Gambaran Audiologi Pasien Otitis Media Supuratif Kronik Di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati Tahun 2012-2014

(1)

TELINGA HIDUNG TENGGOROK RUMAH SAKIT

UMUM PUSAT FATMAWATI TAHUN 2012-2014

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

Oleh:

WULAN ROUDOTUL ZANAH

1111103000038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Januari 2015


(3)

iii

GAMBARAN AUDIOLOGI PASIEN OTITIS MEDIA

SUPURATIF KRONIK DI POLIKLINIK TELINGA

HIDUNG TENGGOROK RUMAH SAKIT UMUM

PUSAT FATMAWATI TAHUN 2012-2014

Laporan Penelitian

Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Kedokteran (S.Ked)

Oleh :

Wulan Roudotul Zanah NIM : 1111103000038

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL dr. Ibnu Harris Fadillah, SpTHT-KL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436H / 2015M


(4)

iv

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Penelitian berjudul Gambaran Audiologi Pasien Otitis Media Supuratif Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Tahun 2012-2014 yang diajukan oleh Wulan Roudotul Zanah (NIM 1111103000038), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada Januari 2015. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada program Studi Pendidikan Dokter.

Ciputat, Januari 2015

DEWAN PENGUJI Ketua Sidang

dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL Pembimbing I

dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL

Pembimbing II

dr. Ibnu Harris Fadillah, SpTHT-KL Penguji I

dr. Flori Ratna Sari, Ph.D

Penguji II

drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D

PIMPINAN FAKULTAS Dekan FKIK UIN

Prof. Dr. (hc) dr. MK. Tadjudin, Sp.And

Kaprodi PSPD


(5)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan bagi Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul GAMBARAN AUDIOLOGI PADA PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI TAHUN 2012-2014. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW.

Penelitian ini terwujud atas bimbingan, masukan, dukungan, dan saran dari semua pihak. Maka itu, dalam kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And, dr. HM.Djauhari Widjajakusumah,AIF.,PFK, Dr. H. Arief Sumantri, SKM, M.Kes, dan Dr. Delina Hasan, M.Kes, Apt selaku Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. dr.Witri Ardhini, M.Gizi, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter serta seluruh dosen Program Studi Pendidikan Dokter yang telah begitu banyak membimbing dan memberikan kesempatan saya untuk menimba ilmu selama saya menjalani masa pendidikan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. dr. Fikri Mirza Putranto, KL dan dr. Ibnu Harris Fadillah, SpTHT-KL, selaku dosen pembimbing atas bimbingan, masukan, arahan, waktu, tenaga, dan dukungan yang telah diberikan selama penyusunan skipsi ini. 4. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku penanggung jawab modul Riset Program

Studi Pendidikan Dokter 2011 yang selalu mengingatkan peneliti untuk segera menyelesaikan penelitian.

5. drg. Danik Hariyani, Sp.KGA dan staff Bagian Pendidikan dan Pelatihan RSUP Fatmawati yang telah membantu peneliti untuk mendapatkan izin melakukan penelitian di RSUP Fatmawati.


(6)

vi

6. dr. Zainal Adhim, SpTHT-KL, PHD dan dr. Endang Poedjiningsih, M.epid, selaku komisi etik yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di RSUP Fatmawati.

7. dr. Syafrudin, SpTHT-KL selaku Ketua SMF THT RSUP Fatmawati yang telah memberikan ijin dan juga masukan serta dukungannya kepada peneliti untuk melakukan penelitian di RSUP Fatmawati.

8. dr. Diana Rosalina, SpTHT-KL atas bimbingan, dukungan dan masukannya kepada peneliti selama penyusunan penelitian ini.

9. Ibu Dewi, Ibu Dian, Pak Kholil dan seluruh staff Instalasi Rekam Medik dan Pusat Informasi Kesehatan RSUP Fatmawati yang telah meluangkan untuk mencari rekam medik di RSUP Fatmawati.

10.Kepada kedua orangtua H. Enan Karmana, SH dan Hj. Neneng Nurhasanah terima kasih banyak yang sebesar – besarnya atas do’a, dukungan, kasih sayang, perhatian dan semangat yang terus diberikan tiada hentinya kepada penulis dari awal sampai akhir pembuatan penelitian ini. Semoga Allah SWT membalas semua yang telah diberikan kepada penulis.

11.Kepada kakak dan adik – adikku, dr. Eka Putri M, Kurnia Sobar Darmawan, dan Mohamad Bintang Nur’ihram terima kasih yang telah memberikan perhatian, semangat, dan dukungan yang sebanyak – banyaknya.

12.Terima kasih kepada keluarga besar yang telah memberikan do’a, dukungan, dan semangat demi kelancaran penelitian ini.

13.Kepada teman – teman, Avissa Mada Vashti, Annisa Zakiroh, Silmi Lisani Rahmani, Farah Nabilla Rahmah, Rissa Adinda Putri, Riwi Bedori Larasatty dan seluruh teman – teman seperjuangan di PSPD UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya angkatan 2011 terima kasih atas keceriaan, dukungan, semangat dan bantuan yang diberikan selama penyusunan penelitian ini.

14.Kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu nama – namanya.


(7)

vii

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna karena keterbatasan sarana dan ilmu yang dimiliki penulis. Kritik dan saran yang membangun akan penulis terima sebagai masukan dan dukungan bagi penulis. Penulis berharap penelitian yang jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak.

Jakarta, Januari 2015


(8)

viii ABSTRAK

Wulan Roudotul Zanah. Program Studi Pendidikan Dokter. Gambaran Audiologi Pasien Otitis Media Supuratif Kronik Di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati Tahun 2012-2014.

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan infeksi kronik di telinga tengah yang menjadi salah satu penyebab utama tingginya prevalensi ketulian di Indonesia. Ini merupakan penyebab tersering gangguan pendengaran pada usia sekolah. Pada penderita OMSK, seringkali didapatkan tuli konduktif dari hasil pemeriksaan audiometri. Sehingga penelitian ini dilaksanakan untuk mencari tahu gambaran audiologi pada pasien OMSK serta gambaran kejadiannya berdasarkan jenis OMSK, usia, jenis kelamin, riwayat infeksi saluran pernapasan atas dan riwayat alergi. Penelitian ini menggunakan metode penelitan deskriptif dengan metode potong lintang. Pengumpulan data diperoleh dari data rekam medis yang diambil secara consecutive sampling. Dari 106 populasi yang ada, didapatkan sebanyak 34 sampel yang termasuk dari kriteria inklusi yaitu pasien dengan diagnosis OMSK dan dilakukan pemeriksaan audiometri.

Hasil penelitian didapatkan insidensi OMSK Maligna lebih lesar dari OMSK Benigna (54,4%). Pada kelompok usia terbanyak adalah 20-40 tahun (41,2%), sedangkan jenis kelamin terbanyak adalah laki – laki (58,8%). Tidak didapatkan riwayat infeksi saluran pernapasan atas (32,4%) dan alergi (41,2%) pada pasien. Pada OMSK Maligna didapatkan tuli konduktif (43,2%) dan tuli campur (43,2%), pada OMSK Benigna, 5 dari 10 telinga mengalami tuli konduktif. Derajat ketulian terbanyak pada telinga dengan OMSK Maligna yaitu tuli sedang (24,3%) dan tuli berat (24,3%), sedangkan pada telinga dengan OMSK Benigna didapatkan 5 dari 10 telinga dengan derajat ketulian normal sampai tuli ringan. Ambang dengar pada OMSK Maligna didapatkan dengan rerata 65 dB, sedangkan pada OMSK Benigna dengan rerata 42,8 dB dan pada telinga tanpa perforasi dengan rerata 22,5 dB.


(9)

ix ABSTRACT

Wulan Roudotul Zanah. Medical Education Study Programme. Description Audiology Patients With Chronic Suppurative Otitis Media At Polyclinic Ear Nose and Throat Fatmawati Hospital in 2012-2014.

Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) is a chronic infection of the middle ear and is one of the leading cause of deafness in Indonesia, especially among school-aged population. Proper assessment of deafness is done using audiometry. This study was conducted to depict the audiology of CSOM patients and its incident according to its type, patients age, sex, history of upper respiratory tract infection and allergy. This study used descriptive research method with cross sectional approach. Data were collected using consecutive sampling. From 106 patients, 34 were included in this study.

Result showed a higher incident of malignant CSOM compared to benign CSOM (54,4%). The groups with the highest incident are age 20-40 (41,2%), male (58,8%), absence of upper respiratory tract history (32,4%), and absence of allergy (41,2%). The type of deafness in malignant CSOM patients were conductive (43,2%) and mixed (43,2%). In benign CSOM patients, 5 out of 10 ears had conductive deafness. The most prevalent type of deafness in malignant CSOM are moderate (24,3%) and severe (24,3%), whilst in benign CSOM 5 out of 10 ears had normal hearing to mild deafness. The average hearing threshold of malignant CSOM, benign CSOM, and unperforated ear is 65 dB, 42,8 dB, and 22,5 dB respectively.


