Pelaksanaan Perlindungan Hukum Hak Cipta Seni Batik di Kota

B. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Hak Cipta Seni Batik di Kota

Surakarta

1. Hasil Penelitian

Berdasar observasi penulis dalam penelitian yang dilakukan di Kota Surakarta mengenai perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta, maka penulis mendapatkan informasi mengenai perkembangan batik di Kota Surakarta dan wilayah-wilayah yang menjadi pusat batik di Kota Surakarta. Setelah mendapatkan wilayah-wilayah tersebut, maka penulis membatasi lokasi penelitian di wilayah pusat batik di Kota Surakarta dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta yang memiliki kewenangan mengembangkan industri di Kota Surakarta. Hal tersebut Berdasar observasi penulis dalam penelitian yang dilakukan di Kota Surakarta mengenai perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta, maka penulis mendapatkan informasi mengenai perkembangan batik di Kota Surakarta dan wilayah-wilayah yang menjadi pusat batik di Kota Surakarta. Setelah mendapatkan wilayah-wilayah tersebut, maka penulis membatasi lokasi penelitian di wilayah pusat batik di Kota Surakarta dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta yang memiliki kewenangan mengembangkan industri di Kota Surakarta. Hal tersebut

Kota Surakarta dikenal sebagai kota budaya, banyak sekali budaya- budaya tradisional yang masih berkembang di Kota Surakarta, salah satunya adalah batik. Di mana hasil dari observasi yang dilakukan penulis, maka dapat diketahui bahwa di Kota Surakarta memiliki dua kampung yang menjadi pusat batik di Kota Surakarta yang dijadikan sebagai Kampoeng wisata batik. Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan terus melakukan meningkatan-peningkatan industri batik di Kota Surakarta.

Untuk melengkapi data di dalam penulisan hukum ini, maka penulis mengadakan penelitian dengan jalan melakukan wawancara dengan Kepala Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta sebagai wakil pemerintah Kota Surakarta, terkait industri batik di Kota Surakarta yang telah menjadi kewenangan dinas ini. Selain wawancara tersebut, penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa pengusaha batik. Banyaknya pengusaha batik di Kota Surakarta, terbatasnya waktu, biaya, dan tenaga, maka penulis hanya mengambil responden yang dianggap dapat mewakilinya yakni beberapa pengusaha batik dan Ketua Forum Pengembang Kampoeng Batik baik Laweyan maupun Kauman.

Pengusaha batik yang tersebar di Kota Surakarta dapat dikatakan banyak sekali karena menurut data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta menyatakan bahwa Pengusaha Batik di Surakarta lebih banyak dari pada pengusaha yang bergerak di bidang industri yang lain, bahkan industri batik dijadikan sebagai salah satu industri inti di Surakarta. Begitu pula menurut hasil penelitian bahwa batik di Surakarta banyak sekali itupun masih ada yang belum terdaftar dalam dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta. Dari banyaknya batik di Surakarta itu ternyata tidak semua memproduksi batik sendiri sebagai karya pribadi, namun hanya ada beberapa saja. Pengusaha batik yang memproduksi batik sendiri dan Pengusaha batik yang tersebar di Kota Surakarta dapat dikatakan banyak sekali karena menurut data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta menyatakan bahwa Pengusaha Batik di Surakarta lebih banyak dari pada pengusaha yang bergerak di bidang industri yang lain, bahkan industri batik dijadikan sebagai salah satu industri inti di Surakarta. Begitu pula menurut hasil penelitian bahwa batik di Surakarta banyak sekali itupun masih ada yang belum terdaftar dalam dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta. Dari banyaknya batik di Surakarta itu ternyata tidak semua memproduksi batik sendiri sebagai karya pribadi, namun hanya ada beberapa saja. Pengusaha batik yang memproduksi batik sendiri dan

Jumlah pengusaha batik di dua Kampoeng Wisata Batik tersebut menunjukkan telah mencapai ratusan pengusaha batik yang masih bertahan hingga saat ini. Di Kampoeng Wisata Batik Laweyan sendiri menurut data terakhir dari Dinas perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta ada 57 pengusaha batik, sedangkan di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman terdapat 54 pengusaha batik. Batik disini tergolong sebagai home industri.

Perusahaan batik yang ada di Kota Surakarta kebanyakan tergolong perusahaan menengah ke bawah, meskipun demikian tetap harus mendapatkan perhatian dan perlindungan dari pemerintah karena batik di Kota Surakarta telah menjadi salah satu asset perekonomian di Kota Surakarta sendiri. Batik mempunyai asset perekonomian yang tinggi dan sangat potensial sekali serta memiliki prospek yang cerah ke depannya. Hal ini dikarenakan bahwa produk batik di Kota Surakarta telah menjangkau pemasaran ke berbagai negara di antaranya Australia, Canada, China, Colombia, Prancis, German, Greece, Jepang, Korea, New Zeland, Singapore, Spanyol, dan Amerika Serikat sehingga batik secara tidak langsung mempunyai sumbangsih kepada pemerintah melalui sumbangan devisa ataupun melalui pajak.

Perkembangan batik yang pesat ini akhirnya memunculkan suatu campur tangan pemerintah dalam industri batik. Campur tangan tersebut bukan dengan memberikan modal, namun membina kemampuan indutri agar semakin meningkat dan dapat bersaing dengan industri batik yang lain. Dalam rangka peningkatan batik di Kota Surakarta ini “langkah-langkah yang diambil oleh dinas perindustrian dan perdagangan khususnya pada sub bagian perindustrian adalah dengan cara mengadakan beberapa pelatihan, memberikan peralatan dan promosi. Pelatihan disini misalnya dengan adanya pelatihan manajemen, maupun pelatihan kewirausahaan. Dilakukannya beberapa pameran batik baik di Kota Surakarta sampai dengan luar kota salah satunya adalah pameran yang ditempatkan pada pusat batik nusantara di

Jakarta Thamrin City sebagai ajang promosi, juga memberikan peralatan- peralatan kepada pengusaha batik. Selain hal tersebut yang paling penting adalah memberikan perlindungan hukum” (Hasil wawancara dengan Sri Wahyuni, Kepala Bidang Perindustrian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, Senin 29 Maret 10.30).

Upaya pemerintah Kota Surakarta dalam perlindungan hukum secara umum dan perlindungan hukum hak cipta pada khususnya terhadap seni batik di Surakarta ini dilaksanakan dengan cara mendaftarkan motif-motif batik Kota Surakarta ke Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). Motif tersebut diambil dari beberapa pengusaha batik di Kota Surakarta. Kewenangan pendaftaran hak cipta sebenarnya melalui Ditjen HKI atau melalui perwakilan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) tingkat propinsi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan di sini hanya memberikan fasilitas pendaftaran hak cipta seni batik untuk diteruskan kepada Ditjen HKI, adapun pengajuan pendaftaran ini pun atas nama Kota Surakarta.

Upaya ini telah terlaksana beberapa waktu yang lalu, pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan melakukan pendaftaran secara kolektif agar seni batik di Surakarta dapat didaftarakan hak cipta ke Ditjen HKI. Dari pendafttaran tersebut pada tahap pertama yakni pada tahun 2004 ada 214 motif batik dan tahap kedua pada tahun 2006 ada 200 motif batik. Motif tersebut didaftarkan pemerintah Kota Surakarta. Dari hasil pendaftaran tersebut sebagian ditolak dengan alasan bahwa batik yang didaftarkan tidak diketahui penciptanya atau dengan kata lain batik tersebut merupakan batik sebagai hasil kebudayaan rakyat. Walaupun demikian masih ada yang mendapatkan sertifikat Hak Cipta sebanyak 10 karya seni batik. Hasil tersebut atas nama Kota Surakarta bukan sebagai kepemilikan pribadi (Hasil wawancara dengan Sri Wahyuni, Kepala Bidang Perindustrian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, Senin 29 Maret 10.30). Walaupun demikian patut dibanggakan peran dari Pemerintah Kota Surakarta dalam hal memberikan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di

Kota Surakarta dan ini semua juga tidak terlepas dari respon positif dari semua pihak yang terkait dalam hal perbatikan di Surakarta serta masyarakat sendiri.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada pengusaha batik mengenai perlindungan hukum hak cipta. Para pengusaha batik membutuhkan suatu perlindungan, bahkan dari semua responden yang diwawancarai penulis menyatakan bahwa batik perlu sekali untuk dilindungi melalui hak cipta, bahkan menurut salah satu responden yakni Gunawan Setiawan, sebagai Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik Kaoeman pada 4 Maret 2010 pukul 10.00 mengungkapan: “Batik harus dilindungi menurut hukum dan penting sekali perlindungan hukum tersebut karena batik merupakan karya cipta”. Namun sayangnya masih banyak yang belum memaknai hak cipta itu sendiri, sekalipun mereka membutuhkan suatu perlindungan tapi mereka senang apabila motif batik mereka ditiru oranglain, yang mereka jadikan patokan pastinya orang lain dapat menilai membedakan keaslinya dengan kualitas yang ada bukan karena ciptaannya. Sekalipun mereka mengatakan tidak apa-apa dijiplak oleh oranglain, mereka tidak mau dijiplak oleh negara lain. Menurut wawancara dengan Ibu Siti Aminah dari Batik Farel pada 4 Februari 2010 pukul 11.30, mengungkapkan: “Batik itu perlu diberikan suatu perlindungan hukum agar tidak diakui oleh negara lain”. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang cenderung sosial.

Hasil karya cipta manusia berupa batik tradisional ini cenderung merupakan hasil karya suatu komunitas masyarakat tertentu dan jarang sekali hasil karya individu (perorangan). Ini juga dikarenakan mereka cenderung memegang teguh tatanan tradisional, yaitu bahwa seseorang yang ingin sukses dalam hidupnya, ia harus dapat mencapai satu kesatuan hidup atau rasa manunggal. Berdasarkan hasil wawancara pun, semua pengusaha batik mengaku tidak pernah ada sengketa mengenai motif-motif batik. “Sadar sendiri-sendiri”, tutur Ibu Siti Aminah dari Batik Farel pada 4 Februari 2010 pukul 11.30. Ada juga yang menyatakan bahwa: “belum pernah ada sengketa mengenai motif batik, karena semua punya pemasaran sendiri-sendiri, dan Hasil karya cipta manusia berupa batik tradisional ini cenderung merupakan hasil karya suatu komunitas masyarakat tertentu dan jarang sekali hasil karya individu (perorangan). Ini juga dikarenakan mereka cenderung memegang teguh tatanan tradisional, yaitu bahwa seseorang yang ingin sukses dalam hidupnya, ia harus dapat mencapai satu kesatuan hidup atau rasa manunggal. Berdasarkan hasil wawancara pun, semua pengusaha batik mengaku tidak pernah ada sengketa mengenai motif-motif batik. “Sadar sendiri-sendiri”, tutur Ibu Siti Aminah dari Batik Farel pada 4 Februari 2010 pukul 11.30. Ada juga yang menyatakan bahwa: “belum pernah ada sengketa mengenai motif batik, karena semua punya pemasaran sendiri-sendiri, dan

Beberapa pengusaha batik ada yang memiliki motif yang dibuatnya sendiri, namun karena beberapa pertimbangan-pertimbangan terkait dengan pendaftaran, mereka tidak mau mendaftarkan ciptaanya yang disebabkan oleh beberapa hal. Anehnya walaupun mereka enggan mendaftarkan tapi mereka juga merasa kecewa apabila motifnya tersebut ditiru atau dijiplak oleh pihak lain. Pengaturan perlindungan hak cipta pada umumnya dan khususnya batik memang tidak ada suatu kewajiban untuk mendaftarkan ciptaannya, tapi alangkah lebih baik apabila didaftarkan untuk mempermudah proses pembuktian apabila ada suatu permasalahan atau sengketa di kemudian hari. Dalam kenyataannya di tempat penelitian yakni di Kota Surakarta, belum ada yang mendaftarkan karya seni batiknya melalui karya cipta pribadi.

Masyarakat menyadari bahwa batik yang bukan merupakan hasil motif pribadinya atau dengan kata lain motif batik sebagai pengetahuan tradisional telah dilindungi oleh Pemerintah, bahkan batik di Indonesia telah diakui sebagai pusaka dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Pengakuan ini secara tidak langsung juga berdampak positif dalam perkembangan batik di Kota Surakarta.

2. Pembahasan

Salah satu agenda penting dari WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods . Kesepakatan ini akhirnya melahirkan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights ) yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan di bidang HKI dari pembajakan atas suatu karya kreatif dan inovatif seseorang/kelompok orang, baik di bidang sastra, seni, teknologi dan karya ilmiah. Perlindungan mengandung arti pada bentuk perlindungan hukum yang tertuang di dalam hukum hak cipta. Perlindungan Salah satu agenda penting dari WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods . Kesepakatan ini akhirnya melahirkan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights ) yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan di bidang HKI dari pembajakan atas suatu karya kreatif dan inovatif seseorang/kelompok orang, baik di bidang sastra, seni, teknologi dan karya ilmiah. Perlindungan mengandung arti pada bentuk perlindungan hukum yang tertuang di dalam hukum hak cipta. Perlindungan

a. Pertama, subyek perlindungan. Subyek yang dimaksud adalah pihak pemilik atau pemegang hak cipta, aparat penegak hukum, pejabat pendaftaran dan pelanggar hukum, berdasarkan penelitian adalah sebagai berikut: pemilik atau pemegang hak cipta yakni pengusaha batik itu sendiri, adanya aparat penegak hukum dari pihak kepolisian sebagai tempat pengaduan, adanya pejabat pendaftar yakni Ditjen HKI yang dapat melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia wilayah propinsi bahkan di lokasi penelitian untuk mempermudah pendaftaran pemerintah Kota Surakarta melakukan pendaftaran secara kolektif

b. Kedua, obyek perlindungan. Obyek yang dimaksud adalah semua jenis hak cipta yang diatur dalam undang-undang yakni dalam Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002. Dalam kajian yang diteliti penulis adalah seni batik, seni batik merupakan salah satu obyek yang mendapatkan perlindungan hukum melalui hak cipta.

c. Ketiga, pendaftaran perlindungan. Hak cipta yang dilindungi hanya yang sudah terdaftar dan dibuktikan pula dengan adanya sertifikat pendaftaran, kecuali apabila undang-undang mengatur lain. Berdasarkan penelitian ada motif-motif seni batik dapat didaftarkan hak cipta nya.

d. Keempat, jangka waktu. Jangka waktu adalah adanya hak cipta dilindungi oleh undang-undang hak cipta, yakni selama hidup ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Dalam hal ini termasuk jangka waktu untuk obyek seni batik. Di sisi lain seni batik yang masuk dalam pengetahuan tradisional juga dilindungi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.

e. Kelima, tindakan hukum perlindungan.

Apabila terbukti terjadi pelanggaran hak cipta, maka pelanggar harus dihukum, baik secara perdata maupun pidana. Dalam hal kasus penjiplakan motif-motif sebenarnya ada, namun oleh pengusaha batik dianggap sebagai hal yang wajar padahal seharusnya mendapatkan perlindungan.

Berdasarkan pemenuhan unsur-unsur dari perlindungan hukum tersebut sudah selayaknya apabila seni batik di Kota Surakarta ini mendapatkan perlindungan hukum khususnya melalui hak cipta.

Obyek Hak Cipta yang dituangkan dalam UUHC 2002 dalam Pasal

12 ayat (1) UUHC 2002 yang berbunyi sebagai berikut: alam Undang-Undang ini obyek dari hak cipta adalah ciptaan. Ciptaan yang

dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: m. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang

diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; n. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; o. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan; p. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

q. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

r. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan.

s. Arsitektur; t. Peta u. Seni batik; v. Fotografi; w. Sinematografi; x. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari

hasil pengalihwujudan.

Berdasarkan UUHC 2002 seni batik merupakan salah satu obyek yang bisa mendapatkan perlindungan hukum hak cipta. Perlindungan hukum tersebut sebenarnya telah dimulai dalam UUHC 1987 hingga UUHC 2002. Sekalipun seni batik di Indonesia telah mendapat perlindungan sejak UUHC 1987, namun hal ini tidak berarti bahwa para pencipta seni batik telah memanfaatkan UUHC 2002 dalam upaya mendapatkan perlindungan bagi hasil karya cipta batiknya. Di Kota Surakarta ini masih banyak pencipta seni Berdasarkan UUHC 2002 seni batik merupakan salah satu obyek yang bisa mendapatkan perlindungan hukum hak cipta. Perlindungan hukum tersebut sebenarnya telah dimulai dalam UUHC 1987 hingga UUHC 2002. Sekalipun seni batik di Indonesia telah mendapat perlindungan sejak UUHC 1987, namun hal ini tidak berarti bahwa para pencipta seni batik telah memanfaatkan UUHC 2002 dalam upaya mendapatkan perlindungan bagi hasil karya cipta batiknya. Di Kota Surakarta ini masih banyak pencipta seni

“Pengaturan perlindungan terhadap seni batik tradisional baru terdapat pada UUHC 2002. Di dalam ketentuan yang baru ini, meskipun tidak disebutkan secara tegas, namun perlindungan diberikan terhadap seni batik yang dibuat secara tradisional. Tidak ada ketentuan bahwa seni batik itu harus tradisional dan bukan tradisional” (Afrillyana Purba, 2005: 85-86). Unsur yang ditekankan dalam UUHC 2002 adalah pembuatan seni batik secara tradisional sehingga batik di sini dapat sebagai karya cipta pribadi maupun batik sebagai pengetahuan tradisional.

Batik harus memperoleh perlindungan HKI dan khususnya melalui Hak Cipta, karena batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai budaya dan filosofi yang sangat tinggi penemuan baru pencipta bukan pekerjaan dalam waktu singkat, ia membutuhkan waktu lama dan biaya besar sehingga wajar jika hasil cipta tersebut harus dilindungi jangan sampai karya seni tradisional ini juga menjadi sasaran empuk pembajakan, yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi Penciptanya, begitu pula seni batik di Kota Surakarta.

Hasil ciptaan batik merupakan hasil setiap karya pencipta dalam bentuk khas yang menguntungkan dari segi materil, moril dan reputasi seseorang atau kelompok orang yang menghasilkan ciptaan berdasarkan kerja keras melalui pengamatan, kajian dan penelitian secara terus menerus. Sudah sewajarnya, hasil ciptaan batik harus dapat dilindungi hukum dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta. la sebenarnya merupakan suatu perbuatan tidak terpuji dan tercela bahkan tidak bermoral oleh orang-orang tidak bertanggungjawab yang melakukannya.

Prinsip perlindungan hak cipta sesuai dengan Pasal 2 UUHC 2002 yaitu menganut sistem deklaratif. Artinya, pendaftaran itu tidak menerbitkan

hak, tetapi hanya memberikan anggapan bahwa pihak yang Ciptaannya terdaftar itu adalah pihak yang berhak atas Ciptaaan tersebut dan sebagai pemilik asli dari Ciptaan terdaftar. Menurut sistem deklaratif, orang yang pertama kali mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai Pencipta yang mempunyai Hak Cipta sehingga di sini perlindungan berlaku tidak didasarkan pada prinsip pendaftaran dan persyaratan resmi yang diajukan oleh suatu negara. Ciptaan yang diumumkan oleh penciptaanya secara otomatis mendapatkan perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang HKI melalui Hak Cipta itu sendiri, tetapi akan lebih baik apabila ciptaan tersebut didaftrakan karena ciptaan yang didaftarkan dapat menjadikan alat bukti secara autentik sehingga perlindungan hukum juga dapat dirasakan secara nyata. Di Kota Surakarta hampir semua responden dari pengusaha batik tidak mendafttarkan karya cipta seni batiknya, kecuali yang mengikuti pendaftaran kolektif yang telah diupayakan pemerintah Kota Surakarta.

Berdasarkan hal tersebut maka tidak salah apabila para pengusaha batik di Kota Surakarta tidak mendaftarkan karya pribadinya ke dalam daftar ciptaan di Ditjen HKI. Hal ini juga tidak mengurangi perlindungan hukum yang seharusnya pengusaha batik di Kota Surakarta dapatkan karena memang dalam pengaturan hak cipta di Indonesia tidak mengharuskan adanya suatu pendaftaran. Perlindungan hak cipta seni batik terhadap karya pribadi mungkin belum begitu terasa, karena di Kota Surakarta sendiri belum pernah ada suatu perselisihan atau permasalahan yang menyangkut hak cipta batik itu sendiri.

Bentuk perlindungan hukum sebuah karya cipta seni batik yang diperoleh akibat dari pendaftaran hak cipta, antara lain sebagai berikut:

a. Pencipta maupun pemegang hak cipta seni batik akan mendapatkan kepastian hukum mengenai hak cipta seni batik dalam arti mendapatkan pengakuan hak atau ciptaannya bagi pencipta atau pemegang hak cipta seni batik tersebut, kepastian hukum terhadap karya seni batik yang a. Pencipta maupun pemegang hak cipta seni batik akan mendapatkan kepastian hukum mengenai hak cipta seni batik dalam arti mendapatkan pengakuan hak atau ciptaannya bagi pencipta atau pemegang hak cipta seni batik tersebut, kepastian hukum terhadap karya seni batik yang

b. Memberikan kedudukan lebih kuat apabila terjadi sengketa daripada pencipta atau pemegang hak yang tidak mendaftarakan hak ciptanya guna mempermudah proses pembuktian apabila ada suatu permasalahan atau sengketa. Hasil dari pendaftaran tersebut berupa sertifikat dari Ditjen HKI. Sertifikat inilah yang nantinya dapat menyakinkan dan membantah pihak lawan.

Apabila hak cipta tersebut didaftarkan oleh orang lain yang mendapatkan pengalihan hak dari pencipta aslinya maka orang tersebut hanya memperoleh hak ekonominya saja, sedangkan hak moral untuk diakui sebagai pencipta asli tetap dipegang oleh pencipta aslinya walaupun tanpa adanya pendaftaran hak cipta ke Ditjen HKI.

Ketentuan UUHC 2002 juga mengatur mengenai Hak Cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui, hal tersebut tercantum dalam Pasal

10 ayat 2. Penjelasan Pasal 10 ayat 2 UUHC 2002 ini menyatakan bahwa dalam rangka melindungi folklore dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai pemegang hak cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.

