Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket yang Tinggi Ketika Musim Libur dan Keselamatan Penerbangan (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan)

(1)

PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN ATAS PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN HARGA TIKET

YANG TINGGI KETIKA MUSIM LIBUR DAN KESELAMATAN PENERBANGAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh: Aulia Rizki NIM: 110200202

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN ATAS PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN HARGA TIKET

YANG TINGGI KETIKA MUSIM LIBUR DAN KESELAMATAN PENERBANGAN (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh: AULIA RIZKI NIM: 110200202

Departemen: Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP: 196603031985081001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015 Dosen Pembimbing I

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP: 196603031985081001

Dosen Pembimbing II

Sinta Uli, S.H., M.Hum. NIP: 195506261986012001


(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Aulia Rizki

NIM : 110200202

Judul Skripsi : PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN HARGA TIKET YANG TINGGI KETIKA MUSIM LIBUR DAN KESELAMATAN PENERBANGAN (STUDI PADA PT. GARUDA INDONESIA KANTOR CABANG MEDAN)

Dengan ini menyatakan :

1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari Skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Juni 2015

Aulia Rizki NIM: 110200202


(4)

ABSTRAK Aulia Rizki*

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum** Sinta Uli, S.H. M.Hum***

Pada saat ini harga tiket murah merupakan salah satu variabel yang diperhatikan masyarakat. Akan tetapi disisi lain faktor keamanan dan kenyamanan sering terlewatkan oleh maskapai penerbangan. Tidak dapat dimungkiri harga tiket penerbangan pada saat musim libur melambung sangat tinggi, hal ini sangat memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Untuk melindungi konsumen pengguna angkutan udara diperlukan landasan hukum yang mengatur tentang kenaikan harga tiket yang wajar dan sesuai ketentuan agar konsumen tidak dirugikan. Berdasarkan latar belakang tersebut Penulis berinisiatif merumuskan masalah, apa faktor penyebab naiknya harga tiket pada musim libur, bagaimana pengaturan pemerintah tentang kenaikan harga tiket di musim libur, dan bagaimana perlindungan konsumen terkait pelayanan umum dan keselamatan penerbangan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut penulis membuat skripsi dengan judul Perlindungan Hak Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket Yang Tinggi Ketika Musim Libur Dan Keselamatan Penerbangan. Judul tersebut ditinjau dengan UU No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Adapun metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode Normatif atau penelitian perpustakaan dan metode Empiris yaitu metode penelitian atas data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat, selanjutnya menggabungkan data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan dan melihat implementasinya dari undang-undang atau peraturan yang diberlakukan oleh Kementrian Perhubungan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan diketahui bahwa penentuan harga tiket di musim libur mengacu pada harga batas atas yang ditetapkan. Maskapai penerbangan dalam menentukan harga tiket memberitahukan kepada seluruh partner (Travel Biro) dan wajib dipatuhi. Sering kita rasakan bahwa harga tiket pada saat tersebut terlalu tinggi. Hal itu juga kita rasakan pada maskapai no frills services. Tentu tidak dimungkiri walaupun pemerintah telah menetapkan batas atas harga tiket, tetapi belum tentu semua biro penjualan tiket pesawat patuh terhadap ketentuan tersebut. Harga tiket yang dirasakan sangat tinggi oleh masyarakat pada musim libur, ternyata pada maskapai Garuda Indonesia masih berada dalam koridor harga batas atas. Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia mempunyai SOP yang harus dipenuhi demi terciptanya keselamatan Penerbangan. Komponen penerbangan ini diaudit secara periodik oleh ICAO. Hal ini dimaksudkan agar tercipta keselamatan penerbangan yang merupakan harapan setiap pengguna angkutan udara.

Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Maskapai Penerbangan, Tarif dan Konsumen

*

Mahasiswa Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU

**

Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU

***


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Shalawat serta salam tak lupa Penulis kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Skripsi ini di tulis demi memenuhi syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun Skripsi ini

berjudul “Perlindungan Hak Konsumen Atas Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket Yang Tinggi Ketika Musim Libur Dan Keselamatan

Penerbangan (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan)”. Skripsi

ini berisi tentang fenomena harga tiket yang tinggi ketika musim libur dan keselamatan penerbangan. Penulis meninjau Judul tersebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang-undang Penerbangan. Penulis juga melakukan penelitian PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun, Penulis masih menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisan dari skripsi ini. Oleh karenanya Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya untuk membangun guna menuju kearah perbaikan dan penyempurnaan saat ini dan dimasa yang akan datang.


(6)

Melalui kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk semua ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada; 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum. selaku Wakil Dekan I, Syafruddin Hasibuan, SH. M. Hum. DFM selaku Wakil Dekan II dan Dr. OK. Saidin, SH., M. Hum selaku Pembantu Dekan III.

2. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan dan Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, arahan, koreksi, penyempurnaan serta tambahan wawasan yang sangat berguna kepada Penulis untuk memperkaya isi dan bahasa skripsi ini.

3. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata.

4. Sinta Uli, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang dan dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan serta memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

5. Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum selaku Dosen Wali Penulis.

6. Kepada Seluruh Dosen, Staf Administrasi dan Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada kedua orang tua saya, Drs. Maulana Ginting, MSi, seorang lelaki yang selalu mengutamakan anaknya, berusaha memberikan yang terbaik, mengayomi, dan memberikan semangat hingga support untuk menyelesaikan Skripsi ini. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp. RKG (K) Mama saya yang


(7)

selalu memberikan dorongan semangat dan terus mengingatkan saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Hanya Terima Kasih dan Gelar Sarjana yang dapat Kiki berikan kepada Mama dan Papa. Serta Adik Penulis satu-satunya Dinda Maurelova yang juga tidak pernah lupa mengingatkan Abangnya untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada Indah Dewi Elvika yang senantiasa memberi semangat dan motivasi untuk tetap sabar dan terus semangat menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada sahabat-sahabat yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada Penulis, Enni, Dedek, Lutfi, Aya, Pudja, Dhimas, Junanda, Dinda, Karina, Sahabat Spektra Sandi, Astra, Ika, Winaldi, Virsa, Desi, Ulun, Diba , Yuliana, Dita, Aldri dan sahabat- sahabat lainnya yang tidak bisa saya sebutkan semuanya di sini.

10.Kepada Adik-adik pengurus BTM Alladinsyah S.H. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara semoga selalu berjalan baik di jalan Allah.

11.Kepada Teman-teman Grup D stambuk 2011 dan Teman stambuk 2011 lainnya yang tidak bisa disebutkan namanya.

12.Dan untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Besar Harapan Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Perkembangan Ilmu Hukum, Khususnya Hukum Perdata, baik bagi Penulis sendiri maupun bagi pembaca semua.

