ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESI

ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

  Oleh DENNY DWINATA HERIANTO

  A14105525

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN

  DENNY DWINATA HERIANTO. Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional. Dibawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA.

  Indonesia merupakan salah satu negara berkembang masih mengandalkan komoditas minyak dan gas bumi (Migas) sebagai penghasil devisa. Komoditas minyak dan gas bumi merupakan jenis sumberdaya alam dengan jumlah yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, sehingga perlu penghematan dalam penggunannya. Negara Indonesia tidak selamanya dapat mengandalkan komoditas tersebut (Migas) untuk memperoleh devisa, sehingga peranan dari sektor lain yang mempunyai potensi harus dikembangkan. Salah satu sektor non migas yang mampu memberikan kontribusi positif kepada negara adalah sektor pertanian. Komoditas kelapa sawit menyumbang devisa kepada negara sebesar US 2,79 milyar dengan volume ekspor sebesar 5,72 juta ton dari bulan Januari sampai Mei tahun 2007. Permintaan kelapa sawit untuk kebutuhan konsumsi akan terus mengalami peningkatan karena seiring dengan bertambahnya jumlah populasi manusia, sehingga permintaan terhadap CPO akan meningkat sebagai bahan baku minyak goreng dan keperluan lain seperti biofuel (bahan bakar). Peningkatan dayasaing masih CPO Indonesia disebabkan karena penggunaan bibit palsu atau tidak berlabel. Penggunaan bibit yang tidak berkualitas akan mempengaruhi produksi dan produkstivitas CPO. Masalah lain yang berdampak terhadap peningkatan penanaman kelapa sawit di Indonesia yaitu isu negatif dari Negara Di Eropa dan LSM Lingkungan, yang menyatakan kalau pembukaan lahan perkebnan kelapa sawit akan dampak terhadap kerusakan hayati dan penyebab terjadinya pemanasan global.

  Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk ; (1) Mengetahui struktur industri CPO di pasar internasional, (2) Mengetahui keunggulan komparatif industri CPO Indonesia, (3) Mengetahui keunggulan kompetitif industri CPO Indonesia, (4) Mengetahui strategi yang dapat dirumuskan untuk memperkuat dayasaing industri CPO nasional di pasar internasional. Penelitian ini dilakukan dengan lingkup makro, yaitu meliputi keadaan perdagangan CPO secara nasional dan internasional.

  Struktur pasar CPO di pasar internasional pada tahun 1993-2006 menunjukan kecenderungan kearah pasar Oligopoli ketat. Negara yang termasuk

  kedalam struktur pasar ini adalah Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, dan Costarica. Hasil ini ditunjukan oleh nilai Herifindhal Index sebesar 0,5 dan nilai

  Concentration Ratio dari empat produsen CPO terbesar sejumlah 94 persen. Malaysia dan Indonesia merupakan negara yang paling besar kontribusi CPO dari empat eksportir utama CPO di pasar internasional.

  Industri CPO nasional memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukan dengan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih besar dari satu. Pada tahun 2006, Indonesia mempunyai nilai RCA sebesar 45. Angka ini menunjukan adanya keunggulan komparatif pada komoditi CPO namun dayasaingya masih rendah jika dibandingkan dengan negara Malaysia dan Papua Nugini. Secara rata-rata negara yang mempunyai keunggulan komparatif terbaik Industri CPO nasional memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukan dengan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih besar dari satu. Pada tahun 2006, Indonesia mempunyai nilai RCA sebesar 45. Angka ini menunjukan adanya keunggulan komparatif pada komoditi CPO namun dayasaingya masih rendah jika dibandingkan dengan negara Malaysia dan Papua Nugini. Secara rata-rata negara yang mempunyai keunggulan komparatif terbaik

  Hasil analisis keunggulan kompetitif industri CPO Indonesia menghasilkan bahwa secara keseluruhan atribut seperti sumberdaya, kondisi

  permintaan domesik memiliki keunggulan kompetitif. Dukungan dari pemerintah dan faktor peluang juga membantu terbentuknya keunggulan Kompetitif Indonesia. Kendala masih terdapat dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit yaitu masih minimnya sarana dan prasarana penunjang industri CPO Indonesia, masih rendahnya penggunaan bibit unggul, dan kurangnya peranan dari penyuluh pertanian lapangan.

  Strategi untuk meningkatkan dayasaing CPO Indonesia dipasar internasional adalah meningkatkan optimalisasi lahan dengan menggunakan panca usaha tani terutama penggunaan bibit yang berkualitas baik dan tahan terhadap penyakit dengan peranan aktif dari penyuluh pertanian lapangan. Berkembangnya perkebunan kelapa sawit Indonesia saat ini harus didukung oleh sarana dan prasarana penunjang untuk mempermudah aksesbilitas perkebunan, pentingnya pembangunan jalan, pelabuhan merupakan faktor yang mendukung keunggulan kompetitf industri CPO Indonesia. Kegiatan promosi negara Indonesia di pasar internasional perlu ditingkatkan untuk memperkenalkan produk pertanian khususnya produk CPO yang ramah lingkungan untuk mengindari isu negatif mengenai pembukaan lahan perkebunan dengan merusak hutan dan menjadi penyebab terjadinya pemanasan global, kegiatan promosi ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kerjasama investasi pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berkelanjutan.

ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

Oleh DENNY DWINATA HERIANTO A14105525

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh

Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

  Judul

  :Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional

  Nama

  : Denny Dwinata Herianto

  NRP

  : A14105525

  Program Studi

  : Ekstensi Manajemen Agribisnis

  Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi

  Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec. NIP. 131 846 873

  Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

  Prof. Dr. Ir Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

  Tanggal Kelulusan:19 Mei 2008

PERNYATAAN

  DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL” ADALAH BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU PADA LEMBAGA MANAPUN.

  Bogor, Mei 2008

DENNY DWINATA HERIANTO

  A14105525

RIWAYAT HIDUP

  Penulis di lahirkan di Bangkinang pada 08 Desember 1983, sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan T. Simalango dan R. Manalu, SP. Pendidikan dasar di SDN 004 Air Molek Indragiri Hulu (Riau) diselesaikan pada tahun 1996 dan melanjutkan pendidikan pada SLTPN 1 di Air Molek sampai dengan tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke kota ‘gudeg’ yaitu di SMU BOPKRI 1 Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2002.