Batik sebagai pengetahuan tradisional secara tidak langsung semakin diakui seiring dengan pengakuan batik sebagai pusaka dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB atau yang lebih kita kenal dengan UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 kemarin. Pengakuan UNESCO itu diberikan terutama karena penilaian terhadap keragaman motif batik yang penuh makna filosofi mendalam. Di samping itu pemerintah dan rakyat Indonesia juga dinilai telah melakukan berbagai langkah nyata untuk lindungi dan melestarikan warisan budaya itu secara turun menurun

(http://www.detiknews.com/read/2009/09/07/181258/1198580/10/unesco- akui-batik-milik-indonesia> [25 Maret 2010 pukul 19.30]). Secara tidak langsung hal ini hampir sama dengan bahwa batik sebagai pengetahuan tradisional telah diakui dunia, pengakuan UNESCO ini dapat dijadikan bukti apabila nantinya ada pengklaiman batik oleh negara lain.

Pertimbangan dalam memberikan kebebasan menggunakan hak ciptanya kepada pencipta atau pemegang hak cipta, undang-undang menentukan pula adanya pembatasan terhadap penggunaan hak cipta itu. Pembatasan ini dimaksudkan agar para pencipta dalam kegiatan kreatif dan inovatifnya tidak melanggar norma-norrna atau asas kepatutan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan dapat mewujudkan keadilan dalam bermasyarakat. Untuk memperoleh keuntungan ekonomis bagi para pencipta atau pemegang hak cipta guna dapat dinikmati oleh masyarakat luas itu merupakan suatu kebebasan sehingga dibutuhkan suatu pembatasan penggunaan hak cipta dapat dibagi dalam tiga hal yakni tidak boleh melanggar kesusilaan dan ketertiban umum, tidak boleh melanggar fungsi sosial hak cipta, dan pembatasan dalam hal pemberian lisensi yang wajib.

Hakikatnya hak cipta batik ini sebenarnya memberikan perlindungan bagi si pencipta untuk menikmati secara materiil jernih payahnya dari karya cipta tersebut. Benda hasil karya cipta dianggap sebagai benda bergerak yang dapat diperjualbelikan, diwariskan, dan dihibahkan. Batik yang termasuk sebagai pengetahuan tradisional mendapatkan perlindungan agar karya cipta seni batik milik Indonesia yang menjadi warisan budaya bangsa ini tidak dimiliki/ditiru oleh negara lain. Seandainya negara lain ada yang ingin meniru maka harus membayar royalti kepada pemerintah Negara Indonesia yang nantinya dapat menjadi salah satu sumber devisa negara. Perlindungan hukum hak cipta batik sebagai pengetahuan tradisional para pengusaha batik di Kota Surakarta sudah mengetahuinya.

Bentuk perlindungan hukum melalui UUHC 2002 ini sendiri terdiri dari dua bentuk, yakni perlindungan hukum preventif dan refresif.

a. Perlindungan hukum preventif adalah upaya-upaya pencegahan secara hukum agar tidak terjadi pelanggaran hukum hak cipta atas batik, sedangkan perlindungan hukum diartikan suatu tindakan hukum yang dapat dilakukan untuk melindungi hak cipta atas batik yang sedang dan atau telah dilanggar. Dalam hal perlindungan hukum preventif hak cipta atas karya batik sebenarnya ada dua cara yang dapat dilakukan, yakni: 1). Melalui pendaftaran karya batik ke Direktorat Jenderal HKI di

Jakarta. Pendaftaran hak cipta disini yang akan diakhiri dengan pemberian sertifikat hak cipta merupakan suatu alat pembuktian bila ada sengketa hak cipta dikemudian hari. Di sinilah fungsi pendaftaran hak cipta sebagai upaya perlindungan hukum preventif.

2). Lisensi merupakan instrumen kedua dalam memberikan perlindungan hukum preventif hak cipta atas karya batik. Lisensi sendiri mengandung arti izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkait lainnya dengan persyaratan tertentu. Dengan memberikan lisensi ini maka sangat jelas pemegang hak cipta tidak dirugikan.

b. Perlindungan hukum refresif hak cipta atas batik menurut UUHC 2002 ada dua cara, yakni dengan gugatan atau tuntutan hukum. Gugatan disini adalah gugatan dalam proses Perdata termasuk didalamnya Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, sedangkan gugatan merupakan tuntutan hukum dalam proses Pidana. 1). Dimuatnya hak-hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk

mengajukan gugatan perdata ke pengadilan niaga dan apa yang dapat dimintakan dalam gugatan (petitum) merupakan wujud perlindungan hukum bagi pencipta atau pemegang hak cipta pada umumnya dan khususnya terhadap hak cipta atas batik dari pelanggaran-pelanggaran yang bersifat perdata terhadap hak cipta. Meskipun tanpa pengaturan secara khusus, gugatan semacam itu dapat diajukan ke pengadilan negeri dengan menggunakan Pasal 1365 KUHPer. Namun karena kini mengajukan gugatan perdata ke pengadilan niaga dan apa yang dapat dimintakan dalam gugatan (petitum) merupakan wujud perlindungan hukum bagi pencipta atau pemegang hak cipta pada umumnya dan khususnya terhadap hak cipta atas batik dari pelanggaran-pelanggaran yang bersifat perdata terhadap hak cipta. Meskipun tanpa pengaturan secara khusus, gugatan semacam itu dapat diajukan ke pengadilan negeri dengan menggunakan Pasal 1365 KUHPer. Namun karena kini

