KAJIAN POTENSI LIKUIFAKSI DI DAERAH PANT (2)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI S-2 TEKNIK GEOLOGI TESIS

Kajian Potensi Likuifaksi di Daerah Pantai Pandansimo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Oleh:

Restu Tandirerung 12/337537/PTK/08155 YOGYAKARTA 2017

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan berkat, kesempatan, dan kesehatan yang prima sehingga tesis dengan judul “Kajian Potensi Likuifaksi di Daerah Pantai Pandansimo, Bantul, DIY” ini terselesaikan dengan baik.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Wahyu Wilopo dan Bapak Teuku Faisal Fathani sebagai pembimbing selama penulis melakukan penelitian dan menulis tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Bapak Subagyo Pramumijoyo dan Bapak Doni Prakasa Eka Putra selaku dosen penguji dalam ujian pendadaran tesis. Tak lupa, terima kasih disampaikan kepada semua pihak dan keluarga, baik yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu proses tesis ini.

Penulis sangat berharap tesis ini sekurangnya dapat bermanfaat dalam upaya mitigasi bahaya likuifaksi dan kiranya memberi wawasan, juga pengetahuan terkait dampak bencana gempabumi dan bagaimana meminimalisir kerugian yang ditimbulkan di masa depan.

Penulis menyadari tesis ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran demi perbaikan tesis ini di masa akan datang akan sangat membantu memperbaiki kualitasnya.

Semoga informasi dan kajian ilmiah dalam tesis ini dapat dipahami oleh semua pihak, khususnya bagi para pembaca. Penulis mohon maaf jika dalam penulisan terdapat tutur tulis yang kurang berkenan.

Yogyakarta, 6 Juni 2017 Penulis

Restu Tandirerung

iv

ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Simbol

Definisi

a max Percepatan puncak muka tanah

C B Koreksi diameter lubang bor uji SPT

C E Faktor koreksi rasio energi uji SPT

C N Faktor koreksi untuk menghitung tekanan overburden SPT

C R Koreksi panjang stang bor uji SPT

C S Faktor koreksi untuk sampler liners uji SPT CRR

Rasio tahanan siklik CRR M Rasio tahanan siklik pada magnitude gempabumi tertentu

CSR

Rasio tegangan siklik gempa

D R Densitas relatif

ER

Nilai energi rasio terukur uji SPT FC Konten butir halus

FS

Faktor keamanan FS liq Faktor keamanan terhadap pemicu likuifaksi

H Kedalaman ke lapisan yang terlikuifaksi K σ Koreksi faktor tekanan overburden

Magnitude gempa

MSF

Faktor skala magnitude gempabumi

Angka pukulan (N 1 ) 60 Koreksi jumlah pukulan uji SPT terhadap ER = 60% dan tegangan efektif overburden 1 atm

(N 1 ) 60cs Penyetaraan (N 1 ) 60 pasir untuk menghitung CRR

r d Koefisien pengurangan shear stress

Kedalaman σ vc Tegangan total vertikal σ’ vc Tegangan efektif vertikal γ b Berat volume basah γ d Berat volume kering

xii

Intisari

Pada 27 Mei 2006, gempabumi dengan kekuatan 6,3 Mw menjadi gempa paling merusak yang pernah terjadi di Bantul. Menyadari ancaman bahaya gempabumi di masa yang akan datang, perlu dilakukan kajian potensi likuifaksi sebagai upaya mitigasi bencana pada daerah Pantai Pandansimo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter geologi daerah penelitian, mengetahui korelasi antara fasies sedimen dengan potensi likuifaksi, dan untuk memetakan potensi likuifaksi dan alternatif mitigasi yang bisa digunakan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pemetaan geologi kuarter, analisis fasies sedimen, modifikasi simplified procedures (Idriss dan Boulanger, 2008) dan uji laboratorium. Data yang digunakan, terbagi atas data primer, meliputi pemetaan geologi permukaan, data pemboran inti, uji standar penetration test (SPT), ukuran butir dan sifat fisik sedimen. Sedangkan data sekunder berupa peta percepatan puncak muka tanah (PGA) Yogyakarta.

Hasil dari pemetaan geologi menjelaskan daerah penelitian merupakan kombinasi proses sedimentasi fluvial, estuari, alluvial, pantai, dan eolian. Berdasarkan pemetaan geologi permukaan yang menghasilkan peta geologi Kuarter, daerah penelitian geologi daerah penelitian terbagi atas endapan dataran banjir dan alluvial, endapan bendung sungai, endapan pantai, dan endapan gumuk pasir. Analisis geologi bahwa permukaan menunjukkan adanya perubahan fasies sedimentasi, baik lateral maupun vertikal. Berdasarkan perhitungan modifikasi simplified procedures diperoleh hasil fasies endapan di daerah penelitian yang dianalisis dan dikorelasi antara titik bor mempengaruhi potensi likuifaksi. Potensi likuifaksi paling tinggi terestimasi pada fasies fluvial, fasies eolian, dan fasies estuari. Pada BH2, zona lemah terdapat pada kedalaman 13 hingga 12 meter. BH3 memiliki 3 segmen zona lemah, pertama pada kedalaman 3 hingga 6 meter, kedua

11 hingga 14, dan ketiga 25 hingga 30 meter. Sementara BH4 terestimasi memiliki zona lemah pada kedalaman 12 hingga 20 meter. Dan dari hasil estimasi penurunan muka tanah diketahui potensi deformasi tanah berupa penurunan muka tanah pada BH2 adalah 0,13 meter. Pada BH3, potensi penurunan muka tanah adalah 0,19 meter. Sedangkan pada BH4, potensi penurunan muka tanah terestimasi sekitar 0,12 meter. Metode mitigasi vibrocampaction merupakan metode yang relatif sesuai dengan kondisi di daerah penelitian.

Kata Kunci: Gempabumi, Likuifaksi, SPT, Mitigasi.

xiii

Abstract

On May 27, 2006, the earthquake with magnitude of 6.3 Mw became the most destructive earthquake ever occurred in Bantul. Recognizing the threat of earthquake hazard in the future, it is necessary to study the potential of liquefaction as a disaster mitigation effort in Pandansimo Beach area. This study aims to determine the geological character of the research area, to know the correlation between sediment facies with liquefaction potential, and to map potential liquefaction and mitigation alternatives that can be used.

The method used in this study is a combination of quarterly geological mapping, sediment facies analysis, modification of simplified procedures (Idriss and Boulanger, 2008) and laboratory tests. The data used, divided into primary data, includes surface geological mapping, core drilling data, standard penetration test (SPT) test, grain size and physical properties of sediment. While the secondary data is the peak ground acceleration (PGA) of Yogyakarta.

The result of geological mapping explaining the research area is a combination of fluvial, estuary, alluvial, beach, and eolian sedimentation processes. Based on the surface geological mapping that generates the Quaternary geological map, the geological research area of the study area is divided into sediment floodplains and alluvials, river basin deposits, coastal sediments, and sand dune deposits. Geological analysis that the surface indicates a change in sedimentation facies, both lateral and vertical. Based on the calculation of modification of simplified procedures, the result of the sediment facies in the research area analyzed and correlated between the drill points affects the liquefaction potential. The highest liquefaction potential is estimated in fluvial facies, eolian facies, and estuary facies. At BH2, the weak zone is at a depth of 13 to 12 meters. BH3 has 3 weak zone segments, first at a depth of 3 to 6 meters, both 11 to 14, and third 25 to 30 meters. While BH4 is estimated to have a weak zone at a depth of 12 to 20 meters. And from the estimation of the decrease in the face of the ground is known the potential for soil deformation in the form of soil surface decrease in BH2 is 0.13 meters. At BH3, the potential for land subsidence is 0.19 meters. While at BH4, the potential for land subsidence is estimated to be about 0.12 meters. Vibrocampaction mitigation method is a method that is relatively in accordance with the conditions in the study area.

Key words: Earthquake, Liquefaction, SPT, Mitigation.

xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan bagian bumi dengan konfigurasi tektonik cincin api yang sering mengalami gempabumi. Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bagian wilayah Indonesia yang rentan gempabumi. Menyadari kondisi geologi, seismisitas, dan konsekuensinya, perencanaan pembangunan dan upaya pengembangan wilayah perlu mempertimbangkan dan memperhitungkan risiko dengan melakukan upaya mitigasi, salah satunya dengan mengkaji potensi bahaya likuifaksi. Penurunan (settlement) konstruksi bangunan merupakan konsekuensi fenomena likuifaksi. Pemicu likuifaksi adalah kombinasi gempabumi yang kuat dan berdurasi lama, kondisi geologi, kondisi lapisan jenuh airtanah, dan aspek bangunan di suatu daerah tertentu.

