnya diharapkan agar orang tersebut mengembalikan Kedua, dari segi kualitas yaitu ketika seseorang telah mampu membayar utangnya diharapkan agar orang tersebut mengembalikan

Ketiga, dari segi waktu yaitu diharapkan orang yang berutang dapat mengembalikan utangnya lebih cepat dari waktu yang telah disepakati. Misalnya, Bu Emma berutang uang kepada Bu Dina dan atas kesepakatan berdua, Bu Emma akan mengembalikan uang tersebut pada tanggal 16. Namun Bu Emma dapat mengembalikan utangnya kepada Bu Dina lebih cepat yaitu pada tanggal 13.

Jadi, manfaat yang didapat ketika seseorang memberikan utang kepada orang lain yang sedang membutuhkan jika dilihat dari segi jumlah, ia akan menerima utang tersebut dengan jumlah yang lebih sehingga hartanya akan bertambah. Jika dilihat dari segi kualitas bagi pihak pemberi utang, ia akan mendapatkan kembali harta maupun bendanya dengan yang lebih baik lagi. Selanjutnya dari segi waktu, harta maupun bendanya kembali lagi kepadanya lebih cepat. Kebaikan tersebut boleh dilakukan oleh siapa saja yang berutang dengan catatan bahwa hal tersebut tidak disyaratkan pada saat akad. Sedangkan bagi orang yang berutang keuntungan yang didapat adalah ia akan terlepas dari kesusahan dunia dan mendapatkan pahala di akhirat.

Adapun pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari hadis di atas adalah pentingnya saling tolong menolong antar sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:

Artinya : dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Kementrian Agama RI 2016, 106)

Sesungguhnya segala perintah yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya tidak ada yang sia-sia. Kebaikan-kebaikan yang dianjurkan dalam agama kepada umatnya akan bernilai ibadah dan mendapatkan pahala di sisiNya. Satu kebaikan yang dilakukan seorang hamba maka Allah SWT akan membalasnya dengan dua kebaikan. Begitu indahnya perintah dan anjuran untuk berbuat kebaikan yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya

2.2 Analisis Hukum Islam terhadap Praktek Utang Piutang di Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur

Secara umum dapat disimpulkan bahwa utang piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi utang kepada orang yang berutang dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama dengan yang diterima oleh orang yang berutang tanpa adanya penambahan atau kelebihan pembayaran dari jumlah utang yang diutang sesuai dengan kesepakatan bersama.

Adapun praktek utang piutang yang terjadi di Desa Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur yaitu dengan cara utang uang yang dibayar dengan padi. Hal tersebut terjadi setelah adanya akad antara dua orang yang berakad dimana pihak pertama sebagai pemberi utang dan pihak kedua sebagai penerima utang. Ketentuannya yaitu uang yang dipinjam oleh pihak kedua dibayar dengan padi pada saat panen. Di satu sisi, praktek tersebut menguntungkan kepada pihak pemberi Adapun praktek utang piutang yang terjadi di Desa Tanjung Medan Jorong Petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur yaitu dengan cara utang uang yang dibayar dengan padi. Hal tersebut terjadi setelah adanya akad antara dua orang yang berakad dimana pihak pertama sebagai pemberi utang dan pihak kedua sebagai penerima utang. Ketentuannya yaitu uang yang dipinjam oleh pihak kedua dibayar dengan padi pada saat panen. Di satu sisi, praktek tersebut menguntungkan kepada pihak pemberi

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa informan sebagai pihak penerima utang, alasan mereka melakukan praktek utang piutang dengan cara tersebut karena tidak ada lagi tempat lain yang bersedia memberikan mereka utang. Mereka telah mencoba berutang kepada orang lain namun tidak ada yang bisa. Sedangkan mereka sangat membutuhkan uang dengan berbagai alasan. Mereka perlu uang untuk kebutuhan yang membutuhkan dana cepat, sementara mereka tidak memiliki tabungan untuk menutupi kebutuhan tersebut. Di sisi lain ada pihak yang bersedia membantu namun dengan cara yang demikian.

Berdasarkan masalah yang timbul dari praktek utang piutang tersebut Penulis menganalisis bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktek utang piutang uang yang dibayar dengan padi di desa Tanjung Medan Jorong petok Selatan Nagari Panti Selatan Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Timur yang jumlahnya berlebih saat membayar utang tersebut. Praktek tersebut terjadi ketika adanya akad dari dua orang yang berakad dimana pihak pertama memberikan utang kepada pihak kedua, utang yang diberikan yaitu berupa uang dan utang tersebut akan dibayar berupa padi pada saat panen. Ketika seorang berutang uang dengan jumlah tertentu maka dalam pembayarannya, orang yang berutang tersebut akan mengembalikan utangnya dalam bentuk padi.

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim) (Al-AlBAni 2007 tt, 674)

Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa orang boleh tukar menukar terhadap barang yang sama dengan syarat takaran maupun jumlahnya harus sama. Jika barang tersebut sama maka takarannya harus sama tidak boleh berlebih. Ketika orang melakukan barter terhadap barang yang sama seperti beras dengan beras, salah satu pihak tidak boleh melebihkan dari dagangannya. Terkadang masalah ini muncul karena salah satu pihak tidak merasa puas.

