Kewenangan Pengadilan Niaga Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa

BAB IV KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA MENGADILI PERKARA

KEPAILITAN DAN KAITANNYA DENGAN PERJANJIAN ARBITRASE

A. Kewenangan Pengadilan Niaga

Didalam menjalankan suatu usaha, satu hal yang pasti perusahaan akan memperoleh keuntungan atau kerugian. Jika perusahaan itu memperoleh keuntungan, tentu saja perusahaan itu akan terus berkembang bahkan bisa menjadi perusahaan raksasa, tetapi apabila perusahaan itu mengalami kerugian, maka untuk mempertahankan usahanya akan dirasakan sangat sulit. Didalam mempertahankan usahanya tersebut biasanya perusahaan akan melakukan peminjaman kepada pihak lain. Perusahaan sebagai debitur melakukan peminjaman kepada kreditur dengan asumsi kreditur percaya debitur dapat mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya. Pelunasan hutang oleh debitur kepada kreditur tidak selalu dapat berjalan dengan lancar adakalanya debitur tidak mampu membayar hutangnya kepada kreditur walaupun telah jatuh tempo. Pelaksanaan perjanjian antara debitur dan kreditur biasanya tidak selalu berjalan dengan lancar sehingga dalam menyepakati suatu perjanjian para pihak adakalanya memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjian tersebut, yang mana klausul arbitrase ini sangat diperlukan bagi para pihak, terutama apabila terjadi sengketa atau perselisihan diantara para pihak. Perselisihan atau persengketaan dalam perjanjian menurut M. Yahya Harahap dapat berupa : 17 17 M. Yahya Hrahap, Op Cit, halaman 71. 44 Universitas Sumatera Utara 1. Perbedaan penafsiran disputes mengenai pelaksanaan perjanjian; 2. Pelanggaran perjanjian breaks of contract; 3. Pengakhiran perjanjian termination of contract; dan 4. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase lebih dipilih oleh para pihak karena arbiter yang ditunjuk oleh pihak yang bersengketa dapat lebih bertanggungjawab daripada Hakim pengadilan negeri. Apalagi menurut Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbiter atau majelis arbiter dapat dikenakan tanggung jawab hukum atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung, apabila terbukti ada itikad yang tidak baik. Perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis baik diadakan sebelum atau sesudah perselisihan. Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak sesuai dengan isi dari Pasal 1338 KUH Perdata. Defenisi perjanjian arbitrase yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan kesepakatan berupa : 1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian yang tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa. 2. Suatu perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya sengketa. Para pihak yang dalam suatu perjanjiannya sepakat menggunakan arbitrase jika dikemudian hari terjadi perselisihan atau sengketa terhadap pelaksanaan perjanjian yang mereka buat, maka sengketa apapun yang terjadi mereka akan menggunakan arbitrase sebagai penyelesaiannya. Jika salah satu pihak dalam suatu Universitas Sumatera Utara perjanjian kreditur dan pihak yang lain debitur, pihak debitur yang dikarenakan oleh salah satu sebab tidak membayarberhenti membayar hutangnya kepada kreditur, maka menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga. Terhadap hal yang demikian apabila dalam perjanjian tersebut ada klausula arbitrase apakah debitur atau kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga atau apakah Pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Menurut M. Yahya Harahap di dalam arbitrase dikenal dua teori mengenai kekuatan perjanjian arbitrase yaitu : 1. Aliran yang Menyatakan Perjanjian Arbitrase Bukan Public Order. Perjanjian arbitrase menurut aliran ini bukan merupakan Public Order karena arbitrase tidak mutlak menyingkirkan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang timbul dari perjanjian. Aliran ini mengakui beralihnya kewenangan menyelesaikan sengketa yang terjadi pada arbitrase, namun peralihan kewenangan tersebut tidak mutlak. Pengadilan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara sepanjang pihak lawan tidak mengajukan eksepsi yang menyatakan bahwa perjanjian telah terikat perjanjian Arbitrase. 