Pengaruh pemberian sediaan gel penyembuh luka pada tikus jantan galur wistar dengan kombinasi bahan aktif kitosan dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dan ekstrak Aloe vera.
i Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik gel kitosan dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan ekstrak Aloe vera dan pengaruhnya terhadap penyembuhan luka tikus jantan galur Wistar. Parameter yang digunakan meliputi uji organoleptis, daya sebar, pH, dan viskositas gel. Pengujian keefektivitas anti luka diamati melalui keberadaan keropeng, kemerahan luka, dan diameter luka yang dianalisis berdasarkan uji statistiik.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Sebanyak 7 ekor tikus jantan galur Wistar diberikan perlakuan pemberian luka sebanyak 7 kelompok luka secara acak. Kelompok I (kontrol Bioplacenton) diberikan bioplacenton. Kelompok II (kontrol kitosan) diberikan gel kitosan 2%. Kelompok III (kontrol ekstrak) diberikan gel ekstrak Aloe vera konsentrasi 3%. Kelompok IV, V, dan VI (perlakuan gel kombinasi) diberikan gel kombinasi kitosan 2% dengan konsentrasi ekstrak Aloe vera 1%; 2% dan 3%. Kelompok VII tidak diberikan perlakuan setelah pembuatan luka. Pengamatan kualitatif dilakukan dari hari pertama hingga hari ketujuh, dan pengamatan kuantitatif dilakukan pada hari ketujuh setelah pembuatan luka.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian ekstrak Aloe vera pada gel kitosan merubah warna menjadi kehijauan, menurunkan viskositas, meningkatkan daya sebar, tanpa perubahan pH, bau, dan bentuk gel. Tidak ada perbedaan pada proses penyembuhan luka baik pada luka dengan gel kitosan 2% atau gel kombinasi kitosan dan ekstrak Aloe vera pada tikus jantan galur Wistar.
Kata kunci : kitosan, Peneaus monodon, Aloe vera, karakteristik gel kitosan, peyembuhan luka, gel kombinasi
(2)
ii ABSTRACT
The purposes of this study were to investigate the characteristic of combination gel derived from Peneaus monodon skin tissue and Aloe vera extract
and it’s effects of wound healing in Wistar male rats by looking at it’s organoleptic, spreadability, pH, and viscosity. The effect of wound healing activity observed by measure the presence the scab, redness, and the wound diameters that analysed by statistic.
This research was purely experimental research with randomized complete direct sampling design. A total 7 male Wistar rats were wounded with 7 wounds each rat by punch biopsy. Group I (bioplacenton) was given bioplacenton gel. Group II (chitosan control) was given chitosan gel 2%. Group III (Aloe vera extract control) was given Aloe vera extract 3%. Group IV, V, and VI (gel combination) was given a combination of chitosan gel 2% and Aloe vera extracts with
concentration 1%, 2%, and 3%. Group VII weren’t given any treatment after
making the wound. Qualitative observation did on the first day until seventh day, whereas quantitative observation did on the first day and seventh day.
The result of this study showed that addition of Aloe vera extract on the chitosan 2% gel changed colour to green, decreased viscosity, increased spreadability without any specific change of pH, odor, and gel form. There was no different result in wound healing process, neither the chitosan 2% gel nor extract Aloe vera extracts on male Wistar rats.
Keywords: chitosan, Peneaus monodon, Aloe vera, chitosan gel characteristic, wound healing, gel combination
(3)
i
PENGARUH PEMBERIAN SEDIAAN GEL PENYEMBUH LUKA PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR DENGAN KOMBINASI BAHAN AKTIF KITOSAN DARI LIMBAH KULIT UDANG WINDU (Peneaus
monodon) DAN EKSTRAK Aloe vera
SKRIPSI
Diajukan oleh :
Reinaldy Dharmawan
NIM : 128114020
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
(4)
ii
Persetujuan Pembimbing
PENGARUH PEMBERIAN SEDIAAN GEL PENYEMBUH LUKA PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR DENGAN KOMBINASI BAHAN AKTIF KITOSAN DARI LIMBAH KULIT UDANG WINDU (Peneaus
monodon) DAN EKSTRAK Aloe vera
Skripsi yang diajukan oleh :
Reinaldy Dharmawan
NIM : 128114020
telah disetujui oleh
Pembimbing utama,
(Phebe Hendra, Ph.D, Apt.)
(5)
iii
Pengesahan Skripsi Berjudul
PENGARUH PEMBERIAN SEDIAAN GEL PENYEMBUH LUKA PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR DENGAN KOMBINASI BAHAN AKTIF KITOSAN DARI LIMBAH KULIT UDANG WINDU (Peneaus
monodon) DAN EKSTRAK Aloe vera
Oleh :
Reinaldy Dharmawan NIM : 128114020
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Pada tanggal : 23 November 2015
Mengetahui
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Dekan
(Aris Widayati M.Si., Ph.D., Apt.)
Panitia Penguji : Tanda tangan
1. Phebe Hendra, Ph.D, Apt. ...
2. Ipang Djurnarko, M.Sc., Apt. ...
(6)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat dan keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan
pengetahuan adalah hampa, jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta
- Kahlil Gibran
–
Laporan Skripsi ini saya persembahkan untuk :
Kedua Orang Tua Saya (Denny Dharmawan & Lenny Setiono)
Keluarga Kakak Pertama Saya (Valencia D., Viktor L., dan V. Kaylee L.)
Kakak Kedua Saya (Florencia D.)
dan Almamaterku.
“We are just a small family with a big love under His protection”
(7)
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah
ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Yogyakarta, 20 November 2015
Penulis
(8)
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Reinaldy Dharmawan NIM : 128114020
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
PENGARUH PEMBERIAN SEDIAAN GEL PENYEMBUH LUKA PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR DENGAN KOMBINASI BAHAN AKTIF KITOSAN DARI LIMBAH KULIT UDANG WINDU (Peneaus
monodon) DAN EKSTRAK Aloe vera
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu memintra izin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian surat pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya, Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 19 Desember 2015
Yang menyatakan,
(9)
vii
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Pemberian Sediaan Gel Penyembuh Luka pada Tikus Jantan Galur Wistar dengan Kombinasi Bahan Aktif Kitosan dari Limbah Kulit Udang Windu (Peneaus monodon) dan Ekstrak Aloe vera.Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian tahun 2015 yang berhasil
didanai oleh Dinas Pendidikan Tinggi dan merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) di Program Studi Farmasi Fakultas
Farmasi Univesitas Sanata Dharma.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang memberikan bantuan dan dukungan pada pihak-pihak-pihak-pihak berikut (in no
particular order):
1. Bu Phebe Hendra Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, semangat, motivasi, dan pencerahan pada proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penelitian ini.
3. Dr. Sri Hartati Yuliani, Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penelitian ini.
4. Seluruh karyawan Universitas Sanata Dharma khususnya Fakultas Farmasi, baik dosen, laboran, sekretariat farmasi, dan sebagainya atas perannya dalam membimbing, membantu dan memberikan arahan hingga terselesaikannya skripsi ini.
5. Keluarga saya yang memberikan doa, dukungan penuh, motivasi, dan perhatian selama ini.
(10)
viii
6. Adis Pranaya Yakin sebagai rekan penelitian yang menjalani bersama penelitian ini dengan tekad pantang menyerah dan daya juang yang tinggi. 7. Kelompok PKMP “Gelitik”, Richardus Yudistira, Nadia Okky Luciana,
Adis Pranaya Yakin, dan Fenny Marisza atas kesediaan melakukan penelitian PKMP.
8. Dikti yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian PKMP sehingga penulis dapat melanjutkan penelitian skripsi.
9. Keluarga “Gembira” Ella, Venny, Edward, Novi, Sona, Siti, dan Adis yang telah mewarnai hidup penulis dengan kegembiraan.
10.Sahabat-sahabat FKK dan FST 2012 yang telah berjuang, belajar, dan berdinamika bersama selama ini.
Penulis juga berterima kasih kepada pihak yang telah membantu secara
langsung maupun tidak langsung yang tidak tercantum dalam naskah ini. Penulis
meminta maaf jika ada kekurangan ataupun kata-kata yang tidak berkenan. Penulis
membuka selebar-lebarnya jika ada kritik maupun saran terhadap skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat memajukan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi
seluruh masyarakat.
