HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Geologi Daerah Penelitian
Berdasarkan pemetaan geologi permukaan, situasi geologi daerah penelitian terdiri dari 4 satuan endapan, yakni endapan limbah banjir, endapan bendung sungai, endapan pantai, dan endapan gumuk pasir (Gambar 18). Kondisi fisik material endapan didominasi oleh endapan yang belum mengalami kompaksi dan relatif berumur Kuarter (Rahardjo dkk., 1995).
Peta Geologi Kuarter daerah penelitian memberi informasi proses sedimentasi lokal permukaan. Kondisi geologi permukaan ini memperlihatkan bagaimana proses endapan pantai, endapan angin (eolian), sungai (fluvial), dan estuari menghasilkan sistem lingkungan pengendapan yang kompleks. Material endapan di daerah penelitian yang berumur Kuarter dan merupakan hasil proses endapan natural yang relatif belum kompak sangat rentan terlikuifaksi. Selain itu, letak lokasi daerah penelitian, relatif tidak jauh (kurang lebih 15 km ke arah barat) dari pusat gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006.
Bagian barat daerah penelitian atau di sekitar Krajan hingga Sungai Progo, proses sedimentasi dan erosi permukaan lebih dominan terkontrol oleh proses fluvial di bagian Utara, lalu berangsur-angsur mengalami kombinasi dengan proses estuari yang berkembang di muara Sungai Progo. Daerah Pandansimo hingga ke Karang berkembang proses sedimentasi pada sistem pantai yang setempat terendapkan gumuk pasir hasil endapan khas eolian.
60
Gambar 18. Peta Geologi Kuarter Daerah Penelitian
Sedangkan dari Kwaru ke Utara, proses erosi permukaan lebih didominasi oleh sistem alluvial yang ditandai dengan tingkat pelapukan material endapan menjadi tanah, disertai limpasan air permukaan sebagai media transport.
5.2 Fasies dan Sedimentasi Endapan
Analisis fasies sedimentasi menggunakan kombinasi metode geologi bawah permukaan dengan pemetaan geologi permukaan yang dibantu perangkat lunak Rock Work dan visualisasinya dibantu perangkat lunak Corel Draw. Berdasarkan data bor pada uji SPT, peneliti menginterpretasi fasies yang berkembang pada suksesi tiap-tiap titik bor, kemudian melakukan korelasi antar titik bor (Gambar 19).
Fasies yang berkembang pada BH3 dari dimulai dengan asosiasi fasies laut dangkal dengan ketebalan 20 meter, lalu berkembang asosiasi fasies pantai dengan ketebalan mencapai 8 meter, di atasnya diendapkan fasies fluvial dengan ketebalan
7 meter, dan asosiasi fasies fluvial dengan ketebalan 15 meter. Fasies yang berkembang pada BH2 diawali dengan diendapkannya fasies laut dangkal dengan ketebalan mencapai 20 meter, kemudian berkembang asosiasi fasies pantai yang diendapkan dengan ketebalan 30 meter.
Dalam studi likuifaksi ini, peneliti lebih fokus pada fasies yang berkembang pada ketebalan 30 meter dari permukaan tanah sesuai dengan batasan metode estimasi likuifaksi yang digunakan dalam penelitian ini. Fasies yang berkembang pada BH4 diawali dengan asosiasi fasies laut dangkal dengan ketebalan 20 meter,
Dominasi proses fluvial menghasilkan jenis endapan yang lebih rentan terhadap potensi likuifaksi karena karakter fisik endapan fluvial yang cenderung memiliki sortasi baik. Selain sortasi, kehadiran fraksi halus (fines content) yang kurang dari 5 persen memperbesar kerentanan likuifaksi. Kombinasi proses fluvial dan alluvial yang berkembang dari Desa Krajan hingga Kwaru perlu mendapat pertimbangan akan kemungkinan hadirnya pocket-pocket endapan yang rentan terlikuifaksi.
Korelasi fasies pada BH4 dan BH2 seperti pada Gambar 21, memberi informasi dominasi proses pantai dan eolian di sepanjang bagian timur Pantai Pandansimo hingga ke muara Sungai Progo yang lebih berkembang fasies estuari. Kemenerusan sebaran fasies pantai dan eolian menuntut pertimbangan lebih terhadap potensi likuifaksi. Kombinasi proses pantai dan eolian yang berkembang sepanjang Pantai Pandansimo menghasilkan tipe endapan yang relatif memiliki material halus (fines content) kurang dari 10 persen. Dominasi butiran kasar
(coarser grain) mempengaruhi tingkat kerentanan tipe sedimen terhadap likuifaksi.