Pada 27 Mei 2006, Kabupaten Bantul dan bahkan Yogyakarta dan sekitarnya dikejutkan dengan gempabumi berkekuatan 6,3 Mw (Karnawati dkk., 2008). Gempabumi ini telah mendatangkan masalah serius karena guncangan gelombang gempa yang mampu meruntuhkan bangunan-bangunan yang ada, meski tidak semua daerah mengalami kerusakan yang sama. Tim geoteknik gabungan dari Jepang dan Indonesia (Konagai dkk., 2007), yang melakukan investigasi usai gempabumi Yogyakarta menemukan dan mencurigai perilaku pada sumur warga usai gempa tersebut dan menyimpulkan sebagai peristiwa likuifaksi. Bukti yang ditemukan berupa pipa Pada 27 Mei 2006, Kabupaten Bantul dan bahkan Yogyakarta dan sekitarnya dikejutkan dengan gempabumi berkekuatan 6,3 Mw (Karnawati dkk., 2008). Gempabumi ini telah mendatangkan masalah serius karena guncangan gelombang gempa yang mampu meruntuhkan bangunan-bangunan yang ada, meski tidak semua daerah mengalami kerusakan yang sama. Tim geoteknik gabungan dari Jepang dan Indonesia (Konagai dkk., 2007), yang melakukan investigasi usai gempabumi Yogyakarta menemukan dan mencurigai perilaku pada sumur warga usai gempa tersebut dan menyimpulkan sebagai peristiwa likuifaksi. Bukti yang ditemukan berupa pipa

Gambar 1. Indikasi terjadinya likuifaksi saat gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (foto: Konagai dkk., 2007)

Likuifaksi selama terjadinya gempabumi berpeluang terjadi pada lapisan sedimen yang berumur geologi Kuarter (Youd dan Perkins, 1978). Secara geologi, permukaan daerah pesisir Pantai Pandansimo, Bantul ditutupi oleh sedimen berumur Holosen (Rahardjo dkk., 1995). Jika beban konstruksi di daerah ini sangat besar maka potensi likuifaksi penting untuk dievaluasi sebagai respons mitigasi terhadap kemungkinan perulangan gempabumi.

Sebagai langkah mitigasi, maka perlu dilakukan kajian potensi likuifaksi terhadap suatu wilayah tertentu yang kondisi geologinya termasuk kategori Sebagai langkah mitigasi, maka perlu dilakukan kajian potensi likuifaksi terhadap suatu wilayah tertentu yang kondisi geologinya termasuk kategori

1.2 Perumusan Masalah

1. Berdasarkan informasi geologi regional, endapan alluvial di daerah penelitian termasuk dalam kategori yang rentan mengalami likuifaksi.

Namun secara spesifik belum diketahui faktor-faktor apa saja yang mengontrol kerentanan dan pemicu likuifaksi.

2. Jika terjadi perulangan gempabumi, di kedalaman berapa batas pengaruh likuifaksi yang diakibatkan oleh guncangan gempabumi dan bagaimana angka faktor keamanannya (factor of safety) masih memerlukan kajian.

1.3 Maksud dan Tujuan

1.3.1 Maksud Maksud penelitian ini adalah mengetahui kemampuan geologi teknik

dan menganalisis tebal lapisan yang berpotensi terlikuifaksi dengan menggunakan data pemboran inti dan uji SPT, sifat-sifat keteknikan endapan, dan analisis ukuran butir, pada magnitud gempa besar sesuai data dan menganalisis tebal lapisan yang berpotensi terlikuifaksi dengan menggunakan data pemboran inti dan uji SPT, sifat-sifat keteknikan endapan, dan analisis ukuran butir, pada magnitud gempa besar sesuai data

1.3.2 Tujuan

1. Mengetahui karakter geologi daerah penelitian.

2. Mengetahui korelasi antara distribusi endapan sedimen dengan potensi likuifaksi di daerah penelitian.

3. Melakukan pemetaan dan kajian potensi likuifaksi di daerah penelitian dan pilihan mitigasinya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi geoteknik dan situasi geologi berupa nilai faktor keamanan dan informasi hubungan antara situasi geologi dengan potensi likuifaksi. Hasil kajian diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan dalam rencana tata ruang, pengembangan wilayah, dan rekayasa konstruksi bangunan sipil di Pantai Pandansimo, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian akan mencakup beberapa hal yaitu:

