Sistem Pertanggungjawaban di Luar KUHP

kesengajaan atau kealpaan, cukup apabila perbuatan pelaku memenuhi rumusan delik sehingga ia dapat dipidana. Pendapat seperti ini diikuti juga oleh pengadilan, namun di pihak lain, para ahli hukum mempermasalahkan penerapan feit materiel itu yang dirasakan mengandung ketidakadilan. Pola pikir ahli hukum pada waktu itu adalah karena dianutnya doktriajaran tidak tertulis yang berbunyi green starf zonder schuld yang artinya “tidak ada pidana tanpa kesalahan”. Dari uraian itu tampak jelas adanya perbedaan pendapat antara penjelasan pembentuk undang-undang WvS yang diikuti putusan Hooge Raad di satu pihak, dengan pendapat ahli hukum di pihak lain. Menurut hemat penulis, melihat kondisi rumusan Pasal-Pasal pelanggaran dalam KUHP, maka penulis cenderung memilih penjelasan WvS yang telah dipraktikkan oleh pengadilan Belanda, yakni terhadap pelanggaran tidak perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan baik berupa kesengajaan maupun kealpaan.

C. Sistem Pertanggungjawaban di Luar KUHP

Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, penulis menganalisis beberapa undang-undang, seperti: a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika d. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Universitas Sumatera utara Undang-udang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari kententuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan. Dari masing-masing undang-undang tersebut akan dianalisis kecenderungan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan. 1. Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang itu tidak menyebutkan sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut. Karena tidak disebutkan, sebagai ketentuan umum berlaku ketentuan KUHP. Namun, ada hal yang menyimpang dari KUHP, yakni mengenai subjek delik. UU itu mengakui adanya korporasi sebagai pembuat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Ketentuan mengenai hal itu terdapat dalam Pasal 15 yang berbunyi: a. Jika suaut tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atay yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya. Universitas Sumatera utara b. Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserkiatan orang atau suatu yayasan, jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tidank pidana tersebut. c. Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus atau jika ada lebih dari seorang pengurus oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan suatu pengurus itu dibawa ke muka hakim. d. Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, atau perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu di tempat pengurus bersidang atau berkantor. Memperhatikan rumusan Pasal 15 Undang-Undang itu, nampak bahwa menganut sistem pertanggungjawaban pidana badan hukum atau korporasi corporate liability. Artinya, di samping terhadap orang yang memberi perintah atau pimpinan, juga dapat dikenakan pidana kepada badan hukum korporasi itu sendiri. Pertimbagan untuk memidana korporsai adalah mengingat dalam delik Universitas Sumatera utara 44 Rudhi Prasetya. “Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, Makalah Seminar Nasional Hukum Pidana, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Tanggal 12-24 November 1989, hal. 12. 45 Ibid, hal. 14. ekonomi itu keuntungan yang diperoleh korporasi demikian besar sehingga jika pidana dijatuhkan hanya ditujukan kepada pengurus, pidana yang dijatuhkan tidak seimbang dan lagi pula belum tentu ada jaminan korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. 44 Dalam koneksitas dengan apa yang diuraikan di atas, jika yang dipidana hanya pengurs, yang menderita juga terbatas hanya pengurus belaka. Setiap waktu pemegang saham melalui RUPS Rapat Umum Pemegang Saham dapat mengangkat pengurus baru dengan tanpa jera memerintahkan ulang kepada pengurus baru untuk menjalankan lagi delik ekonomi yang diancam pidana. 