2. 2. Usia HASIL DAN PEMBAHASAN

dengan AGEs, RAGE receptor for AGE yang diekspresikan oleh kondrosit dapat menginduksi terjadinya enzim pendegradasi kartilago. 3. Di penghujung usia, terjadi penurunan kapasistas anabolisme yang berakibat pada menurunnya kapasitas regenerasi dari kondrosit yang merupakan satu-satunya sel penyusun matriks kartilago. Penurunan kapasitas anabolisme ini salah satunya disebabkan oleh penurunan respons kondrosit terhadap stimuli dari IGF insulin like growth factor, sehingga datangnya stimuli tersebut hanya akan menyebabkan disregulasi dan ketidakseimbangan antara aktivitas anabolisme dan katabolisme kondrosit pada saat proses remodeling dari ECM. 4. Penurunan kapasitas regenerasi pada proses penuaan yang ditunjukkan dengan adanya penurunan level sel stem pada jaringan ikat di lansia. Kartilago memiliki kapasitas regenerasi yang rendah oleh karena sedikitnya jumlah sel progenitor. Oleh sebab itu, sel mesenkim bertanggung jawab dalam menjaga homeostasis serta perbaikan jaringan ikat. Ditemukan bahwa terjadi pengurangan jumlah sel progenitor mesenkim CD105+ CD 166+. 5. Inflamasi, yang sering termanifestasi pada kasus osteoartritis dengan adanya pembengkakan sendi, warna kemerahan, dan nyeri, disebabkan salah satunya oleh karena menurunnya kemampuan sistem imun untuk menekan proses inflamasi pada lansia. Kondisi immunosenence ini digambarkan dengan penurunan kapasitas sel imun untuk berikatan dengan antigen untuk menghasilkan resolusi dari proses inflamasi. Selain itu, pada 50 pasien osteoartritis, ditemukan adanya peningkatan sitokin pro-inflamasi, seperti TNF- α atau IL-1 yang disebabkan oleh karena adanya serta meningkatnya infiltrasi serta aktivasi sel radang seperti makrofag, sel mast, dan limfosit pada sinovial. 6. Otot-otot yang berada di sekitar persendian genu sangat berperan dalam menjaga stabilitas, sehingga jika kekuatan otot berkurang – yang secara signifikan terjadi pada lansia – maka, proteksi neuromuskular terhadap persendian akan terganggu dan menyebabkan mikrotrauma dan kerusakan pada sendi. Hal ini juga diperparah oleh adanya penurunan fungsi proprioseptif pada lansia yang menyebabkan buruknya penginderaan lansia terhadap posisi tubuh yang membahayakan dan dapat bersifat merusak terhadap persendian.

