Analisa Terhadap Hak dan Kewajiban Para Pihak pada Perjanjian Baku dalam Penjualan Perumahan di PT. Pangripta
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A, Dennis, Hawver. 1992. How To Improve Your Negotiation Skills, Alexander Cohen, You Can Negotiatie Anything, alih bahasa Zainal Bahri tafal, Cet. III, Pantja Simpati, Jakarta.
Badrulzaman, Mariam Darus. 2006. KUH Perdata Buku III, Alumni, Bandung. ______________________. 2001. Pidato Perjanjian Baku (Standard),
Perkembangannya Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
_____________________________2001. Komposisi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama, Bandung.
Blaang, C. Djemabut, Perumahan dan Permukiman sebagai Kebutuhan Pokok, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986.
Fuady, Munir. 2007. Hukum kontrak (Dari Sudut pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hatta, Sri Gambir Melati. 2000. Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni, Edisi Pertama, Cetakan Ketiga, Bandung.
Hernoko, AgusYudha.2008. Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Surabaya.
H.S, Salim. 2003. Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Sinar Grafika, Jakarta.
Komarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Yayasan Rei-Rakasindo, Jakarta.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo 2011. Hukum Perlindungan Konsumen, (PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
(2)
Nasution, Az. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Diadit Media, Jakarta.
Raharjo, Handri. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
Rajagukguk, Erman, dkk. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen, CV Mandar Maju, Bandung.
Santoso, Urip. 2014. Hukum Perumahan (Prenadamedia Group, Surabaya. Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta. Sjahdeini, Sutan Remy.1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia Institut Bankir Indonesia, Jakarta.
Siregar, Tampil Ashari. 2007. Metodologi Penelitian Hukum, PT. Pusaka Bangsa Press, Medan, 2007.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Subekti, R.1996. Hukum Perjanjian, Intermasa, Cet XVII, Rinika Cipta, Jakarta. Surowiyono, Tutu TW. 1981, Dasar Perencanaan Rumah Tinggal. Pustaka Sinar
Harapan,Jakarta.
Sutarno. 2003. Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah
Jurnal
Sriwati. 2000. Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku, Yustika, Vol III No. 2.
(3)
Internet
Wawancara
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 15 Februari 2016.
(4)
BAB III
PENGATURAN DAN PELAKSANAAN PERUMAHAN DI INDONESIA
A. Pengertian Perumahan dan Dasar Hukumnya
Kebutuhan akan perumahan sebagai tempat tinggal atau hunian , baik di kota maupun di desa semakin meningkat ditambah dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Pada dasarnya, pemenuhan kebutuhan akan rumah merupakan tanggung jawab masyarakat sendiri, namun pemerintah didorong untuk membantu masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan akan perumahan sebagai tempat tinggal dan hunian.
Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan akan sandang dan pangan. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan yang meningkat bersamaan dengan pertambahan penduduk diperlukan penanganan dengan perencanaan yang saksama disertai keikutsertaan dana yang ada di dalam masyarakat.58
Ketentuan mengenai perumahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pengertian perumahan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari pemukiman, baik perkotaan Rumah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan, bukan hanya sebagai tempat berlindung bagi penghuninya, tetapi merupakan bagian pokok manusia yang diperlukan untuk selamanya dan merupakan sumber kehidupan berbagai lapisan pelaku usaha serta faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia.
58
C. Djemabut Blaang, Perumahan dan Permukiman sebagai Kebutuhan Pokok, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986), hal. 4.
(5)
maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
Rumah dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
B. Cara Pembayaran Rumah
Pelaku usaha perumahan membangun perumahan dengan maksud menjual rumah yang dibangunnya kepada masyarakat. Namun, tidak semua rumah dapat diperjualbelikan oleh pelaku usaha perumahan. Jenis rumah yang dapat diperjualbelikan yaitu rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum. Pelaku usaha perumahan yang dapat memperjualbelikan rumah yang dibangunnya adalah perseorangan warga negara Indonesia, Perseroan Terbatas (PT), yayasan, badan otoritas, dan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum).
1. Sistem lunas
Masyarakat dapat membeli rumah yang dibangun oleh pelaku usaha perumahan. Dalam hal ini terjadi jual beli hak atas tanah yang diatasnya didirikan bangunan rumah antara pelaku usaha perumahan sebagai penjual dan pihak lain sebagai pembeli.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha perumahan untuk dapat menjual rumah yang dibangunnya kepada masyarakat, yaitu sudah memiliki sertifikat hak atas tanah dan sertifikat hak atas tanah tersebut sudah dalam bentuk
(6)
dipecah-pecah atau sertifikat pecahan sebanyak jumlah rumah yang dibangun oleh pelaku usaha perumahan. Kalau pelaku usaha perumahan adalah perseorangan warga negara Indonesia, maka harus sudah memiliki Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Bangunan, atau Sertifikat Hak Pakai. Kalau pelaku usaha perumahan adalah Perseroan Terbatas (PT) atau yayasan, maka harus sudah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan atau Sertifikat Hak Pakai. Kalau Pelaku usaha perumahan adalah Badan Otorita atau Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum), maka harus sudah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.59
2. Sistem kredit
Objek jual beli perumahan di sini adalah jual beli hak atas tanah yang di atasnya terdapat bangunan rumah. Bangunan rumah tersebut dapat berbentuk rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun. Pembelian rumah dengan sistem lunas yaitu pembeli membeli rumah yang membayar harga rumah secara lunas kepada pelaku usaha perumahan. Harga rumah yang dibayar oleh pembeli rumah merupakan hasil kesepakatan dalam musyawarah dengan pelaku usaha perumahan. Pembelian rumah dengan sistem lunas merupakan jual beli hak atas tanah yang di atasnya terdapat bangunan rumah antara pelaku usaha perumahan dan pembeli rumah.
Pembelian rumah dengan sistem kredit dari pelaku usaha perumahan diatur dalam :
a. Pasal 43 Undang-Undang No. 1 Tahun 2011
59
(7)
1) Pembangunan untuk rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun, dapat dilakukan di atas tanah :
a) Hak milik
b) Hak guna bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas Hak Pengelolaan
c) Hak pakai di atas tanah negara
2) Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah.
3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebani Hak Tanggungan.
4) Kredit atau pembiayaan rumah umum tidak harus dibebani hak tanggungan.
b. Pasal 44 Undang-Undang No. 1 Tahun 2011
1) Pembangunan rumah tunggal, rumah deret, rumah susun, dan/atau satuan rumah susun dapat dibebankan jaminan utang sebagai pelunasan kredit atau pembiayaan.
2) Pelunasan kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun.
Pihak-pihak yang terkait dalam pembelian rumah dengan sistem kredit, yaitu : 60
60
Ibid., hal. 231
(8)
Pelaku usaha perumahan adalah pihak yang melakukan pembangunan perumahan, yang berbentuk perseorangan warga negara Indonesia, Perseroan Terbatas (PT) atau Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas).
(b) Pembeli rumah
Pembeli rumah adalah orang per orang atau badan hukum yang membeli rumah yang dibangun oleh Pelaku usaha perumahan melalui pembayaran dengan sistem kredit.
(c) Bank
Bank adalah pihak yang menyediakan dana atau pembiayaan pemilikan untuk pembelian rumah secara kredit melalui perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit dengan pembeli rumah. Pihak bank berkedudukan sebagai kreditur dan berkedudukan sebagai pemegang Hak Tanggungan atas hak atas tanah beserta rumah yang dibeli oleh pembeli rumah.
(d) Notaris
Notaris adalah pejabat umum yang membuat perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit antara bank dan pembeli rumah. (e) Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang membuat akta jual beli hak atas tanah beserta bangunan rumah antara Pelaku usaha perumahan dan pembeli rumah, surat kuasa membebankan Hak Tanggungan, dan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan
(9)
atas hak atas tanah beserta bangunan rumah yang dibeli oleh pembeli rumah.
(f) Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota adalah instansi yang menerbitkan sertifikat hak atas tanah atas nama Pelaku usaha perumahan, sertifikat hak atas tanah atas nama pembeli rumah, dan sertifikat Hak Tanggungan atas hak atas tanah beserta bangunan rumah yang dibebani dengan Hak Tanggungan.
3. Pembelian Rumah dengan Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal atau hunian terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal atau hunian di perkotaan jauh lebih besar daripada di perdesaan disebabkan oleh jumlah penduduk di perkotaan lebih besar daripada jumlah penduduk di perdesaan.
Pemenuhan kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal atau hunian oleh orang per orang dapat dipenuhi melalui pembelian rumah dengan sistem pembayaran lunas oleh pembeli rumah dari pelaku usaha perumahan, pembelian rumah dengan sistem Kredit Pemilikan Rumah (KPR), atau pembelian rumah dengan sistem perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjia n pengikatan jual beli.
Salah satu cara pembelian rumah oleh orang per orang adalah pembelian rumah dengan sistem perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli. Dengan sistem perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian
(10)
pengikatan jual beli ini, pelaku usaha perumahan mendapatkan dana pembelian rumah dari pembeli dan pembeli akan mendapatkan kepastian memiliki rumah dengan dana yang terbatas.
Pembelian rumah dengan sistem perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli dari pelaku usaha perumahan diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 2011, yaitu :
a. Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b. Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: 1) Status pemilikan tanah
2) Hal yang diperjanjikan
3) Kepemilikan izin mendirikan bangunan induk
4) Ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum, dan
5) Keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen) Penjelasan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian pendahuluan jual beli adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hal yang diperjanjikan adalah kondisi rumah yang dibangun dan dijual kepada konsumen,
(11)
yang dipasarkan melalui media promosi, meliputi lokasi rumah, kondisi tanah/ kaveling, bentuk rumah, spesifikasi bangunan, harga rumah, prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan, fasilitas lain, waktu serah terima rumah, serta penyelesaian sengketa. Penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf e Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen) adalah hal telah terbangunnya rumah paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh jumlah unit rumah serta ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang direncanakan.
Perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli dibuat oleh notaris. Ketentuan-ketentuan dalam pembelian rumah dengan sistem perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli antara pelaku usaha perumahan dan pembeli rumah, yaitu :61
(a) Rumah yang menjadi objek perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli yaitu rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun.
(b) Pembangunan rumah masih dalam proses penyelesaian oleh penyelenggara pembangunan perumahan.
(c) Perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli dibuat oleh notaris.
(d) Pembeli rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang diatasnya dibangun rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun.
61
(12)
(e) Calon pembeli rumah mempunyai kecakapan untuk melakukan pembelian rumah.
(f) Calon pembeli rumah baru membayar uang muka atau tanda jadi pembelian rumah atau pembeli rumah belum membayar lunas harga rumah yang dibelinya.
(g) Beban Pajak Penghasilan (PPh) belum dilunasi oleh penyelenggara pembangunan perumahan.
(h) Beban Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dilunasi oleh pembeli rumah.
(i) Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pembangunan perumahan untuk dapat memasarkan rumah yang dibangunnya melalui perjanjian pengikatan jual beli, yaitu :
1.1. Kepastian status kepemilikan tanah 1.2. Kepastian hal yang diperjanjikan
1.3. Kepastian pemilikan izin mendirikan bangunan induk
1.4. Kepastian ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum, dan
1.5. Kepastian keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen)
(j) Dengan dibuatnya perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli, hak atas tanah yang di atasnya didirikan bangunan rumah belum berpindah dari penyelenggara pembangunan perumahan kepada pembeli rumah.
(13)
(k) Hak, kewajiban dan larangan bagi penyelenggara pembangunan perumahan dan pembeli ruah dimuat dalam perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli, dan
(l) Perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli dapat diikuti dengan kredit pemilikan rumah sebagai pelunasan harga jual beli rumah beserta hak atas tanah.
C. Pembatalan Sepihak Terhadap Perjanjian Jual-Beli Perumahan
Perjanjian jual-beli berasal dari terjemahan contract of sale. Perjanjian jual-beli diatur dalam Pasal 1457-1540 KUH Perdata. Jual-beli dalam Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Dengan kata lain, perjanjian lahir ketika para pihak sudah sepakat mengenai barang dan harga.
Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata menegaskan bahwa persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Artinya menurut undang-undang dalam setiap perjanjian yang lahir atas dasar kesepakatan para pihak dapat dibatalkan secara sepihak.
Pelaku usaha yang membuat perjanjian pengikatan jual beli rumah dan tanah juga harus mentaati ketentuan tersebut. Dalam hal pelaksanaan pemenuhan prestasi, maka kewajiban dari suatu pihak harus berhadapan dengan kewajiban dari pihak lain untuk pemenuhan prestasi. Oleh karena itu, perjanjian antara pelaku usaha dan pembeli merupakan perjanjian timbal balik yang didasarkan dari
(14)
hak dan kewajiban para pihak. Dalam perjanjian timbal balik bila pihak yang satu tidak melakukan kewajibannya maka pihak yang lain tidak berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Oleh karena hal itu, ada seperangkat aturan yang mengatur tentang syarat batal dalam perjanjian timbal balik secara khusus dalam Pasal 1266 dan Pasal1267 KUHPerdata.
Syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali ke keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.
Pasal 1266 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Makna dari pasal ini adalah walaupun para pihak tidak menyebutkan secara tegas dalam perjanjian mengenai syarat batal, namun undang-undang sendiri telah menetapkan bahwa dalam perjanjian timbal balik yang dibuat oleh para pihak syarat batal itu selalu dianggap tercantum dalam perjanjian tersebut. Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut disebutkan bahwa dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, namun pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Maksud dari ayat ini merupakan adanya kesempatan bagi hukum untuk menilai adanya suatu wanprestasi atau tidak, sehingga ayat ini mampu memberikan upaya perlindungan bagi pembeli atau konsumen sebagai pihak yang dianggap lemah baik secara ekonomi maupun kedudukan hukumnya yang berhadapan dengan pihak pelaku usaha yang posisinya kuat.
(15)
Pasal 1267 KUHPerdata menyatakan bahwa pihak yang terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi dapat memaksakan pemenuhan perjanjian dan membatalkan perjanjian disertai ganti rugi.