Medan, Juni 2015 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metode Penulisan ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN ... 12

A. Pengertian Perlindungan, Hak dan Kewajiban Konsumen . 12 B. Asas, Tujuan serta Tanggung Jawab Konsumen menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999... 24

C. Badan Perlindungan Konsumen dan Pengawasannya ... 27

D. Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan Ditinjau dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ... 34


(9)

BAB III : PENERBANGAN DAN TIKET DI INDONESIA ... 40 A. Fungsi dan Peranan Penerbangan di Indonesia ... 40 B. Peranan dan Harga Tiket Berdasarkan Ketetapan

Pemerintah... 63 C. Keterkaitan Harga Tiket dengan Daya Beli Masyarakat ... 67 BAB IV : PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN PENGGUNA

JASA PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN HARGA TIKET YANG TINGGI KETIKA MUSIM

LIBUR DAN KESELAMATAN PENERBANGAN ... 69 A. Berbagai Faktor Penyebab Naiknya Harga Tiket pada

Musim Libur ... 69 B. Pengaturan Pemerintah tentang Kenaikan Harga Tiket

Penerbangan Ketika Musim Libur ... 72 C. Perlindungan Hak Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan

tentang Pelayanan Umum dan Keselamatan Penerbangan . 77 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 86 A. Kesimpulan ... 86 B. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Hasil Wawancara Riset Skripsi Aulia Rizki dengan Kepala Bagian Humas PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan


(10)

ABSTRAK Aulia Rizki*

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum** Sinta Uli, S.H. M.Hum***

Pada saat ini harga tiket murah merupakan salah satu variabel yang diperhatikan masyarakat. Akan tetapi disisi lain faktor keamanan dan kenyamanan sering terlewatkan oleh maskapai penerbangan. Tidak dapat dimungkiri harga tiket penerbangan pada saat musim libur melambung sangat tinggi, hal ini sangat memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Untuk melindungi konsumen pengguna angkutan udara diperlukan landasan hukum yang mengatur tentang kenaikan harga tiket yang wajar dan sesuai ketentuan agar konsumen tidak dirugikan. Berdasarkan latar belakang tersebut Penulis berinisiatif merumuskan masalah, apa faktor penyebab naiknya harga tiket pada musim libur, bagaimana pengaturan pemerintah tentang kenaikan harga tiket di musim libur, dan bagaimana perlindungan konsumen terkait pelayanan umum dan keselamatan penerbangan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut penulis membuat skripsi dengan judul Perlindungan Hak Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket Yang Tinggi Ketika Musim Libur Dan Keselamatan Penerbangan. Judul tersebut ditinjau dengan UU No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Adapun metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode Normatif atau penelitian perpustakaan dan metode Empiris yaitu metode penelitian atas data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat, selanjutnya menggabungkan data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan dan melihat implementasinya dari undang-undang atau peraturan yang diberlakukan oleh Kementrian Perhubungan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan diketahui bahwa penentuan harga tiket di musim libur mengacu pada harga batas atas yang ditetapkan. Maskapai penerbangan dalam menentukan harga tiket memberitahukan kepada seluruh partner (Travel Biro) dan wajib dipatuhi. Sering kita rasakan bahwa harga tiket pada saat tersebut terlalu tinggi. Hal itu juga kita rasakan pada maskapai no frills services. Tentu tidak dimungkiri walaupun pemerintah telah menetapkan batas atas harga tiket, tetapi belum tentu semua biro penjualan tiket pesawat patuh terhadap ketentuan tersebut. Harga tiket yang dirasakan sangat tinggi oleh masyarakat pada musim libur, ternyata pada maskapai Garuda Indonesia masih berada dalam koridor harga batas atas. Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia mempunyai SOP yang harus dipenuhi demi terciptanya keselamatan Penerbangan. Komponen penerbangan ini diaudit secara periodik oleh ICAO. Hal ini dimaksudkan agar tercipta keselamatan penerbangan yang merupakan harapan setiap pengguna angkutan udara.

Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Maskapai Penerbangan, Tarif dan Konsumen

*

Mahasiswa Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU

**

Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU

***


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transportasi adalah sarana perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia, hewan atau mesin. Transportasi Udara memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan aktifitas di Indonesia. Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri lebih dari 17.508 pulau, dan pilihan untuk penggunaan transportasi udara ini merupakan cara tercepat dan paling tepat untuk berpergian dalam menuju suatu tempat. Penerbangan adalah suatu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, Bandar udara, Pengangkutan udara, Navigasi Penerbangan, Keselamatan dan Keamanan, Lingkungan Hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas lainnya. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara diatas daratan dan perairain Indonesia.1 Pesawat terbang merupakan angkutan udara yang sangat canggih dan aman. Perjalanan pesawat terbang lebih cepat dibandingkan dengan angkutan darat atau angkutan laut. Saat ini terdapat berbagai jenis alat angkutan udara antara lain helikopter, pesawat tempur serta pesawat penumpang. Bahkan kini manusia dapat menjelajah luar angkasa dengan menggunakan pesawat luar angkasa.

Dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan wawasan Nusantara serta memantapkan Ketahanan Nasional diperlukan system

1

Abdulkadir Muhammad, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aditya, Bandung. hlm 11


(12)

transportasi Nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan dan pembangunan wilayah, serta mempererat hubungan antar bangsa, dan memperkukuh kedaulatan Negara.2

Pembangunan pada hakekatnya adalah proses perubahan yang berlangsung secara terus menerus kearah tercapainya tujuan nasional. Suatu proses perubahan yang teratur dan terarah akan terwujud apabila terjalin hubungan timbal balik yang erat antara sektor ilmu pengetahuan dan teknologi, kebijakan dan hukum. Pentingnya transportasi udara tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan jasa pengangkutan udara bagi mobilitas orang serta barang di dalam negeri, dari dan ke luar negeri serta berperan sebagai pendorong dan penggerak bagi pertumbuhan daerah dan pengembangan wilayah.3

Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan , Penerbangan adalah satu kesatuan system yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, pengangkutan udara , navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan di Indonesia. Pesawat Udara Sipil adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan pengangkutan udara niaga dan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing.

Industri jasa penerbangan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan dengan pesatnya dari tahun ke tahun. Kondisi ini secara langsung sangat berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada. Dari data yang ada pada Direktorat

2

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan 3

Hasim Purba, 2010, Hukum Penerbangan dan Tanggungjawab Produsen Pesawat Udara, Pustaka Bangsa Press, Medan , hlm 1


(13)

Jenderal Perhubungan Republik Indonesia, tercatat bahwa pada tahun ini ada 21 Maskapai penerbangan yang aktif melayani konsumen di Indonesia.4

Pada masa sekarang ini harga tiket yang murah merupakan salah satu variabel yang diperhatikan masyarakat. Namun kadangkala faktor keamanan dan kenyamanan angkutan udara sering terlewatkan oleh maskapai penerbangan, padahal tingkat resiko keamanan udara seharusnya menjadi prioritas untuk diminimalkan. Airline melakukan pengurangan biaya operasi dengan maksud agar dapat dilakukan penjualan tiket dengan harga yang rendah. Kondisi ini mengindikasikan maskapai penerbangan tidak lagi memperhatikan faktor keamanan penumpang, misalya dengan mengurangi biaya perawatan armadanya. Tidak mustahil peristiwa kecelakaan pesawat di Indonesia terjadi karena kurangnya biaya perawatan maupun biaya penggantian terhadap suku cadang komponen pesawat. Padahal perawatan dan pemeliharaan pada pesawat merupakan suatu keharusan. Kerusakan kecil saja pada pesawat udara bisa berakibat fatal dan tentunya tidak bisa di tolerir.

Transportasi udara adalah suatu sistem penerbangan yang melibatkan banyak pihak. Dalam dunia penerbangan pemenuhan (compliance) terhadap safety standard (standar keselamatan) yang tinggi merupakan suatu keharusan yang mutlak. Penerapan keselamatan penerbangan (aviation safety) perlu dilaksanakan pada semua sektor, baik pada bidang transportasi/operasi angkutan udara, kebandaraudaraan, navigasi, perawatan dan perbaikan serta pelatihan yang mengacu pada aturan International Civil Aviation Organization (ICAO).5

4

Majalah Aviantara Direktorat Jenderal Perhubungan Kementerian Perhubungan Edisi ke 2 Juli 2014 hlm 23

5

Jurnal Keamanan dan keselamatan penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta oleh K, Mar tono , Penerbitan: Transpor Juli 2003


(14)

Keselamatan merupakan prioritas utama di dalam dunia penerbangan, sehingga diperlukannya suatu standar keselamatan yang optimal dengan mengacu pada standar penerbangan yang ada.

Keselamatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor kondisi fisik pesawat, kondisi awak pesawat, infrastruktur serta faktor alam. Tetapi yang menjadi faktor utama adalah kondisi fisik pesawat. Kondisi fisik suatu pesawat tergantung dari perawatan yang dilakukan. Oleh karena itu dalam hal ini pemerintah memegang peranan penting, salah satunya dengan memperbaiki infrastruktur penerbangan seperti bangunan, struktur, lampu, landasan pacu, fasilitas komunikasi, situs web dan lain-lain. Apabila seluruh faktor tersebut dapat berjalan dengan baik maka akan tercipta keselamatan penerbangan dan memberi rasa aman kepada para penumpang serta dapat mencegah terjadinya kecelakaan penerbangan yang terjadi di Indonesia.6

Tidak dapat dimungkiri harga tiket pada musim libur sering melambung tinggi. Bisa naik hingga 3 kali lipat. Dari harga normal sebesar Rp600 ribu dapat melambung hingga Rp 1,8 juta. Hal ini sangat memberatkan konsumen pengguna jasa penerbangan, terutama yang dirasakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Pemerintah harus melakukan upaya ataupun tindakan-tindakan untuk menahan laju kenaikan harga tiket ketika musim libur. Dalam mengupayakan hal tersebut, Undang -Undang Perlindungan Konsumen harus menjadi rujukan dan berperan untuk menjaga serta melindungi hak dari konsumen pengguna jasa penerbangan. Ketika tiba musim libur, permintaan tiket pesawat udara meningkat, sehingga maskapai penerbangan dapat sesuka hati menentukan harga tiket. Pada kondisi ini

6

Abdulkadir Muhammad, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aditya, Bandung hlm. 249


(15)

konsumen yang sangat dirugikan dan hanya masyarakat kelas atas yang dapat menggunakan transpotasi udara.

Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 disebutkan untuk mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat, maka dari itu diperlukan landasan hukum yang mengatur dan mengikat tentang kenaikan harga tiket yang wajar , agar konsumen pengguna pesawat udara tidak dirugikan nantinya.7

Berdasarkan uraian di atas penulis mengetengahkan judul skripsi Perlindungan Hak Konsumen Atas Penggunan Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket Yang Tinggi Ketika Musim Libur Dan Keselamatan Penerbangan. Dalam tulisan skripsi ini penulis mengemukakan permasalahan sebagai berikut: penyebab terjadinya kenaikan harga tiket yang tinggi oleh maskapai penerbangan ketika musim libur, Pengaturan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kepada maskapai penerbangan untuk menetapkan harga tiket, dan keterkaitan harga tiket dalam memenuhi pelayanan umum dan keselamatan penerbangan dalam melindungi hak konsumen penerbangan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendasarkan pada dua peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

7


(16)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan judul skripsi ini yaitu mengenai ͞ Perlindungan Hak Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan dalam hal Kenaikan Harga Tiket yang Tinggi ketika Musim Libur dan Keselamatan Penerbangan͟, maka perlu dikaji permasalahan yang dikemukakan dalam judul skripsi ini. Permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa faktor penyebab naiknya harga tiket pada musim libur ?

2. Bagaimana pengaturan pemerintah tentang kenaikan harga tiket penerbangan ketika musim libur ?

3. Bagaimana perlindungan hak konsumen pengguna jasa penerbangan tentang pelayanan umum dan keselamatan penerbangan ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan pembahasan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor penyebab naiknya harga tiket pada musim libur.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pemerintah tentang kenaikan harga tiket penerbangan ketika musim libur.

3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hak konsumen pengguna jasa pe nerbangan tentang pelayanan umum dan keselamatan penerbangan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian yang dapat dikutip dari skripsi ini antara lain adalah:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat Teoritis dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan

kontribusi dan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu hukum pada umumnya.


(17)

2. Manfaat Praktis

Manfaat Praktis dari hasil penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan masukan kepada penumpang pesawat udara selaku konsumen bahwasannya terdapat kesetaraan hukum antara maskapai penerbangan selaku produsen dan penumpang pesawat udara selaku konsumen.

E. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Penelitian Hukum Normatif-Empiris, yaitu penelitian yang menggabungkan data primer dan data sekunder dengan menitikberatkan pada studi lapangan. Dalam metode penelitian ini menggabungkan data yang diperoleh langsung dari lapangan dan dikaji dari sudut pandang undang-undang atau peraturan yang berlaku.

Metode Penelitian yang dipergunakan tersebut adalah dengan melakukan penggabungan:

a. Penelitian Hukum Normatif

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan. Dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan. 8

Data sekunder yang dimaksud adalah:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari: 1) Norma atau Kaidah Dasar yaitu Pembukaan UUD

8

Suratman dan Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta Bandung, Band ung hlm 54


(18)

1945; 2) Peraturan Dasar: mencakup diantaranya Batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR; 3) Peraturan Perundang-undangan; 4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan , seperti Hukum adat; 5) Yurisprudensi; 6) Traktat, dan 7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan UU, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan ahli hukum dan seterusnya. 3. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, koran, internet dan sebagainya.9

b. Penelitian Hukum Empiris

Penelitan hukum empiris adalah penilitian yang didasarkan atas data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan (observasi), wawancara ataupun penyebaran kuesioner.10

2. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

9

Suratman dan Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung hlm 88

10


(19)

teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya yang berkenaan dengan objek penelitian.11

3. Sumber Data

Sumber data penelitian ini diperoleh dari:

a. Data Primer, yakni diperoleh dari wawancara dengan petugas maskapa i penerbangan PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, ya kni KUH Perdata, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang P erlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tenta ng Penerbangan.

2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai ba han hukum primer, seperti: yurisprudensi, buku buku ilmiah, bahan seminar, undang-undang, majalah, internet ataupun jurnal mengen ai penerbangan atapun perlindungan konsumen dan lain lain yang a da kaitannya dengan skripsi ini.

3) Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup: a) Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terha

dap hukum primer dan sekunder.

b) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier diluar bidang hukum

seperti kamus, ensiklopedia, majalah, koran, makalah dan seba gainya yang berkaitan dengan permasalahan.12

11

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 106. 12


(20)

F. Keaslian Penulisan

Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana, maka berdasarkan pengamatan serta penelusuran keperpustakaan, judul yang penulis pilih telah diperiksa dalam Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan judul tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum Perdata. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya

pertanggungjawabkan tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat) baik sebagian maupun seluruh dari karya orang lain.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini meliputi: BAB I Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM UNDANG-UNDANG,

Berisi tentang Analisis Perlindungan Konsumen yang ada di Indonesia dan Badan yang mengawasinya.

BAB III PENERBANGAN DAN TIKET DI INDONESIA

Berisi tentang uraian umum mengenai penerbangan di Indonesia dan Harga Tiket.


(21)

BAB IV PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN TERHADAP PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN HARGA TIKET YANG TINGGI KETIKA MUSIM LIBUR

Berisi tentang tinjauan terhadap peristiwa naiknya harga tiket pesawat ketika musim libur yang sangat memberatkan konsumen yang ada di Indonesia. Keterkaitan Pelayanan umum dan Harga tiket juga di bahas di bab ini.

BAB V PENUTUP (KESIMPULAN DAN SARAN)

Berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan isi karya tulis dan memberikan saran sebagai langkah untuk mengatasi permasalahan yang ada di dalamnya.


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN

KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO

1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

A. Pengertian Perlindungan, Hak dan Kewajiban Konsumen

Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973.13

Ketika itu gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan , dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan YLKI) dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen.14

Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tanggal 20 April 1999 UUPK disahkan. Dengan adanya UUPK, Jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu system hukum perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

13

Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 248

14


(23)

Dalam Penjelasan UUPK, disebutkan bahwa keberadaan UU Perlindungan Konsumen adalah dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Dengan kata lain, UU Perlindungan Konsumen merupakan “payung” yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

Seiring Perkembangan Waktu, gerakan-gerakan konsumen banyak tumbuh dan berkembang di Tanah Air. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM), sebagai lembaga yang bertugas melindungi hak-hak konsumen, menjamur di mana-mana. Tentunya, perkembangan tersebut patut disambut secara positif.

Munculnya gerakan konsumen adalah untuk membangkitkan kesadaran kritis konsumen secara kontinuitas. Kesadaran kritis ini tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan hak-hak konsumen, tapi juga dalam proses pengambilan keputusan yang terkait tentang kepentingan konsumen, serta berbagai keputusan yang terkait dengan kepentingan publik dan konsumen yang harus dipertanggungjawabkan secara terbuka.15

Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia pada tahap permulaan karena sikap pemerintah pada umumnya masih melindungi kepentingan pengusaha yang merupakan faktor penting dalam pembangunan suatu Negara. Akibat dari perlindungan kepentingan pengusaha maka

15

Happy Susanto, 2008, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Jakarta Selatan hlm. 11


(24)

ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan perlindunggan kepada konsumen atau masyarakat kurang berfungsi, karena tidak diterapkan secara tegas. Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama, hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen.16

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan:

“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen) cukup memadai.

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindak sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.

Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.

16

Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, 2011 hlm. 68


(25)

Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam Hukum Privat (Perdata) maupun bidang hukum publik.

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.17

Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan dampak ekonomi yang positif bagi dunia usaha. Yakni, dunia usaha dipacu untuk meningkatkan kualitas/mutu produk barang dan jasa sehingga produknya memiliki keunggulan kompetitif di dalam dan di luar negeri. Kekhawatiran adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa menghancurkan perkembangan industri, perdagangan, dan pengusaha kecil tidak masuk akal. Pengusaha kecil yang sudah ada pada awal munculnya isu perlindungan konsumen di Indonesia hampir seperempat abad yang lalu, sampai saat ini tidak bangkit, bahkan tergilas sepak terjang konglomerat yang menggurita.18

Perlindungan Konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang berawal dari

17Janus Sidabalok, 2014 “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”

, Citra Aditya, Bandung. hlm. 77

18

Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen , SInar Grafika, Jakarta, hlm, 116


(26)

tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya. 19

Ada 2 aspek Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Tanggung Jawab Produk

Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang tanggung jawab produsen-pelaku usaha atas kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut dengan tanggung jawab produk.

19

Janus Sidabalok, 2014 “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”, Citra Aditya, Bandung. hlm. 252


(27)

Salah satu defenisi tanggung jawab produk dipaparkan berikut ini: Agnes M. Toar mendefnisikan tanggung jawab produk sebagai berikut: Tanggung jawab produk ialah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.

2. Standar Kontrak (Perjanjian Standar, Perjanjian Baku)

Aspek kedua dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang

pemakaian standar kontrak dalam hubungan antara produsen-pelaku usaha dan konsumen. Dalam praktik sering ditemukan cara bahwa untuk mengikat suatu perjanjian tertentu , salah satu pihak telah mempersiapkan sebuah konsep (draft) perjanjian yang akan berlaku bagi para pihak. Konsep itu disusun sedemikian rupa sehingga pada waktu penandatanganan perjanjian, para pihak hanya tinggal mengisi beberapa hal yang sifatnya subjektif, seperti identitas dan tanggal waktu pembuatan perjanjian yang sengaja dikosongkan sebelumnya. Sedangkan ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian (term of conditions) sudah tertulis ( tercetak) lengkap, yang pada dasarnya tidak dapat diubah lagi. Konsep perjanjian seperti inilah yang disebut dengan standar kontrak perjanjian (perjanjian standar, perjanjian baku). Istilah ini menunjuk pada syarat-syarat perjanjian yang sudah dibakukan sebelumnya. 20

Berkaitan dengan perlindungan konsumen, khususnya dengan tanggung jawab produk, perlu dijelaskan beberapa istilah terlebih dahulu untuk memperoleh kesatuan persepsi. Istilah yang memerlukan penjelasan itu adalah produsen atau

20


(28)

pelaku usaha, konsumen, produk dan standardisasi produk, peranan pemerintah, serta klausula baku. Berikut penjelasannya:

1. Produsen atau Pelaku Usaha

Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer professional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat professional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggungjawaban produsen.21

Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha pembuat/ pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/ peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.22 Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindungan konsumen, produsen diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk makanan hasil industry (pangan olahan), maka produsennnya adalah mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industri ( pangan olahan ) itu hingga sampai ke tangan konsumen, mereka itu adalah: pabrik (pembuat), distributor, eksportir atau importer, dan pengecer, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum.

