Analisis Stilistika Puisi

B. Analisis Stilistika Puisi

Pada bagian ini, objek penelitian akan dikaji berdasakan aspek stilistikanya. Antologi puisi O Amuk Kapak akan dianalisis dalam empat aspek kajian yaitu gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat dan citraannya.

commit to user

lima percik mawar tujuh sayap merpati sesayat langit perih dicabik puncak gunung sebelas duri sepi dalam dupa rupa tiga menyan luka mengasapi duka

puah! kau jadi Kau Kasihku

1. Gaya Bunyi Unsur bunyi merupakan unsur yang penting untuk menghasilkan irama guna mencapai aspek estetika sebuah puisi. Selain itu menurut Pradopo (1993: 22) adalah untuk memperdalam ucapan, menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana khusus dan sebagainya.

Bunyi dalam bahasa dibagi menjadi dua jenis yaitu bunyi vokal dan konsonan. Kedua jenis bunyi inilah yang dimanfaatkan oleh penyair untuk menciptakan efek tertentu. Kepiawaian penyair dalam menyusun bunyi vokal dan konsonan akan menimbulkan irama yang mirip seperti bunyi musik. Bunyi yang merdu ini akan menggiring perasaan serta imaji-imaji dalam pikiran dan pengalaman dalam jiwa pendengarnya, mengikuti apa yang disampaikan oleh penyair.

Puisi di atas mengandung aliterasi dan asonansi yang menimbulkan nada dan irama yang merdu dan indah. Dalam puisi tersebut juga terdapat pola-pola yang dibentuk oleh susunan bunyi konsonan dan vokal. Puisi ini termasuk pada puisi bebas yang sehingga jumlah larik pada tiap baitnya tidak sama dan tidak

commit to user

larik, kemudian pada bait kedua terdapat 3 larik. Asonansi merupakan paduan bunyi vokal dari kata yang berbeda, baik diikuti oleh konsonan yang sama maupun berbeda dalam larik yang sama (Aminuddin, 1995: 147). Dalam puisi Mantera ini terdapat berbagai jenis asonansi dengan bunyi vokal yang berbeda-beda. Asonansi yang ditemukan antara lain: //lima percik mawar// , asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/ dan /a/. // tujuh sayap merpati//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sesayat langit perih//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /i/. //dicabik puncak gunung//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/. //sebelas duri sepi//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /i/. //dalam dupa rupa//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/. //tiga menyan luka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //mengasapi duka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.

Sedangkan pada bait kedua asonansi terdapat dalam baris kedua yaitu: //kau jadi Kau// asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /au/ Sementara itu aliterasi, yang merupakan pengulangan bunyi konsonan yang sama yang dapat menimbulkan irama untuk memperoleh efek estetis juga ditemukan di beberapa baris. Misalnya: //lima percik mawar//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/. //tujuh sayap merpati//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/. //sesayat langit perih//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/. //dicabik puncak gunung//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /c/, /k/, dan /n/. //sebelas duri sepi//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/. //dalam dupa rupa//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/ dan p/.

Dalam bait kedua hanya ada satu baris yang mengandung aliterasi, yaitu: //kau jadi Kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/.

commit to user

gaya bunyi yang bervariasi. Asonansi dan aliterasi muncul pada hampir setiap larik sehingga menimbulkan keindahan yang memikat. Keberadaan asonansi dan aliterasi merupakan sarana bagi penyair dalam menciptakan penguatan suasana. Secara keseluruhan dalam puisi ini muncul kakafoni yang timbul dari paduan vokal /p/, /d/, /s/, /k/, /t/ dan sebagainya sehingga suasana yang tercipta adalah suasana yang kurang menyenangkan, mencekam dan sebagainya.

2. Gaya Kata Pilihan kata yang cermat akan membuat sebuah karya sastra menjadi lebih menarik sekaligus mampu mencapai kedalaman makna. Mantera dibentuk dari kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari yang disusun dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga menghasilkan baris dengan rangkaian kata yang indah dan penuh makna. Untuk memperoleh makna yang dibawa penyair dalam puisinya, pembaca harus mencerna tiap kata yang disusun secara unik.

Kata yang digunakan dalam puisi Mantera sebenarnya adalah kata-kata yang sederhana, namun dengan penyusunan yang unik maka kata yang sederhana tersebut terlihat kompleks. Kata-kata diwujudkan sebagai simbol dan mengandung makna konotatif sehingga membuat puisi ini semakin menarik. Selain pilihan kata yang cermat, penempatan tiap kata juga mendapatkan perhatian dari pengarang. Dalam puisi ini terdapat kata serapan dari bahasa daerah Jawa yaitu “menyan”, dalam bahasa Indonesia adalah kemenyan yang berarti dupa dari tumbuhan yang harum baunya ketika dibakar.

Kata-kata yang bernilai denotatif tetap digunakan untuk membantu pembaca dalam memahami puisi Sutardji ini, namun konotasi yang merupakan bahasa figuratif lebih banyak digunakan dalam puisi ini. Penggunaan konotasi atau kata yang bernilai kias menyebabkan baris atau larik dalam puisi menjadi lebih padat. Dalam baris //lima percik mawar//, kata percik yang dirangkaikan dengan mawar menimbulkan berbagai penafsiran. Lima, percik dan mawar sama- sama merupakan kata benda. Percik sendiri berarti titik-titik air yang

commit to user

yang dicelupkan ke air. Demikian juga dengan baris //tujuh sayap merpati//, yang kemudian memunculkan adanya majas sinekdoke pars pro toto. Munculnya majas ini didasarkan pada pemikiran bahwa tujuh sayap merpati yang mengacu pada tujuh ekor burung merpati.

Beberapa kata bilangan juga digunakan dalam puisi, yaitu kata lima, tujuh, sebelas dan tiga. Penggunaan kata bilangan selain menambah unsur keindahan juga dapat merangsang citraan pembaca terhadap obyek yang dimaksud.

Secara keseluruhan, diksi yang digunakan dalam puisi tersebut adalah kata-kata sederhana yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Sutardji sengaja membiarkan kata-kata muncul apa adanya, sehingga imbuhan pun kadang-kadang tidak dipergunakan. Rangkaian kata yang tidak lazim menjadikan kata-kata yang sebenarnya sangat sederhana menjadi lebih bermakna. Bahkan makna yang dihasilkan lebih dalam dan luas. Majas yang digunakan dalam puisi ini adalah sinekdoke pars pro toto dan penggunaan kata bilangan.

3. Gaya Kalimat Kalimat merupakan wujud verbal karya sastra yang menentukan gaya pengarang. Penyiasatan stuktur kalimat sering dipergunakan untuk menciptakan baris-baris yang padat dan penuh makna. Puisi Mantera kental dengan penyiasatan struktur kalimat, sehingga puisi yang menggunakan kata sederhana mampu memikat dan menyampaikan makna yang luas.

Kalimat sederhana mendominasi setiap baris. Pada baris //lima percik mawar// dan //tujuh sayap merpati// sebenarnya merupakan frase yang menduduki fungsi obyek. Pada dua baris selanjutnya yaitu //sesayat langit perih//dicabik puncak gunung// muncul kalimat yang mempunyai subyek, predikat dan obyek. Kalimat tersebut termasuk dalam kalimat lengkap. Kalimat lengkap juga terdapat dalam baris //tiga menyan luka //mengasapi duka//. Pada bait terakhir terdapat baris yang berisi kalimat imperatif atau kalimat perintah. Kalimat tersebut terdapat

commit to user

ditutup dengan tanda seru (!). Puisi ini merupakan puisi dengan susunan kalimat yang sederhana dengan hubungan antara kalimat yang terkesan lepas atau terpisah. Akan tetapi sebenarnya kalimat-kalimatnya mempunyai gagasan yang utuh.

4. Citraan Dalam menciptakan puisi, gambaran yang jelas mengenai isi puisi tersebut harus muncul dengan jelas dalam benak pembaca. Gambar angan atau citraan tersebut akan menimbulkan suasana yang ingin dihadirkan pengarang untuk pembacanya. Demikian pula pada puisi Mantera ini, penyair menggunakan citraan untuk menggiring pembaca pada efek atau suasana yang diinginkan.

//lima percik mawar// //tujuh sayap merpati// Pada baris pertama dan kedua, citraan yang muncul adalah citraan

penglihatan. //sesayat langit perih// //dicabik puncak gunung// Kemudian pada baris ketiga dan keempat muncul citraan perabaan yang

muncul melalui kata perih dan dicabik. //sebelas duri sepi// //dalam dupa rupa// //tiga menyan luka// //mengasapi duka/ Pada baris selanjutnya citraan penglihatan lebih kental. Penggunaan kata

bilangan yaitu sebelas dan tiga semakin memperjelas gambar angan pembaca mengenai obyek yang dimaksud.

//puah!// //kau jadi Kau!// //Kasihku//

commit to user

terakhir ini hadir sebagai bentuk dialog sehingga citraan yang muncul adalah citraan pendengaran.

Secara keseluruhan, citraan yang menonjol dalam puisi ini adalah citraan penglihatan dan pendengaran karena puisi ini berisi gambaran tentang penggunaan mantera dengan suasana magis yang melingkupinya. Citraan penglihatan dan pendengaran dirasa mampu memberikan gambar angan yang kuat bagi pembacanya. Sedangkan citraan perabaan digunakan untuk melengkapi kekuatan gambar angan yang ingin diciptakan oleh penyair.

commit to user

batu mawar batu langit batu duka batu rindu batu jarum batu bisu kaukah itu

teka

teki

yang tak menepati janji?

Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh? Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau tahu?

batu risau batu pukau batu Kau-ku batu sepi batu ngilu batu bisu kaukah itu

teka teki

commit to user

tak menepati janji?

1. Gaya Bunyi Puisi Batu adalah puisi yang bercerita tentang pencarian seseorang mengenai hakikat kehidupan. Kehidupan yang penuh dengan teka-teki ini akan dilalui dengan ketegaran serta sikap yang keras dan teguh pendirian layaknya sebuah batu. Keberadaan asonansi dan aliterasi dimanfaatkan dengan baik oleh penyair untuk memperoleh efek musikalisasi yang menambah nilai estetika sebuah puisi.

Adapun asonansi yang ditemukan pada bait pertama adalah: /batu mawar//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //batu langit//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //batu duka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/. //batu rindu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //batu jarum//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/. //batu bisu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //kaukah itu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //tak menepati janji?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/ Pada bait kedua asonansi yang muncul antara lain: //Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/, /i/ dan /u/. //hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/, /i/, /u/ dan /e/. //seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /i/, /u/ dan /a/. //Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /u/. //gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /a/, /e/ dan /ai/.

commit to user

ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/, /e/, /a/ dan /ai/. //lambai tak sampai. Kau tahu?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /ai/.

Penyair juga menggunakan aliterasi dalam puisi ini. Penggunaan alitersi pada bait pertama, yaitu pada baris: //batu langit//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/. //batu bisu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/. //tak menepati janji?//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/ dan /n/. Selanjutnya pada bait kedua, aliterasi terdapat dalam baris: //Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan//, aliterasi ditemukan pada fonem /d/, /ng/, /s/, /r/, /n/, /t/, /b/ yang dipakai secara berulang pada satu baris. //hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /h/, /t/, /k/, /s/, /b/, /ng/ dan /d/. //seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/, /r/, /b/, /ng/, /t/, /d/, /h/dan /k/. //Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/, /ng/, /h/, /s/, /t/, /r/, /p/, dan /d/. //gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /ng/, /s/, /t/, /m/ dan /k/. //diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/, /k/, /t/, /s/, /m/ dan /ng/. //lambai tak sampai. Kau tahu?/, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/, /t/ dan /k/.

Penggunaan aliterasi dan asonansi yang bervariasi menimbulkan adanya efoni dan kakafoni. Dalam puisi ini, kakafoni jauh mendominasi. Hal ini sesuai dengan isi puisi yang penuh kegetiran, pesimisme dan kekalutan.

commit to user

Pemilihan kata menunjukkan individu pengarangnya. Hal inilah yang tetap dipertahankan Sutardji dengan memilih kata yang sederhana kemudian menyusunnya dengan susunan yang kurang lazim untuk memunculkan makna tersirat. Dengan penyusunan yang kurang lazim, maka kata yang sebenarnya bermakna denotatif kemudian menjadi memiliki makna kias atau makna yang tersirat.

Keunikan diksi dalam puisi ini dapat dilihat pada bait pertama dan ketiga. Kata batu dirangkai dengan berbagai kata sehingga menghasilkan makna baru yang lebih dalam dan luas. Gaya bahasa yang menonjol dalam bait pertama dan ketiga adalah personifikasi, yaitu pada baris //batu duka//batu rindu//batu bisu//batu risau//batu pukau//batu sepi//batu ngilu//batu bisu//. Pada baris-baris di atas, batu dikiaskan mempunyai sifat-sifat seperti manusia.

Gaya bahasa hiperbola digunakan pada bait kedua, yaitu pada baris: //Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan//hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//seribu beringin ingin tak teduh//. Bahasa kiasan personifikasi juga dipergunakan pada baris keempat bait kedua //mengapa jam harus berdenyut//. Dalam baris tersebut jam dikiaskan berdenyut layaknya jantung manusia. Pemilihan kata berdenyut dimaksudkan agar pembaca mengasosiasikan jam sebagai simbol kehidupan manusia.

