kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita.
Peran aktif keluargamasyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari hari di dalam masyarakat atau
keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar
dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika
anaknya sakit. Dari latar belakang diatas, penulis berminat meneliti hubungan status imunisasi
dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut ISPA pada balita sakit 1-5 tahun di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2014.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan status imunisasi dengan
infeksi saluran pernapasan akut ISPA pada balita sakit 1-5 tahun.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana hubungan status imunisasi dengan infeksi
saluran pernapasan akut ISPA pada balita sakit 1-5 tahun. 2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana status imunisasi pada balita sakit 1-5 tahun.
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk mengetahui bagaimana infeksi saluran pernapasan akut ISPA pada balita sakit 1-5 tahun.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan kesehatan Diharapkan hasil penelitian yang diperoleh dapat menjadi masukan setiap
pelayanan kesehatan sehingga mampu memberikan konseling, informasi dan edukasi KIE tentang manfaat imunisasi lengkap dalam mencegah berbagai
penyakit, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan balita yang disebabkan oleh ISPA maupun penyakit lain.
2. Bagi Tempat Penelitian Diharapkan untuk Puskesmas Teladan Medan perlu melakukan pengkajian
ulang apakah Balita yang berobat merupakan cakupan Imunisasi dari Puskesmas Teladan Medan.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan pada peneliti selanjutnya agar dapat melanjutkan penelitian
dengan judul yang sama serta sampel yang lebih banyak sebab peneliti menyadari masih banyak kekurangan dan dapat memakai penelitian ini
sebagai referensi tambahan dan juga disarankan untuk memanfaatkan data KMS dan RM dalam status imunisasi dan morbiditas
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut ISPA 1. Defenisi
Istilah ISPA yang merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut diperkenalkan pada tahun 1984. Istilah ini merupakan padanan dari istilah inggris acute
respiratory infections. ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi atau bakteri, virus, maupun riketsia tanpa atau disertai
radang parenkim paru. ISPA adalah suatu kelompok penyakit sebagai penyebab angka absensi tertinggi bila dibandingkan dengan kelompok penyakit lain Hood Alsagaff,
2002 . ISPA atau infeksi saluran pernapasan akut adalah suatu kelompok penyakit yang
menyerang saluran pernapasan. Secara otomatis, ISPA dapat dibagi dalam dua bagian yaitu infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran pernapasan bawah Anik,
2010 . ISPA Atas Acute Upper Respiratory Infections
ISPA atas yang perlu diwaspadai adalah radang saluran tenggorokan atau pharingitis dan radang telinga atau otitis. Pharingitis yang disebabkan kuman
tertentu streptococcus hemolyticus dapat berkomplikasi dengan penyakit jantung endokarditis sedangkan radang telinga tengah yang tidak diobati dapat
berakibat terjadinya ketulian.
Universitas Sumatera Utara
ISPA Bawah Acute Lower Respiratory Infections Salah satu ISPA bawah yang berbahaya adalah pneumonia.
2. Etiologi
ISPA yang disebabkan oleh bakteri biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophylus influenza Anik, 2010 .
ISPA yang disebabkan Virus merupakan penyebab terbesar ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinik yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis virus
bersama-sama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama Hood Alsagaff, 2002 .
Dalam Klinik dikenal 6 Gambaran Sindroma ISPA yang disebabkan Virus a. Sindroma Korisa Coryzal Common Cold Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan peningkatan sekresi hidung, bersin-bersin, hidung buntu, kadang-kadang disertai sekresi air mata dan konjungtivitis ringan. Sekresi
hidung mula-mula cair kemudian mukoid dan selanjutnya menjadi purulen. b. Sindroma Faring Pharyngeal Syndrome
Sindroma Faring yang menonjol adalah suara serak dan nyeri tenggorokan dengan derajat ringan sampai berat. Kadang bercak-bercak serta eksudasi
berwarna didapatkan pada permukaan tonsil disertai pembesaran kelenjar di leher. Sering dijumpai penderita dengan batuk-batuk.
Universitas Sumatera Utara
c. Sindroma Faringokonjungtiva Merupakan varian dari sindroma faring yang disebabkan oleh virus yang sama.
Gejala klinik diawali dengan faringitis yang berat kemudian diikuti dengan konjungtivitis yang dapat berlangsung 1-2 minggu.
d. Sindroma Influenza Sindroma influenza adalah gangguan fisik cukup berat, dengan gejala batuk,
meriang, suhu badan meningkat, badan lemah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan. Gejala ini terjadi secara mendadak dan dengan cepat dapat menular ke semua
anggota keluarga dalam satu rumah. e. Sindroma Herpangina
Sindroma herpangina berupa vesikel-vesikel yang terdapat di dalam mulut dan faring. Vesikel ini kemudian mengalami ulserasi dengan tepi yang membengkak
disertai nyeri tenggorokan, nyeri kepala dan panas badan. f. Sindroma Laringotrakeobronkitis obstruktif Akuta Croup Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan batuk-batuk, sesak napas yang disertai stridor inspirasi, sianosis serta gangguan-gangguan sistemik lain.
Etiologi dan infeksi yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada anak juga di pengaruhi oleh umur, ukuran, dan daya tahan tubuh.
a. Umur Bayi umur di bawah 3 bulan mempunyai angka infeksi yang rendah, karena
fungsi pelindung dari antibodi ke ibuan. Infeksi meningkat pada umur 3-6 bulan, pada waktu ini antara hilangnya antibody keibuan dan produksi antibody bayi itu
sendiri. Sisa infeksi dari virus berkelanjutan pada waktu balita dan prasekolah.
Universitas Sumatera Utara
Pada waktu anak-anak berumur 5 tahun, infeksi pernafasan yang disebabkan virus akan berkurang frekuensinya.
Beberapa agen virus membuat sakit ringan pada anak yang lebih tua tetapi menyebabkan sakit yang hebat di sistem pernafasan bagian bawah atau batuk
asma pada balita. Sebagai contoh, batuk rejan secara relatif pada trakeabronkhitis tidak berbahaya pada masa kanak-kanak namun merupakan penyakit serius pada
masa pertumbuhan. b. Ukuran
Ukuran anatomi mempengaruhi respon infeksi sistem pernafasan. Diameter saluran pernapasan terlalu kecil pada anak-anak akan menjadi sasaran radang
selaput lendir dan peningkatan produksi sekresi. Disamping itu jarak antara struktur dalam sistem yang pendek pada anak-anak, walaupun organisme
bergerak dengan cepat ke bawah sistem pernapasan yang mencakup secara luas. c. Daya Tahan
Kemampuan untuk menahan organisme penyerang dipengaruhi banyak faktor. Kekurangan sistem kekebalan pada anak beresiko terinfeksi. Kondisi yang
melemahkan pertahanan pada sistem pernafasan dan cenderung yang
menginfeksi melibatkan alergi seperti alergi rhinitis, asma, kelainan jantung yang disebabkan tersumbatnya paru-paru.
3. Tanda dan Gejala
Secara umum yang sering di dapat adalah rhinitis, nyeri tenggorokan, batuk- batuk dengan dahak kuningputih kental, nyeri retrosternal dan konjungtivitis. Suhu
Universitas Sumatera Utara
badan meningkat antara 4-7 hari, disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah-muntah dan insomnia. Kadang-kadang dapat juga terjadi diare. Bila
peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya penyulit Hood Alsagaff, 2002 .
4. Penyebaran Infeksi
Pada ISPA dikenal tiga cara penyebaran infeksi yaitu: 1. Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk
2. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk dan bersin-bersin 3. Melalui kontak langsungtidak langsung dari benda yang telah di cemari jasad
renik hand to hand transmission Pada infeksi virus, transmisi diawali dengan penyebaran virus ke daerah sekitar
terutama melalui bahan sekresi hidung. Dari beberapa penelitian klinik, laboratorium dan penelitian lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya kontak hand to hand
merupakan modus yang terbesar bila di bandingkan dengan cara penularan aerogen yang semula banyak di duga sebagai penyebab utama Hood Alsagaff, 2002 .
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya ISPA
Secara umum terdapat 3 tiga faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku Anik, 2010 .
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor Lingkungan a. Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga
akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu
dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah
bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi. b. Ventilasi Rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis.
c. Kepadatan Hunian Rumah Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan
nomor 829MENKESSKVII1999 tentang persyaratan kesehatan rumah. Satu orang minimal menempati luas rumah 8m
2
. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.
2. Faktor Individu Anak a. Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap
menurun terhadap usia.
Universitas Sumatera Utara
b. Berat Badan lahir Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan
mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah BBLR mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat
badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit infeksi. c. Status Gizi
Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh umur, keadaan fisik, kondisi
kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan aktifitas dari si anak itu sendiri.
Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA di bandingkan balita dengan gizi normal karena factor daya tahan tubuh yang
kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang,
balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama. d. Status imunisasi
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat di cegah dalam imunisasi seperti difteri, pertusis,
campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk menghindari faktor yang meningkatkan
mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang
Universitas Sumatera Utara
mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat di harapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis DPT. Dengan imunisasi campak yang
efektif sekitar 11 kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi DPT 6 kematian pneumonia dapat di cegah.
3. Faktor Perilaku Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada
bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan
unit terkecil dari masyarakat yang terkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan yang lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah
satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya.
Peran aktif keluarga atau masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam
masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu dan anggota
keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab
Universitas Sumatera Utara
bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang atau buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat.
Dalam penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhannya dapat di golongkan menjadi 3 kategori yaitu perawatan penunjang oleh ibu balita,
tindakan yang segera dan pengamatan tentang perkembangan penyakit balita, pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan.
6. Pencegahan ISPA
Karena banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA, maka terus dilakukan penelitian cara pencegahan ISPA yang efektif dan spesifik. Cara yang terbukti
efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan DPT. Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11 kematian pada balita dapat di cegah dan dengan
imunisasi DPT 6 kematian dapat di cegah. Secara umum dapat dikatakan bahwa cara pencegahan ISPA adalah hidup sehat,
cukup gizi, menghindari polusi udara dan pemberian imunisasi lengkap Anik, 2010 .
7. Usaha Yang di Lakukan Untuk Menurunkan Angka Kesakitan dan Kematian Bayi dan Balita Berkaitan dengan ISPA
Seperti halnya berbagai upaya kesehatan, pemberantasan ISPA dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan termasuk didalamnya petugas
kesehatan bersama masyarakat. Dalam upaya penanggulangan ISPA, Departemen Kesehatan telah menyiapkan
sarana kesehatan seperti puskesmas pembantu atau pustu, puskesmas, Rumah sakit, untuk mampu memberikan pelayanan penderita ISPA dengan tepat dan segera.
Universitas Sumatera Utara
Teknologi yang pergunakan adalah teknologi tepat guna yaitu teknologi deteksi dini yang dapat diterapkan oleh sarana kesehatan terdepan.
Pencegahan ISPA dilaksanakan melalui upaya peningkatan kesehatan seperti imunisasi, perbaikan gizi dan perbaikan lingkungan pemukiman. Peningkatan
pemerataan cakupan kualitas pelayanan kesehatan juga akan menekan morbiditas dan mortalitas ISPA.
Peranan masyarakat
juga sangat
menentukan keberhasilan
upaya penanggulangan ISPA. Yang penting adalah masyarakat memahami cara deteksi dini
dan cara mendapatkan pertolongan. Akibat berbagai sebab, termasuk hambatan geografi, budaya dan ekonomi, pemerintah juga menggerakkan kegiatan masyarakat seperti
posyandu, pos obat desa dan lain-lainny untuk membantu balita yang menderita batuk atau kesukaran bernafas yang tidak dibawa berobat sama sekali. Bagi masyarakat yang
telah terjangkau dan telah memanfaatkan sarana kesehatan, perlu melaksanakan pengobatan dan nasehat yang diberikan oleh sarana atau tenaga kesehatan. Selanjutnya
seluruh masyarakat perlu mempraktekkan cara hidup yang bersih dan sehat agar dapat terhindar dari berbagai penyakit termasuk ISPA Anik, 2010 .
B. Status imunisasi 1. Defenisi
Imunisasi adalah suatu usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak terhadap penyakit tertentu Depkes RI, 1998 .
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap antigen sehingga bila kelak terpajan pada antigen yang serupa
tidak terjadi penyakit Ranuh, 2005 .
Universitas Sumatera Utara
2. Tujuan Imunisasi
a. Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang. b. Untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar dapat mencegah penyakit dan
kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit.
c. Untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu Hanum, 2010 .
3. Manfaat Imunisasi
a. Untuk Anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian.
b. Untuk Keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orangtua yakin bahwa
anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman. c. Untuk Negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat
dan berakal untuk melanjutkan pembangunan Negara Hanum, 2010 .
4. Jenis-jenis Imunisasi
a. Imunisasi BCG bacillus calmette-guerrin Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis
TBC. Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru lahir sampai usia 12 bulan, tetapi imunisasi ini sebaiknya dilakukan sebelum
bayi berumur 2 bulan. Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja. Bila pemberian imunisasi ini berhasil maka setelah beberapa minggu di tempat
Universitas Sumatera Utara
suntikan akan timbul benjolan kecil. Dengan cara pemberian imunisasi BCG adalah melalui intradermal dengan lokasi penyuntikan pada lengan kanan atas.
b. Imunisasi DPT Merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah terjadinya penyakit
difteri, pertusis dan tetanus. Pemberian imunisasi DPT sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan. Cara pemberian imunisasi melalui
suntikanintar muskuler. Efek samping dari imunisasi ini hanya gejala-gejala ringan seperti sedikit demam dan rewel selama 1-2 hari, kemerahan agak nyeri
dan pegal-pegal di daerah penyuntikan dan akan hilang sendiri dalam beberapa hari.
c. Imunisasi Polio Merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah terjadinya penyakit
polio yaitu penyakit radang yang menyerang saraf dan dapat mengakibatkan lumpuh kaki. Pemberian secara oral sebanyak 2 tetes dan di berikan 4 kali
dengan interval 4 minggu. d. Imunisasi Campak
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah penyakit campak. Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu kali yaitu pada usia 9
bulan. Cara pemberian imunisasi campak melalui subkutan.
Universitas Sumatera Utara
e. Imunisasi Hepatitis B Merupakan imunisasi yang digunakan untuk menimbulkan kekebalan aktif
terhadap penyakit hepatitis B yaitu penyakit infeksi yang merusak hati. Frekuensi pemberian imunisasi Hepatitis B sebanyak 3 kali dengan cara
pemberian melalui intramuskuler.
Universitas Sumatera Utara
BAB III KERANGKA PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel baik variabel yang
diteliti maupun yang tidak diteliti. Kerangka konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil penemuan dengan teori Nursalam, 2008.
Dari skema berikut ini, kerangka konsep dalam penelitian ini menggambarkan bahwa infeksi saluran pernapasan akut ISPA dipengaruhi terhadap status imunisasi
sebagai berikut:
Variabel Independen Status Imunisasi
Variabel Dependen Infeksi Saluran Pernapasan
Akut ISPA pada Balita Sakit 1-5 tahun
Skema 3.1 Kerangka Penelitian
B. Hipotesis