Sebagai contoh, Bu Rina memiliki beras dolok sebanyak 2 gantang, di sisi lain ada Bu Yuna yang mempunyai beras solok. Bu Rina ingin menukar berasnya dengan beras Bu Yuna. Namun Bu Yuna merasa beras bu Rina kurang bagus. Bu Yuna bersedia menukarkan beras dolok sebanyak dua gantang milik Bu Rina dengan berasnya, dengan syarat bahwa beras dolok milik Bu Rina tersebut ditambah menjadi tiga gantang dan ditukar dengan beras solok miliknya sebanyak dua gantang. Hal tersebutlah yang tidak dibolehkan dalam Islam karena melebihkan sesuatu terhadap sesuatu yang lain yang sejenis. Adapun cara agar Bu Rina bisa mendapatkan beras solok tersebut yaitu dengan cara menjualkan beras dolok yang ia miliki ke tempat lain dan uang yang didapatnya dari menjual beras dolok itu digunakan untuk membeli beras solok.

Adapun Jika jenisnya berbeda, maka orang bisa saling membarterkan sesuka mereka dengan jumlah yang berbeda. Sebagai contoh, Bu Fitri menukarkan gula miliknya dengan minyak milik Bu

Ilma. Hal tersebut boleh karena barang yang mereka tukarkan berbeda jenisnya.

Berdasarkan hadis di atas, maka hukum dari utang uang dibayar dengan padi adalah boleh karena praktek utang piutang tersebut tidak sejenis yaitu uang dengan padi. Dalam kaidah fiqih, pada dasarnya segala sesuatu itu boleh sampai ada dalil yang melarangnya.

Pada dasarnya segala sesuatu itu mubah sehingga dating dalil yang menjelaskan keharamannya

Sejauh ini, penulis belum menemukan dalil yang melarang terhadap praktek utang uang yang dibayar dengan padi. Jika dilihat dari tujuan praktek utang piutang tersebut bagi pihak pengutang adalah karena mereka dalam kondisi terdesak dan sangat butuh. Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa informan, mereka berutang dengan alasan karena butuh dan terdesak. Jika mereka tidak berutang maka bagi satu pihak pengutang anaknya akan putus sekolah, bagi satu pihak pengutang yang lain mereka bisa kelaparan. Selain itu, mereka berutang dengan cara utang uang dibayar dengan padi karena mereka sudah berusaha berutang kepada yang lain namun tidak pernah dapat. Di lain pihak, ada yang bersedia mengutangi uang namun dibayar dengan padi.

Batasan kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda. kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan bahaya. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepantingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi,

1. Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya.

2. Hajah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seeseorang yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.

3. Manfaat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menuru apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.

4. Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih- lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum saddud dzariah, yaitu menutup segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan. (Usman 2002, 134-135)

Berdasarkan penjelasan di atas jika dilihat dari tujuan orang yang berutang adalah karena terdesak seperti mereka berutang untuk menghindari kelaparan maka ini termasuk dalam kategori darurat karena darurat itu terkait dengan dharuriah, dimana batasan kemudaratan itu adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia yang terkait dengan panca tujuan yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan Berdasarkan penjelasan di atas jika dilihat dari tujuan orang yang berutang adalah karena terdesak seperti mereka berutang untuk menghindari kelaparan maka ini termasuk dalam kategori darurat karena darurat itu terkait dengan dharuriah, dimana batasan kemudaratan itu adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia yang terkait dengan panca tujuan yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan

Namun jika dilihat dari tujuan orang yang berutang adalah karena butuh yaitu untuk biaya sekolah anak, jika tidak berutang maka anak mereka akan putus sekolah maka ini termasuk dalam kategori hajat (kebutuhan) maka hukum dari utang piutang dengan cara utang uang dibayar dengan padi yang berlebih. Dengan adanya kaidah berikut :

Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat Kaidah di atas menunjukkan bahwa keringanan itu tidak hanya

berlaku bagi kemudharatan juga berlaku pada kebutuhan, baik kebutuhan umum maupun kebutuhan khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas kemudharatan, karena itu hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudarat.

Syarat adanya hajat adalah sebagai berikut :

1. Ia membutuhkan atas ketidakberlakuan hukum asal karena

adanya kesulitan (haraj atau masyaqqod) yang tidak bisa terjadi.

2. Sesuatu yang dihajati itu patut menggunakan hukum istisna’ (pengecualian) bagi individu menurut kebiasaan.

3. Hajat yang dihadapi merupakan hajat yang jelas untuk satu tujuan bagi hukum syarak.

4. Kedudukan hajat sama dengan darurat dalam aspek penggunaan kadar yang dibutuhkan. Jumhur ulama menggunakan keringanan-keringanan dalam hajat atau darurat jika hajat dan darurat itu memenuhi syarat- syaratnya. (Usman 2002, 138-140) 4. Kedudukan hajat sama dengan darurat dalam aspek penggunaan kadar yang dibutuhkan. Jumhur ulama menggunakan keringanan-keringanan dalam hajat atau darurat jika hajat dan darurat itu memenuhi syarat- syaratnya. (Usman 2002, 138-140)

Masyaqqot adalah kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatagan kemudahan atau keringanan sedangkan dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Jadi dengan keringanan masyaqqod dan penghapusan mudarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanyanya tidak mempunyai perbedaan. (Usman 2002, 132-133)