Suatu perjanjian dianggap sah apabila telah memenuhi syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yakni :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Apabila dalam perjanjian terdapat pelanggaran terhadap ketentuan yang disebutkan pada nomor 1 dan 2, maka perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dapat dimintakan pembatalan karena dianggap cacat hukum. Sedangkan, terhadap ketentuan yang disebutkan pada nomor 3 dan 4, maka perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dianggap batal demi hukum (tanpa dimintakan pembatalan, perjanjian tersebut telah dianggap batal).
Berdasarkan Lampiran 1, angka IX, Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, diatur bahwa perjanjian dapat dibatalkan oleh penjual atau dalam hal ini pelaku usaha apabila pembeli tidak dapat memenuhi dan/tidak sanggup meneruskan kewajibannya untuk membayar harga jual rumah sesuai dengan yang diperjanjikan atau pembeli tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk membayar cicilan ke bank pemberi Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
(16)
Ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Menurut undang-undang dalam setiap perjanjian yang lahir atas dasar kesepakatan para pihak dapat dibatalkan secara sepihak. Pengembang yang membuat perjanjian pengikatan jual beli rumah dan tanah juga harus mentaati ketentuan tersebut.
Pelaksanaan pemenuhan prestasi maka kewajiban dari satu pihak akan berhadapan pula dengan kewajiban pemenuhan prestasi dari pihak lainnya. Dengan demikian perjanjian antara pengembang dengan pembeli adalah termasuk ke dalam perjanjian timbal balik karena masing-masing dari para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dalam perjanjian timbal balik bila pihak yang satu tidak melakukan kewajibannya maka pihak yang lainpun tidak berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Selain dari itu ada seperangkat aturan yang mengatur tentang syarat batal dalam perjanjian timbal balik secara sangat khusus di atur sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata.
Pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa syarat-syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Adapun makna dari pasal tersebut adalah walaupun para pihak tidak mencantumkan secara tegas maka undang-undang sendiri menetapkan bahwa dalam perjanjian timbal balik yang dibuat oleh para pihak syarat batal selalu itu dianggap tercantum di dalam perjanjian tersebut. Pada ayat (2) dari pasal yang dimaksudkan di atas menentukan
(17)
bahwa dalam persetujuan yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalannya harus dimintakan kepada hakim.62
Sehubungan dengan itu, memaknai ketentuan tersebut merupakan upaya perlindungan bagi pihak yang dianggap lemah baik secara ekonomi maupun kedudukan hukumnya yang berhadapan dengan pihak yang posisi tawarnya kuat63
1. Adanya perjanjian timbal balik;
Tuntutan pembatalan hanya dapat dilakukan terhadap perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang masing-masing pihak mengikatkan diri untuk melakukan prestasi dan sebaliknya pihak lawan berhak atas prestasi. Dalam perjanjian sepihak tidak dapat dituntut pembatalan berdasarkan Pasal 1266 KUHP karena dalam perjanjian sepihak kewajiban melakukan prestasi hanya ada pada salah satu pihak dan tuntutan pembatalan justru merupakan cara untuk membebaskan diri dari kewajiban melakukan prestasi bagi pihak yang tidak melakukan wanprestasi.
Upaya yang dapat dilakukan menurut Pasal 1267 KUHPerdata adalah pertama memaksakan pemenuhan perjanjian dan kedua membatalkan perjanjian disertai ganti rugi. Dengan demikian untuk memenuhi syarat batal tersebut harus :
2. Salah satu pihak telah terbukti melakukan wanprestasi; dan 3. Harus melalui perantaraan hakim.
62
Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni, Edisi Pertama, Cetakan Ketiga, Bandung.2000, hal 1.
63
Mariam Darus Badrulzaman. Komposisi Hukum Perikatan, (PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama, Bandung), hal. 22.
(18)
BAB IV
ANALISA TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK PADA PERJANJIAN BAKU DALAM PENJUALAN PERUMAHAN
DI PT. PANGRIPTA
A. Perjanjian Baku dalam Penjualan Perumahan Ditinjau dari KUH Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa jual beli, adalah: “Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.”
Pada prinsipnya UUPK, tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku, asal tidak mencantumkan ketentuan yang dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1). Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
(19)
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa. 7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. dan perjanjian baku yang dibuat tidak bertentangan dengan UUPK Pasal 18 ayat (2) pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Dokumen-dokumen hukum yang timbul dari perjanjian yang dilakukan dalam bidang perumahan akan melahirkan dokumen-dokumen hukum (legal documents) yang penting antara lain:
a. Perjanjian pengikatan jual beli (PPBJ) atau sering pula dikenal dengan istilah perjanjian pendahuluan pembelian, perjanjian akan jual beli antara pelaku usaha dan konsumen. Dokumen ini merupakan dokumen yang
(20)
membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara pelaku usaha dan konsumen.
b. Perjanjian jual beli dibuat dan ditanda tangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
c. Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, di dalamnya mengatur mengenai jumlah pinjaman, jangka waktu pelunasan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan besarnya perhitungan bunga pinjaman. Keberadaan dokumen-dokumen tersebut sangat penting sebagai salah satu bentuk pelaksanaan perlindungan konsumen di lapangan.64
Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.65
Kontrak ini seringkali memuat klausula eksonerasi yang isinya adalah pengalihan pertanggungjawaban pelaku usaha sehingga merugikan pihak konsumen. Tujuan dibuatnya kontrak standar adalah untuk memberikan Salah satu permasalahan perumahan yang paling mendasar adalah perjanjian jual beli rumah yang dibuat dalam bentuk kontrak baku atau dikenal juga dengan istilah kontrak standar. Dikatakan bersifat baku karena perjanjian ini dibuat secara sepihak yakni oleh pelaku usaha dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga konsumen hanya memiliki dua pilihan yaitu: menyetujui atau menolaknya.
64
Dikutip dari Koko Hermawan, Perjanjian Baku Jual Beli Perumahan Dengan Klausula Eksonerasi, (Study Kasus Di Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya) Skripsi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas hukum, 2011, hal 21
65
(21)
kepraktisan bagi para pihak yang bersangkutan. Meskipun secara prinsip UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang memuat klausula baku, selama dan sepanjang klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana yang dilarang memuat klausula eksonerasi berupa pengalihan tanggung jawab kepada konsumen di dalam klausula baku, namun dalam pasal ini tidak melarang adanya pembatasan tanggung jawab. Dengan demikian tidak semua klausula eksonerasi dilarang asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dan kesusilaan.
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata ditegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Suatu perjanjian agar sah menurut hukum, maka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian adalah:
a. Adanya kesepakan diantara para pihak. b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.
Berdasarkan syarat tersebut diatas merupakan syarat dari suatu kebebasan berkontrak. Perjanjian baku dalam hal ini tidak melanggar hal tersebut, karena pihak konsumen masih diberikan kesempatan untuk memilih menyetujui atau menolak perjanjian. Namun, Pasal 1337 KUH Perdata ditegaskan bahwa suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam hal ini, konsumen diberi kesempatan untuk membaca
(22)
terlebih dahulu isi perjanjian baku dan konsumen diberi kebebasan untuk menerima atau menolak perjanjian tanpa adanya paksaan.
Menurut Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata ditegaskan bahwa persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Artinya menurut undang-undang dalam setiap perjanjian yang lahir atas dasar kesepakatan para pihak dapat dibatalkan secara sepihak. Pengembang yang membuat perjanjian pengikatan jual beli rumah dan tanah juga harus mentaati ketentuan tersebut. Dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi maka kewajiban dari satu pihak akan berhadapan pula dengan kewajiban pemenuhan prestasi dari pihak lainnya. Dengan demikian perjanjian antara pengembang dengan pembeli adalah termasuk ke dalam perjanjian timbal balik karena masing-masing dari para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dalam perjanjian timbal balik bila pihak yang satu tidak melakukan kewajibannya maka pihak yang lainpun tidak berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Untuk itu ada seperangkat aturan yang mengatur tentang syarat batal dalam perjanjian timbal balik secara sangat khusus diatur sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata.
B. Prosedur Penjualan Perumahan di PT. Pangripta
Pihak pertama dengan ini mengikatkan diri untuk menjual, mengalihkan serta menyerahkan kepada pihak kedua, dan pihak kedua dengan ini juga mengikatkan diri untuk membeli, menerima pengalihan dan penyerahan dari pihak pertama sebidang tanah berikut bangunan rumah yang berdiri di atasnya.
(23)
Prosedur penjualan perumahan di PT. Pangripta dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
1) Tunai keras
Masyarakat dapat membeli rumah yang dibangun oleh PT. Pangripta dengan sistem tunai keras. Tunai keras adalah cara pembayaran yang dilakukan dalam waktu kurang lebih empat hari setelah closing deal dengan pihak PT. Pangripta. Sistem pembayaran tunai keras jarang dipilih oleh masyarakat karena harus mengeluarkan modal yang besar dalam waktu yang singkat. Namun, apabila memiliki uang yang berlebih, sistem pembayaran dengan tunai keras sangat menguntungkan karena dalam pembayarannya tidak ditambah dengan bunga dan biasanya mendapatkan potongan harga dari pihak PT. Pangripta.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak konsumen dengan sistem pembayaran tunai keras adalah:66
a. Fotokopi KTP suami/ istri (2 lembar). b. Fotokopi karu keluarga (2 lembar). c. Pas photo 3x4.
Tata cara pembayaran dengan sistem tunai bertahap adalah:67
a. Pada saat closing deal, konsumen harus membayar booking fee sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), setelah menandatangani data pesanan terhadap rumah yang diinginkan.
66
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 21 Maret 2016
67
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 21 Maret 2016
(24)
b. PT. Pangripta memberikan waktu pelunasan sisa harga jual rumah dengan sistem tunai keras selama empat hari setelah closing deal.
2) Tunai bertahap
Tunai bertahap adalah cara pembayaran yang dilakukan secara bertahap, dalam waktu satu tahun. Konsumen dapat memilih cara pembayaran tunai bertahap apabila belum memiliki dana yang cukup untuk membayar harga sepenuhnya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak konsumen dengan sistem pembayaran tunai bertahap adalah:68
a. Fotokopi KTP suami/ istri (2 lembar). b. Fotokopi karu keluarga (2 lembar). c. Pas photo 3x4.
Tata cara pembayaran dengan sistem tunai bertahap adalah:69
a. Pada saat closing deal, konsumen harus membayar booking fee sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), setelah menandatangani data pesanan terhadap rumah yang diinginkan.
b. Konsumen harus membayar uang muka sebesar 50% dari harga rumah yang dipesan selama empat hari setelah pembayaran booking fee.
c. Selanjutnya, konsumen membayar sisa harga jual setiap bulan selama satu tahun.
3) Kredit pemilikan rumah (KPR)
68
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 21 Maret 2016
69
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 21 Maret 2016
(25)
Cara pembayaran dengan kredit dilakukan dengan melibatkan pihak bank melalui program kredit pemilikan rumah (KPR). Pada sistem pembayaran KPR, pihak bank membayar pelunasan rumah kepada PT. Pangripta, lalu konsumen akan membayar cicilan kepada bank dengan bunga tertentu.
Jangka waktu KPR dalam penjualan perumahan di PT. Pangripta adalah: a. 7 tahun.
b. 10 tahun. c. 15 tahun
Plafon KPR yang diberikan bank, dalam hal ini Bank Tabungan Negara (BTN) kepada konsumen PT. Pangripta dengan bunga sebanyak 5% adalah sebesar:
a. Rp. 110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) b. Rp. 104.000.000,00 (seratus empat juta rupiah)
c. Rp 99.000.000,00 (sembilan puluh Sembilan juta rupiah)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak konsumen dengan sistem pembayaran KPR adalah:70
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS)
1) Fotokopi KTP suami/istri (2 lembar) 2) Fotokopi kartu keluarga (2 lembar) 3) Fotokopi surat nikah (2 lembar)
4) Pas photo ukuran 3x4 suami/istri (4 lembar) 5) Fotokopi rekening tabungan (3 bulan terakhir)
70
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 21 Maret 2016
(26)
6) Fotokopi NPWP pemohon KPR
7) Surat keterangan bekerja asli (kop surat instansi) 8) Fotokopi SK. pertama dan terakhir
9) Slip gaji asli (3 bulan terakhir)
10)Surat pernyataan penghasilan dari instansi (bermaterai) 11)Surat keterangan belum memiliki rumah dari kelurahan 12)Surat pernyataan pemohon KPR sejahtera (bermaterai) 13)Surat pernyataan lolos/tidak verifikasi (bermaterai)
14)Berita acara serah terimatapak/satuan rumah sejahtera susun (bermaterai)
15)Surat pernyataan sarana,prasarana utilitas perumahan (bermaterai) 16)Surat kuasa debit rekening (bermaterai)
17)Form Kemenpera (bermaterai)
18)Batas usia maksimal pengajuan KPR adalah 48 tahun. b. Pegawai Swasta
1) Fotokopi KTP suami/istri (2 lembar) 2) Fotokopi kartu keluarga (2 lembar) 3) Fotokopi surat nikah (2 lembar)
4) Pas photo ukuran 3x4 suami/istri (4 lembar) 5) Fotokopi rekening tabungan (3 bulan terakhir) 6) Fotokopi NPWP pemohon KPR
7) Surat keterangan bekerja asli (kop surat instansi) 8) Slip gaji asli (3 bulan terakhir)
(27)
9) Surat pernyataan penghasilan dari instansi (bermaterai) 10)Surat keterangan belum memiliki rumah dari kelurahan 11)Surat pernyataan pemohon KPR sejahtera (bermaterai) 12)Surat pernyataan lolos/tidak verifikasi (bermaterai)
13)Berita acara serah terimatapak/satuan rumah sejahtera susun (bermaterai)
14)Surat pernyataan sarana,prasarana utilitas perumahan (bermaterai) 15)Surat kuasa debit rekening (bermaterai)
16)Form Kemenpera (bermaterai)
17)Batas usia maksimal pengajuan KPR adalah 45 tahun. c. Wiraswasta (UD)
1) Fotokopi KTP suami/istri (2 lembar) 2) Fotokopi kartu keluarga (2 lembar) 3) Fotokopi surat nikah (2 lembar)
4) Pas photo ukuran 3x4 suami/istri (4 lembar) 5) Fotokopi rekening tabungan (3 bulan terakhir) 6) Fotokopi NPWP pemohon KPR
7) Foto tempat usaha (4 posisi berbeda)
8) Fotokopi neraca/ laporan penjualan/ laba rugi/ bon penjualan 9) Form keterangan penghasilan tidak tetap
10)Fotokopi rekening koran/ deposito 3 bulan terakhir (perusahaan) 11)Surat pernyataan penghasilan dari kelurahan
(28)
13)Surat pernyataan pemohon KPR sejahtera (bermaterai) 14)Surat pernyataan lolos/tidak verifikasi (bermaterai)
15)Berita acara serah terimatapak/satuan rumah sejahtera susun (bermaterai)
16)Surat pernyataan sarana,prasarana utilitas perumahan (bermaterai) 17)Surat kuasa debit rekening (bermaterai)
18)Form Kemenpera (bermaterai)
Tata cara pembayaran dengan sistem tunai bertahap adalah:71
a. Pada saat closing deal, konsumen harus membayar booking fee sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), setelah menandatangani data pesanan terhadap rumah yang diinginkan.
