Culture Shock Pelajar Minang Di Universitas Sumatera Utara (Studi Kasus Dalam Kajian Komunikasi Antarbudaya)

(1)

SKRIPSI

CULTURE SHOCK PELAJAR MINANG DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (Studi Kasus Dalam Kajian Komunikasi Antar Budaya)

Diajukan untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

DisusunOleh FadhliFriandes

070904005

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAFKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : FADHLI FRIANDES NIM : 070904005

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : CULTURE SHOCK PELAJAR MINANG DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (Studi Kasus Dalam Kajian Komunikasi AntarBudaya)

Medan, Januari 2013

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Ilmu Komunikasi

Dra. Lusiana Andriani, M. A, Ph. D

NIP : 196704051990032001 NIP : 196208281987012001 Dra.Fatma Wardy Lubis, MA

Dekan

NIP : 196805251992031002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(3)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Culture Shock Pelajar Minang di Universitas Sumatera Utara (Studi Kasus Dalam Kajian Komunikasi AntarBudaya). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Minang di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus.

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa Minangkabau yang berada di Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat yang masih aktif kuliah dan sudah menetap di Medan selama kurang lebih dua tahun melalui pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulannya yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Minangkabau memiliki kecenderungan culture shock tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri, namun untuk beberapa informan masih mengalami beberapa masalah adaptasi seperti merasa bahwa nilai-nilai budaya yang diajarkan ditempat asal dari Sumatera Barat cukup memiliki perbedaan baik dari norma sehari-hari dan tata cara bergaul dengan lingkungan baru. Penggunaan Bahasa Indonesia juga menjadi masalah ketika pertama datang di kota Medan, karena mereka telah terbiasa dengan Bahasa Minang yang telah menjadi bahasa utama, ketika berada di daerah asal dan penggunaan Bahasa Indonesia hanya di pergunakan dalam lingkungan formal seperti di sekolah dan instansi pemerintahan.Dalam hal terpaan dan upaya mengatasinya dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, asal fakultas dan lama menetap. Perempuan lebih tinggi culture shocknya dan cenderung lebih lambat dalam beradaptasi, sedangkan laki-laki lebih ringan terpaan culture shock dan lebih cepat dalam beradaptasi. Mahasiswa asal minang lebih cendrung bergaul dengan sesama mereka yang terikat dalam sebuah organisasi kedaerahan, serta lebih tertarik dengan sesama agama. Akan tetapi seiring proses perjalanan waktu dan adaptasi penerimaan terhadap culture masyarakat kota medan yang multikultural telah dapat dimengerti dan pegaplikasian tanpa meninggalkan culture minangkabau, “dima bumi dipijak disinan langik dijunjuang, kato mandata, kato mandaki, kato malereng, kato manurun sarato elok-elok manyubarang jaan sampai titian nan patah”. Selalu menjadi pedoman bagi pelajar Minang.


(4)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

"Syarak mangato Adat mamakai" Islam mambebaskan adat berkembang silahkan bermusyawarah carilah kebenaran, ciptakanlah undang-undang susunlah peraturan dan bueklah apo sajo nan katuju asalkan indakbatentangan dengan hukum Allah.

Rumusan Syarak mangato Adat mamakai lah buliah dikatokan tahap final kemudian di pertegas lagi dengan Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah sebagai deklarasi alim ulama dan cadiak pandai nan basidang di Luhak nan Tigo pado wakatu itu pasca perang Paderi Deklarasi itu terkenal denganPiagam Bukik Marapalam ikolah proses Islamisasi di Minangkabau tapi alun nan tarakhir sebab kini dan sampai nanti upaya menselaraskan adat dengan syarak masih akan tatap balanjuik.

Melihat filosofi di atas dapat di deskripsikan orang minangkabau memiliki nilai-nilai, etika dan kebiasaan atau budaya luhur yang mendiskiripsikan bahwa adat itu di benarkan oleh agama selama adat itu masih di dalam syari’at agama dalam arti masih dalam ruang lingkup yang di benarkan oleh agama islam. Kita melihat dan sangat miris orang yang minangkabau yang tidak lagi memakai filosofi hidup mereka sendiri, terlebih generasi muda minangkabau yang saat ini dalam kondisi sikap, moral, etika dan kebiasaan yang berada di ujung jurang, siapa lagi yang akan melanjutkan kebudayaan minangkabau jika tidak di lanjutkan oleh generasi muda khususnya bagi para mahasiswa yang menjalankan proses akademis diluar daerah minangkabau, dengan berbagai macam etnis, budaya dan agama.

Marantau, adalah suatu kata yang tidak asing bagi seseorang yang beretnis minangkabau banyak faktor yang menyebabkan seseorang etnis minangkabau untuk merantau, baik itu untuk mencari materi dan dalam memperoleh jenjang pendidikan. Khusus


(5)

ketika pelajar yang menempuh jenjang pendidikan diluar Sumatera Barat yang memilih perguruan tinggi di Sumatera Utara khususnya di Universitas Sumatera Utara tidak sedikit stereotype yang akan dihadapi, stereotype ini lebih mengarah kearah negatif dan cendrung akan menyulitkan proses komunikasi ketika berada didaerah yang multicultural yakni kota medan.Komunikasi Antar Budaya menjadi kendala yang besar bagi pelajar minangkabau, karena secara otomatis mereka akan menjdai minoritas dilingkungan baru mereka, pada umumnya pelajar minang tersebar diseluruh fakultas-fakultas di Universitas Sumatera Utara, dan disetiap fakultas memiliki atmosfer yang berbeda dan ditamabah perbedaan-perbedaan tempat tinggal selama menempuh jenjang pendidikan.

Manusia selama hidupnya mengalami proses sosialisai dan pendidikan, dalam proses itu individu senantiasa memperoleh aturan-aturan (budaya) komunikasi hingga akhirnya pola-pola budaya tersebut ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi kepribadian dan perilaku individu tersebut. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu disebut enkulturasi.

Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari individu tersebut. Hasil internalisasi ini membuat individu mudah berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola budaya serupa.

Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu dan memasuki budaya lain? Segala bentuk lambing-lambang verbal dan non verbal dan aturan-aturan yang telah dipelajari individu dalam lingkungan budaya baru yang ia masuki.Individu atau kelompok yang memasuki budaya baru akan mengalami proses enkulturasi yang kedua, yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu nilai masuk ke dalam diri individu tanpa meninggalkan identitas budaya yang lama(Mulyana dan Rakhmat, 2005:139)


(6)

Mayoritas individu tinggal dalm lingkungan yang familiar,tempat dimana individu tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui di lingkungan individu pada saat bekerja, sekolah ataupun bermain cendrung memiliki kesamaan dalam hal latarbelakang etnik, kepercayaan atau agama, nilai, bahasa atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Ketika manusia memasuki suatu dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing,maka berbagai kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan terrjadi.

