Hasil dan Pengamatan Wawancara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil dan Pengamatan Wawancara

Peneliti melakukan penelitian terhadap mahasiswa minangkabau yang melanjutkan jenjang pendidikan strata satu di USU dengan menggunakan teknik snowball sampling. Peneliti berhenti pada informan kesepuluh karena data yang diperoleh sudah jenuh. Hal ini disebakan kareana data yang diberikan informan hampir rata-rata mempunyai kesamaan. Pelaksanaan dan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara yang berlangsung dari bulan September hingga Oktober 2012 Permohonan surat penelitian telah diurus dengan cara meminta persetujuan tertulis dari fakultas dan telah disampaikan kepada biro rektorat yang kemudian di lanjutkan ke Pusat Sistem Informasi USU PSI USU. Sesuai dengan lokasi penelitian, peneliti melakukan observasi ke tiga fakultas yakni, FISIPOL, FIB dan FKM. Setelah itu peneliti mencari informasi yang lebih akurat tentang wadah mahasiswa minang berkumpul, ternyata disini peneliti menemukan Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol USU IMIB USU setelah mendapatkan bantuan dari beberapa teman di IMIB USU kemudian peneliti bertemu dengan ketua IMIB USU, setelah berbincang cukup lama peneliti menyampaikan maksud dan ketua IMIB USU mengajak ke acara temu ramah yang tidak terlalu formal, disanalah peneliti bertemu dengan informan yakni mahasiswa minang yang sedang berstudi di USU dari berbagai daerah di Sumatera Barat dan dari berbagai Fakultas. Pencarian informan cukup sulit karena kesedian informan serta karena informan masih merasa masih baru mengenal peneliti, walaupun peneliti juga menggunakan bahasa minangkabau. Setelah cukup meyakinkan para informan, peneliti mengumpulkan data dan membuat perjanjian tentang tanggal dan waktu observasi dan wawancara. Universitas Sumatera Utara Proses wawancara dilakukan di berbagai tempat sesuai dengan keinginan informan dan mengikuti jadwal informan sendiri. Di setiap lokasi, peneliti juga selalu melakukan observasi, khususnya di rumah kost. Melalui wawancara, peneliti mendapatkan pengakuan tentang culture shock yang mereka alami ketika pertama kali sampai di Medan. Kemudian peneliti mendapatkan penguatan dan informasi tambahan melalui observasi langsung. Proses wawancara berlangsung sesuai dengan pedoman wawancara, yaitu dengan membiarkan informan bercerita untuk memperoleh informasi yang lebih banyak. Ketika melakukan wawancara, peneliti tidak hanya mendapatkan informasi tentang culture shock dalam hal interaksi komunikasi antarbudaya, tetapi juga dalam hal makanan, cuaca, lalu lintas dan sebagainya. Hal ini peneliti jadikan sebagai pelengkap informasi. Tujuan pembuatan karakteristik informan usia, jenis kelamin, asal fakultas dan lama menetap adalah untuk membantu peneliti menemukan sejumlah kemungkinan terkait hubungan karakteristik informan dengan culture shock yang dialami dan upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Untuk itu, peneliti harus menemukan temuan yang dapat dijadikan kesimpulan nantinya apa sebenarnya yang berpengaruh pada culture shock yang mereka alami. Tabel 2 Data Mahasiswa Minangkabau yang Menjadi Informan No. Nama Jenis Kelamin LP Fakultas Angkatan Lama Menetap Alamat 1 Salmi Hengki L ISIPOL 2009 3 tahun Jl Wijaya kesuma 2 M.Akmal Nur L ISIPOL 2009 3 tahun Jl Dr. Mansur Universitas Sumatera Utara 3 Winda Zulfi P Kesehatan Masyaraka t 209 3 tahun Jalan Dr. Sumarsono 3325 4 Silmi Tresia P Ilmu Budaya 2010 2 tahun Jalan Jamin Ginting Gang Sarman No.7 5 Frezi Widianing sih P ISIPOL 2010 2 tahun Jalan Jamin Ginting Gang Sarmin No. 45A 6 Gally Angga Ananta L Ilmu Budaya 2010 2 tahun Jalan Pembanguna n Gang Rejeki No.5B 7 Dilla Sepri Susanti P ISIPOL 2011 1 tahun Jl Harmonika no 70 P bulan 8 Putri Oktaviani P Kesehatan Masyaraka t 2011 1tahun Jl Zulkarnain No 16 9 Masria Umami P Kesehatan Masyaraka t 2011 1.5 tahun Jalan Prof. M. Yusuf No.15 Universitas Sumatera Utara 10 Wahyu Eko Putra L Ilmu Budaya 2011 1.5 tahun Jalan Jamin ginting, Gang Kamboja No.27 Dan berikut hasil pengamatan dan wawancara dengan informan : Informan 1 Nama : Salmi Hengki Usia : 21 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Fakultas : ISIPOL Angkatan : 2009 Lama Menetap : 3 Tahun Alamat Tempat Tinggal : Jl Bunga Wijaya Kesuma Pasar V Tanggal Wawancara : 24 september 2012 Salmi Hengki adalah informan yang pertama ditemui oleh peneliti yang sedang berada dirumah kontarakannya. Hengki adalah sosok yang bersahaja dan ramah ini terlihat dari raut wajah yang bersahabat dan cepat berinteraksi dengan lingkungan sekitar, terlihat ketika ia mengutarakan tentang karakter orang minang “Satahu ki urang minag ko dikecekan kareh ndak loo doh, tapi urang minang ko lai capek baradaptasi jo urang lain atau jo lingkungannyo, dan labiah capek bersosialisasi, karakter urang minang ko labiah fleksibel”. Setahu ki orang minang dikatakan keras tidak juga,akan tetapi lebih cepat beradaptasi dengan orang lain atau dengan lingkungannya dan lebih cepat bersosialisasi, karakter orang minag lebih fleksibel. Ketika pertama datang ke kota Medan Hengki tidak terlalu risih atau cemas jauh dari orang tua, karena ternyata dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas Hengki telah berpisah dengan orang tua dikarenakan sekolah yang bagus sangat jauh dari rumah, Hengki tinggal dibatujanjang kabupaten Solok dan ia bersekolah di kota Solok. Universitas Sumatera Utara “Dek dari sekolah SD wk lah jauh juo dari urang gaek, SMP jo SMA, jadi ndak terlalu asing bagi wk untuak masuak sebuah lingkungan yang baru” Karena dari sekolah SD saya telah jauh dari rang tua, SMP dan SMA, jadi tidak terlalu asing bagi saya ketika masuk sebuah lingkungan baru. Dalam hal bergaul Hengki ternyata tidak mempermasalahkan perbedaan etnis atau agama ia beranggapan etnis dan keyakinan adalah hak persoanal seseorang dan tidak terlalu penting untuk menjadi sebuah permasalahan, akan tetapi sebelum pergi ke kota Medan sempat terpikirkan bahwa orang medan adalah orang yang kasar dan dengan watak yang keras. “Lai ado awak bagaul jo etnis lain katiko dikampus, jo urang batak, melayu, india bahkan cino pokoknyo sadoalahnyo, Cuma dek lingkungan wak urang padang mako labiah dakek wak ka urang padang. Dalam gambaran wk medan tu kota yang kareh dan urangnyo urang batak dan wk anggap urang batak ko urang nan terkenal kareh mangeceknyo, sebab waktu wk sma dulu ado urang batak dan urang batak tu kareh bukan dek kceknyo se, tapi prinsipnyo kareh juo”. saya juga bergaul dengan etnis lain ketika berada dikampus, sperti orang batak, melayu,india,cina intinya semua orang, akan tetapi karena dilingkungan tempat tinggal lebih banyak orang padang karena lebih dekat dengan orang padang.Dalam gambaran saya medan kota yang kers dan terkenal dengan orang batak seperti berbicara dengan nada yang tinggi dan prinsipel. Banyak hal baru yang ditemui Hengki dikota Medan terlebih karena adanya perbedaan yang sangat jauh antara daerah asal dan Medan, ada beberapa kebiasaan yang tidak ia lihat ketika dikota Medan khususnya kepada hal yang bersifat pribadi, permaslahan pribadi lebih cepat menyebar ketika berada didaerah asal dibandingkan dimedan tuturnya. “Perbedaan di kampuang jo medan, ko kalau dikampuang masalah-masalah pribadi lebih capek urang tahu sebab dikampuang tu buruak elok wak langsuang capek tahu urang mungkin dek wilayah nan ketek, beda jo medan ko individualisme urang labiah tinggi jadi urang dimedan ko ndak ka mau tahu jo masalah wak, paling katiko wak bagabuang dalam suatu komunitas atau kelompok lah urang mangko katahu, itu pun ndak kasado urang lo bisa tahu”. Perbedaan dikampung dan medan, jika dikampung masalah-masalah pribadi lebih cepat orang mengetahuinya, sebab dikampung baik dan salah langsung akan diketahui mungkin karena wilayah yang kecil, berbeda dengan medan individualisme lebih tinngi jadi orang medan tidak akan ikut mau tahu dengan masalah pribadi saya, kecuali ketika saya bergabung dalam suatu komunitas atau kelompok orang lain akan mengetahui permasalahan Universitas Sumatera Utara saya , dan tidak semua orang didalam komunitas akan mengetahui hanya orang-orang terdekat. Setiap individu pasti akan selalu memiliki permasalahan, apalagi ketika berada jauh dari keluarga dan teman dekat, begitu hal dengan Hengki. Ia juga memiliki masalah selama menjalani pendidikan dimedan, akan tetapi ia memiliki solusi ketika permasalahan tersebut muncul, seperti permasalahan dalam kuliah, cara bergaul dan bertanya kepada senior menurut ia adalah cara mengatasinya. “Misalnyo waktu tu masalah makan, karano ado perkumpulan minang disitulah awak banyak batanyo dima tampek makan, tampek bali buku selain tu ado dari senior-senior di kampus atau di kost yang maagiah awak arahan.pokoknyo sadoalah tentang medan ko wak tahu dari komunitas mahasiswa minang dan senioren awak dikampus”. Seperti masalah makan, karena da perkumpulan mahasiswa minag disanalah saya banayak bertanya dimana tempat makan, tempat beli buku murah, selai itu juga bertanya kepda senior-senior dikampus atau kost yang memberi saya arahan Banyak hal baru yang menjadi pembelajaran bagi Hengki. Ia memaparkan mengahargai orang lain sangat penting jika kita juga ingin dihormati, begitulah cara ia mengatasi perbedaan budaya disekitar lingkungan baru. “Pelajaran yang awak dapek, awak jadi lebih menghargai urang lain, sebab awak basobok jo urang-urang nan berbeda, dari situ awak bisa mancaliak baa gaya hidup urang, bantuaknyo ado alasan masing-masing setiap urang tu, baa kok anyo bersikap seperti nan awak caliak, dan katiko awak hargai urang lain, mako disitu lah awak akan dihargai urang lain disitulah muncul jiwa-jiwa toleransi awak terhadap urang lain”. Pelajaran yang saya dapatkan, syaa lebih menghargai orang lain, sebab saya berjumpa dengan orang yang berbeda, dari situ saya bisa melihat bagaimana gaya hidup orang lain, sepertinya ada alasan tersendiri mengapa orang bersikap seperti yang terlihat, dan karena itu saya menghargai orang lain, agar orang lain menghargai kita dan dari situlah muncul sikap toleransi terhadap perbedaan dengan orang lain. Dipenghujung pertemuan Hengki memberikan saran jika ingin melanjutkan pendidikan diluar sumatera barat khususnya di kota Medan “Yang partamo jaan malu-malu batanyo, jaan jadi uarang yang sok tahu wak katiko dinagari urang ko, apo lai nan baru bapisah jo urang gaek, itu biasonyo urang tu maraso masih barado dirumah dan itu sangat babahayo sebab ndak ado jaminan apo yang wak inginkan bisa terwujud.intinyo jaan pernah manyamoan diri dirumah dan dirantau urang ko”. Yang pertama jangan malu-malu bertanya, jangan jadi orang yang sok tahu kita ketika ditempat lain, apalagi berpisah dengan orang tua, biasanya orang masih merasa masih bagaikan dirumah sendiri dan itu sangat berbahaya sebab tidak ada jaminan apa yang kita Universitas Sumatera Utara inginkan akan semua terwujud. Intinya jangan pernah menyamakan dirumah dan di negeri orang. Kesimpulan Hengki mengalami culture yang tidak terlalu sulit, karena ia telah terbiasa dengan lingkungan baru dan cepat beradaptasi, akan tetapi kebiasaan yang menyangkut persoalan masalah pribadi sangat berbanding terbalik antara masyarakat kota medan dan didaerah asal, dengan kepribadian yang terbuka hengki lebih cepat menerima kebudayaan dari orang lain dan penghargaan terhadap perbedaan budaya-budaya lain menjadi kunci baginya ketika menghadapi karakter orang-orang dikota Medan. Komunikasi antar budaya menjadi peranan bagi hengki untuk memahami makna-makna dibalik perkataan yang keras seperti streotype yang telah terbayangkan ketika belum mencapai kota Medan. Informan 1 Nama : M. Akmal Nur Usia : 21 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Fakultas : ISIPOL Angkatan : 2009 Lama Menetap : 3 Tahun Alamat Tempat Tinggal : Jl dr Mansyur Tanggal Wawancara : 28 september 2012 Informan berikut adalah seorang anak nagari minangkabau yang bersal dari daerah Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Peneliti menemui Akmal atau lebih dikenal oleh teman-teman sejawatnya dengan panggilan datuak, di salah satu toko retail outdoor yang bernama eiger, Akmal juga seorang petualang yang sangat menggemari dunia outdoor atau pecinta alam ia tergabung didalam salah satu mahasiswa pecinta alam mapala unit kegiatan Universitas Sumatera Utara mahasiswa Korps Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Sumatera Utara KOMPAS USU. Peneliti langsung bertanya mengapa akmal dipanggil datuak, karena menerut dan sepengetahuan peneliti datuak adalah gelar ketua suku yang sangat bertuah didaerah minangkabau. dan akmal pun menjawab “Waktu ado penyambutan mahasiswa baru dari komunitas atau organisasi urang minang, jadi disitu ado pemilihan datuak jo bundo, kebetulan lah awak nan tapiliah sajak itulah kanti-kanti maimbau awak datuak” Sewaktu ada penyambutan mahasiswa baru dari komunitas atau organisasi orang minang, jadi ketika dalam acara diadakan pemilihan datuak dan bundo, kebetulan saya yang terpilih sejak itulah teman-teman memanggil saya datuak Setelah mendengar jawaban tersebut agar lebih akrab peneliti memanggil akmal dengan datuak, informan tidak keberatan. Akmal dahulu sewaktu masa SMP dan SMA melalui massa di pondok Pesantern IV Angkek Canduang akan tetapi karena ada suatu permasalahan yang melibatkan akamal ia pindah sekolah ketika akan naik kelas tiga SMA, namun dasar agama cukup kuat tertanam dalam diri akmal.datuak berinteraksi seperti orang- orang biasa lainnya, ia sosok pribadi yang cukup terbuka terhadap lingkungan sekitar. “Buliah di kecekan biaso-biasosenyo kebetulan pas baru bana tibo dimedan ko awak tingga samo mak tuo wak, jadi ndak kontras bana lah rasonyo dirumah jo dimedan, pas dikost patangtu interaksi ndak bitulah bana doh, sebab wak baduo se jo bang zulfikar nan muslim jadi sekedar say helo senyo,Cuma dek lah cukuik lamo cukuik akrab juo jadinyo tapi sabateh kawan se” Boleh dikatakan biasa-biasa saja, kebetulan pertama kali datang ke Medan saya tinggal untuk sementara dirumah tante, jadi tidak terasa perbedaan anatara dirumah dan dimedan, waktu kost tidak juga terlalu berinteraksi, seaba saya dan bag Zulfikar yang hanya Universitas Sumatera Utara muslim jadi dengan penghuni kost lain hanya sekdar say hello, akan tetapi cukup akrab sebagai teman Perbedaan agama cukup menjadi masalah dan halangan ketika akmal berinteraksi ketika baru tinggal dirumah kost-kosan, sampai akhirnya akmal sekarang tinggal dan sekaligus bekerja ditoko retail outdoor. “Partamokan ado senior wak di KOMPAS USU, sebelum tu wak alun tahu jo senior tu lai, wak masuak kompas awal 2011, disitulah wak kenal jo pemilik kadai ko, tu kalo ndak salah sabulan sudatu di telpon no wak, keceknyo dek ndak ado nan manjago kadai ko ditawarannyo wak, tu wak pikia-pikia ado untuangnyo, selain wak bagaji, tampek tingga gae perai ndak mambayia, tu nan pasti wak lai suko pulo manggaleh”. Pertama ada senior saya di KOMPAS USU, sebelumnya saya belum tahu dengan senior. Saya masuk KOMPAS USU awal tahun 2011, disanalah saya kenal dengan pemilik toko ini, kalo tidak salah satu bulan datang panggilan dan ditawari untuk menjaga toko dan sekalian tinngal disini lumayan tempat tinggal gratis,dan saya juga suka berdagang. Setelah cukup bercerita mengenai kegiatan sehari-hari, informan tidak terganngu menjalani dua kegiatan, selain kuliah dan berdagang, selanjutnya peneliti mulai membuat perbandingan atau perbedaan pada tahap dirumah dan dimedan, dan berikut penuturan dari informan. Serta tanggapan akmal ketika melihat cara bergaul anak muda dikota Medan. “Baa ka baa lasuah dikampuang, tapi disiko namonyo manusia awak sabagai urang minang marantau istilahnyo untuak anak mudo harago mati kalau ndak ado usaho dikampuang ancak marantau wak lai. Jadi untuangnyo disiko manambah wawasan wak yang partamo pasti kuliah, karajo dan dapek pangalaman nan baru” Bagaimanapun dikampung lebih baik, tapi disini namanya manusia sebagai orang minag marantau istilahnya bagi anak muda adalah harga mati jika tidak ada usaha dikampung lebih baik saya merantau. Jadi kelebihannya pertama menambah wawasan dari kuliah dan kerja mendapat pengalaman baru Universitas Sumatera Utara “Kalau dari segi pergaulan ndak lo doh, sebab dulu wak lai juo pai marantau ka kota Gadang atau metro politan Cuma tu lah walaupun kota gadang tapi insfrasrukturnyo banyak nan ndak layak pakai caliak lah angkotnyo jalannyo bedo jauh lah jo bukittinggi”. Dari segi pergaulan tidak terlalu mengejutkan, sebab dahulu saya juga telah merantau ke kota besar atau metropolitan, Cuma terkejut melihat angkutan umum dan jalan yang semberaut dikota medan Dalam perkulihaan ternyata informan tidak terlalu mengalami kendala, akan tetapi ia menyesalkan tidak adanya keahlian yang lebih spesifik ketika tamat dari FISIP, berikut ini pendapat akamal. “Ado tapi ndak bitulah bana doh,Cumo tu lah kalo awak anak fisip ko memang harus berorganisasi kalo maarokkan dari dosen se ndak kaado dohh, mencari keahlian wak yang lain memang harus diorganisasi, po lai nantik untuak dunia kerja fisip ko masih ngambang, di awang-awang mangko no wak butuh keahlian lain untuak manunjang wak nantik mode awak jurusan administrasi negara kan ndak harus karajo dipemerintahan mungkin se diwirausaha”. Tidak ada keahlian yang menunjang ketika tamat dari FISIPOL kalau diharapkan pekerjaan dari pemerintah itu mustahil mungkin wirausaha juga jalan yang cukup bagus Masuk kedalam multikultural, kebiasaan-kebiaasaan masyarakat kota Medan akmal memiliki statement tersendiri dan kesulitan bahasa juga dialami oleh akmal. “Kalau bahaso lai lah tapi ndak lamo bana lo doh, kalo soal budaya dikota medan ko ndak jaleh se, istilahnyo kama angin baambuih kakian lo baliang-baliang baputa, apo nan trend itu lo diikuti ado nan iko, iko lo baikuikan, ado nan baru langsuang lo batuka, Universitas Sumatera Utara kebanyakan ndak baprinsip lah mulai dari bapakain sampai caro mangecek, kini k-pop bisuak ntah apo lolai. Mungkin dek dimedan ko majemuk multi etnis multi agamo jadi panutan tu ndak jaleh se, kalau dikampuang kan ado datuak atau nan tuo jaleh ka jadi panutan.” Ada kendala bahasa, ketika diawal-awal berkomunikasi, namun kendala tersebut dapat diatasi dalm waktu yang tidak lama, budaya kota medan tidak jelas, istilahnya kemana angin berhembus kesana arah baling-baling menghadap, setiap yang baru selalu ditiru dan kebanyakan tidak berprinsip mulai dari cara berpakain, cara berbicara, sekarang k-pop korea pop besaok natah apa lagi, mungkin karena medan majemuk multi etnis, multi agama, jadi tidak ada yang menjadi panutan, beda dengan di kampung ada panutan seperti datuak atau orang tua pastinya. Akamal sosok yang berprinsip dan cukup teguh memegang sandi-sandi nilai budaya minangkabau tercermin dari filosofi hidup yang dipegangnya, banyak hal-hal yang membuat peneliti cukup terkejut dengan peneturan akmal yang dalam maknanya. ”Dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang, ingek dahan kamaimpok ingek ranting ka malantiang, kalau sasek diujuang jalan babaliak kapangka jalan”.mungkin tu bahubuangan jo kahidupan awak jo agamo yang awak jalani,seandainyo awak baa-baa, awak lupo atau cilako jo kehidupan wak surang pasti karano awak surang bukan karano urang lain nan maksud wak tu kalo wak lah terlalu jauh maninggaan agamo ingek-ingek lah baliak, baliak lah kapangka. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, ingat dahan akan menghimpit, ingat ranting akan terpelintir, mungkin itu berhubungan dengan kehidupan yang saya jalani, seandainya ada masalah atau saya lupa dan celaka, maka pasti karena ulah diri sendiri, Universitas Sumatera Utara maksudnya mungkin kita terlalu jauh dari agama , maka ingat kembali balik lah keasal yaitu agama. Pemahaman yang telah didapatkan oleh akmal telah menjadi bekal untuk menempuh pendidikan dan jauh dari orang tua, rasa horma dan harga menghargai menjadi kunci utama dalam menempuh saat-saat melanjutkan hidup di negeri orang. Peneliti menanyakan tentang pemahaman atau pelajaran dan pengalaman yang telah didapatkan oleh akmal “Ado da, mode ko wak pahami da ibaratnyo” “elok-elok jo tampuo basarang randah”.. “Tampuo tu labah, biasonyo labah tu kan basarang tinggi-tinggi bantuak diateh batang karambia, kalaunyo basarang randah pasti ado panjagonyo dibawah kok ula nan basarang atau pinyangek nan baracun, artinyo dalam wak bersosialisasi di masyarakat yaitu urang nan marandah bukan urang sok tu pasti ado kalabihannyo ado palinduangnyo, ado ilmunyo, ilmu disiko ado ilmu agamonyo, walupun wak sapele mancaliak urang tu tapi kalu dimato tuhan tinggi derajat urang tu. Ndak baa wak hormat ka urang mode tu dari pado urang nan dari lua tampang covernyo rancak tapi nyo sombong”. “salah urang mangko salah awak, salah awak mangko nampak salah urang, dek awak nan salah mangko nampak urang tu nan salah”. Maksudnya adalah dimana tawon bersarang rendah maka dibawahnya pasti ada penjaganya ada ular atau binatang beracun lainya, makna di balik itu adalah tidak semua orang yang merendah diri adalah orang yang rendah, dibalik kerendahannya pasti ia memiliki pegangan ilmu pengetahuan serta pengetahuan agama yang baik, ketika kita melihat kesalahan orang alain, lihatlah terlebih dahulu kesalahan kita, maka kesalahan orang lain terlihat karena kita juga memiliki kesalahan. Universitas Sumatera Utara Kesimpulan Akmal juga mengalami gegar budaya akan tetapi tidak terlalu dalam skala yang besar, dilihat dari tutur kata serta mimik berbicara ia seorang yang bijak dan telah mendapatkan pedoman-pedoman adat dan agama yang baik, tidak terlalu menjadi permasalahan ketika ia harus jauh dari orang tua, akan tetapi masalah perbedaan agama tetap menjadi hal yang sensitif baginya, namun lambat laun perbedaan dapat diterima ketika berinteraksi dalam waktu yang cukup lama dan pencegahan serta cara mengatasi linkungan yang baru ia berpedoaman kepada pituah-pituah minang dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari- hari. Informan 3 Nama : Winda Zulfi Usia : 19 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Kesehatan Masyarakat Angkatan : 2009 Lama Menetap : ±2 Tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Dr. Sumarsono 3325 Tanggal Wawancara : 20 Oktober 2012 Winda adalah informan ketiga yang peneliti wawancarai. Peneliti mendapatkan informasi tentang Winda dari data yang diperoleh di sekretariat IMIB USU. Winda adalah mahasiswa Minang yang berasal dari Kota Pasaman. Sebelum merantau ke Medan, ia telah tinggal berpisah dari orang tuanya sejak menempuh pendidikan Tsanawiyah setara SMP dan SMA di Kota Padang Panjang selama lebih kurang 6 tahun. Wawancara berlangsung di kampus Fakultas Kesehatan Masyarakat, tepatnya di sanggar FKM. Ketika peneliti datang Universitas Sumatera Utara menghampiri informan, Winda sedang berdiskusi dengan mahasiswa Minang lainnya, yakni Hengki, Ririn serta beberapa orang teman lainnya. Tutur katanya lembut dan sopan. Selama wawancara berlangsung, ia pun ekspresif dalam menggambarkan suasana hatinya. Universitas Sumatera Utara Di dalam keluarga Winda, bahasa Minang masih tetap digunakan, baik dengan sesama anggota keluarga maupun dengan masyarakat sekitarnya. Ketika Winda berada di Medan pun, ia juga tetap menggunakan bahasa Minang dengan sesama teman Minangnya. Winda yang sering menyebut dirinya Inda mengatakan sebagai berikut: “Kalau di keluarga iyo masih pake bahaso Minang, paliang ciek-ciek katonyo yang pakai bahaso Indonesia. Di siko kalau samo-samo urang Minang Inda sobok jo kawan- kawan yang ndak Minang, pake bahaso Indonesia, tapi kadang pake bahaso Minang”. Kalau di keluarga, iya, masih menggunakan bahasa Minang, paling satu-satu kata saja yang menggunakan bahasa Indonesia. Di sini kalau bersama teman-teman Inda yang Minang kalau bertemu dengan kawan-kawan yang bukan, menggunakan bahasa Indonesia, tapi kadang menggunakan bahasa Minang. Selain itu, keberadaan mamak di dalam keluarga Winda juga masih berperan dalam penyampaian dan pengajaran tata krama dan sopan santun kepada Winda. Termasuk ketika Winda menghadapi masalah, mamaknya lah yang lebih dahulu berperan dalam pemecahan masalah tersebut. Kedekatan ia dengan mamaknya sudah terbentuk sejak Winda kecil karena mamak dan ibunya masih tinggal di rumah yang sama. “Ketika wak bersikap jo urang gitu, kalau ado yang salah langsung inyo capek tanggap gitu, mangecekan langsung ka Inda sabalum ka ama, kadang labiah acok nyo dulu mengecekan ka Inda daripado ama mengecekan ka Inda. Soalnyo dakeknyo tu katiko Nda ketek-ketek nyo lah tingga jo ama Nda, jadi lah Universitas Sumatera Utara dakek”. Ketika kita bersikap kepada orang lain gitu, kalau ada yang salah dia langsung cepat tanggap, menyampaikan langsung kepada Inda sebelum kepada mama, kadang dia lebih sering yang menyampaikan langsung kepada Inda, bukan mama. Karena kedekatannya dulu ketika Nda masih kecil dia sudah tinggal bersama mama, jadi sudah dekat. Universitas Sumatera Utara Ketika Winda hendak melanjutkan pendidikannya di Medan, ia pun masih ingat dengan nasehat-nasehat mamaknya. Salah satunya adalah bagaimana menjaga sikap ketika bergaul dengan orang lain. Mamaknya berpesan agar ia berpandai-pandai dalam bergaul, jangan menggunakan kata-kata yang kasar. Seperti yang disampaikannya kepada peniliti berikut ini. “Kalau ka urang tu pandai-pandai lah, jan kasa-kasa gitu a, pandai-pandai la bakawan di rantau”. Kepada orang lain berpandai-pandai lah, jangan kasar-kasar, pandai-pandai lah berteman di rantau. Akan tetapi, setibanya di Medan Winda mengalami culture shock yang membuatnya terkejut. Mulai dari suasana lingkungan Medan hingga dialek yang kasar. Bahkan ia menangis ketika pertama kali disapa dengan kata “Kau’. Hal ini tampak dari ekspresi wajahnya yang memelas ketika bercerita kepada peneliti. “Medan ko kasa, ndak nio do, sumpah ndak nio do. Di siko kumuah, angek, banyak debu, polusinyo terlalu banyak, angek bana ko a, lameh Inda patamo di siko. Pas awal matrikulasi, ampia manangih Nda di pa kau an nyo dek urang, takajuik la Inda gitu a.”Kau dari mana?” eh…ya Allah, di pa kau an nyo Inda. Agak cangguang Inda mandanganyo patamo, tapi nyo biaso-biaso se, inyo santai-santai se, Inda yang respon Inda takajuik. Urangnyo, ba a tu, dek awak baru-baru tu, mandanga dialeknyo mangecek gitu kan, apolagi supir angkot, takuik Nda. Apolagi pas ospeknyo tu a, Inda kanai berang, talambek, tu ado kakak manyapo Inda, tu Inda sapo, tu diberangan dek urang. Nangih Nda”. Medan ini kasar, tidak mau, sumpah tidak mau. Di sini jorok, panas, banyak debu, polusinya terlalu banyak, panas sekali, lemas Inda ketika pertama kali di sini. Waktu awal matrikulasi, Inda hampir menangis, Nda di panggil “Kau” oleh orang lain, terkejut waktu itu. “Kau dari mana?” eh…ya Allah, di panggil kau. Agak canggung Inda pertama kali Universitas Sumatera Utara mendengarnya, tapi dia biasa-biasa saja, respon Inda yang kaget waktu itu. Orangnya gimana ya, karena kita baru-baru gitu, mendengar dialeknya seperti itu, apalagi supir angkot, Inda takut. Apalagi ketika ospek, Inda dimarahi, terlambat, lalu ada kakak yang menyapa, Inda sapa, terus dimarahi sama yang lain. Inda nangis. Pada masa awal menjalani kehidupannya di Medan, Winda merasa canggung dengan bahasa yang digunakan orang-orang di sekitarnya. Baginya dan bagi sebagian besar orang Minang, kata “Kau” memang dianggap kata sapaan yang kasar. Sehingga dalam situasi percakapan sehari-hari kata itu memang jarang digunakan dalam lingkungan Minangkabau. Selain itu, Winda juga mengeluh tentang keadaan cuaca yang panas karena ia terbiasa dengan cuaca Kota Padang Panjang yang relatif sering hujan dan dingin. Culture shock yang dialami Winda membuatnya merasa takut kepada beberapa orang yang memiliki perawakan agak kasar, misalnya seperti supir angkot dan tukang becak. Winda bahkan takut untuk menyewa jasa tukang becak saat itu. Di lingkungan kampus, Winda mengaku lebih sering bergaul dengan orang-orang di luar etnis Minangkabau. Pada awalnya, karena teman-temannya yang sesama orang Minang berbeda kelas dan hanya dialah yang berbeda di antara teman-temannya yang lain. Oleh karena itu, Winda lebih sering berinteraksi dengan orang-orang di luar etnis Minangkabau. Lama kelamaan, kondisi ini membuatnya merasa lebih nyaman berada bersama orang-orang di luar kelompok etnisnya sendiri. Winda menceritakan, bahwa hal ini dikarenakan ia merasa orang-orang tersebut lebih peduli terhadapnya daripada teman-teman yang seetnis dengannya. Ada persaingan yang ia rasakan ketika bergaul dengan sesama orang Minang sehingga ada rasa ketidakpedulian. Misalnya, dalam berbagi bahan kuliah, Winda lebih banyak mendapatkan bantuan dari teman-temannya yang lain daripada teman-teman etnis Minangkabau.Akan tetapi di samping hal itu, Winda tetap merasa senang dengan teman- teman Minangkabaunya. Suasana kekeluargaan dan kebersamaan yang ia rasakan bersama anak-anak Minang lainnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi Winda. Walaupun dalam kesehariannya Winda lebih sering bergaul dengan teman-temannya yang di luar etnis Minangkabau, ia tetap menerapkan nilai-nilai budaya yang ia terima selama ini. Dengan menjaga sopan santun dan tata krama dalam bergaul Winda dapat beradaptasi dengan Universitas Sumatera Utara lingkungan baru dan mendapat teman-teman baru. Salah satu falsafah Minang yang mengajarkan tata krama bergaul adalah kato nan ampek, seperti yang juga diceritakan Winda ketika peneliti menanyakan tentang bagaimana ia menerapkan budaya Minang dalam kehidupannya sehari-hari. “Kalau dek Inda dari sopan santun la bisa dikatokan ba a caro wak bergaul jo urang gitu, ba a caro wak bersikap jo urang yang lebih tuo dari awak, kan kalau misalnyo di Minang itu tu bana nan dipacik gitu a, kato nan ampek”. Kalau bagi Inda bisa dikatakan dari sopan santun bagaimana cara kita bergaul dengan orang lain begitu, bagaimana caranya bersikap dengan orang yang lebih tua dari kita, kalau di Minang hal itu sangat dipegang teguh, kato nan ampek. Selain kato nan ampek, Winda tetap menggunakan bahasa Minang dengan sesama teman seetnisnya. Dengan begitu, ia membiarkan orang lain tahu bahwa ia adalah orang Minang. Bahkan ia mendapatkan panggilan “Dindo” oleh teman-teman di kampusnya. Bagi Winda ketika bergaul, jika kita ramah dan bersikap. positif kepada orang lain, maka orang lain akan baik juga kepada kita, bahkan mungkin lebih baik. Oleh karena itu, kita harus pandai-pandai dalam bergaul. Hal ini tampak ketika peneliti sedang mewawancarai Winda, banyak teman-teman yang kebetulan lewat menyapa dan melontarkan senyum kepadanya. Ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan dengannya, Winda juga saling bertukar informasi tentang latar belakang budayanya. Salah satu cerita menarik adalah ketika Winda menceritakan seorang teman dari Padang Sidempuan yang memiliki stereotip terhadap orang Minang. Menurut temannya ini, orang Padang itu curang dan pelit padahal di Medan juga ada stereotip “Manipol, Mandailing Polit”, tetapi Winda tidak mengatakan hal itu kepada temannya. Mendengar hal ini, Winda mencoba menjelaskan kepada temannya bahwa tidak semua orang Padang seperti itu. Winda berusaha untuk mengubah pandangan yang seperti itu terhadap orang Minang dengan membuktikan kepada Universitas Sumatera Utara temannya bahwa ia adalah orang Minang dan tidak seperti hal yang disangkakan oleh temannya itu. Selama lebih kurang dua tahun menetap di Medan, Winda merasakan beberapa perbedaan yang membedakan antara kelompok etnisnya dengan orang-orang di luar kelompok etnisnya sendiri. Misalnya dari cara berpakaian, menurut Winda teman-teman etnis Minangkabaunya lebih rapi dan harum daripada orang-orang dari etnis lain seperti etnis Batak. “Misalnyo kayak dari caro berpakaian la, kalau menurut Inda dari kawan-kawan yang Nda caliak di siko, lai la rapi-rapi gitu, harum, kalau urang di siko, urang bataknyo dak harum do, Inda se duduak di sabalah urang tu, mual gitu, ntah ba a dak tau Nda do, kalau untuak tampilannyo dari kawan-kawan Inda yang urang Batak dak rapi do”. Misalnya seperti dari cara berpakaian, kalau menurut Inda dari kawan-kawan yang Inda perhatikan di sini, rapi-rapi gitu, harum, kalau orang di sini, orang Bataknya tidak harum, Inda kalau duduk di sebelah mereka, mual gitu, ntah kenapa, Nda juga tidak tahu, kalau untuk penampilannya dari kawan-kawan Inda yang orang Batak tidak rapi. Seiring dengan berjalannya waktu Winda sudah bisa menerima perbedaan-perbedaan yang ada antara budaya yang dimilikinya dengan budaya yang ada di Medan. Sekarang Winda sudah tidak lagi sedih jika ada yang menyapanya dengan kata “Kau”, ia juga sudah tidak takut lagi untuk pergi sendiri dengan menyewa becak ataupun menggunakan jasa angkot. Kesimpulan Kasus Winda memiliki latar belakang keluarga yang masih menerapkan budaya Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. Winda juga memiliki seorang mamak yang sangat berperan dalam penanaman nilai-nilai sopan santun dan tata krama kepadanya. Winda Universitas Sumatera Utara merupakan sosok pribadi yang suka bergaul, hal ini dikarenakan ia sudah memiliki pengalaman hidup jauh dari orang tua dan lingkungan keluraganya sejak masih Tsanawiyah. Sehingga ia sudah memiliki pengalaman merantau walaupun masih di dalam provinsi Sumatera Barat. Culture shock yang ia alami, karena banyak perbedaan yang tidak disangka-sangka Winda sebelumnya. Tidak cukupnya informasi yang ia miliki tentang daerah baru yang akan ia tempati juga menjadi salah satu faktor keterkejutannya. Seperti bahasa yang ia anggap lebih kasar dan keadaan lingkungan yang panas, kotor dan banyak polusi. Akan tetapi, karena sikap Winda yang ramah, sopan dan suka bergaul, ia diterima dengan baik oleh teman-teman barunya yang berbeda latar belakang budaya. Situasi seperti ini sangat membantu Winda untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya.Walaupun awalnya memang terdapat berbagai stereotip antara Winda dan orang-orang yang berbeda budaya dengannya, akan tetapi hal ini perlahan-lahan dapat diatasi dengan adanya interaksi di antara mereka. Bahkan Winda menjadi lebih nyaman dekat dengan orang-orang yang berbeda budaya dengannya karena adanya rasa saling peduli antara satu sama lain. Winda bisa saling terbuka, percaya dan berbagi informasi tentang diri dan latar belakang budaya yang dimilikinya. Dengan lamanya waktu yang dilalui, perbedaan-perbedaan itu kemudian dapat dipahami dan diterima sebagai sebuah kondisi sosial yang ada. Informan 4 Nama : Silmi Tresia Usia : 19 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Ilmu Budaya Angkatan : 2010 Lama Menetap : ±2 Tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin Ginting Gang Sarman No.7 Tanggal Wawancara : 20 Oktober 2012 Silmi adalah mahasiswa Minang asal Kota Batusangkar. Peneliti sudah mengenal informan sebelumnya ketika Kegiatan Penyambutan Mahasiswa Baru IMIB USU. Kesan pertama ketika peneliti mengenal Silmi adalah ia sosok yang pemalu, dan tidak terlalu banyak berbagi cerita apalagi untuk memulai percakapan. Pada saat itu, ia belum mengenakan kerudung seperti sekarang. Peneliti memilih Silmi sebagai informan berikutnya, karena ia Universitas Sumatera Utara memiliki karakteristik yang berbeda dengan informan sebelumnya. Selama ia menetap Medan, peneliti sendiri dapat melihat beberapa perubahan yang terjadi pada diri Silmi. Sekarang ia tidak lagi malu-malu untuk berbicara, bahkan ketika diwawancarai, ia mau bercerita panjang lebar kepada peneliti. Di keluarga Silmi budaya Minang memang tidak begitu ketat. Hanya saja nilai-nilai kesopanan dan tata krama masih sangat ditekankan dan bahasa Minang masih tetap digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Akan tetapi, karena beberapa orang di antara mamak- mamaknya sudah banyak yang merantau, pengajaran nilai-nilai budaya yang harusnya didapatkan oleh keponakan seperti Silmi, tidak terlalu banyak ia dapatkan. Kalaupun ada yang tinggal di dekat rumah, hubungan Silmi dengan mamaknya ini juga tidak terlalu dekat. Karena peran mamak tidak terlalu berfungsi dalam pewarisan nilai-nilai budaya, maka yang menggantikan posisi ini di dalam kehidupan Silmi adalah ayahnya. “Pengajaran tentang budaya Minang buliah dikecek an dak ado do, soalnyo mamak-mamak Sil lah pai marantau, ado di Pakanbaru, Bandung, Jakarta, yang ado dakek rumah, cuma yo saketek-saketek gitu, dak terlalu”. Pengajaran tentang budaya Minang bias dikatakan tidak ada, karena mamak-mamak Sil sudah pergi merantau, ada yang di Pekanbaru, Bandung, Jakarta. Ada yang di dekat rumah, tetapi hanya mengajari sedikit-sedikit saja. Silmi memiliki pandangan yang positif terhadap identitas budaya yang dimilikinya. Bahkan menurutnya, budaya Minang memiliki keunikan. Selain karena budayanya yang juga menerapkan nilai-nilai Islam, juga karena budaya Minang sangat menekankan nilai-nilai moral. Walaupun di zaman modern seperti sekarang, kebudayaan tradisional Minang pun masih tetap menarik untuk dinikmati. Universitas Sumatera Utara “Menurut Isil, budaya Minang itu, emang yo bana-bana Islamnyo kuek gitu, kayak urang lain tau kalau urang Minang pasti urang Islam, kalau adaik Minang kan adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah, jadi emang lebih kental ka ajaran agamanyo, trus nilai-nilai moralnyo, yo bana-bana diparatian. Walaupun kini lah zaman modern, tapi pas ado acara-acara tu lah lamo dak ditampilkan tetapi tetap menarik, dak di siko, dak di padang, tetap menarik gitu, punyo keunikan surang-surang la. Menurut Isil, budaya Minang itu, memang benar-benar kuat Islamnya, seperti orang lain menilai kalau orang Minang itu pasti beragama Islam, adat Minang mengajarkan adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah, jadi memang lebih kental ke ajaran agamanya, kemudian nilai-nilai moralnya, memang benar-benar diperhatikan. Walaupun sekarang ini sudah zaman modern, tetapi kesenian Minang tetap menarik, tidak peduli di sini atau pun di Padang, memiliki keunikan tersendiri. Ketika berada di Medan, ia sering mengingatkan pada dirinya sendiri bagaimana seharusnya ia sebagai orang Minang dalam bersikap. Nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tua terutama oleh Ayahnya menjadi pegangan Silmi dalam bertingkah laku dan menjaga sikap. Hal ini sudah ia tekankan sendiri dari dulu dalam dirinya. Perjalanan Silmi untuk mengambil keputusan melanjutkan pendidikan di Medan ternyata tidak mudah. Ia banyak mengalami tekanan dalam dirinya karena apa yang terjadi tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi ini adalah pertama kalinya ia harus jauh dari orang tua. Silmi memang memiliki keinginan untuk merantau keluar daerah tetapi bukan USU melainkan ke UI. Tetapi karena ia sudah lulus di USU dari jalur PMP, akhirnya ia tidak lagi mengikuti ujian saringan masuk universitas yang lain. Kurangnya informasi tentang USU dan tidak pernah membayangkan akan melanjutkan pendidikan di Medan membuatnya ragu untuk melanjutkan perkuliahan di sini. Silmi menceritakan kepada peneliti bagaimana kecewanya ia ketika harus melanjutkan pendidikan di USU. Ia terkejut dengan keadaan dan fasilitas yang ada di Fakultas Sastra pada saat itu. Universitas Sumatera Utara “Dak tau, soalnyo sosialisasi USU ko dak ado dulu do. Iyo bana-bana kurang pengetahuan tentang USU, dak tau do. Apalagi pas tibo di kampus keperawatan, kayak hutan belantara, ndak ado lai”. Tidak tau, karena sosialisasi USU dulu tidak ada. Pengetahuan tentang USU sangat kurang, benar-benar tidak tau. Apalagi ketika sampai di kampus Keperawatan, seperti hutan belantara. Kekecewaan yang ia rasakan dan perbedaan nilai-nilai masyarakat di Medan membuatnya enggan untuk bersosialisasi. Ia lebih memilih untuk tidak peduli. Hal ini sangat ia rasakan ketika pertama kali mengalami ospek di kampus. Kata “Kau” yang digunakan oleh sebagian besar orang di Medan memang bermakna kasar bila dipandang dari budaya Minang sehingga Silmi pun pernah merasa sakit hati karena diperlakukan seperti itu. Ini adalah salah satu bentuk culture shock yang ia alami. Karena kejadian itu, Silmi kemudian memilih untuk berteman dengan sesama etnis Minangkabau saja. Bahkan ia menjaga jarak dengan orang-orang yang ia anggap kasar dan lebih banyak bergaul dengan sesama muslim. Pada saat Silmi mulai menetap di Medan hampir setiap malam ia menangis. Untungnya ketika itu, Silmi sudah berteman dengan Memi, teman sesama etnis Minangkabau yang juga berasal dari Batusangkar. Ketika itu, ia masih sangat tergantung dengan Memi, ke mana pun pergi harus ditemani. Memi memiliki peran tersendiri untuk membantu Silmi bisa beradaptasi dengan lingkungan Medan. Silmi tidak mau terlalu memusingkan bagaimana bersosialisasi di Medan ketika itu, ia hanya ingin fokus dengan kuliah yang akandijalaninya. Dengan cara itulah perlahan-lahan Silmi bisa menerima keadaan, walau awalnya ia merasa terpaksa harus kuliah di Medan. Lama kelamaan karena keterpaksaan itulah ia mulai mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan di Medan. Mau tak mau ia harus bergaul dengan orang-orang yang memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dengan dirinya. Misalnya dalam mengerjakan tugas kelompok di kampus, tentu ia harus bisa berbaur dengan teman- teman kelompoknya. Universitas Sumatera Utara Sejak Silmi pindah ke rumah kos yang baru, ia jadi lebih banyak bergaul dengan orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda pula. Di rumah kos yang baru itu pula ia lebih sering berinteraksi dengan orang lain. Mereka saling berbagi cerita sehari- hari dan juga saling menceritakan kebudayaannya masing-masing. Ketika peneliti berkunjung ke rumah kos Silmi untuk wawancara, memang terlihat keakraban antara Silmi dengan penghuni rumah kos yang lain. Walaupun sesekali di rumah kos tersebut pernah terjadi perselisihan, tetapi Silmi memilih untuk tidak ikut campur dengan permasalahan tersebut. Memang ada beberapa perbedaan nilai-nilai yang dirasakan oleh Silmi antara masyarakat di Medan dengan masyarakat di daerah asalnya. Seperti penerapan tata krama yang ia nilai kurang dalam sopan santun, cara bersikap dan berbicara yang kasar serta adanya rasa individualis. Menyikapi hal –hal seperti itu Silmi biasanya hanya membiarkannya, tetapi jika memang sudah benar-benar dianggap keterlaluan barulah ia bertindak. Silmi memiliki sikap sendiri terhadap perbedaan-perbedaan nilai budaya yang ia alami. Dikelilingi dengan orang-orang yang berbeda budaya dengannya tidak begitu saja mengubah identitas budaya yang ia miliki. Silmi menunjukkan identitas budayanya dalam berinteraksi melalui sikap dan bahasanya. “Kalau berkomunikasi samo urang tu yang jaleh dari caro ngecek, caro ngecek urang Minang tu lebih beradab, tau sopan santun, kareh kayak gitu rasonyo ba a yo, kareh- kareh dak manantu se”. Kalau berkomunikasi dengan orang lain jelas dari cara berbicara, cara berbicara orang Minang itu lebih beradab, tahu sopan santun, keras seperti itu rasanya bagaimana ya, keras tidak menentu saja. Dari berbagai hal yang ia alami, Silmi mengakui bahwa ketika ia hidup di antara orang-orang yang lebih beragam, ia tidak bisa langsung akrab begitu saja dengan orang lain. Universitas Sumatera Utara Silmi butuh waktu untuk terlebih dahulu mengenal dan bisa percaya untuk kemudian menerima orang lain yang berbeda latar belakang budaya dengannya. Kesimpulan Kasus Kuliah di Medan menjadi pengalaman merantau yang pertama kalinya bagi Silmi. Hidup jauh dari keluarga dan berada di lingkungan yang berbeda dengan daerah asal memberikan banyak pelajaran baginya. Banyak pengalaman baru yang ia alami yang kemudian mengubahnya menjadi lebih berani dan mandiri. Perbedaan bahasa, nilai-nilai budaya dalam sopan santun bergaul memang menjadi culture shock yang sempat membuat Silmi pesimis untuk mau berinteraksi dengan orang lain di sini. Akan tetapi, karena ia mau membuka diri dengan keadaan yang baru, Silmi kemudian berusaha untuk menerima keadaan yang ada. Walaupun awalnya ia terpaksa, tetapi hal itu juga yang kemudian menyadarkannya untuk tidak terus menerus menutup diri dengan lingkungannya. Identitas budayanya sebagai orang Minang tetap ia tunjukkan melalui sikap dan tutur katanya dalam berbicara. Memang pada awalnya perbedaan identitas budaya yang ada membuatnya enggan untuk berinteraksi. Namun kemudian, nilai-nilai dari budaya itu pulalah yang kemudian membantunya untuk dapat berkomunikasi dan diterima di lingkungannya yang baru. Informan 5 Nama : Frezi Widianingsih Usia : 19 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Angkatan : 2010 Lama Menetap : ±2 Tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin Ginting Gang Sarmin No. 45A Tanggal Wawancara : 25 Oktober 2012 Frezi merupakan informan yang berasal dari daerah Ampek Angkek Canduang, Kabupaten Agam. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Menetap di Medan Universitas Sumatera Utara adalah pengalaman pertamanya jauh dari keluarga. Pada awalnya Ayah Frezi tidak mengizinkan anak pertamanya ini untuk melanjutkan pendidikannya di USU, karena beberapa pertimbangan. Tetapi berkat dukungan Ibu dan saudaranya yang lain, Frezi akhirnya diizinkan untuk merantau ke Medan. Frezi berasal dari keluarga yang masih menanamkan nilai-nilai budaya Minangkabau kepada anggota keluarganya. Tetapi uniknya, bahasa ibu yang ia gunakan bukanlah bahasa Minang, melainkan bahasa Indonesia. Frezi menceritakan bagaimana ia dan generasi dari garis keturunan ibunya diajarkan untuk menggunakan bahasa Indonesia sejak mereka kecil, tak terkecuali kakeknya. Frezi justru belajar berbahasa Minang dari tetangganya dan dari teman-teman sekolah. Ia juga mengatakan bahwa tidak hanya dirinya yang menggunakan bahasa Indonesia di sekolah, teman-temannya yang lain pun juga begitu. Apalagi ketika SMA, justru lebih banyak yang menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari daripada bahasa Minang walaupun mereka sama-sama orang Minang dan masih berada di dalam lingkungan masyarakat Minang. Pada saat peneliti melakukan wawancara dengan Frezi, memang logat Minang yang dimiliki Frezi tidak begitu jelas terdengar. Bahkan dari pilihan kata-kata yang ia gunakan lebih banyak menggunakan kosa kata bahasa Indonesia. Walaupun di dalam keluarganya bahasa Minang tidak menjadi bahasa mereka sehari-hari tetapi kakek, ayah dan ibunya tetap mengajarkan kepada anak-anaknya tentang nilai-nilai budaya Minang, terutama mengenai tata krama dan sopan santun. Ibu Frezi tidak memiliki saudara laki-laki sehingga dari garis keturunan matrilineal ia tidak mempunyai mamak. Pengajaran tentang tradisi adat budaya Minangkabau lebih banyak ia dapatkan dari kakeknya. Selain itu, pelajaran di sekolah juga menambah pengetahuan Frezi tentang budaya Minang. Sementara itu, nilai-nilai sopan santun lebih banyak ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Frezi juga mengakui, budaya Minangkabau tidak terlalu ia terapkan dalam kehidupannya, hanya dari sisi tata krama dan sopan santun lah yang lebih menonjol. “Kalau Zi pribadi kurang menerapkan sih ni, budaya Minang, paliang cuma sopan santun, tata kramanyo se lai kan, kalau kayak pakaian, cara berbicara tu lah agak beda, lah agak maninggaan”. Universitas Sumatera Utara Kalau Zi pribadi sih kurang menerapkan kak, budaya Minang, paling hanya sopan santun dan tata kramanya saja, kalau seperti pakaian, cara berbicara itu sudah agak berbeda, sudah agak meninggalkan. Ketika Frezi akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, ia awalnya merasa agak takut untuk memilih USU karena takut tidak diizinkan oleh Ayahnya. Sedangkan pilihan pertamanya adalah ingin melanjutkan ke Universitas Indonesia. Setelah hasil pengumuman diumumkan, ternyata Frezi memang harus melanjutkan pendidikannya di USU. Setelah itu, barulah ia mendapat restu dari orang tuanya. Sebelum berangkat ke Medan, Frezi mencari informasi tentang kehidupan di Medan dari beberapa orang temannya keturunan etnis Batak. Dari temannya itu Frezi kemudian mendapatkan gambaran tentang orang-orang di Medan yang dinilai keras. Dari gambaran tersebut, ia membayangkan akan sulit nantinya bagi dia untuk bersosialisasi, karena adanya perbedaan budaya. “Kalau yang Zi bayangan, Medan tu kareh-kareh gitu urangnyo, siap tu agak susah bersosialisasi, soalnyo kan budaya nyo lah beda bana, agama se mayoritasnya lah beda samo yang disitu. Zi dapek gambaran tu dari tanyo-tanyo ka kawan Zi yang keturunan Batak di bukik, nyo caritoan kayak gitu, urang di siko lumayan kareh urangnyo, siap tu Zi tanyo- tanyo samo kakak yang tingga di siko, memang kayak gitu, jadi mental wak harus siap, kalau misalnyo ka berinteraksi samo urang di siko”. Kalau yang Zi bayangkan, Medan itu keras-keras orangnya, terus agak susah bersosialisasi, karenan kan budayanya sudah sangat berbeda, agama mayoritasnya pun berbeda dengan yang di kampung. Zi mendapatkan gambaran itu dari teman yang keturunan Batak di Bukittinggi, dia bercerita seperti itu, orang-orang di sini lumayan keras orangnya, lalu Zi juga bertanya kepada kakak yang tinggal di sini, memang seperti itu, jadi harus siap mental, kalau misalnya mau berinteraksi dengan orang di sini. Universitas Sumatera Utara Selain mendapatkan gambaran dari temannya, setibanya di Medan Frezi juga bertanya dan mencari informasi dari kakak sepupunya yang tinggal di Medan. Sehingga ketika ia mulai mengawali interaksi dengan ia tidak terlalu terkejut dengan logat, bahasa maupun sikap orang-orang yang ia temui. Hanya saja ia merasa sedikit takut dan canggung ketika mulai berinteraksi karena ia belum terbiasa dengan perbedaan logat bahasa Indonesia biasa digunakannya dengan logat bahasa Indonesia teman-temannya di sini yang sedikit berbeda. Karena itu, ia sedikit takut nantinya ada salah dalam pemilihan kata-kata. “Enggan sih indak ni, cangguang yang lai nyo, dek faktor bahasonyo beda yang patamo ni, siap tu dek baru di siko kan, berarti pengetahuan tentang daerah di siko alun banyak bana lai, beko takuiknyo salah-salah mangecek atau ba a.” Enggan sih tidak kak, canggung saja yang ada, karena faktor perbedaan bahasa yang pertama, lalu karena masih baru di sini kan, berarti pengetahuan tentang daerah di sini belum terlalu banyak, nanti takutnya salah-salah bicara atau bagaimana. Ketika baru masuk di FISIPOL USU, Frezi memang bukan satu-satunya mahasiswa baru yang berasal dari etnis Minangkabau. Akan tetapi kebanyakan dari mereka memang bukan berasal dari Sumatera Barat, tetapi keturunan Minangkabau yang sudah lama tinggal dan menetap di Medan. Pada waktu Frezi mengetahui hal tersebut, sebetulnya ia merasa senang, karena mendapatkan teman yang seetnis dengannya, akan tetapi ia juga merasa canggung karena aneh baginya ketika mengetahui lawan bicaranya adalah orang Minang tetapi tidak menggunakan bahasa Minang. Frezi menceritakan hal ini ketika peneliti menanyakan bagaimana perasaannya ketika pertama kali memasuki kampus. “Patamonyo takuik sih, urang Minang di kampus ado, tapi lah keturunan, ngeceknyo lah ngecek bahasa Indonesia, jadi agak-agak cangguang stek, namonyo wak urang Minang, tapi ngeceknyo bahasa Indonesia, agak cangguang stek”. Universitas Sumatera Utara Awalnya takut sih, orang Minang di kampus ada, tapi keturunannya saja, berbicaranya sudah bicara bahasa Indonesia, jadi agak-agak canggung sedikit, namanya kita orang Minang, tapi bicaranya bahasa Indonesia, jadi agak sedikit canggung. Sedangkan ketika ia mulai berinteraksi dengan orang-orang lain yang berbeda budaya dengannya, ia merasa senang bahwa orang-orang di sini walaupun keras-keras dan tegas tetapi mereka kompak dalam berteman. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang langsung tersenyum ketika menceritakan hal tersebut. Menurut Frezi, ketika kita berteman dengan orang-orang di sini, mereka benar-benar menjaga temannya tersebut. Di kampus Frezi memang lebih banyak bergaul dengan orang-orang di luar etnisnya sendiri. “Ternyata memang kareh urangnyo, tapi urangnyo solid gitu ni, kalau dicaliak pas bakawan di kampus se kan banyak kawan Zi yang dak urang Minang, dicaliak dari kesehariannyo urang tu memang tegas-tegas, tapi nyo solid, kalau lah bakawan jo urang siko, nyo jago la kawannyo tu”. Ternyata orang-orangnya memang keras, tapi mereka solid gitu kak, kalau dilihat ketika berteman di kampus, kebanyakan teman Zi kan bukan orang Minang, dilihat dari kesehariannya mereka itu orangnya memang tegas-tegas, tapi mereka itu solid, kalau sudah berteman dengan mereka, ya mereka jagalah temannya. Frezi memiliki seorang sahabat yang ia kenal ketika melakukan registrasi mahasiswa baru. Dari temannya inilah kemudian Frezi mulai memahami bagaimana kebiasaan orang- orang Medan. Selama lebih kurang dua bulan, Frezi sudah tidak merasa canggung lagi dengan lingkungan barunya. Frezi tidak segan-segan untuk berbagi informasi kebudayaan dengan temannya, sehingga pengetahuan dan informasi yang ia dapatkan juga membantunya untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya yang ada. Universitas Sumatera Utara Selama lebih kurang satu tahun Frezi menetap di Medan, ia merasa sudah mulai terpengaruh dengan beberapa kebiasaan yang ada, seperti bahasa dan logatnya. Tetapi, ketika ia berinteraksi dengan orang Minang lain di kampusnya, ia masih tetap menggunakan bahasa Minang. Ketika peneliti menanyakan kepada Frezi perbedaan apa saja yang ia rasakan setelah menetap di Medan, ia menjawab bahwa adanya perbedaan norma-norma yang ada. Kemudian kurangnya sopan santun dari teman-temannya terhadap dosennya di kampus. Bagi Frezi, dosen atau guru adalah orang-orang yang harus disegani dan dihormati. “Norma-normanyo beda, di siko Zi caliak, kalau pas di Minang, kesopanan tu iyo bana di apoan, kalau di siko lah mulai bakurang, tata kramanyo kalau di kampus yang nampak bana caro ngecek samo dosen, kalau kawan-kawan yang di siko agak-agak kurang sopan, beda kalau di kampuang awak, kalau guru tu yo, yo bana diharagoi bana”. Norma-normanya berbeda, kalau di Minang, kesopanan itu benar-benar ditekankan, kalau di sini sudah mulai berkurang, tata kramanya kalau di kampus yang jelas sekali cara berbicara dengan dosen, kalau teman-teman yang di sini agak-agak kurang sopan, sangat berbeda kalau di kampung kita, kalau guru itu ya, benar-benar dihargai. Sedangkan culture shock yang dialami Frezi adalah adanya perbedaan cuaca antara Bukittinggi dan Medan, di Medan cuacanya lebih sering panas. Lalu masalah makanan, Frezi tidak menyukai kondisi beras yang agak pulen. Masakan pedas di sini juga kebanyakan rasanya manis, tidak pedas seperti yang ada di kampungnya. Sehingga kalau makan, ia harus pilih-pilih dulu yang sesuai dengan seleranya. Kesimpulan Kasus Frezi dan keluarganya tidak lagi menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa percakapannya sehari-hari. Frezi mempelajari bahasa Minang justru dari lingkungan tetangganya dan teman-teman di sekolah. Walaupun demikian, nilai-nilai budaya dalam bergaul dan bersikap sesuai adat Minangkabau masih disampaikan oleh kedua orang tuanya Universitas Sumatera Utara terutama oleh kakeknya. Selain itu, pembelajaran tentang nilai-nilai budaya Minangkabau juga ia dapatkan di sekolah. Menurut Frezi, budaya Minangkabau seperti dari segi adat istiadat, pakaian atau bahasa memang tidak banyak yang ia terapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Tetapi, dari segi sopan santun dan tata krama masih ia terapkan. Ketika mulai bergaul dengan masyarakat di Medan, Frezi juga tidak terlalu banyak mengalami kesulitan atau masalah yang berarti. Karena sebelumnya Frezi sudah mencari tahu tentang bagaimana kehidupan di Medan, informasi tersebut ia dapatkan dari teman dan juga kakak sepupunya. Perasaan canggung memang dirasakan oleh Frezi ketika mulai berinteraksi, karena ia masih baru dalam lingkungannya dan adanya perbedaan bahasa yang digunakan. Setelah lebih kurang dua bulan, Frezi tidak lagi merasa canggung untuk bergaul dengan orang-orang lain. Hal ini berkat bantuan teman dekatnya yang berbeda budaya dengannya. Selain itu, Frezi juga tidak menutup dirinya untuk bergaul dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya dengannya. Culture shock yang dialami Frezi seperti perbedaan cuaca dan makanan yang ada di Medan. Namun, hal ini tidak terlalu menjadi masalah baginya. Seiring dengan berjalannya waktu, ia sudah terbiasa dengan kondisi yang ada. Frezi tidak menutup-nutupi identitasnya sebagai orang Minang. Ia berusaha menampilkan identitas budayanya melalui sikap dan tata kramanya dalam bergaul. Sesuai dengan apa yang telah ia dapatkan dari lingkungan asalnya Informan 6 Nama : Gally Angga Ananta Usia : 18 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Fakultas : Ilmu Budaya Angkatan : 2010 Lama Menetap : ±2 Tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Pembangunan Gang Rejeki No.5B Tanggal Wawancara : 26 Oktober 2012 Universitas Sumatera Utara Gally merupakan mahasiswa