2. Aliran yang Menekankan Asas Pacta Sunt Servanda Pada Kekuatan Perjanjian Arbitrase. Pacta Sunt Servanda mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang sah legal agreement mengikat kepada para pihak atau agrement or promise be kept, oleh karena itu para pihak harus menaatinya. Lebih lanjut lagi maknanya dipertegas Universitas Sumatera Utara dalam ungkapan semua persetujuan dibuat secara sah, berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak yang membuatnya. Jika makna pacta sunt servanda dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, serta dikaitkan dengan perjanjian, terdapat beberapa asas yang sangat esensial untuk diterapkan menentukan kewenangan yuridiksi arbitrase : a. Setiap perjanjian mengikat para pihak; b. Kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang; dan c. Hanya dapat ditarik kembali atas kesepakatan bersama para pihak. Aliran ini berpendirian, sejak para pihak mengadakan perjanjian arbitrase, para pihak mutlak telah terikat. Keterikatan itu mengakibatkan arbitrase memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa yang timbul dari perjanjian. Arbitrase menjadi tidak berwenang apabila para pihak sepakat untuk menarik kembali penggunaan arbitrase tersebut. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3 menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjiajn arbitrase. Hal ini berarti bahwa setiap perjanjian yang mencantumkan klausula arbitrase yang dibuat para pihak menghapus kewenangan dari pengadilan negeri untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian tersebut. Terhadap perkara kepailitan menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang menyatakan permohonan pernyataan pailit diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga, jadi dalam hal perkara kepailitan yang berwenang dalam memeriksa dan memutuskan perkara kepalilitan adalah Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga berwenang memutus perkara kepailitan walaupun para pihak telah melakukan Universitas Sumatera Utara perjanjian arbitrase karena arbitrase merupakan suatu prosedur penyelesaian sengketa, yang bertujuan menyelesaikan perselisihan para pihak akibat dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, sedangkan kepailitan berhubungan dengan status personal seseorang. Jadi dapat dikatakan Pengadilan Niaga tidak dapat memakai alasan adanya klausula arbitrase yang telah diperjanjikan oleh para pihak sebagai alasan untuk menolak suatu permohonan pailit. Alasan pendapat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Adanya perbedaan kegunaan instrumen kepailitan dengan instrumen arbitrase. Arbitrase adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa, yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan antara para pihak akibat dilanggarnya ketentuan- ketentuan dalam perjanjian, sementara kepailitan adalah suatu mekanisme yang berhubungan dengan status personal orang, dari tidak pailit menjadi pailit dengan segala konsekuensi publiknya. Artinya meskipun arbitrase dapat berperan sebagai pengganti badan peradilan dalam menyelesaikan sengketa perdata antara para pihak yang disebabkan terjadinya wanprestasi, tapi pertanyaannya apakah kewenangan arbitrase juga dapat menggantikan peran proses kepailitan yang secara langsung berhubungan dengan status personal seseorang atau badan hukum. 2. Perbedaan syarat pengajuan kepailitan, jika dibandingkan dengan syarat pengajuan gugatan kepada arbitrase. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, suatu permohonan kepailitan dapat diajukan apabila debitur memiliki dua atau lebih hutang, dan salah satu hutang telah jatuh tempo, dan dapat dibuktikan secara sederhana. Sementara arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Universitas Sumatera Utara yang mewajibkan adanya sengketaperselisihan yang perlu diselesaikan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa arbitrase dan kepailitan merupakan dua hal yang berbeda, untuk mengajukan permohonan kepailitan tidak diperlukan suatu sengketa, dan sementara masuknya perkara ke arbitrase harus melalui adanya sengketa atau perselisihan atau sejenisnya. Untuk memperoleh persetujuan atas permohonan kepailitan tidak diperlukan dibuktikan adanya sengketa, cukup unsur-unsur pada Pasal 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. 3. Perbedaan sifat antara Kepailitan dengan Arbitrase. Sebagai proses publik, kepailitan merupakan suatu proses hukum yang memiliki implikasi publik. Dengan adanya kepailitan, maka ketentuan Pasal 22 sampai Pasal 32 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, Kepailitan cukup jelas meletakkan bahwa hak dan kewajiban debitur pailit beralih kepada kurator sebagai pihak yang akan melakukan pembayaran kewajiban debitur pailit dari uang hasil penjualan harta pailit, begitu juga proses-proses penegakan hukum yang berkenaan dengan harta pailit, misalnya sita-sita yang telah dikenakan oleh Pengadilan, dan tahanan badan, semuanya harus di angkat dan kelanjutannya akan amat bergantung dari penyelesaian proses kepailitan itu sendiri. 18 Di dalam tataran praktek, pendapat Hakim sendiri dalam mengambil keputusan sering mengalami perbedaan, sampai saat ini masih belum dapat disimpulkan pendapat akhir dari posisi arbitrase terhadap kepailitan. Pada masa- masa awal Pengadilan Niaga cenderung berada pada posisi bahwa dengan adanya klausula arbitrase, maka sebagai konsekuensi asas kebebasan berkontrak pacta 18 Suyudi Aria, peraturanPDF UU - 30 -99.pdf, http :www. hukumonline.com Universitas Sumatera Utara sunt sevarda yang mengikat sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, dengan sendirinya menimbulkan kewenangan absolut lembaga arbitrase terhadap seluruh proses hukum apapun, termasuk juga proses kepailitan, hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan Niaga No.2Pailit1998PN.NiagaJkt.Pst. antara Chioda Sport Market melawan Para Bandung Propertindo, putusan Pengadilan Niaga No.14Pailit1999PN.NiagaJkt.Pst. antara PT. Environmental Network Indonesia melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PFF International Corporation, putusan Niaga No.19Pailit1999PN.NiagaJkt.Pst antara PT. Basuki Pratama Engineering et. al melawan PT. Megarimba Karyatama, yang berpendapat bahwa klausula arbitrase pada perjanjian telah menimbulkan kewenangan absolut bagi lembaga arbitrase yang menisbikan kewenangan Pengadilan Umum termasuk diantaranya Pengadilan Niaga yang merupakan bagian dari Pengadilan Umum. Belakangan pendapat itu diluruskan oleh Mahkamah Agung dengan beberapa pendapat utama, yaitu yang menyatakan bahwa Pengadilan Niaga adalah extra ordinary jurisdiction, sehingga tidak dapat dinisbikan oleh klausula arbitrase Keputusan Kasasi No.12KN1999, selain itu Pengadilan juga berpendapat bahwa kepailitan berada di luar kekuasaan para pihak sebagai suatu materi yang dapat diperjanjikan bersama dan menimbulkan kewenangan absolut arbitrase dengan pertimbangan hukumnya sebagai berikut : Bahwa berdasarkan Pasal 615 Rv Reglement Op De Rechtsvordering S. 1847 -52 Jo. 1849-63 yang dapat diserahkan untuk menjadi kewenangan arbitrase adalah perselisihan mengenai hak-hak yang dapat dikuasai secara bebas oleh para pihak artinya tidak ada ketentuan peraturan perundangundangan yang telah mengatur hak- hak tersebut. Bahkan Pasal 615 RV menyatakan antara lain tentang hibah, perceraian, sengketa status seseorang dan sengketa-sengketa lain yang diatur oleh Universitas Sumatera Utara ketentuan perundang-undangan tidak dapat diajukan penyelesaiannya kepada arbitrase. Bahwa dalam hal kepailitan, ternyata telah ada peraturan perundang- undangan yang khusus mengatur mengenai kepailitan dan siapa yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara kepailitan yaitu Undang-undang No.4 Tahun 1998. Ini berarti perkara kepailitan ini tidak dapat diajukan penyelesaiannya kepada arbitrase, karena telah diatur secara khusus dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 dan sesuai dengan Pasal 280 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1998 yang berwenang memeriksa dan memutus perkara ini adalah pengadilan niaga. 