  Pada tahun 2002, melanjutkan pendidikan Diploma III ke perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada dengan jurusan Kehutanan Program Pengelolaan Hasil Hutan hingga tahun 2005. Selama di Yogyakarta banyak mengikuti kegiatan organisasi kampus dan di luar kampus yang diikuti. Penulis pernah mengikuti PKM (pekan kreativitas Mahasiswa) dengan tema yang di angkat mengenai hutan mangrove bersama team. Setelah lulus dari program pendidikan Diploma III, pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Ekstensi Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor sampai tahun 2008.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang bejudul “Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

  Skripsi ini mengkaji struktur pasar CPO di pasar Internasional. Selain itu, skripsi ini juga mengkaji keunggulan kompetitif dan komparatif industri CPO Indonesia. Penulis menyadari dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

  Bogor, Mei 2008

  Penulis

UCAPAN TERIMAKASIH

  Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

  1. Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan Kasih-Nya yang telah

  diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini

  2. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas doa dan kasih sayang selama ini

  3. Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec., selaku dosen pembibing skripsi atas

  segala bimbingan, arahan, serta waktu yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi ini.

  4. Ibu Ir. Popong Nurhayati, MM sebagai dosen evaluator atas saran dan

  kritikan bagi rencana penulisan penelitian skripsi ini.

  5. Bapak Muhammad Firdaus, PhD sebagai dosen penguji utama atas saran.

  6. Bapak Ir. Joko Purwono, Ms sebagai dosen penguji atas masukan untuk

  tehnik penulisan.

  7. Saudaraku tercinta kakak Loli, Dina dan Meli atas doa dan dukungan yang

  tak pernah hentinya.

  8. Elisya Nurani Kombong atas motivasi dan segala perhatian selama ini dan

  semoga tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun.

  9. Teman-teman Diploma III kehutanan Ivane, Darmani, Erna, Dewi,

  Komang, Angga Bajuri, Fajar, Septian, Ika, Mesi dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu karena banyak sekali teman-teman yang memberikan motivasi sehingga skripsi dapat selesai.

  10. Mas Darlin atas kesediaanya menjadi pembahas seminar dan sarannya.

  11. Teman-teman GTP (Alex_clv, Kiki, lan Sembiring, Arde, Abah, Pak RT, Ari, Habibi, Hasan, Amanda, Pak Eko, Arrow Budi, Heksa).

  12. Om Agus di Surabaya atas kebaikan selama ini.

  13. Teman-teman seperjuangan Ekstensi Irma, Lisma, Eko Priyadi, Elfrida, Ebry, Josep, Dedy Maretha, Wawan, Rudy, Mbak Dar, Imel, Siska, Baim, Koko, Rita, Sandra, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

  14. Sekretariat Ekstensi Manajemen Agribisnis atas pelayanan dan bantuan selama ini terutama untuk Mbak Rahmi, Mbak Nur, Mas Agus dan Aji.

  15. Penguni Kos Jl Riau Ujung tercinta Mas Riki, Mbak Wida, Mas Tyas, Bapak kost dan Ibu, serta Mas Toto dan Yeni.

  16. Teman-teman SMU Bopkri I Cristian, Nando, Dinad, Theresia, Adit atas kekompakan selama ini.

  17. Semua pihak lain yang belum disebutkan yang turut membantu terselesainya skripsi ini.

  Bogor, Mei 2008

  Penulis

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang masih mengandalkan komoditas minyak dan gas bumi (Migas) sebagai penghasil devisa. Komoditas minyak dan gas bumi merupakan jenis sumber daya alam dengan jumlah yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, sehingga perlu penghematan untuk penggunannya. Negara Indonesia tidak selamanya dapat mengandalkan komoditas tersebut (Migas) untuk memperoleh devisa, sehingga peranan dari sektor lain yang mempunyai potensi harus dikembangkan. Salah satu sektor non Migas yang mampu memberikan kontribusi positif kepada negara adalah sektor pertanian.

  Sub sektor perkebunan merupakan salah satu bagian yang menyumbang PDB kepada negara. Salah satu komoditi dari perkebunan adalah kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman keras sebagai salah satu sumber penghasil minyak nabati yang bermanfaat luas dan memiliki keunggulan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, kerena minyak kelapa sawit rendah akan kolesterol dan mempunyai betakaroten tinggi (PPKS, 2006).

  Komoditas kelapa sawit menyumbang devisa kepada negara sebesar US 2,79 milyar dengan volume ekspor sebesar 5,72 juta ton pada tahun 2007 pada bulan Januari sampai dengan Mei (Tabel 1). Permintaan kelapa sawit untuk kebutuhan konsumsi akan terus mengalami peningkatan karena seiring dengan bertambahnya jumlah populasi manusia, sehingga permintaan akan CPO meningkat sebagai bahan baku minyak goreng dan keperluan lain seperti biofuel

  (bahan bakar). Peluang bagi negara Indonesia untuk lebih meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit guna meningkatkan devisa dari komoditas kelapa sawit. Pada tahun 2006 Negara Indonesia merupakan pengekspor kelapa sawit terbesar kedua setelah Malaysia, dengan negara tujuan ekspor kelapa sawit ke India, China dan negara-negara di Eropa.

  Tabel 1 Ekspor Komoditi Kelapa Sawit Indonesia Periode Januari–Mei 2007

  Bulan

  Volume (Ton)

  Nilai US

  Sumber : Departemen Pertanian, 2008

  Pada Tabel 2 luasan areal perkebunan untuk komoditi kelapa sawit untuk lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 luas lahan perkebunan kelapa sawit sebesar 6,59 juta hektar, sedangkan pada tahun 2002 sampai tahun 2005 luas lahan perkebunan di Indonesia berkisar diatas lima juta hektar. Luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun 1916 sampai dengan tahun 2006 menunjukkan perubahan yang sangat signifikan. Perubahannya terutama antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2006, dimana untuk total luas areal dari 1,12 juta hektar menjadi 6,59 juta hektar dan akan terus meningkat seiring

  kebutuhan minyak nabati dunia 1 .

  Tabel 2 Luas Areal Komoditi Perkebunan Indonesia Tahun 2002–2006 (Ha)

  1 http:ditjenbun.deptan.go.idwebindex.php?option=com_contenttask=blogcategoryid=1Ite mid=62. Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia Sangat Signifikan dan Fantastis .

  Kelapa Sawit 5.067.058 5.283.557

  Sumber : Departemen Pertanian, 2007

  Pada tahun 2006 perkebunan kelapa sawit, 57 persen dikuasai swasta, 30 persen petani swadaya, dan 13 persen dikuasai negara. Pada Gambar 1 penguasaan lahan perkebunan di Indonesia lebih dari setengahnya dikuasai oleh pihak swasta dan diikuti oleh masyarakat yang mengusahakan kelapa sawit secara swadaya, serta oleh negara.

  Gambar 1 Penguasaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2006

  Peningkatan areal perkebunan kelapa sawit akibat dari menguatnya permintaan CPO sebagai bahan baku bahan bakar nabati (BBN) yang mampu menggantikan komoditi jagung sebagai bahan baku kebutuhan industri, sehingga menyebabkan tingginya permintaan terhadap hasil produksi kelapa sawit. Meningkatnya permintaan akan CPO menyebabkan pemerintah mengadakan kegiatan perluasan dan peremajaan (Revitalisasi) lahan direncanakan pada beberapa daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi,

  Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Irian Jaya Barat.

  Produksi CPO dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 mengalami peningkatan (Tabel 3). Pada tahun 2002 produksi kelapa sawit sebesar 9,62 juta ton dan mengalami peningkatan untuk tahun 2006 yaitu sebesar 17,35 juta ton. Peningkatan produksi kelapa sawit akibat dari areal penanaman sawit yang juga mengalami peningkatan karena para produsen kelapa sawit melihat kebutuhan minyak goreng serta CPO yang meningkat dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Peningkatan produksi kelapa sawit juga akibat dari mahalnya harga CPO di pasar internasional sehingga banyak produsen mengekspor CPO ke luar negeri. Proyeksi produksi kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2010 menjadi 18 juta ton, pada tahun 2015 akan menjadi 21 juta ton dan pada tahun 2015 akan meningkat sebesar 15 persen atau sebesar 24 juta ton. Proyeksi ekspor kelapa sawit Indonesia ke luar negeri diperkirakan pada tahun 2010 sebesar 12,5 juta ton dan akan meningkat sebesar 25 persen atau sebesar 15 juta ton dan pada tahun 2020 sebesar

  16 juta ton 2 .

  Tabel 3 Produksi Komoditi Perkebunan Indonesia Tahun 2002–2006

  (000Ton) Komoditi 2002 2003 2004 2005 2006

  Kelapa Sawit

  Sumber : Departemen Pertanian, 2007

  2 http:id.wikipedia.orgwikiKelapa_sawit. Sumbangan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit terhadap

  Dibandingkan dengan Negara Malaysia, kelapa sawit Indonesia memiliki sejumlah keunggulan komparatif. Keunggulan pertama, Indonesia memiliki lahan dan tenaga kerja melimpah. Pada Saat ini ada lahan 9,2 juta hektar lahan yang bisa diperluas menjadi 18 juta hektar, sedangkan perluasan lahan sawit di Malaysia terbatas. Keunggulan kedua, biaya produksi CPO Indonesia lebih rendah daripada Malaysia. Selain mengekspor CPO, Negara Malaysia mengolahnya menjadi

  berbagai produk hilir bernilai tinggi 3 .

  Malaysia unggul untuk produktivitas (3,21 ton CPO per hektar per tahun) dibandingkan dengan Indonesia (2,51 ton CPO per hektar per tahun). Malaysia mampu memanfaatkan 87 persen kapasitas pabrik terpasangnya yang mencapai 86 juta ton tandan buah segar (TBS) per tahun, sedangkan Indonesia 65 juta ton TBS per tahun. Dampak kekurangan pabrik pengolahan sawit di Indonesia tidak hanya pada dayasaing yang rendah untuk produksi dan ekspor CPO, tapi juga mengakibatkan berdirinya pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit tanpa memiliki lahan sawit, hal Ini menyebabkan jumlah produksi minyak sawit, kualitas produksi, dan harga tidak mampu diprediksi serta dikontrol dengan baik. Kondisi

  inilah yang mendukung perbedaan produksi dan ekspor kedua negara 4 .

  3 http:www.litbang.deptan.go.idspecialkomoditasb4sawit.Prospek, Arah pengembangan

  Agribisnis Kelapa Sawit . Diakses 15 januari 2008. 4

  http:www.mail-archive.comcikeasyahoogroups.commsg06407.html Industri Kelapa Sawit Indonesia Vs Malaysia. Diakses 20 januari 2008.

1.2 Perumusan Masalah

  Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sub sektor perkebunan merupakan sumberdaya yang terus memberikan peluang untuk terus berkembang dan dapat diandalkan sebagai sumber devisa selain dari sektor Migas yang terus mengalami kemunduran akibat dari sifanya yang tidak dapat diperbarui. Perkebunan masih memberikan peluang yang luas selain masih tersedianya lahan perkebunan baru, juga tersedia tenaga kerja dan konsumen akhir yang terus mengalami perkembangan setiap tahunnya. Negara produsen CPO, termasuk Indonesia berusaha untuk memanfaatkan kelapa sawit sebagai penghasil devisa. Munculnya negara industri baru, perkembangan ekonomi dunia dan pertumbuhan penduduk menyebabkan kelapa sawit akan terus termanfaatkan.