b. Konsumen harus membayar uang muka sesuai dengan plafon bank yang telah tersedia selama empat hari setelah pembayaran booking fee.
c. Selanjutnya, konsumen membayar cicilan setiap bulan kepada BTN sesuai dengan jangka waktu yang telah dipilih.
C. Analisis Hak dan Kewajiban Para Pihak pada Perjanjian Baku dalam Penjualan Perumahan di PT. Pangripta
Pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam hukum perjanjian dijamin oleh undang-undang. Pengaturan tentang hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian mencerminkan sejumlah asas yang menjadi prinsip-prinsip atau asas-asas perjanjian. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang
71
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 21 Maret 2016
(29)
seharusnya diterima atau dilaksanakan atas suatu objek yang diperjanjikan. Objek perjanjian dalam hukum perikatan merupakan sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.
Pelaksanaan hak dan kewajiban dalam hukum perikatan disebut prestasi. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan perjanjian, maka debitur dengan perjanjian bersyarat baku dari PT. Pangripta berstatus sebagai konsumen (mengikatkan diri dalam perjanjian) sedangkan PT. Pangripta memposisikan diri sebagai pelaku usaha (pembuat isi perjanjian) yang harus menjadi prestasi dari konsumen sebagai pembuat janji (promise).72
1. Hak untuk mendapatkan keamanam (the right to safety)
Dengan demikian, kewajiban debitur adalah kewajiban untuk mengikuti semua isi perjanjian. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah konsumen mengetahui semua isi perjanjian, maka diperlukan tanggapan empirik apakah debitur mengetahui semua isi perjanjian yang menjadi sumber hak kreditur (janji dari konsumen). Perlunya pengetahuan maksud isi perjanjian sangat penting, karena keterpaksaan konsumen menandatangani isi perjanjian dapat terkait dengan sejauh mana mengetahui semua maksud isi perjanjian.
Ada empat hak dasar konsumen, antara lain :
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) 3. Hak untuk memilih (the right to choose)
4. Hak untuk didengar (the right to be heard).
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International
72
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 15 Februari 2016.
(30)
Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, misalnya memutuskan untuk menambah satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan yang sehat dan baik sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen. Ada delapan hak secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 UUPK, sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka.
Selain hak-hak dalam Pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khusus dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Hak dan kewajiban konsumen pada perjanjian baku dalam penjualan perumahan di PT. Pangripta, antara lain:73
1. Hak konsumen pada perjanjian baku dalam penjualan perumahan di PT. Pangripta, antara lain sebagai berikut:
a. Hak konsumen mendapatkan keamanan. b. Hak untuk mendapatkan informasi yang jelas.
73
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 15 Februari 2016
(31)
c. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikan.
d. Hak untuk mendapatkan ganti rugi.
e. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum.
f. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
g. Memperoleh jaminan bahwa rumah yang dijual belikan bebas dari tuntutan pihak lain.
h. Memperoleh jaminan tanggung jawab penuh atas pembangunan rumah. i. Memperoleh rumah yang sesuai dengan denah dan bestek yang diinginkan. j. Memperoleh fasilitas seperti jaringan listrik dan telepon.
k. Memperoleh garansi rumah selama 100 (seratus) hari.
2. Kewajiban konsumen perjanjian baku dalam penjualan perumahan di PT. Pangripta, antara lain :74
b. Membayar harga rumah dan pelunasannya sesuai dengan kesepakatan melalui sebuah bank yang ditunjuk.
c. Tidak memperjual belikan rumah tersebut sebelum masa kredit berakhir d. Tidak akan menyewakan dan/atau mengalihkan kepemilikan rumah
sejahtera tapak satuan rumah sejahtera dengan bentuk perbuatan hukum apapun, kecuali:
1) Debitur atau nasabah meninggal dunia (pewarisan)
2) Penghuni atau nasabah melampaui batas 5 (lima) tahun untuk rumah sejahtera susun.
74
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 15 Februari 2016
(32)
3) Penghuni telah melampau 20 (dua puluh) tahun untuk satuan rumah sejahtera susun.
4) Pindah tempat tinggal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Menggunakan sendiri dan menghuni rumah sejahtera tapak atau satuan rumah sejahtera susun sebagai tempat tinggal dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah serah terima rumah.
f. Apabila terjadi penunggakan pembayaran cicilan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Pihak Kedua diberi waktu 7 (tujuh) hari untuk menyelesaikan tagihan yang tertunggak, jika tidak dilakukan maka surat peringatan I (pertama) akan dikirim kepada pihak kedua, dan tagihan harus dibayarkan beserta denda keterlambatan sebesar 0.2% (nol koma dua persen) dari total tunggakan perhari kerja;
2) Apabila pembayaran belum dilakukan sampai tagihan bulan berikutnya (bulan kedua) jatuh tempo, maka pihak kedua diberi waktu 7 (tujuh) hari untuk menyelesaikan kedua tagihan yang tertunggak. Apabila tetap tidak dilakukan pembayaran, maka surat peringatan II (kedua) akan dikirim kepada pihak kedua, dan kedua tagihan tersebut harus dibayarkan beserta denda keterlambatan sebesar 0.2% (nol koma dua persen) dari jumlah yang tertunggak per hari kerja;
3) Apabila pembayaran masih belum dilakukan sampai tagihan bulan berikutnya (ketiga) jatuh tempo, maka pihak kedua diberi waktu 7
(33)
(tujuh) hari untuk menyelesaikan tagihan yang tertunggak. Apabila waktu 7 (tujuh) hari sudah terlampaui belum juga dilakukan pembayaran, maka surat peringatan III (ketiga) akan dikirimkan kepada pihak kedua, untuk pembatalan pemesanan unit rumah Griya Tiara tersebut, dan seluruh uang yang telah disetor tidak dapat dikembalikan;
Hak dan kewajiban di PT. Pangripta dalam perjanjian baku dalam penjualan perumahan, antara lain :75
1. Hak PT. Pangripta antara lain :
a. Menerima pembayaran uang sebagai tanda pembayaran yang dilakukan oleh pembeli.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang diperdagangkan.
2. Kewajiban pelaku usaha, antara lain: 76
a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. b. Bertanggung jawab penuh atas pembangunan rumah;
75
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 15 Februari 2016.
