Kitin dan Kitosan PENELAAHAN PUSTAKA

7 Menurut Agung 2007, dalam dunia internasional, udang windu Peneaus monodon dikenal dengan nama black tiger, tiger shrimp atau tiger prawn. Adapun udang windu diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Penaeidae Genus : Peneaus Spesies : Peneaus monodon Fabricus Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu Peneaus monodon terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada kepala-dada disebut cephalothorax dan bagian perut abdomen yang terdapat ekor dibagian belakangnya. Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas segmen. Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari zat chitin Suyanto, dan Mujiman, 2001.

B. Kitin dan Kitosan

Sejarah penemuan kitin dimulai pada tahun 1811 oleh Henry Broconnot sebagai hasil isolasi dari jamur, sedangkan kitin dari kulit serangga diisolasi pertama kali pada tahun 1820-an. Kitosan ditemukan oleh C. Roughet pada tahun 1859 dengan merefluks kitin dan alkali pada suhu 180 C. Disini proses deasetilasi kitin dapat berlaku tanpa pemutusan rantai polimernya Brine, 1984. 8 Kitosan merupakan produk dari proses deasetilasi kitin yang memiliki sifat unik sehingga dapat digunakan dalam berbagai keperluan. Hal ini menyebabkan kitosan memiliki potensi industri yang cukup besar, akan tetapi potensinya belum dimanfaatkan secara optimum di Indonesia. Kitosan juga merupakan produk alami yang tidak beracun dan polisakarida yang tidak larut air, yang diekstrak dari kulit udang. Disamping itu kitosan juga merupakan biopolimer kationik yang dapat didegradasi Kofuji, Qian, Murata, Kawashima, 2005. Kitin sebagai sumber awal kitosan merupakan biopolimer yang cukup melimpah di alam. Sebagian besar kitin dapat diperoleh dari krustasea laut seperti kepiting, udang, oyster, dan cumi-cumi Yi et al., 2005. Sumber kitin dan kitosan yang cukup banyak dan terdapat dalam perairan Indonesia adalah limbah udang. Hal ini sejalan dengan munculnya udang yang telah menjadi salah satu komoditas primadona dalam industri pengolahan hasil perikanan, sejak diresmikannya program peningkatan devisa non migas terutama dari sub sektor perikanan Suptijah, Salamah, Sumaryanto, Purwaningsih, Santoso, 1992. Sumber kitin dan kitosan yang merupakan limbah udang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan jenis pengolahannya yaitu kepala udang biasanya merupakan hasil samping dari industri pembekuan udang tanpa kepala, kulit udang biasanya merupakan hasil samping dari industri pembekuan udang atau industri pengalengan udang, dan campuran keduanya biasanya berasal 9 dari industri pengalengan udang Suptijah, Salamah, Sumaryanto, Purwaningsih, Santoso, 1992. Perbedaan kitin dan kitosan hanya terdapat pada perbandingan gugus amina primer dan amida pada atom C-1 unit polimer. Jika gugus amina primer lebih banyak 50 daripada gugus amida maka polimer disebut kitosan. Besarnya jumlah gugus amina primer dapat dilihat derajat deasetilasi DD kitosan. Semakin besar derajat deasetilasi DD maka gugus amina primer dalam rantai polimer semakin banyak. Pengukuran derajat deasetilasi kitosan dapat dihitung melalui beberapa metode antara lain : metode spektrofotometer IR Khan et al., 2002. Kitin murni mengandung gugus asetamida NH-COCH 3 , dan kitosan murni mengandung gugus amino NH 2 . Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat-sifat kimia senyawa tersebut Roberts,1992. Kitin berbentuk padatan amorf atau kristal, berwarna putih, dan dapat terurai secara hayati biodegradable. Kitin bersifat tidak larut dalam air, asam anorganik encer, asam organik, alkali pekat dan pelarut organik tetapi larut dalam asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat, dan asam format anhidrat. Kitin dalam asam pekat dapat terdegradasi menjadi monomernya dan memutuskan gugus asetil Einbu, 2007. Ketika derajat N-asetilasi didefinisikan sebagai rata- rata jumlah unit N-asetil-D-glukosamin per 100 monomer yang dituliskan sebagai persentase kurang dari 50, maka kitin dapat larut dalam larutan asam dan kemudian disebut kitosan Pillai ,Willi, Chandra 2009. 10 Hasil isolasi kulit udang akan menghasilkan senyawa kitin yang merupakan polimer dari glukosamin yaitu polisakarida yang mengandung gugus asetatamida, sedangkan kitosan merupakan hasil proses hidrolisa kitin dengan alkali sehingga terjadi proses deasetilasi dari gugus asetamida menjadi gugus amina. Pada prinsipnya, proses transformasi kitin menjadi kitosan dapat melalui hidrolisis dengan asam dan basa. Hidrolisis dalam suasana basa terdiri atas dua metode, secara homogen dan heterogen. Perlakuan secara heterogen dalam suasana basa kuat merupakan metode yang umum dilakukan dalam proses deasetilasi kitin menjadi kitosan dan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi dan massa molekul yang bervariasi, namun sampai saat ini belum ada metode baku untuk proses deasetilasi kitin Rinaudo, 2006. Proses utama dalam pembuatan kitosan meliputi penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses deproteinasi dan demineralisasi, yang masing- masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, kitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa Tolamatea, Desbrieresb, Rhazia, Alaguic, 2003; Rege dan Lawrence, 1999. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses demineralisasi adalah konsentrasi HCl, temperatur, waktu reaksi, serta ukuran partikel sampel. Faktor- faktor ini akan mempengaruhi sifat fisika-kimia dari kitin yang akan dihasilkan Marquis-Duval, 2008. Banyak variasi derajat demineralisasi, waktu ekstraksi, temperatur, ukuran partikel, serta konsentrasi solute dengan solven yang dituliskan oleh banyak 11 pustaka. Namun, yang terpenting dalam proses demineralisasi adalah konsentrasi HCl atau volume HCl yang digunakan karena dibutuhkan 2 molekul HCl yang untuk mengkonversi 1 molekul kalsium karbonat menjadi 1 molekul kalsium klorida, walaupun sangat sulit untuk menghilangkan semua mineral yang ada dalam kulit udang karena adanya heterogenitas mineral Younes, 2015. Temperatur berpengaruh pada kecepatan reaksi demineralisasi yaitu semakin tinggi temperatur akan meningkatkan kecepatan reaksi demineralisasi dengan cara meningkatkan penetrasi solven ke dalam matriks kitin, terlebih lagi terdapat reaksi yang hanya terjadi pada temperatur tinggi Truong, Hausler, Monette, Niquette, 2007. Tahap deproteinasi cukup sulit dilakukan karena proses ini menggunakan bahan kimia yang dapat memutuskan ikatan antara kitin dengan protein dan juga mendepolimerisasikan biopolimer. Tahap ini cukup penting untuk dilakukan terutama dalam aplikasi biomedis, karena cukup besarnya persentase manusia yang alergi terhadap udang. Salah satu penyebab pembuat alergi tersebut adalah komponen protein dari udang. Tahap deproteinasi dapat dilakukan dengan berbagai reagen yaitu, NaOH, Na 2 CO 3 , NaHCO 3 , KOH, K2CO 3 , CaOH 2 , Na2SO 3 , NaHSO 3 , CaHSO 3 , Na 3 PO 4 dan Na 2 S. Reaksi yang terjadi cukup beragam sesuai dengan reagen yang digunakan. NaOH adalah reagen yang paling sering digunakan untuk proses deproteinasi pada ekstraksi kitin Younes, 2015. Uji biuret dilakukan untuk memastikan tidak ada protein yang tertinggal pada filtrat setelah proses deproteinasi. Reagen biuret berisikan kalium hidroksida 12 KOH, kalium natrium tartrat KNaC 4 H 4 O 6 , dan tembaga sulfat CuSO 4 . Prinsipnya adalah apabila terdapat 2 buah ikatan peptida atau lebih dapat bereaksi dengan ion Cu 2+ dalam suasana basa yang akan membentuk senyawa kompleks yang berwarna biru ungu karena adanya ikatan koordinasi dan ikatan kovalen antara atom tembaga Cu dan 4 atom N dari ikatan protein Martono, Hartini, Gunawan, 2012. Kitosan mempunyai sifat spesifik yaitu adanya sifat bioaktif, biokompatibel, pengkelat, anti bakteri dan dapat terbiodegrasi. Kualitas kitosan dapat dilihat dari sifat intrinsiknya, yaitu kemurniannya, massa molekul, dan derajat deasetilasi. Umumnya kitosan mempunyai derajat deasetilasi 75-100 Muzzarelli, 1983. Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Hal ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya Rinaudo 2006. Kitosan merupakan polielektrolit netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan kitosan membentuk ion netral. Kitosan merupakan polisakarida yang masuk ke dalam kelas makromolekul, memiliki kecenderungan bioaktif dan umumnya dibuat dari bahan- bahan alam dari hasil pertanian maupun berasal dari limbah udang, kerang- kerangan maupun kepiting. Selulosa, pektin merupakan biopolimer turunan dari 13 yang terdahulu, sedangkan kitin dan kitosan merupakan turunan akhir Prashanth dan Tharanathan, 2007. Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofilik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi yang disebabkan oleh kandungan gugus OH dan gugus NH2 yang bebas, dan ligan yang bervariasi. Kumpulan gugus hidroksil hidroksil pertama pada C-6 dan hidroksil yang kedua pada C-3 serta gugus amino yang sangat reaktif C-2 atau N-asetil yang seluruhnya terdapat pada kitin Prashanth dan Tharanathan 2007. Di samping itu, ketahanan kimia keduanya cukup baik yaitu kitosan larut dalam larutan asam, tetapi tidak larut dalam basa dan posisi silang kitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan kitin, serta tidak larut dalam media campuran asam dan basa Tang, Shi, Qian, 2007. Kitosan larut dalam asam mempunyai keunikan yaitu membentuk gel yang stabil dan mempunyai dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus NH. Karakterisasi kitosan dapat ditentukan dari kelarutannya dalam asam lemah seperti asam asetat. Kitosan lebih mudah larut dalam asam asetat 1-2 dan akan membentuk suatu garam ammonium asetat Tang et al. , 2007. Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Hal ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida yang lainnya Whang, Aminuddin, Hudson, Cuculo, 2005. Kitosan merupakan polielektrolit netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, 14 anion polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan kitosan membentuk ion netral Qin et al., 2005. Kitosan mengandung cukup banyak gugus polisakarida setelah selulosa. Berat molekul kitosan 1,036 x 105 dalton. Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, maka semakin kuat interaksi interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dan peroksida dari kitosan Tamura, Tsuruta, Tokura, 2002. Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofilik, memiliki reaktifitas kimia yang tinggi karena mengandung gugus OH dan gugus NH 2 untuk ligan yang bervariasi sebagai bahan pewarna dan penukar ion. Disamping itu ketahanan kimia keduanya cukup baik, yaitu kitosan larut dalam larutan asam tetapi tidak dalam larutan basa dan posisi silang kitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan kitin, serta tidak larut dalam media campuran asam dan basa Prashanth dan Tharanathan 2007. Pembentukan kitosan dari kitin terjadi penambahan gugus fungsi NH 2 akibat deasetilasi Gambar 1.. Semakin tinggi tingkat deasetilasinya, maka semakin murni kitosan yang dihasilkan. Jadi sebenarnya kitin dan kitosan merupakan polimer yang sama, namun yang membedakan adalah derajat deasetilasinya DD. Secara umum, jika molekul polimer memiliki lebih dari 50 N-asetilglukosamin maka disebut dengan kitin, sedangkan jika unit N-glukosamin lebih dari 50 maka disebut dengan kitosan Foudad, 2008. 15 Gambar 1. Struktur kimia dari kitin dan kitosan Foudad, 2008 Terdapat 2 metode deasetilasi yaitu metode heterogen dan homogen. Pada metode heterogen, kitin yang diperoleh direaksikan dengan NaOH panas selama beberapa jam, hingga menghasilkan kitosan sebagai residu yang tidak dapat larut, dengan derajat deasetilasi 85-99. Pada metode homogen kitin didispersikan dalam larutan NaOH pada suhu 25 o C selama 3 jam atau lebih kemudian didisolusikan dalam serpihan es batu sekitar 0 o C. Metode homogen ini menghasilkan kitosan yang larut dengan derajat deasetilasi 48-55 Chang, Tsai, Lee, Fu, 1997; Sannan, Kurita, Iwakura, 1976; Kurita, Sannan, Iwakura, 1977. Kitosan merupakan biomolekul non toksik dengan LD50 setara dengan 16 gkg BB Tang et al., 2007. Kitosan komersial memiliki bobot molekul rata-rata antara 3.800 dan 500.000 gmol dan derajat deasetilasi 2 hingga 40 Kumar, Ravi, dan Majeti, 2000. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan Tang et al., 2007. 16 Tabel I. Sumber-sumber kitin dan kitosan Muzzarelli, 1983 No Sumber Jumlah 1. Jamur cendawan 5-20 2. Tulang cumi-cumi 3-20 3. Kalajengking 30 4. Laba-laba 38,5 5. Kecoa 35 6. Kumbang 37 7. Ulat sutra 44 8. Kepiting 69 9. Udang 70 Kitosan dapat ditemukan pada berbagai makhluk hidup seperti udang, kepiting, kalajengking, ulat sutra, dan sebagainya. Udang memiliki persentase kitosan terbesar dibandingkan dengan hewan lainnya seperti yang terlihat dalam tabel I. Muzzarelli, 1983. Kitosan bersifat hidrofilik, menahan air dalam strukturnya dan membentuk gel secara spontan. Pembentukan gel berlangsung pada harga pH asam dan sedikit asam, disebabkan sifat kationik kitosan. Gel kitosan terdegradasi secara berangsur- angsur, sebagaimana halnya kitosan melarut Muzzarelli, 1983. Kitosan yang memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi menyebabkan kitosan mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan non polar yang dikandungnya. Karena kemampuan tersebut, kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai 17 pengikat, penstabil, dan pembentuk tekstur. Kitosan memiliki kemampuan yang sama dengan bahan pembentuk tekstur lain seperti karboksi metil selulosa CMC dan metil selulosa MC yang dapat memperbaiki penampakan dan tekstur suatu produk karena memiliki daya pengikat air dan minyak yang kuat dan tahan panas Tang et al., 2007. Penentuan kualitas kitosan tergantung pada pemakaiannya,misalnya pada proses pemurnian non makanan biasanya tidak memperdulikan mutunya. Namun untuk aplikasi lain terutama yang berhubungan dengan kesehatan kualitas sangat dibutuhkan Tamura et al., 2002. Kitosan digunakan sebagai desinfektanantibakteri dikarenakan beberapa sifat yang dimiliki yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan kemampuannya dalam memberikan pelapisan terhadap produk sehingga meminimalkan interaksi antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah afinitas yang dimiliki oleh kitosan yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein Hardjito 2006. Pada umumnya, mutu kitosan ditentukan oleh beberapa parameter yaitu bobot molekul, kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan derajat deasetilasi. Standar mutu yang didasarkan pada spesifikasi dari PT. Vitalhouse, salah satu 18 distributor kitin dan kitosan terbesar di Indonesia, untuk beberapa penerapan dan aplikasi disajikan pada Tabel II. Tabel II. Standar Mutu Kitosan Sifat aktifitas antimikroba dari kitosan dalam melawan bakteri tergantung dari berat molekul dan derajat deasetilasi. Berat molekul dan derajat deasetilasi yang lebih besar menunjukkan aktifitas antimikroba yang lebih besar No, Park, Lee, Meyers, 2002. Kitosan sebagai polikationik amin akan berinteraksi dengan kutub negatif dari lapisan sel bakteri. Reduksi sejumlah sel bakteri disebabkan oleh perubahan permukaan sel dan kehilangan fungsi pelindung dalam sel bakteri tersebut. Bakteri Gram negatif dengan lipopolisakarida dalam lapisan luarnya memiliki kutub negatif yang sangat sensitif terhadap kitosan Chaiyakosha, Charernjirtragul, Umsakul, Vuddhakul, 2007. Dalam penelitiannya Tsai, Su, Chen, 19 dan Pan 2002 menemukan bahwa kitosan dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli , adanya penghambatan ini disebabkan oleh adanya keelektronegatifan permukaan sel E. coli. Perubahan dalam potensial permukaan E.coli selama pertumbuhan, yaitu terjadinya peningkatan keelektronegatifan seiring dengan peningkatan umur sel, yaitu sampai pertumbuhan lambat, namun keelektronegatifan akan menurun setelah bakteri mencapai fase stasioner. Di lain pihak, Suptijah 2006 menyatakan bahwa kitosan dapat digunakan sebagai antibakteri dengan mekanisme sebagai berikut: kitosan dapat berikatan dengan membran sel, diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membran, terutama fosfatidil kolin PC sehingga menyebabkan permeabilitas inner membran IM jadi meningkat dan dengan meningkatnya permeabilitas IM memberi jalan yang mudah untuk keluarnya cairan sel. Khususnya pada E. coli setelah 60 menit komponen enzim - galaktosidase dapat terlepas, berarti dapat keluar dengan sitoplasma bahkan sambil membawa komponen metabolit yang lain, yang berarti terjadi lisis. Sehubungan dengan meningkatnya lisis maka tidak akan terjadi pembelahan sel regenerasi, bahkan dapat sampai mati. Wang 1992 menemukan bahwa aktifitas bakterisidal dari kitosan telah diobservasi dapat melawan beberapa bakteri gram negatif diantaranya adalah Escherichia coli. Dalam penelitiannya Chaiyakosha et al., 2007 menemukan bahwa kitosan dengan konsentrasi 150 ppm dan lama perendaman selama 5 menit mampu mengurangi bakteri Vibrio parahaemolyticus sebesar 90. 20 Kitosan dapat menyembuhkan luka dan lapisan dari kitosan merupakan zat pembawa yang stabil dalam preparasi faktor pertumbuhan fibroblast umum pada obat lepas lambat yang sudah dicoba pada tikus yang memiliki gen diabetes Mizuno, Yamamura, Yano, Osada, Saeki, Takimoto, 2003.