19 Setelah itu beberapa putusan mengenai arbitrase dalam kepailitan merujuk kepada putusan Kasasi No.12KN1999 tersebut, namun anehnya putusan terakhir mengenai arbitrase Putusan Niaga No.80Pailit2000PN.NiagaJkt.Pst antara PT. Trakindo Utama melawan PT. Hotel Sahid Jaya Internasional, dalam putusan Kasasi No.05KN2001 Mahkamah, Agung justru berbalik kepada pendirian semula dan berpendapat bahwa Pengadilan Niaga tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa permohonan pailit. Hal ini sesungguhnya menjadi menarik, meskipun secara teoritis jelas posisi kepailitan di hadapan yurisdiksi arbitrase, namun pada prakteknya tidak semudah itu jika kita melihat kepada pendirian pengadilan yang terlihat masih belum berada pada posisi yang tetap. Di dalam penjelasan Pasal 280 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan UU Kepailitan Nomor 4 tahun 1998 menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan pada Pengadilan Niaga, dan hal ini dipertegas lagi dalam 19 Tim Redaksi Tatanusa, 1998-1999, Yurisprudensi Kepailitan, PT Tatanusa, Jakarta. Universitas Sumatera Utara Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang yang baru pada Pasal 303 dimana ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan ketegasan bahwa pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian hutang piutang yang mereka buat memuat klausul arbitrae. Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausul arbitrase, sepanjang hutang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang ini. Berdasarkan sumber hukum terbaru tentang kepailitan yaitu Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Hutang, telah memberikan jawaban bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klasul arbitrase. Hal ini berarti Pengadilan Niaga merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara kepailitan, dan dapat disimpulkan bahwa arbitrase tidak berwenang untuk itu. Dengan diundangkannya undang-undang yang baru tersebut memberikan kepastian hukum tentang kewenangan Pengadilan Niaga jika dikaitkan dengan keberadaan perjanjian arbitrase, walaupun sebelumnya masih terdapat kesiapangsiuran mengenai hal tersebut, hal tersebut dapat dilihat dari pendapat beberapa Hakim yang tidak tetap seperti pada beberapa keputusan Hakim yang menyatakan klausula arbitrase pada perjanjian telah menimbulkan kewenangan absolut bagi lembaga arbitrase dan megenyampingkan kewengan Pengadilan Niaga Universitas Sumatera Utara seperti pada Keputusan Pengadilan Niaga No.2Pailit1998PN.NiagaJkt.Pst antara Chioda Sport Market melawan Para Bandung Propertindo, putusan Pengadilan Niaga No.14Pailit1999PN.NiagaJkt.Pst antara PT Environmental Network Indonesia melawan PT Putra Putri Fortuna Windu dan PFF International Corporation, putusan Niaga No.19Pailit1999PN.NiagaJkt.Pst., antara PT. Basuki Pratama Engineering et. al melawan PT. Megarimba Karyatama. 20 Jika dilihat pada keputusan Kasasi No.12KN1999 Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pengadilan Niaga adalah extra ordinary jurisdiction, sehingga tidak dapat dikesampingkan oleh klausula arbitrase Hal ini tentu saja memberikan keraguan kepada kita karena memang pada saat itu dalam Undang-Undang Kepailitan yang lama Pasal 280 ayat 1 dinyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga, namun didalam undang- undang tersebut tidak memasukkan kalusul arbitrase secara tegas dalam salah satu pasalnya. Dan hal ini dijawab dalam Undang-Undang Kepailitan yang baru pada Pasal 303 yang menyatakan secara tegas bahwa kalusul arbitrase tidak dapat mengenyampingkan kewenangan Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan. Selain itu Sutan Remy Sjahdeini juga mengemukakan bahwa tidak ada kemungkinan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit selain Pengadilan Niaga. Kepailitan diatur secara khusus oleh undang-undang diperiksa dan diputus oleh pengadilan yang khusus pula, kepailitan juga merupakan suatu hal yang berada jauh dari kewenangan absolut arbitrase, karena kepailitan hanya dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga. 20 Suyudi Aria, peraturanPDF UU - 30 -99.pdf, http :www. hukumonline.com Universitas Sumatera Utara

B. Proses Penanganan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga