52
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari gel kitosan dari limbah kulit udang windu Peneaus monodon dengan penambahan ekstrak
Aloe vera dan pengaruhnya terhadap regenerasi sel kulit tikus jantan galur Wistar.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yaitu “Pemanfaatan Limbah Kulit Udang Windu Peneaus monodon sebagai Bahan
Baku Pembuatan Gel Kitosan Gel Ant i Luka”. Penelitian kali ini akan
mengembangkan penelitian sebelumnya dengan mengkombinasi gel penyembuh luka kitosan dengan ekstrak Aloe vera yang mana menurut literatur, ekstrak gel
kitosan dan ekstrak Aloe vera masing-masing memiliki manfaat sebagai penyembuh luka. Penelitian ini akan mengamati ada atau tidaknya efek sinergis dari
kedua bahan tersebut, atau justru kedua kombinasi ini akan menurunkan efek penyembuhan luka satu sama lain.
A. Pembuatan Gel Kitosan dengan Ekstrak Aloe vera
Percobaan diawali dengan pembuatan gel kitosan dari kulit udang windu serta ekstrak Aloe vera sebagai bahan dasar. Kulit udang windu yang telah dipilah
dan dikeringkan perlu dikontrol ukuran partikelnya dibawah 425 µm dengan ayakan
nomor mesh 40 seluruh partikel melewati ayakan mesh nomor 40. Menurut Dirjen POM 1995, seluruh serbuk berasal dari simplisia hewani yang melewati nomor
nominal 40 dikategorikan dalam kategori setengah kasar, dengan batas derajat halus
40 dari seluruh serbuk melewati ayakan dengan nomor 80. Semua serbuk dari nomor ayakan 40 diambil dan diaayak kembali dengan nomor 80 dan setelah
didapat 40 dari total serbuk, maka sampel tersebutlah yang digunakan karena sudah memenuhi batas derajat halus.
Bahan aktif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan dari kulit udang windu. Sebelum mendapatkan kitosan, diperlukan ekstraksi kitin karena
kitosan merupakan produk dari proses deasetilasi atau pemutusan gugus asetil dari kitin. Perbedaan kitin
β-1→4-N-acetyl-D-glucosamine dan kitosan -1→4- D-glucosamine adalah pada kitosan gugus asetil telah terputus oleh proses
deasetilasi. Tahap ekstraksi kitin dilalui oleh 2 proses, yaitu demineralisasi dan
deproteinasi. Demineralisasi adalah tahap penghilangan mineral-mineral pada sampel kulit udang dengan larutan asam. Tujuannya agar mineral-mineral seperti
kalsium karbonat dapat hilang dari sampel. Larutan asam yang digunakan adalah HCl, dengan alasan dapat mendekomposisi kalsium karbonat menjadi garam
kalsium larut air, dan karbon dioksida. Pada percobaan ini yang digunakan adalah HCl 1,5M dengan
perbandingan 1:15 gv. Pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk menguapkan dioksida yang terbentuk serta membantu mempercepat proses reaksi. Pengadukan
dilakukan dengan tujuan membantu mempercepat proses reaksi. Kemudian hasil disaring untuk membuang larutan HCl yang tersisa dan air dari hasil proses
demineralisasi. Pembilasan dilakukan untuk menghilangkan sisa HCl yang masih
terdapat pada sampel. Pengujian filtrat terakhir dengan AgNO
3
diperlukan dengan tujuan memastikan tidak ada sisa ion Cl
yang terkandung dalam sampel. Uji ini ditunjukan dengan tidak terbentuknya endapan putih yang merupakan AgCl.
Pembilasan dilakukan berulang-ulang hingga tidak terbentuk endapan putih pada pengujian filtrat dengan AgNO
3
. Hal ini menandakan sudah tidak ada ion Cl dari HCl yang dapat mengubah AgNO
3
menjadi AgCl yang berupa endapan putih.
Perendaman dan pengadukan sampel dengan HCl dilakukan pada magnetik stirer selama 4 jam. Semakin lama waktu pengadukan maka kadar abu
yang dihasilkan akan semakin sedikit, namun bila waktu reaksi dibiarkan cukup lama hingga berhari-hari maka akan terjadi degradasi polimer Shimahara,
Ohkouchi, Ikeda, 1998. Penelitian ini menggunakan waktu reaksi 4 jam dimana waktu tersebut cukup untuk mereaksinya sebagian besar mineral yang ada dalam
sampel dengan HCl, namun degradasi polimer masih sangat minim atau bahkan belum terjadi.