45 Sehubungan dengan penanggulangan terhadap tindak pidana di bidang ekonomi maka di dalam Pasal 6 Undang-Undang No 7 Drt Tahun 1955 diatur mengenai hukuman dendan yang jumlahnya tinggi, yang berbunyi sebagai berikut: Jika harga barang, dengan nama atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang diperloeh baik seluruhnya maupun sebagian karena tindak pidana ekonomi itu lebih tinggi daripada seperempat bagian hukuman dendan tertinggi maka hukuman denda itu dapat ditentukan setinggi-tingginya empat kali harga barang itu. Selanjutnya di dalam Pasal 7 Undang-undang tersebut mengatur mengenai hukuman tambahan, yang berbunyi: Perampasan barang-barang tetap yang berwujud dan tidak berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagain diperolehnya dengan tindak pidana ekonomi itu, begitu pula harga lawan barang-barang itu tidak peduli apakah barang-baran atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum atau bukan. Universitas Sumatera utara 46 United Nation Office on Drugs and Crime, Human Trafficking, New York, 2008. 47 Widya Susanty, Skirpsi, Fenomena Kekerasan Seksual Korban Trafficking, 2002, hal 25-26 Dengan kemungkinan memberi pidana kepada korporasi, seperti pidana denda yang tinggi, para pemegang saham akan merasakan pula akibat dari perbuatan korporasi itu atau minimal pemegang saham mengalami kerugian material dengan dirampasnya sebagaian atau seluruh hasil kejahatan ekonomi yang dilakukan. Dengan cara seperti itu diharapkan pemilik korporasi akan lebih berhati-hati sehingga dapat mengurangi terjadinya kejatahan ekonomi. 2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Penyimpangan Undang-Undang tentang Narkotika terhadap KUHP terdapat di dalam Pasal 82 ayat 4 yang menyatakan: a. Apabila tindak pidana yang dilakukan dengan cara mengimpor, mengespor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika Golongan I dilakukan korporasi, dipidana dendan paling banyak tujuh miliar rupiah. b. Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi seperti tersebut diatas terhadap narkotika Golongan II dipidana paling banyak empat miliar rupiah. c. Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi seperti tersubut diatas terhadap narkotika Golongan III dipidana denda paling banyak tiga miliar rupiah. Mengenai pengertian korporasi diatur di dalam Pasal 1 butir 19 yang berbunyi: Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang danatau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan. Universitas Sumatera utara 46 United Nation Office on Drugs and Crime, Human Trafficking, New York, 2008. 47 Widya Susanty, Skirpsi, Fenomena Kekerasan Seksual Korban Trafficking, 2002, hal 25-26 3. Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang- Undang tengan Psikotropika di dalamnya juga mengakui adanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Sementara itu yang dimaksud korporasi adalam diatur dalam Pasal 1 butir 13 yang berbunyi: Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orangatau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan. Pasal 70 merupakan pasal yang mengatur tindak pidana yang dilakukan korporasi dalam undang-undang Psikotropika, seperti: Memproduksi, mengespor, atau mengimpor tanpa hak memiliki, mengimpor danatau membawa psikotropika dan mengangkut tanpa dilengkapi dokumen pengakuan, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha. Rumusan Pasal 82 ayat 4 Undang-Undang tentang Narkotika dan Pasal 70 Undang-Undang tentang Psikotropika di atas merupakan sebuah pengakuan adanya korporasi sebagai subjek tindak pidana. Menurut pendapat penulis, penetapan badan hukum sebagai subjek tindak pidana dalam Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika adalah sesuatu yang dapat diterima karena tingkat kejatahan Narkotika dan Psikotropika dewasa ini sudah terorganisasi dangan rapi dan sistematis serta bersifat transnasional dan merupakan sindikat internasional. 4. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Penyimpangan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Universitas Sumatera utara 46 United Nation Office on Drugs and Crime, Human Trafficking, New York, 2008. 47 Widya Susanty, Skirpsi, Fenomena Kekerasan Seksual Korban Trafficking, 2002, hal 25-26 Hidup terhadap KUHP terdapat di dalam Pasal 6 berbunyi: Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Sementara itu yang dimaksud dengan orang ada di atur dalam Pasal 1 butir 24, yang berbunyi: Orang adalah orang perseorangan, danatau kelompok orang,, danatau badan hukum. Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup adalah orang perseorangan, danatau kelompok orang, danatau badan hukum. Pemikiran untuk menetapkan badan hukum sebagai subjek tindak pidana tersebut, menurut pendapat penulis tidak jauh berbeda dengan yang ada di dalam tindak pidana ekonomi. Perusahaan atau industri yang mempunyai kecenderungan untuk mencemarkan atau merusak lingkungan hidup adalah merupakan badan hukum atau korporasi. Maka dari itu, korporasi harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan jika memang terbukti melanggar hukum lingkungan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan. Universitas Sumatera utara 46 United Nation Office on Drugs and Crime, Human Trafficking, New York, 2008. 47 Widya Susanty, Skirpsi, Fenomena Kekerasan Seksual Korban Trafficking, 2002, hal 25-26 BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 A. Latar Belakang Munculnya Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam salah satu publikasinya, United Nation Office On Drugh And Crime UNDC, 46 menyebutkan setidaknya 47 akar utama penyebab Trafficking in Person Perdagangan Orang. Hanya satu penyebab saja dari 16 akar yang tidak secara langsung terkait dengan masyarakat atau kelompok komunitas, yakni failed and corrupt goverments pemerintah yang gagal korup. Kelima belas akar lainnya sangat berhubungan langsung dengan masyarakat antara lain, kekerasan berbasis gender, diskiriminasi kerja, marginalisasi etnis, ras, dan agama, kehilangan status, kekuasaan, power, dan pranata sosial, sejarah kerja paksa, perkawinan dini dan paksa, struktur sosial yang partriarki, jaringan keluarga yang rapuh, peran perempuan dan anak di keluarga, tingginya angka perceraian serta peluang pendidikan dan ekonomi yang terbatas. Dampak yang dialami para korban perdagangan manusia beragam, umumnya masuk dalam jurang prostitusi PSK, ekploitasi tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan dari sisi Pelaku umumnya dilakukan oleh agen penyalur tenaga kerja dengan mudus janji memberi pekerjaan dan dilakukan baik secara pasif denga iklan lowongan pekerjaan maupun dengan aktif langsung ke rumah-rumah penduduk merekrut mereka yang memang Universitas Sumatera utara 48 Solidaritas Perempuan Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia. HAM dalam Praktik Paduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, hal 5 mengharapkan pekerjaan, terjadinya peningkatan kasus-kasus trafficking dilatarbelakangi oleh banyak fatkor penyebab, namun paling tidak ada 3 tiga faktor sosial yang cukup dominan menyebabkan kasus trafficking sering terjadi. Pertama: Tidak adanya kontrol sosial terhadap munculnya kasus trafficking terhadap anak dan perempuan. Memang sudah ada peraturan dan lembaga yang bertugas untuk mengawasi kasus-kasus trafficking, namun pelaksanaannya masih belum optimal serta kurang adanya peran serta dari masyarakat untuk melakukan upaya preventifpencegahan masih sangat kurang karena adanya prinsip individualistis dalam masyarakat serta kurangnya pendidikan masyarakat itu sendiri. Kedua: Adanya hubungan hierarki sosial di masyarakat yang sering kali menempatkan posisi anak pada kedudukan di bawah laki-laki dan perempuan. Orang dewasa seakan-akan mempunyai “hak” untuk memperlakukan anak-anak sesuka hatinya, tanpa memperhatikan bahwa pada prinsipnya anak-anak itu mempunyai hak untuk tumbuh berkembang, melangsungkan hidup, dilindungi, berpartisipasi, mempunyai hak sipil dan kebebasan, dan berpendapat. Ketiga: Ketimpangan sosial dan struktur sosial-ekonomi yang menindas sering kali melahirkan semacam kultur kekerasan, khususnya di kalangan keluarga miskin. Trafficking khususnya yang terjadi dalam perdagangan perempuan penyebabnya bukan saja sebatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan seks,, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk ekploitasi, kerja paksa dan praktek seperti perbudakan dibeberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan. 48 Sebagian besar kasus di Indonesia adalah pola pandangan Universitas Sumatera utara 49 Harkristuti Harkriswono, Laporan Perdagangan Indonesia, Jakarta: Sentra HAM UI, 2003 hal. 60. perempuan utnuk prostitusi paksaan enforced prostitution atau perdagangan seks yang disertai kekerasan seksual. Ekonomi menjadi alasan utama dalam isu perdagangan perempuan karena alasan yang dinyatakan oleh sebagai besar korban sehingga derajat dalam perdagangan manusia adalah dalam rangka mencari pekerjaan. 49 Menunjukkan dalam kasus trafficking, terdapat kemudahan-kemudahan dalam pemalsuan identitas korban yang dilakukan trafikercalo, jelas ada keterlibatan aparatur NegaraPemerintah pada satuan terkecil di tingkatan RT, RW, KelurahanDesa, Kecamatan yang melibatkan perangkataparatpejabat yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan, identitas berupa KTPKK. Keterlibatan Negara tidak hanya membiarkan kejahatan tersebut terjadi, tetapi juga turut serta menjadi pelaku yang melakukan atau memudahkan terjandinya suatu tindak kejatahan. Peran keluarga dan masyarakat juga menjadi pendorong banyaknya kasus perdagangan manusia yang menimpa perempuan dan anak, cara pandang inferior dan subordinasi terhadap perempuan dan anak sangat berpengaruh terhadap terjadinya ketidakadilan gender. Faktor ketimpangan gender atau diskriminasi, mendorong kekerasan terhadap perempuan khususnya pada usia anak, yang memposisikan perempuan dan anak menjadi kelompok rentan dan sangat berpotensi sebagai korban perdagangan perempuan dan ekploitasi seksual. Faktor yang melatar belakangi perdagangan manusia khsusnya perempuan atara lain: kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah sehingga mudah percaya pada orang lain dan tak mampu melawan akibat ketidaktahuan, serta menikah di Universitas Sumatera utara 50 www.idlo.intDOCNewsHuman_trafficking_ind.pdf , Human trafficking perdagangan manusia, diakses pada tanggal 15 Juni 2012 51 Ibid usia muda. Kebanyakan korban berasal dari desa-desa miskin, terutama di daerah jawa, dan bermigrasi ke Jakarta untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. 50 Adapun penyebab lain trafficking tersebut dapat dikarenakan adanya hal- hal sebagai berikut. 51 1. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafficking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu dan menjebak korban. 2. Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut. 3. Kulturbudaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, di yakini menjadi salah satu pemicu trafficking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai keluar negeri atau ke luar daerah, karena tututan keluarga atau orangtua. 4. Lemahnya pencatatandokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas. 5. Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafficking. 6. Urban life style-gaya hidup kota yang konsumtif. 7. Kebiasaan “merantau” untuk memperbaiki nasib. 8. Kebiasaan menganggap pelacuran sebagai hal yang lumrah. Universitas Sumatera utara 52 Ibid 9. Bisnis buruh migran berkembang menjadi industri yang sangat menguntungkan 10. Pelaku yang terorganisir dan bekerjasama dengan aparatur negara. 52 Memberi kemudahan-kemudahan dalam pemalsuan identitas korban yang dilakukan oleh trafikercalo, jelas ada keterlibatan aparatur Negarapemerintah pada satuan terkecil di tingkatan RT, RW, KelurahanDesa, Kecamatan yang melibatkan perangkataparatpejabat yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan, identitas berupa KTPKK. Keterlibatan negara tidak hanya membiarkan kejahatan tersebut terjadi, tetapi juga turut serta menjadi pelaku yang melakukan atau memudahkan terjadinya suatu tindak kejatahan. Peran keluarga dan masyarakat juga menjadi pendorong banyaknya kasus perdagangan manusia yang menimpa perempuan dan anak, cara padang inferior dan subordinasi terhadap perempuan dan anak sangat berpengaruh terhadap terjadinya ketidakadilan gender. Faktor ketimpangan gender atau diskriminasi, mendorong kekerasan terhadapa perempuan khususnya pada usia anak, yang memposisikan perempuan dan anak menjadi kelompok rentan dan sangat berpotensi sebagai korban perdagangan perempuan dan ekploitasi seksual. Faktor-Faktor penyebab tersangkal melakukan perbuatan trafficking sebagai berikut: 1. Perdagangan orang merupakan bisnis ilegal yang menguntungkan terbesar ketiga setelah perdagangan gelap senjata dan narkoba. Universitas Sumatera utara 2. Khususnya Provinsi Sumatera Utara kejahatan trafficking sangata berkembang pesat dikarenakan merupakan dareah asalpengiriman sekaligus daerah transit dan daerah tujuan sesuai dengan posisi geografis daerah ini sehingga merupakan akseblitas tinggi kejalur perhubungan dalam dan luar negeri. 3. Desakan kuat untuk bergaya hidup matearialistik. Perlindungan hukum yang diberikan dalam kasus trafficking, berupa: 1. Perlindungan Terhadap “Privacy” Korban Segala upaya harus dilakukan untuk menjamin privasi dari korban, saksi- saksi, dan jika diperlukan, juga dari pasangan suamiistir dan anggota keluarga korban. Sejauh memungkinkan dan tanpa mengorbankan kepentingan pencarian kebenaran material dalam proses peradilan pidana, identitas korban haruslah dirahasiakan dan privasinya dilindungi. Sebaiknya, adalah juga penting melaksanakan perlindungan tersebut tanpa sekaligus mengorbankan hak-hal tersangkaterdakwa untuk mendapatkan peradilan yang bebas dan adil. Khususnya bagi korban yang mengalami trauma psikis berat atau mengalami ancaman karena posisinya sebagai saksi-korban, maka aparat penegak hukum dan peradilan sedapat mungkin harus merahasiakan atau tidak membuka informasi perihal nama atau alamat dari korban tindak pidana trafficking yang memungkinkan dikenalinya identitas korban, dan dengan demikian mengancam keselamatan danatau terganggunya privasi korban. Media massa tidak boleh mendapatkan dan juga mempublikasikan berita rinci yang dapat mengarah pada pembukaan Universitas Sumatera utara identitas korban, tercakup kedalamnya informasi tentang nama, alamat, foto, atau data medis. Sebelumnya, kepada korban harus disampaikan informasi berkenaan dengan kesulitan menutup identitas dan data personal lainnya, termasuk kedalamnya informasi mengenai pentingnya kehadiran di dalam persidangan untuk memberikan dan mendengarkan kesaksian dari saksi-saksi lain, termasuk terdakwa, yakni demi kepentingan pemeriksaan silang serta “meyakinkan” hakim akan bersalah-tidaknya terdakwa. Kepadanya juga tidak boleh diberikan informasi yang memunculkan harapan yang tidak realistis atau palsu berkenaan dengan kemapuan aparat penegak hukum maupun peradilan untuk menutup identitas dan data lainnya dari publik. 2. Perlindungan Keselamatan Korban Sebelum, selama dan sesudah proses peradilan pidana, segala upaya yang perlu dan mungkin perlu diambil untuk melindungi korban dari intimidasi, ancaman tindakan balasan atau tindakan balasan tersangkaterdakwa danatau teman-teman mereka, termasuk tindakan balas dendam reprisal dari pihak-pihak yang terkait dengan kejahatan yang sedang diperiksa dihadapan pengadilan. Jika di perlukan, perlindungan serupa sedapat mungkin juga disediakan bagi keluarga danatau teman dari korban. Aparat penegak hukum sedapat mungkin harus bertindak sangat hati-hati saat melakukan penyidikan misalnya dikota atau lingkungan tempat asal dari korban, terhadapa kenalan atau rekanan korban atau terhadap tersangka pelaku tindak pidana trafficking, yakni dalam rangka mencegah terbukanya identitas Universitas Sumatera utara korban atau penculikan korban atau timbulnya ancaman terhadapa keselamatan korban, keluarga atau temannya. Kepentingan untuk melindungi keselamatan bagi korban, keluarga maupun teman korban haruslah turut dipertimbangkan, ketika aparat berwenang Polri memutuskan untuk menangkap, menahan dan menetapkan jangka waktu penahanan ataupun untuk melepas tersangka dari penahanan, maka pihak korban harus diberitahu mengenai keputusan tersebut sebelum pelepasan tersebut dilakukan. Berkenan dengan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU No. 232004, pengadilan dapat menerbitkan Surat Perintah Perlindungan atas permohonan pihak korban kuasanya. Polisi juga berwenang untuk melakukan upaya perlindungan sementara Pasal 10, 16, 17, 20, 28-34. Menurut Pasal 12 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga PDKRT, pembantu rumah tangga yang tinggal di dalam rumah tercakup kedalam lingkup pengertian anggota rumah tangga. Ketentuan ini berarti bahwa UU PKRD dapat digunakan terhadap, kasus-kasus trafficking terhadap pembantu rumah tangga yang tinggal menetap di dalam rumah. 3. Pelayanan dan Pendampingan Assistence dan Support Polri diharapkan membuka diri bagi tawaran bantuan pihak-pihak lain, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga-lembaga lain, berkenaan dengan penyediaan dan pemberian layanan dan pendampingan bagi korban. Ini berarti bahwa Polri seharusnya mendapatkan informasi dan memelihara hubungan baik dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang Universitas Sumatera utara 53 Karen E. Bravo, “Human Trafficking: Global and Nation Responeses To The Cries for Freedom, Article, Westlaw: University of St. Thomas Law Journal, 2009, hal. 2 pendampingan korban. Polri sebenarnya atau tepatnya bertanya kepada korban apakah korban di dalam lingkungan sosialnya telah mendapatkan pelayanan dan pendampingan yang cukup. Jika korban memang menginginkannya, Polri sebaiknya menghubungi lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang pendampingan korban. Rekomendasi umum berkenan dengan hal ini ialah agar tiap Polri dan Polresta memiliki prosedur tetap untuk memberikan pelayanan dan pendampingan korban yang ada. Pihak korban, setiap saat, selama proses penyidikan, pemerikasaan di kepolisan dan kejaksaan serta selama persidangan di pengadilan, harus berpeluang atau dapat menerima pelayanan atau dukungan dari lembaga sosial. Seorang penasehat, pekerja sosial atau pendamping yang dipilih sendiri oleh korban harus di perkenankan untuk hadir selama proses di atas berlangsung, yakni untuk memberikan pelayanan dan dukungan emosional kepada korban. Dalam hal ini tindak pidana yang diatur dalam UU PKDRT No. 232004, Polri wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapatkan pelayanan pendampingan Pasal 18 dan juga wajib melakukan koordinasi terpadu denga dinas atau lembaga sosial yang dibutuhkan korban Pasal 22. Menurut ketentuan Pasal 23, korban, selama proses penyidikian dan penuntutan, berhak untu di dampingi oleh seorang relawan pendamping.

B. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.

0 0 1

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 14

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 3

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 35

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 1 59

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 7

BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana 1. Kemampuan Bertanggung Jawab - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menuru

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

0 0 27

ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 (Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1.642Pid.B2009PN.Mdn) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syar

0 0 11

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG(Kajian Putusan No.1554Pid.B2012PN.Mdn) SKRIPSI

0 0 11