Studi Karakteristik Muara Sungai Belawan Sumatera Utara

(1)

STUDI KARAKTERISTIK MUARA SUNGAI BELAWAN

SUMATERA UTARA

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan melengkapi syarat untuk menempuh

Ujian Sarjana Teknik Sipil

Disusun oleh :

050404072 FAIZ ISMA

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

ABSTRAK

Muara sungai (estuari) merupakan proses tempat terjadinya percampuran dua masa air antara air laut dan air sungai. Masuknya air laut ke arah hulu sungai (intrusi air asin) dari hasil pengamatan lapangan pada muara Sungai Belawan diperoleh sekitar 18 km dari mulut estuari menuju arah hulu sungai hingga diperolehnya kandungan parameter badan air yang tidak terpengaruh salinitas akibat pasut, muara Sungai Belawan memiliki tipe sudut asin (well-mixed estuary).

Dalam pengamatan karakteristik fisik estuari dilakukan penentuan titik lokasi yang dimulai dari mulut estuari yang diberi simbol J hingga kearah hulu sungai dengan simbol A. jarak tiap titik lokasi dari J-A sejauh 18 km dibagi tiap 2 km, kemudian dilakukan pemodelan dengan bantuan program Microsoft Office Excel menggunakan rumus – rumus teoritis dari fisik estuari.

kedalaman maksimum berkisar 12 m akibat pasang tertinggi pada jam ke 3 dan diperoleh penyebaran parameter pada saat pasang tertinggi suhu pada badan air diperoleh 28.14 ºC dan penyebaran kadar garam diperoleh 26.7 ‰ dan penyebaran zat padat tersuspensi diperoleh 99.94 mg/l dari kondisi ini badan air pada saat pasang tertinggi TSS melebihi batas ambang yang diberikan oleh pemerintah menyatakan jika TSS > 80 mg/l tidak layak untuk kehidupan perikanan, mandi dan selam. Akibat debit banjir sebesar 697.81 m3/detik yang mempengaruhi penampang muara Sungai Belawan yang menghasilkan aliran sungai sebesar 0.19 m/det yang akan mendorong kecepatan arus pasut yang terjadi pada model fisik estuari , maka diperoleh intrusi air laut masuk kedalam sungai berkurang sejauh 6 km dari kondisi pada saat debit sebesar 15 m3/detik sehingga intrusi air asin yang masuk kedalam sungai sejauh 12 km


(3)

KATA PENGANTAR

Tiada yang pantas diucapkan selain rasa syukur penulis kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih yang kasih-Nya tiada terpilih, Tuhan Yang Maha

Penyayang yang sayang-Nya tiada terbilang, yang telah memberikan kemampuan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “Studi Karakteristik Fisik Muara

Sungai Belawan Sumatera Utara”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat

untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala jerih payah, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Ahmad Mulia Perwira Tarigan, M.Sc, selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya tugas akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. Boas Hutagalung, M.Sc, Bapak Faizal Ezeddin, MS, Bapak Ir. Sufrizal, M.Eng, selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 5. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan hingga selesainya tugas akhir ini.

6. Ayahanda Drs. Ismail Manurung, M.Ag. dan Ibunda Dra. Deswita, yang telah mendukung baik moril dan materil, serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini

7. Teman-teman seperjuangan angkatan ’05 “CIV05” khususnya Muhammad Iqbal, Edo Febrian, Andri Rivaldi dan Hidrolika Community, terima kasih atas bantuan dan dukungan dalam bentuk apapun selama mengerjakan tugas akhir ini maupun selama masa perkuliahan. Terima kasih yang tak terhingga atas persaudaraan, persahabatan dan kebersamaannya. Masa-masa itu layak untuk dikenang dan dipertahankan akhir hayat nanti.

8. Abang-abang & Kakak-kakak angkatan ’02 ’03 ’04 dan Adik-adik angkatan ’06 ’07 ’08 ’09, terima kasih atas bantuan dan dukungannya baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini, sehingga tugas akhir ini dapat selesai dengan baik dan tanpa menemui hambatan serta rintangan yang berarti.

Penulis menyadari Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, segala saran, masukan dan kritikan yang sifatnya membangun akan penulis terima


(5)

dengan tangan terbuka demi perbaikan tugas akhir ini. Akhir kata penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, September 2010 Hormat Saya,

Penulis

FAIZ ISMA NIM : 05 0404 072


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR NOTASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Umum ... 1

1.2 Latar Belakang ... 3

1.3 Maksud dan Tujuan ... 5

1.4 Pembatasan Masalah ... 6

1.4.1 Batimetri (Modeling Bathymetri) ... 6

1.4.2 Pasang Surut (Tide) ... 6

1.4.3 Arus Pasang Surut (Tide Current) ... 7

1.4.4 Suhu dan kadar garam (Temperature and Salinity) ... 7

1.4.5 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) ... 8

1.5 Ruang Lingkup dan Metodologi ... 9

1.6 Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN LITERATUR... 12

2.1 Batimetri ... 12

2.1.1 Pengukuran kedalaman muara sungai ... 12

2.1.1.a Cara mekanis ... 13

2.1.1.b Perum Gema ... 14

2.1.2 Penentuan Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Jarak ... 15

2.1.3 Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Eksponensial Jarak ... 16

2.2 Pasang Surut ... 17


(7)

2.2.3 Komponen Pasang Surut ... 27

2.2.4 Ramalan Kenaikan Muka Air Akibat Pasut (Spring Tide and Neap Tide) ... 29

2.2.5 Pasang Surut Muara Sungai ... 30

2.3 Arus Pasang Surut (Tidal Current) Muara Sungai ... 33

2.3.1 Hubungan Debit dan Pasang Surut ... 35

2.4 Suhu dan Salinitas Estuari ... 37

2.4.1 Suhu (Temperature) ... 37

2.4.2 Kadar Garam (Salinity) ... 38

2.4.2.1 Pencampuran antara air tawar (sungai) dan air asin (laut) ... 39

2.4.3 Distribusi Gaussian ... 42

2.4.3.1 Suhu Muara Sungai ... 43

2.4.3.2 Salinitas Muara sungai ... 45

2.5 Zat Padat Tersuspensi (TSS) ... 46

2.5.1 Deskripsi Umum Sedimen... 47

2.5.1.1 Partikel sedimen dasar (Bed load) ... 47

2.5.1.2 Partikel sedimen melayang (Suspended load)... 47

2.5.1.3 Saltation Load... 48

2.5.2 Karakteristik Sedimen ... 48

2.5.3 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) ... 51

2.5.3.1 Erosi partikulat (erosion of particulate) ... 53

2.5.3.2 Endapan Partikulat (Deposition of particulate) ... 56

2.5.3.3 Keseimbangan Konsentrasi (Equilibrium Concentrations) ... 57

BAB III KONDISI FISIK LOKASI KAJIAN... 60

3.1. Kondisi Umum Wilayah Muara Sungai Belawan ... 60

3.1.1 Lokasi Muara Sungai Belawan ... 60

3.1.2 Kondisi Fisik Kecamatan Medan Belawan di Kotamadya Medan 61 3.1.2.1 Batas Administratif ... 61

3.1.2.2 Luas Wilayah ... 62

3.1.2.3 Jumlah Penduduk ... 63


(8)

3.1.3 Fasilitas Muara Sungai Belawan ... 66

3.2. Kondisi Klimatologi... 69

3.3 Kondisi Bathimetri Muara Sungai Belawan ... 70

3.4 Kondisi Hidro – Oseanografi... 72

3.5 Kondisi Lapangan ... 78

3.5.1 Penentuan Titik Lokasi di Muara Sungai ... 79

3.5.2 Pengukuran Kedalaman Estuari ... 81

3.5.3 Pengukuran Lebar Estuari ... 81

3.5.4 Pengukuran Salinitas Estuari ... 82

3.5.5 Pengukuran Suhu Estuari ... 83

3.5.6 Pengukuran Kandungan Total Suspended Solid (TSS) Estuari .... 83

3.5.7 Analisa Saringan (Sieve Analysis) ... 87

3.5.8 Peralatan ... 88

3.5.9 Metode Pelaksanaan ... 88

3.6 Hidrologi ... 89

3.7 DAS Belawan ... 90

3.8 Pengerukan ... 92

BAB IV ANALISA PEMODELAN FISIK MUARA SUNGAI BELAWAN .... 97

4.1 Gambaran Umum Pemodelan Fisik Muara Sungai ... 97

4.1.1 Gambaran Lokasi Pemodelan ... 98

4.2 Batimetri Estuari Belawan... 99

4.2.1 Kondisi Penampang Muara Sungai Belawan ... 100

4.2.2 Distribusi Gaussian dan Reverse Gaussian ... 101

4.3 Kedudukan Pasut Estuari Belawan (Spring – Neap Tide) ... 106

4.4 Model Utama Fisik Estuari Belawan ... 111

4.4.1 Seperempat pasut diurnal pengaruh Bulan (lunar quarter- Diurnal ... 111

4.4.2 Perubahan Kedalaman Estuari akibat Pasut (Water Depth Estuary) ………..113

4.4.3 Kecepatan Arus Pasut Estuari (tidal current estuary) ... 115


(9)

4.5 Pemodelan Zat Padat Tersuspensi (TSS) ... 121 4.5.1 Bilangan Estuari... 123 4.6 Gambaran Pemodelan dengan Program Microsoft Office Excel .. 128 4.7 Penentuan Kedalaman dan Lebar Menurut Wright dkk ... 149 4.8 Perhitungan Debit Banjir ... 160 4.8.1 Pengaruh Banjir Terhadap Model Fisik Muara Sungai Belawan . 163

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 165

5.1 Kesimpulan ... 165 5.2 Saran... 166

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Daerah Sungai Belawan Kecamatan Medan Belawan

Kotamadya Medan, Sumatera Utara ... 2

Gambar 2.1. Pengukuran Kedalaman Cara Mekanis ... 15

Gambar 2.2. Alat Perum Gema ... 16

Gambar 2.3. Gaya Tarik Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985) ... 20

Gambar 2.4. Sistem Bumi – Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985) ... 21

Gambar 2.5. Distribusi tractive Force (Thabet,1980) ... 23

Gambar 2.6a. Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Perbani (Neap Tide) ... 24

Gambar 2.6b. Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Purnama (Spring Tide) ... .. 25

Gambar 2.7. Persebaran Tipe Pasang Surut di Indonesia (Teknik Pantai, 1999) ... 26

Gambar 2.8. Tipe Pasang Surut (Teknik Pantai, 1999) ... 27

Gambar 2.9. Pola bolak balik arus pasang surut ... 38

Gambar 2.10. Penampang Pipa ... 44

Gambar 2.11. Proses Percampuran Air Tawar dan Air Asin ... 47

Gambar 2.12. Penyebaran Gaussian untuk Parameter Badan Air .……… 50

Gambar 2.13. Variasi Penyebaran Parameter Suhu Estuari ... 51

Gambar 2.14. Variasi PenyebaranSalinitas Estuari ... 53

Gambar 2.15. Grafik Kecepatan Kritis Terhadap Diameter Butir Sedimen ... 62

Gambar 2.16. Keseimbangan gaya-gaya yang bekerja pada partikel sedimen . 63 Gambar 3.1. Peta Kotamadya Medan ... 68

Gambar 3.2. Peta Kecamatan Medan Belawan ... 70

Gambar 3.3. Fasilitas Muara Sungai Belawan ... 76

Gambar 3.4. Bathimetri Muara Sungai Belawan ... 79

Gambar 3.5. Sket Lokasi Pengamatan Pasut (sumber: Pelindo I) ... 80

Gambar 3.6. Grafik pengamatan pasut selama 15 hari di Muara Sungai Belawan ... 82


(11)

Gambar 3.8. Pengayakan Saringan ... 96 Gambar 3.9. Sebaran Kelerengan Lahan DAS Belawan ... 99 Gambar 3.10. Profil Memanjang As Alur Pelayaran Pelabuhan Belawan berdasarkan

Pre Dredge Sounding Tahun 1993 -1996, dan final Sounding Tahun 1993 – 1996 (dalam meter, sumbu y adalah kedalaman dari LWS, sumbu x adalah alur dari station 0.. ... 103 Gambar 4.1. Sket Model Fisik Muara Sungai Belawan ... 105 Gambar 4.2. Persiapan Sampel Sedimen ... 122 Gambar 4.4 Kondisi batimetri estuari Belawan dengan MS. Office Excel…….. 131 Gambar 4.5 Hasil perhitungan pasut dengan MS. Office Excel ... 134 Gambar 4.6 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi I ………. 135 Gambar 4.7 Grafik Arus Pasut Lokasi Titik I ……….. 138 Gambar 4.8 Grafik Kedalaman Estuari Akibat Pasut Lokasi Titik I………139 Gambar 4.9 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi J………. 140 Gambar 4.10 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi H……….. 140 Gambar 4.11 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi G……….. 141 Gambar 4.12 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi F……….. 141 Gambar 4.13 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi E……….. 142 Gambar 4.14 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi D……….. 142 Gambar 4.15 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi C……….. 143 Gambar 4.16 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi B……….. 143 Gambar 4.17 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik


(12)

Gambar 4.18 Grafik Perbandingan Kedalaman Lapangan dan Kedalaman

Pemodelan Muara Sungai Belawan………... 148 Gambar 4.19 Grafik Perbandingan Lebar Lapangan dan Lebar Pemodelan Muara

Sungai Belawan………... 149 Gambar 4.20 Grafik Perbandingan Lebar Lapangan dan Lebar Pemodelan Muara Sungai Belawan………... 150 Gambar 4.21 Kondisi batimetri estuari Belawan dengan MS. Office Excel

menggunakan persamaan Wright dkk……… 151 Gambar 4.22 Hasil Pemodelan fisik estuari dengan Ms – Office Excel pada Titik

Lokasi I ………152 Gambar 4.23 Grafik perbandingan arus dari data lapangan dengan data penampang

menurut Wright dkk ……… 152 Gambar 4.24 Grafik perbandingan arus dari data lapangan dengan data Penampang


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Koefisien estuari, prandle (1986) ... 18

Tabel 2.2. Pengelompokan Tipe Pasut ... 28

Tabel 2.3. Komponen Pasang Surut ... 29

Tabel 2.4. Skala Wenworth dari klasifikasi ukuran sedimen ... 57

Tabel 2.5. Koefisien hambatan (Drag coefficients) berdasarkan partikel dasar saluran saluran muara (Dyer, 1986) ... 61

Tabel 3.1. Daftar luas kecamatan Kotamadya Medan ... 71

Tabel 3.2. Jumlah penduduk Kotamadya Medan ... 72

Tabel 3.3. Banyak Hari Hujan dan Curah Hujan ... 78

Tabel 3.4. Hasil Pengamatan Pasang Surut selama 15 hari ... 81

Tabel 3.5. Komponen Pasang Surut Hasil Pengamatan ... 83

Tabel 3.6. Penentuan Titik Sampel Selama Dua Hari ... 86

Tabel 3.7. Pengukuran Kedalaman Estuari ... 87

Tabel 3.8. Hasil Pengukuran Lebar Muara ... 88

Tabel 3.9. Pengukuran Salinitas Estuari Belawan ... 88

Tabel 3.10. Pengukuran Suhu Estuari ... 89

Tabel 3.11. Titik Pengambilan Sampel Air ... 90

Tabel 3.12. Hasil Pengukuran Total suspended Solid (TSS) ... 93

Tabel 3.13. Anak-Anak Sungai DAS Belawan ... 97

Tabel 3.14. Volume Pengerukan Alur Pelayaran dan Kolam Pelabuhan Priode Tahun 1979 – 1990 ... 100

Tabel 3.15. Volume pengerukan alur dan kolam pelabuhan periode tahun 1997-2002 ... 101

Tabel 4.1. Koordinat Titik Sampel ... 106

Tabel 4.2. Kedalaman, Lebar dan Luas Penampang Muara Sungai ... 107

Tabel 4.3. Perhitungan pasang surut selama 24 jam ... 113

Tabel 4.4. Analisa Saringan pada Mulut Estuari ... 123

Tabel 4.5. Analisa Hidrometer sedimen ... 123


(14)

bantuan MS Office Excel ……… 135 Tabel 4.8 Kode pemerograman pemodelan fisik estuari dengan bantuan MS Office

Excel untuk model utama………. 136 Tabel 4.9 Perubahan kedalaman estuari tiap jam akibat pasut selama 12 jam…... 137 Tabel 4.10 Perubahan kedalaman estuari dan arus pasut selama 24 jam ……… 138 Tabel 4.11 Penyebaran Parameter Badan Air Estuari……… 139 Tabel 4.12 Kode pemerograman Matlab untuk koefisien lebar estuari (a)…….. 146 Tabel 4.13 Kode pemerograman Matlab untuk koefisien kedalaman estuari (b).. 146 Tabel 4.14 Pebandingan antara kedalaman pemodelan dan kedalaman lapangan

estuari Belawan ……….. 147 Tabel 4.15 Pebandingan antara lebar pemodelan dan lebar lapangan estuari

Belawan………. 148 Tabel 4.16 Pebandingan antara luas penampang pemodelan dan luas penampang lapangan estuari Belawan………. 150 Tabel 4.17 Perbandingan arus pasut dari data lapangan dengan data Wright dkk.. 152 Tabel 4.18 Perbandingan TSS dari data lapangan dengan data Wright dkk ……... 153


(15)

DAFTAR NOTASI

- me : massa bumi

- mi : massa bulan (Mm) atau massa matahari (Ms)

- r : jarak pusat Bumi – pusat Bulan (km)

- ω : kecepatan sudut bumi bulan mengelilingi sumbu bersama (rad/detik) - Φ : sudut yang terbentuk oleh bumi terhadap bulan

- F : bilangan Formzal

- AK1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari

- AO1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan

- AM2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan

- hS2(t) : Kenaikan muka air akibat gaya tarik matahari terhadap bumi (m)

- hM2(t) : Kenaikan muka air akibat gaya tarik bulan terhadap bumi (m)

- h(t) : Kenaikan muka air total akibat pasut terhadap waktu (m) - DT : Tinggi muka air rata – rata pasut

- h : Kedalaman aliran air (m) - g : Percepatan gravitasi (m/s2)

- T : Priode pasut lunar quarter-diurnal (6.21 jam). - hM4(t) : Kedalaman air pada waktu t (m)

- AM4 : Amplitudo seperampat pasut diurnal pengaruh Bulan (lunar quarter- diurnal)

- uf : kecepatan air sungai (m/s)

- Ne : Bilangan estuari

- U(x,t) : Total kecepatan arus pasut terhadap waktu dan jarak (m/det) - Δht : rentang kedalaman yang terjadi tiap jam akibat pasut (m)

- σx : standard deviasi dari suatu variasi parameter

- ωs


(16)

- M : koefisien erosi (kg/m2s)

- Sp : parameter suspensi tergantung pada bentuk tipe estuari

- um : kecepatan arus pasut rata-rata maximum (m/s)

- ucr : kecepatan kritis batas ambang (m/s)


(17)

ABSTRAK

Muara sungai (estuari) merupakan proses tempat terjadinya percampuran dua masa air antara air laut dan air sungai. Masuknya air laut ke arah hulu sungai (intrusi air asin) dari hasil pengamatan lapangan pada muara Sungai Belawan diperoleh sekitar 18 km dari mulut estuari menuju arah hulu sungai hingga diperolehnya kandungan parameter badan air yang tidak terpengaruh salinitas akibat pasut, muara Sungai Belawan memiliki tipe sudut asin (well-mixed estuary).

Dalam pengamatan karakteristik fisik estuari dilakukan penentuan titik lokasi yang dimulai dari mulut estuari yang diberi simbol J hingga kearah hulu sungai dengan simbol A. jarak tiap titik lokasi dari J-A sejauh 18 km dibagi tiap 2 km, kemudian dilakukan pemodelan dengan bantuan program Microsoft Office Excel menggunakan rumus – rumus teoritis dari fisik estuari.

kedalaman maksimum berkisar 12 m akibat pasang tertinggi pada jam ke 3 dan diperoleh penyebaran parameter pada saat pasang tertinggi suhu pada badan air diperoleh 28.14 ºC dan penyebaran kadar garam diperoleh 26.7 ‰ dan penyebaran zat padat tersuspensi diperoleh 99.94 mg/l dari kondisi ini badan air pada saat pasang tertinggi TSS melebihi batas ambang yang diberikan oleh pemerintah menyatakan jika TSS > 80 mg/l tidak layak untuk kehidupan perikanan, mandi dan selam. Akibat debit banjir sebesar 697.81 m3/detik yang mempengaruhi penampang muara Sungai Belawan yang menghasilkan aliran sungai sebesar 0.19 m/det yang akan mendorong kecepatan arus pasut yang terjadi pada model fisik estuari , maka diperoleh intrusi air laut masuk kedalam sungai berkurang sejauh 6 km dari kondisi pada saat debit sebesar 15 m3/detik sehingga intrusi air asin yang masuk kedalam sungai sejauh 12 km


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Umum

Secara umum estuari mempunyai peran ekologis penting antara lain : sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada

estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri

Muara mempunyai nilai ekonomis yang penting, karena dapat berfungsi sebagai alur penghubung antara laut dan daerah yang cukup dalam di daratan. Pengaruh pasang surut yang masuk ke estuari dapat menyebabkan kenaikan muka air, baik pada waktu air pasang maupun air surut. Selama periode pasang air dari laut dan dari sungai masuk ke estuari dan terakumulasi dalam jumlah sangat besar, dan pada periode surut volume air tersebut akan kembali ke laut, sehingga karena besarnya volume air yang dialirkan ke laut maka kedalaman aliran akan cukup besar. Selain itu kecepatan arus juga besar yang dapat mengerosi dasar estuari sehingga dapat mempertahankan kedalaman aliran. Kondisi ini memungkikan digunakannya estuari untuk alur pelayaran menuju ke daerah pedalaman. Dengan demikian keberadaan estuari akan mempercepat perkembangan


(19)

daerah yang ada di sekitarnya, karena memungkinkan dibukanya pelabuhan-pelabuhan di daerah tersebut. Beberapa pelabuhan yang berada di estuari diantaranya adalah pelabuhan Belawan, Palembang, London, New York, dan sebagainya.