Minangkabau yang berasal dari kota Bukittinggi. Ia adalah anak ketiga dari empat orang bersaudara. Menurut Gally, di dalam keluarganya budaya Minang yang ada sudah modern, dalam berbicara tidak lagi menggunakan kata-kata kiasan, namun masih menggunakan bahasa Minang. Gally memiliki dua orang mamak, tetapi keduanya sudah lama merantau ke Batam dan hanya pulang sesekali ketika Idul Fitri. Sehingga interaksi Gally dengan mamaknya sangat jarang. Orang-orang yang berperan dalam keluarga Gally untuk menyampaikan nilai-nilai budaya adalah kedua orang tuanya. Ketika Gally berniat untuk melanjutkan pendidikannya di luar Sumatera Barat, barulah Ibunya mulai sering menyampaikan nasehat-nasehat misalnya agar anaknya pandai- pandai dalam bergaul di rantau nanti. Gally sendiri memang mempunyai keinginan untuk kuliah jauh dari kampungnya, selain itu ia juga mendapatkan dukungan untuk merantau ke luar Sumatera Barat dari keluarga, terutama dari abangnya. Gally menceritakan bagaimana abangnya memberikan dukungan agar adiknya lebih baik kuliah di luar Sumatera Barat. “Abang Gally la di Padang lo, tu keceknyo apo la di padang ko, dak berkembang, dak lamak do, baso wak baso Minang juo, bisuak ko wak ndak nio ka mode-mode itu ce do, ncak kalua lai, iyo tu Gally nio lo kalua”. Abang Gally juga sudah di Padang, lalu katanya apa la di Padang ini, tidak berkembang, tidak enak, bahasanya bahasa Minang juga, besok-besok tidak mau seperti ini terus, lebih baik keluar, iya itu Gally juga mau keluar. Awalnya Gally ingin melanjutkan kuliahnya di Bandung. Ia juga sudah mengikuti tes SMUP Saringan Masuk Universitas Padjajaran dan lulus di jurusan ilmu perpustakaan. Akan tetapi, Gally memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya di sana. Alasannya adalah karena kebanyakan teman-teman SMA nya juga memilih untuk kuliah di Bandung, itu berarti ia akan berinteraksi dengan orang-orang yang sama lagi, walaupun sudah di luar Sumatera Barat. Gally menginginkan pergaulan yang baru dengan orang-orang yang baru Universitas Sumatera Utara pula. Akhirnya Gally pun memutuskan untuk memilih USU sebagai pilihannya dalam formulir PMP. “Awalnyo Gally tanyo-tanyo kawan-kawan, Banduang, Banduang, Banduang keceknyo, ee..kok Banduang se urang sadonyo ko. Ndeeh…suruik se jadinyo, bukan dek banyak saingan, berarti rami-rami, itu juo urangnyo, bakawan nyo jo itu juo tu, Gally pengen dapek yang baru, pas PMP Gally isi ka Medan ka USU.” Awalnya Gally bertanya pada teman-teman, Bandung, Bandung, Bandung katanya, ee..kok Bandung saja semuanya. Ndeeh…mundur aja jadinya, bukan karena banyak saingan, berarti ramai-ramai, itu juga orangnya, bertemannya juga itu-itu saja, Gally ingin dapat yang baru, pas PMP Gally isi ke Medan ke USU. Sebelum ia berangkat ke Medan, Gally mencari informasi tentang Kota Medan dan USU melalui internet. Dari informasi yang ia dapatkan, Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia. Kepada peneliti Gally mengatakan bahwa ia ketika itu, membayangkan hal-hal yang indah tentang Medan. Terutama tempat hiburannya seperti Bioskop 21. Gally tidak terlalu memikirkan kesulitan yang mungkin akan ia hadapi di Medan. Ia ingin senang-senang di Medan, bahkan ketika baru saja sampai di Medan, tempat yang pertama kali ia kunjungi adalah Bioskop 21 Sun Plaza. Kemudian ia juga menikmati wisata kuliner yang ada di USU Medan. Namun, ada hal yang tidak ia sukai tentang Medan yaitu cuaca yang panas, angkot yang tidak tertib lalu lintas, dan sikap masyarakatnya yang terkadang egois dan juga keras. “Gally ba ayo, pengen rancaknyo se, pengen lasuah se, pengen cari hiburan se Gally dulu. Ma tampek nan lasuah Gally jajaki se sadonyo, wisata kuliner gai dulu, jalan-jalan. Asik, tapi angek, Medan tu kareh, cingik-cingik urangnyo, angkotnyo sumbarang cucuak se”. Universitas Sumatera Utara Gally bagaimana ya, ingin bagusnya saja, senangnya saja, pengen cari hiburan saja Gally dulu. Di mana tempat yang asik, gally jajaki saja semuanya, wisata kuliner dulu, jalan- jalan. Asik, tapi panas, Medan itu keras, orangnya egois, angkotnya sembarang masuk saja. Ketika diadakan kegiatan ospek di kampusnya, Gally memilih untuk tidak mengikuti kegiatan tersebut. Begitu juga ketika kegiatan matrikulasi diadakan, ia hanya mengikuti kegiatan tersebut selama tiga hari. Ketika itulah, pertama kalinya Gally dipanggil dengan sapaan “Kau” oleh orang yang baru ia kenal di kampus. Dalam pikirannya ketika itu, ia menganggap orang-orang di sini ternyata kasar, tapi ia tetap bersikap biasa-biasa saja. Setelah kejadian mengalami hal tersebut, Gally menceritakan kepada teman-teman etnis Minang lainnya yang telah lama menetap di sini. Dari temannya itulah, Gally kemudian memahami bagaimana kebiasaan orang-orang di Medan, termasuk menggunakan “Kau”. Di kampus Gally tak hanya berteman dengan temannya yang sesama etnis Minangkabau, tetapi ia juga berteman dengan orang-orang yang berasal dari Medan, sedangkan dengan teman-teman yang berasal dari etnis Batak ia tidak terlalu dekat, hanya sekedar tahu nama dan wajahnya saja. Dalam pergaulannya dengan orang Medan ini, Gally juga saling bertukar informasi tentang budaya mereka masing-masing. Bahkan saling bertukar ejekan-ejekan yang berasal dari daerah mereka. Gally mengakui, karena sesama teman yang sudah dekat ejekan-ejekan itu dijadikan bahan bercandaan saja. Ada satu hal yang membuat Gally kagum dengan teman-temannya ini. Ketika mereka ingin menanyakan sesuatu hal tentang budaya atau agama, mereka selalu mengatakan “Maaf” terlebih dahulu sebelumnya. Bagi Gally sendiri, hal ini ia anggap agak berlebihan mungkin karena ia adalah orang Minang, sehingga teman-temannya takut jika Gally merasa tersinggung dengan pertanyaan tersebut. “Urang tu pake maaf mananyo, ba a tu, suko lo gally caliak gaya nyo. Padahal nanyo yang biaso-biaso se nyo, takuik tasingguang urang tu”. Universitas Sumatera Utara Mereka itu kalau bertanya pakai maaf, gimana gitu, Gally suka denga gayanya itu. Padahal bertanya yang biasa-biasa saja, mereka takut tersinggung. Walaupun Gally sudah terbiasa dengan sikap dan cara teman-temannya bergaul, tetapi tetap ada beberapa hal yang menurutnya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang pernah diajarkan kepadanya. Di antaranya seperti kurangnya nilai-nilai kesopanan. Menuurt Gally, pergaulan di Medan itu lebih bebas antara laki-laki dan perempuan. Semuanya disamakan saja, apalagi rasa segan menyegani juga kurang. Sementara jika di daerahnya, segan menyegani antara satu dengan yang lain itu, sangat diperhatikan. Apalagi ketika bergaul, batasan-batasan antara laki-laki dan perempuan itu harus ada. “Ba a yo, kalau di siko tu bebas. Urang tu samo se dek nyo urang sadonyo. Dak sagan-sagan gai urang tu do. Kalau awak kan kalau cowok tu ado sagan-sagannyo, ko dak ado. Bagaimana ya, kalau di sini itu bebas. Mereka itu menganggap orang lain sama saja. Tidak ada segan-segannya. Kalau kita kan kalau cowok itu ada segan-segannya, ini tidak ada. Tetapi, hal ini kebanyakan dari teman-temannya yang berasal dari Medan, sedangkan yang berasal dari daerah seperti orang Karo, mereka ternyata lebih menjaga sopan santun dan jika berbicara pun mereka lebih lembut. Gally merasa lebih tidak suka bergaul dengan orang Batak. Karena Gally tidak nyaman dengan sikap mereka yang kasar sehingga ia terlalu sering berinteraksi dan hubungan mereka pun tidak terlalu dekat. Setelah menetap di Medan selama lebih kurang satu tahun, Gally merasakan ada perubahan logat ketika ia menggunakan bahasa Indonesianya. Tak hanya itu, kosa kata yang ia gunakan ketika berbahasa Indonesia juga sudah banyak yang menggunakan istilah-istilah Universitas Sumatera Utara lokal masyarakat Medan. Kedekatan Gally dengan teman-temannya yang di Medan juga membawa pengaruh terhadap cara ia bersikap dengan orang yang berbeda budaya dengannya. Kesimpulan Kasus Penerapan nilai-nilai budaya di dalam keluarga Gally sudah tidak terlalu kental. Gally lebih banyak mendapatkan informasi mengenai budaya Minang dari pendidikan sekolah, sedangkan mamaknya telah lama pergi merantau ke luar Sumatera Barat sehingga interaksi antara Gally dan mamaknya tidak terlalu sering. Keinginan Gally untuk pergi merantau juga didukung oleh keluarganya terutama dari abangnya. Gally tidak banyak mempermasalahkan hal-hal yang ada di Medan karena Gally lebih fokus kepada hal-hal yang menyenangkan tentang Medan. Di kampus Universitas Sumatera Utara ia lebih sering berinteraksi dengan teman-temannya yang juga berasal dari luar kota. Mengetahui dirinya adalah orang Minang, teman-teman Gally tampaknya berusaha menjaga agar kawannya tidak tersinggung. Hubungan Gally dengan teman-temannya ini bisa dikatakan cukup dekat. Baru beberapa bulan saja ia berada di Medan Gally sudah terbiasa dengan logat dan bahasa orang Medan karena pengaruh dari lingkungan pergaulannya. Gally juga tidak terlalu memunculkan identitasnya sebagai orang Minang. Ia tampak sangat membaur dengan lingkungannya yang baru di Medan. Walaupun demikian, ia tetap mengingat statusnya sebagai warga pendatang di sini. Ia tetap berhati-hati dalam bergaul seperti yang pernah dinasehatkan orang tuanya. Informan 7 Nama : Dilla Sepri Susanti Usia : 20 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Universitas Sumatera Utara Fakultas : Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Angkatan : 2011 Lama Menetap : ±2 Tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Harmonika No.70 Tanggal Wawancara : 25 Oktober 2011 Pada awal wawancara, peneliti menanyakan bagaimana budaya Minangkabau yang diterapkan di dalam keluarga Dilla. Menurut penuturan Dilla, budaya Minang yang ia rasakan lebih kental di kampungnya di daerah Sijunjung daripada di lingkungan rumahnya di Solok. Di Solok, budaya Minang itu sendiri sekarang tidak terlalu diterapkan, hanya sekedar mengetahui adat istiadat saja. Kalau dari segi bahasa, memang bahasa percakapan sehari-hari di sana masih menggunakan bahasa Minang, termasuk Dilla dan keluarganya. Dengan kata lain, budaya yang masih sering diterapkan sehari-hari adalah bahasa daerah. Sebelum Dilla menetap di kota Medan, Dilla sudah memiliki keinginan untuk pergi merantau. Kepada peneliti Dilla menceritakan bahwa ia ingin keluar daerah awalnya karena sebuah alasan klise, ingin mengetahui daerah lain dan tidak hanya tinggal di daerah yang itu- itu saja. “Yo…alasan klise sih ni, alasannyo pengen nengok di lua, jan lah tau nyo cuma nagari-nagari awak se gitu, tengok lah nagari urang, trus ado perbandingan gitu”. Ya…alasan klise sih kak, alasannya ingin melihat dunia luar, janganlah tahunya hanya daerah-daerah kita saja gitu, Lihatlah negeri orang, trus ada perbandingan gitu. Pada awalnya, Dilla ingin merantau ke Pulau Jawa dan kuliah di Universitas Indonesia. Tetapi, karena orang tuanya tidak mengizinkan untuk merantau ke luar pulau Sumatera, akhirnya Dilla memilih USU. Setelah lulus, Dilla merasa senang, bisa lulus di jurusan yang ia inginkan. Kemudian ia berangkat ke Medan melalui jalur udara. Ketika mendarat di Bandara Polonia, awalnya Dilla masih merasa kagum dengan kota Medan, tetapi lama kelamaan ketika memasuki daerah rumah kosnya, Dilla merasa terkejut. Tata kota yang Universitas Sumatera Utara tidak rapi, kumuh, macet, bahkan sampah banyak yang berserakan di mana-mana membuat Dilla merasa kecewa, situasi di sini ternyata tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Selain itu, Dilla juga mengalami kesulitan untuk mencari tempat makan yang enak dan terjaga kebersihannya. Ketika memasuki kampus, Dilla juga mengalami shock dengan cara bicara orang- orangnya yang keras dan sering berteriak-teriak. Pada saat perkenalan dalam kelas matrikulasi, Dilla memperkenalkan dirinya. Saat itulah, ia mendapat olok-olokan “Padangkik” dari kawan-kawan yang lain. Dilla sendiri merasa bingung, bahkan tidak mengerti dengan istilah tersebut. Setelah mencari tahu, ternyata maksud istilah itu adalah “orang Padang pelit”. Merasa tidak nyaman dengan olok-olokan seperti itu, Dilla kemudian berusaha menjelaskan kepada kawan-kawan yang mengolok-oloknya. Ia menjelaskan, mungkin karena kebanyakan orang Minang itu adalah pedagang, jadi wajar saja sangat perhitungan, bukannya pelit dan tidak semua orang Minang seperti itu. Setelah itu hingga sekarang, tidak ada lagi yang mengejek Dilla dengan istilah itu. Di dalam lingkungan kampus, Dilla memang sering berinteraksi dengan teman- temannya yang bukan orang Minang. Teman baru Dilla yang pertama di sini adalah orang Medan. Di lingkungan rumah kosnya, bahkan tidak ada kawan-kawan yang satu etnis dengannya. Kebanyakan dari mereka berasal dari Riau, Lubuk Pakam dan Kisaran. Karena situasi seperti inilah yang kemudian membuat Dilla menjadi lebih cepat beradaptasi dan membaur dengan orang-orang yang berbeda budaya. Menurut pengakuan Dilla, sekarang ia merasa lebih nyaman bergaul dengan kawan-kawannya di sini. Alasannya, ia lebih suka dengan cara bergaul orang Medan yang tidak berbasa-basi dan jika bicara langsung pada intinya saja, daripada orang Minang sendiri yang memiliki kebiasaan bermanis-manis kata. Menurut Dilla hal itu karena ia sendiri dalam bergaul memang lebih suka bicara langsung pada pokok permasalahan saja, sehingga lebih jelas apa maksudnya. “Dilla raso labiah lamak samo urang siko, misalnyo kan pergaulan urang disiko tu jaleh, kalau iyo-iyo, indak-indak, dak kayak di Padang do, urang tu ba a yo, banyak na kilik- kilik kato, awak dak pandai mode-mode tu do”. Universitas Sumatera Utara Dilla rasa lebih enak sama orang di sini, misalnya kan pergaulan orang di sini itu jelas, kalau iya itu iya, tidak ya tidak, tidak seperti di Padang, orangnya bagaimana ya, banyak silat-silat kata, saya sendiri tidak pandai yang seperti-seperti itu. Dari pengamatan peneliti ketika melakukan wawancara, tampak jelas Dilla adalah tipe orang yang tegas, ketika berbicara pun, ia langsung menjelaskan pada intinya, tidak seperti informan-informan sebelumnya yang sering memberikan isyarat atau perandaian untuk menjelaskan sesuatu. Sikap Dilla yang seperti itulah yang kemudian membuatnya merasa nyaman dan mudah berbaur dengan orang- orang Medan dibandingkan dengan informan- informan yang lain. Untuk beradabtasi dengan