76
Hasil wawancara dengan Elsa Malona Silitonga, selaku Kabag Pemasaran dan Penjualan PT. Pangripta, tanggal 15 Februari 2016.
(34)
c. Menjamin kepada pembeli bahwa rumah yang diperjual belikan bebas dari tuntutan pihak lain;
d. Menyediakan fasilitas jaringan listrik dan telepon; e. Memberikan garansi rumah selama 100 (seratus) hari
f. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
g. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
i. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
j. Memberi kompensasi, ganti kerugian, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
k. Memberi kompensasi, ganti kerugian, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dalam perjanjian penjualan perumahan antara PT. Pangripta dengan konsumen, ada satu pasal yang tidak sesuai, yaitu Pasal 4 tentang ketentuan denda. Dalam pasal ini, disebutkan apabila pihak kedua tidak menyerahkan kepada pihak pertama kelengkapan persyaratan yang telah ditentukan
(35)
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah pembayaran booking fee, maka uang yang telah disetor hangus dan pemesanan dinyatakan batal.
Pasal ini bisa merugikan konsumen, apabila kelengkapan berkas konsumen tidak terpenuhi dikarenakan pihak bank yang tidak mengabulkan proses
KPR, maka pihak pertama (PT. Pangripta) dapat membatalkan pemesanan dan menganggap booking fee hangus . Pangripta , meskipun hal tersebut bukan karena
kehendak konsumen. Konsumen merasa dirugikan dikarenakan hal tersebut pada hakikatnya karena keadaan terpaksa. Dengan kata lain, booking fee tersebut telah
menjadi hak PT. Pangripta dan PT. Pangripta mempunyai hak untuk menjual kembali rumah yang telah dipesan gtersebut kepada konsumen lain.
(36)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Perjanjian penjualan perumahan dengan menggunakan kontrak baku dianggap sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen karena meskipun dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, dalam pasal ini tidak ada pembatasan tanggung jawab yang ketentuannya dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) UUPK. Berdasarkan syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian baku dalam hal ini tidak melanggar hal tersebut, karena pihak konsumen diberi kesempatan untuk membaca isi perjanjian dan diberi kebebasan untuk menyetujui atau menolak perjanjian.
2. Prosedur penjualan perumahan di PT. Pangripta adalah pihak pertama dengan ini mengikatkan diri untuk menjual, mengalihkan serta menyerahkan kepada pihak kedua, dan pihak kedua dengan ini juga mengikatkan diri untuk membeli, menerima pengalihan dan penyerahan dari pihak pertama sebidang tanah berikut bangunan rumah yang berdiri di atasnya. Prosedur penjualan perumahan pada PT. Pangripta dilakukan melalu tiga cara yaitu: tunai keras, tunai bertahap dan kredit pemilikan rumah (KPR) yang tata cara pembayarannya telah ditentukan.
(37)
3. Analisis terhadap hak dan kewajiban para pihak pada perjanjian baku dalam penjualan perumahan di PT. Pangripta, Hak PT. Pangripta antara lain : menerima pembayaran uang sebagai tanda pembayaran yang dilakukan oleh pembeli, hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad baik. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Kewajiban pelaku usaha, antara lain: beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Bertanggung jawab penuh atas pembangunan rumah; menjamin kepada pembeli bahwa rumah yang diperjual belikan bebas dari tuntutan pihak lain.
Dalam perjanjian penjualan perumahan di PT. Pangripta, adanya satu pasal yang tidak sesuai karena dapat merugikan konsumen, yaitu Pasal 4 tentang ketentuan denda. Pasal ini tidak sesuai, karena apabila kewajiban konsumen dalam melengkapi berkasnya tidak dapat dipenuhi selama 7 hari meskipun pada hakikatnya karena kondisi terpaksa dikarenakan pihak bank yang tidak mengabulkan proses KPR, maka pemesanan dianggap batal dan booking fee menjadi hangus.
B. Saran
1. Adanya upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen dalam menuntut hak-haknya belum sepenuhnya dipahami oleh konsumen, oleh karena itu perlu ada upaya dari lembaga konsumen untuk memberikan kesadaran kepada konsumen agar lebih cermat dalam mengadakan hubungan hukum dengan pelaku usaha terutama dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) perumahan.
(38)
2. Hendaknya sebelum konsumen menyetujui perjanjian jual-beli rumah yang telah disiapkan oleh pihak pelaku usaha, haruslah terlebih dahulu membaca ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya secara teliti dan cermat agar tidak merasa dirugikan di kemudian hari.
3. Hendaknya sebelum konsumen membayar booking fee untuk mengajukan proses KPR, terlebih dahulu memeriksa apakah konsumen telah memenuhi persyaratan yang ada agar uang muka yang akan disetor kepada pihak pelaku usaha tidak hangus hanya karena pihak bank tidak menyetujui proses KPR dan konsumen dalam membeli rumah, haruslah sesuai dengan kemampuannya agar tidak terjadi kredit macet di kemudian hari yang dapat merugikan konsumen sendiri.
(39)
A. Perjanjian Menurut Hukum Perdata 1. Pengaturan dan Sejarah Hukum Perjanjian
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum para penjajah memberlakukan hukumnya di Indonesia, yang berlaku adalah hukum adat dari berbagai wilayah hukum adat di Indonesia. Hukum kontrak merupakan 1 (satu) bagian dari hukum adat tersebut.25 Kontrak yang paling meluas dari hukum adat adalah kontrak jual-beli, tetapi tempo dulu sebelum mata uang meluas dipakai, kontrak tukar-menukarlah yang banyak dipakai. Pada prinsipnya hukum kontrak yang berkembang baik dalam hukum adat adalah kontrak yang berhubungan dengan tanah. Namun, seiring berjalannya waktu pengadilan maupun dalam praktik sehari-hari sudah menggunakan kaidah-kaidah hukum kontrak dalam KUH Perdata. Di Indonesia, KUH Perdata mulai berlaku sejak tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi.26
Buku III KUH Perdata mengatur tentang Verbintenis, dimana tercakup pula istilah Overeenkomst yang artinya perjanjian atau persetujuan.27 Perjanjian diatur dalam Bab II dan Bab V sampai dengan Bab XVIII Buku III KUH Perdata.28
25
Munir Fuady, Op.cit, hal. 48-50 26
Ibid.
27
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Pustaka Yustisia, Yogyakarta,2009) hal. 41.
28
Ibid, hal. 42
(40)
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum ketika seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih. Perjanjian juga dapat diartikan suatu peristiwa ketika seorang berjanji kepada seorang lain, atau ketika dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Para sarjana hukum pada umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut terlalu luas, tidak jelas dan tujuannya tidak jelas. Terlalu luas karena pada defenisi perjanjian tersebut, terdapat kata perbuatan dimana pengertian perbuatan sangat luas yang seharusnya perbuatan hukum. Tidak lengkap karena hanya 1 (satu) pihak saja yang mengikatkan diri sehingga seperti perjanjian sepihak, yang seharusnya saling mengikatkan diri. Dalam rumusan pasal ini tidak disebutkan sehingga apa tujuan untuk mengadakan perjanjian pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaknya jelas maksudnya untuk apa.
Penyempurnaan terhadap defenisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata menurut beberapa sarjana hukum diantaranya “Perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”29
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya hingga
29
Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Sinar Grafika, Jakarta, 2003), hal. 27
(41)
subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.”30
Praktik istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara rancu. Banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan pengertian yang berbeda. Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama.31 Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenkomstrecht. Subekti32
Dari pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur perjanjian. Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan bagian bukan inti (naturalia dan accidentalia)
mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan kontrak. Menurut Subekti, istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
33
a. Unsur essensialia .
Unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat berkaitan erat dengan syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata dan untuk mengetahui ada atau tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya.
30
Handri Raharjo, Op.cit. 31
AgusYudha Hernoko,Op.cit., hal. 11 32
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Cet XVII (Rinika Cipta, Jakarta, 1996), hal.1.
33
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, (Alumni, Bandung, 2006), hal.99.
(42)
b. Unsur naturalia
Unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian , sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, misalnya: menjamin terhadap cacat tersembunyi
c. Unsur accidentalia
Unsur yang harus tegas diperjanjikan, misalnya: pemilihan tempat kedudukan.34
2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian dan Asas- Asas Perjanjian
Suatu perjanjian dianggap sah dan mempunyai kekuatan hukum, apabila telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu perjanjian yang ditentukan undang-undang. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian para pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini :35
a. Kesepakatan kedua belah pihak.
Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Ada lima cara terjadinya persersuaian pernyataan kehendak menurut Sudikno Mertokusumo yaitu dengan:
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
34
Handri Rahardjo, Op.cit, hal. 46 35
(43)
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5) Diam dan membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan. b. Kecakapan bertindak.
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Orang yang tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (tidak berlaku lagi). Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena Pasal 31 dalam undang-undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(44)
c. Adanya objek perjanjian (Onderwerp der overeenskomst)
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif, yang terdiri dari : 1) memberikan sesuatu
2) berbuat sesuatu, dan
3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). d. Sebab yang halal
Syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaark, bahasa latin causa) ini dimaksudkan tiada lain dari pada perjanjian. Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.36
Dalam hukum perjajian ada lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sun servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, asas kepribadian. Kelima asas itu adalah sebagai berikut:37
a. Asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara
36
Salim HS, Op.cit, hal. 33-34. 37
(45)
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian, 2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan 4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.38 b. Asas konsensualisme.
Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan, ini sudah semestinya. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua belah pihak sudah setuju atau sepakat mengenai sesuatu hal. Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.
c. Asas iktikad baik
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik merupakan asas
38
(46)
bahwa para pihak, yaitu pihak pertama dan pihak kedua harus melaksanakan isi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma objektif.
d. Asas pacta sun servanda (asas kepastian hukum).
Asas pacta sun servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sun servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi :” Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Dengan kata lain, perjanjian yang dibuat oleh para pihak, menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya sehingga harus dipatuhi secara penuh.
e. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menetukan bahwa seseorang yang melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi : “ pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya
(47)
sendiri”. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi : “ suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.39
3. Jenis-jenis perjanjian
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:40
a. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan berhak menerima barangnya. b. Perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima
39
Salim HS, Op.cit, hal. 9-12 40
(48)
barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.
c. Perjanjian dengan percuma
Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.
d. Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.
e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara
(49)
khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.
B. Perjanjian Baku
1. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian baku berasal dari istilah yang dikenal dalam bahasa Inggris yaitu “standart contract”. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan oleh salah satu pihak yang lebih kuat ekonominya dan dituangkan dalam bentuk formulir.
Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering sekali kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informative tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya.41
Sutan Remi Sjahdeini mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk menentukan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, dan waktu serta hal spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeini menekankan, yang
41
(50)
dibakukan dalam perjanjian tersebut bukanlah formulir perjanjian, melainkan klausul-klausulnya.42
Memperhatikan rumusan pengertian perjanjian baku dalam Pasal 1 angka 10 UUPK ini, tampak penekanan lebih tertuju pada prosedur pembuatannya yang dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan bukan isinya.
Perjanjian baku dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10 UUPK, yang menyatakan bahwa perjanjian baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/ atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
43
Penggunaan kontrak baku/klausula baku, kebebasan berkontrak serta pemberian kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan sebebas dengan melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausula perjanjian.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dikaitkan dengan syarat sahnya suatu perjanjian yakni kesepakatan mereka untuk membuatnya dan mengikatkan dirinya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan berdasarkan asas konsensualisme.
44
2. Perkembangan Perjanjian Baku di Indonesia
Perjanjian standar (baku), sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (473-347), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan
42
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993), hal.66
43
Persoalan tentang isi klausula baku baru akan dipersoalkan di dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
44
(51)
mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsen/ penyalur produk (penjual), tidak lagi sekadar masalah harga, tetapi menyangkut syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang-bidang-bidang yang diatur dalam perjanjian standar pun makin bertambah luas.45
Sebuah laporan dalam harvard law review pada 1971, 99 persen perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar. Di Indonesia, perjanjian standar bahkan merambah ke sektor properti dengan cara-cara yang secara yuridis masih kontroversial. Misalnya, diperbolehkan sistem pembelian rumah secara inden dalam bentuk perjanjian standar.46
Di dalam praktik, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis, dalam bentuk formulir. Perbuatan-perbuatan yang selalu terjadi secara berulang-ulang dan teratur yang melibatkan banyak orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu, dan kemudian dibakukan dan seterusnya dicetak dalam jumlah banyak, sehingga mudah menyediakannya setiap saat jika masyarakat membutuhkan.47
Kelahiran perjanjian baku, antara lain merupakan akibat dari perubahan susunan masyarakat. Masyarakat sekarang merupakan kumpulan dari sejumlah ikatan kerja sama (organisasi). Perjanjian baku lazimnya dibuat oleh organisasi perusahaan.48
Tumbuh dan berkembangnya perjanjian baku khususnya di Indonesia adalah karena keadaan sosial dan ekonomi. Perjanjian baku sangat banyak
45
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika, Jakarta,2014), hal. 138.
46
Shidarta, Op.cit, hal. 119. 47
Mariam Darus Badrulzaman, Pidato Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya Di Indonesia, ( Rineka Cipta, Jakarta, 2001), hal. 6
48
(52)
dipraktikkan dalam dunia bisnis khususnya oleh pengusaha perumahan yang umumnya lebih kuat ekonominya. Tujuan digunakannya perjanjian baku ini adalah untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan, biaya yang murah, efektif dan efisien karena dapat ditandatangani seketika oleh para pihak. Perjanjian baku juga merupakan kebutuhan dalam praktik dan sudah merupakan kebiasaan sehari-hari.
C. Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
Konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) yakni : Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Unsur-unsur defenisi konsumen: 49 a. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian konsumen itu tidak hanya sebatas pada orang-perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.
b. Pemakai
49
(53)
Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate customer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu.
Dalam Pasal 1 angka (3) UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.50
Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.51
Hak dan kewajiban konsumen. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu :
52
1) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
50
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Diadit Media, Jakarta,2001), hal. 17.
51 Ibid. 52
(54)
2) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3) Hak untuk memiliki (the right to choose);
4) Hak untuk didengar (the right to be heard).
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
(a) Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
(b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
(c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
(d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
(e) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
(f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
(g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
(h) Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apakah barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
(55)
(i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Di samping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 UUPK yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang”.
Adapun mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5 UUPK, yakni :
1.1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. 1.2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
1.3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
1.4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
(56)
2. Hak dan kewajiban pelaku usaha serta kewajibannya
Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila :
a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan; b. Cacat timbul di kemudian hari;
c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;
d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi;
e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.
Pasal 6 UU No. 8 tahun 1999 produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut :
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang/atau jasa yang diperdagangkan.
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/atau jasa yang diperdagangkan.
(57)
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut :
(a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
(b) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
(c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
(d) Menjamin mutu barang/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang/atau jasa yang berlaku.
(e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
(f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang/atau jasa yang diperdagangkan.
(g) Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan
(58)
kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang / diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.53
Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya misrepresentasi terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam kaitannya dengan misrepresentasi banyak disebakan karena Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi di samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.
53
(1)
ABSTRAK Eva Christina Pardede *
Prof. Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum** Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum ***
Melihat dari peningkatan terhadap permintaaan kebutuhan akan perumahan, maka pelaku usaha menggunakan perjanjian baku untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak dengan biaya yang murah, efektif dan efisien karena dapat ditandatangani seketika oleh para pihak. Perjanjian baku dapat diterapkan di dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen dengan menggunakan prinsip-prinsip perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK untuk melindungi dan memberikan keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen. Judul skripsi dalam penelitian ini adalah Analisa Terhadap Hak dan Kewajiban Para Pihak pada Perjanjian Baku dalam Penjualan Perumahan di PT. Pangripta. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah Perjanjian jual-beli perumahan dengan menggunakan kontrak baku ditinjau menurut KUH Perdata dan UUPK. Prosedur penjualan perumahan di PT. pangripta. Analisis terhadap hak dan kewajiban para pihak pada perjanjian baku dalam penjualan perumahan di PT. Pangripta.
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang mencakup asas hukum, sistematika hukum, sejarah hukum dan penelitian hukum empiris, yang diperoleh di lapangan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis peraturan hukum. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yaitu perundang-undangan, bahan hukum sekunder yaitu buku, artikel, majalah, dan bahan hukum tersier yaitu kamus hukum, KBBI, catatan perkuliahan, ensiklopedi hukum.
Perjanjian penjualan perumahan dengan menggunakan kontrak baku dianggap sah menurut KUH Perdata dan UUPK karena meskipun dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, dalam pasal ini tidak ada pembatasan tanggung jawab yang ketentuannya dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) UUPK. Berdasarkan syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian baku dalam hal ini tidak melanggar hal tersebut, karena pihak konsumen diberi kesempatan untuk membaca isi perjanjian dan diberi kebebasan untuk menyetujui atau menolak perjanjian. Prosedur penjualan perumahan pada PT. Pangripta dilakukan melalui pembayaran tunai keras, tunai bertahap dan kredit pemilikan rumah (KPR). Analisis terhadap hak dan kewajiban para pihak pada perjanjian baku dalam penjualan perumahan di PT. Pangripta, Hak PT. Pangripta antara lain : menerima pembayaran uang sebagai tanda pembayaran, mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad baik. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Kewajibannya, antara lain: beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Bertanggung jawab penuh atas pembangunan rumah; menjamin kepada pembeli bahwa rumah yang diperjual belikan bebas dari tuntutan pihak lain. Dalam perjanjian penjualan perumahan di PT. Pangripta, ada satu pasal yang tidak sesuai karena dapat merugikan konsumen. Pasal ini tidak sesuai, karena apabila konsumen tidak melengkapi berkasnya selama 7 hari meskipun pada hakikatnya karena kondisi terpaksa dikarenakan pihak bank yang tidak mengabulkan proses KPR, maka pemesanan dianggap batal dan booking fee menjadi hangus.
Kata Kunci : Hak dan Kewajiban, Perjanjian Baku, Penjualan Perumahan * Mahasiswa Fakultas Hukum
**Dosen Pembimbing I. ***Dosen Pembimbing II.
(2)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara. Adapun judul yang penulis angkat adalah “ Analisa Terhadap Hak dan
Kewajiban Para Pihak pada Perjanjian Baku dalam Penjualan Perumahan di PT. Pangripta.” Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan
hambatan yang dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril maupun materil. Kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Rektor Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pelaksana Tugas Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. O.K Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
(3)
5. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini
6. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini
7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Teristimewa kepada Bob Panjaitan, yang telah setia menemani dan
memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada Meisura, Stanny, Gloria, Veronica, Hariyani, Valerie, Namira,
Marshall, Grace, Imam, Hakim, Dodi, Rizky, Putra, Alwin, Bambang dan seluruh teman-teman stambuk 012, yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan motivasinya sehingga terselesaikannya skripsi ini.
10.Kepada sahabat dari masa bimbingan belajar, Emilya, Unita, Elisabeth,
Priscilla yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Dengan penuh rasa hormat, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Penulis, yaitu Amser Pardede dan Rawati
(4)
Sinambela atas segala doa, cinta kasih, dukungan moril dan dukungan immateril yang telah diberikan kepada Penulis dengan tulus ikhlas dan penuh kasih sayang yang selalu menjadi sumber inspirasi bagi Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna di satu sisi karena kesempurnaan hanya milik Tuhan, oleh sebab itu besar harapan penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif apresiatif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa menyertai kita semua dan semoga skripsi ini bermanfaat untuk perkembangan hukum di negara Indonesia.
Medan, Maret 2016 Penulis
(5)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 10
C. Tujuan Penulisan ... 11
D. Manfaat Penulisan ... 11
E. Metode Penelitian ... 12
F. Keaslian Penulisan ... 16
G. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 21
A. Perjanjian Menurut Hukum Perdata ... 21
1. Pengaturan dan Sejarah Hukum Perjanjian ... 21
2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian dan Asas- Asas Perjanjian 24 3. Jenis-jenis Perjanjian ... 29
B. Perjanjian Baku ... 31
1. Pengertian Perjanjian Baku ... 31
2. Perkembangan Perjanjian Baku di Indonesia ... 32
C. Perlindungan Konsumen ... 34
1. Pengertian konsumen dan pelaku usaha ... 34
2. Hak konsumen dan Pelaku Usaha serta Kewajibannya Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 38
3. Perlindungan Konsumen terhadap Perjanjian Baku yang memuat Klausul Eksonerasi. ... 41
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERUMAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN ... 44
A. Pengertian Perumahan dan Dasar Hukumnya ... 44
B. Cara Pembayaran Rumah ... 45
C. Pembatalan Sepihak terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan ... 53
BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK PADA PERJANJIAN BAKU DALAM PENJUALAN PERUMAHAN DI PT. PANGRIPTA ... 58
(6)
A. Perjanjian Baku dalam Penjualan Perumahan Ditinjau dari
KUH Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen .. 58
B. Prosedur Penjualan Perumahan di PT. Pangripta……….62
C. Analisis Hak dan Kewajiban Para Pihak pada Perjanjian Baku dalam penjualan perumahan di PT. Pangripta……… 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
A.Kesimpulan ... 77
B.Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN