Penyelesaian Pemprovsu, Pemkab Deli Serdang,
Satker UPTD Medan, dan Balai Besar Pelaksana
Jalan Nasional sedang menunggu reaksi warga
Kec. Tanjung Morawa
Desa Bangun Sari Baru dan Desa Buntu
Bedimbar 1.375
Tanah warga 5 persil luas 1.35 M2 uang ganti rugi belum
diambil, disebabkan : - Satu Persil lahan sedang
bersengkata antara Kasigiong dengan JununManta Siagian.
- Satu Persil belum mau mengambil uang ganti rugi An
MisniMiswan- --- Dua Persil lahan diagunkan menjadi kredit
macet di bank Mandiri An. PT Tunggal Nusantara, dan PT.
FidausDimin. -Satu Persil tidak diketahui
keberadaannya. -Satker Unit Pelaksana
Teknis Daerah Medan dan Panitia Pengadaan Tanah
telah mengkonsinyiasikan uang ganti rugi ke
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.
-Tim Percepat Penyelesaian Pemprovsu,
Pemab Deli Serdang, Satker UPTD Medan, dan
Balau Besar Pelaksana Jalan Nasional pada telah
melakukan pembersihan. - Pengadilan Negeri
Lubuk Pakam telah memutuskan uang
penetapan konsinyiasi. - Lima Persil yang
dikonsinyiasi telah dapat dikerjakan.
C. Kendala – Kendala dalam Pengadaan Tanah Jalan Tol Kota Medan –
Tebing Tinggi
Keadaan Negara kita sebagai Negara berkembang menuntut kita melakukan banyak perbaikan dan pembangunan. Banyaknya manusia yang
memerlukan tanah, tetapi tidak bertambahnya jumlah tanah yang ada menjadi salah satu inti permasalahannya. Mau tidak mau untuk menjalankan
pembangunan, diadakan proses pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang
sudah dihaki oleh rakyat. Proses tersebut cukup memakan waktu yang lama, oleh karena salah satu pihak merasa adanya ketidakadilan. Proses yang cukup lama
ini, otomatis membuat jalannya pembangunan menjadi tersendat. Maka itu dengan memperkenalkan pada masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang
dipunyai oleh seluruh hak – hak atas tanah kiranya dapat membantu mengubah cara berpikir individual masyarakat. Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas
tanah tidak dibiarkan merugikan kepentingan banyak orang umum. Apalagi ditambah dengan peraturan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum. Begitu juga dengan pihak pemerintah, harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan adil untuk pemegang
tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan antara dua kepentingan rakyat pembangunan dan kepentingan individu dapat segera
terwujud dengan baik.
Berdasarkan penelitian saya terhadap pengadaan tanah jalan tol Medan – Tebing Tinggi, maka ditemukan beberapa faktor-faktor yang menjadi kendala,
yaitu:
1. Kepedulian Masyarakat atas Pengadaan Tanah Dinilai masih
Rendah
Salah satu faktor penghambat atau kendala dalam pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Kota Medan – Tebing Tinggi adalah rendahnya kepedulian
masyarakat terhadap pengadaan tanah. Pada dasarnya bahwa penciptakan masyarakat adil dan makmur merupakan tujuan negara Republik Indonesia dan
pembangunan yang merupakan dasar program pemerintah untuk seluruh wilayah Indonsia. Dalam melaksanakan pembangunan ini faktor utama yang paling
penting adalah tanah. Seperti pembuatan jalan raya, pelabuhan – pelabuhan, bangunan – bangunan untuk industri, pertambangan, perumahan dan kesehatan
dan lain – lain demi kepentingan masyarakat. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Dalam pemakaian sesuatu hak atas tanah harus memperhatikan kepentingan masyarakat seperti juga dalam pasal 33 UUD 1945, “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya bagi kemakmuran rakyat.” UUD 1945
pasal 33 ayat 3 tidak mencantumkan dengan tegas kata – kata fungsi sosial, namun harus di tafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak – hak milik diartikan hak
rnilik itu tidak boleh rnerugikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian pengertian fungsi sosial dari pada tanah adalah jalan
kompromi atau hak rnutlak dari tanah seperti tersebut dalarn rnernori penjelasan Undang – Undang Pokok Agraria, bahwa keperluan tanah tidak diperkenankan
semata – mata untuk kepentingan pribadi, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan
dan kebahagiaan yang mempunyai tanah juga berrnanfaat untuk rnasyarakat dan kepentingan perorangan harus saling imbang mengimbangi sebagai dwi tunggal.
85
85
http:www.repository.unej.ac.idhandle1234567892128, Diakses pada tanggal 20 November 2015, Pukul 14:50 wib.
Akan tetapi pada kenyataannya, walaupun tanah memiliki fungsi sosial yang diatur dalam UUPA, kepedulian masyarakat untuk mengorbankan tanah dinilai
masih rendah, dan masih ada kelompok masyarakat yang beranggapan bahwa kepemilikan tanah sampai saat ini menganut sistem kepemilikan yang bersifat
mutlak, yaitu kepemilikan hak atas tanah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun termasuk diganggu gugat oleh pemerintah.
2. Ketidakjelasan Status Hak Tanah Masyarakat Jalan Tol Kota Medan
– Tebing Tinggi
Faktor kedua yang menjadi kendala dalam pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Kota Medan – Tebing Tinggi adalah ketidakjelasan status
hak tanah masyarakat jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi. Ketidakjelasan status tersebut terlihat dari perbedaan alas hak yang dimiliki oleh masyarakat
sepanjang jalan tersebut yang berdampak pada perbedaan ganti kerugiannya. Berdasarkan data status tanah yang saya peroleh dari Badan Petanahan
Nasional, tanah sepanjang jalan arteri tersebut merupakan tanah yang berasal dari lahan perkebunan HGU PTPN II, dengan status hak beragam – ragam, ada yang
masih HGU PTPN II, Eks HGU PTPN II, dan ada yang sudah didaftarkan menjadi hak milik masyarakat.
Jika melihat pada sejarahnya, lahan sepanjang jalan tol dulunya merupakan lahan HGU PTPN II. Lahan HGU ini disahkan menjadi lahan
perkebunan sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Agraria Nomor 24HGU1965 Tanggal 10 Juni 1965 tentang Pemberian Hak Guna Usaha
kepada PPN Tembakau Deli Sumatera Timur atas tanah seluas 181.000 Ha dari areal yang semula seluas 250.000 Ha. HGU yang diberikan kepada PPN
Tembakau Deli terakhir tercatat atas nama PT Perkebunan Nusantara II tersebut diberikan dalam jangka waktu 35 tahun sehingga haknya telah berakhir tanggal 9
Juni 2000.
Pihak PT perkebunan Nusantara telah mengajukan perpanjangan hak pada tahun 1997 dan baru pada tahun 2000 diterbitkan HGU-nya berdasarkan
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 42HGUBPN2002 masing-masing tanggal 29 November 2002 serta Nomor 10HGUBPN2004
Tanggal 6 Februari 2004. Status lahan HGU tetap diperpanjang secara rutin, tetapi penggunaannya cenderung diterlantarkan. Karena penelantaran tersebut, sebagian
besar lahan tersebut digarap oleh masyarakat dan diperjualbelikan bahkan juga terbit alas hak berupa SK Camat, SK Jual Beli dan sebagainya.
Untuk wilayah tertentu, lahan HGU yang ditelantarkan tersebut diberikan kepada para pensiunan pegawai PTPN II untuk menempati dan menggunakan
lahan HGU PTPN II. Tetapi yang terjadi adalah bukan hanya sekedar menempati lahan tersebut, tetapi para pensiunan pegawai PTPN II tersebut cenderung menjual
lahan tersebut kepada masyarakat dengan harga murah dan terbit pula alas hak dari camat atas proses penjualan lahan tersebut.
Masyarakat menempati lahan tersebut selama bertahun-tahun, namun pada buku tanah yang terdapat di Badan Pertanahan Nasional, lahan tersebut masih
berstatus HGU PTPN II, Eks HGU PTPN II, dan hak milik masyarakat. Perbedaan status tersebut dikarenakan oleh perbedaan perpanjangan HGU PTPN
II, yaitu: a.