Penjalaran pasang surut ke estuari disertai juga intrusi air asin, yang kadang-kadang bisa sampai jauh ke hulu sungai. Pengetahuan intrusi air asin adalah penting untuk mengetahui dinamika sedimen di estuari, penentuan letak bangunan pengambilan (intake) dari saluran primer di daerah persawahan pasang surut atau tambak. Daerah

pertanian tidak boleh dipengaruhi air asin. Oleh karena itu saluran irigasi harus diletakkan di daerah yang tidak dipengaruhi air asin. Demikian juga, suatu jenis ikan/udang akan berkembang dengan baik pada lingkungan dengan kadar garam tertentu. Letak intake saluran dari suatu tambak harus sedemikian rupa sehingga kadar garam air untuk tambak memenuhi persyaratan. Lokasi studi tugas akhir ini adalah muara Sungai Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan di Kota Madya Medan, Sumatera Utara.

Gambar.1 Daerah Muara Sungai Belawan Kecamatan Medan Belawan Kota Madya


(20)

Sungai Belawan merupakan salah satu dari delapan sungai yang ada di Kota Medan. Kecamatan Medan Belawan terletak di wilayah Ut Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Marelan dan Kecamatan Medan Labuhan, Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka. Kecamatan Medan Belawan dengan luas wilayahnya 26,25 KM², Kecamatan Medan Belawan adalah daerah pesisir Kota Medan dan merupakan wilayah bahari dan maritim yang berbatasan langsung pada Selat Malaka dengan penduduknya berjumlah 94.735 jiwa (2006).

Di Kecamatan Medan Belawan ini terdapat Pelabuhan Belawan yang merupakan pelabuhan terbuka untuk perdagangan internasional, regional dan nasional. Pelabuhan Belawan ini merupakan urat nadi perekonomian Sumatera Utara khususnya arus keluar masuk barang dan penumpang melalui angkutan laut, sehingga Kota Medan dikenal dengan pintu gerbang Indonesia bagian Barat.

1.2 Latar Belakang

Estuaria merupakan badan air tempat terjadinya percampuran masa air laut yang dipengaruhi oleh pasang surut dengan air tawar yang berasal dari sungai. Hal ini menyebabkan kondisi perairan ini sangat tergantung pada kondisi air laut dan air tawar yang masuk ke dalamnya. Pengaruh pasang surut terhadap sirkulasi aliran (kecepatan /debit sungai, profil muka air, intrusi air asin) di estuari dapat sampai jauh ke sungai yang tergantung pada tinggi pasang surut, dan karakteristik estuari (tampang aliran, kekasaran dinding, dan sebagainya).


(21)

Muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran/pembuangan debit sungai, terutama pada waktu banjir pada hulu dan tengah sungai yang merupakan tempat aktivitas manusia sehingga banjir tersebut dapat dibuang ke laut. Karena letaknya yang berada di ujung hilir, maka debit aliran di muara adalah lebih besar dibanding tampang sungai di sebelah hulu. Selain itu muara sungai juga harus melewatkan debit yang ditimbulkan oleh pasang surut, yang bisa lebih besar dari debit sungai. Sesuai dengan fungsinya tersebut muara sungai harus cukup lebar dan dalam. Permasalahan yang sering dijumpai adalah banyaknya endapan di muara sungai sehingga tampang alirannya kecil, yang dapat mengganggu pembuangan debit sungai ke laut. Ketidaklancaran pembuangan tersebut dapat mengakibatkan banjir di daerah hulu muara.

Proses masuknya air laut ke muara dikenal dengan instrusi air laut. Jarak instrusi air laut sangat tergantung pada krakteristik muara, pasang surut, dan debit sungai. Semakin besar tinggi pasang surut dan semakin kecil debit sungai semakin jauh instrusi air laut atau sebaliknya. Transpor garam di muara terjadi secara konveksi dan difusi. Secara konveksi artinya garam terbawa (terangkut) bersama dengan aliran air (karena terpengaruh kecepatan aliran). Transpor secara difusi terjadi karena adanya turbulensi dan perbedaan kadar garam disuatu titik dengan titik – titik disekitarnya, sehingga kadar garam akan menyebar ketitik konsentrasi yang lebih rendah, kedua transpor yang terjadi secara bersamaan (konveksi dan difusi) disebut dengan dispersi.

Nybakken (1992) menyatakan bahwa keberadaan lumpur di dasar perairan sangat dipengaruhi oleh banyaknya partikel tersuspensi yang dibawa oleh air tawar dan air laut serta faktor-faktor yang mempengaruhi penggumpalan, pengendapan bahan tersuspensi tersebut, seperti arus dari laut. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus


(22)

maka proses pendangkalan akibat proses sedimentasi akan berdampak terhadap berbagai aspek dalam perairan baik dari segi aspek biologis maupun ekologis.

Dalam muara, air sungai bercampur dengan air laut melalui aktivitas pasang surut dan gelombang (Nelson et al dalam Purba, 2006). Salah satu peranan penting muara sungai adalah sebagai tempat pengeluaran/ pembuangan debit sungai yang membawa material yang disuplai dari darat. Material ini sebagian akan mengendap di muara sungai dan sisanya akan diteruskan ke laut. Gross (1972) menekankan bahwa pasang mendominasi sirkulasi air di sebagian besar muara sungai, sehingga suplai air di muara sungai bergantung pada peristiwa pasang surut. Arus pasang akan mampu mengaduk sedimen yang ada di muara sungai dimana hal ini akan terkait dengan konsentrasi padatan tersuspensi yang ada di muara sungai.

Padatan tersuspensi secara langsung akan menyebabkan naiknya tingkat kekeruhan di perairan muara. Material padatan tersuspensi yang berada di kolom air akan menghambat penetrasi cahaya matahari yang masuk ke perairan, akibatnya proses fotosintesis oleh fitoplankton akan terhambat yang menyebabkan kandungan oksigen terlarut diperairan menurun.

1.3 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik fisik muara sungai merupakan kecepatan arus yang disebabkan dari pasut laut dan debit aliran sungai belawan, penyebaran parameter suhu dan kadar garam pada badan air muara sungai belawan akibat adanya perpindahan yang disebabkan arus pasut dari laut dan aliran sungai belawan. Kemudian dilakukan perbandingan antara kondisi fisik lapangan dengan kondisi fisik muara sungai yang menggunakan persamaan wright dkk.


(23)

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk kepentingan pihak – pihak terkait dalam pengembangan pembangunan dan pelestarian di kawasan muara sungai belawan.

1.4 Pembatasan Masalah

Dalam penulisan Tugas Akhir ini, permasalahan yang akan dibahas dibatasi ruang lingkupnya agar tidak terlalu luas, permasalahan yang akan dibahas hanya sebatas karakteristik fisik Muara Sungai Belawan yang akan dimodelkan dengan bantuan program Microsoft Office Excel, sehingga dapat diketahui perubahan fisik muara yang terjadi tiap titik lokasi sepanjang muara sungai, cakupan yang akan dibahas dari karakteristik fisik estari adalah :

1.4.1 Batimetri (Modeling Bathymetri)

Bathimetri adalah pengukuran lebar (W), kedalaman (D) dan jarak (L). Peralatan yang digunakan untuk mengukur jarak dan lebar menggunakan Global Positioning System (GPS). Sedangkan peralatan yang digunakan untuk mengukur kedalaman adalah

Fishfinder 240 blue.

1.4.2 Pasang Surut (Tide)

Pasang surut adalah perubahan elevasi muka air laut akibat adanya gaya tarik benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Perubahan elevasi muka air laut tersebut berlangsung secara periodik (Teknik Pantai, 1999). Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu pasang surut harian ganda (semidiurnal tide), pasang surut harian tunggal (diurnal tide), pasang surut campuran


(24)

1.4.3 Arus Pasut (Tide Current)

Arus adalah pergerakan air secara horizontal yang disebabkan adanya perubahan ketinggian permukaan laut. Arus lautan global merupakan pergerakan masa air yang sangat besar dan arus ini yang mempengaruhi arah aliran air lautan dan terkait antara satu lautan dengan lautan lain di seluruh dunia. Adanya arus lautan ini disebabkan oleh perputaran bumi.

Pada umumnya arus terjadi sepanjang pantai disebabkan oleh perbedaan muka air pasang dan surut tiap jam di sepanjang estuari yang dipengaruhi volume dari arah hulu sungai (upstream) menuju hilir sungai (downstream), sehingga perilaku arus dipengaruhi pola pasang surut. Kecepatan arus yang aman untuk kapal berlabuh disyaratkan berkecepatan maksimal 2 knot atau 1 m/dt.

1.4.4 Suhu dan kadar garam (Temperature and Salinity)

Suhu air di daerah estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan diurnal yang lebih besar daripada laut, terutama apabila estuaria tersebut dangkal dan air yang datang (pada saat pasang-naik) ke perairan estuaria tersebut kontak dengan daerah yang substratnya terekspos (Kinne, 1964).

Suhu dan salinitas merupakan parameter-parameter fisika yang penting untuk kehidupan organisme di perairan laut dan payau. Parameter ini sangat spesifik di perairan estuaria. Kenaikan suhu di atas kisaran toleransi organism dapat meningkatkan laju metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi dan aktifitas organisme. Kenaikan laju metabolisme dan aktifitas ini berbeda untuk spesies, proses dan level atau kisaran suhu.

Kadar garam dalam sistem estuari berbeda-beda sepanjang siklus pasang surut, umumnya bertambah pada air tinggi dan berkurang pada air rendah. Pendekatan ini


(25)

sudah digunakan oleh West dan Williams (1975). dalam Tay Estuary di Skotlandia. Kadar garam air laut biasanya diasumsikan dengan 35 ‰ yang masuk menuju sungai yang berbatasan dengan laut akibat pasang yang terjadi dilaut dan dipengaruhi dari debit sungai, sehingga terjadinya campuran antara air tawar (sungai) dan air asin (laut). Intrusi air asin yang masuk ke sungai tergantung pada tingginya pasang yang masuk ke sungai.

1.4.5 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid)

Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, Zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan. Penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sebaran zat padat tersuspensi di laut antara lain dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat melalui aliran sungai, ataupun dari udara dan perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan.

Kandungan zat padat tersuspensi masih sesuai dengan Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk kepentingan perikanan dan taman laut konservasi yaitu < 80 mg/l, namun tidak sesuai untuk kepentingan pariwisata (mandi selam dan renang) yaitu < 23 mg/l. Menurut US-EPA pengaruh padatan tersuspensi sangat beragam, tergantung pada sifat kimia alamiah bahan tersuspensi tersebut.


(26)

1.5 Ruang Lingkup dan Metodologi

Adapun metode penulisan yang dilakukan dalam penyelesaian tugas akhir ini adalah :

1. Studi pustaka / literatur

Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data – data dan informasi dari buku, serta jurnal – jurnal yang mempunyai relevansi dengan bahasan dalam tugas akhir ini serta masukan-masukan dari dosen pembimbing.

2. Studi lapangan

a. Pengambilan data sekunder

Dilakukan pengumpulan data – data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait di daerah penelitian.

b. Pengambilan data primer

c. Data ini diperoleh dengan mengadakan survei dilapangan.

3. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari lapangan dan kepustakaan yang bersesuaian dengan pokok bahasan, disusun secara sitematis dan logis dan dilakukan korelasi sehingga diperoleh suatu gambaran umum yang akan dibahas dalam tugas akhir ini.

4. Analisa Data

Dari hasil pengolahan data akan didapat model fisik muara di kawasan muara sungai Belawan, Sumatera Utara.


(27)

Seluruh data dan hasil pengolahannya akan disajikan dalam satu laporan yang telah disusun sedemikian rupa hingga berbentuk sebuah laporan tugas akhir.

1.6 Sistematika Penulisan

Bab I berisikan pendahuluan yang memberikan penjelasan tentang muara sungai deli Sumatera Utara dan memberikan gambaran umum tentang muara serta tujuan, ruang lingkup dan metodologi dalam penulisan tugas akhir ini.

Bab II berisikan studi literatur yang menguraikan karakteristik model fisik muara kemudian diuraikan juga bagaimana proses transpor sedimen yang terjadi di Muara Sungai Belawan .

Bab III memberikan gambaran lokasi studi tugas akhir yang menjelaskan kondisi daerah Muara Sungai Belawan.

Bab IV berisikan hasil dan pembahasan dari data-data yang diperoleh di lapangan untuk melakukan pemodelan dengan bantuan program microscoft office excel menggunakan rumus-rumus teoritis tentang fisik di Muara Sungai Belawan dan kemudian dilakukan perbandingan dengan data lapangan.

Bab V berisi kesimpulan yang dirangkum dari hasil simulasi yang dilakukan dan saran-saran untuk penelitian yang lebih lanjut.


(28)

BAB II

STUDI LITERATUR

2.1 Batimetri

Bathimetri merupakan kegiatan pengumpulan data kedalaman dasar muara dengan metode penginderaan atau rekaman dari permukaan dasar perairan, yang akan diolah untuk menghasilkan relief dasar perairan, sehingga dapat digambarkan susunan dari garis-garis kedalaman (kontur). Pemetaan kondisi dasar perairan tersebut dikonversikan dalam keadaan surut terendah (Low Water Surface).

Unsur utama pembuatan bathymetri adalah pengukuran jarak dan kedalaman. Peralatan yang digunakan untuk mengukur jarak antara lain Theodolith, Electronic Data Measurement (EDM), atau Global Positioning System (GPS). Sedangkan peralatan yang

digunakan untuk mengukur kedalaman adalah fishfinder 240 blue dan perahu boat. Faktor lain yang sangat mempengaruhi pengukuran batimetri adalah dinamika media air muara berupa pasang surut muara sungai, sehingga sangat sulit untuk menentukan objek yang sama pada waktu yang berbeda. Dengan demikian pada pengukuran kedalaman dasar muara perlu dilakukan 3 pengukuran sekaligus pada waktu yang bersamaan yaitu pengukuran kedalaman, pengukuran posisi alat ukur kedalaman, dan pengukuran pasang surut. Dari ketiga data tersebut akan menjadi informasi kedalaman muara pada posisi tersebut terhadap suatu bidang refrensi (chart datum).

2.1.1 Pengukuran kedalaman muara sungai

Kedalaman muara sungai adalah jarak antara dasar muara pada suatu tempat terhadap permukaan muaranya. Kedalaman muara ini dapat dibagi menjadi beberapa jenis, seperti kedalaman ukuran yaitu kedalaman yang didapat dari bacaan alat ukur;


(29)

kedalaman lainnya adalah kedalaman peta, yaitu kedalaman dasar muara suatu tempat terhadap chart datumnya.

Pengukuran kedalaman muara dapat dilakukan dengan beberapa cara, metoda yang paling sederhana adalah cara mekanis dengan menggunakan galah atau tali ukur, sedangkan yang sangat canggih adalah dengan menggunakan sinar laser yang dipancarkan dari pesawat terbang. Namun cara yang sering digunakan adalah metoda perum gema ( fishfinder)

2.1.1.a Cara mekanis

Cara yang paling sederhana dalam mengukur kedalaman estuari adalah dengan menggunakan galah berskala, dengan membaca kedudukan muka laut pada skala galah maka kedalaman bacaan didapat. Namun cara ini sangat berkaitan dengan panjang galah, semakin panjang galah maka semakin banyak masalah didapat dalam pengukuran. Maka untuk lebih memudahkan pengukuran galah diganti dengan pita ukur berskala dengan pemberat diujungnya dikenal dengan sebutan lot, seperti terlihat pada Gambar

Dengan cara ini pengukuran dapat dilakukan lebih dalam lagi namun masalah baru timbul diantaranya bila pemberat cukup ringan maka pita akan mudah dipengaruhi kedudukannya oleh arus laut sehingga bentangan pita akan melengkung, sedangkan bila pemberat cukup berat maka pita akan meregang sehingga kedalaman bacaan akan lebih kecil dari yang seharusnya.

Pada kedua cara mekanis tersebut diatas data yang didapat terbatas pada tempat atau posisi alat tersebut diturunkan, sedangkan diantara dua tempat yang berurutan tidak diketahui atau diasumsikan mempunyai kedalaman diantara kedua kedalaman pada sisinya, sehingga untuk mendapatkan ukuran yang lebih baik Interval jarak antara dua


(30)

kedalaman dirapatkan namun berakibat waktu yang dibutuhkan untuk mengukur lebih lama.

Sekalipun demikian cara tersebut diatas tidak berarti tidak dapat digunakan pada masa kini, cara tersebut masih dapat digunakan dalam beberapa kondisi yaitu :

a. Daerah yang diukur mempunyai kelandaian rendah yang mempunyai permukaan relatif rata.

b. Pengukuran diikuti dengan penyapuan kedalaman walaupun dilakukan dengan cara yang juga sederhana (Dragging) untuk memeriksa dasar laut dari kedalalaman yang lebih kecil dari batas tertentu, seperti pada kedalaman sampai 6 meter.

c. Pengukuran yang dilakukan untuk memeriksa secara acak pada daerah hasil ukuran yang akan disetujui.

Gambar 2.1 Pengukuran Kedalaman Cara Mekanis

2.1.1.b Perum Gema

Cara ini menggunakan gelombang suara yang dipancarkan oleh transducer pemancar pada permukaan laut kemudian dipantulkan oleh dasar laut dan diterima kembali oleh transducer penerima, transducer pemancar dan penerima dapat terletak


(31)

pada tempat yang terpisah ataupun yang relatif sama. Gelombang udara tersebut yang dikemas dalam bentuk pulsa-pulsa menjalar pada medium air laut dengan kecepatan kurang lebih 1500 m/detik dengan panjang lintasannya dua kali kedalaman air laut yang dilaluinya.

Gambar 2.2 Alat Perum Gema (fishfinder 240 blue)

2.1.2 Penentuan Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Jarak

Menurut wright dkk (1973) menyatakan bahwa lebar dan kedalaman estuari dapat diwakili dengan persamaan berikut ini :

………. (2.1) ……….. (2.2)

) / ( 0

L x a x W e

W = −

) / ( 0

L x b x D e


(32)

Persamaan tersebut dikembangkan oleh Prandle (1986) menyatakan bahwa umumnya teori analisis untuk dinamika dari batimetri estuari dapat didekati dengan fungsi.

n L x x W W      

= λ ………….……….. (2.3)

dan m L x x D D      

= λ ………. (2.4)

Dimana :

Wx adalah lebar estuari (m)

WL adalah lebar pada mulut estuari (m)

Dx adalah Kedalaman estuari (m)

DL adalah kedalaman pada mulut estuary (m)

x adalah pengukuran dari mulut muara hingga hulu (m) m dan n adalah koefisien estuari

λ adalah dimensi horizontal sebagai panjang estuari (m) a dan b merupakan koefisien estuary

2.1.3 Lebar dan Kedalaman Sebagai Fungsi Eksponensial Jarak

Dyer (1986) mencatat bahwa banyak estuari yang dapat ditunjukkan secara eksponensial variasi lebar, kedalaman, dan luas penampang dari jarak mulut estuari (mouth estuary). Dengan cara yang sama, prandle (1986) menggantikan menajadi persamaan dan persamaan.

nx x W e

W = 0 − ……… (2.5)

mx L x D e

D = − ………... (2.6)

Dimana m dan n merupakan koefisien estuari.

Prandle (1986) telah melakukan percobaan pada estuari seperti terlihat pada tabel 1.1 dan memberikan suatu nilai koefisian estuari.


(33)

Tabel 2.1 Koefisien estuari, prandle (1986)

Nama Estuari

Panjang Estuari

(km) n m

Fraser 135 -0.7 0.7

Rotterdam 99 0 0

Hudson 248 0.7 0.4

Potomac 184 1.0 0.4

Delaware 214 2.1 0.3

Miramichi 55 2.7 0

Bay of Fundy 635 1.5 1.0

Thames 95 2.3 0.7

Bristol Channel 623 1.7 1.2

St Lawrence 418 1.5 1.9

2.2 Pasang Surut

Pasang surut merupakan perubahan elevasi muka air laut akibat adanya gaya tarik benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Perubahan elevasi muka air laut tersebut berlangsung secara periodik (Teknik Pantai, 1999).

Fenomena pergerakan naik turunya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik-menarik antara benda-benda astronomi terutama oleh matahari dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil.

Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih


(34)

dekat dari pada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari.