1. Studi pustaka dan literatur yang berkaitan dengan penelitian.

2. Pengumpulan data sekunder.

3. Pengumpulan data lapangan.

4. Uji laboratorium.

5. Analisis data untuk menghitung faktor keamanan dan analisis risiko.

6. Menganalisis hubungan antara situasi geologi dengan potensi likuifaksi.

1.6 Batasan Penelitian

Untuk memfokuskan penelitian, maka permasalahan dibatasi pada hal-hal berikut:

1. Likuifaksi yang terjadi diasumsikan hanya akibat gempabumi tektonik.

2. Magnitud minimum gempabumi dibatasi pada skala 5 Mw.

3. Data berasal dari data test SPT, sifat-sifat keteknikan endapan, dan analisis ukuran butir dan data sekunder.

4. Daerah penelitian hanya pada daerah pesisir Pantai Pandansimo.

5. Evaluasi likuifaksi yang dilakukan untuk menghitung nilai faktor keamanan hingga kedalaman 30 meter, lateral spreading, dan settlement.

6. Pembuatan Peta Geologi Kuarter dengan metode pemetaan geologi permukaan di daerah penelitian.

1.7 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di daerah pesisir Pantai Pandansimo, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gambar 2. Lokasi daerah penelitian (liniasi warna merah) dalam peta RBI

Lembar Brosot (Bakosurtanal, 1998)

1.8. Peneliti Terdahulu

Penelitian tentang likuifaksi dan geologi regional yang pernah dilakukan di daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan terpublikasi hingga tahun 2013 antara lain:

1. Rahardjo dkk., (1995), memetakan lembar Yogyakarta dan secara geologi daerah penelitian termasuk dalam endapan berumur Kuarter

berupa endapan lepas (loose) sampai terkompaksi lemah dengan rentang ukuran butir lempung hingga kerakal.

2. Hasmar, H.A.H., (2007), melakukan studi eksperimental di laboratorium dengan menggunakan meja getar terhadap sampel pasir

Kali Krasak, Kabupaten Bantul, DIY. Penelitian ini berkesimpulan Kali Krasak, Kabupaten Bantul, DIY. Penelitian ini berkesimpulan

3. Hatmoko, T. J., dan Lulie, Y., (2008), melakukan penelitian likuifaksi di bagian Timur Yogyakarta. Penelitian ini berkesimpulan bahwa

pada musim hujan kondisi kedalaman airtanah cukup tinggi berkisar 3,00 sampai dengan 4,50 meter. Sampai kedalaman 4 meter nilai N- SPT cukup rendah yaitu 11 sampai dengan 18. Berdasarkan pengujian laboratorium jenis pasir di semua kedalaman bergradasi jelek (SP). Dengan menggunakan prediksi 100 tahunan, zona-zona likuifaksi terjadi pada kedalaman 0,00 hingga 13,00 meter.

4. Soebowo dkk., (2009), melakukan penelitian di daerah Patalan, Bantul, DIY. Penelitian ini menunjukkan bahwa hampir semua titik

uji mengindikasikan terjadinya likuifaksi dan penurunan. Zona likuifaksi terkonsentrasi di bagian tengah daerah studi pada kisaran kedalaman 0,2 – 12,8 meter dengan ketebalan antara 0,2 – 5,2 meter, serta penurunan antara 0,12 hingga 12,98 cm.

5. Hatmoko, T. J., dan Suryadharma, H., (2013), melakukan prediksi likuifaksi dengan menggunakan pemboran inti dan uji SPT pada endapan pasir dari 7 titik di Yogyakarta. Penelitian ini berkesimpulan

bahwa jika menggunakan data gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 dengan M = 6 dan R = 37 km diperoleh a max = 0,09 g. Dengan a max tersebut nilai CSR kurang dari 0,1, yakni antara 0,048 sampai dengan

0,057, sedangkan nilai CRR rata-rata lebih besar dari 0,1. Oleh sebab itu pada gempabumi 27 Mei 2006 di wilayah Utara Yogyakarta tidak terjadi likuifaksi. Namun jika terjadi gempa dengan nilai a max lebih besar dari 0,15 g akan terjadi likuifaksi meski kondisi kedalaman muka airtanah relatif dalam yaitu antara 7 hingga 20 m.

