Yuretsu Kijun Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggung Jawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II

30 Hal ini dapat kita lihat pada kasus seorang pasien yang canggung atau malu ketika memeriksakan dirinya ke dokter. Pada dasarnya, setiap dokter akan menempatkan dirinya kedalam eksistensi universal. Namun beberapa pasien menempatkan dirinya ke dalam eksistensi partikular. Kesalah pahaman seperti inilah yang biasanya akan menimbulkan rasa malu. Dari sini dapat kita lihat bahwa shiko no kuichigai merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan rasa malu bagi orang Jepang. Dan dapat kita simpulkan bahwa malu yang timbul merupakan malu yang berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan yaitu shichi.

2. Yuretsu Kijun

Yuretsu Kijun merupakan faktor kedua yang dapat menimbulkan shichi. Yaitu standarisasi yang digunakan oleh orang Jepang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Di dalam yuretsu kijun, terdapat dua golongan standar yang selalu digunakan orang Jepang yaitu superior dan inferior. Superior merupakan makna yang menyatakan lebih baik daripada orang lain, sedangkan inferior ialah makna kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain. Dengan adanya yuretsu kijun, seseorang akan masuk ke dalam golongan superior atau inferior. Sakuta dalam Raphaela Dwianto 1991:22 berpendapat bahwa selain berlaku secara umum di masyarakat luas, yuretsu kijun juga berlaku secara khusus dan bersifat pribadi. Berikut pernyataan Sakuta mengenai hal tersebut: Akan tetapi, standar superior dan inferior yang menjadi dasar timbulnya malu ini tidak selalu merupakan standar yang berlaku di dalam kelompok di mana seseorang menjadi anggotanya. Ada pula standar yang lebih luas misalnya kelas, etnis. Kemudian bila standar ini berbeda dari standar kelompok, maka standar kelompok disadari sebagai suatu standar diri pribadi. Universitas Sumatera Utara 31 Dari pernyataan Sakuta diatas, dapat kita lihat bahwa yuretsu kijun menjadi dasar timbulnya malu. Berbeda dengan Benedict yang dalam konsepnya tidak menjelaskan adanya standar tertentu yang dipakai masyarakat dalam mengkritik seseorang, Sakuta di sini secara jelas menagatakan bahwa adanya yuretsu kijun yang digunakan dalam menilai kadar superior dan inferior seseorang, yang kemudian menjadi dasar bagi timbulnya malu di dalam diri orang tersebut. Di sini dapat kita lihat dengan jelas bahwa shichi yang melibatkan yuretsu kijun ini, rangsangannya berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan. Dan hal inilah yang membedakannya dari kochi yang proses timbulnya hanya dikaitkan dengan faktor rangsangan dari luar diri orang tersebut. Konsep malu umum atau kochi yang dikemukakan oleh Ruth Benedict bahwa rasa malu timbul karena adanya rangsangan berupa kritik dari masyarakat, menurut Sakuta belum cukup untuk menimbulkan gejala malu. Dasar bagi timbulnya malu adalah adanya perhatian dari orang lain. Perhatian ini melibatkan adanya shikou no kuichigai dan yuretsu kijun. Sakuta menegaskan bahwa di balik segala kritik dan ejekan orang lain, terdapat hal yang lebih mendasar yang dapat menimbulkan malu yaitu perhatian dari orang lain.

2.2. Kouchi, Shichi dan Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang

2.2.1. Kouchi dan Shichi dalam Keluarga

Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang tekun, ulet, disiplin dan berdedikasi tinggi. Karakteristik bangsa Jepang ini tidak diperoleh secara instan, melainkan melalui proses pengajaran yang turun temurun dari orang tua ke anak Universitas Sumatera Utara 32 untuk kemudian diwariskan ke cucu dan keturunan selanjutnya. Keluarga menjadi tempat pendidikan awal bagi anak sebelum memasuki masyarakat yang lebih luas. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang peranan nya sangat besar. Peranan yang sangat besar itu disebabkan oleh karena keluarga mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsi yang sangat penting itu terutama dijumpai pada peranannya untuk melakukan sosialisasi, yang bertujuan untuk mendidik warga masyarakat agar memenuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dianut, untuk pertama kalinya diperoleh dalam keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto 1992:40 bahwa pola perilaku yang benar dan tidak menyimpang untuk pertama kalinya dipelajari dari keluarga. Keluarga juga merupakan tempat pertama bagi seorang anak untuk belajar mengenal lingkungan di sekitarnya. Selain itu, keluarga juga menekankan nilai- nilai dan pendidikan moral dengan maksud agar anak tersebut dapat bergaul dan diterima dengan baik di lingkungan masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan oleh Ruth Benedict 1989:280 bahwa pembelajaran budaya malu dimulai dari sikap sopan dalam hal duduk melipat kaki, adab membungkuk, adab anak perempuan dalam hal tidur, adab sopan di meja makan, dan adab memegang sumpit, bahkan juga adab bertindak dalam pengetahuan pertamanya dalam ilmu seksologi. Pada umumnya, seorang individu akan berusaha semampunya untuk meraih prestasi maksimal pada masa remaja. Karena, ketika seorang individu tersebut berada pada tahap pendidikan sekolah dasar, ia telah diajarkan mengenai kompetisi dalam belajar dan nilai-nilai religius. Dan akan timbul rasa malu bagi Universitas Sumatera Utara 33 keluarganya apabila si anak tersebut memiliki kebiasaan buruk di sekolah yang menyebabkan prestasinya kurang memuaskan. Sehingga ketika ia sudah dewasa, apabila cita-cita yang ia harapkan tidak tercapai, akan timbul rasa malu di dalam diri individu tersebut. Menurut Ruth Benedict 1989:225, kaitan keluarga dengan budaya malu ialah, keluarga mengatas namakan rasa malu pada proses pembelajaran norma dan kaidah kehidupan. Maka dari itu, keluarga yang pada dasarnya dipimpin oleh orang tua, berperan aktif dalam menanamkan rasa malu pada setiap keluarganya. Seperti pengenalan displin waktu belajar dan bermain, penanaman prinsip bahwa seorang anak akan malu akibat menangis, dan pemahaman konsep yang mengajarkan bahwa anak laki-laki lebih berkuasa dari anak perempuan. Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, shichi atau malu khusus yang berhubungan erat dengan shikou no kuichigai dan yuretsu kijun, merupakan hal yang sangat mempengaruhi ada tidaknya rasa malu dalam diri seorang individu pada saat berada dalam lingkungan keluarga. Selain itu Sakuta dalam Raphaela Dwianto 1991:35 juga menyebutkan bahwa kedudukan keluarga dalam masyarakat sangat lemah. Pada umumnya, ketika salah seorang anggota keluarga diadili oleh masyarakat, keluarga tidak akan melindungi anggotanya tersebut bahkan ikut mengadilinya. Hal ini terjadi akibat keluarga merasa anggota tersebut pantas untuk menerima hukuman, karena dianggap telah membuat malu keluarganya di mata masyarakat. Dari sini dapat kita lihat bahwa keluarga tidak dapat menolak penilaian masyarakat dan tunduk pada tuntutan masyarakat. Dan jelas bahwa kedudukan keluarga adalah lemah diantara masyarakat. Hal ini membawa pengaruh Universitas Sumatera Utara 34 psikologis bagi anggota keluarga dan dianggap sebagai sifat mengarah keluar atau gaimenteki, berupa standarisasi penilaian pihak lain. Sifat gaimenteki ini akan menimbulkan perasaan di dalam diri anggota keluarga bahwa dirinya tidak memiliki arti penting dan muncul rasa kesepian. Dan pada situasi seperti ini biasanya akan mudah timbul kesalah pahaman akibat terlalu pekanya perasaan individu tersebut terhadap perhatian dari orang lain yaitu yang disebut dengan shikou no kuichigai dan juga akan berlanjut kearah sifat yuretsu kijun di dalam dirinya.

2.2.2. Kouchi dan Shichi dalam Masyarakat

Pada masyarakat Jepang, proses sosialisasi dirasakan sangat penting karena dalam sudut pandang kemasyarakatan, hal itu dilakukan untuk menjaga agar masyarakat terus memiliki anggota yang berkualifikasi Lebra, 1976;137. Berkualifikasi maksudnya adalah mengerti dan mampu menjalankan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakatnya untuk kemudian menjadikannya sebagai identitas diri atau karakter. Masyarakat luas dalam bahasa Jepang diartikan sebagai taishu shakai. Tadashi Fukutake 1988:116 mendefenisikan taishu shakai sebagai berikut : Taishu shakai mengacu kepada masyarakat yang beranggotakan sejumlah besar individu. Individu-individu di dalam masyarakat tersebut saling terpisah, tidak membentuk organisasi yang satu dan menyeluruh secara erat. Tidak terdapat ikatan erat antar individu. Tiadanya hubungan erat ini menyebabkan rasa kesepian dan rasa tidak aman di dalam diri individu. Masyarakat taishu shakai muncul di Jepang sekitar tahun 1920-an, tepatnya setelah Perang Dunia I berakhir menjelang timbulnya fasisme Jepang. Dan masyarakat taishu shakai ini semakin berkembang pesat setelah Perang Universitas Sumatera Utara 35 Dunia II berakhir yang juga merupakan awal mula pendudukan Amerika Serikat, dan terus berlangsung hingga saat ini. Masyarakat taishu shakai merupakan masyarakat yang tidak memiliki ikatan emosional yang erat antar individu. Hubungan yang sering terjadi di antara individu hanya hubungan formal yang tidak akrab. Di dalam masyarakat taishu shakai juga tidak terdapat satu tradisi atau adat istiadat yang yang sama Soerjono Soekanto, 1985:26. Hal inilah yang merupakan penyebab tidak dapat terjalinnya hubungan erat antar individu. Seperti pendapat Tadashi Fukutake tersebut diatas, individu dalam masyarakat taishu shakai tidak saling memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Tidak adanya ikatan erat ini menyebabkan seseorang menjadi peka terhadap pandangan individu-individu lain yang ada di sekitarnya. Adanya pandangan atau perhatian dari orang lain, akan menyebabkan seseorang menempatkan dirinya pada eksistensi universal atau partikular yang menimbulkan munculnya shiko no kuichigai dan berakhir dengan timbulnya gejala malu. Dalam masyarakat taishu shakai terdapat suatu sistem sosial masyarakat yang mutlak, yaitu seorang individu hanya ditempatkan sebagai salah satu bagian yang sangat kecil di dalam mekanisme sosial yang sangat besar. Sehingga menimbulkan rasa kesepian dan ketidakberdayaan di dalam diri individu tersebut. Rasa kesepian dan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan seorang individu akan sangat peka terhadap perhatian orang lain. Sehingga timbul lah shiko no kuichigai dan yuretsu kijun yang secara mutlak akan menimbulkan rasa malu di dalam diri individu tersebut. Universitas Sumatera Utara 36

2.2.3. Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang

Malu bagi bangsa Jepang memiliki fungsi yang sangat penting dan sangat mempengaruhi karakteristik masyarakatnya sendiri. Secara umum, fungsi malu di dalam mayarakat Jepang terbagi menjadi 2 yaitu fungsi malu yang bersifat aktif dan fungsi malu yang bersifat pasif.

1. Fungsi Aktif

Dokumen yang terkait

Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis

1 44 88

Analisis Yuridis Atas Pertanggung Jawaban Notaris Terhadap Akta Fidusia Yang Dibuat Setelah Terbit PERMENKUMHAM Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Fidusia Elektronik

9 172 181

Analisa Pertanggung Jawaban Penyidik Polri Dalam Kaitan Terhadap Terjadinya Salah Tangkap Atau Error In Persona

0 39 152

Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No Kenshin Ni Taishite Nihonshakai No Sekinin Ka

6 49 77

Perkembangan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II

2 33 48

Sekilas Pembangunan Negara Jepang Pasca Perang Dunia II

0 53 41

Pertanggung jawaban Pidana Pilot (Kapten Terbang) atas Terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara dari Perspektif Undang–Undang No.1 Tahun 2009

1 47 119

Pertanggung Jawaban Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Hubungannya Terhadap Nasabah Dan Bank.

5 74 107

Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No Kenshin Ni Taishite Nihonshakai No Sekinin Kara

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No

0 0 14