  Permasalahan peningkatan hasil CPO Indonesia di pasar internasional yaitu disebakan oleh banyak faktor kendala, antara lain adalah ;

  1. Produktivitas di bawah potensinya Kelapa sawit Indonesia jika dibandingkan dengan Negara Malaysia dari

  sisi produktivitas masih rendah. Negara Indonesia mempunyai rata-rata produktivitas kelapa sawit sebesar 14-16 tonhektartahun sementara Malaysia mempunyai produktivitas sebesar 18-21 tonhektartahun tandan buah segar sawit. Produktivitas CPO yang dihasilkan Indonesia sebesar 2,51 tonhektar berbeda dengan Negara Malaysia yang mampu menghasilkan CPO sebesar 3,21 tonhektar (PPKS, 2006). Rendahnya produktivitas kelapa sawit Indonesia disebabkan oleh penggunaan bibit yang tidak sesuai dengan standar (kualitas rendah dan palsu), perawatan (pemupukan, pembersihan rumput, penyemprotan dan pruning) yang sisi produktivitas masih rendah. Negara Indonesia mempunyai rata-rata produktivitas kelapa sawit sebesar 14-16 tonhektartahun sementara Malaysia mempunyai produktivitas sebesar 18-21 tonhektartahun tandan buah segar sawit. Produktivitas CPO yang dihasilkan Indonesia sebesar 2,51 tonhektar berbeda dengan Negara Malaysia yang mampu menghasilkan CPO sebesar 3,21 tonhektar (PPKS, 2006). Rendahnya produktivitas kelapa sawit Indonesia disebabkan oleh penggunaan bibit yang tidak sesuai dengan standar (kualitas rendah dan palsu), perawatan (pemupukan, pembersihan rumput, penyemprotan dan pruning) yang

  2. Industri hilir belum berkembang Industri hilir pengolahan CPO di Indonesia saat ini masih terbatas karena

  iklim investasi yang belum kondusif. Pengolahan minyak sawit mentah untuk diolah menjadi produk yang lebih mempunyai nilai tambah (value add) salah satunya oleokimia (sabun, detergen, margarin) dan minyak goreng masih terbatas, karena investasi pembangunan pabrik pengolahan yang besar. Selain itu masalah pasokan gas bumi dan listrik yang belum mencukupi kebutuhan pabrik pengolahan kelapa sawit. Peluang besar bagi negara Malaysia untuk mencukupi permintaan pasar dunia akan kebutuhan minyak nabati khususnya dari kelapa sawit, dan merupakan peluang belum termanfaatkan oleh negara Indonesia.

  3. Infrastruktur yang terbatas Areal penanaman kelapa sawit biasanya pada daerah yang jauh dari

  pemukiman penduduk dan lokasi pabrik (50-200 km), kerena sebelum dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit lahan tersebut adalah kawasan hutan. Jarak yang jauh antara kebun kelapa sawit dengan pabrik tersebut tidak didukung dengan fasilitas jalan dan jembatan yang baik. Pembangunan jalan yang belum permanen menyebabkan pengangkutan sering mengalami keterlambatan apabila memasuki musim penghujan yang berdampak terhadap penurunan kualitas buah sawit yang akan diolah.

  4. Berbagai kebijakan yang tidak kondusif Langkanya minyak goreng dan diikuti oleh mahalnya minyak goreng

  dalam negeri diakibatkan naiknya harga CPO di pasar internasional. Naiknya harga CPO di pasar internasional menyebabkan produsen dalam negeri banyak mengekspor CPO dari pada menjual CPO di dalam negeri. Tingginya harga CPO dunia juga dipengaruhi oleh permintaan yang semakin tinggi untuk kebutuhan biodiesel dan pengaruh iklim global seperti kekeringan yang berkepanjangan menyebabkan turunnya hasil pertanian baik untuk keperluan pabrik nabati atau biodiesel seperti yang terjadi di Ukraina, China, USA, dan beberapa Negara di Eropa.

  Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengatasi kelangkaan minyak goreng adalah dengan meningkatkan pajak ekspor (PE) berdasarkan keputusan menteri keuangan Nomor 61PMK 0012007 mengenai peningkatan pajak ekspor untuk CPO dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen dan peningkatan pajak ekspor kelapa sawit segar (TBS) sebesar 10 persen dari sebelumnya hanya 3 persen. Dampak yang ditimbukan oleh kebijakan pemerintah dengan adanya pajak ekspor yaitu ;

  a) Mengurangi pendapatan produsen perkebunan kelapa sawit

  b) Memicu penyeludupan CPO

  c) Menguntungkan negara eksportir lain

  d) Berdampak kehilangan pasar

  e) Mengganggu iklim investasi

  f) Menghambat program pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan

  Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357KptsHK.35052002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, mengatur mengenai luas lahan usaha budidaya perkebunan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan yang ditetapkan bahwa luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 hektar dalam satu Provinsi atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia. Dikeluarkanya keputusan ini menyebabkan para investor bepikir untuk menanamkan investasi pada sub sektor perkebunan, karena keputusan ini membuat pengusaha perkebunan sulit untuk mengontrol operasional perkebunan yang tersebar di beberapa daerah.

  5. Berkembangnya areal swadaya tanpa pabrik kelapa sawit (PKS) Harga kelapa sawit yang tinggi banyak dimanfaatkan petani kelapa sawit,

  pihak swasta dan Badan Usaha Milik Negara untuk memperoleh keuntungan dengan mengusahakan kelapa sawit. Areal swadaya yang di tanam oleh masyarakat Indonesia saat ini belum didukung oleh pabrik pengolahan kelapa sawit, karena untuk investasi pembangunan pabrik pengolahan membutuhkan modal yang besar yaitu 103 miliar (PPKS, 2006). Akibat yang ditimbulkan oleh kurangnya pabrik pengolahan buah kelapa sawit, menyebabkan buah sawit petani perkebunan swadaya menjadi membusuk dan petani merugi. Integrasi vertikal sangat penting agar antara pabrik dan pemilik kelapa sawit sehingga dapat saling menguntungkan. Dari 22 provinsi yang mengusahakan kelapa sawit di Indonesia, terdapat 420 pabrik pengolahan kelapa sawit yang tersebar di daerah perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi ada provinsi yang tidak mempunyai pabrik pengolahan kelapa sawit akan tetapi mempunyai perkebunan sawit, antara lain Kepulauan Riau dan Sulawesi Tenggara (Lampiran 1).

  6. Kampanye negatif terhadap produk kelapa sawit di pasar Internasional Peningkatan produksi kelapa sawit dengan pembukaan lahan untuk areal

  perkebunan kelapa sawit banyak menuai kritikan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional dan Negara di Eropa terutama Inggris. Menurut mereka dampak yang ditimbulkan dari pembukaan lahan kelapa sawit yaitu rusaknya lingkungan, menyebabkan deforestrasi, berkurangnya satwa langka, dan penyumbang pemanasan global terbesar.