Korelasi fasies endapan pada BH3 ke BH4 seperti pada Gambar 22, menunjukkan variasi dan kombinasi proses sedimentasi yang cukup kompleks. Asosiasi fasies fluvial berkembang secara lateral hingga jarak 1 kilometer ke arah muara Sungai Progo. Dari muara Sungai Progo, proses estuari mendominasi sedimentasi sekitar 600 meter ke arah Utara. Perubahan proses sedimentasi secara lateral berpengaruh pada kehadiran material halus, terutama pada fasies estuari yang mengendapkan endapan pada situasi energi pengendapan relatif lemah.
64
Gambar 19. Peta Lokasi Cross Section antar titik bor.
Skala Horizontal = 12,8 Skala Vertikal
Gambar 20 . Korelasi fasies bawah permukaan antara BH-3 dengan BH-2
Skala Horizontal = 16 Skala Vertikal
Gambar 21. Korelasi fasies bawah permukaan antara BH-4 dengan BH-2
Skala Horizontal = 8 Skala Vertikal
Gambar 22 68 . Korelasi fasies bawah permukaan antara BH-3 dengan BH-4
5.3 Analisis Pemicu Likuifaksi
Studi potensi bahaya likuifaksi pada penelitian ini diawali dengan mengajukan dua pertanyaan yakni, (1) Apakah likuifaksi bisa dipicu oleh karakter seismik (ground motion) di daerah penelitian? (2) Apa potensial konsekuensi yang akan dialami oleh lapisan tanah setelah likuifaksi terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, analisis pemicu likuifaksi dimulai dengan mengkaji serta mendiskusikan situasi geologi (alami) yang ada pada daerah penelitian. Pertama, peneliti mempertimbangkan dan perlu mengetahui kondisi muka airtanah. Metode yang dipakai adalah dengan melakukan esktrapolasi data muka airtanah dari uji SPT pada masing-masing titik bor kemudian membuat peta muka airtanah. Prosedur atau langkah-langkah yang diadopsi untuk membuat peta muka airtanah mengikuti metode yang dikembangkan oleh Tolman, 1937. Dengan metode itu, peneliti menghasilkan peta muka airtanah seperti pada Gambar 18. Pada peta muka airtanah ini, situasi muka airtanah cenderung dangkal atau kurang dari 10 meter dari permukaan dengan tren yang mendangkal ke arah BH3 (Gambar 23). Tren muka airtanah ini merupakan salah satu skenario muka airtanah sesuai dengan waktu akuisisi data melalui pemboran inti dan jumlah titik bor yang dilakukan. Semakin banyak jumlah titik bor inti maka kontrol dan kualitas esktrapolasi muka airtanah tentu semakin baik. Situasi muka airtanah daerah penelitian juga bisa dilihat pada korelasi titik bor (Gambar 20, 21, dan 22) untuk mengetahui hubungan antara fasies dengan kondisi kedalaman muka airtanah.
69
Gambar 23. Peta Kedalaman Muka airtanah untuk skenario MAT dari data bor inti di daerah penelitian.
Kedua, berdasarkan informasi kondisi geologi yang secara spesifik dijelaskan dan didiskusikan pada bagian fasies dan kondisi muka airtanah, peneliti membuat peta kerentanan bahaya potensi likuifaksi seperti pada Gambar 24. Pembuatan peta potensi kerentanan tersebut mengikuti prosedur pemetaan kerentanan likuifaksi oleh Youd dan Perkins, 1978 dan Youd dkk., 1979.
Berdasarkan peta kerentanan tersebut, ada 3 zona kerentanan likuifaksi di daerah penelitian. Pertama, zona kerentanan rendah, pada daerah dengan situasi muka airtanah 5 hingga 7 meter dari permukaan tanah. Zona kedua adalah zona kerentanan sedang yang mencakup wilayah dengan kondisi muka airtanah 3 hingga 5 meter dari permukaan tanah. Ketiga, zona kerentanan tinggi mencakup daerah dengan muka airtanah 1 hingga 3 meter dari permukaan tanah.