lingkungannya di sini, Dilla mengakui bahwa ia lebih sering memperhatikan, mengamati, bagaimana kebiasaan-kebiasaan orang-orang di sekitarnya. Ia memang tidak langsung bertanya untuk mendapatkan informasi atau sekedar penjelasan, tetapi ia menyimpulkan sendiri kejadian sehari-hari yang ia alami. Dari sanalah ia kemudian belajar memahami dan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. “Mancari tau sih indak ni, tapi mamparati-paratian se, jadi tau sorang se, oo..urang tu mode tu”. Mencari tau sih tidak kak, tapi memperhatikan saja, jadi tau sendiri saja, oo..orang itu seperti itu. Dari hasil pengamatannya itu Dilla kemudian bisa memahami dan menarik kesimpulan bagaimana karakter orang lain yang ia hadapi dan bagaimana ia harus bersikap. Selama masih saling menghargai perbedaan-perbedaan, semuanya bisa berjalan dengan baik. Menurut Dilla, pada situasi dan kondisi tertentu ia juga harus mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang di sini, bahakan ketika mereka berteriak-teriak kepadanya, ia pun akan bersikap seperti itu pula. Universitas Sumatera Utara “Tanggapannyo sih biaso-biaso ajo, berarti nyo karakter nyo kayak gitu, karakter wak mode ko, jadi ya uda la, selagi saling maharagoi dak ba a, di sikon-sikon tertentu awak harus lo ngikuik-ngikuik an urang tu. Urang tu ngecek ma ariak-ariak, tu awak pun kadang- kadang ma ariak-ariak lo”. Tanggapannya sih biasa-biasa saja, berarti mereka karakternya ya seperti itu, karakter kita seperi ini, jadi ya sudah lah, selagi saling menghargai tidak apa-apa, disikon-sikon tertentu kita juga harus mengikuti mereka. Mereka bicaranya teriak-teriak, ya kita pun kadang-kadang juga teriak-teriak. Dalam berinteraksi dengan teman-temannya di kampus, Dilla lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, walaupun dalam situasi yang sama juga ada temannya yang etnis Minang Dilla tetap menggunakan bahasa Indonesia. Ia menggunakan bahasa Minang, hanya ketika berinteraksi dalam lingkungan orang-orang Minang, malah terkadang bahasanya menjadi bercampur. Ketika peneliti menanyakan lebih lanjut mengapa ia lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, Dilla hanya menjawab hal itu sudah mengalir begitu saja. “Kalau samo-samo urang-urang awak kadang campua-campua ni, kadang bahaso Indonesia, kadang kalau tampek yang rami bahaso Indonesia, kalau tampek awak-awak se baru baso Minang. Ntah lah ni lah mode itu se jalannyo”. Kalau sesama orang Minang kadang-kadang campur-campur kak, kadang bahasa Indonesia, kadang kalau di tempat yang ramai bahasa Indonesia, kalau kita-kita saja barulah berbahasa Minang. Ntah lah kak, sudah seperti itu saja jalannya. Dilla sudah tinggal di kota Medan selama lebih kurang dua tahun. Selama itu pula, ada beberapa perubahan dan hal-hal baru yang ia dapatkan. Seperti perubahan logat dalam Universitas Sumatera Utara berbicara. Terkadang tanpa ia sadari, ia berbicara dengan suara yang keras. Dilla mengakui itu karena ia sudah terbiasa dengan teman-temannya seperti itu, sehingga jadi terbawa-bawa. Selain itu, Dilla menjadi lebih mengerti bagaimana orang-orang lain di luar lingkungan etnisnya sendiri. Kesimpulan Kasus Dilla merupakan pribadi yang sederhana dan tegas. Ia tidak suka hal yang berbelit- belit atau berbicara panjang lebar, ia lebih suka membicarakan hal yang jelas-jelas saja. Pribadi Dilla ini memang berbeda dengan orang-orang Minang kebanyakan. Tetapi hal inilah yang kemudian membuatnya nyaman untuk berbaur dengan orang Medan. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa orang-orang Medan itu keras dan kasar-kasar, tetapi Dilla menanggapinya dengan belajar memahami kebiasaan-kebiasaan tersebut. Culture shock yang dialami oleh Dilla ternyata tidak menghambatnya dalam berinteraksi dengan orang lain. Walapun Dilla mengaku awalnya terkejut dengan situasi lingkungan kota Medan yang menurutnya tidak rapi, kumuh dan macet, tetapi hal itu tidak membuatnya merasa kecewa karena harus melanjutkan pendidikannya di Medan. Pada saat awal-awal ia mulai berkomunikasi dengan teman-temannya di kampus, Dilla mengalami hal yangtidak menyenangkan karena diolok-olok. Tetapi, setelah ia memberikan penjelasan, mereka mengerti dan tidak lagi mengolok-oloknya. Dilla menanggapi perbedaan budaya yang dialaminya dengan baik. Hal ini ia tunjukkan dengan berusaha untuk berbaur dengan orang-orang yang berbeda etnis dengannya, bahkan ia mau mengikuti gaya interaksi mereka. Sikap yang ditunjukkan oleh Dilla ini, seperti pepatah Minang “Dima bumi dipijak, di situ langik di junjuang Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Di lingkungan mana kita berada, maka adat atau budaya yang berlaku di tempat itulah yang harus dihormati. Oleh karena itu, ia juga tidak mengalami banyak kesulitan ketika harus beradaptasi dengan perbedaan budaya. Bagi Dilla, asalkan orang lain bisa menghargai perbedaan-perbedaan yang ada padanya, maka ia juga akan menghargai mereka. Universitas Sumatera Utara Informan 8 Nama : Putri Oktaviani Usia : 19 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Kesehatan Masyarakat Angkatan : 2011 Lama Menetap : ±1.5 Tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Zulkarnain No.16 Tanggal Wawancara : 5 November 2012 Budaya Minangkabau masih diterapkan di dalam keluarga Puput, terutama dari keluarga ibunya yang berasal dari Batusangkar. Kakek Puput dari ibunya berperan sebagai datuak di dalam kaumnya. Selain itu, Puput juga memiliki 7 orang mamak, walaupun 3 orang di antaranya telah pergi merantau, akan tetapi 4 orang mamak Puput lainnya masih menetap di kampungnya dan masih sering berinteraksi dengan Puput. Pengajaran nilai-nilai budaya didapatkan Puput dari mamaknya secara tidak langsung. Dengan demikian, Puput mendapatkan banyak pelajaran mengenai adat budayanya. Di Medan, Puput memiliki keluarga, saudara dari suami adik Ibunya. Dari keluarga inilah Puput pertama kali mendapatkan informasi dan mengetahui hal-hal lainnya tentang masyarakat Medan. Hubungan Puput dengan keluarganya ini cukup dekat. Setiap akhir minggu dan hari-hari libur lainnya Puput selalu datang berkunjung. Selain dari keluarga, Puput juga mendapatkan informasi tentang Medan dari senior-senior yang berada di Medan. Sebelum ke Medan, Puput membayangkan bahwa di medan itu kebanyakan masyarakatnya adalah orang Batak dan yang sebagian kecil saja yang memeluk agama Islam. Tetapi setelah ia datang dan melihat sendiri, ternyata tidak semua anggapannya itu benar, ternyata di sini juga banyak orang Minang dan tentunya juga banyak yang memeluk agama Islam. Ketika melakukan proses registrasi ulang, Puput senang disambut oleh mahasiswa Minang lain yang tergabung dalam IMIB USU. Ikatan Mahasiswa Minang inilah yang kemudian menjadi keluarga keduanya di sini. Universitas Sumatera Utara “Pas pendataan tu, rasonyo ado se keluarga di siko kan, setidaknyo ado lah tampek nan samo samo awak, awak tu dak surang gitu”. saat pendataan itu, rasanya seperti ada keluarga di sini kan, setidaknya ada tempat sesama kita, kita tidak sendiri. Ketika penyambutan itu lah, kemudian Puput saling berkenalan dengan mahasiswa Minang yang lain. Kebetulan ada 2 orang mahasiswa Minang lainnya yang seangkatan dan juga di jurusan yang sama dengannya. Puput semakin akrab dengan teman-temannya ini setelah menjalani hari-hari mereka di kampus. Hal yang membuat ia terkejut pertama kali ketika di Medan adalah pada saat ia melakukan registrasi ulang. Puput menceritakan, saat itu ada salah seorang mahasiswa yang juga melakukan registrasi tiba-tiba menyapanya dengan sapaan “Kau”. Puput yang tidak terbiasa disapa dengan panggilan seperti itu spontan terkejut. “Patamo kali yang Put kana bana, urang tu ba “Kau-kau” ngecek nyo, waktu pendaftaran patamo kali, ado urang nanyo kan, pokoknyo pake “kau” la, takajuik Put, Put dak pernah di pa kau-kau an urang soalnyo do. Put dak buliah ba kau-kau dek ama do kan. Tu takajuik dek uni gara-gara kawan ko kan, raso nio nangih dek uni”. Pertama kali yang Put ingat betul, orang itu pakai “Kau-kau” bicaranya, waktu pendaftaran pertama kali, kan ada orang yang bertanya, pokoknya pakai “kau” begitu, Put kaget, karena Put tidak pernah dipanggil pakai “Kau” sama orang lain kan. Karena Put tidak boleh bicara pakai kau-kau oleh mama. Lalu kaget kan kak gara-gara kawan ini, rasanya ingin menangis kak. Puput terkejut karena ia tidak terbiasa disapa dengan panggilan seperti itu. Kata “Kau” jika digunakan ketika berinteraksi dengan orang Minang, memang dianggap kasar dan tidak sopan. Apalagi orang tua Puput juga menekankan pada Puput untuk tidak menggunakan kata tersebut. Walaupun ia mengetahui bagaimana watak orang Batak, tetapi itu merupakan pengalaman pertamanya berhadapan langsung dan berinteraksi dengan orang Medan. Setelah ia memperhatikan lebih lanjut dan memahami bahwa sapaan “Kau” itu memang sangat lazim digunakan orang Medan, ia pun bisa menerima keadaan tersebut. Walaupun demikian, hingga sekarang ia tetap tidak mau menyapa orang lain dengan sapaan “Kau”. Di kampus, Puput Universitas Sumatera Utara lebih memilh berinteraksi dengan orang-orang yang berlatar belakang sama dunengannya, paling tidak sama-sama beragama Islam. Hal ini tampak dari teman-teman Puput yang juga merupakan orang-orang perantauan, beragama Islam dan juga mengenakan kerudung seperti dirinya. Walaupun demikian, ia tidak menutup diri untuk berinteraksi dengan orang lain di luar kelompoknya. Bahkan Puput juga beradaptasi dengan bahasa dan logat yang digunakan teman-temannya. “Dek samo-samo urang Islam, kami saketek yang padusi yang Islam di kelasnyo, yang pakai jilbab la gitu kan, yang samo la alirannyo, yang dakek, yo samo-samo ajo wak rasonyo kalau samo-samo bajilbab. Dek gara-gara itu dakeknyo”. Karena sama-sama orang Islam, kami hanya sedikit yang muslim di kelas, yang pakai jilbab gitu, yang aliran nya sama, yang dekat, ya sama rasa lah sama berjilbab. Karena itulah jadi dekat. Menurut Puput, ligkungan pergaulan di Medan tidak jauh berbeda dengan daerah asalnya di Sawah Lunto. Masyarakat perantauan di sana juga sudah banyak, sehingga adat budaya lokalnya sudah tidak terlalu ketat. Hanya saja, bedanya di Medan pergaulannya terasa lebih bebas. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah hampir tak ada batasnya, dianggap sama rata saja. “Bedanyo dak terlalu banyak do ni, soalnyo Put ni di sawah lunto tu kan lah dak terlalu ketat bana do peraturan-peraturan adatnyo. Yo lah kayak kota juo pergaulannyo. Tapi kalo Put maraso, pergaulan di siko ampiang-ampiang samo. Yang babeda bana samo di siko, samo kawan-kawan tu lamak-lamak se ba a, samo kawan-kawan cowok la, lamak-lamak se, kalau di siko lah ampiang samo se, kalau ndak pandai-pandai jago diri wak paliangan bisa ba a la. Jadi harus pandai-pandai la jago diri”. Bedanya tidak terlalu banyak kak, karena Put kak di sawah lunto itu kan sudah tidak terlalu ketat peraturan-peraturan adatnya. Ya sudah seperti pergaulan di kota juga. Tapi kalau Put merasa, pergaulan di sini hampir-hampir sama. Yang sangat berbeda dengan di sini, yaitu dengan kawan-kawan itu seenaknya gimana gitu, dengan kawan –kawan cowok lah, Universitas Sumatera Utara seenaknya saja, kalau di sini sudah hampir sama saja, kalau tidak pandai-pandai menjaga diri kita bisa bagaimana la. Jadi jarus pandai-pandai la menjaga diri. Puput menyadari ada perbedaan nilai-nilai pergaulan antara di tempat asalnya dan di Medan, tetapi ia tidak cepat terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungannya. Ia tetap mempertahankan nilai-nilai yang telah diajarkan kepadanya. Ia bersikap lebih hati-hati dalam bergaul dan lebih selektif dalam memilih lingkungan pergaulan dan teman-teman dekatnya. Puput tidak banyak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Hanya perbedaan logat bahasanya saja yang berbeda dan sekrang ia sudah mulai terbiasa. Saat awal menetap di Medan, seperti juga informan lainnya Puput pun tidak menyukai makanan khususnya nasi yang ada di sini, karena perbedaan rasa dan tekstur nasi antara yang di sini dengan yang biasa ia konsumsi. Bahkan Puput membawa sendiri beras untuk dikonsumsi sehari-hari dari rumah. Selama lebih kurang dua tahun Puput menetap di Medan, menurutnya perubahan yang ia rasakan tidak terlalu banyak. Hanya saja ia merasa lebih mandiri dari sebelumnya. Selain itu ia juga lebih membuka diri untuk bergaul dengan orang lain yang berbeda identitas budaya dengannya. Kesimpulan Kasus Puput adalah pribadi yang ramah dan santun. Ia memegang teguh nilai-nilai budaya dan agama yang diajarkan kepadanya. Puput beruntung memiliki mamak dan lingkungan keluarga yang masih melestarikan budaya Minang. Walaupun ia dan keluarganya menetap di daerah Sawah Lunto yang adat budayanya sudah tidak terlalu kental lagi, tetapi Puput tidak meninggalkan nilai-nilai budaya Minangkabau dan agama Islam yang diajarkan kepadanya. Misalnya, sopan santun dalam bersikap dan wawasannya mengenai adat istiadat Minangkabau. Lingkungannya yang seperti inilah yang kemudian membentuk identitas Puput sebagai orang Minang. Demikian juga ketika Puput berada di Medan, identitasnya sebagai orang Minang, membantunya untuk bersosialisasi dengan orang lain. Misalnya ketika ia sampai di Medan, ia merasa senang ketika disambut oleh mahasiswa lainnya membantu Puput mendapatkan teman baru dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Dalam bergaul dengan teman-temannya di kampus, Puput tidak menutupi identitasnya sebagai orang Minang, bahkan ia merasa bangga Universitas Sumatera Utara dan senang ketika orang lain merasa tertarik dengan budaya Minang. Pada awalnya, Puput memang mengalami culture shock dari segi bahasa maupun makanan. Tetapi ia menyadari statusnya sebagai seorang pendatang, Puput belajar untuk memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada. Selain itu, ia juga lebih suka bergaul dan membuka diri dengan orang lain. Informan 9 Nama : Masria Umami Usia : 20 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Fakultas : Kesehatan Masyarakat Angkatan : 2010 Lama Menetap : ±2 Tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Prof. M. Yusuf No.15 Tanggal Wawancara : 06 Oktober 2012 Wawancara dengan Masria Umami yang biasa disapa Memi berlokasi di kampus Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Peneliti menghubungi Memi setelah peneliti mewawancarai teman Memi, Silmi. Pada saat diwawancarai, Memi ditemani oleh sahabatnya Tiara yang juga mahasiswa Minang. Mereka sedang beristirahat menunggu jadwal perkuliahan berikutnya dimulai. Bagi Memi, ini adalah pengalaman pertamanya menetap di Kota Medan. Sebelumnya, Memi juga sudah pernah tinggal bersama orang tuanya di Riau hingga kelas 3 SD. Tetapi, atas pertimbangan faktor lingkungan di sana yang dinilai kurang baik bagi perkembangan dan pendidikan anak-anaknya, orang tua Memi kemudian memutuskan agar Memi dan kakaknya melanjutkan pendidikannya di Sumatera Barat saja, tepatnya di kampung halaman Ibu Memi, kota Batusangkar. Di sana Memi dan kakaknya hanya tinggal berdua saja di sebuah rumah yang telah disiapkan kedua orang tuanya. Walaupun mereka hanya tinggal berdua, tetapi anggota keluarga Memi yang lainnya juga tinggal berdekatan dengan rumah mereka, sehingga bisa saling menjaga dan membantu. Universitas Sumatera Utara Memi memiliki 3 orang mamak, di kampungnya Memi sangat dekat dengan salah satu dari 3 mamaknya ini, terutama sejak ia dan kakaknya tinggal di sana. Kebetulan pada saat itu, keluarga mamak Memi tersebut bertempat tinggal di dekat Sekolah Dasarnya, karena itu setiap kali pulang sekolah, Memi dan kakaknya selalu singgah ke sana. “Kakak mama ado 3 urang, cuma yang dakek sorangnyo, dulu tingga di sangka, tapi memi lah SMA, nyo pindah ka Sawah Lunto. Jadi hubungan lewat telpon se lai. Dulu rumahnyo dakek SD Memi, jadi main ka situ, jadi kalau misalnyo ba a-ba a yo mamak Memi lah yang ma aja an Memi. Kalau misalnyo ba a-ba a yo mamak Memi la yang ma aja an Memi gitu a”. Kaka mama ada 3 orang, tapi yang dekat hanya 1 orang, dulu tinggal di Batusangkar, tapi ketika Memi SMA, dia pindah ke Sawah Lunto. Jadi hubungan lewat telepon saja. Dulu rumahnya di dekat SD Memi, jadi main ke sana, jadi kalau misalnya ada apa-apa ya mamak Memi lah mengajari Memi. Kalau misalnya ada apa-apa mamak Memi juga yang mengajari Memi, seperti itu lah. Orang tua Memi hanya pulang sebulan sekali ke kampungnya, sehingga yang sangat berperan dalam penanaman nilai-nilai budaya Minangkabau, maupun nilai-nilai agama Islam adalah keluarga yang di kampung, terutama mamaknya. Ketika mereka menghadapi masalah, orang yang pertama maju untuk menyelesaikannya adalah mamaknya ini. Demikianlah hubungan Memi dengan mamaknya, hingga Memi SMA mamaknya harus pindah ke Kota Sawah Lunto. Walaupun demikian, Memi tetap sering berkomunikasi dengan mamaknya meskipun hanya lewat telepon. Kemudian, peneliti menanyakan kepada Memi, bagaimana pendapatnya sendiri tentang budaya Minangkabau. Menurut Memi, kebudayaan Minangkabau itu adalah kebudayaan yang unik karena menganut sistem keturunan matrilineal. Walaupun di satu sisi status Ayah memang berperan dalam adat, tetapi ketika ia memiliki status sebagai seorang mamak, ia akan memiliki peran yang lebih besar. Meskipun demikian, di sisi lain seorang tetap berperan penting dalam keluarganya. Universitas Sumatera Utara “Unik, soalnyo dari sadoalah suku-suku yang Memi tau, cuma Minang yang matrilineal, walaupun di satu sisi ayah kurang berperan dalam adat, tapi peran mamak labiah gadang daripado peran ayah, walaupun di sisi lain ayah tetap berperan penting dalam keluarga”. Unik, karena dari semua suku-suku yang Memi ketahui, hanya Minang yang Matrilineal, walaupun di satu sisi ayah kurang berperan dalam adat, tapi peran mamak lebih besar daripada peran ayah, walaupun di sisi lain ayah tetap berperan penting dalam keluarga. Ketika Memi akan melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, orang tua atau pun mamak Memi memberikannya kebebasan untuk memilih ke mana ia akan melanjutkannya. Sedangkan dari Memi sendiri ia juga sudah memiliki keinginan untuk merantau ke luar daerah Sumatera Barat, terutama ke pulau Jawa. Ia mengatakan jika ia bisa pergi merantau, maka ia bisa melihat dunia luar dengan kebudayaan dan orang-orang yang berbeda dan juga mendapatkan pengalaman baru. Oleh karena itulah, pada saat mengisi formulir pendaftaran UMB, Memi memilih beberapa perguruan tinggi di pulau Jawa yaitu UI dan Universitas Padjajaran, sedangkan untuk di pulau Suamtera sendiri ia memilih USU sebagai salah satu pilihannya, karena Universitas Andalas pada saat itu belum termasuk dalam universitas peserta UMB. “Pengen bana kalua. Kalau awak cuma di sekitar Sumbar, awak tu jadi dak bisa melihat dunia lua, mungkin kebudayaan urang lain beda, pengen caliak yang lain, pengen cari pengalaman gitu”. Sangat ingin pergi ke luar. Kalau kita hanya di sekitar Sumbar saja, kita jadi tidak bisa melihat dunia luar, mungkin kebudayaan orang lain berbeda, ingin lihat yang lain, ingin cari pengalaman. Dari penuturan Memi tersebut, tampak bahwa Memi memiliki rasa keingintahuan yang tinggi tentang orang-orang di luar lingkungannya sendiri. Dalam perkembangannya, rasa keingintahuannya inilah yang membantunya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru Memi mengakui awalnya ia agak sedikit kecewa karena tidak bisa lulus di salah satu Universitas di Jawa, tetapi ia tetap bersyukur karena bisa lulus di USU. Universitas Sumatera Utara Hal itu, karena awalnya USU memang tidak masuk dalam daftar universitas yang diinginkannya karena kurangnya informasi tentang USU. Sebelum datang ke Medan, Memi membayangkan kota Medan adalah kota yang metropolitan dengan segala keunikannya pula. Ia tidak mau terlalu mempermasalahkan bagaimana situasi lingkungannya nanti dan lebih fokus pada kuliah. Memi tidak seperti kebanyakan informan sebelumnya yang menggambarkan kota Medan menurut stereotype yang beredar di masyarakat. Hal ini menunjukkan bagaimana Memi menyikapi hal-hal baru dari sisi yang positif. Hal yang menarik ketika Memi menceritakan pengalamannya ketika baru saja datang ke Kota Medan adalah melihat ekspresinya yang menggambarkan perasaannya ketika itu. Awalnya, ia membayangkan bahwa kota Medan sebagai kota metropolitan dengan segala kelebihannya, bahkan tampak ia menaruh harapan yang besar tentang Kota Medan. Akan tetapi, ternyata apa yang ia dapatkan tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Ia menceritakannya sambil tertawa dan cemberut, merasa kecewa dengan kenyataan yang ada. Menurut Memi, Kota Medan terkesan tidak rapi, kumuh karena sampah yang bertebaran dimana-mana, tukang becak yang parkir seenaknya, ditambah lagi dengan keadaan gedung kampus Fakultas Keperawatan yang kurang dirawat saat itu. Keadaan yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan lingkungan Kota Padang di mana Memi mengikuti bimbingan belajar. “Dek dulu kan bimbel di Padang, Padang kan lumayan barasiah, tertata lah kotanyo, jadi patamo kali datang ka Medan, wah… kok jorok gitu kan, emang kumuh lah kesannyo, tukang becak bertebaran dima-dima, dak jaleh se do raso tatanan kotanyo, jadi agak illfeel patamo kalinyo dan patamo kali masuak kampus pun kayak gitu. Fakultas Keperawatan dak kayak giko dulu doh, masih lumuik dulu sado catnyo, masih banyak rimbo. Dak sasuai jo apo yang dibayangkan”. Karena dulu kan bimbel di Padang, Padang kan lumayan bersih, tertata lah kotanya, jadi pertama kali datang ke Medan, wah… kok jorok gitu kan, memang kumuh lah kesannya, tukang becak bertebaran dimana-mana, tidak jelas saja rasanya tatanan kotanya, jadi agak illfeelkecewa pertama kalinya dan pertama kali masuk kampus pun begitu. Fakultas Universitas Sumatera Utara Keperawatan tidak seperti ini dulu, dindingnya masih dilapisi lumut, masih banyak semak. Tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Sedangkan untuk culture shock yang dialami oleh Memi, ternyata tidak terlalu berbeda jauh dengan informan sebelumnya yakni dari segi logat dan bahasa. Memi juga merasa terkejut ketika tiba-tiba seseorang bertanya dan menyapanya dengan kata “Kau”. Tetapi setelah Memi memahami bahwa kata itu memang kata yang lazim digunakan di kalangan teman-temannya, ia pun sudah terbiasa. Tetapi pada saat ia menjalani masa ospek, Memi sempat merasa tidak nyaman dengan sikap beberapa seniornya yang suka membentak- bentaknya. Karena kejadian itu, hingga sekarang ia masih merasa enggan untuk bergaul dengan mereka. Selain itu, Memi juga pernah menegur beberapa orang temannya yang makan dan minum sesukanya pada saat bulan Ramadhan. Karena merasa tidak dihargai, Memi langsung menegur mereka saat itu. Bagi Memi, bergaul dengan siapa pun sebenarnya tidak ada masalah, selama bisa saling menghargai. Di kampus, Memi tidak mau membeda-bedakan temannya dalam bergaul. Ia termasuk orang yang suka berteman dan aktif dalam beberapa organisasi di kampusnya. Memi tidak banyak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Dalam berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya dengannya, Memi mencoba untuk mengerti dan memahami bagaimana kebudayaan mereka. Saling bertukar informasi mengenai kebudayaan juga sering dilakukan Memi. Beberapa orang teman dekat Memi yang bukan orang Minang bahkan memanggilnya dengan panggilan “Uni” sehingga mereka merasa lebih akrab. Pengalamannya selama menetap di Medan mengajarkannya untuk hidup lebih mandiri lagi, walaupun sejak kecil ia sudah terbiasa untuk tinggal jauh dari keluarganya. Selain itu, seiring dengan berjalannya waktu ia juga merasa lebih berani dan lebih dewasa dalam menyikapi masalah-masalah yang muncul. Kesimpulan Kasus Sejak kecil, Memi sudah terbiasa hidup mandiri dan suka bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Walaupun ia tidak tinggal bersama kedua orang tuanya, tetapi lingkungan tempat tinggalnya masih menerapkan nilainilai budaya Minang dan agama Islam. Mamak Memi berperan sebagai penjaga, pendidik, dan juga membimbing Memi dan kakaknya dalam menerapkan nilai-nilai budaya dan agama dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, ketika Universitas Sumatera Utara Memi harus melanjutkan pendidikannya di Medan, ia tidak terlalu kesulitan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada. Wataknya yang ramah, suka bergaul dan berpikiran positif membantunya dalam proses adaptasi dengan lingkungannya. Memiliki identitas budaya sebagai orang Minang tidak menghalanginya untuk berinteraksi dengan orang lain, justru dengan adanya proses komunikasi ia bisa saling bertukar informasi budaya dengan yang lain. Informan 10 Nama : Wahyu Eko Putra Usia : 18 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Fakultas : Ilmu Budaya Angkatan : 2011 Lama Menetap : ±1.5 Tahun Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin ginting, Gang Kamboja No.27 Tanggal Wawancara : 08 Oktober 2012 Peneliti baru mengenal Wahyu pada saat wawancara, tetapi karena kesamaan latar belakang budaya peneliti dan informan bisa lebih cepat membaur. Terlihat dari penampilannya, Wahyu adalah mahasiswa yang rapi ia mengenakan celana panjang dan kemeja berlengan pendek. Ternyata cara ia berpakaian ini juga dilatarbelakangi oleh pendidikan sebelumnya. Setelah berkenalan, ternyata Wahyu adalah tamatan dari Pesantren Hamka dan melanjutkan pendidikan di SMA Cendekia yang juga menerapkan sistem asrama seperti di pesantren. Wahyu mengakui, sekarang di Kota Padang budaya Minang itu sudah mulai pudar. Walaupun ia sekeluarga menetap di Kota Padang, tetapi karena sejak 6 tahun belakangan ia masuk asrama, pergaulan dan nilai-nilai masyarakat di Kota Padang yang sudah mulai luntur itu tidak terlalu mempengaruhinya. Apalagi Wahyu memiliki seorang mamak yang masih sering mengingatkannya akan nilai-nilai budaya, ditambah dengan pengetahuan yang ia dapatkan di sekolah juga masih mengajarkan dan mendidik siswa- siswanya untuk memahami budaya Minangkabau. Sama seperti beberapa informan sebelumnya, Wahyu juga memilih universitas di Pulau Jawa sebagai pilihan pertamanya sedangkan USU adalah pilihan terakhirnya. Persepsinya tentang Medan sebelum berangkat ke sini juga relatif sama dengan informan sebelumnya. Berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari beberapa senior yang ada di Universitas Sumatera Utara Medan, mereka mengatakan Medan itu keras, pergaulannya bebas, jadi harus pandai-pandai menjaga diri. Tetapi menurut Wahyu, setelah ia menetap di sini ternyata tidak separah yang ia bayangkan. Walaupun memang watak orang Batak itu keras, tetapi tidak semua masyarakat Medan adalah orang Batak juga ada orang Aceh, Melayu, Jawa dan Minang. Di lingkungan tempat tinggalnya kebanyakan adalah orang Melayu dan Aceh. “Sabalum pai kamari, danga-danga kecek urang, katonyo kareh, lah carito-carito lo samo senior-senior yang ado di Medan ko, keceknyo Medan ko kareh, trus ciek lai pergaulannyo terlalu bebas, jadi elok-elok se di Medan, kecek senior-senior tu. Tapi lah pai ka siko, indak lo bantuak tu bana do, lingkungannyo biaso-biaso se nyo. Basobok jo urang Batak saketeknyo, kebanyakan urang Aceh, atau urang Melayu, kalau di lingkuangan Wahyu kini ko yo, kebanyakan urang Melayu atau urang Aceh”. Sebelum datang ke sini, mendengar kata orang, katanya keras, juga sudah cerita- cerita dengan senior-senior yang ada di Medan, katanya Medan ini keras, trus satu lagi pergaulannya terlalu bebas, jadi hati-hati saja di Medan, kata senior-senior itu. Tapi setelah pergi ke sini, tidak terlalu seperti itu, lingkungannya biasa-biasa saja. Bertemu dengan orang Batak juga sedikit, kebanyakan orang Aceh atau orang Melayu, kalau di lingkungan Wahyu yang sekarang ini ya kebanyakan orang Melayu atau orang Aceh. Awal-awal ia datang ke Medan, ia memang terkejut melihat watak-watak orang Medan, apalagi orang Batak yang tidak hanya keras tetapi juga tidak mau mengalah apalagi di jalanan. Wahyu bahkan pernah ditipu oleh tukang becak yang mengantarnya dari loket ALS ke lokasi rumah kosnya. Sejak saat itu hingga sekarang Wahyu tidak mau lagi menyewa jasa tukang becak. Beberapa bulan pertama ia tinggal dan bergaul dengan orang-orang di Medan, Wahyu mengalami kesulitan dengan bahasa. Walaupun di Medan bahasa percakapan sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Indonesia, tetapi banyak istilah lokal yang tidak ia ketahui. Selain Universitas Sumatera Utara itu, perbedaan logat dan susunan kata-kata yang ia gunakan sangat jelas menggambarkan ia berasal dari luar kota Medan. Adanya perbedaan-perbedaan itu tidak membuat Wahyu enggan untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan ia berusaha untuk mencari tahu dari kawan-kawannya tentang hal- hal yang tidak ia ketahui. Jika bagi sebagaian besar informan pada awalnya terkejut ketika disapa dengan kata “Kau”, tidak begitu halnya dengan Wahyu. Baginya ini bukan pertama kalinya ia bergaul dengan orang Medan, ia sudah terbiasa dengan kata itu karena semasa SMA dulu juga ada teman-temannya yang berasal dari Medan. Sehingga untuk masalah kasar atau tidaknya, Wahyu tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja, ia terkadang merasa tidak nyaman dengan kurangnya rasa sopan santun. Walaupun ia sadar, nilai-nilai budaya di setiap daerah itu berbeda menurut budaya masyarakatnya masing-masing, tetapi karena ia menilai budayanya lebih halus dan sopan karena itu ia harus membiasakan diri dengan perbedaan-perbedaan tersebut. “Budaya Minang itu haluih lah, kalau dibandiangan jo Batak, tu lebih sopan. Kan kalau kesopanan tu dalam konteks budaya itu relatif, misalnyo dek urang Batak tu ngecek kareh-kareh tu sopan mah, tapi kalau dek awak tu lain”. Budaya Minang itu lebih halus, kalau dibandingan dengan Batak tentu lebih sopan. Kan kalau kesopanan itu dalam konteks budaya Universitas Sumatera Utara itu relatif, misalnya kalau orang Batak biacara keras-keras itu sopan saja, tapi kalau kita kan tentunya berbeda. Menyadari dirinya sebagai pendatang di Medan, Wahyu lebih berhati-hati dalam bersikap. Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan budayanya, Wahyu lebih memilih untuk diam saja dan menerima hal itu. Akan tetapi, jika hal itu ia rasa sangat mengganggu dan merasa tidak nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada, barulah ia bertindak. Tetapi, selama hampir dua tahun ia berada di Medan, Wahyu lebih banyak menerima saja. Pengalamannya selama beberapa tahun tinggal di Medan mengajarkannya untuk lebih Universitas Sumatera Utara memahami watak orang-orang yang berbeda identitas budaya dengannya. Ia menjadi lebih terbuka dan lebih sering berinteraksi dengan orang lain. Kasimpulan Kasus Wahyu yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren memegang teguh nilai- nilai budaya dan agama yang diajarkan kepadanya. Nasehat-nasehat yang disampaikan oleh orang tua dan mamaknya selalu ia ingat dan membimbingnya dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda latar belakang budaya dengannya. Walaupun ia mengakui budaya Minang di Padang sudah tidak terlalu kental lagi, tetapi Wahyu tidak meninggalkan nilai-nilai budaya Minangkabau dan agama Islam yang diajarkan kepadanya. Lingkungannya yang seperti inilah yang kemudian membentuk identitas Wahyu sebagai orang Minang. Wahyu sempat mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan masyarakat Medan karena faktor bahasa dan logat yang ada. Ketika bergaul dengan teman-temannya di kampus, Wahyu tidak menutupi identitasnya sebagai orang Minang, bahkan ia merasa bangga dan senang ketika orang lain merasa tertarik dengan budaya Minang. Culture shock yang dialami Wahyu hampir sama dengan yang dialami oleh informan yang lain, begitu juga dari segi makanan danlingkungan Medan. Wahyu sangat menyadari statusnya sebagai pendatang, ia belajar untuk memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada. IV.2 PEMBAHASAN Dari pengamatan peneliti, maka dapat dibuat pembahasan sebagai berikut: Peneliti hanya mengambil 10 informan dengan metode penarikan sampel bola salju snowball sampling. Peneliti mendapatkan jawaban yang rata-rata sama mengenai culture shock yang dialami dan tidak mendapatkan data baru, sehingga peneliti menghentikan pencarian informan. Dari 11 informan tersebut maka peneliti membuat pembahasan yang dikaitkan dengan tujuan dari penelitian ini sendiri, yakni untuk mengetahui proses culture shock, reaksi culture shock dan upaya mengatasi culture shock pada Mahasiswa Minang di USU, sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 1. Proses culture shock Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam uraian teoritis bahwa culture shock adalah kecemasan yang timbul dan disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan Sosial dalam rangka perpindahan dari lingkungan familiar ke lingkungan baru Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174, demikian pula yang dialami oleh informan, yakni mahasiswa Malaysia yang menempuh pendidikan di USU. Sebagai individu yang berasal dari daerah yang berbeda dengan membawa segala bentuk budaya yang sudah tertanam dan melekat dalam diri individu tersebut, maka ketika memasuki kota Medan pada umumnya dan USU pada khususnya merupakan suatu pengalaman baru dan mereka pun turut mengalami gegar budaya culture shock. Dikaitkan dengan tingkat-tingkat culture shock yang dikemukakan dalam Intercultural Communication Between Cultures Samovar, 2007: 335- 336, maka dalam penelitian ini dibuat pembahasan sebagai berikut: a. Fase Optimistik Optimistic Phase Dari hasil wawancara dan pengamatan, kebanyakan informan melalui fase ini dimana mereka merasakan euforia dan semangat dalam menyambut suatu kehidupan yang baru. seperti yang dikemukakan secara terang-terangan oleh, akamal. Gambaran dan informasi yang diperoleh bahwa USU kota Medan adalah tempat yang secara umum tidak jauh berbeda dengan kota-kota besar lainya, setidaknya menjadi harapan akan sesuatu yang akan baik. Penjabaran ini sesuai dengan definisinya bahwa fase optimistik ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Serta dari beberapa informan yang juga menjadi mahasiswa undangan yang menjadi suatu kebanggaan bagi mereka yang di terima di USU melalui jalur tersebut. Dilihat dari segi akreditasi USU adalah universitas negri yang terbaik di Sumatera, hal ini juga menjadi sebuah motivasi bagi mereka untuk melakukan jenjang pendidikan di USU, dan atmosfir berikut streotype bahwa Kota Medan yang besar dan suasana sosial multikultural yang akur juga turut mendukung mereka dalam memasuki lingkungan baru di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan. Universitas Sumatera Utara b. Fase Masalah Kultural Cultural Problems Phasei Fase ini adalah fase kritis dalam culture shock. Informan merasakan berbagai perbedaan yang menimbulkan keterkejutan dan kecemasan dalam berinteraksi dan kontak langsung dengan lingkungan barunya. Rata-rata informan merasakan perbedaan akan hal yang sama, seperti ketika berkomunikasi, kendala bahasa, perbedaan nilai-nilai dan pola perilaku kultural Rahardjo, 2005. Seperti yang dialami Winda dan Hengki , mereka melalui masa dimana mereka dianggap asing, tertolak dan dimusuhi. Mereka juga merasa bingung dan sangat tidak terbiasa dengan perbedaan-perbedaan yang ada, seperti bahasa, yakni pengalaman winda yang sampai menangis karena perbedaan bahasa dan intonasi nada yang ia dengarkan di kota medan Rata-rata bahkan hampir semua informan mengeluh dan mengaku shock dengan kasarnya mereka bicara dan tarif yang dibuat sesuka hati dan juga dengan Wahyu yang hanya datang sendirian ketika pertama kali datang ke kota medan.. Peneliti mendapatkan data gegar budaya culture shock tidak hanya ketika berkomunikasi, tetapi terhadap lingkungan kota Medan yang terlalu padat, sempit dan traffic jam di lalu lintas Medan, juga cita rasa makanan Medan. c. Fase Kesembuhan Recovery Phase Setelah melewati beberapa tahun di Kota Medan, akhirnya informan mulai mengenali lingkungan barunya. Rata-rata informan mengaku tidak lagi mengalami sesuatu yang terlalu dicemaskan, hanya saja mereka masih terus belajar tentang budaya baru tersebut, terutama mengenai bahasa. Perlahan-lahan informan menemukan kenyamanan dan menghargai segala perbedaan sebagai bentuk budaya yang lain yang patut dihormati. Merasa dibeda-bedakan dalam berinteraksi sedikit banyak juga masih dirasakan, seperti Silmi dan Dilla. Tetapi, kebanyakan informan mengaku sudah mulai menganggap itu biasa dan mampu beradaptasi. d. Fase Penyesuaian Adjustment Phase Dalam fase ini pendatang sudah mengetahui elemen kunci budaya barunya, termasuk pola komunikasi dan sebagainya. Pada fase ini pula ada rasa puas dan menikmati kondisi yang dihadapi. Para informan rata-rata mengaku sudah mampu beradaptasi. Meskipun demikian masih terus berada dalam proses belajar akan budaya itu, khususnya bahasa. Informan juga Universitas Sumatera Utara melakukan hal-hal baru yang membuat mereka menikmati hidup di lingkungan yang berbeda dengan mereka. 1. Reaksi terhadap culture shock Perbedaan dan gegar budaya yang dirasakan menimbulkan kecemasan dan gangguan secara fisik dan psikis seperti dikemukakan dalam Samovar, 2007: 335 mengenai beberapa reaksi terhadap culture shock. Dari penelitian ini ditemukanpada drir Silmi yang cukup sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya, bahwa berbagai reaksi yang dirasakan informan adalah merasa ditolak, merindukan lingkungan lama dan keluarga homesick yang mengakibatkan kesedihan yang mendalam selama beberapa waktu seperti yang dialami silmi lain halnya dengan memi dan putri yang memang telah biasa untuk cepat beradaptasi dengan lingkungan karena pengalaman dari dalam keluarga mereka pada sebelumnya, menganggap tuan rumah tidak peka, gangguan fisik karena makanan dan udara yang tidak cocok. Tetapi secara keseluruhan, kebanyakan informan mengalami reaksi homesick. 2. Upaya mengatasi culture shock Dari penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil bahwa informan mengatasi culture shock yang timbul karena perbedaan-perbedaan yang dirasakan dengan belajar dari si pemilik budaya, yakni tuan rumah, orang Medan itu sendiri. Informan membuka diri untuk berbaur dan bergabung dengan mahasiswa Medan di kampus atau bahkan di luar kampus. Ini juga dimotivasi dengan kesadaran sebagai pendatang yang harus berinteraksi dan juga kebutuhan akan hal itu demi kelangsungan hidup. Seperti yang dilakukan Gally, Hengki, Wahyu, Frezi dan Memi. Mereka bergaul dengan orang Medan tidak hanya untuk urusan kampus saja, tetapi juga hang-out bersama, bahkan seperti akmal sampai mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal gratis.Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi dalam Mulyana dan Rakhmat, 1993: faktor komunikasi perSonal, komunikasi Sosial dan lingkungan juga turut mempengaruhi. Komunikasi personal seperti struktur kognitif, meliputi pengetahuan tentang budaya yang dimasuki, self image si informan sebagai individu dan juga motivasi yang mengacu kepada kemauan imigran untuk belajar tentang dan berpartisipasi dalam lingkungan budaya baru. Kemudian, komunikasi Sosial yang meliputi komunikasi interpersonal dengan orang-orang Medan juga interaksi dengan sesama etnis dimana rata-rata informan yang tergabung dalam Universitas Sumatera Utara sebuah kelompok dengan persamaan asal bahasa dan daerah, tanpa akan lupa perlunya berinteraksi dengan etnis lainyaMereka berpegang pada kesadaran akan adanya perbedaan dan kebutuhan akan interaksi. Sekiranya, dari penelitian ini benar apa yang dikemukakan oleh Schramm dalam Liliweri, 2001: 171 bahwa dalam membantu suatu komunikasi antarbudaya yang efektif, partisipan komunikasi harus memperhatikan empat syarat, yakni 1 menghormati anggota budaya lain sebagai manusia; 2 menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki; 3 menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak; dan 4 komunikator antarbudaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain. Apa yang dikemukakan Schramm jelas terbukti dalam penelitian ini. Informan yang menyadari kondisinya sebagai pendatang berupaya untuk menerima perbedaan yang ada dan menghargai itu sebagai suatu budaya lain yang juga harus dihormati akan lebih cepat beradaptasi dan berinteraksi dengan lebih baik. Demikian pula peneliti menyakini perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif yang menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Artinya, bisa jadi informan yang lebih cepat beradaptasi seperti Akmal, Hengki, Wahyu dan galih memiliki ekspektasi mahasiswa Medan yang positif yang akhirnya mendorong mereka untuk mau berinteraksi, melakukan komunikasi antarbudaya, meskipun dengan berbagai kendala dan perbedaan yang dirasakan tetapi memperoleh pembelajaran tentang budaya Medan. Mereka memberikan definisi yang lebih baik tentang orang Medan dan menghargai perbedaan yang ada dibandingkan informan yang memilih berkelompok dan hanya berinteraksi untuk urusan kuliah saja. Sedangkan informan yang memberikan definisi yang cenderung negatif tentang lingkungan Medan dan orang-orang di dalamnya seperti Winda, Silmi dan Putri yang memaknai situasi dan perilaku orang medan yang tidak ingin berteman dengan orang Minang, maka mereka cenderung berkelompok dengan sesama mahasiswa Minang dengan segala bentuk kenyamanannya. Universitas Sumatera Utara Tidak hanya memberikan definisi terhadap orang lain, definisi yang mereka berikan terhadap diri mereka sendiri juga mempengaruhi perilaku mereka. Informan yang lebih cepat dalam beradaptasi dan mengatasi culture shock yang dialami, mendefinisikan dirinya sebagai pendatang yang seharusnya belajar budaya tempat yang Ia datangi dan berkomunikasi dengan orang-orang yang didalamnya, bukan seorang yang berada di suatu tempat asing dengan segala sesuatu yang terasa asing sehingga memilih menarik diri dan tidak melaukan komunikasi antarbudaya. Jadi, perilaku individu berdasarkan maknadefinisipenafsiran itu. Selain itu, terdapat hal-hal yang memotivasi diri untuk berkomunikasi dengan orang- orang Medan, tetapi untuk informan yang mendefinisikan dirinya sebagai pendatang yang diasingkan, ditolak dan berbeda, maka perilaku mereka cenderung lebih sering berkelompok dan hanya berkomunikasi seadanya untuk urusan perkuliahan. Hal ini dijadikan sebagai perlindungan bagi culture shock yang mereka alami. Memang benar bahwa menurut Deddy Mulyana dalam Mulyana, 2005: 144, lingkungan yang berisi sesama pendatang dengan asal yang sama membantu proses penyesuaian dan penerimaan terhadap budaya lingkungan baru, tetapi alangkah baiknya upaya menanggulangi culture shock dengan belajar dan berkomunikasi dengan tuan rumah langsung demi penyesuaian diri. Universitas Sumatera Utara

BAB V PENUTUP

V.1 Kesimpulan