  Perdagangan global menjanjikan pengurangan hambatan berupa tarif, dan proteksi namun di satu sisi muncul tantangan baru berupa hambatan non tarif atau non tarif barrier melalui ketentuan-ketentuan standard code yang dikenal dengan perjanjian technical barrier to trade (TBT) dan perjanjian sanitary and phytosanitary (SPS). Kedua perjanjian tersebut berkaitan dengan standar produk dan jasa, perlindungan kesehatan, keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup. Karena itu dalam merebut peluang pasar yang makin terbuka, penyediaan barang dan jasa harus didukung oleh suatu sistem mutu yang diakui secara internasional. Dari uraian permasalahan di atas maka yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana struktur industri CPO di pasar Internasional ?

  2. Apakah industri CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif ?

  3. Apakah industri CPO Indonesia memiliki keunggulan kompetitif ?

  4. Strategi apa yang perlu dirumuskan untuk memperkuat industri CPO Indonesia di pasar internasional ?

1.3 Tujuan Peneitian

  Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

  1. Menganalisis struktur industri CPO di pasar Internasional.

  2. Menganalisis keunggulan komparatif industri CPO Indonesia.

  3. Menganalisis keunggulan kompetitif industri CPO Indonesia.

  4. Merumuskan strategi untuk memperkuat dayasaing industri CPO nasional di pasar internasional.

1.4 Manfaat Penelitian

  1. Bagi penulis bermanfaat dalam mengaplikasikan teori dan bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan serta pengetahuan.

  2. Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi, acuan serta informasi dalam melihat permasalahan kelapa sawit.

II. TINJAUAN PUSTAKA

  2. 1 Gambaran Umum Kelapa Sawit

2.1.1 Sejarah Kelapa Sawit

  Kelapa sawit pertama kali di tanam secara masal pada tahun 1911 di daerah asalnya Afrika Barat. Kegagalan penanaman tersebut menyebabkan perkebunan dipindahkan ke Kongo. Kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848 sebagai tanaman hias di Kebun Raya Bogor, tanaman kelapa sawit diusahakan sebagai komersial pada tahun 1912 dan di ekspor minyak kelapa sawit pertama dilakukan pada tahun 1919. Industri kelapa sawit Indonesia dan Malaysia berawal ketika empat benih dari Afrika ditanam pada Taman Botani Bogor tahun 1848. Benih kelapa sawit dari Bogor ini kemudian di tanam pada tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaysia pada tahun 1911-1912.

2.1.2 Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit

  Kelapa sawit (Elaeis) termasuk golongan tumbuhan palma. Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Kelapa sawit menjadi populer setelah revolusi industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi.

  Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji bunga matahari dan tanaman penghasil minyak nabati lainnya), sehingga harga produksi menjadi lebih ringan. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji bunga matahari dan tanaman penghasil minyak nabati lainnya), sehingga harga produksi menjadi lebih ringan. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang

  Klasifikasi Botani tanaman kelapa sawit : Filum : Magnoliophyta

  Kelas : Liliopsida Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Elaeis Spesies : Elaeis guineensis

  Elaeis oleifera

  Kelapa sawit dapat mencapai tinggi 25 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak, ukuran buah kecil, bila masak berwarna merah kehitaman dan daging buahnya padat. Pada daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyak tersebut digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak, ampas yang disebut bungkil dapat digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.

  Kelapa sawit dapat berkembang biak dengan biji (generatif) dan vegetatif. Tanaman ini tumbuh pada daerah tropis, pada ketinggian 0 - 500 meter di atas permukaan laut. Kelapa sawit membutuhkan tanah yang subur seperti tanah latosol, ultisol, alluvial dengan drainase yang baik serta solum yang cukup dalam kira-kira 1 meter, dengan kelembaban 80 sampai 90 persen. Kelembaban tinggi itu antara lain ditentukan oleh adanya curah hujan yang tinggi, sekitar 2000 - 2500 mm setahun.

2.1.3 Bibit Kelapa Sawit di Indonesia

  Ketersediaan bibit sangat penting dan strategis karena merupakan tumpuan utama untuk mencapai keberhasilan perkebunan. Kelapa sawit yang berkualitas membutuhkan bibit yang berkualitas sesuai dengan standar yang ditentukan. Pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia kedepan didukung secara handal oleh tujuh produsen benih dengan kapasitas 141 juta pada tahun 2006. Produsen penghasil bibit kelapa sawit yaitu: Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dengan kapasitas produksi 40 juta ton, PT. Socfindo dengan kapasitas produksi 45 juta ton, PT. Lonsum dengan kapasitas produksi 14 juta ton, PT. Dami Mas dengan kapasitas produksi 15 juta ton, PT. Tunggal Yunus dengan kapasaitas produksi 6 juta ton, PT. Bina Sawit Makmur dengan kapasitas produksi

  15 juta ton dan PT Tania Selatan sebesar 1 juta ton. Permasalahan benih palsu diyakini dapat teratasi melalui langkah - langkah sistematis dan strategis yang telah disepakati secara nasional. Impor benih kelapa sawit harus dilakukan secara hati - hati terutama dengan pertimbangan penyebaran penyakit.

  Bibit yang dihasilkan oleh produsen resmi ini mempunyai kualitas baik karena berasal dari induk yang jelas asal usulnya seperti Delidura, Tenera dan Bapak Pisifera. Adapun ciri dari masing - masing jenis kelapa sawit yaitu :

  1. Kelapa sawit jenis dura biasanya di tanam sebagai pohon induk dengan ciri :

  a. Mempunyai ciri daging buah tipis (20 - 65)

  b. Tempurung yang tebal (20 - 50)

  c. Biji tebal (4 - 20)

  2. Kelapa sawit jenis pisifera biasanya di tanam sebagai tanaman serbuk dengan ciri :

  a. Mempunyai ciri daging tebal (92 - 97)

  b. Tidak mempunyai tempurung

  c. Biji kecil (3 - 8)

  3. Kelapa sawit jenis tenera biasanya di tanam diperkebunan kelapa sawit dengan ciri :

  a. Mempunyai ciri daging buah sedang (60 - 96)

  b. Tempurung yang tipis (3 - 20 )

  c. Biji sedang (3 -15)

2.1.4 Standar Nasional CPO (Crude Palm Oil)

  Standar Nasional Indonesia untuk CPO adalah SNI 01-2901-2006 yang merupakan revisi dari SNI 01-2901-1992. Tujuan dari standar ini adalah menyesuaikan standar mutu minyak kelapa sawit mentah Indonesia dengan mutu minyak kelapa sawit yang umum dipakai dalam perdagangan internasional sesuai dengan perkembangan yang terakhir, sehingga minyak kelapa sawit Indonesia dapat bersaing dipasar internasional.

  Tabel 4 Syarat Mutu Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) Menurut Badan

  Standarisasi Nasional (BSN)

  Kriteria uji

  Satuan

  Persyaratan Mutu

  Warna

  Jingga kemerahan

  Kadar air dan kotoran

  , fraksi masa

  0,5 maks

  Asam lemak bebas

  5 maks

  Bilangan Yodium

  g yodium100g

  50 - 55

  Sumber : Badan Standarisasi Nasional

2.1.5 Usahatani Kelapa Sawit

  Kebijakan pada sub sektor perkebunan, yang menjadi landasan perundangan adalah Undang-undang No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang memiliki ruang lingkup pengaturan meliputi perencanaan perkebunan, penggunaan tanah, pemberdayaan dan pengelolaan usaha, pengelolaan dan pemasaran hasil, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumberdaya manusia, pembiayaan, pembinaan dan pengawasan. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dapat dilakukan dalam berbagai pola yaitu;

  1. Pola Koperasi Usaha Perkebunan, yaitu pola pengembangan yang modal

  usahanya 100 persen dimiliki oleh Koperasi Usaha Perkebunan.

  2. Pola Patungan Koperasi dengan Investor Koperasi, yaitu pola

  pengembangan yang sahamnya dimiliki koperasi sebesar 65 persen dan sisanya dimiliki investor atau perusahaan.

  3. Pola Patungan Investor Koperasi, yaitu pola pengembangan yang

  sahamnya 80 persen dimiliki investor atau perusahaan dan 20 persen dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap.

  4. Pola BOT (Built Operate and Transfer), yaitu pola pengembangan di mana

  pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor atau perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi.

  5. Pola BTN, yaitu pola pengembangan di mana investor atau perusahaan

  membangun kebun atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang kemudian akan dialihkan kepada peminat atau pemilik yang tergabung dalam koperasi.

  6. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan,

  memperkuat, membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan.

  Dalam rangka pengembangan sistem dan usaha agribisnis perkebunan secara optimal, maka pemerintah menyusun langkah pemantapan melalui pendekatan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), dimana Pedoman Kriteria dan Standar Klasifikasi KIMBUN dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 633KptsOT.140102004. Adapun bagan dari strategi pengembangan perkebunan oleh pemerintah saat ini dapat dilihat pada Gambar 2. Dengan adanya pedoman ini diharapkan terciptanya sistem agribisnis perkebunan yang mempunyai dayasaing tinggi, berkelanjutan dan berkeadilan untuk

  kemakmuran rakyat Indonesia 5 .

  § Pembentukan

  Terwujudnya

  • Sistem

  PDB

  • Pengembangan

  • AGRIBISBUN

  UUD 45

  § Perkembangan

  Komoditas

  UU

  Produksi Luas

  •

  Peningatan Kemampuan

  Areal

  SDM IPTEK

  yang Utuh,

  •

  UU 91995

  § Penyerapan

  •

  Penumbuhan Kemitraan

  Berdaya Saing

  • UU

  Tenaga Kerja

  § Sektor

  • Pengembangan

  § Pembangunan

  • Investasi

  Usaha

  Ekonomi Daerah

  untuk sebesar

  Perkebunan

  besarnya

  • INPRES

  § Ketahanan

  • Peningkatan Dukungan

  § Pelestarian

  Ketahanan Pangan

  rakyat

  Lingkungan Hidup

  • Pengelolaan

  SDA

  Lingkungan Hidup • Pengembangan Sistem Informasi Perkebunan

PB Gambar 2 Bagan Strategi Pembangunan Perkebunan

Sumber : Shobirin, 2003

  5 Shobirin.2003. http:sawitwatch.or.idindex?option=com_contenttask=view+55itemid=27lang. Kebijakan

2.1.6 Pengolahan Kelapa Sawit

  Industri pengolahan kelapa sawit menurut Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107 KepKpts1999, pemberian ijin pendirian pabrik kelapa sawit harus ada jaminan adanya pasokan dari kebun sendiri. Pabrik kelapa sawit standar dengan kapasitas 30 ton Tandan Buah Segar (TBS)jam, memerlukan dukungan kebun sawit seluas minimal 6000 hektar. Pabrik pengolahan mini dengan kapasitas 10 ton TBSjam, memerlukan dukungan kebun sawit seluas 2000 hektar.

  Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit diantaranya adalah integrasi vertikal dan horisontal perkebunan kelapa sawit dalam rangka peningkatan ketahanan pangan masyarakat, pengembangan usaha pengolahan kelapa sawit di pedesaan, menerapkan inovasi teknologi dan kelembagaan dalam rangka pemanfaatan sumber daya perkebunan, dan pengembangan pasar. Strategi tersebut didukung dengan penyediaan infrastruktur (sarana dan prasarana) dan kebijakan pemerintah yang kondusif untuk peningkatan kapasitas agribisnis kelapa sawit. Dalam implementasinya, strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit didukung dengan program-program yang komprehensif dari berbagai aspek manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan (perbenihan, budidaya dan pemeliharaan, pengolahan hasil, pengembangan usaha, dan pemberdayaan masyarakat) hingga evaluasi.

2.1.7 Peranan Kelapa Sawit Dalam Bidang Sosial dan Perekonomian

  Indonesia

  Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai banyak manfaat. Kegunaan kelapa sawit yaitu dapat diolah menjadi Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai banyak manfaat. Kegunaan kelapa sawit yaitu dapat diolah menjadi

  

  Dampak yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan kelapa sawit dan pabrik-pabrik secara sosial pada daerah setempat adalah penyerapan tenaga kerja dalam kegiatan produksi kelapa sawit baik di lapangan maupun di pabrik

  (penyiapan lahan, pembukaan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan) 6 . Selain penyerapan tenaga kerja dampak langsung yang ditimbulkan dengan

  hadirnya perkebunan kelapa sawit adalah peningkatan pendapatan yang menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang perkebunan seperti pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pembangunan sarana-sarana umum, pendidikan, kesehatan, bantuan bencana alam dan pembangunan tempat ibadah juga merupakan bentuk sosial dari pihak produsen atau perusahaan kelapa sawit kepada masyarakat setempat.