71
Gambar 24. Peta Kerentanan Likuifaksi di Daerah Penelitian
Peta kerentanan likuifaksi ini merupakan kompilasi informasi terkait tipe sedimen yang relatif mudah mengalami likuifaksi saat gempabumi dengan kekuatan seismik merusak terjadi. Informasi situasi geologi Kuarter dengan interpretasi fasies sedimen, dan kondisi muka airtanah, dapat dioptimalkan untuk mengidentifikasi tipe sedimen yang rentan terlikuifaksi (Youd dan Perkins, 1978) dan merupakan data penting yang tercakup dalam kompilasi untuk membuat sebuah peta kerentanan likuifaksi.
Pada proses kompilasi untuk menghasilkan peta kerentanan likuifaksi tersebut (Gambar 24), data geologi bawah permukaan yang diakuisisi saat uji SPT, diproyeksi ke permukaan untuk mengontrol lineasi zona kerentanan, sehingga situasi muka airtanah bukan menjadi kontrol tunggal. Informasi pola aliran sungai pada peta kerentanan nantinya sangat mendukung kajian potensi likuifaksi pada skala yang lebih detail.
Setelah melakukan kajian kerentanan, tahap selanjutnya ialah menganalisis pemicu likuifaksi untuk setiap lubang bor uji SPT. Analisis pemicu likuifaksi diperlukan sebagai uji empiris untuk mengetahui dampak karakter seismik beserta sifai-sifat mekanika tanah (dalam hal ini terminologi “tanah” merujuk pada terminologi dalam konteks geotechnical earthquake engineering oleh Day, 2012) terhadap potensi bahaya likuifaksi. Analisis ini mengoptimalkan keunggulan uji SPT yang tidak bisa dilakukan oleh jenis akuisisi data analisis pemicu likuifaksi yang lain, misalnya CPT, BPT, large penetrometer test (LPT), dan shear wave
Idriss dan Boulanger (2008), menyatakan proses yang terjadi secara alami di lapangan (misalnya, tekanan air pori berlebih yang disebabkan oleh tegangan siklik gempa) tidak tereplika pada uji di laboratorium (seperti triaxial test atau simple shear test), namun uji laboratorium adalah fragmen yang berimplikasi penting dalam desain konstruksi. Bertumpu dari pemahaman tentang pentingnya uji laboratorium tersebut, uji SPT masih menjadi salah satu metode yang diperlukan dalam kajian potensi bahaya likuifaksi mendampingi jenis akuisisi data yang lain.
Hasil analisis pemicu likuifaksi pada masing-masing titik uji SPT (Gambar
25, 26, dan 27) memberi informasi faktor keamanan (FS liq ) yang dikompilasi dengan tren SPT N 60 , tren fine content, serta tren CRR dan CSR. Peneliti menggunakan skenario analisis pemicu likuifaksi pada magnitude gempabumi 6.3 Mw untuk percepatan puncak (a max ) 0,40g dengan probabilitas periode ulang gempa 50 tahun. Gempabumi dengan skala 6,3 Mw merupakan gempabumi berdampak merusak terakhir yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006 (Karnawati dkk., 2008). Sedangkan 0,40g adalah nilai maksimal percepatan puncak muka tanah Yogyakarta (Irsyam dkk., 2010).
Analisis pemicu likuifaksi pada BH2 (Gambar 25) dengan situasi muka airtanah 5,5 meter dari permukaan tanah menunjukkan zona lemah pada kedalaman 13 hingga 22 meter. Zona lemah dalam konteks likuifaksi ditentukan
Gambar 25. Analisis pemicu likuifaksi pada BH2 untuk skenario 6,3 Mw dan 0,40g.
Pada BH3 (Gambar 26), dengan kondisi muka airtanah relatif sangat dangkal, 1,5 meter dari permukaan, zona lemah terbagi dalam 3 segmen, yakni pertama kedalaman 3 hingga 6 meter. Zona kedua, pada kedalaman 11 hingga 14 meter, dan zona lemah ketiga pada kedalaman 25 hingga 30 meter. Untuk skenario BH4 (Gambar 27), dengan situasi muka airtanah 7 meter dari permukaan tanah, zona lemah terestimasi pada kedalaman 12 hingga 20 meter. Jumlah segmen zona
Gambar 26. Analisis pemicu likuifaksi pada BH3 untuk skenario 6,3 Mw dan 0,40g.