6. Hartantyo dkk., (2013), mencari korelasi kedalaman muka airtanah dangkal dengan kejadian likuifaksi gempa Yogyakarta Mei 2006 pada endapan volkanik-klastik bagian Selatan area Yogyakarta.

Kesimpulan penelitian ini adalah daerah Yogyakarta yang didominasi Merapi Muda berukur Kuarter menyebabkan adanya lapisan pasir sebagai akuifer dangkal. Akuifer dangkal ini sangat berpengaruh terhadap kejadian likuifaksi akibat gempa 2006. Hampir 90 persen daerah penelitian berpotensi mengalami likuifaksi dengan kedalaman muka airtanah mencapai 5,3 m.

7. Sarah dan Soebowo, (2013), melakukan studi likuifaksi akibat gempabumi Yogyakarta, 27 Mei 2006 dengan menggunakan data uji

CPT. Penelitian ini mengkonfirmasi kejadian likuifaksi di lapangan berupa sand boil, lateral spreading dan penurunan pada situasi kedalaman muka airtanah berkisar 0,6 sampai 5 m. Zona likuifaksi mengokupasi lapisan pasir longgar (loose sand) pada kedalaman berkisar antara 0,2 hingga 12,8 meter dengan variasi potensi ketebalan lapisan yang terlikufaksi antara 0,2 hingga 5,2 meter serta total penurunan bervariasi antara 1,0 hingga 10,8 cm.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

2.1.1 Stratigrafi Regional Menurut Rahardjo dkk., (1995), daerah penelitian terpetakan dalam satuan endapan permukaan berumur Kuarter (Qa) (<1,8 juta tahun). Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua yang berumur Tersier yang terdiri dari material lepas sampai terkompaksi lemah, berbutir lempung hingga kerakal.

Endapan Alluvium ini terdiri dari kerakal, pasir, lanau, dan lempung yang diendapkan oleh aktivitas sungai (fluvial) dan proses geologi pantai.

2.1.2 Struktur Geologi Regional Struktur yang terpetakan dalam skala regional oleh Rahardjo dkk., (1995) merupakan produk tektonik resen. Di sebelah timur lembar Yogyakarta, terpetakan sesar-sesar geser dengan arah relatif Tenggara-Barat Laut, semakin ke utara mulai muncul sesar normal dan sesar naik yang umumnya menyayat batuan produk volkanik Merapi dengan arah relatif Timur Laut-Barat Daya. Di sebelah barat, berkembang lipatan-lipatan pada formasi batuan sedimen dengan arah sumbu lipatan relatif Timur Laut-Barat Daya.

Gambar 3. Peta Geologi Regional Lembar Yogyakarta (Rahardjo dkk., 1995)

2.2 Seismisitas dan Sejarah Kegempaan

Secara regional, daerah Yogyakarta dilewati oleh sesar aktif Opak berarah N231 º

E, dip 87 , dan slip 3 º º yang hingga saat ini diyakini sebagai sesar normal yang memiliki komponen geser. Peta geologi regional Yogyakarta, Rahardjo dkk., (1995) mengungkapkan informasi sesar Opak berupa garis putus-putus yang berarti sesar ini diperkirakan karena kemungkinan bukti sesar yang sesungguhnya terkubur oleh endapan Merapi muda.

Menurut catatan USGS (2007), pada 27 Mei 2007 sesar Opak telah memicu terjadinya gempabumi dengan hypocenter pada kedalaman 10 km dengan magnitude 6,3 Mw. Analisis mekanisme sumber yang dikeluarkan USGS memberi solusi sinistral strike slip (sesar geser mengiri).

Elnashai (2006), mencatat 17 aktivitas seismik pernah terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya. Rekaman data tersebut (Tabel. 2 dan Gambar. 4) memberi informasi tentang sebaran geografis dan magnitude gempabumi sejak tahun 1840 hingga 2006. Gempabumi Yogyakarta, tanggal 27 Mei 2006, dengan kedalaman pusat gempa 10 km, hingga penelitian ini dilakukan, tercatat sebagai gempabumi paling merusak.