2). Dalam UUHC 2002 dimuat pula hukum pidana, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Ada dua Pasal hukum pidana materiil dan satu Pasal hukum pidana formil. Tindak Pidana hak cipta ditempatkan dalam Pasal 72 yang terdiri atas sembilan rumusan yang dimuat pada masing-masing ayat. Sementara itu, Pasal 73 memuat tentang sistem penjatuhan pidana khususnya perampasan barang. Tindak Pidana hak cipta dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum pencipta atas inspirasinya yang melahirkan hak cipta dari perbuatan-perbuatan orang lain yang menyerang kepentingan hukum yang timbul dari hak cipta. Khususnya melindungi kepentingan hukum dalam hal kepemilikan dan menggunakan hak cipta oleh pencipta atau pemegang hak cipta. Sementara hukum pidana formil hanya ada satu Pasal, yakni Pasal 71 tentang Penyidikan. Pada UUHC yang lama, suatu pelanggran hak cipta dikategorikan

sebagai “delik biasa” yang berarti bahwa penanganan terhadap pelanggaran hak cipta dapat dilakukan oleh penyidik atau aparat penegak hukum tanpa

harus menunggu adanya pengaduan dari masyarakat atau pencipta/ pemegang hak cipta. Berdasarkan sistem “delik biasa”, suatu kasus pelanggaran hak cipta dapat segera ditangani oleh penyidik/aparat penegak hukum sehingga kerugian yang timbul dapat dicegah seminimal mungkin. Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya, kategori delik pada UUHC yang baru mengalami perubahan sehingga berdasarkan ketentuan UUHC 2002, pelanggaran suatu hak cipta dikategorikan sebagai “delik aduan” (Afrillayanna Purba, 2005: 88).

Delik aduan artinya, penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian bersama instansi terkait atau tuntutan sanksi pidana dapat dilakukan oleh penuntut umum atas dasar pengaduan dari plhak-pihak yang dirugikan, baik para pencipta, pemegang izin, warga masyarakat sebagai konsumen ataupun negara sebagai penenima pajak. Delik aduan ini adalah dalam bentuk delik aduan mutlak, yakni peristiwa pidana yang hanya dapat dituntut bila ada pengaduan. Perubahan ini sebagai upaya pemerintah Delik aduan artinya, penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian bersama instansi terkait atau tuntutan sanksi pidana dapat dilakukan oleh penuntut umum atas dasar pengaduan dari plhak-pihak yang dirugikan, baik para pencipta, pemegang izin, warga masyarakat sebagai konsumen ataupun negara sebagai penenima pajak. Delik aduan ini adalah dalam bentuk delik aduan mutlak, yakni peristiwa pidana yang hanya dapat dituntut bila ada pengaduan. Perubahan ini sebagai upaya pemerintah

Dalam UUHC 2002 pelaku pelanggaran hak cipta dapat dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Sebenarnya ketentuan pidana yang ditetapkan dalam UUHC 2002 cukup sesuai apabila diterapkan pada para pelaku pelanggaran hak cipta, khususnya pada karya seni batik. Adapun yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta snei batik adalah tindakan peniruan atau penjiplakan motif. Apabila terjadi kasus pelanggaran hak cipta seni batik, maka gugatan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga (afrillyanna Purba, 2005: 98).

Permasalahan atau sengketa Hak Cipta mengenai seni batik ini jarang sekali terjadi kasus pelanggaran hak cipta pada seni batik tradisional, bahkan di lokasi penelitian tidak ada sengketa mengenai batik pelanggaran hak cipta itu sendiri. Hal tersebut sebenarnya dikarenakan pemahaman hak cipta yang masih rendah sehingga tindakan peniruan atau penjiplakan motif tidak dianggap sebagai suatu tindak pidana melainkan dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan bukan merupakan pelanggaran. Mereka hanya berfikir bahwa masyarakat dapat menilai melalui kualitas yang dicipta.