Salah satu kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi.Sangat wajar apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada disekelilingnya. Ketika kita masuk dan mengalami kontak budaya lain serta merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, maka keadaan ini disebut gegar budaya atau culture shock. Cultuere shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambing-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari (Mulyana dan Rahkmat, 2005:174).

Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalamberbagai aspek,seperti adanya keberagaman suku bangsa , agama, bahasa dan adat istiadat sebagainya.Di lainpihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan duniamenuju ke arah “desa dunia” (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern.Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah sudah salingmengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan.


(7)

Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya.Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-normamasyarakat dan lain sebagainya.Pada hal syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antarasatu dengan lainnya.Dari itu mempelajari komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan.(Dalam jurnal Lubis Lusiana Andriani, 2002:1)

Perbedaan budaya yang ada di tengah masyarakat yang sangat kompleks tidak mudah untuk individu dapat menyesuaikan diri secepat mungkin untuk mendukung kegiatan sehari-hari termasuk ketika menjalani proses pendidikan. Berbagai macam latarbelakang budaya tidak akan memudahkan proses interraksi khususnya proses pertukaran informasi atau komunikasi. Maka perbedaan akan memunculkan kemajemukan, serta multikulturalisme.

Istilah multikulturalisme tidaklah memadai dipahami secara harafiah sebagai paham “banyak budaya”. Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu, Negara yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama, dan sebagainya, namun mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut. (Harahap Ahmad Rivai,2006: Rivai : 29)

Karena untuk memperoleh tujuan tidak akan lepas dari komunikasi. Pada praktiknya ketika melakukan komunikasi yang berbeda latarbelakang budaya didalam suatu komunitas, kumpulan, bahkan masyarakat bukanlah hal yang mudah karena kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dari lingkungan asal, tidak akan sama ketika seorang individu berada di daerah dan lingkugan yang berbeda etnis dan budaya.

Faktor lain yang lebih khusus seorang lelaki minangkabau untuk memilih mencari kehidupan diluar daerah asal adalah karena garis keturuana yang matrilineal dapat diibaratkan


(8)

seorang lelaki minangkabau tidak akan mendapatkan materi apapun ketika ia berada didaerah asal, karena perempuan adalah pelanjut garis keturunan dan oleh sebab itu pilihan untuk keluar dari rumah menjadi pilihan termasuk ketika menempuh jalur jenjang pendidikan.

Peneliti memilih USU karena USU merupakan universitas di Kota Medan dengan jumlah pelajar asal minang terbanyak.Karena dari tahun ketahun jumlah mahasiswa asal minangkabau mengalami peningkatan, termasuk jalaur pendidikan yang semakin banyak, regular, regular mandiri, ekstensi dan Program Magister. Perbedaan antar budaya yang dikenal individu dengan budaya asing dapat menyebabkan individu sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, demikian halnya dengan pelajar asal Minangkabau.

Karena ketika berpindah dan keluar dari lingkungan budaya asal dan masuk kedalam lingkungan dengan budaya yang baru serta orang-orang yang berbeda hal ini akan menjadi fenomena dan bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk mengatasi culture shock yang dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi antarbudya yang efektif.

Banyak hal yang dapat mempengaruhi proses penyesuain diri seperti varibel-variabel komunikasi dalam akulturasi, yakni faktor personal, seperti karakteristik personal, motivasi individu dan pengalaman sebelumnya, selain itu juga dipengaruhi oleh keterampilan (kecakapan) komunikasi individu dalam komunikasi sosial (antarpersonal) serta suasana lingkungan komunikasi budaya baru tersebut (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).

Manusia yang memasuki suatu lingkungan baru mungkin akan menghadapi banyak hal yang berbeda seperti cara berpakain, cuaca, makanan, bahasa, orang-orang dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi ternyata budaya tidak hanya meliputi cara berpakain maupun bahasa yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban lalulintas, kebiasaan dan sebagainya (Mulyana, 2005: 97).Namun didalam


(9)

penelitian ini, peneliti membatasi culture shock pelajar asal minangkabau (Sumatera Barat) di Medan khususnya yang sedang menempuh jalur pendidikan di Universitas Sumatera Utara.

Berdasarkan konteks masalah yang terlah di uraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Culture Shock Pelajar Minang Di Universitas Sumatera Utara Dalam Kajian Komunikasi Antarbudaya”.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan fokus masalah sebagai berikut:

a. “Apa saja bentuk culture shock yang dilami dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Minang di USU?”

b. “Bagaimana upaya yang dilakukan mahasiswa asal Minang dalam mengatasi culture shock yang dialami?”

I.3 Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu luas maka dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitaian bersifat studi kasus, yakni peneliti akan mengkaji secara mendalam culture shock yang dialami pelajar asal Minang dan upaya mengatasinya.

2. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Minang di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Ilmu Budaya, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat, karena mayoritas pelajar minang di USU menempuh pendidikan di tiga fakultas ini.


(10)

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reaksi culture shock pada pelajar Minang di USU

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi culture shock pada pelajar asal minang di USU demi penyesuian lingkungan baru.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarbudaya, khususnya culture shock.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu dan memperkaya khasanah mengenai culture shock dan penelitian kualitatif dalam bidang Ilmu Komunikasi, mengingat sangat sedikit penelitian yang meneliti culture shock di department Ilmu Komunikasi.

3. Secara prkatis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi anatar budaya yang terjadi disekitar kita dan masukan pembelajaran bagi mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai reaksi memasuki budaya baru.

I.6 Kerangka Teori

Menurut Nawawi (1995:41) sebelum melakukan sebuah penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih.


(11)

Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), defenisi dan proposi yang mengemukakan pandangan sitematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variable untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6) Fungsi teori dalam sebuah riset atau penelitian adalah membantu peneliti menerangkan fenomena sosial atau fenomena yang alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah himpunan konstruk (konsep ), defenisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala tersebut (Kriyantono, 2006:43).

Proses riset/penelitian berawal dari suatu observasi atas, gejala maka fungsi teori tersebut adalah membuat generalisasi-generalisasi yang bstrak melalui proses induksi. Penelitian kualitatif bersifat menjelajah (exploratory), di mana pengetahuan mengenai persoalan masih sangat kurang atau belum ada sama sekali dan teori-teorinya pun belum ada. Jadi, teori sifatnya tidak mengekang peneliti.Teori berfungsi sebagai pisau analisis, mem-bantu periset untuk untuk memaknai data, dimana seorang periset tidak berangkat (dilandasi) dari suatu jenis teori tertentu.Periset bebas berteori untuk memaknai data dan mendialogkannya dengan konteks sosial yang terjadi. Teori membantu memperkuat interpretasi periset sehingga dapat diterima sebagai suatu kebenaran bagi pihak lain(periset melakukan blocking interpretation).