2.2.1 Pembangkit pasang surut

Meskipun sudah sejak lama diketahui bahwa gejala pasang surut laut terutama dihasilkan oleh adanya gaya tarik bulan dan matahari, namun baru setelah Newton pada tahun 1807 menemukan hukum gravitasi, gejala pasang surut dapat dianalisa secara kuantitatif.

Pertama pertimbangkan keadaan sederhana ini. Pusat dari gravitasi bulan terletak pada bidang yang sama dengan ekuator bumi dan bulan berada pada suatu jarak yang konstan dari bumi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.3 Gaya Tarik Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985)

Teori kesetimbangan pertama kali diperkenalkan oleh Sir Isaac Newton (1642-1727), Teori ini menerangkan sifat-sifat pasut secara kualitatif. Teori terjadi pada bumi ideal yang seluruh permukaannya ditutupi oleh air dan pengaruh kelembaman (Inertia) diabaikan. Teori ini menyatakan bahwa naik-turunnya permukaan laut sebanding


(35)

dengan gaya pembangkit pasang surut (King, 1966). Untuk memahami gaya pembangkit pasang surut dilakukan dengan memisahkan pergerakan sistem bumi-bulan-matahari menjadi 2 yaitu, sistem bumi-bulan dan sistem bumi-bumi-bulan-matahari.

Pada teori kesetimbangan, bumi diasumsikan tertutup air dengan kedalaman dan densitas yang sama dan naik turun muka laut sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut (Tide Generating Force) yaitu Resultante gaya tarik bulan dan gaya sentrifugal, teori ini berkaitan dengan hubungan antara laut, massa air yang naik, bulan, dan matahari. Gaya pembangkit pasut ini akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi dan air rendah pada dua lokasi (Gross, 1987).

Newton menunjukkan bahwa kekuatan atraksi antara kedua benda-benda angkasa, dalam hal ini proporsional dengan produk massanya dan sebaliknya proporsional dengan jarak pemisahnya r, Newton mendefensikan proporsinalitas konstan sebagai G, konstan gravitasi universal, (6.672 x 10-11 Nm2kg-2), sehingga kekuatan yang ada menjadi :

……….. (2.7)

Dimana :

M adalah massa bumi berkisar 4,1 x 1023 slug= 14,59 x 4,1 x 1023 = 59,819 x

1023 kg

• m adalah massa bulan berkisar 7.0375 x 1022 kg dan massa matahari berkisar 1.9206 x 1030 kg

• Jarak rata-rata bumi-bulan (r) (238.862 mil = 1,609 x 238862 = 384.328,958km)

2 r

m M G F =


(36)

2 2

.

r m M G r M ω e =

2 2

r m M G r mω m =

Gambar 2.4 Sistem Bumi – Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985)

Sistem Bumi – Bulan di atas dapat dilukiskan sebagai berikut: M adalah massa Bumi (kg)

m adalah massa Bulan (kg)

ω = kecepatan sudut dari sistem Bumi - Bulan pada sumbu bersama (rad/detik) r = jarak pusat Bumi – pusat Bulan (km)

rm= jarak pusat Bulan – sumbu bersama (km) re = jarak pusat Bumi – sumbu bersama (km) r = rm + re

Pada sistem Bumi-Bulan, dimana Bumi dianggap tidak berotasi pada sumbunya, tetapi mengadakan putaran (revolusi) pada sumbu putaran bersama Bumi-Bulan. Sistem Bumi-Bulan dalam keadaan setimbang, gaya-gaya yang bekerja pada sistem itu adalah gaya tarik menarik dan gaya sentrifugal pada sumbu bersama.

• Keseimbangan gaya yang terjadi di Bumi :

……… (2.8)

• Keseimbangan gaya yang terjadi di Bulan :


(37)

Dimana

ω adalah kecepatan sudut bumi bulan mengelilingi sumbu bersama (rad/detik) rm= jarak pusat Bulan – sumbu bersama (km)

re = jarak pusat Bumi – sumbu bersama (km)

Gaya pembangkit pasut membentuk sudut dengan permukaan bumi. Komponen tegak lurus terhadap permukaan bumi menambah atau mengurangi gaya gravitasi bumi. Akan tetapi pengaruhnya kecil (orde magnitude 10-7 g), untuk gerakan air sebenarnya , hanya komponen tangensial terhadap permukaan bumilah yang penting. Komponen ini selanjutnya disebut Tractive Force, Fs (Doodson dan Warburg, 1941 dalam Thabet, 1980) adalah

……… (2.10)

Φ adalah sudut yang terbentuk oleh bumi terhadap bulan

Gambar 2.5 Distribusi tractive Force (Thabet,1980)

Bulan mengelilingi bumi sekali dalam 24 jam 84 menit. Jika faktor lain diabaikan maka suatu lokasi di bumi akan mengalami dua kali pasang dan dua kali surut

Φ = sin2

2 3

3

K gm


(38)

dalam sehari. Teori tersebut akan benar jika digunakan anggapan seluruh permukaan bumi tertutup merata oleh air laut (equilibrium theory), jika hanya ada pengaruh bulan saja atau matahari saja tetapi tidak pengaruh keduannya secara bersamaan dan jika bulan atau matahari mempunyai orbit yang benar-benar berupa lingkaran dan orbitnya tepat diatas khatulistiwa.

Tetapi pada kenyataannya anggapan tersebut tidak benar. Karena laut tidak meliputi bumi secara merata tetapi terputus oleh benua dan pulau. Topografi dasar laut tidak rata mendatar tetapi sangat bervariasi dari palung yang dalam, gunung bawah laut sampai paparan yang luas dan dangkal. Demikian pula ada selat yang sempit dan panjang atau teluk berbentuk corong dengan dasar melandai. Hal tersebut menimbulkan penyimpangan dari kondisi yang ideal dan menyebabkan ciri-ciri pasang surut yang berbeda-beda dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Selain itu posisi kedudukan bulan dan matahari dalam orbit selalu berubah relatif terhadap bumi. Apabila bulan dan matahari berada kurang lebih pada satu garis lurus dengan bumi, seperti pada saat bulan muda atau bulan purnama maka gaya tarik keduanya akan saling memperkuat. Dalam keadaan demikian terjadi pasang surut purnama (spring tide) dengan tinggi air yang maksimum melebihi pasang biasa. Sebaliknya surutnya sangat rendah hingga lokasi dengan pantai yang landai bisa menjadi kering sampai ke laut. Tetapi jika bulan dan matahari membentuk sudut siku-siku terhadap bumi maka gaya tarik keduanya akan saling meniadakan. Akibatnya perbedaan tinggi air antara pasang dan surut kecil, keadaan ini dikenal dengan pasang perbani (neap tide). Gambar 2.6 di bawah ini menjelaskan kondisi Bumi-Bulan-Matahari saat pasang perbani (neap tide) dan pasang purnama (Spring Tide).


(39)

Gambar 2.6a Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Perbani (Neap Tide)

Gambar 2.6b Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Purnama (Spring Tide)

2.2.2 Tipe Pasang Surut

Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu pasang surut harian ganda, pasang surut harian tunggal, pasang surut campuran condong ke harian ganda, dan


(40)

pasang surut campuran condong ke harian tunggal. Keempat tipe tersebut terdapat di Indonesia dengan persebaran dapat dilihat pada Gambar 2.7

1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide)

Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan dan teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar

2.8a.

2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide)

Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini terjadi di perairan selat Karimata. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar 2.8d.

3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda

Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi mempuyai tinggi dan periode yang berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di perairan Indonesia bagian timur. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar 2.8b. 4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal

Dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi tinggi dan periodenya sangat berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di selat Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar 2.8c.

Pada pasang surut campuran yang lebih condong ke pasut harian ganda dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, namun tinggi dan waktunya berbeda. Hal ini terjadi di sebagian besar perairan indonesia bagian timur. Yang terakhir pasang surut campuran yang condong ke semi-diurnal, pada jenis ini terjadi sekali pasang dan


(41)

sekali surut dalam sehari tetapi kadang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktunya.

Gambar 2.7 Persebaran Tipe Pasang Surut di Indonesia (Teknik Pantai, 1999)


(42)

Tipe pasang surut dapat diketahui dengan cara mendapatkan bilangan/ konstanta pasut (Tidal Constant/ Formzal) yang dihitung dengan menggunakan metode Admiralti yang merupakan perbandingan jumlah amplitudo komponen diurnal terhadap amplitudo komponen semidiurnal, yang dinyatakan dengan :

……….. (2.11)

Dimana:

F adalah bilangan Form zal

AK1 adalah am plitudo kom ponen pasang surut t unggal utam a yang disebabkan oleh

gaya tarik bulan dan m atahari

AO1adalah am plitudo kom ponen pasang surut tunggal utam a yang disebabkan oleh

gaya tarik bulan

AM2 adalah am plitudo kom ponen pasang surut ganda utam a yang disebabkan oleh

gaya tarik bulan

AS2 adalah am plitudo kom ponen pasang surut ganda utam a yang disebabkan oleh

gaya tarik m atahari

2 2

1 1

AS AM

AO AK F

+ + =


(43)

Tabel 2.2 Pengelompokan Tipe Pasut Bilangan Formzall

(F) Tipe Pasang Surut Keterangan

F < 0.25 Pasang harian ganda (semidiurnal)

Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan ketinggian yang hampir sama dan terjadi berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.

0.25 < F < 1.5 Campuran, condong ke semidiurnal

Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan ketinggian dan periode yang berbeda.

1.5<F<3.0 Campuran, condong ke diurnal

Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut dengan ketinggian yang berbeda. Kadang-kadang terjadi 2 kali air pasang dalam 1 hari dengan perbedaan yang besar pada tinggi dan waktu.

F < 3.0 Pasang harian tunggal (diurnal)

Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit

2.2.3 Komponen Pasang Surut

Guna memperkirakan keadaan pasang surut, maka terdapat banyak komponenkomponen yang mempengaruhi pasang surut. Komponen utama adalah akibat gaya tarik bulan dan matahari (lunar dan solar komponen). Komponen lainnya adalah komponen non astronomis

Komponen pasang surut yang ada sebanyak 9 (sembilan). Penjabaran ke delapan komponen pasang surut tersebut seperti pada Tabel 2.3. Hasil penguraian pasang surut


(44)

Tabel 2.3 Komponen Pasang Surut

Komponen Simbol Periode

(jam)

Keterangan

Utama bulan Utama matahari

Bulan akibat variasi bulanan jarak bumi-bulan

Matahari-bulan akibat perubahan sudut deklinasi matahari-bulan

M2 S2 N2 K2 12.42 12.00 12.66 11.97

Pasang Surut Semi Diurnal Utama bulan Matahari-bulan M4 MS4 6.21

6.10 Perairan Dangkal Matahari-bulan Utama bulan Utama matahari K1 O1 P1 23.93 25.82 24.07

Pasang Surut Diurnal

Untuk menentukan peramalan komponen pasang surut di laut dan estuary biasanya digunakan metode admiralty, Adapun alat pencatatnya adalah A-OTT KEMPTEN R-20 Strip-Chart yang dikelola oleh Pelindo Belawan. Alat tersebut masuk dalam klasifikasi jenis pelampung (float type tide gauge), yaitu alat pencatat pasang surut otomatis yang bekerja berdasarkan naik turunnya pelampung. Cara kerjanya dengan mencatat sendiri perubahan naik turunnya permukaan laut dalam skala yang lebih kecil pada kertas pencatat (recording paper) dalam bentuk grafik.

Grafik hasil pengamatan pada recording paper tersebut merupakan fungsi dari garis-garis skala tinggi dengan waktu. Gerakan kertas menurut waktu dilaksanakan oleh suatu mekanisme jam dengan penggerak pegas atau baterai. Dari data bentuk grafik (analog) tersebut diubah dalam bentuk data numerik (angka) dengan mengkonversi pada skala yang sebenarnya sehingga hasil data numerik akan menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan pengamatan. Konversi data inilah yang mengakibatkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang harus dilakukan koreksi. Sebagai pembanding


(45)

dapat dilihat pada rambu ukur yang biasanya terpasang pada lokasi pengamatan pasang surut.

2.2.4 Ramalan Kenaikan Muka Air Akibat Pasut (Spring Tide and Neap Tide)

Model muara sungai dikembangkan hanya dengan menggunakan tiga komponen, Masing-masing konsituen tersebut berkembang melalui air laut yang masuk ke lingkungan sungai. Tugas Akhir ini meninjau pasang surut pada Muara Sungai Belawan yang terletak pada bagian timur pulau sumatera, dari gambar 2.7 dapat dilihat bahwa tipe pasut pada Muara Sungai Belawan merupakan tipe pasut harian ganda (semidiurnal tide), Pugh (2004) menyajikan lunar dan solar pada pasang surut semidiurnal dari

proses kedudukan muka air pada saat terjadi pasang tertinggi dan kedudukan muka air pada saat surut terendah dalam proses spring tide dan neep tide dapat dirumuskan seperti berikut ini.

Pugh (2004) ramalan pasang surut akibat gaya tarik matahari (solar) untuk komponen S2 adalah,

hS2(t)= AS2sin (2πt/TS2) ……… (2.12)

Pugh (2004) Ramalan pasang surut akibat gaya tarik bulan (lunar) umtuk komponen M2

adalah,

hM2(t) = AM2 sin (2πt/TM2) ……… (2.13)

Kedalaman air yang sebenarnya tiap waktu h(t) adalah penjumlahan numerik dari kedalaman yang sesuai dengan datum, DT :

h(t) = hS2 (t) + hM2 (t) + DT ………... (2.14)

dimana hS2 (t) dan h M2 (t) adalah kedalaman air tiap waktu t, AS2 dan AM2 adalah


(46)

bulan terhadap bumi dan bumi terhadap matahari, TS2 adalah periode pasut akibat

matahari dan TM2 adalah periode pasut akibat bulan. siklus bulan 29,5 hari adalah

sekitar 1,035 waktu yang diperlukan dari siklus matahari (Pugh, 2004) yaitu 24,84 jam dengan demikian periode pasut lunar semi diurnal 12,42 jam dan seperempat pasut lunar diurnal 6,21 jam.

2.2.5 Pasut Muara Sungai

Pasut muara sungai dipengaruhi adanya komponen overtide akibat adanya perpindahan dari perairan yang dalam (laut) yang masuk menuju ke perairan yang dangkal (sungai), Pugh (2004) menyatakan bahwa komponen pasut M4 termasuk ke dalam kategori overtide, yaitu komponen pasut yang lajunya 2 kali laju komponen M2. overtide adalah sebuah komponen pasut harmonik dimana lajunya merupakan perkalian

eksak dari laju suatu komponen dasar pasut yang dibangkitkan dari gaya pembangkit pasut. Biasanya overtide ini muncul atau dominan di perairan dangkal dan amplitudo M4 yang diberikan adalah:

……… (2.15)

Dimana:

x adalah jarak peninjauan muara sungai tiap titik (m)

AM2 adalah amplitudo komponen pasut akibat gaya tarik Bulan (m)

h adalah kedalaman aliran (m) g adalah percepatan gravitasi (m/s2)

T adalah priode pasut lunar quarter-diurnal (6.21 jam).

Dengan demikian, Amplitudo M4 bertambah karena jarak meningkat sepanjang saluran. Luas kwartal diurnal juga bertambah jika kedalaman saluran tersebut kecil, dan sebagai luas dari komponen semi-diurnal.

h g T h A x h T A x

A M M

M

4 3 4

.

3 22 22


(47)

DT t h g T h A x t A t A M M

S +

     +       +       = 21 . 6 2 sin 4 3 42 . 12 2 sin 12 2 sin 2 2 2

2 π π π

DT t h t h t h t

h( )= S2( )+ M2( )+ M4( )+

Kenaikan muka air akibat komponen M4 yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

hM4(t) = AM4sin (2π t / TM4) ……….. (2.16)

Dimana :

h M4 (t) adalah Tinggi muka air akibat amplitudo M4 tiap waktu t (m)

AM4 adalah amplitudo seperampat pasut diurnal pengaruh Bulan (lunar quarter-diurnal)

(dari persamaan 2.17)

TM4 adalah periode pasut lunar quarter-diurnal (6.21 jam)

Maka kenaikan muka air pasut pada muara sungai dirumuskan oleh Pugh (2004) adala sebagai berikut:

… (2.17)

Dimana :

h(t) adalah naik muka air pasut tiap waktu pada muara sungai (m) hM2 adalah naik muka air pasut pengaruh bulan (lunar semidiurnal)

hS2 adalah naik muka air pasut pengaruh matahari (solar semidiurnal)

hM4 adalah amplitudo lunar quarter-diurnal

DT adalah naik muka air rata-rata pasut estuari

Naik muka air pasut akibat pengaruh benda-benda langit dapat dilihat pada gambar berikut ini.


(48)

Gambar 2.9. Kurva pasut (Thabet, 1980)

Variasi yang terus menerus dari tinggi dan bentuk pasut dikaitkan dengan gerakan yang kompleks dari bumi (mengelilingi matahari dan revolusi terhadap sumbunya) dan bulan (mengelilingi bumi). Selain bulan, interaksi antara bumi dan matahari juga mempengaruhi fenomena pasut, namun interaksi antara bumi dan bulan, dalam hal ini adalah gaya tarik/gravitasi bulan, lebih besar daripada gaya tarik matahari. Hal ini diakibatkan jarak bumi dan bulan (rata-rata 381.160 km) yang jauh lebih dekat dibandingkan jarak bumi dan matahari (rata-rata 149,6 juta km) meskipun massa bulan jauh lebih kecil daripada massa matahari. Karena jarak lebih menentukan daripada massa, maka bulan mempunyai peran yang lebih besar daripada matahari dalam menentukan pasut. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut besarnya kurang lebih 2,2 kali lebih kuat daripada gaya tarik matahari. Hal ini mengakibatkan air laut, yang menyusun 71% permukaan bumi, menggelembung pada sumbu yang menghadap ke bulan. Pasang surut terbentuk karena rotasi bumi yang berada di bawah muka air yang menggelembung ini, yang mengakibatkan kenaikan dan penurunan permukaan laut di wilayah pesisir secara periodik. Gaya tarik gravitasi matahari juga memiliki efek yang sama namun dengan derajat yang lebih kecil Dengan memahami mekanisme pokok yang terlibat, berbagai teori dan teknik dikembangkan untuk melakukan


(49)

2.3 Arus Pasang Surut (Tidal Current) Muara Sungai

Arus pasut adalah aliran air dalam arah horizontal yang periodik yang merupakan respon terhadap naik turunnya elevasi muka air yang disebabkan pasang surut.

Arus di estuari terutama disebabkan oleh kegiatan pasang surut dan aliran sungai. Arus biasanya terdapat pada kanal (saluran), tetapi dalam kanal ini, kecepatan arus dapat mencapai beberapa mil per jam. Kecepatan tertinggi terjadi pada bagian tengah kanal, dimana hambatan gesek dengan dasar dan sisi tepian yang paling kecil. Walaupun estuaria merupakan tempat keseluruhan sedimen mengendap seperti dibicarakan diatas, kanal dimana arus terpusat seringkali merupakan tempat erosi yang sangat mencolok. Untuk kebanyakan estuaria, pada bagian hulu terjadi masukan air tawar yang terus menerus. Sebagian air tawar ini bergerak ke hilir estuaria, bercampur sedikit atau banyak dengan air laut. Sebagian besar air ini pada akhirnya mengalir keluar estuaria atau menguap untuk mengimbangi air berikutnya yang masuk dibagian hulu. Selang waktu yang dibutuhkan sejumlah massa air tawar untuk dikeluarkan dari estuari disebut penggelontoran (flushing time). Selain waktu ini dapat menjadi tolak ukur keseimbangan suatu sistem estuaria. Waktu penggelontoran yang lama, penting artinya untuk pemeliharaan komunitas plankton estuari.

Di daerah sungai atau selat, dimana arah aliran dibatasi oleh geometri channel, arus pasut bersifat berkebalikan atau reversing, sehingga arah aliran bergantian dalam arah yang hampir berlawanan serta adanya kondisi dimana kecepatan arus sangat kecil pada saat aliran arus berbalik yang dinamakan slack water. Kecepatan arus pasang surut pada masing-masing arah tersebut bervariasi dari kecepatan nol pada saat slack water hingga kecepatan maksimal. Kecepatan arus pasut biasanya berubah-ubah secara kontinu


(50)

arus pasut pada pasut tipe semi diurnal mencapai maksimum sebanyak dua kali dalam satu hari pada arah yang berlawanan serta mencapai kecepatan minimum pada waktu dan arah di antara kedua kecepatan maksimumnya.

Gambaran arus pasut tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.9. Gambar tanda panah merepresentasikan kecepatan arus untuk setiap jam. Air pasang biasanya digambarkan di atas garis air slack water dan air surut di gambarkan dibawahnya. Kurva arus pasut terbentuk di sepanjang ujung panah dan memiliki karakteristik yang sama dengan bentuk kurva sinus.

Gambar 2.10 Pola bolak balik arus pasang surut

(Sumber

Keterangan :

• Pada saat pasang, muka air di laut lebih tinggi daripada di estuari dimana gerakan arus pasut memasuki estuari ini disebut flood.