4. 2. 3. Tingkat Pendidikan

Pada subyek penelitian, didapatkan bahwa subyek terbanyak adalah pada kelompok tingkat pendidikan tamat SMA, yakni sebesar 37,8. Distribusi subyek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan tidak sama rata, dengan tingkat pendidikan SD memiliki jumlah paling sedikit. Sementara itu, tidak didapatkan adanya subyek penelitian dengan tingkat pendidikan tidak pernah sekolah, SMP dan SMA. Distribusi subyek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada grafik berikut: Grafik 4. 3. Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Tingkat Pendidikan di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2012 – 2013 Seperti yang telah dibahas dalam Tinjauan Pustaka, beberapa referensi menyebutkan bahwa kejadian osteoartritis berkaitan dengan tingkat pendidikan yang rendah. [34] Walau begitu, melalui meta-analisis oleh Kerkhof et al, diketahui bahwa hubungan tersebut hanya dapat diekspresikan oleh OR sebesar 1.01 yang berarti kemungkinan besar tingkat pendidikan tidak memiliki keterkaitan dengan kejadian osteoartritis. [20] Hasil yang berbeda ditemukan oleh Callahan et al melalui studinya terhadap populasi penderita osteoartritis genu di North Carolina, Amerika Serikat, yang berhasil menemukan OR sebesar 2.23 CI 95. [34] Analisis survey kesehatan yang dilakukan oleh Devaux et al di empat negara – Australia, Kanada, Inggris, dan Korea – menunjukkan bahwa penambahan waktu periode sekolah berkaitan dengan penurunan kemungkinan seseorang mengalami obesitas yang ditunjukkan dengan menurunnya angka OR tiap penambahan waktu bersekolah dalam tahun. [35] Obesitas sendiri, seperti yang sudah dibahas pada Tinjauan Pustaka sebelumnya dan sub-judul selanjutnya terbukti memiliki korelasi dengan kejadian obesitas menurut referensi-referensi terdahulu. 5 10 15 20 25 30 35 40 Per sen tase Ketidakharmonisan antara hasil penelitian ini dengan referensi terdahulu kemungkinan menggambarkan adanya faktor lain yang memediasi faktor sosiodemografi tingkat pendidikan terhadap kejadian osteoartritis. Adapun, tidak mudah untuk menemukan gambaran keterkaitan antara kedua variabel ini di negara Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Salah satu penelitian yang dilakukan terhadap pekerja kereta api di Malaysia menunjukkan adanya keterkaitan antara tingginya tingkat pendidikan dengan pengetahuannya mengenai osteoartritis dan kesadarannya terhadap kemungkinan adanyanya penyakit osteoartritis sebagai diagnosis dari keluhan nyeri pada persendiannya yang kemudian membawanya berobat ke dokter. [36] Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa dalam penelitian ini, secara umum, terdapat peningkatan jumlah penderita osteoartritis sesuai dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Adapun hal yang mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa kelompok tingkat pendidikan SMA dalam penelitian ini memiliki jumlah yang cukup signifikan adalah laporan hasil perhitungan statistik yang dikeluarkan oleh UNESCAP United Nations Economic and Social Commission for Asia and Pacific yang menunjukkan terjadinya penurunan angka pendaftaran sekolah seiring meningkatnya jenjang pendidikan. Penururan yang signifikan terutama terlihat pada jenjang pendidikan tersier tertiary education – tingkat universitas dan sebandingnya. Data dari tahun 2008 menunjukkan angka pendaftaran sekolah tingkat pendidikan sekunder SMA dan tersier Akademi Universitas beturut-turut sebesar 68,4 dan 21,3. [37] Angka-angka tersebut dapat membantu menjelaskan mengapa, walau kemungkinan terdapat keterkaitan antara tingginya tingkat pendidikan dengan kejadian osteoartritis menurut beberapa referensi, angka kejadian osteoartritis lebih banyak ditemukan pada tingkat pendidikan SMA dibandingkan dengan tingkat pendidikan Akademi Universitas atau tingkat pendidikan tamat Akademi Universitas. 4. 2. 4. Indeks Massa Tubuh Tidak terdapat subyek penelitian dengan berat badan kurang per- kategori Asia-Pasifik. Sementara, kategori IMT yang ditemukan paling banyak pada subyek penelitian adalah kategori IMT Obes 1 sebanyak 15 subyek, yakni sebesar 40,5. Pada pasien dengan berat badan normal, ditemukan kasus osteoartritis genu sebanyak 5 subyek atau sebesar 13,5. Berdasarkan risiko terserang osteoartritis genu, maka IMT subyek penelitian dikategorikan menjadi 2, yaitu 25 kgm 2 dan ≥ 25 kgm 2 berdasarkan batas berat badan yang dinyatakan berisiko menurut kategori Asia-Pasifik. Subyek penelitian dengan IMT 25 kgm 2 adalah sebesar 13,51, sementara IMT subyek penelitian dengan IMT ≥ 25 kgm 2 adalah sebesar 86,49. Walau berdasarkan hasil perhitungan kelompok obes 1 memiliki jumlah subyek terbanyak, namun secara kumulatif, kelompok dengan IMT berisiko, obes 1, dan obes 2 memiliki jumlah subyek penelitian yang secara signifikan lebih banyak dari kelompok subyek penelitian dengan IMT kisaran normal. Tabel VIII. Proporsi Status Gizi Penduduk Dewasa 18 tahun Berdasarkan Kategori Indeks Massa Tubuh IMT di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 Kategori IMT Prevalensi Kurus 9,7 Normal 61,8 Berisiko 12,3 Obes 16,2 Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012. Telah diolah kembali. Berdasarkan data yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan pada tahun 2010 seperti yang tertetra pada tabel di atas, masyarakat dengan kategori IMT normal berjumlah lebih banyak dibandingan dengan jumlah masyarakat dengan kategori IMT berisiko dan kategori obes