(10)

x DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL...i

LEMBAR PERNYATAAN...ii

LEMBAR PERSETUJUAN...iii

LEMBAR PENGESAHAN...iv

KATA PENGANTAR...v

ABSTRAK...viii

ABSTRACT...ix

DAFTAR ISI...x

DAFTAR GAMBAR...xiii

DAFTAR TABEL...xiv

DAFTAR LAMPIRAN...xv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...1

1.2. Rumusan Masalah...3

1.3. Tujuan Penelitian...3

1.3.1. Tujuan Umum...3

1.3.2. Tujuan Khusus...4

1.4. Manfaat Penelitian...4

1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti...4

1.4.2. Manfaat Bagi Instansi Terkait...4

1.4.3. Manfaat Bagi Masyarakat...4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Anatomi Telinga Tengah...5

2.1.1.1. Membran Timpani...5

2.1.1.2. Telinga Tengah...6

2.1.1.3. Tuba Eustachius...8

2.1.1.4. Ossicula Auditus (Tulang – Tulang Pendengaran)...10


(11)

xi

2.1.3. Otitis Media Supuratif Kronik...11

2.1.3.1. Tanda dan Gejala...11

2.1.3.2. Faktor Risiko...13

2.1.3.3. Patogenesis...14

2.1.3.4. Letak Perforasi...15

2.1.3.5. Komplikasi dan Prognosis...15

2.1.4. Ganggun Pendengaran...16

2.1.5. Pemeriksaan Pendengaran...19

2.2. Kerangka Teori...22

2.3. Kerangka Konsep...22

2.4. Definisi Operasional...23

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian...27

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian...27

3.3. Populasi dan Sampel...27

3.4. Jumlah Sampel...27

3.5. Cara Pengambilan Sampel...28

3.6. Kriteria Sampel...29

3.6.1 Kriteria Inklusi...29

3.6.2. Kriteria Eksklusi...29

3.7. Cara Kerja Penelitian...29

3.7.1. Izin Penelitian...29

3.7.2. Jenis Data...29

3.7.3. Cara Pengambilan Data...29

3.7.4. Alat Pengumpulan Data...29

3.7.5. Alur Penelitian...30

3.8. Variabel Penelitian...30

3.9. Manajemen Data...31

3.9.1. Teknik Pengumpulan Data...31

3.9.2. Pengolahan Data...31


(12)

xii

3.9.4. Rencana Penyajian Data...31

3.9.5. Interpretasi Data... ...31

3.9.6. Pelaporan Hasil penelitian...31

3.10. Etika Penelitian...32

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Pasien...33

4.2. Karakteristik Pasien dengan Keadaan Telinga...35

4.3. Karakteristik Audiometri...37

4.4. Keterbatasan Penelitian...41

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan...42

5.2. Saran...42

DAFTAR PUSTAKA...43


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bagian Telinga Luar dan Tengah Kanan... 6 Gambar 2.2. Telinga Dalam dan Tulang – Tulang Pendengaran...7 Gambar 2.3. Dinding Lateral dan Medial Cavum Timpani...9


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Hasil Tes Penala...20 Tabel 2.2. Definisi Operasional Penelitian...23 Tabel 4.1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Keadaan Telinga dan Riwayat Penyerta...38 Tabel 4.2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Tipe Ketulian dan Derajat Ketulian...40

Tabel 4.3.1. Karakteristik Audiometri Berdasarkan AC, BC dan Ambang

Dengar...41 Tabel 4.3.2. Karakteristik Audiometri Berdasarkan Kategori


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir Penelitian...48

Lampiran 2. Surat Keterangan Ijin Penelitian...49

Lampiran 3. Surat Persetujuan Etik...50


(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otitis Media (OM) merupakan infeksi atau inflamasi sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Telinga tengah adalah organ yang memiliki penghalang yang biasanya dalam keadaan steril. Bila terjadi infeksi bakteri pada nasofaring dan faring, secara alami terdapat mekanisme pencegahan penjalaran bakteri memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu – bulu halus yang dimiliki tuba eustachius. Terjadinya Otitis Media ini akibat tidak berfungsinya sistem pelindung tersebut. Sumbatan dan peradangan pada tuba eustachius merupakan faktor utama terjadinya otitis media. Otitis Media merupakan penyakit kedua umum anak – anak setelah infeksi saluran pernapasan atas. Pada anak – anak, semakin seringnya terserang infeksi saluran pernapasan atas, kemungkinan otitis media akut juga semakin besar. Dan pada bayi terjadinya Otitis Media dipengaruhi karena tuba eistachiusnya pendek, lebar dan letaknya horizontal. (1,2)

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan infeksi kronik di telinga tengah yang menjadi salah satu penyebab utama tingginya prevalensi ketulian di Indonesia. Hasil dari sebuah episode awal otitis media akut (OMA) dengan gejala adanya perforasi membran timpani dengan keluarnya cairan berulang. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, sekitar 65-330 juta orang di dunia menderita OMSK disertai dengan otorea, 60% diantaranya (39-200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan. Sedangkan prevalensi OMSK di Indonesia secara umum adalah 3,9% dan Indonesia masuk dalam daftar negara dengan prevalensi OMSK tinggi. (1,3)


(17)

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2005 memperkirakan sejumlah 205 juta penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran dan angka ini meningkat di tahun 2005 menjadi 278 juta (4,6%) dengan gradasi pendengaran sedang dan berat. Dari WHO Multicenter Study tahun 1998, Indonesia menduduki nomer 4 (4,6%) setelah Sri Lanka, Myanmar dan India. Berdasarkan hasil Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran yang dilaksanakan di 7 provinsi pada tahun 1993-1994 prevalensi gangguan pendengaran adalah: Infeksi telinga tengah (3,1%). Morbiditas terbanyak telinga tengah adalah Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) tipe jinak (3,0%) dan paling tinggi pada kelompok usia sekolah (7-18 tahun). Umunya OMSK tipe jinak juga disertai gangguan pendengaran. (4,5,6)

Biasanya pada penderita OMSK didapatkan tuli konduktif. Ini merupakan penyebab tersering gangguan pendengaran pada usia sekolah. Tuli konduktif yang jarang melebihi 35 dB seringkali ditemukan pada pemeriksaan audiometri. Di Indonesia, OMSK merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan tuli konduktif permanen. Tetapi ada pula yang daidapatkan tuli sensorineural. Beratnya ketulian tergantung dari besarnya perforasi dan letak perforasi pada membran timpani. Pada penelitian yang dilakukan Azevedo et al pada tahun 2007, ambang pendengaran rata – rata pada telinga dengan OMSK adalah 40 dB dan 22 dB pada telinga kontralateral. (5,7,8)

Berdasarkan data yang telah dipaparkan tersebut tentang penyakit OMSK yang pada umumnya penyebab tersering terjadinya gangguan pendengaran di negara berkembang dan salah satunya Indonesia, maka peneliti ingin melakukan penelitian untuk melihat gambaran audiologi pada pasien OMSK di RSUP Fatmawati serta gambaran kejadiannya berdasarkan jenis OMSK, usia, jenis kelamin, riwayat infeksi saluran pernapasan atas dan riwayat alergi.


(18)

3

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimanakah gambaran audiologi pada penderita Otitis Media Supuratif Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati tahun 2012-2014?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

 Untuk mengetahui gambaran audiologi pada penderita Otitis Media Supuratif Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati tahun 2012-2014.

1.3.2 Tujuan Khusus

 Untuk mengetahui sebaran tipe Otitis Media Supuratif Kronik pada penderita Otitis Media Supuratif Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati tahun 2012-2014.

 Untuk mengetahui sebaran derajat ketulian pada penderita Otitis Media Supuratif Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati tahun 2012-2014.

 Untuk mengetahui sebaran tipe ketulian pada penderita Otitis Media Supuratif Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati tahun 2012-2014.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi peneliti

 Dapat menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama mengikuti pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 Menambah pengalaman melakukan penelitian terutama dalam bidang kesehatan.


(19)

1.4.2 Manfaat bagi instansi terkait

 Dapat diketahui bagaimana gambaran audiologi pada penderita Otitis Media Supuratif Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati tahun 2012-2014.

 Penelitian ini dapat menjadi data dasar khususnya di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati tahun 2012-2014. 1.4.3 Manfaat bagi masyarakat

 Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai gangguan pendengaran pada penderita Otitis Media Supuratif Kronik.


(20)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Landasan Teori

2.1.1 Anatomi Telinga Tengah

Telinga merupakan organ pendengaran dan juga keseimbangan. Telinga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah atau cavum timpani dan telinga dalam atau labyrinthus. (1,9)

2.1.1.1 Membran Timpani

Membran timpani atau gendang telinga adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara, berbentuk bulat dengan diameter kurang lebih 1 cm. Terletak miring, menghadap kebawah, depan dan lateral. Permukaannya konkaf ke lateral, pada bagian dasar cekungannya terdapat lekukan kecil yang disebut umbo. Pada bagian pinggirnya tebal dan melekat didalam alur dalam tulang. Alur itu adalah saculus tympanicus, bagian atasnya berbentuk incisura. Dari sisi – sisi incisura berjalan dua plica, plica malearis anterior dan posterior. Daerah segitiga kecil pada membran timpani yang dibatasi oleh plica – plica disebut pars flaccida. Bagian lainnya disebut pars tensa. (7,9)

Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian terbesar dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut promontorium, yang disebabkan oleh lengkungan pertama cochlea yang berada dibawahnya. Bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas sampai melalui batas membran timpani. Membran timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis dibagian luar, lapisan fibrosa dibagian tengah dimana tangkai maleus diletakkan, dan lapisan mukosa pada bagian dalam. Membran timpani sangat peka terhadap nyeri dan permukaan luarnya dipersarafi olen n. auriculotemporalis dan ramus auricularis n. vagus. (7,9)


(21)

Gambar 2.1. Bagian Telinga Luar dan Tengah Kanan

2.1.1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis (Gambar 2.2) yang dilapisi oleh membrana mucosa. Ruang ini berisi tulang – tulang pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani (gendang telinga) ke perilympha telinga dalam. Cavum timpani berbentuk celah sempit yang miring, dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran timpani. Di depan, ruang ini berhubungan dengan nasopharynx melalui tuba auditiva dan di belakang dengan antrum mastoideum. (9)

Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior, dinding lateral, dinding medial. (9)


(22)

7

Gambar 2.2. Telinga Dalam dan Tulang – Tulang Pendengaran Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang, yang disebut tegmen tympani, yang merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis (Gambar 2.2 dan 2.3). Lempeng ini memisahkan temporalis otak di dalam fossa cranii media. Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang disebelah superolateral menjadi sinus sigmodeus dan lebih ke tengah


(23)

menjadi sinus transversus. Lantai dibentuk di bawah oleh lempeng tipis tulang, yang mungkin tidak lengkap dan mungkin sebagian diganti oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini memisahkan cavum tympani dari bulbus superior V. jugularis interna (Gambar 2.3). (7,9)

Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang memisahkan cavum timpani dari a. carotis interna (Gambar 2.3). Pada bagian atas dinding anterior terdapat muara dari dua buah saluran. Saluran yang lebih besar dan terletak lebih bawah menuju tuba auditiva. Dan yang terletak lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam saluran untum m. tensor timpani (Gambar 2.2). Septum tulang tipis, yang memisahkan saluran – saluran ini diperpanjang ke belakang pada dinding medial, yang akan membentuk tonjolan mirip selat. (7,9)

Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fosa kranii media. Pada bagian atas dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang tidak beraturan, yaitu aditus ad antrum tulang mastoid dan dibawahnya adalah saraf fasialis (Gambar 2.2 dan 2.3). Di bawah ini terdapat penonjolan yang berbentuk kerucut, sempit, kecil, disebut pyramis. Dari puncak pyramis ini keluar tendo m.stapeidus. (7,9)

2.1.1.3 Tuba Eustachius

Tuba eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring yang berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani. (7) Ketika tekanan seimbang, membran timpani bergetar secara bebas sebagai gelombang suara. Jika tekanan tidak menyamakan kedudukan, rasa sakit ditelinga, dan vertigo bisa terjadi. Tabung pendengaran juga merupakan rute untuk patogen untuk melakukan perjalanan dari hidung dan tenggorokan ke telinga tengah, menyebabkan berbagai infeksi umum pada telinga. (10)

Bagian lateral tuba eustachius adalah tulang, sedangkan dua pertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. (7) Tuba Biasanya tertutup, dapat membuka ketika kita menelan dan menguap sehingga memungkinkan


(24)

9

udara masuk atau meninggalkan telinga tengah sampai tekanan di telinga tengah sama dengan tekanan atmosfer. (10)


(25)

2.1.1.4 Ossicula Auditus (Tulang – Tulang Pendengaran)

Ossicula auditus adalah malleus, incus, dan stapes (Gambar 2.2 dan 2.3). Maleus merupakan tulang pendengaran terbesar dan terdiri atas caput, collum, processus longum atau manurium, sebuah processus anterior dan processus lateralis. Caput mallei berbentuk bulat dan bersendi di posterior dengan incus. Collum mallei adalah bagian dibawah caput. Manubrium mallei berjalan ke bawah dan belakang dan melekat dengan permukaan medial membran timpani. Incus mempunyai corpus yang besar dan dua crus. Corpus incudis berbentuk bulat dan besrsendi anterior dengan caput mallei. Crus longum berjalan ke bawah dibelakang dan sejajar dengan manubrium mallei. Sedangkan crus breve menonjol ke belakang dan diletakkan pada dinding posterior cavum timpani. (9)

Stapes mempunyai caput, collum, dua lengan dan juga sebuah basis. Caput stapedis kecil dan bersendi. Sedangkan collum berukuran sempit dan merupakan tempat insersio m.stapedius. Kedua lengan melekat pada basis yang lonjong. Pinggir basis diletakkan pada pinggir fenestra vestibuli oleh sebuah cincin fibrosa yang disebut ligamentum annulare. (9)

2.1.2 Fisiologi telinga

Fungsi telinga sebagai alat pendengaran adalah menangkap dan mendengar bunyi-bunyi yang datang dari eksternal, dan sebagai alat keseimbangan. Bunyi yang datang berupa gelombang atau getaran dihantarkan udara ditangkap oleh daun telinga. Getaran tersebut masuk ke meatus akustikus eksternus dan menggerakkan membran timpani, gelombang tersebut diteruskan ke telinga tengah melalui tulang-tulang pendengaran yang akan mengamplifikasikan getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah dimaplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran


(26)

11

diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membrane basilaris dan membrane tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi streosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius atau saraf pendengaran yang melekat padanya. Lalu disinilah gelombang suara mekanis diubah mejadi energi elektrokimia agar dapat ditansmisikan melalui saraf kranialis VIII, dilanjutkan ke nucleus auditorius, sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis. (1,7,5)

2.1.3 Otitis Media Supuratif Kronik

Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah infeksi kronik telinga tengah dan rongga mastoid disertai perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret bisa encer, kental, benting atau berupa nanah. (1,3)

OMSK dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu OMSK tipe benigna (tipe aman) dan OMSK tipe maligna (tipe bahaya). Berdasarkan aktifitas sekret yang keluar, bisa dikenal juga sebagai OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif disertai sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang adalah yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering. (1,3)

2.1.3.1 Tanda dan Gejala

OMSK berati adanya pengeluaran sekret dari telinga. Umunya otorrhe pada OMSK bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung stadium peradangannya. Sekret yang mukus diakibatkan oleh aktivasi kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu – abu kotor memberi kesan kolesteatoma. (7) Pada penelitian yang dilakukan oleh U Nnebe-agumadu,


(27)

et al (2011) didapatkan hasil Pseudomonas sebesar 57,4%, Klebsiella 16,4%, dan spesies Proteus 11,5%. (11)

2.1.3.1.1 OMSK Tipe Benigna

Gejalanya bisa berupa discharge mukoid yang tidak terlalu berbau busuk, discharge mukoid dapat konstan atau intermitten. Discharge terlihat berasal dari rongga timpani dan orifisium tuba eustachius yang mukoid ada setelah satu atau dua kali pengobatan local bau busuk berkurang. Gangguan pendengaran konduktif selalu didapatkan pada pasien dengan derajat ketulian tergantung beratnya kerusakan tulang pendengaran dan koklea selama infeksi nekrotik akut pada awal penyakit. (1,7)

Perforasi membrane timpani sentral sering ditemukan berbentuk seperti ginjal, tapi selalu meninggalkan sisa pada bagian tepinya. Proses peradangan pada daerah timpani terbatas pada mukosa, sehingga membrane mukosa menjadi berbentuk garis dan tergantung derajat infeksi dari membrane mukosa dapat tipis dan pucat atau merah dan tebal, kadang disertai polip tetapi mukoperiosteum yang tebal dan mengarah pada meatus menghalangi pandangan membrane timpani dan telinga tengah sampai polip tersebut diangkat. Cairan mukus yang tidak terlalu bau dari perforasi tipe sentral dengan membrane mukosa yang berbentuk garis pada rongga timpani merupakan diagnosa khas pada OMSK benigna. (1,7)

2.1.3.1.2 OMSK Tipe Maligna Dengan Kolesteatoma

Sekret pada infeksi dengan kolesteatom beraroma khas, sekret yang sangat bau dan berwarna kuning abu-abu, kotor purulen dapat juga terlihat keeping-keping kecil, berwarna putih mengkilat. (1,7)

Gangguan pendengaran tipe konduktif timbul akibat terbentuknya kolesteatom bersamaan juga karena hilangnya alat


(28)

13

penghantar udara pada otitis media nekrotikans akut. Selain tipe konduktif dapat pula tipe campuran karena kerusakan pada koklea yaitu karena erosi pada tulang-tulang kanal semisirkularis akibat osteolitik kolesteatom. (1,7)

Kolesteatoma merupakan suatu kista epitel yang berisi deskuamasi dari epitel. Deskuamasi ini terbentuk terus menerus sehingga menumpuk dan kolesteatoma bertambah besar. Bebrapa teori tentang patogenesis yang dikemukakan oleh para ahli yaitu teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi dan teori implantasi. Kolesteatoma ini merupakan media yang baik untuk bertumbuhnya kuman, dan yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas. Masa kolesteatoma akan menekan dan mendesak organ yang berada disekitarnya serta dapat menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Proses nekrosis terhadap tulang yang akan mempermudah terjadinya komplikasi berupa labirinitis, meningitis dan abses otak. (1,7)

Dengan demikian, OMSK maligna dapat ditegakkan melalui anamnesis berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan THT terutama pemerilksaan otoskopi untuk melihat letak perforasi dan ada atau tidaknya kolesteatoma. Pemeriksaan penala merupakan pemeriksaan sederhana untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Apabila diperlukan, maka pemeriksaan penunjang dapat dilakukan. (1)

2.1.3.2 Faktor risiko

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain. Faktor risiko OMSK antara lain lingkungan, genetik, otitis media sebelumnya, infeksi saluran nafas atas, autoimun, alergi, gangguan fungsi tuba eustachius. (12)


(29)

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada OMSK adalah infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi sekret telinga purulen berlanjut, obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada perforasi, beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi epitel, pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan dari perforasi. Sedangkan beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK bisa karena terapi yang lambat diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah atau higiene buruk. (1)

2.1.3.3 Patogenesis

OMSK hampir selalu timbul sebagai kelanjutan dari infeksi akut yang berulang. Diawali dengan inflamasi pada mukosa telinga tengah. Respon inflamasi menyebabkan edema mukosa. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari Otitis Media. Karena fungsi tuba eustachius terganggu, maka pencegahan invasi kuman ke telinga tengah juga terganggu, sehinga kuman masuk kedalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Proses peradangan yang berlangsung akan menyebabkan ulserasi mukosa dan bila terbentuk pus maka akan terperangkap didalam kantong mukosa telinga tengah. Kerusakan epitel sehingga menghasilkan jaringan granulasi yang dapat terus berlanjut, menyebabkan kerusakan tulang di sekitarnya dan akhirnya menyebabkan berbagai komplikasi pada OMSK. Infeksi yang terjadi juga bisa berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani, maka terjadilah inflamasi. Walaupun belum terbukti, diduga bakteri anaerob dengan bakteri aerob pada OMSK akan meningkatkan virulensi infeksi ketika kedua jenis bakteri tersebut berkembang ditelinga tengah. (1)


(30)

15

Dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Pada

primary acquired cholesteatoma tidak ditemukan riwayat penyakit otitis

media atau perforasi membran timpani sebelumnya. Kolesteatom ini timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat disfungsi tuba. Sedangkan pada secondary acquired cholesteatoma, kolesteatom yang terbentuk setelah adanya perforasi membran timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah atau terjadi akibat metaplasi mukosa cavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama. (1)

2.1.3.4 Letak perforasi

Letak perforasi membran timpani penting untuk menentukan tipe OMSK. Perforasi membran timpani dapat ditemukan didaerah sentral, marginal atau atik. Oleh karena itu disebut perforasi sentral, marginal atau atik. Pada perforasi sentral terdapat di pars tensa, bisa anterior-inferior, posterior-inferior dan posterior-superrior, kadang su total, tetapi diseluruh tepi perforasi masih ada sisa membran timpani. Perforasi marginal sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau sakulus timpanikum. Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi pada pinggir posterior-superior berhubungan dengan kolesteatom. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total Sedangkan perforasi atik adalah perforasi yang letaknya di pars flaksida. (1)

2.1.3.5 Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi OMSK mulai dari gangguan pendengaran yang ringan sampai yang mengancam seperti infeksi intrakranial. komplikasi


(31)

Intratemporal termasuk kelumpuhan saraf wajah, labyrinthitis, fistula labirin, mastoiditis, subperiosteal abses, fistula postauricular, dan petrositis. Jika infeksi menyebar di luar batas-batas tulang temporal, komplikasi intrakranial seperti abses epidural, subdural, tromboflebitis sinus lateral, meningitis, dan abses otak dapat terjadi. (13) OMSK tipe benigna tidak menyerang tulang, sehingga jarang menimbulkan komplikasi. Tapi jika tidak mencegah invasi organisme baru dari nasofaring, maka dapat menjadi superimpose Otitis Media Supuratif Akut Eksaserbsi akut dapat menimbulkan komplikasi dengan terjadinya tromboplebitis vaskuler. (1,7)

Komplilasi sering terjadi pada OMSK tipe maligna karena adanya kolesteatom. Komplikasi dimana terbentuknya kolesteatom berupa : (1,7)

1. Erosi canalis semisirkularis 2. Erosi canalis tulang

3. Erosi segmen timpani dan abses ekstradural

4. Erosi pada permukaan lateral mastoid dengan timbulnya abses subperiosteal

5. Erosi pada sinus sigmoid

Menurut hasil penelitian Hasniah et al (2013) (9), distribusi penyakit OMSK berdasarkan komplikasi tersering didapatkan komplikasi terbanyak adalah erosi tulang, sedangkan komplikasi terkecil adalah tuli saraf. Pencetus terjadinya komplikasi ini otitis adalah infeksi saluran pernaasan atas (ISPA). Akibatnya terjadi sumbatan tuba eustachius.

2.1.4 Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran mungkin ringan ataupun sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun adanya kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 dB. (10) Gangguan pendengaran dapat mempengaruhi satu telinga saja (unilateral) atau


(32)

17

mempengaruhi dua telinga (bilateral). Gangguan pendengaran akibat lingkungan seperti kebisingan, kimia dan penuaan umumnya terjadi secara bilateral dan simetris. Gangguan pendengaran akibat infeksi, gondok dan tumor akustik biasanya unilateral dan asimetris. (16) Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin foramen rotundum atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kohlea. (10)

Gangguan pendengaran pada telinga, baik telinga luar, telinga tengah maupun telinga dalam, dapat menyebabkan ketulian. Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural, dan tuli campur. Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif. Sedangkan gangguan pada telinga dalam dapat menyebabkan tuli sensorineural. (1) Dari hasil penelitian Lasisi AO1 et al (2011) (11) prevalensi gangguan pendengaran pada OMSK tipe konduktif sebesar 82% dan sensorineural 18%.

1. Tuli konduktif

Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantara melalui udara yang disebabkan oleh penyakit atau kelainan ditelinga luar atau telinga tengah, seperti serumen, sumbatan tuba Eustachius, radang telinga tengah, benda asing ditelinga, tumor jinak. (1,10)

Gangguan pendengaran konduktif karena infeksi akut biasanya diobati dengan obat antibiotik atau antijamur. Infeksi kronis telinga, cairan tengah kronis, dan tumor biasanya memerlukan operasi. Pada gangguan pendengaran konduktif akibat kongenital atau kegagalan saluran telinga untuk terbuka pada saat lahir, malformasi, atau disfungsi struktur telinga tengah, yang semuanya mungkin dapat


(33)

dikoreksi melalui pembedahan. Jika dengan pembedahan tidak berhasil, maka sebagai alternatif dapat diperbaiki menggunakan amplifikasi dengan alat bantu dengar, atau pembedahan implant, osseointegrasi (misalnya, Baha atau Ponto System), atau alat bantu dengar konvensional, tergantung pada status dari saraf pendengaran pasien. (10)

2. Tuli sensorineural

Tuli sensorineural merupakan gangguan pendengaran akibat kelainan yang bisa terdapat pada telinga bagian dalam, trauma kepala atau perubahan mendadak dalam tekanan udara seperti di pesawat, bisa juga dipusat pendengaran itu sendiri atau saraf pendengaran sehingga dikenal juga sebagai gangguan pendengaran saraf. (1,10)

Gangguan pendengaran sensorineural dapat disebabkan oleh trauma akustik (atau paparan terhadap suara keras yang berlebihan). Untuk mengurangi pembengkakan dan peradangan pada sel rambut koklea dan untuk memperbaiki struktur telinga bagian dalam yang terluka, sebagai terapi medis dapat diberikan kortikosteroid. Begitu juga dengan gangguan pendengaran sensorineural akibat autoimun diberikan kortikoseroid jangka panjang. Gangguan pendengaran sensorineural dapat terjadi akibat trauma kepala atau perubahan mendadak dalam tekanan udara seperti di pesawat, yang dapat menyebabkan cairan telinga bagian dalam pecah atau mengalami kebocoran, dapat dilakukan operasi. Bentuk paling umum dari gangguan pendengaran, dapat dikelola dengan alat bantu dengar. Ketika alat bantu dengar tidak cukup, dapat diobati dengan pembedahan implan koklea. (10)

3. Tuli campuran

Pada tuli campur, mengacu pada kombinasi dari tuli konduktif dan tuli sensorineural. Tuli campur dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada telinga luar atau telinga tengah dan telinga dalam


(34)

19

(koklea) atau saraf pendengaran. Misalnya radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga bagian dalam. (1,10)

Audiolog Mark Ross, Ph.D. mengatakan, dalam gangguan pendengaran campuran, menganjurkan untuk mengurus komponen konduktif terlebih dahulu, karena ada saat – saat ketika penambahan komponen konduktif membuat pasien akan mendengar lebih baik. Sedangkan komponen sensorineural, dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran pada frekuensi yang lebih tinggi. (10)

2.1.5 Pemeriksaan Pendengaran 2.1.5.1 Tes penala

Penala terdiri dari 5 buah dengan frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz dan 2048 Hz. Secara fisiologi, telinga dapat mendengar nada antara 20 – 18.000 Hz. Pada pendengaran sehari – hari paling efektif biasanya antara 500 – 2000 Hz. Maka dari itu, untuk pemeriksaan pendengaran biasanya dipakai garputala 512 Hz, 1024 Hz dan 2048 Hz. Terdapat berbagai macam tes penala, seperti tes Rinne, tes weber, tes Swabach, tes Bing dan tes Stenger. (1,7)

Tes Rinne untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang akan diperiksa. Penala digetarkan dan diletakkan di prosessus mastoid, setelah tidak terdengar, selanjutnya penala di pindahkan di depan telinga. Bila masih terdengar, tes Rinne postitif, bila sudah tidak terdengar, maka tes Rinne negatif. (1,7)

Tes Weber adalah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan. Penala digetarkan dan diletakkan di garis tengah kepala (dahi, pangkal hidung, ditengah – tengah gigi seri atau dagu). Bila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga, maka disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila bunyi tidak dapat terdengar, maka disebut Weber tidak ada lateralisasi. (1,7)

Tes Swabach adalah membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Penala


(35)

digetarkan dan diletakkan pada prosessus mastoid sampai bunyi tidak terdengar lagi. Lalu penala dipindahkan pada prosessus mastoid telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Jika pemeriksa masih bisa mendengar, maka Swabach disebut memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara yang sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosessus mastoid pemeriksa terlebih dahulu. Jika pasien masih bisa mendengar bunyi tersebut, maka Swabach disebut memanjang dan jika pasien dengan pemeriksa sama – sama mendengar, maka Swabach disebut sama dengan pemeriksa. (1,7)

Tabel 2.1 Hasil Tes Penala (1)

Tes Rinne

Tes Weber Tes Swabach Diagnosis

Positif Tidak ada lateralisasi

Sama dengan pemeriksa

Normal

Negatif Lateralisasi ke telinga yang sakit

Memanjang Tuli

konduktif

Postitif Lateralisasi ke telinga yang sehat

Memendek Tuli

sensorineural

2.1.5.2 Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah suatu alat elektronik yang menghasilkan bunyi yang relatif bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan nada, maka dari itu disebut nada “murni”. Pada pemeriksaan ini perlu diperhatikan seperti nada murni, bising NB (narrow band) dan WN (white noise), frekuensi, intensitas bunyi, ambang dengar, nilai nol audiometrik, standar ISO, ASA, notasi pada audiogram, jenis dan derajat ketulian, gap dan masking. (1) Menurut hasil penelitian Azevedo et al


(36)

21

(2007) (8), pada penderita OMSK didapatkan ambang rata-rata pendengaran adalah 40 dB ditelinga yang sakit dan 22 dB pada telinga yang normal. Sedangkan dalam penelitian Kolo (2011) (12) ambang rata – rata bone conduction di telinga yang sakit adalah 39,07 dB dan 10.26 dB di telinga yang terkontrol. Berdasarkan audiogram, kita dapat melihat apakah pendengaran normal atau tuli. Dalam menentukan derajat ketulian yang dihitung hanya ambang dengar dari hantaran udaranya atau air

conduction nya saja. Derajat ketulian berdasarkan ISO. (1)

0 – 25 dB : Normal >25 – 40 dB : Tuli ringan >40 – 55 dB : Tuli sedang >55 – 70 dB : Tuli sedang berat >70 – 90 dB : Tuli berat

>90 dB : Tuli sangat berat

Sering kali seseorang memiliki derajat gangguan pendengaran yang berbeda pada frekuensi yang berbeda. Misalnya pada pendengaran yang normal dalam frekuensi yang rendah, secara bertahap sensitivitas memburuk di frekuensi tinggi. Hal ini terkait dengan usia dan kebisingan. Berdasarkan The American Speech-Language Hearing Association, klasfikasi ambang pendengaran rata – rata pada 1000 Hz, 2000 Hz, 3000 Hz dan 4000 Hz. Atau lainnya 500 Hz, 1000 Hz, dan 2000 Hz. (16)


(37)

2.2 Kerangka Teori

2.3 Kerangka Konsep Faktor risiko: 1. Gangguan fungsi tuba 2. ISPA 3. Alergi 4. Lingkungan 5. Sosial ekonomi 6. Otitis Media

sebelumnya

Pemeriksaan audiologi

Jenis tuli:

1. Tuli konduktif 2. Tuli

sensorineural 3. Tuli campur Otitis Media Supuratif Kronik OMSK Benigna OMSK Maligna Disfungsi tuba eustachius, inflamasi Retraksi membran timpani kronik Perforasi sentral Terbentuk kantong membran timpani Terbentuk kolesteatoma Terisi deskuamasi sel keratin Perforasi marginal/atik Pada mukosa, tidak mengenai tulang Jenis ketulian Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Tipe OMSK Gambaran Audiologi Derajat ketulian


(38)

23

2.4 Definisi Operasional

Tabel 2.2 Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Kategori Skala Satuan

Ambang dengar Bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi terntentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Audiometri. Dengan meghitung rerata ambang dengar dengan:

Audiogram Interval dB

Tipe ketulian

Tuli dibagi atas tuli: 1. Tuli konduktif, gangguan hantaran suara yang disebabkan oleh kelainan ditelinga luar atau tengah 2. Tuli sensorineural, kelainan yang terdapat pada koklea, n.VIII atau dipusat pendengaran 3. Tuli campur, disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan sensorineural Penala:

1.Tuli konduktif - Tes rinne:

(+)/(-) - Tes weber:

lateralisasi ke telinga yang sakit 2.Tuli

sensorineural - Tes rinne:

(+) - Tes weber:

lateralisasi ke telinga yang sehat Audiometri 1.Tuli konduktif: - BC normal

atau < 25dB - AC >25dB - Antara AC

dan BC terdapat gap 2.Tuli

Penala dan Audiogram

1. Tuli konduktif 2. Tuli

sensorineural 3. Tuli campur


(39)

sensorineural: - AC dan BC

>25dB - AC dan BC

tidak ada gap 3.Tuli campur:

- BC >25dB - AC > BC,

terdapat gap

Tes Rinne Tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa 1. Positif 2. Negatif

Penala 1. Positif: Normal/tuli sensorineural 2. Negatif: tuli

konduktif Nominal Tes Weber Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dangan telinga kanan

1. Tidak ada lateralisasi 2. Lateralisasi ke

telinga yang sakit

3. Lateralisasi ke telinga yang sehat

Penala 1. Tidak ada lateralisasi: Normal 2. Lateralisasi ke

telinga yang sakit: tuli konduktif 3. Lateralisasi ke

telinga yang sehat: tuli sensorineural Nominal Derajat tuli Keparahan tuli berdasarkan derajat penurunan pendengaran

Rekam medis Audiogram 1.0 – 25 dB : Normal

2. >25 – 40 dB : Tuli ringan

3. >40 55 dB :

Tuli sedang

4. >55 70 dB :

Tuli sedang berat

5. >70 90 dB :

Tuli berat

6. >90 dB : Tuli

sangat berat1

Ordinal


(40)

25

yang telah ditempuh oleh subjek penelitian dari sejak tahun kelahiran sampai tahun

pengambilan data, ditunjang oleh tanggal, bulan dan tahun kelahiran. tahun dilakukan pemeriksaan dikurangi tahun lahir, bulan dilakukan pemeriksaan dikurangi bulan lahir. Jika < 6 bulan maka dibulatkan kebawah, jika > 6 bulan maka dibulatkan keatas. medis Jenis kelamin Perbedaan karakteristik fisik pada manusia berdasarkan struktur dan fungsi organ reproduksi, dibedakan menjadi jenis kelamin pria atau wanita. Sesuai yang tertulis dalam rekam medis Rekam medis

1. Laki – laki 2. Perempuan Nominal Riwayat ISPA Merupakan penyakit infeksi saluran napas atas, meliputi organ saluran pernapasan, hidung, sinus, faring atau laring yang disebabkan oleh virus.

Dilihat jumlah riwayat ISPA dalan waktu 1 tahun terakhir.

Rekam medis

1. Ada 2. Tidak ada 3. Tidak ada keterangan

Interval

Alergi Reaksi

hipersensitifitas imunologi yang mengakibatkan peradangan Sesuai yang tertulis dalam rekam medis Rekam medis 1. Ada 2. Tidak ada 3. Tidak ada keterangan Nominal Tipe OMSK Otitis media supuratif kronik

Dilihat dari letak perforasi dan ada

Rekam medis

1. OMSK tipe benigna


(41)

(OMSK) ialah infeksi kronik telinga tengah disertai perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul

atau tidaknya kolesteatoma

2. OMSK tipe maligna


(42)

27 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif dan pendekatannya menggunakan cross sectional, dengan pengambilan data dari rekam medis pasien yang terdiagnosa menderita Otitis Media Supuratif Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati tahun 2012-2014.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian : Instalasi Rekam Medik RSUP Fatmawati Waktu penelitian :

Persiapan : Juli 2014

Pelaksanaan : September 2014 Penyusunan : Oktober 2014

3.3 Populasi Penelitian

Telinga pada pasien yang didiagnosis sebagai penderita Otitis Media Supuratif Kronik yang datang ke Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP Fatmawati tahun 2012-2014.

3.4 Jumlah Sampel

Karena tidak ada penelitian sebelumnya, maka proporsi kategori vaiabel yang diteliti atau P, ditetapkan 50% (0,50) dan didapatkan jumlah sampel dengan rumus sebagai berikut:


(43)

Rumus:

Berdasarkan rumus besar sampel diatas, maka jumlah telinga minimum yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 96 telinga. Untuk mengantisipasi terjadinya bias, maka jumlah sampel ditambahkan 10% dari besar sampel.

N = 96 + 9,6 = 105,6 ≈ 106

Maka jumlah sampel yang diambil untuk penelitian adalah 106 telinga. Sedangkan jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 68 telinga dari 100 populasi yang didapatkan dari hasil kriteria inklusi dan ekslusi.

Keterangan:

N = Jumlah populasi n = Besar sampel

Zα = Adalah derivat baku alfa (biasanya 95%=1,96)

P = Adalah proporsi kategori vaiabel yang diteliti ditetapkan 50% (0,50)

d = Presisi/derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan 10% (0,10)

Q = Adalah 1 – P 3.5 Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel menggunakan rumus jumlah sampel dan melakukan pengambilan sampel menggunakan data rekam medis penderita Otitis Media Supuratif Kronik dengan metode consecutive sampling sampai sampel memenuhi jumlah minimal sampel. Semua sampel yang memenuhi kriteria pemilihan akan dimasukkan ke dalam penelitian.


(44)

29

3.6 Kriteria Sampel

3.6.1 Kriteria Inklusi:

- Telinga pada pasien Otitis Media Supuratif Kronik yang sudah terdiagnosa di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok di RSUP Fatmawati.

- Informasi telinga pada pasien Otitis Media Supuratif Kronik tercatat di rekam medis.

- Telinga pada pasien Otitis Media Supuratif Kronik yang dilakukan pemeriksaan Audiometri.

3.6.2 Kriteria Eksklusi

- Data yang diperoleh dari rekam medis tidak lengkap.

3.7 Cara Kerja Penelitian

3.7.1 Izin penelitian

Mengurus perizinan untuk melakukan penelitian di RSUP Fatmawati.

3.7.2 Jenis Data

Jenis data yang diambil merupakan data sekunder, yaitu data yang sudah ada sebelumnya yang kemudian akan diolah. 3.7.3 Cara pengumpulan data

Pengambilan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan mengambil data dari buku catatan penderita Otitis Media Supuratif Kronik di RSUP Fatmawati.

3.7.4 Alat pengumpulan data

Alat yang digunakan sebagai pengumpulan data adalah rekam medis penderita Otitis Media Supuratif Kronik.


(45)

3.7.5 Alur penelitian

3.8 Variabel Penelitian

1. Tipe OMSK 2. Tipe ketulian 3. Derajat ketulian 4. Usia

5. Jenis kelamin 6. Ambang dengar

7. Riwayat infeksi saluran pernapasan atas 8. Alergi

Pengolahan Data

Telinga pada pasien Otitis Media Supuratif Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok RSUP

Fatmawati

Perizinan

Pengumpulan data dari rekam medis

Penyajian Data Lolos Tim Kaji Etik Penelitian Kesehatan


(46)

31

3.9 Manajemen Data

3.9.1 Teknik Pengumpulan Data

Data dicari melalui pengumpulan rekam medis penderita Otitis Media Supuratif Kronik di RSUP Fatmawati. 3.9.2 Pengolahan Data

Data dimasukan kedalam komputer melalui data entry pada program SPSS 16 yang sebelumnya dilakukan coding terlebih dahulu untuk mengklasifikasikan data sesuai kategori kemudian dilakukan verifikasi.

3.9.3 Analisis Data

Data dianalisis menggunakan analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian ini berupa distribusi dan presentase pada setiap variabel meliputi tipe ketulian, usia, jenis kelamin, riwayat infeksi saluran pernapasan atas dan alergi.

3.9.4 Rencana Penyajian Data

Penyajian data akan dilakukan dalam bentuk narasi, teks, table dan diagram.

3.9.5 Interpretasi Data

Data yang diperoleh diinterpretasikan secara deskriptif. 3.9.6 Pelaporan Hasil Penelitian

Hasil penelitian dibuat dalam bentuk makalah laporan penelitian yang dipresentasikan dihadapan staff pengajar Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(47)

3.10 Etika Penelitian

Ethical clearance untuk penelitian ini diajukan ke Panitia Etik

Penelitian Kedokteran FKIK UIN Syarif Hidayatullah dan Tim Kaji Etik Penelitian Kesehatan RSUP Fatmawati. Semua data yang didapat dari rekam medis yang dipergunakan akan dijaga kerahasiaannya.


(48)

33 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Pasien

Pada penelitian ini, direncanakan jumlah sampel 106 pasien, tetapi berdasarkan penelusuran kembali melalui rekam medis, pasien OMSK di RSUP Fatmawati tahun 2012-2014 hanya terdapat 34 pasien yang dapat diperiksa kedua sisi telinga. Seluruh pasien yang dimasukan dalam penelitian ini adalah pasien yang akan dilakukan operasi telinga mikro. Karakteristik pasien pada penelitian ini sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Keadaan Telinga dan Riwayat Penyerta

Variabel Total Subjek

N= 34 (%) (N= 68 Telinga) Jenis kelamin

Laki – laki 20 (58,8)

Perempuan 14 (41,2)

Usia (tahun) 24 (6-58)

<20 tahun 13 (38,2) 20-40 tahun 14 (41,2) >40 tahun 7 (20,6) Keadaan Telinga (N= 68 telinga)

OMSK Maligna 37 (54,4) OMSK Benigna 10 (14,7) Tanpa perforasi 21 (30,9) Letak

Bilateral 13 (38,2)

Unilateral 21 (61,8) ISPA

Ada 0

Tidak ada 11 (32,4)

Tidak ada keterangan 23 (67,6) Alergi

Ada 0

Tidak ada 14 (41,2)


(49)

Pada penelitian ini, subjek penelitian terdiri atas 20 (58,8%) laki – laki dan 14 (41,2%) perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Neogi R et al (2011) (26) di India, insidensi jenis kelamin terbanyak pada kasus OMSK adalah laki – laki (58,8%). Pada penelitian yang dilakukan juga Oleh Hasniah et al (2013) (20) di RSU Labuang Baji Makassar, karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin menunjukkan laki-laki (51,1%) lebih banyak dibanding perempuan (48,9%). Begitu juga pada penelitian yang dilakukan oleh Razooqi et al (2012) (27) di Iraq, karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin menunjukkan laki-laki (52,8%) dan perempuan (47,2%). Hal ini dapat diartikan bahwa laki-laki maupun perempuan mempunyai risiko yang sama untuk menderita OMSK tipe benigna maupun tipe maligna. (15)

Kategori usia pada penelitian ini diperoleh nilai terendah pada usia 6 tahun dan nilai tertinggi pada usia 58 tahun dengan prevalensi tertinggi pada usia 20-40 tahun. Hal ini serupa pada penelitian Syafeefah (2010) (28) di RSUP H. Adam Malik Medan didapatkan insidensi tertinggi kasus OMSK pada usia >20 tahun. Begitu juga degan penelitian yang dilakukan oleh Wahyudiasih et al (2011) (15) sebanyak 45 kasus dengan rentang usia 8-52 tahun dan kejadian OMSK paling banyak dijumpai pada usia 21-30 tahun (28,8%).

Pada penelitian ini, berdasarkan keadaan telinga didapatkan bahwa OMSK tipe Maligna (54,4%) merupakan distribusi tertinggi lebih dibandingkan dengan OMSK tipe Benigna (14,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hasniah et al (2013) (20) di RSU Labuang Baji Makassar, OMSK tipe benigna sebanyak 27 orang (47,4%) dan tipe maligna sebanyak 20 orang (42,6%). Berbeda pula pada penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2010) (29) di Surakarta, dari 45 jumlah sampel, terdiri dari 8 pasien OMSK tipe bahaya, 16 pasien OMSK tipe jinak. Kerusakan osikel berhubungan cukup kuat dan signifikan dengan OMSK tipe benigna maupun maligna. Hal ini menunjukkan bahwa penderita OMSK tipe maligna cenderung mengalami kerusakan osikel daripada penderita tipe benigna. (15) Berdasarkan Tabel 4.1, didapatkan pasien


(50)

35

dengan OMSK unilateral 21 (61,8%) lebih tinggi dibandingkan dengan OMSK bilateral 13 (38,2%). Hal ini sesuai dengan penelitian Alabbasi et al (2010) (30) yang menunjukkan bahwa prevalensi pasien dengan OMSK unilateral (70%) lebih tinggi dibandingkan dengan pasien OMSK bilateral (30%).

Berdasarkan Tabel 4.1, dari 34 subjek penelitian, didapatkan sebanyak 32,4% tidak ada riwayat infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan didapatkan 41,2% pasien tidak memiliki riwayat alergi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Prianto (2010) (31) yang menunjukkan bahwa riwayat alergi/ISPA tidak berhubungan dengan jenis dan derajat kurang pendengaran. Namun tidak sesuai dengan beberapa penelitian yang mengatakan riwayat ISPA berulang, tidak tertanggulangi dengan baik dan riwayat alergi merupakan salah satu faktor risiko terbanyak yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah berlanjut menjadi kronik. Perbedaan terjadi kemungkinan diakibatkan ada faktor risiko lain yang mempengaruhi. Faktor yang mungkin berpengaruh adalah virulensi kuman dan sistem imun pasien. (32)

4.2 Karakteristik Pasien Berdasarkan Tipe Ketulian dan Derajat Ketulian Tabel 4.2 Karakteristik Pasien Berdasarkan Tipe Ketulian dan Derajat Ketulian

Variabel Telinga Tanpa

Perforasi N= 21 (%)

OMSK Benigna N= 10 (%)

OMSK Maligna N= 37 (%) Tipe Ketulian

Tuli Konduktif 3 (14,3) 5 (50) 16 (43,2)

Tuli Sensorineural 0 1 (10) 4 (10,8)

Tuli Campur 1 (4,8) 2 (20) 16 (43,2)

Normal 17 (81) 2 (20) 1 (2,7)

Derajat Ketulian

1. Normal 13 (61,9) 2 (20) 4 (10,8)

2. Tuli ringan 3 (14,3) 3 (30) 2 (5,4)

3. Tuli sedang 2 (9,5) 2 (20) 9 (24,3)

4. Tuli sedang berat 3 (14,3) 1 (10) 8 (21,6)

5. Tuli berat 0 2 (20) 9 (24,3)


(51)

Berdasarkan tipe ketulian pada penelitian ini, didapatkan 5 dari 10 telinga dengan OMSK benigna mengalami tuli konduktif, yang mana tuli konduktif merupakan tipe ketulian pada pasien dengan OMSK benigna, sedangkan pada telinga dengan OMSK maligna tipe ketulian yang paling tertinggi adalah tuli konduktif (43,2%) dan tuli campur (43,2%). Pada penelitian yang dilakukan oleh Lasisi AO1 et al (2011) (23) di Nigeria, prevalensi gangguan pendengaran yang paling tertinggi pada OMSK yaitu tipe konduktif sebesar 82%. Dan biasanya pada pasien OMSK didapatkan tuli konduktif. (7) Gangguan pendengaran tergantung dari derajat kerusakan yang terjadi pada tulang – tulang pendengaran. Gangguan pendengaran mungkin ringan, sekalipun proses patologi yang sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatoma, dapat menghambat bunyi. (21,33)

Derajat ketulian yang didapatkan dari hasil penelitian ini, yang paling tertinggi pada telinga dengan OMSK maligna adalah tuli sedang (24,3%) dan tuli berat (24,3%). Sedangkan pada telinga dengan OMSK benigna didapatkan tipe ketulian yang paling tertinggi adalah tuli ringan, 3 dari 10 telinga mengalami tuli ringan. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian di Bangladesh yang dilakukan oleh Shafiqul et al (2010) (34) didapatkan derajat ketulian paling tinggi adalah tuli sedang dengan rata – rata 54,54 dB pada telinga yang mengalami perforasi. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. (21)


(52)

37

4.3 Karakteristik Audiometri

Tabel 4.3.1. Karakteristik Audiometri Berdasarkan AC, BC dan Ambang Dengar

Variabel Telinga Tanpa

Perforasi N= 21

OMSK Benigna N= 10

OMSK

Maligna N= 37

AC (dB)

500 Hz 30 (15-75)* 51 ± 21,5 70,9 ± 25,3

1000 Hz 25 (15-85)* 45,5 ± 18,6 66,2 ± 26,9

2000 Hz 20 (10-65)* 40 ± 22,3 60,4 ± 31,4

4000 Hz 20 (10-70)* 30 (15-65)* 63,9 ± 30,3

Ambang dengar 22,5 (15-68)* 42,8 ± 19,9 65 ± 27,1

BC (dB)

500 Hz 10 (0-40)* 10 (5-25)* 15 (10-120)*

1000 Hz 10 (0-50)* 10 (10-50)* 15 (10-120)*

2000 Hz 10 (0-55)* 23,5 ± 17,6 20 (5-120)*

4000 Hz 10 (0-40)* 10 (5-45)* 15 (5-120)*

* Median (Min-Max)

Pada penelitian ini, didapatkan rerata AC di frekuensi 500 Hz pada OMSK maligna dengan mean 70,9 dB. Sedangkan pada telinga dengan OMSK benigna dengan mean 51 dB. Pada telinga tanpa perforasi, median 30 dB. Pada frekuensi 1000 Hz telinga dengan OMSK maligna diapatkan mean 66,2 dB, sedangkan pada telinga dengan OMSK benigna mean 45,5 dB, pada telinga tanpa perforasi dengan median 25 dB, nilai terendah 15 dB tertinggi 85 dB. Pada frekuensi 2000 Hz, pada telinga dengan OMSK maligna dengan mean 60,4 dB, OMSK benigna dengan median 40 dB, pada telinga tanpa perforasi dengan mean 20 dB. Pada frekuensi 4000 Hz, pada telinga dengan OMSK maligna dengan mean 63,9 dB, OMSK benigna dengan median 30 dB, pada telinga tanpa perforasi dengan median 20 dB. Hal ini sesuai pada penelitian yang dilakukan oleh Shafiqul et al (2010) (34) AC pada telinga degan OMSK pada usia 21-25 tahun dengan mean 59 dB, sedangkan pada usia 26-30 tahun dengan mean 72,5 dB. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharma (2012)


(53)

(35)

di India, AC pada telinga dengan OMSK maligna atau benigna dengan mean 48,25 dB dan pada telinga tanpa perforasi 28,99 dB.

Ambang dengar pada penelitian ini didapatkan pada telinga dengan OMSK Maligna dengan mean 65 dB, pada OMSK Benigna dengan mean 42,8 dB dan pada telinga tanpa perforasi dengan mean 22,5 dB. Hal ini sedikit tidak sesuai dengan hasil penelitian Azevedo et al (2007) (24), ambang pendengaran rata – rata pada telinga dengan OMSK adalah 40 dB dan 22 dB pada telinga kontralateral.