Lahan tersebut telah benar-benar tidak lagi diperpanjang sehingga masyarakat dapat melakukan peningkatan hak dengan mendaftarkan
tanahnya menjadi hak milik.
b. Lahan yang tidak diperpanjang dan telah berstatus Eks HGU, masyarakat
telah melakukan peningkatan hak dengan mendaftarkan tanahnya namun tidak dikeluarkan sertifikat dari BPN.
c. Lahan yang masih terkena perpanjangan HGU, masih berstatus HGU
PTPN II. Sehingga masyarakat cenderung disebut sebagai “penggarap”. Lahan tersebut ditempati masyarakat dengan itikad baik, karena masyarakat secra
rutin membayar pajak PBB atas tanah tersebut. Hal tersebut yang menimbulkan konflik karena pada saat terjadi pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol,
ganti rugi yang diberikan berbeda oleh karena status tanah yang juga berbeda.
3. Ganti Kerugian yang Tidak Sesuai dengan Keinginan Pemilik Tanah
Ganti rugi dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres No. 36 Tahun 2005 menyatakan sebagai penggantian terhadap kerugian baik yang
bersifat fisik dan atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah. Salah satu faktor penghambat yang menjadi kendala pengadaan tanah jalan
tol Kota Medan – Tebing Tinggi adalah persoalan Ganti rugi yang tidak layak. Ganti rugi untuk tanah sampai saat ini masih berpatokan kepada harga
NJOP, sedangkan untuk ganti rugi terhadap bangunan dan tanaman mengikuti standar yang ditentukan oleh lembaga terkait.
Mengenai besaran ganti rugi yang diberikan pemerintah yang penentuannya berdasarkan pada NJOP, nilai jual tanaman, maupun nilai jual
bangunan yang seringkali mendapat penolakan dari pihak yang berhak karena
dirasakan kurang layak dari yang seharusnya didapatkan. Dalam hal ini, terdapat dua pandangan yang berbeda dalam menentukan besaran nilai ganti rugi atau
harga tanah yang diinginkan. Di satu sisi, pemerintah menggunakan standar NJOP dalam menentukan harga tanah, sementara di sisi lainnya masyarakat
menginginkan standar harga pasar dalam menentukan harga tanah. Selain dari faktor NJOP, masalah ganti rugi tampaknya sering dilupakan
bahwa interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah, di samping mengandung makna bahwa hak atas tanah itu harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan
haknya, sehingga bermanfaat bagi pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan
dengan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan itu diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan
masyarakat secara
keseluruhan. Persoalan lain yang menjadi kendala dalam pemberian ganti kerugian
adalah adanya perbedaan pendapat, keinginan, dan perbedaan status tanah dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi antara pemegang hak yang satu
dengan pemegang hak lainnya terjadi karena pemilik tanah cenderung mementingkan kepentingan individual atau nilai ekonomis dari tanah. Hal
tersebut sangat menghambat kerja panitia dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi karena sulitnya mencapai kesepakatan dalam setiap pelaksanaan
musyawarah. Dikarenakan perbedaan status tanah sepanjang jalan tol Kota Medan –
Tebing Tinggi tersebut mengakibatkan perbedaan ganti kerugian yang diberikan, yaitu :
a. Untuk tanah yang bersertifikat atau berstatus hak milik, ganti ruginya Rp.
385.000 meter. b.
Tanah yang berstatus Eks HGU hanya memperoleh Rp. 80.000, yaitu 25 dari nilai tanah yang bersertifikat.
c. Tanah yang masih memiliki perpanjangan HGU PTPN II, hanya
memperoleh ganti rugi atas bangunan dan tanamannya saja, karena ganti kerugian diberikan kepada pihak Perkebunan PTPN II.
Perbedaan pemberian ganti kerugian tersebut menyebabkan banyak terjadinya protes di sebagian masyarakat yang mengakibatkan masyarakat protes
dan menuntut ganti kerugian yang layak dan merata. Terutama untuk masyarakat yang hanya mendapat ganti kerugian atas bangunan dan tanaman, atau sama sekali
tidak mendapat ganti kerugian atas tanah, banyak melakukan protes dan aksi turun ke jalan karena merasa tidak adil.
D. Upaya Pemerintah dan Masyarakat dalam Penyelesaian Sengketa