2. Konsumen

21

Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 13

22


(29)

Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang

mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.23

Menurut pasal 1 angka 2 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan:

͚͛Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan /atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.͟

Persoalan hubungan produsen-pelaku usaha dengan konsumen biasanya dikaitkan dengan produk (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh teknologi. Maka persoalan perlindungan konsumen erat kaitannya dengan persoalan teknologi, khususnya teknologi maknufatur dan teknologi informasi. Dengan makin berkembangnya industri dan teknologi memungkinkan semua lapisan masyarakat terjangkau oleh produk teknologi, yang berarti juga memungkinkan semua masyarakat terlibat dalam masalah

perlindungan konsumen ini. 3. Produk dan Standardisasi Produk

Dilihat dari pengertian luas, produk ialah segala barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan erat dengan teknologi. Produk terdiri dari barang dan jasa.24

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen:

23

Ibid, hlm. 14 24


(30)

͞ Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.

Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman dipakai. Usaha inilah yang disebut dengan standardisasi.

Standarisasi merupakan penentuan ukuran yang harus diikuti dalam memproduksikan sesuatu, sedang pembuatan banyaknya macam ukuran barang yang akan diproduksikan merupakan usaha simplifikasi. Standardisasi adalah proses pembentukan standar teknis , yang bisa menjadi standar spesifikasi , standar cara uji , standar definisi , prosedur standar (atau praktik), dll25

Menurut Gandi, standardisasi adalah;

“Proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekatan secara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerja sama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan pengehematan menyeluruh secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsolidasi

dari hasil (ilmu) teknologi dan pengalaman.”26

Selanjutnya ia mengatakan bahwa dengan standardisasi akan diperoleh manfaat sebagai berikut:

25

Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 78

26


(31)

a. Pemakaian bahan secara ekonomis, perbaikan mutu, penurunan ongkos produksi, dan penyerahan yang cepat.

b. Penyederhanaan pengiriman dan penanganan barang. c. Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan langganan. d. Keselamatan kehidupan dan harta

4. Peranan pemerintah

Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 30 menerangkan bahwa Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan di selenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.27

Berkaitan dengan pemakain teknologi yang makin maju dan supaya tujuan standardisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka peranan pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku.

Sesuai dengan prinsip pembangunan yang antara lain, menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan baik.

27

M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Akademia, Jakarta hlm. 70


(32)

Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur; mengawasi; serta mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun keuangannya.

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijakan yang akan dilaksanakan, maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah:

a. Registrasi dan penilaian b. Pengawasan produksi c. Pengawasan distribusi

d. Pembinaan dan pengembangan usaha e.

Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga. 28 5. Klausula Baku

Sehubungan dengan standar kontrak adalah penggunaan klausula baku dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud dengan klausula baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:

“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Pembuat undang-undang ini menyadari bahwa pemberlakuan standar kontrak adalah suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari sebab sebagai mana dikatakan Syahdeini, perjanjian baku/standar kontrak adalah suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat.

28

Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 19


(33)

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperujuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.29 Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

29

M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Akademia, Jakarta hlm. 33


(34)

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dan Kewajiban Konsumen, sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.30

B. Asas, Tujuan Serta Tanggung Jawab Konsumen Menurut Undang-Undang

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu: 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

30

Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 95


(35)

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.͟31

Dari kelima asas tersebut , bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum. 32

Mengenai tujuan dari perlindungan konsumen, tertuang dalam pasal 3 UUPK:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

31

Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hlm 25 32

Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 25


(36)

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kemananan, dan keselematan konsumen.͟

Ke enam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda.

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektifitas Undang-undang Perlindungan konsumen, sebagaimana dikemukakan


(37)

oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.33

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum.34

Pasal 8 UUPK No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan pelaku usaha dilarang: a. memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan dalam jumlah hitungan yang dinyatakan dalam label barang, c. tidak sesuai dengan ukuran takaran timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya, d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label barang tersebut, e. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dengan label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang tersebut.35

33

M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Akademia, Jakarta hlm. 19

34

Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 26

35

M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Akademia, Jakarta hlm 42


(38)

C. Badan Perlindungan Konsumen dan Pengawasannya

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan [Pasal 45 ayat (1) jo, Pasal 23 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen]. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh Konsumen ( Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).36 Dengan cara ini dimaksudkan supaya persoalan antara konsumen dan produsen dapat segera ditemukan jalan penyelesaian. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan persoalan diselesaikan melalui pengadilan.

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini sama seperti penyelesaian sengketa dengan jalan negosiasi, konsultasi, konsiliasi, mediasi, ataupun arbitrase.

Penjelasan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada pokoknya menyatakan:

1. Penyelesaian sengketa konsumen (di luar pengadilan) tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa.

2. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

3. Penyelesaian secara damai oleh penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa ( pelaku usaha dan konsumen ) tanpa melalui

36


(39)

peradilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini. 37

Menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan atau perdamaian. Jadi, baik negosiator, konsultan, konsiliator, mediator, maupun arbiter berusaha mencapai kesepakatan atau perdamaian dalam menyelesaikan sengketa konsumen.

Demikian halnya dengan majelis BPSK sedapat mungkin mengusahakan tercapainya kesepakatan antara produsen-pelaku usaha dan konsumen yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui BPSK ini memuat unsur perdamaian yang harus di usahakan. Namun, harus diingat bahwa sengketa konsumen tidak boleh diselesaikan dengan perdamaian saja sebab ketentuan hukum harus terus di pegang. Dengan demikian, BPSK menyelesaikan sengketa konsumen dengan memeriksa dan memutus sengketa tetap berdasarkan hukum.38 Artinya BPSK saat

menjalankan perannya dalam penyelesaian sengketa tetap berpegang pada ketentuan dan tegaknya undang-undang (hukum) yang berlaku. 39

Untuk membantu penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, undang-undang ini memperkenalkan sebuah lembaga yang bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ). Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK termasuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan mirip dengan badan arbitrase. Badan ini merupakan badan hasil bentukan pemerintah

37 Ibid 38

Di peradilan umum, dalam perkara perdata, ada ketentuan bahwa hakim berusaha mendamaikan para pihak yang beperkara

39


(40)

yang berkedudukan di ibukota Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota (Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah pengadilan. Karena itu, BPSK dapat disebut sebagai peradilan kuasi.

Terdapat dua fungsi BPSK, pertama sebagai instrument hukum penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Tugas tugas BPSK pada pasal 52 butir e,f,g,h,i,j,k,l dan m UUPK terserap kedalam fungsi utama tersebut. Penyelesaian sengketa konsumen, dilakukan dengan tiga cara yaitu:

1. konsiliasi 2. mediasi, dan; 3. arbitrase40

Cara konsiliasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sedangkan majelis BPSK bersikap pasif. Majelis BPSK bertugas sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa.

Di dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan suatu pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan bergerak mendekat dan selanjutnya didapat suatu penyelesaian yang memuaskan

40

Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 123


(41)

kedua belah pihak.41 Rekonsiliasi menyatakan secara tidak langsung kebersamaan pihak-pihak yang bersengketa yang dahulunya berkawan atau berkongsi, kini mereka berselisih atau bertengkar. Pandangan-pandangan yang berbeda coraknya diantara para pihak harus dipertemukan dengan teliti.