Yogyakarta, 20 November 2015,
(11)
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
INTISARI ... xv
ABSTRACT ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Rumusan masalah... 4
2. Keaslian penelitian ... 4
3. Manfaat penelitian ... 5
B. Tujuan Penelitian ... 5
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 6
(12)
x
B. Kitin dan Kitosan ... 7
C. Lidah Buaya (Aloe vera L.) ... 20
1. Sejarah Aloe vera L. ... 20
2. Klasifikasi dan morfologi Aloe vera L. ... 21
3. Kandungan Aloe vera L. ... 22
4. Manfaat Aloe vera L. ... 24
D. Sediaan Gel ... 25
E. Luka Terbuka dan Uji Penyembuhan Luka. ... 28
F. Landasan Teori ... 38
G. Hipotesis ... 39
BAB III. METODE PENELITIAN ... 40
A. Jenis Penelitian ... 40
B. Variabel Penelitian ... 40
1. Variabel utama ... 40
2. Variabel pengacau ... 41
C.Definisi operasional ... 41
D. Alat dan Bahan Penelitian ... 43
1. Alat ... 43
2. Bahan... 43
E. Tata Cara Penelitian ... 43
1. Pemilihan bahan. ... 43
2. Penyiapan bahan ... 44
3. Ekstraksi kitosan dari kulit udang ... 44
4. Ekstraksi Aloe vera ... 45
5. Pembuatan gel kitosan dari kulit udang dan ekstrak Aloe vera ... 46
(13)
xi
7. Karakterisasi kitosan dari kulit udang ... 47
8. Pengujian gel kitosan dan ekstrak Aloe vera pada hewan uji . ... 48
9. Pembuatan luka pada hewan uji ... 49
10.Pemberian gel, kontrol positif dan negatif pada hewan uji ... 50
11.Pengamatan kecepatan penyembuhan luka ... 50
F. Analisis Data ... 50
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52
A. Pembuatan Gel Kitosan dengan Ekstrak Aloe vera ... 52
B. Pengujian Karakterisasi Gel...………. 57
1. Uji Organoleptis ... 57
2. Uji Daya Sebar Gel...……….. 59
3. Uji pH ...………60
4. Uji viskositas ………. 61
C. Uji efektifitas anti luka ... 63
1. Uji Kualitatif ... 64
2. Uji Kuantitatif ... 69
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76
A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
LAMPIRAN ... 83
(14)
xii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Sumber-sumber kitin dan kitosan ... 16
Tabel II. Standar Mutu Kitosan ... 18
Tabel III. Kandungan gizi dalam 100g lidah buaya ... 23
Tabel IV. Kandungan-kandungan yang terdapat pada Aloe vera ... 23
Tabel V. Mediator yang berperan dalam proses penyembuhan luka ... 37
Tabel VI. Formulasi gel ... 46
Tabel VII. Organoleptis gel kelompok uji ... 58
Tabel VIII. Daya sebar kelompok uji ... 59
Tabel IX. Hasil pH formula gel yang dibuat ... 61
Tabel X. Hasil uji viskositas ... 62
Tabel XI. Kualitatif luka tikus pada hari ketujuh ... 65
Tabel XII. Hasil rata-rata diameter luka (mm) ...69
Tabel XIII. Hasil rata-rata persentase penyembuhan luka ... 69
Tabel XIV. Hasil perbandingan antar kelompok perlakuan dengan Mann-Whitney...72
(15)
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur kimia dari kitin dan kitosan ... 15
Gambar 2. Fase penyembuhan luka ... 30
Gambar 3. Fase inflamasi ... 30
Gambar 4. Fase Proliferasi. ... 33
Gambar 5. Fase Remodelling ... 35
Gambar 6. Luka pada setiap hewan uji ...49
Gambar 7. FTIR Kitosan ... 55
(16)
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Aloe vera. ... 83
Lampiran 2. Kulit udang. ... 84
Lampiran 3. Serbuk kitosan. ... 84
Lampiran 4. Ekstrak kental Aloe vera ... 85
Lampiran 5. Foto gel kombinasi ... 85
Lampiran 6. Ethical clearance penelitian ... 86
Lampiran 7. Surat keterangan penggunaan IBM SPSS Statistics 22 asli ... 87
Lampiran 8. Hasil analitis gel (pH, viskositas, dan daya sebar) ... 88
Lampiran 9. Data keberadaan keropeng ... 91
Lampiran 10. Data kemerahan luka ... 93
Lampiran 11. Data Diameter Luka Tikus ... 96
Lampiran 12. Rendemen Aloe vera. ... 98
(17)
xv
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik gel kitosan dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan ekstrak Aloe vera dan pengaruhnya terhadap penyembuhan luka tikus jantan galur Wistar. Parameter yang digunakan meliputi uji organoleptis, daya sebar, pH, dan viskositas gel. Pengujian keefektivitas anti luka diamati melalui keberadaan keropeng, kemerahan luka, dan diameter luka yang dianalisis berdasarkan uji statistiik.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Sebanyak 7 ekor tikus jantan galur Wistar diberikan perlakuan pemberian luka sebanyak 7 kelompok luka secara acak. Kelompok I (kontrol Bioplacenton) diberikan bioplacenton. Kelompok II (kontrol kitosan) diberikan gel kitosan 2%. Kelompok III (kontrol ekstrak) diberikan gel ekstrak Aloe vera konsentrasi 3%. Kelompok IV, V, dan VI (perlakuan gel kombinasi) diberikan gel kombinasi kitosan 2% dengan konsentrasi ekstrak Aloe vera 1%; 2% dan 3%. Kelompok VII tidak diberikan perlakuan setelah pembuatan luka. Pengamatan kualitatif dilakukan dari hari pertama hingga hari ketujuh, dan pengamatan kuantitatif dilakukan pada hari ketujuh setelah pembuatan luka.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian ekstrak Aloe vera pada gel kitosan merubah warna menjadi kehijauan, menurunkan viskositas, meningkatkan daya sebar, tanpa perubahan pH, bau, dan bentuk gel. Tidak ada perbedaan pada proses penyembuhan luka baik pada luka dengan gel kitosan 2% atau gel kombinasi kitosan dan ekstrak Aloe vera pada tikus jantan galur Wistar.
Kata kunci : kitosan, Peneaus monodon, Aloe vera, karakteristik gel kitosan, peyembuhan luka, gel kombinasi
(18)
xvi
ABSTRACT
The purposes of this study were to investigate the characteristic of combination gel derived from Peneaus monodon skin tissue and Aloe vera extract
and it’s effects of wound healing in Wistar male rats by looking at it’s organoleptic, spreadability, pH, and viscosity. The effect of wound healing activity observed by measure the presence the scab, redness, and the wound diameters that analysed by statistic.
This research was purely experimental research with randomized complete direct sampling design. A total 7 male Wistar rats were wounded with 7 wounds each rat by punch biopsy. Group I (bioplacenton) was given bioplacenton gel. Group II (chitosan control) was given chitosan gel 2%. Group III (Aloe vera extract control) was given Aloe vera extract 3%. Group IV, V, and VI (gel combination) was given a combination of chitosan gel 2% and Aloe vera extracts with
concentration 1%, 2%, and 3%. Group VII weren’t given any treatment after
making the wound. Qualitative observation did on the first day until seventh day, whereas quantitative observation did on the first day and seventh day.
The result of this study showed that addition of Aloe vera extract on the chitosan 2% gel changed colour to green, decreased viscosity, increased spreadability without any specific change of pH, odor, and gel form. There was no different result in wound healing process, neither the chitosan 2% gel nor extract Aloe vera extracts on male Wistar rats.
Keywords: chitosan, Peneaus monodon, Aloe vera, chitosan gel characteristic, wound healing, gel combination
(19)
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai luas wilayah
5.180.053 km2 yang terdiri dari total luas daratan 1.922.570 km2, dan total luas
lautan 3.257.483 km2, sehingga lebih dari 60 persen wilayah Indonesia adalah
lautan. Oleh karena itu banyak sekali hewan air yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia. Banyak biota laut yang digunakan sebagai sumber pangan Indonesia
yang biasa disebut dengan seafood atau makanan laut.
Udang windu adalah suatu binatang laut yang memiliki kulit agak keras,
dan dibesarkan dalam budidaya secara luas untuk makanan. Bagian yang
dikonsumsi dari udang untuk dijadikan seafood adalah bagian daging dan terkadang
bagian kepala. Bagian kulit atau cangkang dari udang windu belum banyak
dimanfaatkan dan pada umumnya akan menjadi limbah lingkungan.
Udang windu merupakan hewan laut jenis Crustacea yang bagian kulit
luarnya tersusun atas zat kitin. Zat kitin yang mengalami deasetilasi molekul basa
N parsial akan berubah menjadi zat yang dinamakan kitosan.Kitosan sekarang ini
banyak dimanfaatkan dalam dunia pangan, medis, farmasi, dan bioteknologi (Khan,
Peh, Ching, 2002). Banyaknya aplikasi kitosan dalam dunia medis dan farmasi
dikarenakan alasan limbah industri makanan laut begitu besar serta sifatnya yang
biokompatibel dan biodegradabel. Aplikasi kitosan dalam dunia medis di antaranya
(20)
diketahui dapat mempercepat proses penyembuhan luka baik secara makroskopik
maupun mikroskopik (Laksana, 2013).
Lidah buaya atau Aloe vera merupakan salah satu tanaman populer yang
memiliki segudang manfaat. Tanaman ini telah lama dikenal sebagai “The Miracle Plant" serta telah banyak digunakan orang diberbagai negara seperti Cina, Kongo,
dan Amerika sebagai obat luka, rambut rontok, tumor, wasir, dan laksansia. Lidah
buaya telah dimanfaatkan oleh sekitar 23 negara yang tercantum dalam daftar
prioritas WHO sebagai bahan baku utama obat dan kosmetika (Fit, 1983;
Wijayakusumah, 1990).
Luka adalah rusaknya kesatuan jaringan, dimana secara spesifik terdapat
substansi jaringan yang rusak atau hilang (Mansjoer, Triyanti, Savitri, Wardhani,
dan Setiowulan., 2000; Sjamsuhidajat, dan Jong, 1998). Luka terbuka di kulit
disebabkan goresan, tekanan, atau benda tajam. Waktu untuk proses penyembuhan
luka terbuka ini dibagi atas tahap inflammasi selama 0-3 hari, tahap proliferasi
3-24 hari dan tahap maturasi 3-24-365 hari (Australian Wound Management
Association, 2008). Waktu proses penyembuhan luka yang relative lama,
menyebabkan rasa yang tidak nyaman pada pasien, dan kulit menjadi rentan
mengalami infeksi oleh mikroorganisme.
Salah satu penanganan pada penderita luka terbuka yaitu dengan
mengobati luka tersebut menggunakan sediaan topikal, karena bentuk sediaan oral
maupun parenteral belum cukup efektif dan spesifik menyembuhkan luka terbuka.
(21)
mencegah infeksi pada luka. Bentuk sediaan gel topikal dipilih karena mempunyai
beberapa keuntungan yaitu, memiliki penyebaran dan pelepasan obat yang baik
pada kulit, nyaman dipakai, memberi rasa dingin, tidak lengket, dan mudah dicuci
dengan air (Voigt, 1994).
Kandungan senyawa lidah buaya yang diduga berperan sebagai
penyembuh luka adalah acemannan, yang merupakan golongan polisakarida. Peran
acemannan (mannosa-6 fosfat) dalam penyembuhan luka bakar adalah untuk
merangsang fibroblas, efek anti-inflamasi, efek antimikroba dan efek pelembab
(Maenthaisong, Chaiyakunapruk, Niruntraporn, dan Kongkaew, 2007). Tamanan
Aloe vera menghasilkan glikosida anthraquinone (10-30%), aloin (A dan B),
mucilage (30%), resin (16- 63%), gula (sekitar 25%), asam lemak, glycoprotein,
enzim (termasuk cyclooxygenase dan bradykinase) lupeol, asam salisilat, nitrogen
urea, asam sinamat, fenol, sulfur, magnesium laktat, prostanoids dan serat. Aloins
mempunyai efek laksatif, aloctin, campesterol, β-sitosterol dan acemannan mempunyai efek anti-inflamasi. Acemannan memiliki efek immunostimulan
sedangkan lupeol, asam salicylic, fenol, dan sulfur memiliki efek antiseptik (Ebadi,
2001).
Penelitian sebelumnya telah dilakukan penelitian terkait manfaat limbah
kulit udang windu terhadap penyembuhan luka pada tikus melalui PKMP (Program
Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian) yang didapatkan hasil konsentrasi
kitosan 2% sebagai konsentrasi terbaik dalam penyembuhan luka terbuka (Yakin,
Dharmawan, Yusdistira, Luciana, dan Sihaloho, 2015). Pada penelitian kali ini
(22)
dari kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan ekstrak Aloe vera
yang diujikan pada luka terbuka tikus jantan galur Wistar. Penggunaan kombinasi
kitosan dan Aloe vera dikarenakan menurut literatur masing-masing bahan tersebut
memiliki manfaat untuk penyembuhan luka, namun penelitian ini akan
membuktikan apakah dengan dikombinasikannya gel kitosan dengan ekstrak Aloe
vera akan berpengaruh atau tidak terhadap kecepatan penyembuhan luka. Penelitian
ini akan memperlihatkan proses regenerasi sel kulit tikus jantan galur Wistar pada
pemberian variasi konsentrasi kitosan dan ekstrak Aloe vera untuk mengetahui
konsentrasi efektif.
1. Rumusan masalah
a. Bagaimana karakteristik gel kitosan yang dibuat dari limbah kulit udang
Windu (Peneaus monodon) dengan penambahan ekstrak Aloe vera?
b. Bagaimana pengaruh penambahan ekstrak Aloe vera pada gel penyembuh
luka dengan zat aktif kitosan dari kulit udang windu (Peneaus monodon)
terhadap penyembuhan luka tikus jantan galur Wistar?
2. Keaslian penelitian
Sejauh yang peneliti ketahui belum ada penelitian mengenai
formulasi gel kitosan dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon)
dengan penambahan ekstrak Aloe vera dan uji aktivitas penyembuhannya
terhadap luka pada tikus wintar galur jantan. Penelitian serupa yaitu
(23)
(Laksana, 2013). Perbedaan penelitian terletak pada pross pembuatan gel
kitosan, dan material utama yang diuji.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu
pengetahuan tentang pembuatan gel penyembuh luka berbahan dasar
kitosan dari kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan
ekstrak Aloe vera.
b. Manfaat metodologis : Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
metode pengembangan pembuatan gel kitosan dan Aloe vera sebagai
penyembuh luka.
c. Manfaat praktis : Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif gel
penyembuh luka yang dibuat dari kedua bahan alam yang bersifat ramah
lingkungan.
B. Tujuan
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari gel kitosan dari
limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan ekstrak
Aloe vera ditinjau dari bentuk, warna, bau, pH, daya sebar dan viskositas.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gel kitosan
dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan penambahan
(24)
6 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA A.Udang Windu
Udang adalah jenis hewan yang hidup di perairan, khususnya sungai, laut
atau danau. Udang dapat ditemukan di hampir semua "genangan" air yang
berukuran besar baik air tawar, air payau maupun air asin pada kedalaman yang
bervariasi, dari dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan.
Udang biasa dijadikan makanan laut (seafood) (Suyanto dan Takarina, 2009).
Udang windu ( Penaeus monodon Fab.) merupakan salah satu komoditas
perikanan unggulan di Indonesia, dalam upaya menghasilkan devisa negara dari
ekspor nonmigas (Lamadi, 2009). Seiring dengan maraknya ekspor udang beku ke
beberapa negara seperti Jepang, Taiwan, dan Amerika Serikat, maka limbah yang
dihasilkan akan bertambah pula. Limbah udang berasal dari kulit, kepala dan
ekornya.
Kulit udang windu mengandung protein (25-40%), kitin (15-20%) dan
kalsium karbonat (45-50%). Kitosan merupakan biopolimer yang diperoleh dari
deasetilasi kitin. Akhir-akhir ini kitosan banyak dimanfaatkan dalam beragam
industri dengan alasan limbah industri makanan laut begitu besar dan perlu untuk
diolah menjadi sesuatu yang berguna selain itu karena sifat-sifat kitosan yang tidak
(25)
Menurut Agung (2007), dalam dunia internasional, udang windu (Peneaus
monodon) dikenal dengan nama black tiger, tiger shrimp atau tiger prawn. Adapun
udang windu diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Peneaus
Spesies : Peneaus monodon Fabricus
Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu (Peneaus monodon)
terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada
(kepala-dada) disebut cephalothorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat
ekor dibagian belakangnya. Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya
terdiri dari ruas-ruas (segmen). Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang
disebut eksoskeleton, yang terbuat dari zat chitin (Suyanto, dan Mujiman, 2001).
B.Kitin dan Kitosan
Sejarah penemuan kitin dimulai pada tahun 1811 oleh Henry Broconnot
sebagai hasil isolasi dari jamur, sedangkan kitin dari kulit serangga diisolasi
pertama kali pada tahun 1820-an. Kitosan ditemukan oleh C. Roughet pada tahun
1859 dengan merefluks kitin dan alkali pada suhu 1800C. Disini proses deasetilasi
(26)
Kitosan merupakan produk dari proses deasetilasi kitin yang memiliki sifat
unik sehingga dapat digunakan dalam berbagai keperluan. Hal ini menyebabkan
kitosan memiliki potensi industri yang cukup besar, akan tetapi potensinya belum
dimanfaatkan secara optimum di Indonesia. Kitosan juga merupakan produk alami
yang tidak beracun dan polisakarida yang tidak larut air, yang diekstrak dari kulit
udang. Disamping itu kitosan juga merupakan biopolimer kationik yang dapat
didegradasi (Kofuji, Qian, Murata, Kawashima, 2005).
Kitin sebagai sumber awal kitosan merupakan biopolimer yang cukup
melimpah di alam. Sebagian besar kitin dapat diperoleh dari krustasea laut seperti
kepiting, udang, oyster, dan cumi-cumi (Yi et al., 2005).
Sumber kitin dan kitosan yang cukup banyak dan terdapat dalam perairan
Indonesia adalah limbah udang. Hal ini sejalan dengan munculnya udang yang telah
menjadi salah satu komoditas primadona dalam industri pengolahan hasil
perikanan, sejak diresmikannya program peningkatan devisa non migas terutama
dari sub sektor perikanan (Suptijah, Salamah, Sumaryanto, Purwaningsih, Santoso,
1992).
Sumber kitin dan kitosan yang merupakan limbah udang dapat
dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan jenis pengolahannya yaitu kepala
udang (biasanya merupakan hasil samping dari industri pembekuan udang tanpa
kepala), kulit udang (biasanya merupakan hasil samping dari industri pembekuan
(27)
dari industri pengalengan udang) (Suptijah, Salamah, Sumaryanto, Purwaningsih,
Santoso, 1992).
Perbedaan kitin dan kitosan hanya terdapat pada perbandingan gugus
amina primer dan amida pada atom C-1 unit polimer. Jika gugus amina primer lebih
banyak (>50 %) daripada gugus amida maka polimer disebut kitosan. Besarnya
jumlah gugus amina primer dapat dilihat derajat deasetilasi (DD) kitosan. Semakin
besar derajat deasetilasi (DD) maka gugus amina primer dalam rantai polimer
semakin banyak. Pengukuran derajat deasetilasi kitosan dapat dihitung melalui
beberapa metode antara lain : metode spektrofotometer IR (Khan et al., 2002).
Kitin murni mengandung gugus asetamida (NH-COCH3), dan kitosan
murni mengandung gugus amino (NH2). Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi
sifat-sifat kimia senyawa tersebut (Roberts,1992).
Kitin berbentuk padatan amorf atau kristal, berwarna putih, dan dapat
terurai secara hayati (biodegradable). Kitin bersifat tidak larut dalam air, asam
anorganik encer, asam organik, alkali pekat dan pelarut organik tetapi larut dalam
asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat, dan asam format anhidrat.
Kitin dalam asam pekat dapat terdegradasi menjadi monomernya dan memutuskan
gugus asetil (Einbu, 2007). Ketika derajat N-asetilasi (didefinisikan sebagai
rata-rata jumlah unit N-asetil-D-glukosamin per 100 monomer yang dituliskan sebagai
persentase) kurang dari 50%, maka kitin dapat larut dalam larutan asam dan
(28)
Hasil isolasi kulit udang akan menghasilkan senyawa kitin yang
merupakan polimer dari glukosamin yaitu polisakarida yang mengandung gugus
asetatamida, sedangkan kitosan merupakan hasil proses hidrolisa kitin dengan alkali
sehingga terjadi proses deasetilasi dari gugus asetamida menjadi gugus amina. Pada
prinsipnya, proses transformasi kitin menjadi kitosan dapat melalui hidrolisis
dengan asam dan basa. Hidrolisis dalam suasana basa terdiri atas dua metode, secara
homogen dan heterogen. Perlakuan secara heterogen dalam suasana basa kuat
merupakan metode yang umum dilakukan dalam proses deasetilasi kitin menjadi
kitosan dan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi dan massa molekul
yang bervariasi, namun sampai saat ini belum ada metode baku untuk proses
deasetilasi kitin (Rinaudo, 2006).
Proses utama dalam pembuatan kitosan meliputi penghilangan protein dan
kandungan mineral melalui proses deproteinasi dan demineralisasi, yang
masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya,
kitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan
basa (Tolamatea, Desbrieresb, Rhazia, Alaguic, 2003; Rege dan Lawrence, 1999).
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses demineralisasi adalah
konsentrasi HCl, temperatur, waktu reaksi, serta ukuran partikel sampel.
Faktor-faktor ini akan mempengaruhi sifat fisika-kimia dari kitin yang akan dihasilkan
(Marquis-Duval, 2008).
Banyak variasi derajat demineralisasi, waktu ekstraksi, temperatur, ukuran
(29)
pustaka. Namun, yang terpenting dalam proses demineralisasi adalah konsentrasi
HCl atau volume HCl yang digunakan karena dibutuhkan 2 molekul HCl yang
untuk mengkonversi 1 molekul kalsium karbonat menjadi 1 molekul kalsium
klorida, walaupun sangat sulit untuk menghilangkan semua mineral yang ada dalam
kulit udang karena adanya heterogenitas mineral (Younes, 2015).
Temperatur berpengaruh pada kecepatan reaksi demineralisasi yaitu semakin tinggi temperatur akan meningkatkan kecepatan reaksi demineralisasi dengan cara meningkatkan penetrasi solven ke dalam matriks kitin, terlebih lagi terdapat reaksi yang hanya terjadi pada temperatur tinggi (Truong, Hausler,
Monette, Niquette, 2007).
Tahap deproteinasi cukup sulit dilakukan karena proses ini menggunakan bahan kimia yang dapat memutuskan ikatan antara kitin dengan protein dan juga mendepolimerisasikan biopolimer. Tahap ini cukup penting untuk dilakukan terutama dalam aplikasi biomedis, karena cukup besarnya persentase manusia yang alergi terhadap udang. Salah satu penyebab pembuat alergi tersebut adalah komponen protein dari udang. Tahap deproteinasi dapat dilakukan dengan berbagai reagen yaitu, NaOH, Na2CO3, NaHCO3, KOH, K2CO3, Ca(OH)2, Na2SO3, NaHSO3, CaHSO3, Na3PO4 dan Na2S. Reaksi yang terjadi cukup beragam sesuai dengan reagen yang digunakan. NaOH adalah reagen yang paling sering digunakan untuk proses deproteinasi pada ekstraksi kitin(Younes, 2015).
Uji biuret dilakukan untuk memastikan tidak ada protein yang tertinggal
(30)
(KOH), kalium natrium tartrat (KNaC4 H4O6), dan tembaga sulfat (CuSO4).
Prinsipnya adalah apabila terdapat 2 buah ikatan peptida atau lebih dapat bereaksi
dengan ion Cu2+ dalam suasana basa yang akan membentuk senyawa kompleks
yang berwarna biru ungu karena adanya ikatan koordinasi dan ikatan kovalen antara
atom tembaga (Cu) dan 4 atom N dari ikatan protein (Martono, Hartini, Gunawan,
2012).
Kitosan mempunyai sifat spesifik yaitu adanya sifat bioaktif,
biokompatibel, pengkelat, anti bakteri dan dapat terbiodegrasi. Kualitas kitosan
dapat dilihat dari sifat intrinsiknya, yaitu kemurniannya, massa molekul, dan derajat
deasetilasi. Umumnya kitosan mempunyai derajat deasetilasi 75-100% (Muzzarelli,
1983).
Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai
karbonnya. Hal ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berlawanan
dengan polisakarida lainnya (Rinaudo 2006). Kitosan merupakan polielektrolit
netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida, dan asam
nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan kitosan membentuk
ion netral.
Kitosan merupakan polisakarida yang masuk ke dalam kelas
makromolekul, memiliki kecenderungan bioaktif dan umumnya dibuat dari
bahan-bahan alam dari hasil pertanian maupun berasal dari limbah udang,
(31)
yang terdahulu, sedangkan kitin dan kitosan merupakan turunan akhir (Prashanth
dan Tharanathan, 2007).
Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan
diri, hidrofilik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi yang disebabkan oleh
kandungan gugus OH dan gugus NH2 yang bebas, dan ligan yang bervariasi.
Kumpulan gugus hidroksil (hidroksil pertama pada C-6 dan hidroksil yang kedua
pada C-3) serta gugus amino yang sangat reaktif (C-2) atau N-asetil yang
seluruhnya terdapat pada kitin (Prashanth dan Tharanathan 2007). Di samping itu,
ketahanan kimia keduanya cukup baik yaitu kitosan larut dalam larutan asam, tetapi
tidak larut dalam basa dan posisi silang kitosan memiliki sifat yang sama baiknya
dengan kitin, serta tidak larut dalam media campuran asam dan basa (Tang, Shi,
Qian, 2007).
Kitosan larut dalam asam mempunyai keunikan yaitu membentuk gel yang
stabil dan mempunyai dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan
muatan positif pada gugus NH. Karakterisasi kitosan dapat ditentukan dari
kelarutannya dalam asam lemah seperti asam asetat. Kitosan lebih mudah larut
dalam asam asetat 1-2 % dan akan membentuk suatu garam ammonium asetat (Tang
et al., 2007).
Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai
karbonnya. Hal ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berlawanan
dengan polisakarida yang lainnya (Whang, Aminuddin, Hudson, Cuculo, 2005).
(32)
anion polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat
dengan kitosan membentuk ion netral (Qin et al., 2005).
Kitosan mengandung cukup banyak gugus polisakarida setelah selulosa.
Berat molekul kitosan 1,036 x 105 dalton. Berat molekul ini tergantung dari derajat
deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang
hilang dari polimer kitin, maka semakin kuat interaksi interaksi antar ion dan ikatan
hidrogen dan peroksida dari kitosan (Tamura, Tsuruta, Tokura, 2002). Kitin dan
kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofilik,
memiliki reaktifitas kimia yang tinggi (karena mengandung gugus OH dan gugus
NH2) untuk ligan yang bervariasi (sebagai bahan pewarna dan penukar ion).
Disamping itu ketahanan kimia keduanya cukup baik, yaitu kitosan larut dalam
larutan asam tetapi tidak dalam larutan basa dan posisi silang kitosan memiliki sifat
yang sama baiknya dengan kitin, serta tidak larut dalam media campuran asam dan
basa (Prashanth dan Tharanathan 2007).
Pembentukan kitosan dari kitin terjadi penambahan gugus fungsi NH2
akibat deasetilasi (Gambar 1.). Semakin tinggi tingkat deasetilasinya, maka
semakin murni kitosan yang dihasilkan. Jadi sebenarnya kitin dan kitosan
merupakan polimer yang sama, namun yang membedakan adalah derajat
deasetilasinya (DD). Secara umum, jika molekul polimer memiliki lebih dari 50%
N-asetilglukosamin maka disebut dengan kitin, sedangkan jika unit N-glukosamin
(33)
Gambar 1. Struktur kimia dari kitin dan kitosan (Foudad, 2008)
Terdapat 2 metode deasetilasi yaitu metode heterogen dan homogen. Pada metode heterogen, kitin yang diperoleh direaksikan dengan NaOH panas selama beberapa jam, hingga menghasilkan kitosan sebagai residu yang tidak dapat larut, dengan derajat deasetilasi 85%-99%. Pada metode homogen kitin didispersikan dalam larutan NaOH pada suhu 25oC selama 3 jam atau lebih kemudian didisolusikan dalam serpihan es batu sekitar 0oC. Metode homogen ini menghasilkan kitosan yang larut dengan derajat deasetilasi 48%-55% (Chang, Tsai, Lee, Fu, 1997; Sannan, Kurita, Iwakura, 1976; Kurita, Sannan, Iwakura, 1977).
Kitosan merupakan biomolekul non toksik dengan LD50 setara dengan 16
g/kg BB (Tang et al., 2007). Kitosan komersial memiliki bobot molekul rata-rata
antara 3.800 dan 500.000 g/mol dan derajat deasetilasi 2% hingga 40% (Kumar,
Ravi, dan Majeti, 2000). Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer
kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan
(34)
Tabel I. Sumber-sumber kitin dan kitosan ( Muzzarelli, 1983 )
No Sumber Jumlah ( %)
1. Jamur / cendawan 5-20
2. Tulang cumi-cumi 3-20
3. Kalajengking 30
4. Laba-laba 38,5
5. Kecoa 35
6. Kumbang 37
7. Ulat sutra 44
8. Kepiting 69
9. Udang 70
Kitosan dapat ditemukan pada berbagai makhluk hidup seperti udang,
kepiting, kalajengking, ulat sutra, dan sebagainya. Udang memiliki persentase
kitosan terbesar dibandingkan dengan hewan lainnya seperti yang terlihat dalam
tabel I. (Muzzarelli, 1983).
Kitosan bersifat hidrofilik, menahan air dalam strukturnya dan membentuk
gel secara spontan. Pembentukan gel berlangsung pada harga pH asam dan sedikit
asam, disebabkan sifat kationik kitosan. Gel kitosan terdegradasi secara
berangsur-angsur, sebagaimana halnya kitosan melarut (Muzzarelli, 1983).
Kitosan yang memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi menyebabkan
kitosan mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar
dan non polar yang dikandungnya. Karena kemampuan tersebut, kitosan dapat
(35)
pengikat, penstabil, dan pembentuk tekstur. Kitosan memiliki kemampuan yang
sama dengan bahan pembentuk tekstur lain seperti karboksi metil selulosa (CMC)
dan metil selulosa (MC) yang dapat memperbaiki penampakan dan tekstur suatu
produk karena memiliki daya pengikat air dan minyak yang kuat dan tahan panas
(Tang et al., 2007).
Penentuan kualitas kitosan tergantung pada pemakaiannya,misalnya pada
proses pemurnian (non makanan) biasanya tidak memperdulikan mutunya. Namun
untuk aplikasi lain terutama yang berhubungan dengan kesehatan kualitas sangat
dibutuhkan (Tamura et al., 2002).
Kitosan digunakan sebagai desinfektan/antibakteri dikarenakan beberapa
sifat yang dimiliki yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan
mikroorganisme perusak dan kemampuannya dalam memberikan pelapisan
terhadap produk sehingga meminimalkan interaksi antara produk dan
lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih berkembang
mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah afinitas yang dimiliki
oleh kitosan yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan
dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein (Hardjito
2006).