C. Lidah Buaya Aloe vera L.

Dokumen yang terkait

Uji Efek Ekstrak Etanol Biji Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Aloksan

5 51 113

Studi Pembuatan Kitosan Dari Kulit Udang (Penaeus Monodon)

7 124 63

Pemanfaatan Kitosan Dari Kulit Udang (Penaeus Monodon) Dan Cangkang Belangkas (Tachypleus Gigas), Untuk Menurunkan Kadar Ni, Cr Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

0 54 141

PENGARUH PEMBERIAN GEL EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe Vera Linn) TERHADAP KECEPATAN PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT IIA PADA TIKUS PUTIH STRAIN WISTAR (Rattus Norvegicus)

4 35 20

FORMULASI SEDIAAN GEL EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera (L.) Webb) DENGAN GELLING AGENT KITOSAN FORMULASI SEDIAAN GEL EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera (L.) Webb) DENGAN GELLING AGENT KITOSAN DAN UJI EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR.

0 1 15

Pengaruh pemberian sediaan gel penyembuh luka pada tikus jantan galur wistar dengan kombinasi zat aktif kitosan dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dan ekstrak kulit manggis.

1 9 133

Pengaruh pemberian sediaan biomaterial selulosa bakteri acetobacter xylinum dari limbah ketela pohon (Manihot utilissima Pohl.) dengan penambahan kitosan sebagai material penutup luka pada tikus galur wistar jantan.

1 1 136

Pengaruh pemberian sediaan biomaterial selulosa bakteri Acetobacter xylinum dari limbah air cucian beras dengan penambahan kitosan sebagai material penutup luka pada tikus galur wistar jantan.

0 2 133

Pengaruh pemberian sediaan biomaterial selulosa bakteri acetobacter xylinum dari limbah ketela pohon (Manihot utilissima Pohl.) dengan penambahan kitosan sebagai material penutup luka pada tikus galur wistar jantan

0 0 134

Pengaruh pemberian sediaan biomaterial selulosa bakteri Acetobacter xylinum dari limbah air cucian beras dengan penambahan kitosan sebagai material penutup luka pada tikus galur wistar jantan - USD Repository

0 0 131