• Pada saat surut muka air di laut lebih rendah daripada di estuari sehingga arus pasut bergerak keluar estuari menuju laut, gerakan keluar estuari ini disebut ebb


(51)

2.3.1 Hubungan Debit dan Arus Pasut

Aliran debit (Q m3/detik) adalah laju aliran air (u m/det) (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang muara sungai (A m2) per satuan waktu (detik) .

... (2.18) Pertimbangkanlah kedua bagian yang ada pada gambar 2.11 untuk mengisi volume V1 dan V2 dengan waktu t f, pada bagian penampang pipa 1 dan 2 dari A1

dan A2. Kecepatan aliran sebenarnya dapat dihitung dengan :

……….. (2.19)

……….. (2.20)

Dimana U1 dan U2 adalah kecepatan aliran dalam masing – masing pipa 1 dan 2.

diperlihatkan pada gambar berikut ini :

Gambar 2.11 Penampang Pipa

Persamaan 2.28 dan persamaan 2.29 dapat dikembangkan untuk menentukan arus pasang surut pada setiap penampang sebagai produk dari lebar muara (Wx), dan perubahan kedalaman pasang surut per detik (Δhf) terhadap pembagian tiap penampang

f t A V V U 2 2 1 2 + = A u

Q= .

f t A V U . 1 1 1=


(52)

aliran sungai (Uf), sebagai komponen tidak tetap (mengalir keluar) sama dengan debit

air sungai (Q), yang dibagi dengan tiap luas penampang:

……… (2.21)

Dimana :

Q adalah debit sungai (m3/det)

Wx adalah lebar estuari tiap titik lokasi (m)

Dx adalah kedalaman estuary tiap titik lokasi (m)

pemodelan perubahan volume hulu adalah batimetri muara digunakan untuk menghitung volume air yang keluar melalui tiap penampang muara sungai akibat pasang surut.

………. (2.22)

Δl adalah Panjang muara sungai dari hulu sungai menuju hilir sungai tiap titik peninjauan (m)

Wx adalah lebar muara sungai dari hulu (upstream) hingga hilir (downstream) tiap titik

lokasi (m)

Dimana formula tersebut menghitung volume air yang terkandung per meter untuk tiap kedalaman akibat pasang surut pada muara sungai

Untuk mengetahui kecepatan arus pasut terhadap waktu tiap titik lokasi (U(x,t)) adalah:

……… (2.23)

Dimana:

Δht adalah rentang kedalaman yang terjadi tiap jam akibat pasut (m)

x x f D W Q u = x x x x t D W Q D W h upstream volume t x

U = ∆ −

3600 . .. . ) , (


(53)

Wx adalah lebar estuari tiap titik lokasi (m)

Dx adalah kedalaman estuary tiap titik lokasi (m)

Q adalah debit sungai (m3/det)

Volume upstream adalah volume sungai menuju mulut estuary (m3 .106)

2.4 Suhu dan Salinitas Estuari 2.4.1 Suhu (Temperature)

Perairan yang ada di dunia memiliki luas permukaan air berkisar 360 juta km2, terdiri dari serangkaian sungai dan laut yang saling berhubungan. untuk memahami distribusi energi panas di muara, perlu untuk mempertimbangkan sumber panas laut di dunia secara keseluruhan. ada aliran energi matahari yang tetap masuk ke bumi sehingga keluar terus-menerus radiasi tersebut dari bumi kembali ke angkasa. Sumber energi panas terbesar adalah panas dari matahari.

Suhu air di estuaria bervariasi dari pada diperairan dekat pantai. Hal ini sebagian karena biasanya di estuari volume air lebih kecil sedangkan luas permukaan lebih besar, dengan demikian pada atmosfer yang ada, air estuaria ini lebih cepat panas dan lebih cepat dingin (fjord, karena dalamnya dan volumenya besar tidak memperlihatkan gejala ini). Alasan lain terjadinya variasi ini ialah masukan air tawar. Air tawar di sungai dan kali lebih dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman daripada air laut. Sungai di daerah beriklim sedang suhunya lebih rendah di musim dingin dan lebih tinggi di musim panas daripada suhu air laut didekatnya.

Ketika air tawar masuk estuaria dan bercampur dengan air laut, terjadi perubahan suhu. Akibatnya, suhu perairan estuaria lebih rendah pada musim dingin dan lebih tinggi pada musim panas dari pada perairan di sekitarnya. Skala waktunya menarik karena dapat dilihat dengan perubahan pasang surut, suatu titik tertentu di


(54)

estuari karena memperlihatkan variasi suhu yang besar sebagai fungsi dari perbedaan antara suhu air laut dan air sungai.

Suhu juga bervariasi secara vertikal. Perairan permukaan mempunyai kisaran yang terbesar dan perairan yang lebih dalam kisaran suhunya lebih kecil. Pada estuaria baji garam, perbedaan suhu vertikal ini juga memperlihatkan kenyataan bahwa perairan permukaan didominasi air tawar, sedangkan perairan yang lebih dalam didominasi atau seluruhnya terdiri dari air laut.

2.4.2 Kadar Garam (Salinity)

Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan, salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh curah hujan local, banyaknya air yang masuk ke laut, penguapan dan edaran masa air (King, 1963). Perubahan salinitas pada perairan bebas (laut bebas) adalah relative lebih kecil dibandingkan ke perairan pantai. Hal ini disebabkan karena perairan pantai banyak memperoleh masukan air tawar dari Muara-muara sungai terutama pada waktu musim hujan (Hela dan Laevastu, 1970).

Estuaria dikelilingi daratan pada ketiga sisi. Ini berarti bahwa luas perairan yang diatasnya angin dapat bertiup untuk menciptakan ombak adalah minimal. Dangkalnya perairan di estuaria pada umumnya juga jadi penghalang bagi terbentuknya ombak yang besar. Sempitnya mulut estuaria, diikuti dengan dasar yang dangkal, menghilangkan pengaruh ombak yang masuk ke estuaria dari laut secara cepat. Sebagai akibat proses ini, pada estuaria merupakan tempat yang airnya tenang.

Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas, dengan didasarkan bahwa terlarut. Dalam


(55)

“bagian perseribu” (parts per thousand , ppt) atau permil (‰), kira-kira sama dengan jumlah gram garam untuk setiap liter larutan. Sebelum tahun 1978, salinitas atau halinitas dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan pada rasio sampel terhadap "Copenhagen water", air laut buatan yang digunakan sebagai standar air laut dunia. Pada 1978, oseanografer meredifinisikan salinitas dalam Practical Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio konduktivitas sampel air laut terhadap

larutan KCL standar. Rasio tidak memiliki unit, sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa 35 psu sama dengan 35 gram garam per liter larutan.

Gambar 2.12 Penyebaran Salinitas Laut Permukaan Bumi 2.4.2.1 Pencampuran antara air tawar (sungai) dan air asin (laut)

Secara defenisi dapat pula dikatakan bahwa estuari adalah badan air yang bergerak dinamis sebagai tempat bertemunya air tawar dan air asin (dalam hal ini adalah air laut). Adanya perbedaan karakteristik antara air tawar dan air laut maka pencampuran yang terjadi diantaranya tidak akan terjadi dengan mudahnya, terkadang


(56)

pencampuran dapat terjadi dengan sempurna tetapi kadang pula akan terstratifikasi membentuk lapisan tersendiri.

Air laut mengandung sekitar 35 parts per thousand (ppt) garam-garam terlarut termasuk didalamnya Sodium Chloride dan Magnesium Chlorida, yang lebih rapat dibandingkan dengan kandungan air tawar. Karenanya air laut akan memiliki densitas yang lebih berat dibandingkan air tawar pada keadaan suhu yang sama. Air laut dapat menjadi pengantar listrik yang baik dan mempunyai pembiasan cahaya yang lebih kuat dibandingkan air tawar.

Gambar 2.13 Proses Percampuran Air Tawar dan Air Asin

Berdasarkan kekuatan relatif antara pasang surut dan debit sungai, sirkulasi estuari dapat di kelompokkan ke dalam 3 golongan utama, Suripin (2000), yaitu :

1. Estuari sudut asin / (Salt Wegde / Stratified Estuary)

Estuari jenis ini berkembang pada sungai yang bermuara ke laut, yang pasang surutnya sangat rendah dan debit sungai sangat kuat. Antara air asin dan air tawar terjadi gradien rapat massa dan keasinan yang sangat tajam dan membentuk holoklin yang stabil dan kedua jenis massa air akan terpisah, dengan air tawar yang mengalir menuju laut berada pada lapisan air asin, dan lapisan air asin mengalir di bawah air tawar dengan membentuk sudut. Salinitas di lapisan bawah sama dengan salinitas air laut, sedang lapisan atas merupakan air tawar. Arah kecepatan aliran di atas dan di bawah bidang batas berlawanan.


(57)

2. Estuari tercampur sebagian (Partially Mixed Estuary)

Estuari tercampur sebagian berkembang pada sungai yang bermuara pada laut dengan pasang surut moderat. Arus pasang surut cukup berpengaruh, dan seluruh massa air bergerak naik dan turun estuari mengikuti naik dan turunnya air, sehingga pada pertemuan air asin atau air tawar menimbulkan geseran pada dasar estuari menimbulkan tegangan geser, dan menimbulkan turbulensi. Terjadi pencampuran air asin ke arah atas dan air tawar ke arah bawah. Air tawar mengalir ke arah laut bercampur dengan air asin dengan proporsi yang lebih tinggi.

3. Estuari tercampur sempurna (Well Mixed Estuary)

Estuari tercampur sempurna biasanya terdapat pada estuari yang lebar dan dangkal, dimana pasang surutnya tinggi, dan arus pasang surut lebih kuat dibandingkan dengan aliran sungai, kolom air menjadi tercampur secara keseluruhan, tidak terjadi bidang batas antara air asin dan air tawar. Distribusi salinitas dalam arah vertikal adalah sama atau pada estuari jenis ini hamper tidak terjadi variasi salinitas ke arah vertikal. Variasi salinitas hanya terjadi sepanjang estuari, tanpa stratifikasi vertikal dan lateral.

Pencampuran antara air tawar (sungai) dan air asin (laut) ini dapat silihat dari tipe estuari yang ditunjukkan oleh Uncles dkk (1983) yang menyatakan suatu tipe estuari yang tergantung pada rasio aliran (P) dari suatu estuari tersebut dengan persamaan sebagai berikut:

……… (2.24)

Dimana:

R adalah aliran sungai (m/s)

t

U A

R


(58)

A adalah luas penampang dari estuary (m2)

Ut adalah kecepatan rata – rata arus pasut estuari (m/s)

Uncles dkk memberikan batasan untuk tipe estuari adalah:

Jika P < 0.01, maka estuari tergolong tercampur sempurna (Well Mixed Estuary) Jika P > 0.1, maka tergolong estuari stratifikasi (Stratified Estuary)

2.4.3 Distribusi Gaussian

Suatu model untuk memprediksi parameter suhu pada muara sungai digunakan distribusi Gaussian tergantung pada asumsi dari suatu proses variasi penyebaran terhadap waktu (Lewis, 1997). Distribusi dalam arah tertentu sering memiliki bentuk ukuran yang mungkin mirip fungsi Gaussian, dan penyebaran distribusi yang dapat dinyatakan oleh variasinya. Hal ini biasanya untuk menggambarkan perubahan parameter suhu (σx), dari distribusi konsentrasi sebagai berikut:

……….. (2.25)

Dimana C (x) adalah konsentrasi pada setiap posisi x. dalam ekspresi ini penyebut melambangkan jumlah total zat dalam bagian.

ekspresi ini dapat dinormalisasi untuk menghasilkan distribusi tentang kesatuan dengan hanya menghapus pengali untuk memberikan (gambar 2.12)

………. (2.26)

Distribusi ini dapat digunakan sebagai penyebaran energi panas dan salinitas yang

terjadi di lingkungan estuari.

     − = 2 2 2 exp 2 1 ) ( x x x x C σ πσ      − = 2 2 2 exp ) ( x x x C σ


(59)

Gambar 2.14 Penyebaran Gaussian Untuk Parameter Badan Air Suhu muara sungai

suhu air di estuari bervariasi sepanjang siklus pasang surut di setiap lokasi muara sungai, akibat adanya perbedaan antara suhu air asin (laut) dan air tawar (sungai). Secara umum ada dua kasus yang biasanya terjadi pada muara sungai:

a. Kasus musim dingin suhu memanjang (longitudinal temperature winter case)

Pada musim dingin, suhu air laut , Ts 0 C biasanya lebih hangat dari pada

suhu air sungai, TR0 C, sehingga suhu air berkurang dalam bagian hulu. Persamaan

2.32 dapat digunakan untuk menguraikan distribusi yang ada sebagai kurva Gaussian:

……….. (2.27)

Dimana:

Ts adalah suhu pada aliran laut (°C)

TR adalah suhu pada aliran sungai (°C)

(

)

R

x R

S T

x T

T x

T +

  

 − −

= 2

2

2 exp )

(


(60)

b. Kasus musim panas suhu memanjang (longitudinal summer case)

Pada musim panas, suhu air laut umumnya lebih dingin dari pada air sungai, sehingga suhu air bertambah pada bagian hilir. Persamaan 2.32 dapat digunakan untuk menguraikan distribusi tersebut sebagai kurva Gaussian.

....……….. (2.28) Dimana:

Ts adalah suhu pada aliran laut (°C)

TR adalah suhu pada aliran sungai (°C)

Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.13, Data tersebut terlihat berhubungan dengan suhu sungai 31 °C dan suhu laut 28 °C hasil dari survei lapangan pada tanggal 15 april 2010 pada Muara Sungai Belawan, dan variansi (σx) 6,500 untuk jarak dalam

km. kasus ini bisa di gunakan di Indonesia yang memiliki iklim tropis.

Gambar 2.15 Variasi Penyebaran Parameter Suhu Estuari

S x S

R T

x T

T x

T +

  

 − −

= 2

2

2 exp ) (

) (


(61)

Salinitas Muara Sungai

Kadar garam (salinity) dalam sistem estuari berbeda-beda pada sepanjang siklus pasang, dan umumnya bertambah pada air pasang dan berkurang pada saat air surut. Para pakar (mis, Dyer,1986) menghadirkan analisa rincian mengenai distribusi memanjang ini dalam kaitannya dengan keseimbangan kandungan kadar garam dari hilir hingga hulu sungai yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

……… (2.29)

Hal ini menjelaskan bahwa pengaruh kecepatan arus pasut tehadap kadar garam dari hilir (sisi kiri pada persamaan 2.37) yang diseimbangkan dengan difusi hulu sungai (sisi kanan pada persamaan 2.37). Pendekatan ini sudah digunakan oleh West dan Williams (1975) dalam Tay Estuary di Skot landia. Kadar garam air laut biasanya berkisar 35 ‰ dan kadar garam berkurang pada bagian hulu sungai. Persamaan 2.32 dapat digunakan untuk menjelaskan variasi kadar garam yang terkandung pada hilir sungai hingga hulu sungai dengan distribusi Gaussian.

……….. (2.30)

Dimana contohnya ditunjukkan dalam gambar 2.14, data tersebut berhubungan dengan kurva yang memiliki variansi (σx = 6,500) untuk jarak dalam kilometer dan S adalah

salinitas yang terkandung pada mulut estuari.

        = − x s Ks x x s u δ δ δδ δ

δ _ _

     − = 2 2 2 exp ) ( x x S x S σ


(62)

Gambar 2.16 Variasi Penyebaran Salinitas Estuari

2.5 Zat Padat Tersuspensi (TSS)

Sedimen merupakan hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit atau jenis erosi tanah lainnya. Karena adanya transpor sedimen dari tempat yang lebih tinggi (hulu) ke daerah hilir dapat menyebabkan pendangkalan estuari, sungai, dan terbentuknya tanah baru di pinggir-pinggir sungai. Dengan demikian proses sedimentasi dapat memberikan dampak yang menguntungkan dan merugikan. Menguntungkan karena pada tingkat tertentu adanya aliran sedimen ke daerah hilir dapat menambah kesuburan tanah serta terbentuknya tanah garapan baru di daerah hilir, dan pada saat yang bersamaan aliran sedimen juga dapat menurunkan kualitas perairan dan pendangkalan badan perairan. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen layang dalam sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam muara sungai.

Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) umumnya mengandung sedimen yang memiliki diameter butir yang kecil seperti pasir halus, lanau, dan lempung atau


(63)

partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, Zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan. Penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sebaran zat padat tersuspensi di laut antara lain dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat melalui aliran sungai, ataupun dari udara dan perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan.

2.5.1 Deskripsi umum sedimen

Sedimen merupakan material berupa partikel-partikel yang bergerak akibat aliran air (arus dan gelombang), secara umum angkutan sedimen dibagi menjadi 3 bagian yaitu:

a. Partikel sedimen dasar (Bed load)

Pada kondisi ini pengangkutan material terjadi pada aliran yang mempunyai kecepan aliran yang relatif lambat, sehingga material yang terbawa arus sifatnya hanya menggelinding sepanjang saluran.

b. Partikel sedimen melayang (Suspended load)

Jika kecepatan aliran semakin cepat, gerakan loncatan material akan semakin sering terjadi sehingga apabila butiran tersebut tergerus oleh aliran utama atau aliran turbulen kearah permukaan, maka material tersebut tetap bergerak (melayang) didalam aliran dalam selang waktu tertentu, umumnya pada kondisi ini sedimen yang memiliki


(64)

ukuran butiran yang kecil yaitu lanau (silt) dan lempung.(clay)

c. Saltation Load

Pada kondisi ini pengangkutan material terjadi pada aliran yang mempunyai kecepan aliran yang relatif cepat, sehingga material yang terbawa arus membuat loncatan-loncatan akibat dari gaya dorong pada material tersebut, kondisi ini sedimen tidak kontak langsung terhadap dasar saluran dan memiliki ukuran butiran yang sangat kecil seperti coloid.

2.5.2 Karakteristik Sedimen

Material sedimen pada umumnya merupakan campuran beberapa jenis material sehingga sulit memberikan nama menurut jenisnya. Untuk itu diberikan deskripsi mengenai istilah dalam proses sedimentasi agar diperoleh informasi yang objektif sesuai hasil pengamatan di lapangan deskripsi dan istilah tersebut antara lain:

• Ukuran partikel sedimen yaitu menyatakan ukuran panjang diameter butiran sedimen dengan menganggap bahwa bentuk ukuran sedimen adalah bola

• Berat spesifik merupakan berat persatuan volume yang hubungannya dengan densitas (kerapatan)

• Porositas sedimen didefinisikan sebagai harga perbandingan volume udara dalam suatu sampel terhadap jumlah total volume sedimen.

• Kecepatan jatuh adalah bentuk keseimbangan antara gaya gravitasi yang bekerja pada suatu partikel yang kecil yang berbentuk bola (spheric) dalam suatu fluida.

Carefoot dalam Arifin (2008) menyatakan bahwa butiran sedimen dapat dipindahkan dari muara dalam jumlah yang besar karena aktivitas arus dan gelombang yang intensif di muara. Hal ini dapat dilihat dari perubahan garis pantai yang terdekat


(65)

dengan muara sungai. Jadi proses erosi, pengangkutan dan pengendapan sedimen tergantung pada dua faktor yaitu sifat fisika kimia sedimen dan kondisi biologi perairan.

Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh erosi dan sedimentasi amat mudah ditemukan, antara lain menipisnya permukaan tanah, terjadinya selokan/parit alami, perubahan vegetasi, kekeruhan dan sedimentasi di sungai, rawa, danau, kawasan penampungan air maupun muara-muara sungai di tepi laut (Djunaid et al, 2002).

Para geolog mengembangkan klasifikasi untuk menentukan mana yang termasuk pasir, mana yang termasuk kerikil dan sebagainya. Salah satu klasifikasi yang terkenal adalah skala Wenworth yang mengklasifikasikan sedimen oleh ukuran (dalam millimeter) seperti ditunjukkan dalam tabel 2.4.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Hardisty, J. (jack), 2007. Estuaries : Monitoring and Modeling The Physical System. Rutledge, London, 272pp.

Kramadibrata, Soedjono. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Bandung: Ganeca Exact. Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta : Beta Offset.

M.S. Tarigan, Edward. 2003, Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi di Perairan

Raha. Jakarta : LIPI

P.T. (Persero) Pelabuhan Indonesia I. (2006). Master Plan Pelabuhan Belawan. Sumatera Utara, Indonesia.

Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Keputusan No. 02/Men KLH/1988 tentang Pedoman Baku Mutu Lingkungan, Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, 1988.

Block.S.C. 2007. Microsoft Excel 2007 dalam Membangun Rumus dan Fungsi . Jakarta: Erlangga: IKAPI.

Isma Faiz, 2007. Laporan Praktikum Mekanika Tanah. Departemen Teknik Sipil USU Soemarto, C.D., 1995. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga.Jakarta


(2)

(3)

• Alat penentuan posisi koordinat dan jarak

Gambar A1 Global Positioning System (GPS)

• Alat pengukur parameter kadar garam dan suhu


(4)

• Alat perum gema pengukur Kedalaman estuari

Gambar A3 Fishfinder 240 Blue

Alat pengambil sampel air zat padat tersuspensi (total suspended solid)


(5)

Gambar uji laboratorium zat padat tersuspensi (TSS) Teknik Kimia FT. USU

Gambar A5 Persiapan Uji zat padat Tersuspensi


(6)

Gambar A6 Oven