manusia secara sempurna tidak dapat dicapai di dunia ini tetapi di alam lain. Wahyudi, 1986:215
2.1.2 Awal Mula dan Perkembangan Televisi Lokal
Bersamaan dengan munculnya gagasan tentang desentralisasi, dan kemudian munculnya Undang-undang otonomi daerah, bergulir pula tentang
industri televisi ditingkat lokal, sebagaimana dimunculkan dalam pasal- pasal Undang-undang nomor 322002 tentang penyiaran. Diantaranya soal
pembatasan siaran nasional, kecuali melakukan kerjasama dengan televisi- televisi lokal.
Dari segi legalitas formal berdasar Undang-Undang, dan logika moral kebudayaan yang beragam, televisi lokal mempunyai dukungan yang
sangat kuat. Televisi lokal adalah sebuah keniscayaan, karena dengan demikian tekad pemerintah dan rakyat untuk melakukan de-sentralisasi dan
semangat untuk membangun otonomi daerah akan mendapatkan daya dukung.
Persepsi dan perspektif televisi lokal mesti harus berbeda dengan televisi Jakarta yang berskala nasional. Strategi ini akan berguna untuk terus
mencari peluang, dan mengembangkan kiat-kiat untuk mengatasi kendala dan keterbatasannya. Bahwa ia berbeda dengan Jakarta dan harus mencari
kepentingan bagi masyarakatnya pula. Jika tidak, masyarakat juga merasa tidak perlu untuk memiliki televisi lokalnya Wirodono, 2005 : 127.
Menurut Sudibyo 2004 : 100 sejauh ini materi siaran 11 stasiun televisi nasional memang sangat Jakarta – minded. Bukan semata-mata
karena lokasi 11 stasiun televisi ini di Jakarta, namun karena yang mereka tonjolkan bukan persoalan bagaimana melayani kepentingan publik secara
luas, melainkan bagaimana mengoptimalkan potensi masyarakat sebagai konsumen. Pasca memudarnya monopoli TVRI 1990-an, sesungguhnya tak
banyak ditawarkan televisi-televisi swasta baru pada pemirsa, terutama di luar Jakarta. Ditingkat isi dan muatan siaran, yang ditemukan masyarakat
sesungguhnya tak terlalu jauh berbeda dengan apa yang diperoleh masyarakat selama lebih dari tiga dekade dibawah kekuasaan Soeharto.
Hampir semua televisi swasta baru tak melakukan perubahan, kecuali dalam aspek hiburan yang lebih variatif. Mereka justru me-relay siaran Jakarta
kedaerah-daerah yang dianggap potensial secara ekonomi. Tak pelak, apa yang dinikmati publik di Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Jawa adalah
berita, hiburan, dan iklan yang sama. Tak ada perbedaan perlakuan untuk publik yang jelas-jelas secara kultural, sosiologis, dan ekonomi berbeda.
Fakta-fakta diatas menjadi latar belakang munculnya begitu banyak inisiatif untuk mendirikan lembaga penyiaran lokal, baik yang bercorak
komunitas, komersial maupun publik. Dalam bahasa Effendi Gazali,
pendirian televisi komunitas menjadi kebutuhan karena sejauh ini televisi swasta hanya menajamkan kesenjangan sosial dalam masyarakat “coba lihat
televisi sekarang, jika dibagi dua sisi maka satu sisinya baik-baik, bagus, tampan, cantik, kisah percintaan, kaya, mewah, penuh mimpi-mimpi, dan
nyaris sempurna ditampilkan secara positif sebagai masyarakat atas. Sedangkan sisi lain masyarakat bawah ditampilkan sebagai jahat, kasar,
maling, acara-acara kriminal, pelacuran, sisi gelap kehidupan manusia. Pokoknya yang negatif diambil masyarakat bawah” Sudibyo, 2004: 100
Hadirnya banyak televisi lokal saat ini harus diakui sangat berpengaruh terkait keinginan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan
program dari daerahnya sendiri secara optimal, karena hanya televisi lokal yang dapat mengakomondasikan hal- tersebut. Hanya televisi lokal yang
dapat menyajikan informasi yang terperinci langsung dari objek daerah yang bersangkutan dengan tujuan untuk dapat dikonsumsi oleh publik lokal
daerah itu. Walaupun penuh tantangan, namun pertumbuhan jumlah stasiun
televisi lokal termasuk pesat, dan juga menunjukkan mulai adanya pembuktian bahwa bangsa ini memang butuh realisasi dari komitmen
demokrasi penyiaran. Perjuangan televisi lokal mencapai klimaksnya ketika Undang-Undang penyiaran yang baru diundangkan pada 28 November
2002. Undang-Undang ini memberi pengakuan hukum atas eksistensi
lembaga penyiaran lokal, baik lembaga penyiaran swasta, komunitas, maupun publik. Bahkan ada satu klausul pasal 30 yang membatasi siaran
televisi swasta nasional, dengan mengharuskan untuk berjaringan dengan televisi-televisi lokal Sudibyo, 2004 : 102
2.1.3 Acara Hiburan di Televisi