terbanyak pada kategori usia 70 tahun 53,3, 29,4 pasien berusia
60-64 tahun menderita osteoporosis, 65-69 tahun sebesar 36,4.
[21]
2.1.3.3 Patogenesisis dan Patofisiologi
Massa tulang pada dewasa tua sama dengan puncak massa tulang yang didapat pada usia 18-25 tahun dikurangi dengan jumlah tulang yang
hilang setelahnya. Puncak massa tulang ditentukan oleh faktor genetik dan kontribusi dari nutrisi, status hormon, aktivitas fisik dan kesehatan
ketika petumbuhan.
[15]
Selama pertumbuhan, terjadi 90 deposisi massa tulang, diikuti oleh periode konsolidasi dan terus berlanjut hingga usia
15-30 tahun.
[16]
Normalnya, proses pembentukan tulang dan proses resorpsi tulang berjalan berpasangan. Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi
digantikan oleh jumlah yang sama dengan jaringan tulang baru. Massa tulang rangka akan tetap konstan setelah massa puncak tulang sudah
tercapai. Setelah usia 30 - 45 tahun, proses resorpsi dan pembentukan tulang menjadi tidak seimbang, dan proses resorpsi melebih proses
pembentukannya. Ketidakseimbangan ini dapat dimulai pada usia yang berbeda dan bervariasi pada lokasi tulang rangka yang berbeda.
Hilangnya jaringan tulang menyebabkan kerusakan arsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur.
[13,15,16]
Pada wanita, ketika mengalami perimenopause, terjadi defisiensi estrogen secara signifkan, kehilangan massa tulang menjadi sangat cepat.
Penurunan kadar estrogen menyebabkan berbagai sitokin seperti interleukin-1, interleukin-6, dan tumor necrosis factor alfa
TNF α kadarnya menjadi meningkat dan akan meningkatkan resorpsi tulang
melalui perektrutan, diferensiasi dan aktivasi osteoklas.
[16]
2.1.3.4 Diagnosis
Osteoporosis dikenal sebagai “the silent epidemic disease” karena penurunan massa tulang dapat terjadi tanpa disertai gejala.
[7]
Kecuali seseorang
mendapatkan fraktur,
osteoporosis biasanya
tidak menimbulkan gejala sama sekali. Seiring dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, terjadi perubahan sudut pandang terhadap osteoporosis, sehingga osteoporosis tidak lagi hanya terdiagnosis ketika terjadi fraktur.
[17]
Evaluasi pasien yang diduga mengalami osteoporosis meliputi riwayat klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
a. Riwayat klinis dan pemeriksaan fisik
Bagian ini berfokus pada faktor risiko utama untuk fraktur osteoporosis seperti usia dan riwayat fraktur osteoporosis
sebelumnya. Faktor risiko lain yang harus diperhatikan meliputi berat badan yang rendah, riwayat keluarga dengan fraktur pinggul,
merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, terapi glukokortikoid dalam jangka waktu yang lama, dan penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan osteoporosis sekunder.
[18]
b. Pemeriksaan labortorium
Termasuk didalamnya pemeriksaan darah lengkap dan profil serum biokimia yang meliputi kalsium, fosfor, alkalin fosfatase, tirotropin,
fungsi ginjal dan hati, 25-hydroxyvitamin D, dan kalsium urin.
[18]
c. Radiologi
Gambaran radiologi pada osteoporosis memiliki tujuan untuk mengukur berkurangnya kepadatan tulang dan untuk diagnosis.
Untuk menentukan tingkatan dan diagnosis dapat dilakukan menggunakan gambaran radiologi sederhana. Gambaran radiologi
yang khas pada osteoporosis adalah adanya penipisan korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Indeks Jhamaria menggunakan
pola trabekular pada tulang calcaneus sebagai index osteoporosis.
Tabel 2.1 Gambaran Radiologi Tulang Calcaneus Berdasarkan Indeks Jhamaria
Gambaran radiologi Gambaran tulang
Keterangan Grade I. Severe
Osteoporosis. Hilangnya
seluruh trabekula
Grade II. Osteoporosis.
Trabekula anterior mulai
tidak terlihat.
Grade III. Borderline
osteoporosis.
Resesi pada trabekula
posterior
Grade IV. Tampak
gambaran wedge shaped diantara
kedua trabekula posterior.
Grade V. Normal trabekula
Sumber : Bank, A.S, Brad Castellano. Radiology of Osteoporosis Evaluation and Interpretation. telah
diolah kembali
Penilaian kepadatan tulang atau massa tulang secara umum dilakukan dengan menggunakan Dual Energy X-ray Absorptiometry DXA.
DXA menilai kepadatan tulang pada bagian tulang yang spesifik dan bersangkutan. WHO menggolongkan osteoporosis dan osteopenia
berdasarkan T-skor dari DXA, yang dibandingkan dengan nilai rata- rata kepadatan tulang untuk dewasa muda dan perbedaan dinyatakan
sebagai standard deviation SD. DXA merupakan metode yang sudah disahkan untuk penggunaan umum sebagai kriteria inklusi
untuk percobaan klinis dan memonitor efek terapi farmasi untuk osteoporosis. Standard pengukuran tulang vertebra dengan DXA
dilakukan pada proyeksi posteroanterior. Tempat tersering dilakukan pengukuran adalah vertebra dan tulang femur bagian proksimal.
[17]
Keuntungan melakukan DXA antara lain, pemeriksaan ini tidak invasif dan mempelajarinya cepat serta pajanan radiasi yang
rendah.
[18]
Tabel 2.2 Klasifikasi kepadatan tulang DXA T-skor menurut WHO
Sumber:Viela P, Nunes T. Osteoporosis. 2011;53;185-190
2.1.3.5 Faktor Risiko