  6 Sahrul Mulia Harahap. 2001. Studi Evaluasi Lingkungan Sosial Menuju Penyelesaian Konflik.

  Permintaan kelapa sawit dari dalam negeri dan luar negeri dalam bentuk buah segar (TBS) dan bentuk CPO menyebabkan perlunya perluasan areal produksi kelapa sawit. Pengembangan perkebunan untuk menghasilkan produksi kelapa sawit seperti di daerah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan daerah-daerah lain di Indonesia akan membantu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak. Daerah-daerah pengembangan kelapa sawit akan berusaha menarik investor dari mancanegara dan domestik melaui promosi- promosi yang dilakukannya. Secara nasional kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan Indonesia untuk di ekspor sebagai penghasil devisa. Pada saat ini harga kelapa sawit di pasar internasional sangat tinggi sehingga menyebabkan banyak produsen kelapa sawit yang mengekspor keluar negeri. Fluktuasi harga kelapa sawit dan CPO di pasar internasional dipengaruhi oleh harga minyak goreng dari komoditas lain seperti kedelai, zaitun dan

  rapeseed 7 .

  Produksi dan pengembangan industri kelapa sawit Indonesia menimbulkan sejumlah masalah yaitu ancaman keragaman hayati yang rusak, praktek pembakaran hutan untuk pembukaan lahan, konflik sosial dengan masyarakat lokal. Mengatasi permasalahan itu maka sekarang produsen kelapa sawit harus memproduksi kelapa sawit dengan cara-cara yang lestari yaitu dengan memperhatikan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

  7 http:www2.kompas.comkompas-cetak030410ekonomi248870.htm Kelapa Sawit Indonesia

2.2 Penelitian Terdahulu

2.2.1 Penelitian Dayasaing

  Kristina (2006) melakukan penelitian mengenai dayasaing teh hitam Indonesia di pasar internasional dengan teknik estimasi menggunakan data panel yang diperoleh melalui kombinasi data time series dan cross-section dalam kurun waktu tahun 1993-2003. Pengolahan data menggunakan tiga metode yaitu metode pooled, metode fixed effect dan metode random effect. Selanjutnya dari ketiga metode tersebut dilakukan uji F dan uji Hausman untuk mengetahui metode yang terbaik dalam mengestimasi model. Dari hasil pengolahan data dan uji kesesuaian model diketahui bahwa metode yang terbaik dalam estimasi adalah metode fixed effect. Berdasarkan pengolahan hasil melalui estimasi model menggunakan data panel dengan metode fixed effect diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pangsa pasar teh hitam Indonesia berdasarkan nilai probabilitasnya yang diperoleh adalah produksi teh hitam dan jumlah konsumsi teh hitam di dalam negeri.

  Penelitian yang dilakukan oleh Rosalita (1996) tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetif Pengusahaan Minyak Sereh Wangi di Perkebunan Cireundeu, PT Djasulawangi, Kabupaten sukabumi. Menggunakan alat analisis BSD (Biaya Sumber Domestik) menunjukan hasil bahwa pengusahaan minyak sereh wangi menguntungkan secara finansial sebesar Rp. 37.052.337,09 dan mengguntungkan secara ekonomi sebesar Rp. 54.221.721,56. Pengusahaan minyak sereh juga memiliki keunggulan kompetitif dengan nilai KBSD<1 yaitu sebesar 0,78.

  Penelitian yang dilakukan oleh Yusran (2006) tentang analisis dayasaing manggis menguntungkan dan efesien secara finansial dan ekonomi. Nilai keuntungan privat yaitu sebesar Rp. 1.471,51kg (Desa Kracak) dan Rp. 3.621,8kg (Desa Babakan) dan PCR lebih kecil dari satu yaitu sebesar 0,71 (Desa Kracak) dan 0,44 (Desa Babakan). Keuntungan sosial sebesar Rp.1.984,04kg (Desa Kracak) dan Rp. 2.614,06kg (Desa Babakan) dan DRC kurang dari satu yaitu sebesar 0,61 (Desa Kracak) dan 0,50 (Desa Babakan). Hasil perhitungan menunjukan bahwa pengusahaan manggis memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dan memiliki keunggulan diatas normal, baik dalam kondisi adanya distorsi kebijakan maupun dalam pasar persaingan sempurna.

2.2.2 Penelitian Kelapa sawit

  Penelitan yang dilakukan oleh Dicky Armansyah (2005) mengenai Strategi Pengembangan Bisnis Minyak Kelapa Sawit (CPO) pada PT. Socfindo, Sumatera Utara). Penelitian ini menggunakan analisis QSPM yang akan menghasilkan beberapa strategi. Kondisi eksternal yaitu peluang utama PT. Socfindo adalah produk turunan kelapa sawit yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi, sedangkan ancaman utama bagi PT. Socfindo adalah adanya pencurian buah sawit. Kekuatan kondisi Internal perusahaan yaitu produk CPO yang dihasilkan berkualitas tinggi, sedangkan faktor kelemahan utama perusahaan adalah areal perkebunan yang dimiliki tergolong kecil. Lima Strategi yang dapat diprioritaskan berdasarkan besarnya skor yaitu: 1). Memperluas areal perkebunan dan memberikan nilai tambah bagi produk hilir kelapa sawit, 2) Menjaga kualitas produk CPO dan turunnya dan juga nama baik perusahaan, 3) Memperluas wilayah pemasaran CPO dan turunnya di dalam dan di luar negeri serta Penelitan yang dilakukan oleh Dicky Armansyah (2005) mengenai Strategi Pengembangan Bisnis Minyak Kelapa Sawit (CPO) pada PT. Socfindo, Sumatera Utara). Penelitian ini menggunakan analisis QSPM yang akan menghasilkan beberapa strategi. Kondisi eksternal yaitu peluang utama PT. Socfindo adalah produk turunan kelapa sawit yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi, sedangkan ancaman utama bagi PT. Socfindo adalah adanya pencurian buah sawit. Kekuatan kondisi Internal perusahaan yaitu produk CPO yang dihasilkan berkualitas tinggi, sedangkan faktor kelemahan utama perusahaan adalah areal perkebunan yang dimiliki tergolong kecil. Lima Strategi yang dapat diprioritaskan berdasarkan besarnya skor yaitu: 1). Memperluas areal perkebunan dan memberikan nilai tambah bagi produk hilir kelapa sawit, 2) Menjaga kualitas produk CPO dan turunnya dan juga nama baik perusahaan, 3) Memperluas wilayah pemasaran CPO dan turunnya di dalam dan di luar negeri serta