Tahap deproteinasi dilakukan dengan tujuan memutuskan ikatan antara kitin dengan protein dan juga mendepolimerisasikan biopolimer menggunakan
NaOH. D ekolorisasi atau depigmentasi bertujuan menghilangkan warna dan
pigmen pada kitin sehingga sampel kitin menjadi tidak berwarna putih. Dekolorisasi ini dilakukan menggunakan aseton dan dibantu dengan aquades
panas agar proses dekolorisasi lebih cepat selesai.
Proses deasetilasi yaitu penghilangan gugus asetil dari kitin menjadi kitosan. Proses deasetilasi dapat dilakukan dengan menggunakan reagen asam
maupun reagen basa. Penelitian ini menggunakan NaOH sebagai reagen basa. Alasan tidak digunakan reagen asam dikarenakan rentannya ikatan glikosidik
beberapa monosakarida pada sampel kitin terhadap asam, sehingga proses deasetilasi yang dilakukan lebih baik menggunakan reagen basa.
Kitosan yang dihasilkan berwarna putih, berbentuk kristal granul lembut, dan tidak mempunyai bau yang menyengat.
Karakterisasi kitosan menggunakan analisis Gugus Fungsi dengan Fourier Transford Spectm Infra Red Spectroscopy
FT-IR yang pada dasarnya merupakan gambaran dari pita absorpsi yang spesifik dari gugus fungsional yang mengalami vibrasi karena pemberian energi. Analisis
kualitatif dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya absorbs pada frekuensi tertentu merupakan penanda ada tidaknya gugus fungsional tertentu. Gambar
berikut merupakan gambaran FT-IR dari serbuk kitosan dari kulit udang windu.
Gambar 7. FTIR Kitosan
Pada gambar 7. terlihat adanya puncak peak absorpsi pada bilangan gelombang 1560,53 cm
-1
, yang merupakan karakteristik adanya vibrasi stretching
gugus amino kitosan. Pada panjang gelombang 1315,43 cm
-1
menunjukkan adanya vibrasi C-H. Puncak karakteristik lainnya berada pada bilangan gelombang 3452,31
yang menunjukkan vibrasi amina NH simetrik 2932,5 cm
-1
yang menunjukkan vibrasi C-H, dan dua puncak pada 896,45 cm
-1
serta 403,07 cm
-1
yang menunjukkan keberadaan struktur sakarida kitosan. Berdasarkan puncak yang terlihat pada
gambaran FT-IR, maka dapat disimpulkan serbuk yang diperoleh dari kulit udang windu mengandung serbuk kitosan. Uji lain atau uji yang lebih spesifik dari uji
FTIR untuk spesifik uji kitosan sampai saat ini belum tersedia sehingga uji FTIR ini dipercaya sebagai uji yang paling akurat untuk melihat ada atau tidaknya kitosan
dalam suatu senyawa tersebut. Penelitian dari pengumpulan bahan hingga menghasilkan gel kitosan
tanpa ekstrak yang telah diuji secara kualitatif telah dilakukan pada penelitian PKMP. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan pada
PKMP adalah gel kitosan yang dibuat dengan konsentrasi 1, 2, dan 3 mempunyai warna cokelat keruh yang warnanya semakin pekat apabila konsentrasi bertambah,
tidak ada bau yang khas, tidak kasar pada kulit, meninggalkan residu putih pada saat diaplikasikan di kulit. Gel yang paling efektif untuk menyembuhkan luka
adalah gel kitosan dengan konsentrasi 2 dan rendemen sebesar 8,785 Yakin, Dharmawan, Yusdistira, Luciana, dan Sihaloho, 2015.
Ekstraksi Aloe vera dilakukan dengan cara maserasi dengan alasan unit
alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam dan hemat penyari .
Pada penelitian ini digunakan pelarut etanol. Pelarut ini dipilih karena telah memenuhi dua persyaratan pelarut menurut Harbone 1987 yaitu pelarut
tersebut harus merupakan pelarut yang terbaik untuk bahan yang diekstraksi dan pelarut tersebut harus terpisah dengan cepat setelah pengocokkan. Kekurangan
metode ekstraksi maserasi yaitu proses ekstrasi cukup lama karena membutuhkan waktu beberapa hari dan hasil penyarian tidak sempurna
karena zat aktif hanya mampu terekstraksi sedikit. Pada penelitian ini hasil rendemen ekstral kental lidah
buaya yang didapatkan adalah 8,62 bb.
B. Pengujian Karakterisasi Gel