Pada umumnya, mutu kitosan ditentukan oleh beberapa parameter yaitu
bobot molekul, kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan derajat deasetilasi.
(36)
distributor kitin dan kitosan terbesar di Indonesia, untuk beberapa penerapan dan
aplikasi disajikan pada Tabel II.
Tabel II. Standar Mutu Kitosan
Sifat aktifitas antimikroba dari kitosan dalam melawan bakteri tergantung
dari berat molekul dan derajat deasetilasi. Berat molekul dan derajat deasetilasi
yang lebih besar menunjukkan aktifitas antimikroba yang lebih besar (No, Park,
Lee, Meyers, 2002). Kitosan sebagai polikationik amin akan berinteraksi dengan
kutub negatif dari lapisan sel bakteri. Reduksi sejumlah sel bakteri disebabkan oleh
perubahan permukaan sel dan kehilangan fungsi pelindung dalam sel bakteri
tersebut. Bakteri Gram negatif dengan lipopolisakarida dalam lapisan luarnya
memiliki kutub negatif yang sangat sensitif terhadap kitosan (Chaiyakosha,
(37)
dan Pan (2002) menemukan bahwa kitosan dapat menghambat pertumbuhan
Escherichia coli, adanya penghambatan ini disebabkan oleh adanya
keelektronegatifan permukaan sel E. coli. Perubahan dalam potensial permukaan
E.coli selama pertumbuhan, yaitu terjadinya peningkatan keelektronegatifan seiring
dengan peningkatan umur sel, yaitu sampai pertumbuhan lambat, namun
keelektronegatifan akan menurun setelah bakteri mencapai fase stasioner.
Di lain pihak, Suptijah (2006) menyatakan bahwa kitosan dapat digunakan
sebagai antibakteri dengan mekanisme sebagai berikut: kitosan dapat berikatan
dengan membran sel, diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen
membran sel. Selain berikatan dengan protein membran, terutama fosfatidil kolin
(PC) sehingga menyebabkan permeabilitas inner membran (IM) jadi meningkat dan
dengan meningkatnya permeabilitas IM memberi jalan yang mudah untuk
keluarnya cairan sel. Khususnya pada E. coli setelah 60 menit komponen enzim -galaktosidase dapat terlepas, berarti dapat keluar dengan sitoplasma bahkan sambil
membawa komponen metabolit yang lain, yang berarti terjadi lisis. Sehubungan
dengan meningkatnya lisis maka tidak akan terjadi pembelahan sel (regenerasi),
bahkan dapat sampai mati.
Wang (1992) menemukan bahwa aktifitas bakterisidal dari kitosan telah
diobservasi dapat melawan beberapa bakteri gram negatif diantaranya adalah
Escherichia coli. Dalam penelitiannya Chaiyakosha et al., (2007) menemukan
bahwa kitosan dengan konsentrasi 150 ppm dan lama perendaman selama 5 menit
(38)
Kitosan dapat menyembuhkan luka dan lapisan dari kitosan merupakan zat
pembawa yang stabil dalam preparasi faktor pertumbuhan fibroblast umum pada
obat lepas lambat yang sudah dicoba pada tikus yang memiliki gen diabetes
(Mizuno, Yamamura, Yano, Osada, Saeki, Takimoto, 2003).
C.Lidah Buaya (Aloe vera L.)
1. Sejarah Aloe vera L.
Lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan tanaman asli Afrika, yang
memiliki ciri fisik daun berdaging tebal, sisi daun berduri, panjang mengecil
pada ujungnya, berwarna hijau, dan daging daun berlendir. Pada awalnya lidah
buaya sebagai tanaman hias yang ditanam di pekarangan rumah. Lidah buaya
tumbuh subur di daerah yang berhawa panas dan terbuka dengan kondisi tanah
yang gembur dan kaya bahan organik. Pembudidayaan lidah buaya tergolong
sangat mudah dan tidak memerlukan biaya dan perawatan yang besar. Hal ini
akan mendorong dan pertimbangan untuk menjadikan lidah buaya sebagai bahan
baku makanan (Sudarto, 1997).
Lidah buaya (Aloe vera L.) pertama kali masuk ke Indonesia sekitar
abad ke-17 dibawa oleh petani keturunan Cina. Tanaman ini dijadikan sebagai
tanaman hias yang ditanam sembarang di pekarangan rumah dan digunakan
sebagai bahan kosmetik yaitu untuk penyubur rambut. Baru pada dekade
1990-an, tanaman ini dilirik menjadi bahan baku untuk industri makanan dan minuman
yang berkhasiat menyehatkan (Furnawanthi, 2002).
Di Indonesia, lidah buaya (Aloe vera L.) sudah lama ditanam oleh
(39)
bentuknya yang tergolong sangat unik. Penanaman secara khusus dan
besarbesaran belum umum dilakukan, kecuali di beberapa tempat yang telah
terdapat pengolahan lidah buaya (Aloe vera L.) tersebut. Namun dengan semakin
meluasnya penggunaan lidah buaya (Aloe vera L.) dan meningkatnya permintaan
sebagai bahan baku industri, maka lidah buaya dapat dijadikan sebagai lahan
bisnis baru serta dapat dijadikan sebagai tanaman agroindustri (Sudarto, 1997).
2. Klasifikasi dan morfologi Aloe vera L.
Klasifikasi Lidah buaya :
Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida Anak kelas : Lilidae
Bangsa : Liliales
Suku : Liliaceae
Marga : Aloe
Spesies :Aloe vera L. (Backer dan Bakhuizen, 1968)
Tanaman lidah buaya dapat tumbuh di daerah kering, seperti Afrika,
Asia dan Amerika. Hal ini disebabkan bagian stomata daun lidah buaya dapat
tertutup rapat pada musim kemarau karena untuk menghindari hilangnya air
daun. Lidah buaya juga dapat tumbuh di daerah yang beriklim dingin. Lidah
buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air, karena dari segi
fisiologi tumbuhan, tanaman ini termasuk tanaman yang tahan kekeringan
(Furnawanthi, 2002).
Lidah buaya dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai daerah
(40)
keseluruh dunia mulai daerah tropika sampai ke daerah sub tropika. Tanah yang
dikehendaki lidah buaya adalah tanah subur, kaya bahan organik dan gembur.
Kesuburan tanah pada lapisan olah sedalam 30 cm sangat diperlukan, karena
akarnya yang pendek tanaman ini tumbuh baik di daerah bertanah gambut yang
pHnya rendah (Furnawanthi, 2002).
3. Kandungan Aloe vera L.
Menurut Henry (1979), unsur utama dari cairan lidah buaya adalah
aloin, emodin, resin, gum dan unsur lainnya seperti minyak atsiri. Dari segi
kandungan nutrisi, gel atau lendir daun lidah buaya mengandung beberapa
mineral seperti Zn, K, Fe dan vitamin seperti vitamin A.
Menurut Departemen Kesehatan R.I (1992), lidah buaya memiliki kadar
air lebih dari 99%. Kandungan gizi lidah buaya berupa protein, kalsium, lemak,
fosfor, besi, vitamin A, vitamin B, vitamin C, abu, dan serat. Dalam 100 gram
lidah buaya setidaknya dapat memberikan energi sebesar 4 kal seperti yang
tertera pada tabel III.
Disisi lain Hamman (2008), menuliskan berbagai
kandungan-kandungan yang terdapat dalam Aloe vera. Ia menjelaskan lebih spesifik
komponen-komponen yang terdapat dalam tanaman lidah buaya menurut
klasifikasinya. Ia mengklasifikasikan kandungan lidah buaya menjadi 10 kelas
(41)
Tabel III. Kandungan gizi dalam 100g lidah buaya
Zat Gizi Kandungan / 100g Bahan
Energi (Kal) 4,00
Protein (g) 0,10
Lemak (g) 0,20
Serat (g) 0,30
Abu (g) 0,10
Kalsium (mg) 85,00
Fosfor (mg) 186,00
Besi (mg) 0,80
Vitamin C (mg) 3,48
Vitamin A (IU) 4,59
Vitamin B (mg) 0,01
Kadar air (g) 99,20
(Depkes RI, 1992)
Tabel IV. Kandungan-kandungan yang terdapat pada Aloe vera
Kelas Komponen
Antraquinon Aloe-emodin, aloetic-acid, anthranol, aloin A dan B, isobarbaloin, emodin, ester dari cinnamic acid
Carbohydrates Pure mannan, acetylated mannan, acetylated glucomannan, glucogalactomannan, galactan, galactogalacturan, arabinogalactan, galactoglucoarabinomannan, substansi pectic, xylan, selulosa
Chromones 8-C-glucosyl-(2’-O-cinnamoyl)-7-O-methylaloediol A, C-glucosyl-(S)-aloesol, C-glucosyl-7-O-methyl-(S)-aloesol, methylaloediol,
8-C-glucosyl-7-O-methylaloediol, 8-C-glucosyl-noreugenin, isoaloeresin D, isorabaichromone, neoaloesin A
Enzymes Alkaline phospatase, amylase, carboxypeptidase, catalase, cyclooxidase, cyclooxygenase, lipase, oxidase, phosphoenolpyruvate carboxylase, superoxide dismutase Inorganic compounds Calcium, chlorine, chromium, copper, iron, magnesium,
manganase, potasium, phosphorus, sodium, zinc Miscellaneous
including organic compounds and lipid
Arachidonic acid, -linolenic acid, steroid (campestrol, cholesterol, -sitosterol), trigliserida, triterpenoid, glibberillin, lignins, potassium sorbate, salicylic acid, uric acid
Asam amino essensial dan non-essensial
Alanine, arginine, aspartic acid, glutamic acid, glycine, histidine, hydroxyproline, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine, proline, threonine, tyrosine, valine Proteins Lectins, substansi mirip lectin
Sakarida Mannosa, glucosa, L-rhamnose, aldopentose
Vitamin B1, B2, B6, C, -karoten, choline, folic acid, α-tocopherol
(42)
Lidah buaya mengandung saponin yang mempunyai kemampuan
membunuh kuman, serta senyawa antrakuinon dan kuinon sebagai antibiotik dan
penghilang rasa sakit. Lidah buaya juga merangsang pertumbuhan sel baru
dalam kulit. Dalam gel lidah buaya terkandung lignin yang mampu menembus
dan meresap ke dalam kulit, sehingga sel akan menahan hilangnya cairan tubuh
dari permukaan tubuh. Adapun manfaat lain dari lidah buaya adalah untuk
mengobati cacingan, susah buang air besar, sembelit, penyubur rambut, luka
bakar atau tersiram air panas, jerawat, noda hitam, batuk, diabetes, radang
tenggorokan, menurunkan kolesterol (Sudarto, 1997).