  Penelitian yang dilakukan oleh Yolanda Hole (2000) mengenai Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit di Manokwari Irian Jaya. Berdasarkan hasil penelitiannya menunjukan bahwa terdapat perbedaan petani transmigrasi lokal dan petani transmigrasi swakarsa yang tercermin pada komponen-komponen partisipasi meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Selanjutnya hasil penelitian ini menyatakan bahwasanya faktor pengalaman kerja dan motivasi ekstrinsik berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani transmigrasi lokal, dan faktor pengalaman kerja, motivasi intrinsik, dan sifat kosmopolit petani berhubungan dengan tingkat partisipasi petani transmigrasi swakarsa.

  Penelitian yang dilakukan oleh Berani Purba (2003) mengenai Kontribusi Perkebunan Terhadap Pembangunan Perekonomian di Siak, Provinsi Riau. Analisa yang digunakan adalah Indeks Location Quotient, baik terhadap pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada sub sektor perkebunan. Hasil penelitian menyatakan kelapa sawit di daerah Siak memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. Demkian juga dengan tenaga kerja yang diserap pada kegiatan transpotasi, pengolahan, dan pemasaran berdampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar perkebunan.

2.2.3 Penelitian CPO (Crude Palm Oil)

  Penelitian Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak Goreng, dan TBS Domestik Serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga BBM Dunia oleh Yunita (2007). Menggunakan metode pengolahan Vector Auoregression (VAR). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pasar CPO dunia terintegrasi dengan pasar CPO, minyak goreng, dan TBS domestik. Pasar CPO dunia berperan sebagai penentu harga, sedangkan pasar domesik berperan sebagai pengikut harga. Pada pasar domestik, terjadi integrasi pasar antara pasar CPO dengan pasar TBS domestik. Dimana pasar CPO domestik adalah penentu harga bagi pasar TBS domestik. Tarif ekspor CPO yang ditetapkan pemerintah ternyata tidak berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa tarif ekspor yang berlaku tidak efektif, karena tarif ekspor yang tinggi dapat meminimumkan penghasilan produsen dan eksortir CPO, serta petani, harga BBM dunia berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi.

  Penelitian yang dilakukan oleh Fachnany Siregar (2005) mengenai Strategi Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO di Indonesia dengan menggunakan analisis SWOT. Dari hasil penelitian terdapat 5 strategi untuk meningkatkan biodiesel. Pertama pengembangan industri biodiesel kerakyatan, kedua pembuatan standar biodiesel yang mendapat pengakuan dari agen tunggal pemegang merek, ketiga promosi dan sosialisasi kepada masyarakat oleh semua pihak terkait atau stakeholder, keempat pembuatan energi plantation atau lahan sawit khusus biodiesel, dan kelima mengadakan kerjasama dengan pihak asing baik dalam permodalan, pengembangan teknologi dan pemasaran.

  Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah alat analisis yang digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan dayasaing industri CPO Indonesia dipasar internasional, dengan menganalisis keunggulan dayasaing CPO Indonesia secara kompetitif dan komparatif.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Konsep Dayasaing

  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kamus Bahasa Indonesia tahun 1995 berpendapat bawa dayasaing adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak untuk merebut pasar. Sedangkan menurut Brataatmaja (1994) mendefinisikan dayasaing sebagai kekuatan, kemampuan atau kesanggupan untuk bersaing. Pengertian dayasaing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain (Bappenas, 2007).

  Pengertian dayasaing dapat diterjemahkan dari sisi permintaan (demand side) dan dari sisi penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, kemampuan bersaing mengandung arti bahwa produk agribisnis yang dijual haruslah produk yang sesuai dengan atribut yang dituntut konsumen atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (Consumer s value perception). Sementara dari sisi penawaran, kemampuan bersaing berkaitan dengan kemampuan merespon perubahan atribut-atribut produk yang dituntut oleh konsumen secara efisien.

3.1.1.1 Keunggulan Komparatif

  Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain bila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat diproduksi dengan lebih efesien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditas yang kurang efesien (mengalami kerugian absolut). Konsep keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) yang dipopulerkan oleh David Ricado (1823) yang menyatakan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi kedua komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling mengguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efesien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih kecil. Dari komoditas ini negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih besar. Dari komoditas inilah negara mengalami kerugian komparatif (Salvatore, 1997).

  Hukum keunggulan komparatif diperkuat oleh keunggulan komparatif berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory), yang dikemukakan oleh Haberler tahun 1936. Harberler menyatakan bahwa biaya dari suatu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama (Salvatore, 1997).

  Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori Hecksher- Ohlin (1933), yang pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori Hecksher-Ohlin menggangap bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditas yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan negara akan mengimpor komoditas yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Keunggulan komparatif yang dimiliki dalam perdagangan memiliki sifat yang dinamis bukan statis. Sifat yang dinamis tersebut membuat negara memiliki keungglan komparatif di sektor tertentu harus mampu mempertahankan agar tidak tersaingi oleh negara lain atau digantikan komoditas subtitusinya.

3.1.1.2 Keunggulan Kompetitif

  Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku (analisis finansial), sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau mensubtitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi.

  Analisis keunggulan kompetitif dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dengan dasar aktivitas ekonomi diukur pada harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Maka aktivitas ekonomi suatu negara dapat bersaing di pasar internasional dengan kompetitifnya dalam menghasilkan Analisis keunggulan kompetitif dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dengan dasar aktivitas ekonomi diukur pada harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Maka aktivitas ekonomi suatu negara dapat bersaing di pasar internasional dengan kompetitifnya dalam menghasilkan