Latar Belakang Permasalahan Pengaruh dimensi-dimensi religiusitas terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat

1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang permasalahan, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Suatu kebanggaan bagi seorang ayah dan ibu saat menantikan hadirnya seorang anak dalam keluarganya. Seluruh anggota keluarganya pun merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan ayah dan ibu. Lahirnya seorang anak menandakan bertambahnya anggota baru dalam keluarga, yang disambut dengan penuh suka cita dan penuh harapan. Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang secara sempurna. Namun masih ada pula anak-anak di dunia yang mengalami kelainan sejak usia dini. Salah satunya adalah anak yang mengalami autisme. Anak dengan autisme dapat dikatakan anak yang memerlukan kebutuhan khusus. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Bab IV pasal 5 ayat 2, 3, dan 4 dinyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah: a. anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial hingga berhak memperoleh pendidikan khusus. b. anak di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil sehingga berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. c. anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa sehingga berhak memperoleh pendidikan khusus. Agustyawati Solicha, 2009 Dalam kutipan di atas dikatakan bahwa anak yang mengalami autisme memiliki kebutuhan khusus, bukan saja kebutuhan dalam keseharian melainkan juga kebutuhan dalam pendidikan. Anak autisme memang anak yang sangat istimewa, oleh karena itu anak autis sangat memerlukan perhatian khusus para orang tua mereka. Meskipun berbeda dari anak normal, pada dasarnya anak autis mempunyai hak-hak yang sama seperti anak normal. Anak autis sangat memerlukan teman bermain dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Mereka juga butuh untuk dicintai, dihargai, serta diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri. Anak autis membutuhkan perhatian dari orang tuanya. Akan tetapi pada kenyataannya, orang tua yang mempunyai anak autis pada awalnya menolak dan bahkan kecewa. Keberadaan seorang anak dalam keluarga tentunya diharapkan dapat menjadi penerus bagi keturunan keluarganya. Setiap orang tua sangat mengharapkan dan mendambakan buah hatinya dapat lahir secara normal dan sehat. Akan tetapi keinginan dan harapan tersebut tentunya tidak selalu sejalan dengan apa yang diharapkannya. Keadaan anak yang serba terbatas kemampuannya akan menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam dan merupakan kenyataan pahit yang harus dihadapi orang tua. “Bila anak yang dinanti-nanti gagal memenuhi harapan orang tua, maka orang tua akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak” Hurlock, 1978. Orang tua yang memiliki anak cacat akan berduka karena harapan-harapan mereka tidak terpenuhi. Ketika anak terdiagnosa autisme tidak mudah bagi orang tua untuk menerima kabar tersebut dengan tenang, tanpa bereaksi apapun. Walau reaksi orang tua berbeda-beda, pada umumnya orang tua merasa shock, tidak percaya, sedih, menjadi overprotektif terhadap anak, merasa malu, marah, bahkan merasa bersalah. Tentunya setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya walaupun si anak menyandang autisme, namun dalam proses ke arah sana orang tua mempunyai tanggung jawab untuk dapat menerima keadaan anaknya dengan apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan atau penilaian, selain itu juga tetap menghargai dan memahami sebagai individu yang berbeda dan mendukung perkembangannya. Karena penerimaan orang tua ini akan sangat berpengaruh terhadap keadaan psikologis seorang anak yang mengalami sindrom autisme. Menerima anak berarti menyadari anak sebagai seorang individu yang memiliki perasaan, keinginan, dan kebutuhan yang sama dengan anak- anak lainya Mangunsong, 1998. Dalam surat Athagobun, ayat 15 Artinya : “esungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu: di sisi Allah- lah pahala yang besar . Sesuai dengan ayat di atas, sebagai orang tua sudah merupakan kewajiban untuk menjaga anak-anak mereka, walau anak mereka terlahir dalam keadaan tidak normal. Memang sulit bagi orang tua untuk awalnya menerima keadaan anak mereka yang mengalami sindrom autisme, tetapi pada faktanya kebanyakan anak-anak yang mengalami sindrom autisme dapat mandiri dengan sentuhan para orang tua mereka yang ikhlas merawat anak autis tersebut. Kata sembuh yang dimaksud bukan hanya sembuh dalam penderitaan sindom autisme, minimal penderita autisme dapat melakukan tugasnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Atau dengan kata lain si penderita autis dapat mandiri. Para orang tua memang diharapkan ikhlas merawat dan menjaga anak mereka karena dengan keikhlasan si anak dapat merasakan cinta kasih yang tulus, inilah awal sembuhnya dengan cepat si penderita autis. Ikhlas disini mungkin lebih tepatnya dikatakan bersabar dengan apa yang diterima. Orang tua yang bersabar dalam menghadapi ujian dari Allah niscaya akan memperoleh kemudahan dalam merawat dan menjaga anak yang mengalami sindrom autisme. Dalam firman Allah di dalam Al- Qur’an surah Al Baqarah, ayat 153 Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar . Dari ayat di atas, jika orang tua menerima dengan ikhlas atau bersabar dalam mengdapai keadaan anaknya yang mengalami autisme, maka Allah bersama hambanya yang sabar dan selalu memberi mereka kekuatan. Sudah banyak fakta yang menunjukkan bahwa jika orang tua ikhlas dan bersabar atas anak yang didapat walau mereka terlahir tidak normal, selain anak autis tersebut dapat cepat sembuh bahkan para orang tua selalu diberi nikmat oleh Allah dari berbagai sudut, misalnya anak autis tersebut dapat memenangkan perlombaan olimpiade khusus. Seperti kristian salah satu atlet olimpiade khusus yang memenangkan juara dunia lomba renang gaya bebas untuk putra. dalam tayangan kickandi, september 2011 Peran orang tua dalam penyembuhan anak penderita autisme sangatlah penting. Pada penelitian Kurnianti 2005 disimpulkan bahwa peran serta ayah dan ibu tidak ada bedanya atau bisa dikatakan sama besarnya kepada anak-anak mereka, terutama anak- anak yang mengalami kelainan atau anak berkebutuhan khusus. Hal ini berkaitan dengan sikap penerimaan orang tua terhadap anak autisme yang ditunjukkan dalam perilaku menghadapi anak autisme. Sikap menerima setiap anggota keluarga sebagai langkah lanjutan pengertian yaitu berarti dengan segala kelemahan, kekurangan, dan kelebihannya ia seharusnya mendapat tempat dalam keluarga. Setiap anggota keluarga berhak atas kasih sayang orang tuanya. Penerimaan orang tua terhadap anak autis memerlukan pengetahuan yang lebih tentang autism itu sendiri, sehingga orang tua akan memahami arti dari autisme yang sebenarnya. Sesuai dengan pemahaman, maka orang tua akan menerima kondisi anak dengan memberikan kasih sayang, perhatian, dan memahami perkembangan anak sejak dini. Dengan demikian semakin cepat orang tua anak autis menerima anak mereka yang mengalami autisme, dapat membantu anak untuk menjadi lebih optimal dalam penatalaksanaannya. Orang tua memiliki peran dominan dalam upaya penyembuhan, orang tua sebaiknya lebih mempelajari hal-hal seputar autisme dan mampu mengorganisir kegiatan terapi penyembuhan untuk anaknya. Meskipun semakin intensif semakin baik, setidaknya ada usaha orang tua dan keluarga terus menerus melakukan pendampingan pada anak sehingga mereka terlibat secara langsung dalam peroses pengajaran anak. Keterlibatan langsung ini sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Para dokter tidak dapat bekerja tanpa peran serta orang tua dan terapi tidak akan efektif bila orang tua tidak dapat bekerja sama. Bagaimanapun hebatnya seorang terapis atau sebuah tempat terapi, guru terbaik adalah orang tua. Penerimaan orang tua sangat dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu unsur tersebut adalah agama. Agama biasanya sangat mempengaruhi penerimaan atau penolakan orang tua terhadap anak mereka yang mengalami kelainan karena dengan agama juga diharap bisa mengontrol emosi yang berlebihan dalam diri seseorang, terutama emosi yang dialami orang tua dalam penerimaan anak mereka yang mengalami kelainan. Salah satu fakta yang mempengaruhi penerimaan orang tua adalah peran agama, dalam penelitihan terdahulu Rachmayanti, 2009 menyebutkan jika orang tua tingkat keberagamaannya kuat maka akan berpengaruh kuat pula dengan penerimaan terhadap anak mereka, terutama jika orang tua yang memiliki anak yang mengalami kelainan berkebutuhan khusus. Penerimaan orang tua juga dipengaruhi faktor dukungan keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, tingkat pendidikan, status perkawinan, usia serta dukungan para ahli dan masyarakat. Peneliti merasa agama sangat dominan dalam kekehidupan sehari-hari hal ini dirasakan penting karena dalam ajaran agama bukan hanya dihubungkan interaksi antar sesama manusia namun seimbangnya dengan inetraksi dengan Tuhan Allah pencipta dan pemilik alam semesta. Dalam penelitian ini peneliti mencoba mengkaitkan lebih erat dan lebih dalam lagi mengenai penerimaan orang tua yang memiliki anak autis dengan agama atau yang lebih di kenal dengan religiusitas. Religiusitas disini peneliti mencoba menarik pengertian dan dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh John E. Fetzer Institute 1999. Religiusitas yang di teliti oleh Fetzer terdapat 12 dua belas dimensi yang bepengaruh dengan kegiatan atau perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan agama. Berdasarkan pemikiran tersebut penulis tertarik untuk meneliti mengenai “PENGARUH DIMENSI-DIMENSI RELIGIUSITAS TERHADAP PENERIMAAN ORANG TUA ANAK AUTIS DI BEKASI BARAT ”

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah