Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Jadi upacara kematian Ngaben harus dilakukan oleh seorang anak atau setiap putra atau yang disebut seputra. Upacara Ngaben dilakukan sebagai kewajiban untuk
menyucikan roh leluhur atau orang tua mereka yang telah meninggal dunia sesuai dengan ajaran agama Hindu.
4.2 Beberapa Pendapat Tentang Upacara Ngaben
Asal-usul kata ngaben sampai saat ini masih bervariasi. Ada yang mengatakan kata Ngaben berasal dari kata “abu” dengan melihat hasil akhir pembakaran mayat.
Ada pula yang berpendapat bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “ngabenin” dengan mengamati betapa banyak biaya yang dihabiskan. Dan ada juga yang
beragumentasi bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “ngabain” dengan alasan sang mati “dibekali” membawa sesuatu yang masih berhubungan dengan material untuk
perjalanan roh ke alamnya. Ngaben berasal dari kata beya. Beya berarti bekal, yakni berupa jenis upakara
yang diperlukan dalam upacara ngaben itu. Kata Beya yang berarti bekal, kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi biaya atau prabeya dalam bahasa bali. Orang yang
menyelenggarakan beya dalam bahasa bali disebut meyanin. Kata ngaben, meyanin , sudah menjadi bahasa baku, untuk menyebutkan upacara sawa wedhana. Jadi
sesunggungnya tidak perlu lagi diperdebatkan akan asal usul kata itu. Yang jelas ngaben atau meyanin adalah penyelenggaraan upacara untuk sawa bagi orang yang
sudah meninggal.
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya-yang disebut-sebut dalam lontar-adalah atiwa-tiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal-usulnya.
Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara Austronesia, mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada suku Dayak, di Kalimantan, yang disebut tiwah.
Demikian juga di Batak kita dengar sebutan “tibal”, untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat
presfiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan
fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”.
Adapun yang dimaksud api di sini adalah Brahma Pencipta. Itu berarti atma sang mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih
Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta utpeti. Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben
yaitu Api Sekala kongkret yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak sang mati dan Api Niskala abstrak yang berasal dari Weda Sang
Sulinggih selaku sang pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut mralina.
Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul dari sang
Lusianna M. E. Hutagalung : “Ngaben” Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya Di Bali, 2009. USU Repository © 2009
Sulinggih. Sang Sulinggih sang muput akan memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya Siwiarcana untuk melakukan “pralina”. Mungkin karena
api praline dipandang lebih mutlakpenting, dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan api,
melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa mengunakan api
sekala. Tetapi api niskalaapi praline tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.
Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran api sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan
sthula sarira badan kasar yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan
pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di alam Swahloka Dewa Pitara
sehingga layak dilinggihkan di sanggahmerajan untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara mamukur yang merupakan kelanjutan dari Ngaben.
4.3 Proses Upacara Ngaben