Disisi lain Hamman (2008), menuliskan berbagai
kandungan-kandungan yang terdapat dalam Aloe vera. Ia menjelaskan lebih spesifik
komponen-komponen yang terdapat dalam tanaman lidah buaya menurut
klasifikasinya. Ia mengklasifikasikan kandungan lidah buaya menjadi 10 kelas
seperti yang tertera dalam tabel IV.
4. Manfaat Aloe vera L.
Khasiat dan penggunaan Aloe vera L. sangat bervariasi yaitu sebagai
laksatif, biogenik stimulator yang mempercepat proses reepitalisasi jaringan,
penyubur rambut, antibakteri, antiviral, dan antifungi, arthritis dan rematik,
tukak lambung dan gangguan pencernaan, hepatoprotektor, menurunkan kadar
lemak dalam darah dan imunomodulator (Marshall, 1990; Sidik, 1996; Fit,
1983). Tamanan lidah buaya juga memiliki efek terapetik pada kanker, AIDS,
(43)
dan terluka. Penggunaan secara lokal ekstrak daun dapat berefek anestetika,
membunuh mikroba, meningkatkan mikrosirkulasi dan untuk menyembuhkan
chronic skinulcer (Ebadi, 2001).
Lidah buaya tidak menyebabkan keracunan pada manusia maupun
hewan, sehingga sebagai bahan industri lidah buaya dapat diolah menjadi produk
makanan dalam bentuk serbuk, gel, jus dan ekstrak. Cairan yang keluar dari
potongan lidah buaya tadi bila diuapkan menjadi bentuk setengah padat, dapat
digunakan sebagai alat pencuci perut atau obat pencahar (Suryowidodo, 1998).
Gel lidah buaya juga memperlihatkan aktivitas anti penuaan karena
mampu menghambat proses penipisan kulit dan menahan kehilangan serat
elastin serta menaikkan kandungan kolagen dermis yang larut air. Lidah buaya
terbukti dapat menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes (Okyar,
Can, Akev, Baktir, Sutlupinar , 2001).
D.Sediaan Gel
Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu
dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik
yang besar dan saling diresapi cairan. Idealnya pemilihan gelling agent dalam
sediaan farmasi dan kosmetik harus inert, aman, tidak bereaksi dengan komponen
lain. Penambahan gelling agent dalam formula perlu dipertimbangkan yaitu tahan
selama penyimpanan dan tekanan tube selama pemakaian topikal. Beberapa gel,
terutama polisakarida alami peka terhadap penurunan derajat mikrobial.
(44)
karakter gel dalam kaitannya dengan mikrobial (Lachman, Lieberman, dan Kanig,
1996).
Menurut Lachman, Lieberman, dan Kanig (1994) sediaan gel memiliki sifat
sebagai berikut:
1. Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah
inert, aman dan tidak bereaksi dengan komponen lain.
2. Pemilihan bahan pembentuk gel harus dapat memberikan bentuk padatan
yang baik selama penyimpanan tapi dapat rusak segera ketika sediaan
diberikan kekuatan atau daya yang disebabkan oleh pengocokan dalam
botol, pemerasan tube, atau selama penggunaan topical.
3. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan yang
diharapkan.
4. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat tinggi atau
BM besar dapat menghasilkan gel yang sulit untuk dikeluarkan atau
digunakan.
5. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur, tapi dapat juga
pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Contoh
polimer seperti MC, HPMC dapat terlarut hanya pada air yang dingin yang
akan membentuk larutan yang kental dan pada peningkatan suhu larutan
tersebut akan membentuk gel.
6. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh
(45)
Prinsip absorbsi gel melalui kulit adalah difusi pasif yaitu proses di mana
suatu substansi bergerak dari daerah suatu sistem ke daerah lain dan terjadi
penurunan kadar gradien diikuti bergeraknya molekul (Anief, 1997).
Persamaan kecepatan difusi menurut hukum Fick 1 (Martin, 1993):
� =
. � . �
� . ℎ −
� = kecepatan difusi obat persatuan waktu
D = koefisien difusi (cm2 / dt)
A = luas permukaan membran (cm2 )
K = koefisien partisi
V = viskositas zat
h = ketebalan membran (cm)
C1 = konsentrasi obat dalam sediaan (g/cm3 )
C2 = konsentrasi obat yang dilepaskan (g/cm3 )
Menurut Martin (1993), difusi obat dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Konsentrasi obat: semakin besar konsentrasi zat aktif, difusi obat akan semakin
baik.
2. Koefisien partisi: perbandingan konsentrasi dalam 2 fase. Semakin besar
koefisien partisi dan semakin cepat difusi obat.
3. Koefisien difusi: semakin luas membran, koefisien difusi semakin besar, difusi
obat semakin meningkat.
4. Viskositas: semakin besar viskositas suatu zat, koefisien difusi semakin besar,
(46)
5. Ketebalan membran: semakin tebal membran, difusi akan semakin lambat.
Absorbsi per kutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi
obat melalui stratum korneum. Stratum korneum terdiri dari kurang lebih 40 %
protein (pada umumnya keratin) dan 40 % air dengan lemak berupa pertimbangan
14 terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat lemak.
Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan
yang semi permeabel, dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif, jadi
jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi
obat atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak
dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum korneum seperti
juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989).
E.Luka Terbuka dan Uji Penyembuhan Luka
Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan
sebagai akibat adanya pengaruh dari luar, baik tekanan, goresan, dan lain-lain. Luka
dapat merupakan luka yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu, seperti luka insisi
pada operasi atau luka akibat trauma seperti luka akibat kecelakaan (Hunt, 2003;
Mann, 2001).
Luka terbuka adalah luka yang terjadi karena rusaknya jaringan kulit
bagian luar hingga terjadi pendarahan luar. Luka terbuka memungkinkan
mikroorganisme untuk masuk ke dalam bagian dalam kulit melalui luka ini. Luka
insisi merupakan luka terbuka disebabkan karena pisau, gunting, atau benda tajam
lainnya yang cukup dalam dan memiliki resiko pendarahan cukup tinggi (Grafft,
(47)
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena
berbagai kegiatan bioseluler dan biokimia terjadi berkesinambungan. Jenis
penyembuhan yang paling sederhana dapat terlihat pada insisi pembedahan yang
tepi lukanya dapat saling didekatkan untuk dimulainya proses penyembuhan.
Penyembuhan seperti ini disebut penyembuhan primer (healing by first intention).
Apabila luka yang terjadi cukup parah seperti adanya kerusakan epitel yang
menyebabkan kedua tepi luka berjauhan maka disebut penyembuhan sekunder
(healing by second itention) (Price dan McCarty,1992). Berdasarkan perubahan
morfologik, terdapat tiga fase penyembuhan luka yaitu fase inflamasi, fase
proliferasi, dan fase maturasi / remodeling. (Spector dan Spector, 1993).
Pada setiap fase penyembuhan tersebut terdapat satu jenis sel khusus yang
mendominasi (gambar 2.). Fase awal yakni fase inflamasi dimulai segera setelah
terjadinya suatu cidera, dengan tujuan untuk menyingkirkan jaringan mati dan
mencegah infeksi. Fase proliferasi berlangsung kemudian, di mana akan terjadi
keseimbangan antara pembentukan jaringan parut dan regenerasi jaringan. Fase
yang paling akhir merupakan fase terpanjang dan hingga saat ini merupakan fase
yang paling sedikit dipahami, yaitu fase remodeling yang bertujuan untuk
memaksimalkan kekuatan dan integritas struktural dari luka (Gurtner, 2007).
Pada fase inflamasi terjadi proses hemostasis yang cepat dan dimulainya
suatu siklus regenerasi jaringan (Lorenz, Longaker, 2006). Fase inflamasi dimulai
segera setelah cidera sampai hari ke-5 pasca cidera. Tujuan utama fase ini adalah
hemostasis, hilangnya jaringan yang mati dan pencegahan kolonisasi maupun
(48)
Gambar 2. Fase penyembuhan luka, waktu dan sel karakteristik yang tampak pada waktu tertentu (Gurtner, 2007).
Gambar 3. Fase inflamasi (Gurtner, 2007)
Komponen jaringan yang mengalami cidera, meliputi fibrillar collagen
dan tissue factor, akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan mencegah
perdarahan lebih lanjut pada fase ini (gambar 3.). Pembuluh darah yang cidera
mengakibatkan termobilisasinya berbagai elemen darah ke lokasi luka. Agregasi
(49)
ini berlangsung, platelet akan mengalami degranulasi dan melepaskan beberapa
growth factor, seperti platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming
growth factor- (TGF-). Hasil akhir kaskade koagulasi jalur intrinsik dan ekstrinsik adalah konversi fibrinogen menjadi fibrin (Gurtner, 2007).
Berbagai mediator inflamasi yakni prostaglandin, interleukin-1 (IL-1),
tumor necrotizing factor (TNF), C5a, TGF- dan produk degradasi bakteri seperti lipopolisakarida (LPS) akan menarik sel neutrofil sehingga menginfiltrasi matriks
fibrin dan mengisi rongga luka. Migrasi neutrofil ke luka juga dimungkinkan
karena peningkatan permeabilitas kapiler akibat terlepasnya serotonin dan
histamin oleh mast cell dan jaringan ikat. Neutrofil pada umumnya akan ditemukan
pada 2 hari pertama dan berperan penting untuk memfagositosis jaringan mati dan
mencegah infeksi. Keberadaan neutrofil yang berkepanjangan merupakan
penyebab utama terjadinya konversi dari luka akut menjadi luka kronis yang tak
kunjung sembuh (Regan, Barbul, 1994; Gurtner, 2007).
Makrofag juga akan mengikuti neutrofil menuju luka setelah 48-72 jam
dan menjadi sel predominan setelah hari ke-3 pasca cidera. Debris dan bakteri akan
difagositosis oleh makrofag. Makrofag juga berperan utama memproduksi
berbagai growth factor yang dibutuhkan dalam produksi matriks ekstraseluler
oleh fibroblas dan pembentukan neovaskularisasi. Keberadaan makrofag oleh
(50)
Limfosit dan mast cell merupakan sel terakhir yang bergerak menuju luka
dan dapat ditemukan pada hari ke-5 sampai ke-7 pasca cidera. Peran keduanya
masih belum jelas hingga saat ini (Gurtner, 2007).
Fase inflamasi disebut juga lag phase atau fase lamban karena
reaksi pembentukan kolagen baru sedikit, belum ada tensile strength, di mana
pertautan luka hanya dipertahankan oleh fibrin dan fibronektin (Regan, Barbul,
1994).
Sel punca mesenkim akan bermigrasi ke luka, membentuk sel baru untuk
regenerasi jaringan baik tulang, kartilago, jaringan fibrosa, pembuluh darah,
maupun jaringan lain. Fibroblas akan bermigrasi ke luka dan mulai berproliferasi
menghasilkan matriks ekstraseluler. Sel endotel pembuluh darah di daerah sekitar
luka akan berproliferasi membentuk kapiler baru untuk mencapai daerah luka. Ini
akan menandai dimulainya proses angiogenesis. Pade akhir fase inflamasi, mulai
terbentuk jaringan granulasi yang berwarna kemerahan, lunak dan granuler.
Jaringan granulasi adalah suatu jaringan kaya vaskuler, berumur pendek, kaya
fibroblas, kapiler dan sel radang tetapi tidak mengandung ujung saraf (Anderson,
2000).
Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-4 hingga hari ke-21 pasca
cidera. Keratinosit yang berada pada tepi luka sesungguhnya telah mulai bekerja
beberapa jam pasca cidera, menginduksi terjadinya reepitelialisasi. Pada fase ini
matriks fibrin yang didominasi oleh platelet dan makrofag secara gradual
(51)
makrofag dan sel endotel yang membentuk matriks ekstraseluler dan neovaskular
(gambar 4.) (Gurtner, 2007).
Gambar 4.. Fase Proliferasi (Gurtner, 2007)
Faktor setempat seperti growth factor, sitokin, hormon, nutrisi, pH dan
tekanan oksigen sekitar menjadi perantara dalam proses diferensiasi sel punca
(Anderson, 2000). Regresi jaringan desmosom antar keratinosit mengakibatkan
terlepasnya keratinosit untuk bermigrasi ke daerah luka. Keratinosit juga bermigrasi
secara aktif karena terbentuknya filamen aktin di dalam sitoplasma keratinosit.
Keratinosit bermigrasi akibat interaksinya dengan protein sekretori seperti
fibronektin, vitronektin dan kolagen tipe I melalui perantara integrin spesifik di
antara matriks temporer. Matriks temporer ini akan digantikan secara bertahap oleh
jaringan granulasi yang kaya akan fibroblas, makrofag dan sel endotel. Sel
tersebut akan membentuk matriks ekstraseluler dan pembuluh darah baru. Jaringan
granulasi umumnya mulai dibentuk pada hari ke-4 setelah cidera (Lorenz,
(52)
Fibroblas merupakan sel utama selama fase ini dimana ia menyediakan
kerangka untuk migrasi keratinosit. Makrofag juga akan menghasilkan growth
factor seperti PDGF dan TGF- yang akan menginduksi fibroblas untuk
berploriferasi, migrasi dan membentuk matriks ekstraseluler. Matriks temporer ini
secara bertahap akan digantikan oleh kolagen tipe III. Sel endotel akan
membentuk pembuluh darah baru dengan bantuan protein sekretori VEGF, FGF
dan TSP-1. Pembentukan pembuluh darah baru dan jaringan granulasi merupakan
tanda penting fase proliferasi karena ketiadaannya pembuluh darah baru dan atau
jaringan granulasi merupakan tanda dari gangguan penyembuhan luka. Setelah
kolagen mulai menggantikan matriks temporer, fase proliferasi mulai berhenti dan
fase remodeling mulai berjalan (Gurtner, 2007).
Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag seperti vascular
endothelial growth factor (VEGF), fibroblas growth factor (FGF)-2,
angiopoietin-1 dan thrombospondin akan menstimulasi sel endotel membentuk neovaskular
melalui proses angiogenesis. Hal yang menarik dari fase proliferasi ini adalah
bahwa pada suatu titik tertentu, seluruh proses yang telah dijabarkan di atas harus
dihentikan. Fibroblas akan segera menghilang segera setelah matriks kolagen
mengisi rongga luka dan pembentukan neovaskular akan menurun melalui proses
apoptosis. Kegagalan regulasi pada tahap inilah yang hingga saat ini dianggap
sebagai penyebab terjadinya kelainan fibrosis seperti jaringan parut hipertrofik
(Gurtner, 2007).
Fase ketiga dan terakhir adalah fase remodelling. Selama fase ini jaringan
(53)
maturasi ini berlangsung mulai hari ke-21 hingga sekitar 1 tahun. Fase ini segera
dimulai segera setelah rongga luka terisi oleh jaringan granulasi dan proses
reepitelialisasi usai. Perubahan yang terjadi adalah penurunan kepadatan sel dan
vaskularisasi, pembuangan matriks temporer yang berlebihan dan penataan serat
kolagen sepanjang garis luka untuk meningkatkan kekuatan jaringan baru. Fase
akhir penyembuhan luka ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun (gambar
5.) (Gurtner, 2007).
Gambar 5. Fase Remodelling (Gurtner, 2007)
Kontraksi dari luka dan remodeling kolagen terjadi pada fase ini.
Kontraksi luka terjadi akibat aktivitas miofibroblas, yakni fibroblas yang
mengandung komponen mikrofilamen aktin intraselular. Kolagen tipe III pada
fase ini secara gradual digantikan oleh kolagen tipe I dengan bantuan matrix
metalloproteinase (MMP) yang disekresi oleh fibroblas, makrofag dan sel
endotel. Sekitar 80% kolagen pada kulit adalah kolagen tipe I yang
(54)
Keseimbangan antara proses sintesis dan degradasi kolagen terjadi pada
fase ini. Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase dan
kemudian diserap. Sisanya akan mengerut sesuai tegangan yang ada. Hasil akhir
dari fase ini berupa jaringan parut yang pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan
dari dasarnya (Bisono, Pusponegoro, 1997).
Kolagen awalnya tersusun secara tidak beraturan, sehingga membutuhkan
lysyl hydroxylase untuk mengubah lisin menjadi hidroksilisin yang dianggap
bertanggung jawab terhadap terjadinya cross-linking antar kolagen. Cross-linking
inilah yang menyebabkan terjadinya tensile strength sehingga luka tidak mudah
terkoyak lagi. Tensile strength akan bertambah secara cepat dalam 6 minggu
pertama, kemudian akan bertambah perlahan selama 1-2 tahun. Pada umumnya
tensile strength pada kulit dan fascia tidak akan pernah mencapai 100%, namun
hanya sekitar 80% dari normal (Marzoeki, 1993; Schultz, 2007).
Metaloproteinase matriks yang disekresi oleh makrofag, fibroblas dan sel
endotel akan mendegradasi kolagen tipe III. Kekuatan jaringan parut bekas luka
akan semakin meningkat akibat berubahnya tipe kolagen dan terjadinya cross-
linking jaringan kolagen. Pada akhir fase remodeling, jaringan baru hanya akan
mencapai 70% kekuatan jaringan awal (Gurtner, 2007).
Berbagai mediator atau sitokin yang turut berperan pada penyembuhan
(55)
Tabel V. Mediator yang berperan dalam proses penyembuhan luka
Nama Singkatan Sumber Deskripsi
Vascular endothelial growth factor
VEGF Sel endotel Memicu angiogenesis.
Fibroblast growth factor-2
FGF-2 Makrofag, sel mast, sel endotel, limfosit T
Memicu angiogenesis. Menstimulasi migrasi dan pertumbuhan sel endotel.
Keratinocyte growth factor
Epidermal growth factor
KGF Fibroblas Mengontrol pertumbuhan dan maturasi keratinosit.
Menginduksi sekresi epitel dan growth factor lain.
EGF Platelet, makrofag Menstimulasi sekresi kolagenase oleh fibroblas untuk remodeling matriks.
Transforming growth factor- Tumor necrotizing factor- Granulocyte colony- stimulating factor Granulocyte- macrophage colony- stimulating factor
TGF- Platelet, makrofag, sel T dan B, hepatosit, timosit, plasenta TNF- Makrofag, sel T dan B, natural killer (NK) cells
G-CSF Sel stroma, fibroblas, sel endotel, limfosit GM-CSF Makrofag, sel
stroma, fibroblas, sel endotel, limfosit
Memicu angiogenesis.
Sebagai chemoattractant, menginduksi ekspresi molekul adesi dan memicu molekul pro inflamasi yang menstimulasi migrasi leukosit dan fibroblas.
Menginduksi sintesa MMP.
Meregulasi marginasi dan sitotoksisitas leukosit PMN.
Menstimulasi proliferasi, survival, maturasi dan aktivasi granulosit.
Menstimulasi proliferasi, survival, maturasi dan aktivasi granulosit dan makrofag.
Menginduksi granulopoiesis.
Interferon- IFN- Makrofag, sel B dan T, fibroblas, sel epitel
Interleukin-1 IL-1 Makrofag, keratinosit, sel endotel, limfosit, fibroblas, osteoblas
Interleukin-4 IL-4 Sel T, basofil, sel mast, sel stroma sumsum tulang
Interleukin-8 IL-8 Monosit, neutrofil,
fibroblas, sel endotel,
keratinosit, sel T
Aktivasi makrofag, menghambat proliferasi fibroblas.
Peptida pro inflamasi.
Menginduksi kemotaksis leukosit PMN, fibroblas dan keratinosit.
Mengaktivasi leukosit PMN. Mengaktivasi proliferasi fibroblas. Menginduksi sintesa kolagen dan proteoglikan.
Mengaktivasi leukosit PMN dan makrofag untuk memulai kemotaksis.
Menginduksi marginasi dan maturasi keratinosit.
Endothelial nitric oxide synthase Inducible nitric oxide synthase
eNOS Sel endotel, neuron iNOS Neutrofil, sel endotel
Sintesis nitric oxide pada sel endotel. Sintesis nitric oxide oleh makrofag dan keratinosit basal
(56)
Proses pengamatan penyembuhan luka dapat dilakukan secara
makroskopis misalnya dengan melakukan pengamatan terhadap pengaruh sediaan
komersil dan sampel uji pada beberapa peubah misalnya panjang luka, kelembaban,
warna luka, dan penyempitan luka (Anggraeni, 2008). Selain itu dapat dilakukan
analisis kuantitatif terhadap laju penyembuhan luka melalui metode Morton, yang
didasarkan pada perbedaan diameter dan luas luka pada hari pertama dan hari
pengamatan (Kusmiati, Rachmawati, Siregar, Nuswantara, Malik, 2006).
F. Landasan Teori
Kitosan merupakan polimer alami yang didapatkan dari kulit kepiting.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitosan dapat menjadi agen dalam
penyembuhan luka. Kitosan juga memiliki sifat sebagai anti-mikroba. Efek
penyembuhan luka dapat dipercepat karena terhambatnya infeksi oleh mikroba.
Larutan kitosan membentuk kompleks poli- ion dengan hidrokoloid anionic dan
menghasilkan gel. Kitosan cenderung bersifat asam dalam larutan karena sifat
kitosan yang larut dalam asam. Fungsi lain dari kitosan adalah sebagai agen
peningkat viskositas. Viskositas kitosan dalam larutan meningkat dengan
peningkatan konsentrasi kitosan dan peningkatan pH pada larutan. Konsentrasi
kitosan 2% dalam sediaan gel merupakan konsentrasi yang baik untuk proses
penyembuhan luka terbuka.
Kandungan senyawa lidah buaya yang diduga berperan sebagai
penyembuh luka adalah acemannan, yang merupakan golongan polisakarida. Peran
acemannan (mannosa-6 fosfat) dalam penyembuhan luka adalah untuk merangsang
(57)
Kombinasi gel kitosan dari kulit udang windu (Peneaus monodon) dan
ekstrak Aloe vera memiliki aktivitas farmakologik. Kombinasi ini diharapkan
membentuk suatu sediaan gel yang memiliki aktivitas penyembuh luka yang baik,
dengan stabilitas yang baik, biocompatible, biodegradable, dan bersifat antibakteri.
Pada akhirnya gel kombinasi ini dapat mempercepat proses penyembuhan luka
melalui mekanisme stimulasi proliferasi dan regenerasi sel.
G.Hipotesis
Gel kitosan yang dibuat dari limbah kulit udang windu (Peneaus
monodon) dengan penambahan ekstrak Aloe vera sebagai penyembuh luka pada
(58)
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian Gel Kitosan dari Kulit Udang Windu (Peneaus monodon) dengan Penambahan Ekstrak Aloe vera sebagai
Penyembuh Luka pada Tikus Galur Wistar Jantan” merupakan jenis penelitian yang bersifat eksperimental murni sederhana dengan rancangan acak lengkap pola
searah.
B. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu variable utama
dan variable pengacau.
1. Variabel utama :
Variabel utama dalam penelitian ini meliputi
a. Variabel bebas : Kombinasi konsentrasi ekstrak Aloe vera dengan
kitosan 2% dalam gel.
b. Variabel tergantung :
(1) Kemampuan gel kitosan dengan ekstrak Aloe vera dalam
penyembuhan luka tikus jantan galur Wistar yang diamati secara
kualitatif dan kuantitatif.
(2) Kualitas dari gel kitosan yang terbuat dari kulit udang dan ekstrak
(59)
2. Variabel pengacau :
Variabel pengacau dalam penelitian ini meliputi :
a. Variabel pengacau terkendali : tempat pengambilan limbah udang
yang digunakan, tempat pengambilan Aloe vera, usia kematangan
Aloe vera, subjek hewan uji, umur subjek hewan uji, jenis kelamin
hewan uji, berat subjek hewan uji.
b. Variabel pengacau tidak terkendali : suhu, kelembapan, cuaca,
cahaya matahari, kondisi patologis dan fisiologis tikus.
C. Definisi Operasional
1. Kitosan yang diperoleh dari kulit udang windu adalah polisakarida alami yang
terdiri dari kopolimer glukosamin dan N – asetilglukosamin, dan dapat diperoleh dari deasetilasi kitin
2. Lidah buaya / Aloe vera yang didapat dari merupakan salah satu tanaman yang
banyak dimanfaatkan untuk berbagai macam industri, diantaranya industri
kesehatan, kosmetik atau kecantikan, makanan, dan sebagainya.
3. Gel adalah sediaan setengah padat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari
partikel organik dan anorganik. Gel segera mencair jika berkontak dengan kulit
dan membentuk satu lapisan. Absorpsi pada kulit lebih baik daripada krim. Gel
juga baik dipakai pada lesi dikulit yang berambut.
4. Luka adalah bagian kulit yang jaringannya sobek dan terbuka karena adanya
pengaruh dari luar, baik tekanan, goresan, dan lain-lain. Luka dalam penelitian
(60)
proses pengambilan penuh pada bagian kulit mulai dari epidermis sampai area
dermis dengan cara menyobek area kulit menggunakan punch biopsy steril
(diameter sekitar 0,5 cm) pada bagian punggung (dorsal) dari hewan uji yang
digunakan.
5. Penyembuhan luka merupakan suatu proses penggantian jaringan yang
mati/rusak dengan jaringan baru dan sehat oleh tubuh dengan jalan regenerasi.
6. Parameter penyembuhan luka merupakan tolak ukur dari tingkat penyembuhan
luka yang meliputi parameter kuantitatif berupa diameter dan luas permukaan
luka, serta parameter kualitatif berupa timbulnya keropeng, dan tingkat
kemerahan luka yang diamati pada hari pertama dan ketujuh sehingga
menentukan tingkat efektivitas suatu sediaan.
7. Lama pemberian adalah lama pemberian gel anti luka pada luka terbuka tikus
dari hari pertama sampai hari ke tujuh.
8. Keropeng adalah proses pembekuan darah yang berupa jalinan fibrin dan
trombosit pada proses pembekuan darah yang telah selesai yang ditunjukan
dengan adanya kerak kering yang berwarna kecoklatan pada daerah luka.
9. Kemampuan gel adalah kemampuan gel kitosan dan ekstrak Aloe vera dalam
meningkatkan regenerasi sel kulit pada tingkat poliferasi.
10. Kualitas gel yang acceptable adalah gel dengan range pH 6,5-7,5, viskositas
2000-4000 cps, homogen, dan ukuran partikel zat aktif kecil sehingga tidak
(1)
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks A_h7 - A_h1 Negative Ranks 6a 4,50 27,00
Positive Ranks 1b 1,00 1,00
Ties 0c
Total 7
a. A_h7 < A_h1 b. A_h7 > A_h1 c. A_h7 = A_h1
Test Statisticsb
A_h7 - A_h1
Z -2,217a
Asymp. Sig. (2-tailed) ,027 a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 B_h1 6,0000 7 ,00000 ,00000 B_h7 1,7857 7 1,11270 ,42056
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 B_h1 & B_h7 7 . .
(2)
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper Pair 1 B_h1 - B_h7 4,21429 1,11270 ,42056 3,18521 5,24336
Paired Samples Test
t df Sig. (2-tailed) Pair 1 B_h1 - B_h7 10,021 6 ,000
T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 C_h1 6,0000 7 ,00000 ,00000 C_h7 1,4286 7 1,13389 ,42857
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 C_h1 & C_h7 7 . .
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper Pair 1 C_h1 - C_h7 4,57143 1,13389 ,42857 3,52275 5,62011
Paired Samples Test
t df Sig. (2-tailed) Pair 1 C_h1 - C_h7 10,667 6 ,000
(3)
T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 D_h1 6,0000 7 ,00000 ,00000 D_h7 1,0714 7 1,27242 ,48093
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 D_h1 & D_h7 7 . .
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper Pair 1 D_h1 - D_h7 4,92857 1,27242 ,48093 3,75178 6,10536
Paired Samples Test
t df Sig. (2-tailed) Pair 1 D_h1 - D_h7 10,248 6 ,000
T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 E_h1 6,0000 6 ,00000 ,00000 E_h7 1,1667 6 1,16905 ,47726
(4)
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 E_h1 & E_h7 6 . .
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper Pair 1 E_h1 - E_h7 4,83333 1,16905 ,47726 3,60650 6,06017
Paired Samples Test
t df Sig. (2-tailed) Pair 1 E_h1 - E_h7 10,127 5 ,000
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks F_h7 - F_h1 Negative Ranks 7a 4,00 28,00
Positive Ranks 0b ,00 ,00
Ties 0c
Total 7
a. F_h7 < F_h1 b. F_h7 > F_h1 c. F_h7 = F_h1
(5)
Test Statisticsb
F_h7 - F_h1
Z -2,388a
Asymp. Sig. (2-tailed) ,017 a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks G_h7 - G_h1 Negative Ranks 7a 4,00 28,00
Positive Ranks 0b ,00 ,00
Ties 0c
Total 7
a. G_h7 < G_h1 b. G_h7 > G_h1 c. G_h7 = G_h1
Test Statisticsb
G_h7 - G_h1
Z -2,456a
Asymp. Sig. (2-tailed) ,014 a. Based on positive ranks.
(6)