Berdasarkan Tabel 4.3.1, didapatkan insidensi tertinggi BC pada frekuensi 2000 Hz, baik pada OMSK maligna dengan median 20, nilai terendah 15 dan nilai tertinggi 120, maupun pada OMSK benigna dengan mean 23,5 dB. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Linstorm et al (2011) (36), ambang BC tertinggi yaitu pada frekuensi 2000 Hz. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wahyudiasih et al (2011) (15) dengan hasil penelitian berdasarkan ambang BC pada OMSK benigna terbanyak pada intensitas 26-30 dB (30%), sedangkan pada OMSK maligna terbanyak pada intensitas 56-60 dB (37,1%). Pada telinga tanpa perforasi, didapatkan median 10 dB baik pada frekuensi 500, 1000, 2000, maupun 4000 Hz. Hal ini sesuai dengan penelitian Kolo (2011) (25) didapatkan BC pada telinga tanpa perforasi 10,26 dB.


(54)

39

Tabel 4.3.2. Karakteristik Audiometri Berdasarkan Kategori Frekuensi

Variabel Kategori Keadaan Telinga Telinga Tanpa

Perforasi N= 21 (%)

OMSK Benigna N= 10 (%)

OMSK Maligna N= 37 (%) AC

500 Hz 1. 0-55 dB 17 (81) 6 (60) 13 (35,1)

2. >55-70 dB 4 (19) 2 (20) 6 (16,2)

3. >70 dB 0 2 (20) 18 (48,6)

Rerata 30 (15-75)*4 51 ± 21,5*3 70,9 ± 25,3**34

1000 Hz 1. 0-55 dB 20 (95,2) 7 (70) 13 (35,1)

2. >55-70 dB 1 (4,8) 1 (10) 8 (21,6)

3. >70 dB 0 2 (20) 16 (43,2)

Rerata 25 (15-85) 45 ± 18,6 66,2 ± 26,9**

2000 Hz 1. 0-55 dB 21 (100) 7 (70) 18 (48,6)

2. >55-70 dB 0 2 (20) 4 (10,8)

3. >70 dB 0 1 910) 15 (40,5)

Rerata 20 (10-65) 40 ± 22,3*3 60,4 ± 31,4**3

4000 Hz 1. 0-55 dB 19 (90,5) 8 (80) 18 (48,6)

2. >55-70 dB 2 (9,5) 2 (20) 5 (13,5)

3. >70 dB 0 0 14 (37,8)

Rerata 20 (10-70)*4 30 (15-65)*3 63,9 ± 30,3**34

BC

500 Hz 1. 0-25 dB 21(100) 10 (100) 33 (89.2)

‘ 2. >25-60 dB 0 0 1 (2,7)

3. >60 dB 0 0 3 (8,1)

Rerata 10 (0-40)1 10 (5-25)1 15 (10-120)*

1000 Hz 1. 0-25 dB 21 (100) 10 (100) 32 (86,5)

2. >25-60 dB 0 0 1 (5,4)

3. >60 dB 0 0 3 (8,1)

Rerata 10 (0-50)1 10 (10-50) 15 (10-120)*1

2000 Hz 1. 0-25 dB 21 (100) 10 (100) 30 (81,4)

2. >25-60 dB 0 0 2 (5,4)

3. >60 dB 0 0 5 (13,5)

Rerata 10 (0-55)2 23,5±17,6 20 (5-120)**2

4000 Hz 1. 0-25 dB 21 (100) 10 (100) 31 (83,8)

2. >25-60 dB 0 0 1 (2,7)

3. >60 dB 0 0 5 (13,5)

Rerata 10 (0-40)2 10 (5-45) 15 (5-120)**2

* Uji Kruskal Wallis P <0,05 ** Uji Kruskal Wallis P <0,0001 1. Mann-Whitney P<0,05 2. Mann-Whitney P<0,001 3. t-test P <0,05


(55)

Berdasarkan Tabel 4.3.2, didapatkan ambang tertinggi AC pada telinga dengan OMSK maligna untuk frekuensi 500 dan 1000 Hz adalah >70 dB, sedangkan pada frekuensi 2000 dan 4000 Hz tertinggi adalah 0-55 dB. Berdasarkan uji t-test menunjukkan perbedaan yang bermakna antara AC 500 Hz telinga tanpa perforasi dengan OMSK maligna (P= <0,05). BC pada telinga dengan OMSK maligna untuk frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz didapatkan ambang tertinggi 0-25 dB. Uji Kruskal Wallis menunjukkan hubungan yang signifikan antara AC, BC dengan OMSK maligna (P= <0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Christoper J. Linstrorm, MD et al (2001)30 yang menunjukaan adanya hubungan signifikan antara rata – rata AC dan BC pada telinga yang akan dilakukan preoperasi. Sedangkan pada uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan yang bermakna antara telinga tanpa perforasi dan telinga dengan OMSK maligna di frekuensi 1000, 2000 dan 4000 Hz (P= <0,05).

Pada OMSK benigna, didapatkan ambang AC yang paling tertinggi 0-55 dB di frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Berdasarkan uji t-test menunjukkan perbedaan yang bermakna antara AC 2000 Hz OMSK benigna dengan OMSK maligna (P= <0,05). Untuk BC pada OMSK benigna didapatkan ambang tertinggi 0-25 dB di frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Uji Mann-Whitney menunjukkan perbedaan yang bermakna antara BC OMSK benigna dengan OMSK maligna di frekuensi 500 Hz (P= <0,05). Pada telinga tanpa perforasi, didapatkan ambang tertinggi AC pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz adalah >70 dB. Namun hanya pada AC di frekuensi 500 Hz yang menunjukan hasil uji Kruskal Wallis terdapat hubungan yang signifikan (P= <0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Christoper J. Linstrorm, MD et al (2001)30 terdapat hubungan yang signifikan pada frekuensi 500 Hz ditelinga yang akan dilakukan operasi. Sedangkan BC pada telinga tanpa perforasi, didapatkan ambang tertinggi 0-25 dB baik pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Berdasarkan Tabel 4.3.2, uji t-test pada AC frekuensi 500 dan 4000 Hz menunjukan perbedaan yang bermakna antara telinga tanpa perforasi, OMSK benigna dan OMSK maligna (P= <0,05).


(56)

41

4.5.Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa kekurangan dan keterbatasan, yaitu: 1. Pada penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional atau

desain potong lintang yang hanya menggambarkan variabel yang diteliti, sehingga tidak bisa melihat adanya hubungan sebab akibat. 2. Bias akibat tidak dilakukan masking, sehingga deteksi adanya tuli

campur tidak terlihat.

3. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari rekam medik yang tidak didesain untuk penelitian sehingga faktor risiko yang berpengaruh terhadap OMSK tidak tercantum dengan baik dan lengkap.

4. Pada penelitian ini, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 106 pasien, tetapi yang memenuhi keriteria inklusi hanya 34 pasien.


(57)

42

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

1. Sebaran tipe OMSK pada pasien yang akan dilakukan operasi telinga di RSUP Fatmawati tahun 2012-2014, OMSK maligna (54,4%) lebih besar dari pada OMSK benigna (14,7%).

2. Sebaran tipe ketulian OMSK pada pasien yang akan dilakukan operasi telinga di RSUP Fatmawati tahun 2012-2014 pada OMSK maligna yaitu tuli konduktif (43,2%) dan tuli campur (43,2%), pada OMSK benigna, 5 dari 10 telinga mengalami tuli konduktif.

3. Sebaran derajat ketulian pada pasien OMSK yang akan dilakukan operasi telinga di RSUP Fatmawati tahun 2012-2014 degan insidensi terbanyak pada telinga dengan OMSK maligna yaitu tuli sedang (24,3%) dan tuli berat (24,3%), sedangkan pada telinga dengan OMSK benigna didapatkan 3 dari 10 telinga yaitu tuli ringan.

5.2. Saran

1. Pada penelitian kali ini, peneliti hanya melihat gambaran audiologi pada pasien serta gambaran kejadiannya berdasarkan jenis OMSK, usia, jenis kelamin, riwayat infeksi saluran pernapasan atas dan riwayat alergi, sedangkan faktor-faktor resiko apa saja yang mungkin dapat berhubungan dengan OMSK tidak dilakukan. Sehingga diharapkan adanya penelitian lebih lanjut yang lebih lengkap untuk dapat menyajikannya.

2. Rekam medis sebagai sumber data penelitian sebaiknya lebih lengkap dalam melampirkan data pasien mulai dari anamnesis, pemeriksaan


(58)

43

fisik, pemeriksaan penunjang hingga terapi yang diberikan sehingga pada penelitian selanjutnya tidak terdapat data yang tidak diketahui. 3. Perlunya upaya pencegahan melalui penyuluhan – penyuluhan baik

secara langsung maupun media cetak dan elektronik, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan telinga.


(59)

(60)

44

DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar, Z.A, Helmi, Restuti, R.D. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E.A, Iskandar, N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007

2. Muhammad Waseem, MD, MS. Otitis Media [Internet]. Medscape; 2014 [Updated 2014 April 24; cited]. Available From: http://emedicine.medscape.com/article/994656-overview#a0101

3. World Health Organization (WHO). Chronic Suppurative Otitis Media Burden of Illness and Management Options. Child and Adolescent Health and Development Prevention of Blindness and Deafness. WHO Geneva, Switzerland; 2004.

4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 879/Menkes/SK/XI/2006 Tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Untuk Mencapai Sound Hearing 2030. , Kementrian Kesehatan RI; 2006.

5. Anthony S. Fauci. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. volume I. USA: McGraw-Hill; 2008

6. Wald ER. Acute Otitis Media and Acute Bacterial Sinusitis. Oxford Journals. 2011.

7. Adam GL, Boies LC, Hilger PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6 (Boeis Fundamentals of otolaryngology). Jakarta: Buku Ajar Kedokteran EGC; 2009.

8. de Azevedo, Pinto DC, de Souza NJ, Greco DB, Gonçalves DU. Sensorineural Hearing Loss in Chronic Suppurative Otitis Media With and Without Cholesteatoma [Internet]. NCBI; 2007 [cited 2011 September 02]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18094809.

9. Moore KL, Dalley AF. Clinically Oriented Anatomy 5 ed. Lippincott Williamns & Wilkins; 2006.


(61)

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.

10. Tortora Gerard J, BD. Principles of Anatomy and Physiologi. 11th edition. United States of America: Biologycal Sciences Textbook; 2006.

11. U Na. Childhood Suppurative Otitis Media in Abakaliki: Isolated Microbes and in vitro Antibiotic Sensitivity Pattern. Abakaliki, Nigeria: Medical Microbiology, Ebonyi State University/Teaching Hospital, Departements of Paediatrics; 2011.

12. Moore KL, Dalley AF. Clinically Oriented Anatomy 5 ed. Lippincott Williamns & Wilkins; 2006.

13. Healy GB, Rosbe KW. Otitis Media and Middle Ear Effusions. In: Snow JB, Ballenger JJ, eds. Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. New York: BC Decker; 2003. p.249-59

14. Hasniah MD. Study Epidemiologi Otitis Media Supuratif Kronik Bagian THT Rumah Sakit Umum Labuang Baji Makassar. 2013; 2 No 1.

15. Hearing Loss Association of America. Hearing Loss Basics [Internet]. 2014

[cited 2014 Agustus]. Available from:

http://www.hearingloss.org/content/types-causes-and-treatment.

16. National Health and Nutrition Examination Survey. Audiometry Procedures Manual; 2003.

17. AO1 Lasisi, Sulaiman OA, Afolabi OA. Socio-Econimoc Status And Hearing Loss In Chronic Suppurative Otitis Media In Nigeria. 2011.

18. E. S. Kolo, A. D. Salisu. Sensorineural Hearing Loss with Chronic Suppurative Otitis Media. Indian Journal Otoralyngology Head and Neck Surg. 2011 March; Vol 64(10). 2011.

19. Bashiruddin Jenny. Pencegahan Gangguan Pendengaran, Tantangan dan Harapan dalam Implementasi Program Sound Hearing 2030. Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran; 2010.

20. Adil N Razooqi, et al. Sensorineural Hearing Loss in Chronic Suppurative Otitis Media. Iraqi JMS. 2012; 10(1).


(62)

46

Risiko Tuli Sensorineural Penderita Otits Media Supuratif Kronik. Malang: Universitas Brawijaya, Fakultas Kedokteran; 2011.

22. Amaleen S. Gambaran Penderita Otitis Media Supuratif Kronis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Pada Tahun 2009. Medan: Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran; 2010.

23. Wulandari Y. Perbedaan Kadar Interleukin-1 Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Jinak dan Tipe Bahaya. Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 2010.

24. Ahmed M. Alabbasi et al. Prevalence and Patterns of Chronic Suppurative Otitis Media and Hearing Impairment in Basrah City. Journal of Medicine and Medical Sciences. 2010 May; 1(4).

25. Prianto, Eko. Hubungan Faktor Faktor Risiko Dengan Terjadinya Kurang Pendengaran. Semarang: Universitas Diponegoro, Fakultas Kedokteran; 2010.

26. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Otitis Media Supuratif Kronik. 2013.

27. Novandra R. Otitis Media Supuratif Kronik. Mataram:, RSU Mataram; 2009. 28. Mohammed Shafiqul Islam et al. Pattern and Degree of Hearing Loss in

Chronic Suppurative Otitis Media. Bangladesh Journal of Otorhinolarybgology. 2010; Vol 16(2).

29. Sharma Rohit, Sharma K Vinit. Analysis of Sensorineural Hearing Loss in Chronic Suppurative Otitis Media With and Without Cholesteatoma. Indian Journal of Otology. 2012; Vol 18(2): p. 65-68.

30. Christopher J. Linstorm et al. Bone Conduction Impairment in Chronic Ear Disease. Annals of Otology, Rhinology & Laryngology. 2001


(63)

48

Lampiran 1

FORMULIR PENELITIAN

Nomor :

Nama :

Usia :

Jenis Kelamin : Pekerjaan :

Alamat :

I. Pemeriksaan audiologi

Pemeriksaan AD AS

Tes Rinne

Tes Weber Lateralisasi ke telinga……….

Ambang dengar (AC dan BC) 1. 500 Hz 2. 1000 Hz 3. 2000 Hz 4. 4000 Hz Tipe ketulian Derajat ketulian

II. Jumlah dilaporkan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dalam 1 tahun terakhir

……...kali/tidak ada keterangan III. Riwayat atopi (YA/TIDAK)

IV. Tipe OMSK

a. Tipe benigna b. Tipe maligna


(64)

49


(65)

50


(66)

51

Lampiran 4 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Wulan Roudotul Zanah

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir : Serang, 18 Mei 1993

Agama : Islam

Alamat : Jl. Palka Pasar Padarincang RT/RW 001/005 Padarincang, Serang – Banten

Nomor Telepon/HP : 087771111993

Email : roudotulwulan@yahoo.com

Riwayat Pendidikan 1. TK (1998-1999)

2. SD Negeri 1 Padarincang (1999-2005) 3. SMP Negeri 1 Kota Serang (2005-2008) 4. SMA Negeri 1 Kota Serang(2008-2011)

5. Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2011-sekarang)


(1)

45

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.

10. Tortora Gerard J, BD. Principles of Anatomy and Physiologi. 11th edition. United States of America: Biologycal Sciences Textbook; 2006.

11. U Na. Childhood Suppurative Otitis Media in Abakaliki: Isolated Microbes and in vitro Antibiotic Sensitivity Pattern. Abakaliki, Nigeria: Medical Microbiology, Ebonyi State University/Teaching Hospital, Departements of Paediatrics; 2011.

12. Moore KL, Dalley AF. Clinically Oriented Anatomy 5 ed. Lippincott Williamns & Wilkins; 2006.

13. Healy GB, Rosbe KW. Otitis Media and Middle Ear Effusions. In: Snow JB, Ballenger JJ, eds. Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. New York: BC Decker; 2003. p.249-59

14. Hasniah MD. Study Epidemiologi Otitis Media Supuratif Kronik Bagian THT Rumah Sakit Umum Labuang Baji Makassar. 2013; 2 No 1.

15. Hearing Loss Association of America. Hearing Loss Basics [Internet]. 2014

[cited 2014 Agustus]. Available from:

http://www.hearingloss.org/content/types-causes-and-treatment.

16. National Health and Nutrition Examination Survey. Audiometry Procedures Manual; 2003.

17. AO1 Lasisi, Sulaiman OA, Afolabi OA. Socio-Econimoc Status And Hearing Loss In Chronic Suppurative Otitis Media In Nigeria. 2011.

18. E. S. Kolo, A. D. Salisu. Sensorineural Hearing Loss with Chronic Suppurative Otitis Media. Indian Journal Otoralyngology Head and Neck Surg. 2011 March; Vol 64(10). 2011.

19. Bashiruddin Jenny. Pencegahan Gangguan Pendengaran, Tantangan dan Harapan dalam Implementasi Program Sound Hearing 2030. Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran; 2010.

20. Adil N Razooqi, et al. Sensorineural Hearing Loss in Chronic Suppurative Otitis Media. Iraqi JMS. 2012; 10(1).


(2)

46

Risiko Tuli Sensorineural Penderita Otits Media Supuratif Kronik. Malang: Universitas Brawijaya, Fakultas Kedokteran; 2011.

22. Amaleen S. Gambaran Penderita Otitis Media Supuratif Kronis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Pada Tahun 2009. Medan: Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran; 2010.

23. Wulandari Y. Perbedaan Kadar Interleukin-1 Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Jinak dan Tipe Bahaya. Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 2010.

24. Ahmed M. Alabbasi et al. Prevalence and Patterns of Chronic Suppurative Otitis Media and Hearing Impairment in Basrah City. Journal of Medicine and Medical Sciences. 2010 May; 1(4).

25. Prianto, Eko. Hubungan Faktor Faktor Risiko Dengan Terjadinya Kurang Pendengaran. Semarang: Universitas Diponegoro, Fakultas Kedokteran; 2010.

26. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Otitis Media Supuratif Kronik. 2013.

27. Novandra R. Otitis Media Supuratif Kronik. Mataram:, RSU Mataram; 2009. 28. Mohammed Shafiqul Islam et al. Pattern and Degree of Hearing Loss in

Chronic Suppurative Otitis Media. Bangladesh Journal of Otorhinolarybgology. 2010; Vol 16(2).

29. Sharma Rohit, Sharma K Vinit. Analysis of Sensorineural Hearing Loss in Chronic Suppurative Otitis Media With and Without Cholesteatoma. Indian Journal of Otology. 2012; Vol 18(2): p. 65-68.

30. Christopher J. Linstorm et al. Bone Conduction Impairment in Chronic Ear Disease. Annals of Otology, Rhinology & Laryngology. 2001


(3)

48

Lampiran 1

FORMULIR PENELITIAN

Nomor :

Nama :

Usia :

Jenis Kelamin : Pekerjaan : Alamat :

I. Pemeriksaan audiologi

Pemeriksaan AD AS

Tes Rinne

Tes Weber Lateralisasi ke telinga………. Ambang dengar

(AC dan BC) 1. 500 Hz 2. 1000 Hz 3. 2000 Hz 4. 4000 Hz Tipe ketulian Derajat ketulian

II. Jumlah dilaporkan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dalam 1 tahun terakhir

……...kali/tidak ada keterangan III. Riwayat atopi (YA/TIDAK) IV. Tipe OMSK

a. Tipe benigna b. Tipe maligna


(4)

49


(5)

50


(6)

51

Lampiran 4 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Wulan Roudotul Zanah

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir : Serang, 18 Mei 1993

Agama : Islam

Alamat : Jl. Palka Pasar Padarincang RT/RW 001/005 Padarincang, Serang – Banten

Nomor Telepon/HP : 087771111993

Email : roudotulwulan@yahoo.com

Riwayat Pendidikan 1. TK (1998-1999)

2. SD Negeri 1 Padarincang (1999-2005) 3. SMP Negeri 1 Kota Serang (2005-2008) 4. SMA Negeri 1 Kota Serang(2008-2011)

5. Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2011-sekarang)