Kata yang dipergunakan dalam Puisi Batu merupakan kata-kata sederhana. Bahkan beberapa kata dibiarkan tanpa imbuhan. Puisi Batu didominasi dengan kata denotasi meskipun dengan rangkaian yang tidak biasa menghasilkan makna yang lebih luas dan dalam. Majas yang terdapat dalam puisi ini adalah personifikasi dan hiperbola. Pilihan kata yang sederhana tetap mampu membuat puisi ini menjadi menarik tanpa meninggalkan unsur estetika.

3. Gaya Kalimat Struktur kalimat yang dipergunakan dalam puisi Batu merupakan kalimat yang sederhana. Penghilangan tanda baca yang merupakan ciri khas dari Sutardji menjadikan puisi ini seperti mantera, karena dibaca secara berturut-turut tanpa

commit to user

merupakan kalimat minor, namun pada bait kedua didominasi dengan kalimat dasar, yang terdiri dari unsur S+P dan keterangan.

Bahasa kias yang digunakan antara lain adalah repetisi. Hal ini dapat dilihat pada bait pertama dan terakhir. //batu mawar// //batu langit// //batu duka// //batu rindu// //batu jarum// //batu bisu// //batu risau// //batu pukau// //batu Kau-ku// //batu sepi// //batu ngilu// //batu bisu//

Pengulangan terjadi pada kata batu. Kata batu yang dirangkai dengan berbagai jenis kata, baik kata benda maupun kata sifat menimbulkan keindahan tersendiri. Selain itu, repetisi atau pengulangan kembali digunakan dalam bait kedua. Kata yang diulang adalah dengan seribu dan mengapa.

Pada bait kedua terdapat gaya bahasa polisindeton yang ditandai dengan kata sambung dengan. //Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan// //hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan// //seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?//

Beberapa klausa yang sederajat digabungkan dengan kata sambung dengan. Selanjutnya penyair juga menggunakan pertanyaan retoris untuk menekankan makna yang ingin disampaikan. Terdapat delapan erotesis atau pertanyaan retoris dalam puisi ini, yaitu:

commit to user

//Dengan siapa aku mengeluh?// //Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa// //gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk// //diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang// //lambai tak sampai.// //Kau tahu?// //kaukah itu//teka//teki//yang//tak menepati//janji?// Dalam baris-baris di atas, empat pertanyaan menggunakan tanda tanya dan

empat lainnya hanya menggunakan kata tanya tanpa tanda tanya. Secara keseluruhan, susunan kalimat dalam puisi ini merupakan susunan kalimat yang sederhana sehingga hubungan antarbaitnya kurang diperhatikan walaupun tetap saja ada alur puisi yang membingkai. Gaya kalimat yang terdapat di dalamnya antara lain adalah repetisi, polisindetondan erotesis atau pertanyaan retoris.

4. Citraan Citraan sebagai media pengarang dalam menyampaikan isi puisinya sangat disadari oleh Sutardji, sehingga dalam puisinya gambar angan atau imajery merupakan unsur penting yang tidak pernah diabaikan. Seperti dalam puisi Batu ini, citraan yang muncul didominasi oleh citraan penglihatan, terutama pada bait pertama. //batu mawar// //batu langit// //batu duka// //batu rindu// //batu jarum// //batu bisu// //kaukah itu//

commit to user

Kata “batu” yang dirangkai dengan kata mawar, langit, duka, rindu, jarum dan bisu mengacu pada wujud atau benda yang dapat dilihat. Akan tetapi muncul pula citraan perabaan yang terdapat dalam baris kedua, bait kedua, yaitu:

//hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//, kata-kata yang menunjukkan adanya citraan perabaan adalah dengan seribu sibuk sepi tak mati. Baris tersebut menunjukkan bagaimana kosongnya perasaan penyair sehingga “seribu sibuk” yang dapat dimaknai dengan kesibukan apapun tidak akan membuat “sepi” yang dirasakannya “mati”.

Kemudian citraan gerak pada baris keempat bait kedua //Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa// , kata yang menunjukkan

citraan gerak adalah “berdenyut” yang menunjukkan adanya gerakan dari sebuah jam. Kata “berdenyut” yang biasanya mengacu pada gerakan jantung digunakan untuk menyatakan gerakan jam merupakan salah satu kepiawaian penyair untuk menggambarkan kehidupan.

Citraan pendengaran juga digunakan pada puisi di atas, yaitu pada baris kelima bait kedua //gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk //, kata kunci yang menunjukkan adanya citraan pendengaran adalah kata “meletus” yang mengasosiasikan adanya bunyi letusan.

Dalam puisi Batu, beberapa citraan digunakan penyair. Citraan yang mendominasi adalah citraan penglihatan. Penyair ingin menghadirkan wujud batu menjadi beberapa bentuk dan sifat. Citraan lain yang digunakan adalah citraan perabaan, gerak dan pendengaran.

commit to user

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau resahku resahkau resahrisau resahbalai resahkalian raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai

oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau o……

daun burung sungai kelepak mau sampai

dadu mari!

rumput

pisau

batu

kau kau

kau

kau

kau

kau

kau

kau kau

kau

kau

KAU

kau

kau

kau kau

kau

kau

kau

kau

kau kau

kau

commit to user

Puisi O merupakan puisi dengan tema duka atau kepedihan. Sebagai puisi kontemporer, puisi ini sama sekali tidak terikat dengan keharusan adanya rima. Akan tetapi, untuk memperoleh orkestrasi bunyi dan efek musikalisasi yang menambah estetika puisi maka penyair tetap memperhatikan penggunaan kata yang dapat menghasilkan asonansi dan aliterasi. Asonansi muncul pada hampir semua baris. Bait pertama: //dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /a/, /au/ dan /i/. //resahku resahkau resahrisau resahbalai resahkalian//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /au/. //raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/. //mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /au/, /a/, /u/ dan /ai/. //siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /ia/ dan /au/. //duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /ai/ dan /a/. //oku okau okosong orindu okalian obolong orisauoKau o ……//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /o/, /au/ dan /i/. Bait kedua: //mau sampai langit//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //siapa tahu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //buah rumput selimut//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //langit dadu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //rumput pisau batu kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/ dan /au/. //kau kau kau kau kau kau kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal / au/.

commit to user

/au/. //kau kau kau kau kau kau kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /au/. Puisi ini juga diciptakan dengan pemilihan kata yang cermat sehingga menghasilkan aliterasi hampir di seluruh barisnya. Bait pertama: //dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/ dan /k/. //resahku resahkau resah risau resahbalai resahkalian//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /s/, /h/ dan /k/. //raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /g/ dan /k/ //mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/, /k/ dan /p/. //siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/, /k/ dan /l/. //duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalianduhaisangsai//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/, /h/, /k/, /n/, /ng/ dan /l/. //oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oK au o……//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /ng/, /r/, /n/, /l/ dan /s/. Pada bait kedua: //mau sampai langit//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/. //buah rumput selimut//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/ dan /t/. //rumput pisau batu kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /p/ dan /t/. //kau kau kau kau kau kau kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. // kau kau kau KAU kau kau kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/.

commit to user

paduan bunyi konsonan /k/. Munculnya asonansi dan aliterasi secara seimbang pada puisi di atas menimbulkan irama yang dapat menimbulkan keindahan. Akan tetapi keindahan yang dihasilkan tetap menimbulkan efek kakafoni, yaitu suasana yang kacau- balau, tidak menyenangkan dan sebagainya. Irama yang muncul menjadi terkesan biasa saja karena terdengar datar tanpa emosi yang mempengaruhinya.

