2.3 Kerangka Berfikir
Penerimaan orang tua adalah awal dimana adanya penanganan terhadap anak, khususnya jika anak mengalami kelainan atau kebutuhan khusus autis. Semakin cepat
orang tua dapat menerima anak mereka yang autis, semakin cepat pula penanganan anak mereka. Orang tua anak autis dituntut mengerti dan paham apa itu autis, gejala-
gejalanya sampai kebutuhannya. Oleh karena itu orang tua selain dituntut cepat menerima anak mereka juga harus segera membawa atau memikirkan cara
penangannannya. Sebesar apapun upaya yang dilakukan dokter atau pisikiater tidak akan berdampak
banyak pada perubahan anak jika orang tua tetap saja tidak menerima anak mereka. Sebagian besar orang tua yang pertama kali mendengar diagnosa dokter pasti terkejut
atau bahkan menolak. Hal ini dianggap wajar karena apa yang dibayangkan dan diharap orang tua terhadap anak mereka tidak seperti yang diharapkan.
Salah satu faktor pengaruh yang menyebabkan orang tua dengan cepat menerima anak mereka yang autis adalah religiusitas. Religiusitas atau peran kegamaan yang
dimiliki oleh orang tua anak autis yaitu dengan menyadari dan meyakini bahwa sesungguhnya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
Dengan demikian orang tua harus menyadari dan meyakini bahwa memiliki anak autis juga merupakan salah satu dari kehendak Allah SWT.
Pada umumnya tidak ada orang tua yang menghendaki anaknya mengalami autis, akan tetapi dengan keyakinan bahwa ini adalah kehendak Allah SWT maka mau atau
tidak mau, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, terpaksa atau tidak terpaksa, rela atau tidak rela maka nikmat Allah berupa memiliki anak autis dapat diterima
dengan baik oleh orang tuanya. Dengan ini diharapkan melalui berjalannya waktu orang tua dapat menerima anaknya yang mengalami sindrom autisme dengan sabar
menerimanya. Sehingga diharapkan anaknya yang mengalami autis dapat disayangi dan dikasihi yang bisa melebihi kasih sayang terhadap anak-anaknya yang tidak mengalami
autis. Melalui perilaku yang demikian inilah diharapkan anak yang mengalami sindrom
autis merasa dihargai sebagai modal utama kesembuhan terhadap penyakit yang dideritanya yaitu sindrom autisme.
Religiusitas pada penelitian ini, peneliti mengambil religiusitas yang di cetuskan oleh Fetzer 1999 yang terdiri dari dimensi : individu penganut agama merasakan
pengalaman beragama sehari-hari daily spiritual experience, kebermaknaan hidup dengan beragama religion-meaning, ekspresi keagamaan sebagai sebuah nilai value,
keyakinan belief, memaafkan forgiveness, melatih diri dalam beragama private religious practice, penggunaan agama sebagai coping religiousspiritual coping,
dukungan penganut sesama agama religious support, sejarah keberagamaan religiousspiritual
history, komitmen
beragama commitment,
mengikuti organisasikegiatan keagamaan organizational religious, pilihan agama religious
preference.
Kesebelas dimensi religiusitas ini dapat berdampak dalam proses penerimaan orang tua terhadap anak mereka. Juga kesebelas religiusitas keagamaan diperaktekkan dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya untuk mengelola emosi dengan baik sehingga bisa memikirkan langkah-langkah atau penanganan terhadap anak mereka yang memiliki
sindrom autis. Dalam hipotesis sementara, peneliti menyimpulkan: jika religiusitas yang dimiliki
orang tua anak autis tinggi maka pengaruh orang tua dalam menerima anak mereka yang mengalami sindrom autis juga akan tinggi cepat menerima, dan sebaliknya jika
religiusitas yang dimiliki orang tua anak autis rendah maka pengaruh orang tua dalam menerima anak mereka yang mengalami sindrom autis juga ikut rendah lambat
menerima. Dengan demikian skema kerangka berfikir dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1
Daily Spiritual Experiences
Meaning
Value Belief Forgiveness
Private Religious Practices
Penerimaan Orang Tua
Anak Autis Di Bekasi
Barat Religiusitas
Religious Preference
ReligiousSpiritual Coping
Religious Support ReligiousSpiritual
History Commitmen
Organizational Religiousness
2.4 Hipotesis Penelitian