Perlindungan hal ini tentunya merupakan perlindungan hukum yang diberikan terhadap batik sebagai karya cipta pribadi sedangkan perlindungan hukum terhadap batik sebagai pengetahuan tradisional adalah agar warisan budaya kita tidak dapat diklaim oleh negara lain, selain itu juga untuk mendokumentasikan warisan budaya tersebut agar memudahkan pengidentifikasian komunitas mana yang berhak mengakuinya untuk menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul di antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Lebih jauh, bahwa perlindungan hak cipta pada umumnya dan batik pada khususnya tersebut tujuannya tidak lain adalah untuk kepentingan ekonomis yaitu kesejahteraan Perlindungan hal ini tentunya merupakan perlindungan hukum yang diberikan terhadap batik sebagai karya cipta pribadi sedangkan perlindungan hukum terhadap batik sebagai pengetahuan tradisional adalah agar warisan budaya kita tidak dapat diklaim oleh negara lain, selain itu juga untuk mendokumentasikan warisan budaya tersebut agar memudahkan pengidentifikasian komunitas mana yang berhak mengakuinya untuk menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul di antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Lebih jauh, bahwa perlindungan hak cipta pada umumnya dan batik pada khususnya tersebut tujuannya tidak lain adalah untuk kepentingan ekonomis yaitu kesejahteraan

Jangka waktu yang diberikan oleh UUHC 2002 antara obyek yang satu dengan yang lain memiliki jangka waktu perlindungan yang berbeda. Perlindungan hak cipta batik ini diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UUHC 2002 mengenai batasan-batasan jangka waktu perlindungannya. Adapun perlindungan tersebut selama hidup pencipta ditambah dengan 50 (lima puluh) tahun setelah penciptanya meninggal dunia. Jangka waktu yang cukup panjang ini dapat dikatakan telah memadai. Dianggap bahwa dalam jangka waktu selama itu para pencipta/pembatik atau yang memegang hak ciptaan tersebut telah dapat menikmati karya ciptaannya yakni dengan menikmati manfaatnya secara ekonomi terhadap karya ciptaanya.

Jangka waktu perlindungan tersebut diberikan bagi seni batik yang merupakan sebagai karya cipta pribadi sedangkan bagi seni batik sebagai pengetahuan tradisional, misalnya motif-motif tradisional seperti Sido Mukti , Truntum dan motif tradisional yang lain tidak memiliki jangka waktu perlindungan. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa batik-batik tradisional seperti itu diciptakan dan dihasilkan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia sehingga diperkirakan perhitungan jangka waktu perlindungan atau dapat dikatakan jangka waktu perlindungan untuk batik tersebut adalah tanpa batas. Hal ini berarti bahwa negara menjadi wakil bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menguasai kekayaan tradisional yang ada sehingga setiap masyarakat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk menciptakan ataupun memanfaatkan secara bebas motif batik sebagai pengetahuan tradisional tersebut.

Selama jangka waktu yang diberikan tersebut, para pencipta atau pun yang memegang hak cipta atas seni batik ini dapat menikmati hak eksklusif. Hak eksklusif tersebut menurut penjelasan UUHC 2002 adalah hak semata- mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Tentunya penggunaan hak eksklusif tersebut digunakan secara wajar.

Perlindungan Hukum Hak Cipta terhadap batik di Kota Surakarta ini dapat dikatakan belum maksimal. Hal ini dapat terlihat dari beberapa hal: yang pertama, dimana para pengusaha batik sebenarnya telah mengetahui bahwa batik telah dilindungi melalui pengetahuan tradisional, walaupun para responden belum memahami konsep pengetahuan tradisional ini mereka paling tidak mengerti bahwa batik ini merupakan warisan dari generasi ke generasi yang harusnya di lindungi. Kedua, para pengusaha batik belum mendaftarkan karya cipta pribadinya. Berdasarkan pendaftaran kolektif yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta sendiri pun dapat dikatakan masih belum maksimal. Dikatakan belum maksimal karena dari sekitar 415 motif yang didatarkan secara kolektif dalam 2 tahap tersebut sebagaian besar motif dari satu perusahaan batik, sehingga pendaftaran yang dilakukan kolektif tersebut belum dapat dikatakan mewakili pendaftaran dari beberapa pengusaha batik di Kota Surakarta.

Selama ini menunjukkan bahwa pada umumnya pengusaha batik kurang mengetahui benar tentang HKI. Budaya timur berbeda dengan budaya barat yang lebih individualis, yang sangat membutuhkan suatu perlindungan terhadap karya seninya. Harusnya masyarakat Indonesia juga sadar betapa pentingnya perlindungan karya seni yang diciptakannya mengingat segala penciptaannya juga tidak mudah.