2. Gaya Kata Puisi O merupakan puisi yang menggunakan pilihan kata yang cermat. Selain itu, kepiawaian Sutardji dalam mengolah kata membuat kata yang biasa saja menjadi unik dan menghasilkan bentuk kata baru yang lebih segar. Dalam puisi ini terdapat penggabungan kata yang mendominasi baris-barisnya. Penggabungan kata dapat menekankan makna dan mempertegas maksud pengarang.

Penggunaan kata yang bernilai denotatif mendominasi diksi dalam puisi ini. Hal ini selaras dengan kredo Sutardji yang mengembalikan kata sebagai kata, yang tidak harus dibebani ide atau makna. Secara harfiah, kata yang digabung tersebut tidak mempunyai arti, sehingga pembaca harus membaca dengan cermat untuk menangkap makna puisi tersebut. Dalam puisi ini juga terdapat kata bolong yang berasal dari bahasa Jawa. Bolong dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan kata berlubang.

Secara keseluruhan, diksi dalam puisi ini cukup unik dan tidak lazim digunakan dalam percakapan maupun dalam karya sastra yang lain. Penyair mampu menciptakan kata-kata baru yang belum pernah ada sebelumnya yang justru mampu menambah nilai keindahan dari puisi tersebut.

3. Gaya Kalimat Susunan kata dalam puisi O sangat unik dan mungkin tidak bisa disebut sebagai sebuah kalimat. Sekilas seperti tidak ada hubungan antara lariknya akan tetapi sebenarnya setiap larik mempunyai hubungan yang mendukung

commit to user

dalam tiap baris supaya bisa memahami isi puisi dengan baik. Terdapat beberapa bahasa kias yang dipilih dalam puisi O. Repetisi atau pengulangan kata mendominasi baris-baris puisi tersebut. Kata duka, resah, ragu, mau, siasia, waswas, duhai, o dan kau diulang beberapa kali dalam satu baris.

Pemakaian kata secara berulang dalam satu baris semakin menekankan makna yang ingin disampaikan. Misalnya saja pada baris pertama //dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau //, penggunaan kata duka yang diulang sebanyak lima kali menyatakan bahwa duka yang dirasakan begitu dalam. Sehingga untuk menyampaikan rasa duka yang sangat tersebut, penyair harus mengulangnya hingga lima kali dalam satu baris.

Selanjutnya terdapat pertanyaan retoris dalam baris //siapa tahu//, walaupun tidak menggunakan tanda tanya di akhir baris kata siapa sudah menunjukkan bahwa baris itu merupakan kalimat tanya. Selain itu terdapat kalimat imperatif atau kalimat perintah pada kata //mari!//.

Secara keseluruhan baris dalam puisi O seperti barisan kata yang tidak berstruktur. Pasalnya, kata-kata dalam puisi tersebut seperti kumpulan kata yang terserak, kemudian disusun seadanya. Perlu pemahaman lebih untuk bisa memahami makna yang terkandung dalam puisi tesebut.

4. Citraan Pemahaman terhadap sebuah karya sastra khususnya puisi, membutuhkan sebuah media yang tepat sehingga dapat mengantarkan maksud atau hal yang akan disampaikan pengarang kepada pembacanya. Selain pemilihan kata yang cermat, penggunaan gambar angan akan sangat membantu pembaca dalam memahami sebuah karya sastra.

Puisi O merupakan puisi dengan rangkaian kata yang tidak biasa. Penggunaan dan penggabungan kata yang tidak lazim inilah yang menciptakan citraan pendengaran. Bait pertama bahkan terdengar seperti mantera. Selain itu citraan pendengaran juga muncul pada kata kelepak yang mengacu pada bunyi

commit to user

citraan pendengaran karena ngiau merupakan tiruan suara kucing. Selain citraan pendengaran yang mendominasi, ada juga citraan penglihatan. Misalnya pada baris //dada biru// dan //langit dadu//. Keberadaan kata biru dan dadu merupakan kata kunci bahwa baris tersebut mengandung citraan penglihatan. Hal ini dapat disimpulkan karena biru dan dadu tergolong dalam kata benda yang menyatakan warna. Kata okosong dan obolong juga merangsang indera penglihatan untuk menanggapinya karena kosong dan bolong bisa diketahui dengan melihat keadaannya secara langsung.

Citraan perabaan juga dihadirkan dalam puisi ini. Hal itu terlihat dari adanya kata duhaingilu yang mengajak pembaca membangkitkan imajinasi tentang rasa ngilu yang menyerang. Kata mausampai dan maugapai merupakan kata kunci adanya citraan gerak, yaitu adanya gerakan untuk menggapai sesuatu yang dimaksud oleh penyair.

Dalam puisi ini citraan pendengaran lebih banyak digunakan oleh penyair. Penggunaan kata yang unik ternyata menghasilkan bunyi yang mampu merangsang indera pendengaran untuk menanggapinya. Selain itu muncul pula citraan penglihatan dan perabaan juga dihadirkan dalam puisi tersebut.

commit to user

luka ngucap dalam badan kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung ke bintang bintang lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku untuk kuburmu alina

untuk kuburmu alina aku menggaligali dalam diri raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam menyeka matari membujuk bulan teguk tangismu alina

sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur laut pergi ke awan membawa kubur-kubur awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga membawa kuburmu alina

1. Gaya Bunyi Puisi Perjalanan Kubur adalah puisi yang mengkisahkan tentang hakikat kelahiran yang diikuti oleh kematian. Dalam puisi ini asonansi dan aliterasi tetap dihadirkan untuk mencapai efek keindahan. Asonansi pada bait pertama: //luka ngucap dalam badan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/ dan /a/ //kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /u/ //ke bintang bintang//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/ dan /a/.

commit to user

bunyi vokal /a/ dan /i/. //untuk kuburmu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. Bait kedua: //untuk kuburmu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //aku menggaligali dalam diri//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/, /i/ dan /e/. //menyeka matari membujuk bulan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /u/. //teguk tangismu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /a/ dan /i/. Bait ketiga: //sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/ dan /e/. //laut pergi ke awan membawa kubur-kubur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/. //awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/, /e/ dan /u/. //hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /e/ dan /a/. //membawa kuburmu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.

Pemanfaatan bunyi konsonan yang teratur dan berulang akan menghasilkan irama yang indah. Hal itu sangat disadari oleh Sutardji sehingga pada Perjalanan Kubur terdapat berbagai aliterasi dalam tiap baitnya. Bait pertama: //luka ngucap dalam badan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /l/ dan /d/. //kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /t/, /b/, /s/ dan /ng/.

commit to user

dan /ng/. //lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /l/, /m/, /d/ dan /g/. //untuk kuburmu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. Bait kedua: //untuk kuburmu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. //aku menggaligali dalam diri//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/ dan /l/. //raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /d/, /l/, /m/, /ng/, /b/ dan /h/. //menyeka matari membujuk bulan/, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/, /k/ dan /b/. //teguk tangismu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/. Bait ketiga: //sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /k/ dan /b/. //laut pergi ke awan membawa kubur-kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /k/, /w/ dan /b/. //awan pergi ke hujan membawa kubur- kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /w/, /n/, /r/, /k/ dan /b/. //hujan pergi ke akarke pohon ke bunga-bunga//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /h/, /r/ dan /k/. //membawa kuburmu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/ dan /b/.

Perpaduan asonansi dan aliterasi menimbulkan irama yang terdengar indah. Meskipun demikian bunyi /k/ yang mendominasi menimbulkan kakafoni, yaitu bunyi-bunyi parau, kasar dan tidak menyenangkan. Hal ini diperlukan untuk menekankan makna dari puisi Perjalanan Kubur yang berisi tentang hakikat kelahiran yang diikuti kematian.

commit to user

Pilihan kata merupakan salah satu aspek yang menjadikan sebuah karya sastra, khususnya puisi memperoleh efek keindahan tanpa meninggalkan makna yang ingin disampaikan. Dalam puisi Perjalanan Kubur kata yang dipergunakan merupakan kata-kata sederhana. Kata-kata yang sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dan bermakna denotatif diolah sedemikian rupa sehingga menjadi menghasilkan makna baru.

Penghilangan imbuhan yang menjadi salah satu ciri puisi Sutardji, muncul dalam puisi ini, yaitu pada baris pertama //luka ngucap dalam badan//. Kata ngucap seharusnya mendapat imbuhan me- sehingga menjadi mengucap.

Majas yang digunakan dalam puisi ini adalah majas personifikasi yang terdapat dalam baris keempat bait kedua //menyeka matari membujuk bulan//. Dalam larik tersebut, “matari” dan “bulan” dikiaskan memiliki sifat seperti

manusia sehingga bisa diseka atau diusap dan dibujuk. Secara keseluruhan dalam puisi ini hanya ditemukan majas personifikasi. Akan tetapi penggunaan susunan kata yang tidak biasa serta pembentukan kata baru yang menjadi ciri khas Sutardji, membuat puisi ini tetap menarik untuk dinikmati dan dipahami maknanya.

3. Gaya Kalimat Kalimat yang digunakan dalam puisi Perjalanan Kubur merupakan kalimat yang sederhana. Kata-kata disusun dengan struktur yang sederhana dan didominasi oleh kalimat deklaratif.

Gaya bahasa yang digunakan antara lain adalah gaya bahasa repetisi atau pengulangan yang terdapat dalam bait terakhir. //sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur// //laut pergi ke awan membawa kubur-kubur// //awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur// Kata membawa kubur-kubur diulang sebanyak tiga kali pada tiap akhir baris.

commit to user

//sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur// //laut pergi ke awan membawa kubur-kubur// //awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur// //hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga//

Dalam bait di atas terdapat urut-urutan pikiran yang meningkat kepentingannya. Kata sungai, laut, awan, hujan kemudian ke akar menunjukkan adanya urutan yang menujukkan adanya peningkatan dari gagasan yang disampaikan.

Puisi ini merupakan puisi bebas dengan struktur kalimat yang sederhana dan didominasi oleh kalimat deklaratif. Sarana retorika yang digunakan hanya berupa pengulangan atau repetisi dan gaya bahasa klimaks.

4. Citraan Penafsiran seseorang terhadap sebuah karya sastra khususnya puisi, dapat diuji melalui pemahamannya terhadap aspek citraan yang terkandung dalam puisi tersebut. Gambar angan yang terbentuk dalam jiwa pembacanya tergantung pada kuat tidaknya citraan yang dihadirkan oleh penyair. Puisi Perjalanan Kubur adalah salah satu puisi Sutardji yang mempunyai citraan yang kuat.

Pada bait pertama didominasi dengan citraan penglihatan. //luka ngucap dalam badan// //kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung// //ke bintang bintang// //lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku// //untuk kuburmu alina// Tiap baris puisi di atas menggambarkan bagaimana seseorang meninggal, yaitu karena luka yang telah ngucap dalam badan, luka itu kemudian membawanya ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung// ke bintang bintang. Selanjutnya dalam kubur lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku.

Selain itu terdapat juga citraan gerak pada baris kedua //kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung// . Citraan gerak ini

commit to user

//lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku// juga terdapat citraan gerak yang ditandai dengan kata menggali.

Bait kedua juga didominasi dengan citraan penglihatan. //untuk kuburmu alina// //aku menggaligali dalam diri// //raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam// //menyeka matari membujuk bulan// //teguk tangismu alina//

Citraan gerak juga muncul pada baris kedua, ketiga dan keempat.Kata pergi merupakan kata kunci adanya citraan gerak dalam bait di bawah ini. //sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur// //laut pergi ke awan membawa kubur-kubur// //awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur// //hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga//

Secara keseluruhan puisi Perjalanan Kubur didominasi oleh citraan penglihatan dan citraan gerak. Adanya citraan dalam sebuah karya sastra akan membantu penikmat karya tersebut untuk menyelami dan masuk ke dalam dunia yang diciptakan oleh penyair.

commit to user

semua orang membawa kapak semua orang bergerak pergi menuju langit semua orang bersiapsiap nekat kalau tak sampai langit mengapa tak ditebang saja mereka bilang langkahlangkah mereka menggeram dan bersamasama bergegar pula kapakkapak mereka pukimak aku tak bisa tidur mimpi tertakik dan ranjang betah

1. Gaya Bunyi Puisi Kapak merupakan puisi bebas yang terdiri dari satu bait. Sebagai puisi bebas maka puisi ini tidak terikat oleh rima. Namun demikian, bunyi yang dihasilkan dari susunan kata dalam tiap baris tetap diperhatikan sehingga dihasilkan aliterasi dan asonansi yang menciptakan irama dalam puisi.

Asonansi yang terdapat dalam puisi Kapak adalah: //semua orang membawa kapak//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/. //semua orang bergerak pergi//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/. //semua orang bersiapsiap nekat//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/. //kalau tak sampai langit//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //mengapa tak ditebang saja//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/.

commit to user

//langkahlangkah mereka menggeram//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /e/. //dan bersamasama bergegar pula//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /e/. //kapakkapak mereka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //pukimak aku tak bisa tidur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /i/ dan /a/. //mimpi tertakik//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/. //dan ranjang betah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. Paduan bunyi konsonan atau aliterasi yang terdapat dalam puisi tersebut adalah: //semua orang membawa kapak//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/. //semua orang bergerak pergi//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/. //semua orang bersiapsiap nekat//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/ dan /r/. //kalau tak sampai langit//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /l/ dan /t/. //mengapa tak ditebang saja//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/. //langkahlangkah mereka menggeram//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /m/ dan /r/. //dan bersamasama bergegar pula//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/ dan /r/. //kapakkapak mereka//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. //pukimak aku tak bisa tidur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/ dan /t/. //dan ranjang betah//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /n/.

commit to user

dengan irama yang penuh semangat. Bunyi vokal /a/ juga memberikan penekanan suasana tertentu yang terjadi dalam puisi.

2. Gaya Kata Kata-kata yang digunakan dalam puisi di atas merupakan kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut didominasi oleh makna denotatif. Namun demikian kejelian pembaca dalam mencerna dan menilai kata dengan sudut pandang yang lain turut menentukan kedalaman makna dari puisi tersebut.

Majas yang dipergunakan dalam puisi Kapak antara lain majas sinekdoke totum pro parte yang terdapat dalam baris pertama, kedua dan keempat. //semua orang membawa kapak//semua orang bergerak pergi//semua orang bersiapsiap nekat// , kata “semua” merupakan kata kunci adanya majas sinekdoke totum pro parte.

Selanjutnya terdapat majas metafora pada baris //mimpi tertakik//. Mimpi dalam larik tersebut diibaratkan seperti benda nyata yang bisa tertoreh dalam ingatan seseorang. Majas personifikasi juga ditemukan dalam puisi ini. Pada baris //dan ranjang betah//, ranjang dikiaskan mempunyai sifat seperti manusia yaitu

“betah” yang berarti nyaman dengan keadaan yang sedang dialami. Kata betah juga merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa Jawa.

Secara keseluruhan majas yang terdapat dalam puisi ini adalah sinekdoke totum pro parte, metafora dan personifikasi. Penggunaan majas yang minimal jumlahnya dimungkinkan karena kata yang digunakan juga sederhana dan bermakna denotatif.

3. Gaya Kalimat Struktur kalimat yang digunakan dalam puisi Kapak didominasi oleh struktur kalimat yang sederhana. Bentuk kalimat yang terdapat dalam larik-larik puisi ini merupakan kalimat deklaratif. Larik dalam puisi ini menceritakan tentang

commit to user

yang mampu menebang segala angkara murka tersebut. Sarana retorika yang terdapat dalam puisi Kapak antara lain adalah gaya bahasa repetisi atau pengulangan, yaitu pada baris pertama, kedua dan keempat. Kata yang diulang adalah semua orang. Pengulangan merupakan salah satu ciri khas puisi-puisi Sutardji. Selain sebagai penegas makna, pengulangan kata juga akan menimbulkan efek mantera pada puisi.

Selanjutnya adalah pertanyaan retoris pada baris keenam //mengapa tak ditebang saja //. Kata tanya mengapa menunjukkan adanya sarana retorika yang berupa erotesis atau pertanyaan retoris dalam baris tersebut.

Dalam puisi ini, sarana retorika yang digunakan sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena struktur kalimatnya yang sederhana. Meskipun demikian, sarana retorika yang menjadi ciri khas Sutardji yaitu repetisi dan pertanyaan retoris tetap digunakan.

4. Citraan Pemahaman terhadap sebuah karya sastra akan menjadi lebih mudah dilakukan apabila pembaca mampu menangkap dan menginterpretasikan citraan atau gambar angan yang dihadirkan oleh penyair. Pengarang mengeksploitasi segenap potensi bahasa melalui citraan untuk menggambarkan objek, tindakan, pikiran dan pengalaman indera untuk menimbulkan daya pikat bagi pembaca.

Puisi Kapak diciptakan dengan beberapa citraan yang dihadirkan di dalamnya, yaitu: //semua orang membawa kapak//

Baris pertama membangkitkan citraan penglihatan. Pembaca akan dibawa pada suasana dimana banyak orang membawa kapak. //semua orang bergerak pergi// //menuju langit//

Dalam dua baris di atas muncul citraan gerak yang dapat ditangkap melalui kata kunci bergerak pergi dan menuju.

commit to user

//dan bersamasama bergegar pula// //kapakkapak mereka//

Baris-baris di atas mengandung citraan pendengaran. Kata menggeram dan bergegar membangkitkan tanggapan indera pendengaran. Baris di atas menggambarkan suasana banyak orang berjalan dengan geram sehingga derap langkahnya terdengar jelas serta kapak yang dibawanya juga berbunyi karena langkah yang cepat. //pukimak aku tak bisa tidur// //mimpi tertakik// //dan ranjang betah//

Citraan perabaan muncul dalam tiga baris di atas. Kata pukimak yang mengacu pada ungkapan kekesalan yang dirasakan penyair akibat pikirannya yang meng embara sehingga mimpinya “tertakik”.

commit to user

daging coba bilang bagaimana arwah masuk badan

bagaimana tuhan dalam denyutmu

jangan diam nanti aku marah kalau kulahap kau aku enak sekejap aku sedih kau jadi taik

daging kau kawan di bumi di tanah di resah di babi babi

daging ging ging kugali gali kau buat kubur dari hari ke hari

commit to user

Puisi Daging merupakan puisi yang bertema pencarian Tuhan oleh hambanya. Pertanyaan tentang Tuhan ditujukan pada daging yang merupakan simbol jasmani. Puisi ini diungkapkan secara bebas dan tidak terikat rima. Namun demikian aspek asonansi dan aliterasi tetap diperhatikan oleh pengarangnya.

Asonansi yang terdapat dalam puisi Daging. //coba bilang//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //bagaimana arwah masuk badan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //bagaimana tuhan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //nanti aku marah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //kalau kulahap kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /au/. //aku enak sekejap//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /e/. //kau kawan di bumi di tanah di resah dibabi babi//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //ging ging//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/. //kugali gali kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //buat kubur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //dari hari//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/.

Selanjutnya aliterasi yang digunakan oleh penyair terdapat dalam baris: //coba bilang//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/. //bagaimana arwah masuk badan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/, /m/ dan /n/. //bagaimana tuhan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /n/. //dalam denyutmu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/ dan /m/. //kalau kulahap kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/ dan /l/. //aku enak sekejap//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. //kau jadi taik//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. //kau kawan di bumi di tanah di resah di babi babi//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /d/, /b/ dan /h/. //ging ging//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /g/ dan /ng/.

commit to user

/l/. //buat kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/. //dari hari//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/.

Bunyi vokal /a/ yang mendominasi menimbulkan irama riang. Walaupun demikian, secara keseluruhan yang muncul adalah kakafoni. Adapun kata-kata yang menimbulkan suasana sedih, parau dan aneh adalah kata marah, sedih dan resah.

2. Gaya Kata Kepiawaian Sutardji dalam mengolah kata dan membuat kata yang biasa saja menjadi unik dan menghasilkan bentuk kata baru yang lebih segar tidak perlu diragukan lagi. Dalam puisi ini, kata-kata yang digunakan merupakan kata dengan makna denotatif. Akan tetapi kata yang sederhana tersebut mampu menjadi kata dengan makna yang lebih dalam dan luas dari makna asalnya.

Penggunaan kata yang bernilai denotatif mendominasi diksi dalam puisi ini. Kata denotatif yang dipilih menjadikan puisi ini tidak diperkaya dengan bahasa figuratif yang biasanya digunakan sebagai salah satu pendukung tercapainya aspek estetika sebuah puisi.

Bahasa kias atau majas bahkan tidak terdapat dalam puisi Daging. Setiap kata dibiarkan bebas seakan-akan hanya bermakna denotatif. Keindahan dan kedalaman makna hanya dapat diperoleh apabila pembaca menikmati dan mengkaji puisi tersebut secara mendalam. Secara keseluruhan, diksi dalam puisi ini terlihat biasa dan tidak ada yang istimewa. Keistimewaan kata dalam puisi ini dapat dilihat apabila pembaca mampu masuk ke dalam dunia pemikiran penyairnya.

3. Gaya Kalimat Struktur kalimat sederhana mendominasi puisi ini. Kalimat yang terdapat dalam larik-larik puisi ini lebih menyerupai dialog satu arah antara penyair dengan seseorang. Seseorang tersebut bisa merupakan pembaca atau yang lain.

commit to user

repetisi dan erotesis atau pertanyaan retoris. Repetisi terdapat pada kata “daging” yang diulang sampai tiga kali. Daging dalam puisi ini merupakan tokoh sentral yang dipilih oleh penyair.

Selanjutnya adalah pertanyaan retoris atau erotesis yang terdapat pada baris //bagaimana arwah masuk badan//dan//bagaimana tuhan dalam denyutmu//. Penggunaan gaya bahasa erotesis ditandai dengan adanya kata tanya bagaimana.

Larik dalam puisi ini didominasi oleh kalimat tanya. Tema dalam puisi ini adalah Ketuhanan. Dalam puisi ini, penyair seolah-olah berdialog dengan daging, yang bisa dimaknai sebagai wujud jasmani seseorang. Penyair mengajak pembacanya untuk kembali ke fitrahnya sebagai makhluk Tuhan melalui pertanyaan bagaimana Tuhan meniupkan arwah ke dalam tubuh, menghidupkan makhluk ciptaannya. Pertanyaan tersebut membangkitkan kesadaran manusia bahwa dia adalah makhluk lemah.

4. Citraan Citraan atau gambar angan dalam sebuah karya sastra berperan dalam membentuk gambaran mental, menimbulkan pembayangan imajinatif, serta yang paling penting untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam diri pembaca. Citraan melukiskan kualitas indera yang digunakan dalam karya sastra.

Dalam puisi Daging ini, Sutardji menggunakan beberapa citraan untuk mendukung kekuatan puisi agar mampu membangkitkan daya imajinasi pembaca. //daging// //coba bilang// //bagaimana arwah masuk badan// //bagaimana tuhan// //dalam denyutmu//

Bait pertama dan kedua di atas mengandung citraan intelektual. Penggunaan kalimat tanya akan merangsang pemikiran pembaca untuk membayangkan jawabannya. Pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan

commit to user

pandang yang lain. //jangan diam// //nanti aku marah//

Dua baris di atas membangkitkan citraan pendengaran. Hal ini dapat ditangkap karena baris tersebut menyerupai dialog, sehingga pembaca seolah-olah diajak berbicara oleh penyair. //kalau kulahap kau// //aku enak sekejap//

Dalam baris di atas muncul citraan pengecapan. Kata kulahap dan enak merupakan kata kunci yang dapat membangkitkan imajinasi pembaca terhadap rasa “enak” yang biasanya diterima oleh lidah (indera pengecapan). //kau jadi taik//

Citraan yang muncul adalah citraan penglihatan. Asosiasi yang timbul adalah bayangan mengenai wujud taik atau kotoran yang dihasilkan dari proses pencernaan. //daging// //ging ging// //kugali gali kau// //buat kubur// //dari hari// //ke hari//

Citraan yang muncul dalam bait di atas adalah citraan gerak. Gerakan yang dimaksud adalah gerakan yang ditimbulkan akibat proses menggali dalam baris //kugali gali kau//.

commit to user

sejak kapan sungai dipanggil sungai sejak kapan tanah dipanggil tanah sejak kapan derai dipanggil derai sejak kapan resah dipanggil resah sejak kapan kapan dipanggil kapan sejak kapan kapan dipanggil lalu sejak kapan akan dipanggil akan sejak kapan akan dipanggil rindu sejak kapan ya dipanggil tak sejak kapan tak dipanggil mau sejak kapan tuhan dipanggil tak sejak kapan tak dipanggil rindu?

1. Gaya Bunyi Sejak merupakan puisi dengan tema pencarian seseorang terhadap Tuhan. Pencarian itu dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang jawabannya bermuara pada asal mula segala sesuatu. Puisi ini terdiri dari satu bait yang terdiri dari 12 baris. Seperti pada puisi-puisi sebelumnya, puisi ini juga menonjolkan asonansi dan aliterasi dalam baris-barisnya.

Asonansi yang terdapat dalam puisi ini adalah: //sejak kapan sungai dipanggil sungai//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //sejak kapan tanah dipanggil tanah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan derai dipanggil derai//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /ai/. //sejak kapan resah dipanggil resah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/.

commit to user

vokal /a/. //sejak kapankapan dipanggil lalu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan akan dipanggil akan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan akan dipanggil rindu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //sejak kapan ya dipanggil tak//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan tak dipanggil mau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan tuhan dipanggil tak//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan tak dipanggil rindu?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/.

Aliterasi yang digunakan dalam puisi Sejak ini adalah: //sejak kapan sungai dipanggil sungai//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/, /k/, /p/ dan /ng/. //sejak kapan tanah dipanggil tanah//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/, /t/, /n/ dan /h/. //sejak kapan derai dipanggil derai//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/, /d/ dan /r/. //sejak kapan resah dipanggil resah//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/, /k/, /p/, /r/ dan /h/. //sejak kapan kapan dipanggil kapan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/ dan /r/. //sejak kapan kapan dipanggil lalu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/, /n/ dan /l/. //sejak kapan akan dipanggil akan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/ dan /n/.

commit to user

konsonan /k/, /p/, /n/ dan /d/. //sejak kapan ya dipanggil tak//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/ dan /p/. //sejak kapan tak dipanggil mau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. //sejak kapan tuhan dipanggil tak//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /n/ dan /t/. //sejak kapan tak dipanggil rindu?//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/ dan /n/.

Pada puisi ini bunyi vokal /a/ mendominasi. Selain menambah nilai estetik, bunyi vokal /a/ juga digunakan penyair untuk memperoleh efek suasana tertentu. Akan tetapi bunyi konsonan /k/ yang lebih dominan menimbulkan efek kakafoni. Dalam hal ini suasana yang ditimbulkan adalah suasana kacau, bingung dan risau terhadap pencarian tersebut.

2. Gaya Kata Diksi atau pilihan kata yang dipergunakan pengarang dalam karyanya akan menentukan kedalaman makna dan efek-efek tertentu. Oleh karena itu, para penyair biasanya akan menyeleksi kata dengan cermat, sehingga kata yang digunakan dalam karyanya selain dapat menyampaikan makna dengan tepat juga mampu menciptakan efek keindahan.

Dalam puisi Sejak, diksi yang dipergunakan pengarang terdiri dari kata- kata yang lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dan bermakna denotatif. Misalnya saja kata sungai, tanah, resah, rindu, dan sebagainya. Kata- kata yang bermakna denotatif tersebut dipilih dan dirangkai dengan pertimbangan tertentu dari penyair. Walaupun puisi ini didominasi oleh kata yang bermakna denotatif, akan tetapi setiap bait mampu menyampaikan gagasan pengarangnya.

Penggunaan kata denotatif yang lebih dominan menjadikan puisi ini tidak diperkaya dengan bahasa figuratif. Majas yang biasanya menjadi kekuatan dalam sebuah puisi sama sekali tidak dipergunakan oleh Sutardji. Sebagai gantinya, dia

commit to user

dalam puisi tersebut.

3. Gaya Kalimat Kalimat yang menjadi baris-baris puisi Sejak merupakan kalimat dengan struktur sederhana. Ditinjau dari bentuknya, larik-larik dalam puisi ini merupakan kalimat tanya. Secara keseluruhan sarana retorika yang digunakan dalam puisi ini sama dengan puisi sebelumnya.

Gaya bahasa yang paling mendominasi adalah gaya bahasa repetisi atau pengulangan. Kata sejak kapan digunakan pada semua baris dan diletakkan pada awal tiap baris. Selanjutnya kata dipanggil juga muncul pada setiap baris. Pengulangan menjadi ciri khas puisi-puisi Sutardji. Selain sebagai penegas makna, pengulangan kata juga akan menimbulkan efek mantera pada puisi.

Erotesis atau pertanyaan retoris juga digunakan pada setiap baris Puisi Sejak . Penggunaan gaya bahasa ini ditandai dengan adanya kata tanya kapan pada setiap lariknya dan penggunaan tanda tanya sebagai penutup baris terakhir.

Dalam puisi ini timbul kesatuan makna antar larik. Kohesi leksikal terjalin melalui penggunaan gaya bahasa repetisi atau pengulangan. Kepaduan antar larik membuat puisi ini lebih mudah diinterpretasikan oleh pembacanya.

4. Citraan Kehadiran gambar angan dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu sarana pendukung diterimanya pesan dengan baik oleh pembacanya. Pemilihan kata-kata yang mampu membangkitkan tanggapan indera inilah yang disebut dengan gambar angan atau citraan. Dalam puisi Sejak penyair juga menggunakan beberapa citraan untuk membangkitkan daya bayang pembaca.

Puisi Sejak didominasi dengan citraan intelektual, hal ini dapat dilihat dari pemilihan kata serta bentuk kalimat yang merupakan kalimat tanya. Baris-baris puisi yang berisi pertanyaan yang tidak biasa, yaitu pertanyaan yang mengarah pada asal mula kehidupan. Penggunaan kalimat tanya mampu merangsang pemikiran pembaca untuk menafsirkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan.

commit to user

pertama dan kedua. //sejak kapan sungai dipanggil sungai//sejak kapan tanah dipanggil tanah// Selain membangkitkan citraan intelektual yang mengasosiasikan asal mula sungai dan tanah, kedua baris tersebut akan membangkitkan daya bayang pembaca mengenai wujud sungai dan tanah.

Selanjutnya ada citraan pendengaran pada baris //sejak kapan derai dipanggil derai //. Kata derai merupakan tiruan bunyi titik-titik air hujan yang menjadi kata kunci adanya citraan pendengaran.

commit to user

No.

Judul

Aspek Stilistika

Temuan

1. Mantera

Gaya Bunyi

Asonansi, aliterasi

Gaya Kata

Denotatif, bahasa daerah, kata bilangan, sinekdoke pars pro toto

Gaya Kalimat Sederhana, imperatif (kalimat

Gaya Bunyi

Asonansi, aliterasi, kakafoni

Gaya Kata

Denotatif, personifikasi, hiperbola Gaya Kalimat Sederhana, repetisi, polisindeton, erotesis (pertanyaan retoris)

Citraan

Penglihatan, perabaan, gerak,

pendengaran

3. O

Gaya Bunyi

Asonansi, aliterasi, kakafoni

Gaya Kata

Denotatif, bahasa daerah Gaya Kalimat Sederhana, penggabungan kata

4. Perjalanan Kubur Gaya Bunyi

Asonansi, aliterasi, kakafoni

Gaya Kata

Denotatif, penghilangan imbuhan, personifikasi

Gaya Kalimat Sederhana, deklaratif, repetisi,

klimaks

Citraan

Penglihatan, gerak

5. Kapak

Gaya Bunyi

Asonansi, aliterasi

Gaya Kata

Denotatif, sinekdoke totum pro parte, metafora, personifikasi

Gaya Kalimat Sederhana, erotesis (pertanyaan

retoris), repetisi

Citraan

Penglihatan, gerak, pendengaran, perabaan.

6. Daging

Gaya Bunyi

Asonansi, aliterasi, kakafoni

Gaya Kata

Denotatif

Gaya Kalimat Sederhana, erotesis (pertanyaan

retoris), repetisi

Citraan

Intelektual,

pendengaran, pengecapan, penglihatan, gerak.

7. Sejak

Gaya Bunyi

Asonansi, aliterasi, kakafoni

Gaya Kata

Denotatif

Gaya Kalimat Sederhana, erotesis (pertanyaan

commit to user

Citraan

Intelektual,

penglihatan,

pendengaran

commit to user