Karena itu, dalam riset kualitatif tidak dikenal dengan landasan teori. Dari proses pemaknaan data ini, dimungkinkan melahirkan teori baru.Adapun kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori KomunikasiAntarbudaya, Bahasa Verbal dan Nonverbal, Akulturasi dan Interaksionisme Simbolik.

I.6.I Komunikasi Antarbudaya

Menurut Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2003: 10), komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya


(12)

berbeda. Sedangkan menurut Charley H. Dood, komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.Komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama yakni antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda.

Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara langsung.Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya.Maka seringkali dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya. Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi.Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan pula berbeda yang dapat menimbulkan berbagai macam kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19).

Menurut Kim (dalam Rahardjo, 2005: 53), asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya di atas adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka dari pada orang yang berasal dari budaya yang berbeda.Perbedaan-perbedaan kultural bersama-sama dengan perbedaan lain dalam diri orang (seperti kepribadian individu, umur dan penampilan fisik) memberi kontribusi kepada sifat problematik yang melekat dalam proses komunikasi antarmanusia.Studi ini juga memberi penekanan kepada perbedaan kultural yang sesungguhnya maupun


(13)

perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak yang berkomunikasi, maka komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan bagi studi komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan studi komunikasi antarmanusia lainnya.

Berdasarkan pemikiran itu, maka komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54).

Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi sosial.Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas sosial, fungsi integrasi sosial, menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi melepaskan diri/jalan keluar.Sedangkan fungsi sosial meliputi fungsi pengawasan, fungsi menjembatani/menghubungkan, fungsi sosialisasi dan fungsi menghibur (Liliweri, 2003: 35). Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316).

Masalah-masalah tersebut yang sering sekali membuat aktivitas komunikasi antarbudaya tidak berjalan efektif. Schramm mengemukakan komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus memperhatikan empat syarat, yaitu:

1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia

2. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki


(14)

3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak

4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)

Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa positif; (4) memberi dukungan, dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya atau antaretnik (Liliweri, 2001: 172).

I.6.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih.Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.

Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan. Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap muka adalah nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting dalam suatu aktivitas komunikasi.Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-proses nonverbal. Fungsi-fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi, Komplemen, Substitusi, Regulasi dan Kontradiksi (Mulyana, 2005: 316).

Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan


(15)

diam. Bahasa verbal dan nonverbal tidak dapat terpisahkan dengan konteks budaya. Penggunaan dan gaya bahasa mencerminkan kepribadian budaya seseorang, demikian juga dengan komunikasi nonverbal sering kali menunjukkan ciri-ciri budaya dasar (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168 dan 201).

I.6.3 Akulturasi

Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur-unsur-unsur tersebut, namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak. Akulturasi merupakan suatu proses dimana imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).

Proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan penting dalam proses akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, antara lain: komunikasi persona; yang meliputi karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, persepsi individu, pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang meliputi komunikasi antarpersonal (verbal dan nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 140). Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu yang berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap


(16)

yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335).Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu negara (settler).Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda.

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah

3. rasa penolakan

4. gangguan lambung dan sakit kepala

5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama 6. rindu pada teman dan keluarga

7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri

9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock.Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).


(17)

1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan.Ini adalah periode krisis dalam culture shock.

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya.

4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan dan pola komunikasi).

I.6.4 Teori Interaksionisme

Simbolik Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami.

Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver.Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat


(18)

aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat.Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. (Mulyana, 2001: 68).

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang terdapat dalam komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

I.7 Kerangka Konsep

Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2005: 73). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:


(19)

I.8 Operasional Konsep

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka agar konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian,

maka dioperasionalkan sebagai berikut:

Konsep Operasional

Operasional Konsep Culture

shock

A. Faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock sesuai dengan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi : 1. Komunikasi Persona/factor intrapersonal, meliputi:

a. Karakteristik personal b. Motivasi individu c. Pengetahuan individu d. Pengalaman sebelumnya

2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona baik verbal maupun non verbal.

3. Lingkungan komunikasi B. Tingkatan culture shock :

1. Fase Optimistik (Optimistic Phase)

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems) 3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase) 4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase)

Karakteristik Informan

1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Asal Fakultas 4. Lama menetap


(20)

I.9 Definisi Operasional

A. Faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock : 1. Komunikasi Persona/Faktor intrapersonal:

a. Karakteristik personal, watak dan kepribadian mahasiswa asal Minang.

b. Motivasi individu, kehendak, kemauan, kebutuhan dan dorongan mahasiswa asal Minang untuk belajar tentang dan berpartisipasi serta terlibat komunikasi antarbudaya dengan orang-orang Medan.

c. Persepsi individu, persepsi mahasiswa asal Minang tentang lingkungan barunya, yakni Kota Medan dan orang-orang di dalamnya.

d. Pengetahuan individu, pengetahuan (kemampuan kognitif) tentang budaya dan pola-pola dan aturan sistem komunikasi budaya baru, yaitu Medan.

e. Pengalaman sebelumnya, ada tidaknya pengalaman terdahulu dari mahasiswa asal Minang tentang Medan.

2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona mahasiswa asal Minang dengan orang-orang Medan.

3. Lingkungan, suasana lingkungan komunikasi USU. B. Tingkatan culture shock:

1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Dalam penelitian ini, fase optimistik adalah fase dimana mahasiswa asal Minang di USU merasa sangat antusias akan memasuki budaya baru.

2. Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang. Mahasiswa asal Minang mengalami gegar budaya ketika memasuki lingkungan baru.


(21)

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Mahasiswa asal Minang mulai mengenal budaya baru yang dimasukinya.

4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana mahasiswa asal Minang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya.

Karakteristik Informan: 1. Usia: umur dari informan

2. Jenis kelamin: laki laki atau perempuan

3. Asal fakultas: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan Fakultas Ilmu Budaya


(22)

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Antarbudaya

II.1.1Sejarah Komunikasi Antarbudaya

Tema tentang komunikasi bukanlah suatu hal baru, namun akan menjadi lebih menarik setelah dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah “antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice).

Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurutnya, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu: source, messages, channel, receiver (Liliweri, 2001: 1).Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan Berlo, berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001:2).

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat. “Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya


(23)

dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977. Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication.

Tema pertama tentang “Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst. Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintasbudaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988, dan terakhir komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny tahun 1988 (Liliweri, 2001: 3).

II.1.2 Definisi Komunikasi Antarbudaya

Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya (interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi.Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi dan pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari sebuah komunitas/kelompok budaya (Martin dan Thomas, 2007: 92). Dengan kata lain, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.

Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan.Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi.Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20). Dengan memahami kedua konsep utama itu,


(24)

maka studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi. Adapun beberapa definisi komunikasi antarbudaya, sebagai berikut:

1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras, antarkelas sosial.

2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.

3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

4. Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2003: 10-11).

Young Yun Kim mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, hal yang terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi (the communications) karena adanya perbedaan-perbedaan kultural. Dalam perkembangannya, komunikasi antarbudaya dipahami sebagai proses transaksional, proses simbolik yang melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang berbeda. Sedangkan Tim-Toomey menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai proses


(25)

pertukaran simbolik dimana individu-individu dari dua (atau lebih) komunitas kultural yang berbeda menegosiasikan makna yang dipertukarkan dalam sebuah interaksi yang interaktif.

Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 53). Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka ada beberapa asumsi, yaitu:

1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 15)

II.1.3 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus studi dari komunikasi antarbudaya, melainkan proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54). Sebagaimana sebuah aktivitas komunikasi yang efektif apabila terdapat persamaan makna pesan antara komunikator dan komunikan, demikian halnya dengan komunikasi antarbudaya.


(26)

Tetapi hal ini menjadi lebih sulit mengingat adanya unsur perbedaan kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasinya.Itulah sebabnya, usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya bukanlah merupakan suatu persoalan yang sederhana. Terdapat banyak masalah-masalah potensial yang sering terjadi di dalamnya, seperti pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316). Sedangkan Lewis dan Slade menguraikan tiga kawasan yang paling problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural.Kendala bahasa merupakan sesuatu yang tampak, namun hambatan tersebut lebih mudah untuk ditanggulangi, karena bahasa dapat dipelajari, sedangkan dua hambatan lainnya, yaitu perbedaan nilai dan perbedaan pola-pola perilaku kultural terasa lebih sulit untuk ditanggulangi.

Menurut Lewis dan Slade, perbedaan nilai merupakan hambatan yang serius terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang yang berasal dari kultur yang berbeda melakukan interaksi, maka perbedaan-perbedaan tersebut akan menghalangi pencapaian kesepakatan yang rasional tentang isu-isu penting. Mengenai kesalahpahaman antarkultural dikarenakan perbedaan pola-pola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut. Usaha untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif, di samping dihadapkan pada ketiga hal tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat, yaitu etnosentrisme, stereotip dan prasangka.

Etnosentrisme merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai budaya orang lain sebagai inferior terhadap budaya mereka. Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga


(27)

dapat dipahami sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan dan pengujian terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan realitas (Rahardjo, 2005: 54-56).Sarbaugh mengemukakan tiga prinsip penting dalam komunikasi antarbudaya.

Pertama, suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua aspek (verbal dan non verbal). Tanpa suatu sistem bersama, komunikasi akan menjadi tidak mungkin. Terdapat berbagai tingkat perbedaan, namun semakin sedikit persamaan sandi itu, semakin sedikit komunikasi yang mungkin terjadi.Kedua, kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk memberikan respons.Sebenarnya kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua orang yang berbeda budaya dapat dengan mudah memberi makna yang berbeda kepada perilaku yang sama. Bila ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara berbeda tanpa dapat meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan meramalkan ini merupakan bagian integral dari kemampuan berkomunikasi secara efektif.

Ketiga, tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi (Tubbs dan Moss, 2005: 240). Komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif menurut Schramm harus memperhatikan empat syarat, yaitu:

5. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia

6. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki

7. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak


(28)

8. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)

Sedangkan De Vito mengemukakan konsepnya tentang efektivitas komunikasi sangat ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa positif; (4) memberi dukungan; dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya.

Sikap keterbukaan yang dimaksud De Vito, meliputi: (1) sikap seseorang komunikator yang membuka semua informasi tentang pribadinya kepada komunikan, sebaliknya menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari komunikan dalam rangka interaksi antarpribadi; (2) kemauan seseorang sebagai komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap pesan yang datang dari komunikan; dan (3) memikirkan dan merasakan bahwa apa yang dinyatakan seorang komunikatoru merupakan tanggung jawabnya terhadap komunikan dalam suasana situasi tertentu.

Selanjutnya, perasaan empati ialah kemampuan seorang komunikator untuk menerima dan memahami orang lain seperti ia menerima dirinya sendiri; jadi ia berpikir, merasa, berbuat terhadap orang lain sebagaimana ia berpikir, merasa dan berbuat terhadap dirinya sendiri. Perasaan positif ialah perasaan seorang komunikator bahwa pribadinya, komunikannya, serta situasi yang melibatkan keduanya sangat mendukung.Memberi dukungan ialah suatu situasi kondisi yang dialami komunikator dan komunikan terbebas atmosfir ancaman, tidak dikritik dan ditantang.

Memelihara keseimbangan ialah suatu suasana yang adil antara komunikator dan komunikan dalam hal kesempatan yang sama untuk berpikir, merasa dan bertindak (Liliweri, 2001: 171-174). Pihak-pihak yang melakukan komunikasi antarbudaya harus mempunyai keinginan yang jujur dan tulus untuk berkomunikasi dan mengharapkan pengertian timbal balik.Asumsi ini memerlukan sikap-sikap yang positif dari para pelaku komunikasi


(29)

antarbudaya dan penghilangan hubungan-hubungan superior-inferior yang berdasarkan keanggotaan dalam budaya-budaya, ras-ras atau kelompok-kelompok etnik tertentu (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 37).

Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap orang lain bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai pengalaman atas kekeliruan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin berusaha mengubah kebiasaan berkomunikasi, paling tidak melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain. Banyak masalah komunikasi antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang kurang menyadari dan tidak mampu mengusahakan cara efektif dalam berkomunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 254). Selain itu, seperti yang telah disebutkan Sarbaugh, bahwa dengan penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam kepercayaan dan perilaku, dan pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan dan perilaku orang lain, semuanya itu membantu terciptanya komunikasi yang efektif (Tubbs dan Moss, 2005: 242).

II.2 Bahasa Verbal dan Bahasa Non Verbal II.2.1 Bahasa Verbal

Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan.Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.

Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud yang ingin disampaikan.Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, niat dan keinginan kepada orang lain. Kita belajar tentang orang-orang


(30)

melalui apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka mengatakannya, kita belajar tentang diri kita melalui cara-cara orang lain bereaksi terhadap apa yang kita katakan dan kita belajar tentang hubungan kita dengan orang lain melalui take and give dalam interaksi yang komunikatif (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 164). Menurut Ray L. Birdwhistell, porsi komunikasi verbal dalam komunikasi tatap muka manusia hanyalah 35%.

Keadaan ini banyak tidak disadari oleh manusia itu sendiri, bahwa bahasa itu terbatas. Keterbatasan bahasa tersebut, menurut Deddy Mulyana, antara lain keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual, kata-kata mengandung bias budaya dan pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian (Mulyana, 2005: 245-254).

II.2.2 Bahasa Nonverbal

Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya, bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Lewat perilaku nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau sedih.

Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan pada perilaku nonverbalnya yang mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh.Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata.Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal.Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin menjalin dalam suatu aktivitas komunikasi tatap muka.Keduanya dapat berlangsung spontan dan serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi berikut:


(31)

1. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal

2. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteguh atau melengkapi perilaku verbal. 3. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal.

4. Fungsi Regulasi; perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.

5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal (Mulyana, 2005: 314).

Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168) Proses Komunikasi Antarbudaya Pada dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks budaya.Tidak mungkin bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang paling dasar, Rubin mengatakan, bahasa adalah satu set karakter atau elemen dan aturan yang digunakan dalam hubungan satu sama lain. Karakter atau elemen tersebut adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka berbeda satu dengan yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-simbol yang berbeda, namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suara-suara tersebut.

Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak hanya mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih penting adalah makna yang terkait dengan simbol tersebut. Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut latarbelakang sosial-budaya yang berbeda pula.Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut.Kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakilkan dari kata-kata itu.


(32)

Bila budaya disertakan sebagai variabel dalam proses abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa.Namun, bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan konsekuensinya proses abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 169-170).Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula dengan bahasa nonverbal.Perilaku nonverbal seseorang adalah akar budaya seseorang tersebut.Oleh karena itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan bagian yang penting dan sangat dibutuhkan dalam interaksi komunikatif di antara orang dari budaya yang berbeda.

Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya, apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertian-pengertian yang harus dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural.Sebagaimana aspek verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan, yaitu: kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator dan kebudayaan menentukan kapan waktu yang tepat atau layak untuk mengkomunikasikan pemikiran, perassan, keadaan internal. Jadi, walaupun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal, tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh siapa dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 201).


(33)

II.3 Akulturasi

II.3.1 Pengertian Akulturasi

Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 248).

Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur-unsur-unsur tersebut namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak.

II.3.2 Komunikasi dan Akulturasi

Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat belajar.Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar.Kita belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan-pesan sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspons oleh individu-individu yang berinteraksi dengan kita. Kegiatan-kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137)

Budaya sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungan.Pola-pola budaya ini pada gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang lahir dan diasuh dalam budaya itu. Budaya sebagai seperangkat aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana individu-individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan cara bagaimana


(34)

mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka. Proses individu-individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia tersebut.

Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang terinternalisasikan ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 138). Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu memasuki suatu budaya lain?

Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh individu sejak masa kanak-kanak mungkin tidak berfungsi lagi dalam lingkungan barunya.Transaksi-transaksi dalam kehidupan sehari-hari saja membutuhkan kemampuan berkomunikasi yang menggunakan lambang-lambang dan aturan-aturan yang ada dalam sistem komunikasi masyarakat pribumi yang menjadi lingkungan barunya.Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku kehidupan yang sering tidak diharapkan dan tidak diketahui.Sebagai seorang anggota baru dalam budaya pribumi, imigran harus menghadapi banyak aspek kehidupan yang asing.

Asumsi-asumsi budaya yang tersembunyi dan respon-respon yang telah terkondisikan menyebabkan banyak kesulitan kognitif, afektif dan perilaku dalam penyesuaian diri dengan budaya baru. Schultz mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan hal yang lazim tetapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik tetapi merupakan suatu situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai.


(35)

Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu, seperti yang terlihat dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan kemampuan manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan.Secara bertahap imigran belajar menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran.Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan.Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain dan itu dilakukan lewat komunikasi.

Proses selama akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan.Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi.Masalah-masalah komunikasi lainnya meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan tubuh lainnya dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137-140).

II.3.3 Variabel-Variabel Komunikasi dalam Akulturasi

Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975).Dalam perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha untuk dan mengharapkan berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem


(36)

komunikasi terbuka, seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui dua proses yang saling berhubungan, yakni komunikasi persona dan komunikasi sosial.

Pertama, komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada proses-proses mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami dan merespons lingkungan.Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi.Faktor yang erat berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan sistem-sistem komunikasi pribumi.Bukti empiris yang memadai menunjang fungsi penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang bahasa dalam memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Suatu variabel persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image) imigran yang berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Selain itu, motivasi akulturasi seorang imigran juga dapat memudahkan proses akulturasi. Motivasi akulturasi mengacu kepada kemauan imigran untuk belajar tentang, berpartisipasi dalam dan diarahkan menuju sistem sosio-budaya pribumi.

Kedua,Komunikasi sosial ditandai ketika individu-individu mengatur perasaan, pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang lainnya.Komunikasi sosial dilakukan melalui komunikasi antarpersona. Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan anggota masyarakat pribumi.

Ketiga, lingkungan komunikasi.Komunikasi persona dan komunikasi sosial seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat pribumi.Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat.


(37)

Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya.Lembaga-lembaga etnik yang ada dapat mengatasi tekanan-tekanan situasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).

II.3.4 Culture shock

Orang yang melintasi batas budaya yang disebut sebagai pendatang.Istilah ini mencakup imigran, pengungsi, eksekutif bisnis, pelajar, atau turis.Orang-orang memasuki wilayah budaya dengan beragam pengalaman, latar belakang, pengetahuan dan tujuan, tetapi setiap orang asing harus menyesuaikan perilaku komunikasinya dengan pengaturan budaya baru yang individu tersebut datangi. Individu yang memasuki suatu dunia baru yang berbeda dengan lingkungan asalnya, tidak jarang akan menimbulkan kecemasan dan ketegangan.

Hal inilah yang menjadi dampak dari proses akulturasi yaitu keadaan gegar budaya (culture shock). Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak antarpersona secara langsung seringkali menimbulkan frustasi.Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh Antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk di dalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335).

Mulyana mengemukakan tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk tersebut juga termasuk kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita katakan ketika bertemu dengan orang-orang, kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan membuat pertanyaan dengan sungguh-sungguh dan kapan sebaliknya. Petunjuk-petunjuk ini dapat berupa kata-kata, isyarat-isyarat,


(38)

ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup seseorang sejak kecil (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174). Bila seseorang memasuki suatubudaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Meskipun seseorang tersebut berpikiran luas dan beritikad baik, ia akan kehilangan pegangan, lalu akan mengalami frustasi dan kecemasan.

Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya (culture shock) sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang

nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami (http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_culture_shock ).

Dalam membahas tentang masalah culture shock, sebelumnya perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers).Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler).Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda.Settlers berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourners berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, seperti turis dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa tahun. Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasuki bukanlah merupakan tempat berteduh, melainkan merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan materi kuliah tapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik, melainkan suatu situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak interpersonal secara langsung dengan orang-orang


(39)

yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu bisa jadi merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang dari lingkungan budaya baru yang ia masuki (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 143).

Reaksi yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah

3. rasa penolakan

4. gangguan lambung dan sakit kepala

5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama 6. rindu pada teman dan keluarga

7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri

9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, Samovar menyatakan bahwa biasanya individu akan melewati 4 (empat) tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve.

1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa

penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua dimana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru,


(40)

sekolah baru dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan.Ini adalah periode krisis dalam culture shock.Orang menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten.

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, individu secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan untuk menanggulangi budaya baru.Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

4. Fase penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir, pada puncak kanan U, individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup dalam dua budaya berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu.

II.4 Teori Interaksionisme Simbolik

II.4.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik

George Herbert Mead merupakan pelopor interaksionisme simbolik, meskipun dalam perintisan teori ini banyak ilmuwan lain yang ikut serta memberikan sumbangsihnya, seperti James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey dan William I. Thomas. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana, 2001: 68).Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang


(41)

dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup.

Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136) Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver.Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.

Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59). Jadi, pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga


(42)

pengertian yang lebih baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93) Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat.Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yangdiberi makna.

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya.

Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70). Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.

Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan


(43)

kepada definisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi.


(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

III.1.1 Gambaran Umum Universitas Sumatera Utara

Sejak awal pendiriannya, USU dipersiapkan menjadi pusat pendidikan tinggi di kawasan Barat Indonesia. Sewaktu didirikan pada tahun 1952, USU merupakan sebuah yayasan, kemudian beralih status menjadi PTN pada tahun 1957, dan selanjutnya menjadi PT-BHMN pada tahun 2003. Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya Yayasan Universitas Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Yayasan ini diurus oleh suatu Dewan Pimpinan yang diketuai langsung oleh Gubernur Sumatera Utara, dengan susunan sebagai berikut: Abdul Hakim (Ketua); Dr. T. Mansoer (Wakil Ketua); Dr. Soemarsono (Sekretaris/Bendahara); Ir. R. S. Danunagoro, Drh. Sahar, Drg. Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong Lubis, Dr. Maas, J. Pohan, Drg. Barlan, dan Soetan Pane Paruhum (Anggota). Sebenarnya hasrat untuk mendirikan perguruan tinggi di Medan telah mulai sejak sebelum Perang Dunia-II, tetapi tidak disetujui oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di Medan termasuk Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat rancangan perguruan tinggi Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia,pemerintah mengangkat Dr. Mohd. Djamil di Bukit Tinggi sebagai ketua panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash pada tahun 1947, Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif menganjurkan kepada rakyat di seluruh Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah universitas di daerah ini.

Pada tanggal 31 Desember 1951 dibentuk panitia persiapan pendirian perguruan tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari Dr. Ahmad Sofian, Ir.


(45)

Danunagoro, dan sekretaris Mr. Djaidin Purba. Selain Dewan Pimpinan Yayasan, Organisasi USU pada awal berdirinya terdiri dari: Dewan Kurator, Presiden Universitas, Majelis Presiden dan Asesor, Senat Universitas, dan Dewan Fakultas. Sebagai hasil kerja sama dan bantuan moril dan material dari seluruh masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu meliputi juga Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil didirikan Fakultas Kedokteran di Jalan Seram dengan dua puluh tujuh orang mahasiswa diantaranya dua orang wanita. Tanggal 20 Agustus 1952 telah ditetapkan sebagai hari jadi atau Dies Natalis USU yang diperingati setiap tahun.

Kemudian disusul dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (1954), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (1956), dan Fakultas Pertanian (1956). Pada tanggal 20 November 1957, USU diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Soekarno menjadi universitas negeri yang ketujuh di Indonesia. Pada tahun 1959, dibuka Fakultas Teknik di Medan dan Fakultas Ekonomi di Kutaradja (Banda Aceh) yang diresmikan secara meriah oleh Presiden R.I. Kemudian disusul berdirinya Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (1960 di Banda Aceh. Sehingga pada waktu itu, USU terdiri dari lima fakultas di Medan dan dua fakultas di Banda Aceh.

Selanjutnya menyusul berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi (1961), Fakultas Sastra (1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965), Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992), Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993), Fakultas Farmasi (2007), Fakultas Psikologi (2008), dan Fakultas Keperawatan (2009). Pada tahun 2003, USU berubah status dari suatu perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi suatu perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan status USU dari PTN menjadi BHMN merupakan yang kelima di Indonesia. Sebelumnya telah berubah status UI, UGM, ITB dan IPB pada tahun 2000. Setelah USU disusul perubahan status UPI (2004) dan UNAIR (2006).


(46)

Dalam perkembangannya, beberapa fakultas di lingkungan USU telah menjadi embrio berdirinya tiga perguruan tinggi negeri baru, yaitu Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, yang embrionya adalah Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan USU di Banda Aceh. Kemudian disusul berdirinya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Medan (1964), yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Medan (UNIMED) yang embrionya adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USU. Setelah itu, berdiri Politeknik Negeri Medan (1999), yang semula adalah Politeknik USU.

USU memiliki 14 fakultas yaitu: 1. Kedokteran,

2. Hukum, 3. Pertanian, 4. Teknik,

5. Kedokteran Gigi, 6. Ekonomi,

7. Ilmu Budaya,

8. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 9. Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

10. Kesehatan Masyarakat, 11. Farmasi,

12. Psikologi,

13. Keperawatan dan 14. Pascasarjana.

Jumlah program studi yang ditawarkan sebanyak 135, terdiri dari 19 tingkat doktoral, 32 magister, 18 spesialis, 5 profesi, 46 sarjana, dan 15 diploma. Jumlah mahasiswa terdaftar saat ini lebih dari 33.000 orang, 1000 di antaranya adalah mahasiswa asing.


(47)

USU memiliki visi menjadi University for Industry (UfI), dengan misi:

(1)mempersiapkan mahasiswa menjadi anggota masyarakat bermoral dengan kemampuan akademik dan/atau profesional dan/atau vokasional untuk menerapkan, mengembangkan, dan memperkaya ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

(2) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan seni terutama pada kerjasama berbasis industri, dan pengembangan aplikasinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional, dan

(3) mendukung pengembangan masyarakat sipil yang demokratis melalui peran USU sebagai suatu kekuatan moral yang otonom untuk mencapai kemampuan yang kuat dalam lingkungan kompetisi global melalui pengelolaan secara profesional sumber daya manusia, memperluas partisipasi dalam pembelajaran, memenuhi kebutuhan nasional dalam pembelajaran, dan memodernisasi cara pembelajaran.

Kampus USU berlokasi di Padang Bulan, sebuah area yang hijau danrindang seluas 120 ha yang terletak di tengah Kota Medan. Zona akademik seluas 90 ha menampung hampir seluruh kegiatan perkuliahan dan praktikum mahasiswa. Sistem pembelajaran didukung oleh fasilitas perpustakaan dan lebih dari 200 laboratorium. Perpustakaan menyediakan berbagai jenis sumber belajar baik dalam bentuk cetak maupun elektronik. Perpustakaan USU merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia saat ini. Kampus Padang Bulan juga didukung oleh infrastruktur teknologi informasi untuk memfasilitasi akses terhadap berbagai sumber daya informasi dan pengetahuan untuk mendukung proses pembelajaran dan penelitian mahasiswa dan dosen. Selain itu di dalam kampus juga terdapat berbagai sarana seperti asrama, arena olah raga, wisma, kafetaria, toko, bank, dan kantor pos. Wisuda dan berbagai acara akademik lainnya diadakan di Auditorium dan Gelanggang Mahasiswa. Sebuah rumah sakit pendidikan yang berlokasi dikampus Padang bulan telah dimulai pembangunannya sejak Agustus 2009.


(1)

P : Miliah USU dulu baa? Ado keluarga yang disiko? I : Iyo, ado keluarga disiko, adiak kanduang apa, ante yo?

P : Pas awal-awal masuak kamari apo pandapek Wahyu tentang kota Medan?

I : Pandapek yu tentang kota Medan, kalau kota Medan tu kan kota besar, jadi tau lah kan,, baa kota besar tu, urang disitu tu dak urang batak se do, tapi ado juo urang-urang selain urang-urang Batak. Tapi pas tibo di Medan, basobok jo urang-urang batak saketekyo, kebanyakan urang Aceh atau urang Melayu, kalau di lingkungan Wahyu kini ko yo kebanyakan urang Melayu atau urang Aceh.

P : Kalau gambaran yu tentang urang-urang nyo baa?

I : Secara keseluruhan, sebelum pai kamari, danga-danga kecek urang, katonyo kareh, tapi alah carito-carito lo samo senior2 yang ado di Medan ko, tapi nyo pindah liak ka Padang, keceknyo yo di Medan tu kareh, trus ciek lai pergaulannyo terlalu bebas, jadi elok-elok se di Medan, kecek senior tu. Tapi lah pai kasiko, indak lo bantuak tu bana do, lingkuangannyo biaso-biaso se nyo.

P : Katiko awal-awal disiko, apo se yang buek wahyu takajuik disiko?

I : hmm, takajuiknyo caliak watak-watak urang disiko lah, yang bataknyo, misalnyo kalau di jalanan, urang-urang tu ndak amuah mangalah, masuak se taruih, dak amuah mangalah do, tu ciek lai,,pernah lo dulu kanai tipo dek tukang becak, dak tau wak ongkosnyo waktu tu doh, wak agiah pitih 100 ribu, nyo baliak an 15 ribu, tu kaburnyo lai.

P : Dari ma?

I : Dari amplas, ka kamari, wak pacik an becaknyo, wak egangan, tapi kabur juo nyo, dek awak macik koper lo ciek.

P : Surang se Wahyu pai kamari?

I : Iyo, surang se, wak dak tantu ado urang-urang tu ado di kos doh, kalau tau kan wak panggia kawan kos tu. Baa lai, sajak tu sampai kini ndak pernah naiak becak lai do.


(2)

P : Kalau tentang makanan disiko baa?

I : aa.. iyo..makanan di medan partamo kali mancubo makanan di Medan, jauah bana beda rasonyo samo nasi yang di Padang..nasinyo agak-agak lengket, tapi kini lah tabiaso. P : Makan di lua atau masak surang?

I : Makan di kos, di masak an bu kos. P : Kalau sambanyo disiko baa?

I : Sambanyo samo-samo se nyo, nasinyo yang beda.

P : Partamo kali disiko dulu samo sia wahyu partamo kali bagaul?

I : Samo senior-senior di SMA, kak Dini, bang Ezy, bang Egith, bang Eko, barampek. P : Kalau di kampus pas ospeknyo dulu ado masalah ndak?

I : Ndak, pas ospek dulu dibaok sanang se nyo, soalnyo kan bahaso nyo lain, kalau disiko kan ospeknyo kan pake bahaso melayu lah gitu, jadi beda la rasonyo. Kalau jo yang di Padang, wak danga-danga kawan wak kanai ospek kan, kalau wak mandanganyo baa tu??sakik ati rasonyo. Tapi kalau urang-urang Medan ko yang ma hariak-hariak, dak ka awak rasonyo do.

P : Ado dak yang kasa-kasa gitu?

I : Indak, paliang yang kurang suko wak dek disuruah botak itu se nyo, itu se yang buek sakik ati, yang lain nyo indak ado.

P : Kalau masalah bahaso ado kesulitan dak?

I : Awal-awalnyo ado, kesulitan bahaso, tapi kalau logat ndak masalah do, banyak bahaso2 lokal lah yang awak dak tau.

P : Misalnyo bantuak apo?

I : Misalnyo kayak kareta, pajak, dak tau do, dulu kan taunyo kereta tu kereta api, banyak la yang lain.


(3)

I : Dari kawan-kawan di kampus. Wak galak-galak se kan, dak tau wak bahaso tu, kalau masalah logat bisa.

P : Trus kalau kawan2 yu nanyo dari ma? Apo wahyu jawek? I : Dari Padang, kan emang dari Padang.

P : Apo tanggapan kawan2 Wahyu?

I : Dak do, paliang cuma ngecek-ngecek dari Padang,,,jauh yaa, gitu ajo. P : Di kampus yu banyak bakawan samo urang batak?

I : Urang Batak lai, urang malayu.

P : Kalau urang awak di kampus bara yo ?

I : Kalau yang yo bana urang awak sorangnyo, paliang banyak keturunan gitu. P : Yang paliang acok wahyu ajak interaksi sia?

I : Urang batak sih, urang awak ado juo, tapi labiah acok samo urang batak. P : Pertukaran informasi tentang budaya salamo yu bainteraksi ado ndak?

I : Ado, paliang ado diskusi-diskusi tentang budaya, misalnyo tentang pambagian warisan, yang tentang harto pusako tu kan, baa kok padusi yang macik, kalau dalam islam kan laki-laki, tu wak kecek an, yang padusi macik tu bukan harta pencarian, tapi harato pusako, tu wak jalehan, harato pusako tu kayak iko, kayak iko,..

P : Dari ma wahyu tau tentang itu? I : Dari sekolah, kan pernah baraja. P : Dak dari keluarga do?

I : Dari keluarga ado lo, dari keluarga tu mama ado maagiah tau, lai di kecek an. P : Trus, yang lain apo lai?

I : Urang tu kalau maagiah informasi tentang urang batak, paliangan dak lo awak khusus lo wak nanyo do.


(4)

P : Selain harato pusako tu apo lai yang pernah dibahas?

I : Tentang marantau, misalnyo baa kok suko bana marantau?”keceknyo kan, yo bosan, kecek yuk an, tapi kebanyakan urang minang tu marantau cari harato, tapi kalau kami yang mahasiswa ko kan cari ilmu, gitu.

P : Kalau salamo satuhun ko wahyu berinteraksi tu, pernah ngalami kesulitan?

I : Kesulitannyo, misalnyo kalau wak buek salah, kesulitannyo payah minta maafnyo ka urang tu. Pernah tu, ba masalah jo urang batak, lamo mintak maafnyo.

P : Baa dulu tu kok bisa gitu?

I : Ado la yang wak galak2an, ee..padang..ee batak,” kecek wak kan, ado yang tasingguang kan, tu via sms se, ngamboknyo lamo.

P : Kalau menurut Wahyu apo perbedaan yang mancolok antaro masyarakat disiko jo di kampuang?

I : Kalau masyarakat, wak caliak kan, wak pai jalan2 ka Berastagi, lain rasonyo suasana di tapi2 jalan tu, kalau misalnyo disiko, perkampungan urang Batak asli kan, wak caliak halaman rumahnyo tu kumuah lah, tu dari pandangan wak, urangnyo ibaratnyo ndak barasiah do. Kalau di kampuang kan wak caliak, asalkan ado anak gadih di dalam rumah tu, pasti halamannyo tu barasiah, kalau di Minang tu wak caliak tapi-tapi jalannnyo tu kan rapi, Payakumbuah, Bukittinggi, kalau pulang kan acok lewat2 situ.

P : Kalau di Medan menurut yu baa?

I : Kalau disiko kan, lingkuangannyo anak kos kebanyakan, dek nyo bacampua2 jadi payah lo mandeskripsikannyo.

P : Di dakek kosan wahyu baa?

I : Kalau di kos yu, ado urang batak, urang duri, urang aceh, jadi biaso-biaso se nyo, dak ado interaksi yang mancolok bana do, tapi kami tu akrab se.


(5)

I : Pakai bahaso Indonesia, kalau di kos dek urang minangnyo sadonyo keturunan, jadi bahaso Indonesia juo, yang sorang kawan SMA, tapi gaek padusinyo yang urang minangnyo, tapi iduiknyo di Aceh. 3 tahun se di Maninjau nyo

P : Kalau perbedaan sikap urang-urangnyo baa?

I : Kalau jo urang batak ko nyo main langsuang2 se nyo, dak mikian parasaan urang, mungkin lah memang gitu tabiatnyo kan, mungkin kalau nyo sasamo urang Batak kayak-kayaknyo gitu tu biaso2 se nyo, tapi kalau awak urang minang yang marasoan agak lain gitu, kadangnyo di muko urang rami gai kan, mode tu.

P : Pernah takanai?

I : Pernah, waktu tu misalnyo wak talambek pai waktu tu kan, tu wak batanyo, dak dijaweknyo do, “ kok gak dijawab.” Kecek wak kan, malas jawab ah, kau tadi terlambat.”keceknyo di muko urang rami, tu wak, ooo…iyo lah.

P : Trus baa tanggapan wahyu? I ; Awak diam se nyo.

P : Maraso sakik ati ndak? I : Iyo lah,

P : Tu baa, dak ado bakecek an do?

I : Padian se lah, tapi kan dek urang-urang tu biaso dek nyo nyo, di daerah2 siko kan tu biaso se nyo, kalau di awak yang urang minang kan, maagak-agak an hati urang.

P : Yang lainnyo apo?

I : Aa..tu masalah itu, kalau di Minangkan, kalau biasonyo wak sadang makan, rami-rami gitu kan, kalau basandao tu kan dak elok do, kalau disiko baru tadi pagi baru wak sadang makan, yang tukang manjua nyo tu malahan, kareh..is..wak sadang makan, baa la….. P : Trus Wahyu maanghadapi hal-hal bantuak itu baa?


(6)

I : Biasonyo diam se nyo, ndak pernah protes do, takuiknyo beko awak lo yang salah, masalahnyo awak di lingkungan urang.

P : Kalau konflik atau masalah disiko ado ndak?

I : Ndak, dak ado do. Paliang batak-batak ko, nyo keceknyo kasa kan, kadang ado gai nada mengancam, tapi itu wak anggap sebagai gurauan se nyo.

P : Kalau urang tu ngecek “kau-kau” gitu baa?

I : Kalau itu kan, dek factor bahaso, itu biaso se nyo, kan dulu di sekolah ado juo urang Medan, jadi kadang nyo ba”kau-kau” juo.

P : Wahyu sendiri kalau carito-carito gitu, labiah nyamannyo jo sia?

I : Nyaman lah samo urang minang lai, dek labiah masuak ngecek kan, dek bahaso, bahaso ibu wak sorang. Kadang kalau ngecek jo urang-urang Batak, tabaok-baok lo bahaso Minang.

P : Menurut Wahyu pandangan yu tentang budaya minang tu baa?

I : Budaya Minang tu halus lah, kalau dibandiangan jo batak, tu lebih sopan. Kan kalau kesopanan tu dalam konteks budaya itu tu relative, misalnyo dek urang batak tu ngecek kareh-kareh tu sopan mah, tapi kalau dek awak tu lain. Jadi budaya minang tu lebih sopan dan halus.

P : Wahyu sendiri caro manunjuak an identitas Wahyu sebagai urang minang baa?

I : Kalau budaya secara mancolok dak ado do, tapi kalau dalam pergaulan lai, contohnyo kalau misalnyo wak basalah ka urang, yo lah awak duluan yang minta maaf. Baa caronyo wak tu harus mintak maaf samo urang tu. Tu awak tu harus bausaho manjago, ibaraiknyo layang2 gitu ni, banyak patimbangan lah. Kalau misalnyo lah talampau tagang, di uluan stek, kalau dak ado angin di tagangan stek, gitu lah. Pandai-pandai baco situasi.