Sama halnya dengan konsiliasi, cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak. Bedanya dengan yang pertama, pada mediasi, Majelis BPSK bersikap aktif sebagai pemerantara atau penasihat.42

BPSK berkedudukan di Kabupaten/Kota dibentuk melalui keputusan Presiden, dengan susunan:

1. Satu orang ketua merangkap anggota

2. satu orang wakil ketua merangkap anggota;dan 3. 9 sampai dengan 15 orang anggota.

Anggota BPSK terdiri atas unsur-unsur: pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha, yang masing-masing unsur diwakili oleh sekurang-kurangnya 3 orang dan sebanyak banyaknya 5 orang. Anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.43

Etika penyelesaian sengketa konsumen mendesak untuk dirumuskan oleh para anggota BPSK sebagai panduan/pegangan moral bagi setiap anggota BPSK dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa konsumen yang diajukan oleh konsumen. Etika penyelesaian sengketa konsumen diperlukan terutama untuk :

41

Ibid hlm. 124 42

Ibid 43


(42)

1. Mewujudkan gagasan paternalisme UUPK

2. Menciptakan korps BPSK yang bersih dan disegani untuk menjaga standar mutu putusan-putusan BPSK.44

Namun satu hal yang harus diperhatikan disini yaitu etika penyelesaian sengketa konsumen bukan untuk melindungi pelanggaran-pelanggaran etik atau bahkan pelanggaran-pelanggaran hukum anggota BPSK di dalam menjalakan tugasnya.

Untuk memperlancar tugasnya, BPSK dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat dan beberapa anggota sekretariat. Kepala dan anggota sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK, menurut pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harus memenuhi syarat:

a. Warga Negara Republik Indonesia; b. Berbadan sehat;

c. Berkelakuan baik;

d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan;

e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. 45

Pembentukan BPSK telah dimulai sejak tahun 2001 dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 90 Tahun 2001. Berdasarkan keputusan presiden tersebut telah dibentuk BPSK di 10 daerah , yaitu di kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Makassar. Secara berangsur-angsur, BPSK kemudian

44

Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 135

45


(43)

didirikan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, dan sampai tahun 2012 sudah banyak BPSK yang didirikan di kabupaten/kota.

Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;

e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen;

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetepkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. 46

Mencermati tugas dan wewenang BPSK sebagaimana disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa BPSK ini lebih luas dari sebuah badan peradilan perdata. Karena selain yang berkaitan dengan perkara, BPSK ini sudah sampai pula pada tugas konsultasi yang merupakan tugas dan wewenang Badan Perlindungan

46


(44)

Konsumen Nasional (BPKN) dan pengawasan yang merupakan tugas dan wewenang pemerintah, masyarakat, dan LSM. Sebaiknya, tugas dan wewenang BPSK ini dapat mencapai tujuannya. Idealnya BPSK ini adalah sebuah lembaga arbitrase yang tugas-tugasnya berada pada lingkup mencari pemecahan/penyelesaian sengketa konsumen dengan jalan kesepakatan atau perdamaian dalam kerangka hukum yang berlaku. Dengan tugas seperti ini maka BPSK dapat dengan segera memberikan putusannya untuk mengakhiri sengketa konsumen. Diharapkan dengan penyelesaian sengketa yang sederhana dan singkat, tidak diperlukan lagi penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang cenderung lama dan berlarut-larut.

Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia didasarkan pada 3 prinsip, yaitu prinsip perlindungan kesehatan/harta konsumen, prinsip perlindungan atas barang dan harga serta prinsip penyelesaian sengketa secara patut. Di samping itu UUPK juga secara tegas memuat prinsip ganti kerugian subjek terbatas dan prinsip tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik. Namun demikian, UUPK masih memiliki kekurangan-kekurangan karena mengatur ketentuan yang secara prinsipil bersifat kontradiktif, yaitu di satu pihak menutup kemungkinan bagi produsen untuk mengalihkan tanggung gugatnya kepada konsumen, akan tetapi di pihak lain tetap memungkinkan untuk diperjanjikan batas waktu pertanggung gugatan. Walaupun masih terdapat kekurangan UUPK namun secara umum semakin membebani produsen untuk bertanggung gugat terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen, sehingga untuk mengantisipasi kemungkinan tanggung gugatnya kepada konsumen,


(45)

produsen dapat melakukan perjanjian asuransi dengan perusahaan asuransi tertentu.47

D. Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pelaku usaha hanya demi untuk perlindungan konsumen.48

Meskipun disebutkan undang-undang perlindungan konsumen, namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.49 Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum, oleh karenan itu agar segala upaya memberikan jaminan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan oleh undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang lainnya yang masih berlaku antara lain Undang-undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Maskapai Penerbangan sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat untuk dapat menunjang pembangunan perekonomian nasional secara menyeluruh.50 Oleh karena itu kepada badan usaha maskapai penerbangan di

47

Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, 2011 hlm 215

48

Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 1 49

Ibid hlm. 1 50

Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 80


(46)

bebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu menerapkan norma-norma hukum, kepatutan dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia penerbangan. Para Maskapai Penerbangan harus senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, dengan demikian mereka telah menciptakan iklim usaha yang sehat demi menunjang pembangunan nasional dan menciptakan nilai-nilai keadilan dan kepatutan terhadap para konsumen pengguna maskapai udara.

Maskapai penerbangan dapat melakukan perbuatan yang tidak jujur berupa segala tingkah laku yang tidak sesuai dengan itikad baik, kejujuran di dalam usaha, antara lain menaikkan harga barang secara tidak semestinya atau pemberian harga yang tidak wajar.51 Hal ini menyebabkan konsumen membeli tiket dengan harga yang berbeda dari yang ditentukan oleh batas tertinggi harga tiket. Menurut undang-undang perlindungan konsumen pelaku usaha yang melakukan kesalahan dapat dikenakan sanksi administrasi yang dijatuhkan oleh badan penyelesaian sengketa konsumen.52 Sanksi administrasi dapat berupa penetapan ganti rugi sebanyak 200 juta rupiah. Tata cara penetapan sanksi administrasi diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Selama ini pemahaman terhadap sanksi adminstratif, tertuju pada sanksi yang berupa pencabutan isi atau sejenisnya, ternyata berdasarkan pasal 60 ayat 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sanksi administratif juga dapat berupa penerapan ganti rugi paling banyak 200 juta rupiah.

51

Ibid hlm. 205 52


(47)

Berdasarkan Pasal 84 Undang-undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan disebutkan bahwa angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha dari angkutan udara niaga.53 Pelayanan yang diberikan badan usaha pengangkutan udara niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat dikelompokkan paling sedikit dalam pelayanan dengan standar maksimum (full services), pelayanan dengan standar menengah (medium service) atau pelayanan dengan standar minimum (no frills service).54 Pelayanan dengan standar minimum ini adalah bentuk pelayanan minimum yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan. Badan Usaha Angkutan Niaga Berjadwal yang berbasi biaya operasi rendah harus mengajukan permohonan izin kepada menteri perhubungan. Menteri akan menetapkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Terhadap badan usaha niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah harus dilakukan evaluasi secara periodik.

Tarif Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang terdiri atas golongan tarif pelayanan kelas ekonomi dan ekonomi. Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tuslah/tambahan. Hasil Perhitungan tarif kelas ekonomi merupakan batas atas tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan niaga berjadwal dalam negeri. Tarif tersebut, ditetapkan oleh menteri perhubungan dengan mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen dan

53

H.K. Martono dan Agus Pramono, 2013 Hukum Udara Perdata, PT. Rajawali Pers, Jakarta hlm. 346

54


(48)

badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari persaingan tidak sehat. Menurut Pasal 127 ayat 3 Undang-undang No. 1 Tahun 2009, tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi niaga berjadwal dalam negeri, yang ditetapkan oleh menteri perhubungan, harus dipublikasikan kepada konsumen. Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal dalam Negeri dilarang menjual harga tiket kelas ekonomi dilarang menjual harga tiket kelas ekonomi melebihi tarif batas atas yang ditetapkan oleh menteri.55 Badan Usaha Angkutan Udara yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa sanksi peringatan dan atau pencabutan izin rute penerbangan.

Tarif penumpang pelayanan non ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Sementara tarif angkutan udara niaga untuk penumpang dan angkutan kargo tidak berjadwal (charter) dalam negeri ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan.56

Badan usaha pengangkutan udara niaga wajib mengangkut orang setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan. Selain itu badan usaha pengangkutan tersebut wajib memberikan pelayanan yang layak kepada setiap pengguna jasa pengangkutan udara sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Perjanjian pengangkutan dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan. Pengangkutan udara bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan pengangkutan udara selama bagasi tercatat dalam pengawasan

55

Ibid hlm. 360 56


(49)

pengangkut.57 Selain itu pengangkutan udara bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada pengangkutan penumpang, bagasi, atau kargo kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Pengangkutan Udara bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang sesuai dengan jadwal yang telah di tentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara. Tanggung jawab dimaksud dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan dan atau memberikan konsumsi, akomodasi dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ke tiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat udara atau jatuhnya benda-benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan.58 Ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga diberikan sesuai kerugian nyata yang dialami. Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan besaran ganti kerugian, persyaratan dan tata cara untuk memperoleh ganti kerugian diatur dalam peraturan menteri ( Pasal 184 UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan).

Apabila dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur mengenai hak dan kewajiban tertentu, para pihak-pihak akan mengikuti ketentuan hak dan kewajiban yang diatur dalam undang-undang. Akan tetapi jika dalam perjanjian dan dalam undang-undang tidak diatur maka akan mengikuti kebiasaan yang

57

Abdulkadir Muhammad, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aditya, Bandung. hlm. 47

58


(50)

berlaku dalam praktik pengangkutan penerbangan yaitu kebiasaan yang dianggap sebagai hukum perdata tidak tertulis. Kriteria yang dapat digunakan agar kebiasaan itu dianggap sebagai hukum perdata tidak tertulis adalah perbuatan yang memenuhi kriteria diterima oleh pihak-pihak karena adil dan masuk akal (logis) dan menuju pada akibat hukum yang dikehendaki.59

59


(51)

BAB III

PENERBANGAN DAN TIKET DI INDONESIA

A. Fungsi dan Peranan Penerbangan di Indonesia

Pengangkutan udara dengan pesawat udara diatur dengan Undang-undang Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 53). Akan tetapi, undang-undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang dan karena itu dicabut serta dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagai penggantinya, diundangkanlah pada tanggal 12 Januari 2009 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. 60

Menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan:

“ Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan

wilayah udara, pesawat udara, Bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas

penunjang dan fasilitas umum lainnya.”61

Peranan Penerbangan di Indonesia sangat besar. Adanya penerbangan jarak jauh menyebabkan jarak bukanlah lagi menjadi masalah. Hanya dalam hitungan jam, seseorang dapat melampaui satu pulau. Apalagi di masa sekarang ini, banyak orang menggunakan pesawat sebagai transportasi sehari-hari dalam urusan bisnisnya. Terdapat dua asas hukum pengangkutan, yaitu asas hukum publik dan asas hukum perdata. Berikut penjelasannya:

60

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: Citra Aditya, 2013), h lm. 11

61


(1)

yang menjual harga tiket diatas batas atas tersebut akan dikenakan sanksi administratif atau bahkan dapat dilakukan pencabutan izin rute penerbangan jika pelanggaran tersebut dirasakan sangat serius.

3. Perlindungan konsumen pengguna maskapai udaraharus dilakukan, hal ini dimaksudkan agar konsumen terhindar dari tindakan yang tidak adil dan sewenang-wenang. Salah satu upaya perlindungan konsumen adalah dengan menetapkan harga tiket batas atas kelas ekonomi angkutan udara yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap konsumen pengguna angkutan udara.

Maskapai penerbangan harus memperoleh laba sehingga dapat mempertahankan Standar Operating Prosedur (SOP) keselamatan penerbangan. Komponen keselamatan penerbangan secara periodic diaudit

oleh ICAO, tentunya dapat dipenuhi oleh Maskapai penerbangan yang mampu menghasilkan laba bagi badan usaha angkutan penerbangan. Selain itu juga kondisi Maskapai penerbangan yang sehat, pada tahap berikutnya akan mampu memberikan pelayanan umum dan menciptakan keselamatan penerbangan kepada penumpang.

Saran

1. Menteri Perhubungan beserta jajarannya disarankan supaya melakukan pemantauan secara proaktif terhadap kenaikan tarif tiket. Jika ditemukan pelanggaran oleh maskapai penerbangan , disarankan agar dikenakan sanksi sesuai ketentuan, demi tercipta perlindungan terhadap konsumen pengguna angkutan udara. Maskapai penerbangan disarankan agar tidak

menjual tiket kelas ekonomi dengan melanggar Undang-undang Penerbangan untuk mendapatkan keuntungan.


(2)

2. Pemerintah dalam hal ini Menteri Perhubungan dengan jajarannya disaran

kan untuk melakukan pengawasan secara ketat tarif tiket penerbangan pada saat musim libur khususnya Idul Fitri dan Tahun Baru. Maskapai penerbangan disarankan supaya mempublikasikan harga batas atas, supaya

para konsumen pengguna angkutan udara mengetahuinya. Pemerintah juga

disarankan untuk menciptakan informasi batas atas harga tiket kelas ekonomi pada situs Direktorat Jenderal Perhubungan Udara agar secara luas diketahui konsumen pengguna angkutan udara.

3. Pemerintah disarankan untuk memperhatikan permintaan dari asosiasi maskapai penerbangan untuk meninjau ulang harga batas atas tiket kelas ekonomi angkutan udara. Jika dirasakan mendasar dan rasional supaya diterima, sehingga keselamatan penerbangan dan pelayanan umum yang diberikan maskapai penerbangan dapat selalu dipertahankan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ashsofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta. Purba, Hasim, 2010, Hukum Penerbangan dan Tanggungjawab Produsen,

Pustaka Bangsa Press, Medan

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.

Martono, H.K, & Agus Pramono, 2013, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, Rajawali Pers, Depok.

Martono, H.K dan Amad Sudiro, 2011, Hukum Angkutan Udara berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, Rajawali Pers, Jakarta.

Martono, H.K. , 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional,

Rajawali Pers, Jakarta

---, 2013, Hukum Angkutan Udara, Rajawali Pers, Depok.

Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2007, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

---, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Margono, Suyud, 2009, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta.

Morissan, Andy Corry dan Farid Hamid, 2012, Metode Penelitian Survei,

Kencana, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2010, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aditya, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir, 2013, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung, 2008, Pengantar Ilmu Ekonomi Mikroekonomi dan Makroekonomi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.


(4)

Sadar, M., Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Akademia, Jakarta

Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Jakarta. Sidabalok, Janus, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra

Aditya, Bandung.

Shofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya, Bandung

---, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung

Soehino, 1986, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta

Susanto, Happy, 2008, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Jakarta Selatan.

Sukirno, Sadono, 2006, Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan, Kencana, Jakarta.

Suratman dan Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabetta, Bandung.

Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Menteri Perhubungan No PM 91 Tahun 2014 Tentang Tarif Batas atas Penumpang Ekonomi

Stb. No. 100 Tahun 1939 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Internet

Internet

http://hubud.dephub.go.id/


(5)

Lampiran

Hasil Wawancara Riset Skripsi

Aulia Rizki, NIM: 110200202 Dengan Kepala Bagian

Humas PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan

Tanggal: 8 April 2015

---

1. Apakah ketika terjadi musim libur (Nasional, sekolah, Idul Fitri dan Tahun Baru) menjadi target maskapai penerbangan untuk meningkatkan secara signifikan omset penjualan maskapai penerbangan ?

Jawab: Ya

2. Ketika terjadi musim libur, apakah kenaikan harga tiket diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar (supply and Demand) tanpa memikirkan keluhan konsumen pengguna maskapai ?

Jawab: Di Sistem Garuda, semua sudah terbuka, siapa yang cepat membeli tiket, pasti dapat yang lebih murah. Dan bila ada customer memerlukan yang lebih murah, dapat dibantu.

3. Apakah maskapai penerbangan membuat perencanaan untuk menambah frekuensi penerbangan saat terjadi musim libur, dalam upaya memenuhi permintaan tiket yang meningkat.

Jawab: Tergantung dari banyaknya permintaan dari penumpang

4. Apakah maskapai penerbangan telah merencanakan untuk menyediakan tambahan pelayanan kepada konsumen pada saat terjadi musim libur, misalnya ketersediaan konsumsi saat terjadi penundaan jadwal penerbangan. Jawab: Garuda sudah ada Standar Operasional Prosedur (SOP) bila terjadi irregularity dengan mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 77.

5. Apakah ada Peraturan Menteri Perhubungan sebagai wakil pemerintah yang menetapkan batas tertinggi harga tiket maskapai penerbangan pada saat berlangsung musim libur.

Jawab: Ya ada, diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan.

6. Bagaimana maskapai penerbangan menetapkan kenaikan harga tiket yang disampaikan kepada agen penjualan tiket maskapai penerbangan.


(6)

7. Pada saat terjadi kenaikan harga tiket yang telah mencapai sangat ekstreem (>200%) dari harga normal, apakah perlu persetujuan pemerintah terlebih dahulu.

Jawab: Tidak ada pernah kenaikan harga tiket Garuda melebihi 200 persen. 8. Bagaimana bentuk pengawasan pemerintah terhadap kenaikan harga tiket

yang ekstrim dalam rangka perlindungan terhadap konsumen maskapai penerbangan.

Jawab: Pemerintah mempunyai harga batas atas dan batas bawah yang harus dipatuhi maskapai.

9. Apakah ada keterkaitan harga tiket yang tinggi diatas normal dengan kenaikan pelayanan pelayanan umum pengguna maskapai maupun dengan peningkatan keselamatan penerbangan. (Adam Air dan Air Asia mengalami kecelakaan saat terjadi musim libur Tahun Baru)

Jawab: Tidak ada, Pelayanan Umum Maskapai Garuda tetap berjalan seperti biasa pada waktu musim puncak, maupun musim sepi.

10.Dengan harga tiket yang tinggi pada musim libur, apakah maskapai penerbangan sudah melengkapi komponen keselamatan penerbangan secara maksimal dengan zero toleran terhadap kekurangan komponen keselamatan penerbangan.

Jawab: Aspek keselamatan telah menjadi prioritas, tidak ada perubahan pada saat peak season ataupun sepi penumpang.

11.Apa saja komponen keselamatan penerbangan yang menjadi prioritas utama untuk selalu terpenuhi, demi terciptanya keselamatan penerbangan. (Pilot, Awak kabin, Teknisi dan bagian tertentu pesawat.)

Jawab: Sudah ada basic operation manual dan audit dari IATA, semua aspek menjadi prioritas

12.Pada saat terjadi musim libur dan harga tiket dibayar konsumen jauh diatas normal, apakah pihak maskapai ataupun regulator/Ditjen Perhubungan Udara memberikan perhatian khusus untuk tercipta dan terpeliharanya keselamatan penerbangan. Dalam bentuk apa perhatian khusus tersebut ?

Jawab: Di Garuda tidak pernah ada kenaikan harga di atas normal. Harga murah adalah harga promo (masih di atas batas bawah) dan harga biasa dalam batas atas.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Pembatalan Penerbangan Secara Sepihak Oleh Penyedia Jasa Kepada Konsumen Jasa Penerbangan Menurut UU Perlindungan Konsumen

2 62 120

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Jasa Penerbangan pada PT. Garuda Indonesia di Medan.

0 14 93

Tinjauan Hukum Terhadap Penerapan Harga Tiket Pesawat Udara Pada Maskapai Garuda INdonesia Untuk Penerbangan Domestik (Analisis Peraturan Mentri Perhubungan No. 26 Tahun 2010)

19 99 120

Tinjauan hukum terhadap penerapan harga tiket pesawat udara pada maskapai Garuda Indonesia untuk penerbangan domestik (analisis peraturan Mentri Perhubungan No. 26 Tahun 2010)

21 123 120

PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL

0 7 100

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA PENERBANGAN ATAS TERJADINYA KETERLAMBATAN ANGKUTAN PENERBANGAN : STUDI PADA PT GARUDA INDONESIA (PERSERO) TBK BANDAR UDARA INTERNASIONAL I GUSTI NGURAH RAI.

2 15 79

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Pene

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket yang Tinggi Ketika Musim Libur dan Keselamatan Penerbangan (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan)

0 0 11

PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN ATAS PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN HARGA TIKET YANG TINGGI KETIKA MUSIM LIBUR DAN KESELAMATAN PENERBANGAN

0 1 9

PERLINDUNGAN KONSUMEN MASKAPAI PENERBANGAN PT.CITLINK INDONESIA JIKA JADWAL PENERBANGAN TIDAK EFEKTIF -

0 0 70