Jumlah segmen zona lemah pada suatu kolom uji SPT juga merepresentasi respons tanah terhadap beban siklik gempabumi yang bekerja. Bila membandingkan respons tanah pada BH2, BH3, dan BH4, potensi terbesar ditunjukkan pada BH3 karena memiliki zona lemah lebih banyak. Meski demikian, respons tanah pada BH2 dan BH4 tetap saja perlu dipertimbangkan, terutama jika
zona lemah itu cukup tebal. Jika mengacu pada tren SPT N 60 , densitas atau tingkat kekompakan sedimen relatif berubah eksponensial terhadap kedalaman, namun tren fines pada BH3 dan BH4 lebih sensitif terhadap potensi likuifaksi.
Gambar 27. Analisis pemicu likuifaksi pada BH4 untuk skenario 6,3 Mw dan 0,40g.
Nilai dan tren SPT N 60 memberi informasi situasi kekompakan sedimen (densitas tanah), meski pada kasus lempung, nilai SPT N 60 akan menunjukkan
gejala abnormal. Secara alami, proses litifikasi dan umur sedimen akan menambah
kekompakan sedimen. Pada BH2, tren SPT N 60 pada kedalaman 10 hingga 16
meter relatif konservatif terhadap kedalaman. Hal yang sama juga terjadi pada tren
SPT N 60 di BH4 pada kedalaman 7 hingga 16 meter. Untuk BH3, tren SPT N 60
relatif normal, meski pada kedalaman 7 meter, tren tiba-tiba berubah dengan
selisih yang cukup signifikan. Selain material lempung, keganjilan nilai SPT N 60
seperti ini biasanya merupakan respons nilai uji SPT terhadap material keras dengan ukuran yang cukup besar dibandingkan dengan komposisi ukuran butir
Tren fines cenderung dipengaruhi oleh perubahan fasies sedimen. Pada fasies sedimen dengan energi pengendapan lemah, (misalnya fasies estuari, tanggul sungai (levee) dan gumuk pasir) akumulasi material yang lebih halus berkontribusi terhadap tren fines (Lowe, 1975, Blatt dkk., 1980, dan Kramer, 1996). Konten fines pada BH4 (Gambar 27) dan BH2 (Gambar 25) sangat jelas memperlihatkan hubungan ini, di mana pada fasies estuari BH4 dan fasies gumuk pasir (asosiasi fasies pantai) pada BH2, tren fines mendekati bahkan lebih besar dari 10 persen. Kehadiran fines yang lebih besar dari 10 persen memperburuk sortasi sedimen sehingga relatif lebih resisten terhadap likuifaksi (FS liq > 1,3). Untuk kasus pada BH3 (Gambar 26) fines kurang dari 5 persen, namun zona lemah tidak terjadi secara random namun terkontrol oleh tekstur fasies. Bila tekstur clast nya lebih kasar, kecenderungan zona lemah terjadi pada bagian dengan fines lebih besar.
Berbeda dengan BH3, tren CRR dan CSR pada BH2 dan BH4 lebih renggang. Pada BH3, persinggungan tren CRR dan CSR cenderung intens dan konsisten terhadap kedalaman. Overlap CSR terhadap CRR bisa menjadi zona terlemah, meski ketebalan zona ini pada tiap titik bor tidak sama. BH3 memiliki lapisan overlap lebih tebal bila dibandingkan dengan BH2 maupun BH4. Tren CRR yang lebih besar dari CSR merepresentasi rasio resistensi (ketahanan) sedimen terhadap rasio beban siklik seismik atau CSR (Day, 2012). Hal ini
Bagaimana pengaruh fasies dan karakter fisik sedimen terhadap potensi inisiasi likuifaksi akan diterangkan pada mekanisme likuifaksi. Pada keadaan normal, endapan di bawah permukaan akan menjadi subyek tekanan overburden (tegangan vertikal), sehingga sedimen masih memiliki kekuatan karena kontak antar partikel pasir (tegangan efektif) masih tinggi jika dibandingkan dengan tekanan air pori (Ishihara, 1985). Mekanisme likuifaksi diawali saat endapan yang jenuh air cenderung mengalami penyusutan volume akibat terkena tegangan geser bolak-balik (siklik) gempa bumi secara berseri. Namun, karena durasi waktu siklik yang singkat, jika dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan oleh air untuk berdisipasi (undrained), kontraksi volume tidak memungkinkan untuk terjadi saat itu juga. Untuk mempertahankan volume kontraksi endapan tetap konstan, maka perlu peralihan terhadap sistem tegangan vertikal yang bekerja. Perubahan tegangan ini terjadi dalam bentuk pengurangan tegangan vertikal yang mula-mula
79
bekerja yang diikuti bertambahnya kekuatan tekanan air pori yang sama dengan porsi tegangan vertikal yang hilang. Selanjutnya, bertambahnya tekanan air pori akan bergantung pada kemas sedimen yang mengindikasi adanya potensi kecenderungan pengurangan volume dan pada sejauh mana endapan pasir mengalami geser (sheared) secara perlahan-lahan , di mana tekanan air pori akan berkurang seiring dengan proses pergeseran. Pada kondisi endapan yang sangat lepas (loose) dan kekuatan kuat geser cukup besar, tekanan air pori akan mencapai level maksimum hingga setara dengan tegangan vertikal mula-mula. Pada kondisi ini, tidak terjadi lagi tegangan efektif dan tiap individu partikel akan terlepas dari dari ikatan semula sehingga akan mengambang di dalam air. Kondisi ini disebut likuifaksi sesuai dengan yang disimpulkan Ishihara (1985) dan Castro (1987). Dalam situasi terlikuifaksi, individu partikel pasir mulai mengendap dan mendesak air ke atas, lalu terendapkan dalam kondisi sedimen yang lebih padat. Hal ini relatif sama dengan mekanisme yang diusulkan oleh Ishihara (1985).
Fasies dan karakter fisik seperti ukuran butir pasir akan mempengaruhi potensi likuifaksi. Dalam keadaan jenuh air karakter pasir kasar dengan bentuk butir relatif menyudut, seperti fasies pematang pantai akan memiliki kuat geser (shear strength) lebih besar dan bidang kontak antar partikel lebih panjang (long contact) sehingga tidak mudah mengalami geser (sheared) dan terkonsolidasi jika dibandingkan dengan endapan pasir berbutir pasir sedang hingga pasir halus dengan bentuk butir relatif membundar seperti pada fasies fluvial, fasies gumuk
Pada kondisi durasi tegangann siklik yang panjang, kuat tegangan siklik yang besar, dan semakin halus butiran pasir yang menyusun suatu endapan, maka akan terjadi situasi likuifaksi yang lama (Ishihara, 1985).
81
Gambar 28. Kesebandingan analisis pemicu likuifaksi dengan fasies BH-2. Zona berwarna kuning adalah zona kandidat terlikuifaksi pada skenario gempa 6,3 Mw dan a max = 0,4g.
82
Gambar 29. Kesebandingan analisis pemicu likuifaksi dengan fasies BH-3. Zona berwarna kuning adalah zona kandidat terlikuifaksi pada skenario gempa berkekuatan 6,3 Mw dan a max = 0,4g
83
Gambar 30. Kesebandingan analisis pemicu likuifaksi dengan fasies BH-4. Zona berwarna kuning adalah zona kandidat terlikuifaksi pada skenario gempa 6,3 Mw dan a max = 0,4g
84
Gambar 31. Korelasi Zona Lemah antara BH3 dengan BH2
85
Gambar 32 . Korelasi Zona Lemah antara BH4 dengan BH2
86
Gambar 33. Korelasi Zona Lemah antara BH3 dengan BH4
87
88 Gambar 34. Diagram pagar zona potensi terlikuifaksi
5.4 Potensi Deformasi Tanah dan Mitigasi
5.4.1 Potensi Deformasi
Penilaian potensi deformasi tanah akibat likuifaksi memiliki cakupan yang luas, mulai dari karakteristik tanah (fasies sedimen), ground motion gempabumi (sejarah seismik), stratigrafi dan topografi lokasi (site). Dari uji SPT, analisis likuifaksi menghasilkan informasi tentang densitas relatif sedimen, komposisi fraksi halus (fines), umur melalui analisis stratigrafi, dan level potensi deformasi (Seed dkk., 1958, Idriss dan Boulanger, 2008 dan Day, 2012).
Pada penelitian ini, penilaian potensi deformasi atau konsekuensi akibat likuifaksi sangat mempertimbangkan nilai (N 1 ) 60 . Berdasarkan nilai (N 1 ) 60 (Seed dkk., 1985), maka level deformasi dapat diketahui pada tabel berikut:
Tabel 5. Potensi deformasi tanah berdasarkan (N 1 ) 60 (Seed dkk., 1985)
(N 1 ) 60 Potensi Deformasi
Tidak signifikan
Potensi deformasi pada BH2 termasuk pada level intermediet hingga tidak signifikan dengan nilai (N 1 ) 60 berkisar 20 hingga 30, sedimen berada pada keadaan padat sedang hingga padat (dense) (Gonzalez de Vallejo dan Ferrer, 2011). Meski beban siklik seismik pada skenario magnitude 6,3 Mw dengan 0,40g mampu menginisiasi likuifaksi pada kedalaman 13 hingga 22 meter, implikasi terhadap deformasi relatif kecil atau likuifaksi ringan.
Pada BH3, level deformasi tinggi atau likuifaksi berat berpotensi terjadi pada kedalaman 1,5 hingga 6 meter karena nilai (N 1 ) 60 berada pada rentang 0 hingga 20. Kemudian pada kedalaman 9 hingga 13 meter dengan nilai (N 1 ) 60 pada rentang 20 hingga 30, zona ini berpotensi mengalami deformasi pada level intermediet atau likuifaksi sedang. Sedangkan pada kedalaman 25 hingga 30 meter dengan nilai
(N 1 ) 60 pada rentang 20 hingga 30 berpotensi mengalami deformasi intermediet atau likuifaksi sedang. Meski terdapat selisih 3 meter pada zona likuifaksi berat (antara kedalaman 6 hingga 9 meter), namun jika skenario gempabumi dinaikkan maka level deformasi akan mempengaruhi ketebalan zona deformasi tinggi.
Untuk BH4, potensi deformasi cenderung lebih konsisten pada level intermediet atau likuifaksi sedang terutama pada kedalaman 7 hingga 17 meter dengan nilai (N 1 ) 60 pada rentang 20 - 30. Level potensi deformasi pada BH2 dan BH4 sangat dipengaruhi oleh kombinasi sejumlah faktor, antara lain fasies sedimen (yang mempengaruhi fines), level muka airtanah dan hubungan stratigrafinya. Jika dibandingkan dengan BH3, level potensi deformasi pada BH2 dan BH4 akan meninggi bila level muka airtanah naik.
Selain nilai (N 1 ) 60 , potensi deformasi yang diinisiasi oleh likuifaksi juga bisa diketahui melalui estimasi volumetric strain (%) berdasarkan Tokimatsu dan Seed, 1987 (Gambar 35). Implikasi volumetric strain adalah settlement (penurunan muka tanah). Mekanisme penurunan muka tanah terjadi akibat menyusutnya volume sedimen (contraction) setelah likuifaksi terjadi.
90
Berdasarkan metode estimasi tersebut, volumetric strain pada zona lemah BH2 di kedalaman 13 hingga 22 meter adalah mencapai 1,5 persen atau akan terjadi penurunan muka tanah sebesar 0,13 meter. Pada BH3, estimasi volumetric strain dilakukan pada 3 zona lemah, yaitu pertama pada kedalaman 3 hingga 6 meter ialah 2,5 persen, maka potensi penurunan muka tanah sebesar 0,075 meter. Kedua, pada kedalaman 11 hingga 14 meter adalah 1,5 persen, maka potensi penurunan muka tanah sebesar 0,045 meter. Ketiga, pada kedalaman 25 hingga 30 meter adalah 1,5 persen, maka potensi penurunan muka tanah sebesar 0,075 meter. Akumulasi potensi penurunan muka tanah pada BH3 adalah 0,19 meter. Pada BH4, estimasi volumetric strain dilakukan pada zona lemah di kedalaman 12 hingga 20 meter adalah 1,5 persen, maka potensi penurunan muka tanah sebesar 0,12 meter.
Gambar 35. Chart untuk estimasi penurunan muka tanah (Tokimatsu dan Seed, 1987).
Deformasi lainnya seperti lateral spread, sangat terkontrol oleh kondisi geologi dan muka airtanah (Holzer dan Bennett, 2007). Dalam penelitian ini, potensi lateral spread belum dianalisis secara detail, namun perlu kerapatan titik tes SPT yang lebih dekat, misalnya 100 meter agar korelasi fasies sedimen dan ekstrapolasi muka airtanah lebih akurat.
Bidang kontak fasies sedimen dapat dianggap sebagai bidang lemah yang potensial terhadap deformasi seperti lateral spread. Perubahan fasies sedimen akan merubah kondisi resistensi sedimen terhadap potensi deformasi. Sebagai contoh, pada korelasi fasies sedimen BH3 dengan BH2 (Gambar 20), kontak fasies asosiasi fluvial dengan alluvial, dan kontak fasies lainnya dapat dipertimbangkan saat menganalisis potensi lateral spread.
5.4.2 Mitigasi Bahaya Likuifaksi Mitigasi dalam konteks likuifaksi dan teknik gempabumi (earthquake engineering) ialah usaha meningkatkan (improvement) daya dukung tanah (Idriss dan Boulanger, 2008 dan Day, 2012).
Dalam penelitian ini, pembahasan mengenai mitigasi lebih fokus kepada alternatif metode peningkatan daya dukung tanah. Peneliti merujuk pada metode improvement yang dikembangkan oleh Mitchell, 2008. Berdasarkan metode tersebut (Gambar 36), alternatif pemilihan metode mengacu pada variasi rentang ukuran butir sedimen yang teridentifikasi pada uji granulometri di laboratorium.
Jika mengacu pada zona rentang ukuran butir terlikuifaksi pada Gambar 35, maka semua hasil uji granulometri sampel tanah pada BH2, BH3, dan BH4 (Gambar 38) pada penelitian ini masuk dalam zona yang rentan terlikuifaksi. Namun pemilihan metode perlu mempertimbangkan ketebalan zona lemah pada tiap titik bor dan faktor ekonominya.
Gambar 36. Alternatif metode improvement (Mitchell,2008)
Pada BH2 dan BH4, variasi distribusi ukuran butir relatif beragam bila dibandingkan dengan variasi ukuran butir pada BH3. Namun ketebalan zona lemah, fines content, kekompakan (N 1 ) 60 (Gambar 37), potensi penurunan muka tanah, dan level muka airtanah perlu dipertimbangkan.
Untuk BH2 dengan zona lemah pada kedalaman 13 hingga 22 meter, dengan fines kurang dari 5 persen, (N 1 ) 60 kurang dari 25, muka airtanah 5,5 meter dan
potensi penurunan muka tanah 0,13 meter, metode peningkatan yang bekerja efektif pada kedalaman ini adalah vibrocompaction.
Gambar 37. (N 1 ) 60 pada masing-masing titik bor .
Metode ini mampu meningkatkan (N 1 ) 60 (kekompakan tanah maksimal) hingga 25. Walaupun BH3 terestimasi memiliki 3 segmen zona lemah, namun zona- zona lemahnya relatif tidak tebal. Untuk zona lemah pada kedalaman 3 hingga 6
meter, dengan (N 1 ) 60 kurang dari 25 dan fines kurang dari 5 persen, perlu
ditingkatkan dengan metode vibrocompaction. Perlakuan yang sama juga perlu
Untuk BH4 dengan zona lemah pada kedalaman 12 hingga 20 meter, fines lebih variatif yaitu kurang dari 5 persen hingga lebih dari 10 persen, nilai (N 1 ) 60
yang pada zona tidak lemah juga kurang dari 25, sehingga metode peningkatan perlu memperhatikan lapisan lain yang tidak terestimasi pada analisis pemicu likuifaksi sebagai zona lemah, misalnya pada kedalaman 9 hingga 10 meter yang
memiliki nilai (N 1 ) 60 pada rentang 21 hingga 22. Metode vibrocampaction cukup sesuai untuk BH4. Ada beberapa alternatif metode peningkatan daya dukung tanah, misalnya compaction grouting dan vibro replacement stone columns. Compaction grouting memiliki keunggulan pada efektifitas kedalaman yang tak terhingga. Vibro replacement stone columns juga memiliki jangkauan kedalaman efektif hingga 30 meter.
Dalam memilih metode, disarankan untuk memperhatikan jenis metode peningkatan yang familiar terpakai oleh para praktisi (kontraktor) (Idriss dan Boulanger, 2008). Dalam penelitian ini, peneliti lebih mempertimbangkan keuntungan dari segi ekonomi. Jika dibandingkan dengan dua metode lainnya di atas, vibrocompaction lebih moderat dari sisi biaya operasional (Mitchell, 2008). Selain itu metode vibrocompaction merupakan metode yang umum digunakan dan direkomendasi untuk mitigasi bahaya likuifaksi (Day, 2012) Meski demikian,
96
97 Gambar 38 . Rentang ukuran butir dan zona potensi terlikuifaksi