Tabel 1. Sejarah Kegempaan di Yogyakarta (Elnashai dkk, 2006)

Tahun Bulan

Tanggal

Latitude

Longitude Intensitas,

Magnitude/atau Pusat

MM>VIII

1875 Maret

MM=V ̴ VII

7,2 (Ms) - 1943

September

8,1 (Ms) 90 1957

Juli

Oktober

November

Maret

Juni

Mei

Agustus

Juli

Mei

Juli

Gambar 4. Distribusi sejarah kegempaan di Pulau Jawa (Karnawati dkk., 2008)

2.3 Konsep dan Batasan Fasies

Terminologi fasies adalah istilah umum dalam geologi, terutama dalam studi sedimentologi yang merupakan hasil dari determinasi karakteristik suatu unit sedimen (Middleton, 1973 dan Nichols, 2009). Karakteristik sedimen yang dimaksud meliputi, dimensi, struktur sedimen, ukuran butir dan tipe sedimen, warna dan organik konten pada sedimen. Penamaan fasies mempertimbangkan sejumlah aspek sesuai dengan tujuan analisis. Misalnya, fasies batupasir fluvial, bila proses dan mekanisme pengendapan pada lingkungan fluvial dan ukuran butir dianggap lebih penting dari karakter lain seperti warna maupun mineraloginya. Bila deskripsi terbatas pada fisik dan komposisi kimia sedimen, maka disebut lithofasies. Jika studi fasies lebih

Prosedur dan teknik dalam analisis fasies sangat obyektif pada kondisi yang dapat teramati pada sedimen (Anderton, 1985). Karakter lithofasies dideterminasi dari deskripsi fisik dan proses kimia yang terjadi pada tahap transport dan pengendapan sedimen. Sedangkan karakter biofasies dan ichnofasies akan memberi informasi tentang paleoekologi sebelum dan setelah pengendapan. Dengan menginterpretasi kondisi sedimen melalui karakter fisik, kimia, serta kondisi ekologi saat pengendapan terjadi, maka sangat mungkin untuk merekonstruksi lingkungan pengendapan di masa lalu. Rekonstruksi lingkungan pengendapan melalui analisis fasies dapat dengan mudah dilakukan secara langsung, bila syarat atau petunjuk spesifik lingkungan pengendapan tertentu dapat dikenali, misalnya kehadiran biota dan koloni terumbu pada sedimen, dapat mengindikasikan lingkungan pengendapan laut dangkal pada situasi ekologi iklim hangat. Namun, proses rekonstruksi akan menjadi kompleks bila petunjuk spesifik lingkungan pengedapan tidak mudah dibedakan secara makro, misalnya ukuran butir yang relatif sama pada suksesi log sedimen (Nichols, 2009).

Dimensi fasies yang hanya mencakup skala beberapa meter, akan sulit diterapkan pada rekonstruksi lingkungan pengendapan pada suksesi log sedimen dengan tebal puluhan meter. Selain itu, kombinasi proses pengendapan yang bekerja pada sistem sedimentasi yang kompleks perlu

skala rekonstruksi lingkungan pengedapan secara spasial (Walker dan James, 1992 dan Nichols, 2009).

Penggunaan fasies dan asosiasi fasies dalam penelitian ini lebih terfokus dan terbatas pada kontribusi fasies secara spesifik terhadap derajat konsolidasi sedimen. Kombinasi kondisi empiris seperti ukuran butir, bentuk butir, dan komposisi mineral merupakan fitur fasies yang menjadi dasar interpretasi mekanisme internal dan dampaknya terhadap kapasitas konsolidasinya dalam konteks likuifaksi.

2.4 Karakter fasies sungai, dataran banjir, pantai, gumuk pasir, dan estuari.

Fasies sungai (fluvial) dan dataran banjir merupakan bagian dari sistem pengendapan alluvial yang terendapkan pada daerah dengan gradien lereng relatif datar atau kurang dari 5 derajat (Walker dan James, 1992 dan Nichols 2009). Sementara fasies pematang pantai dan gumuk pasir merupakan bagian dari proses lingkungan pantai yang terakumulasi pada lingkungan pengendapan energi tinggi. Endapan pematang pantai umumnya merupakan hasil kerja ulang erosi endapan laut dan pengendapan material asal sungai. Intensitas dan pengaruh pasang-surut turut mempengaruhi tekstur endapan pematang pantai (Walker dan James, 1992). Estuari merupakan zona di mana proses fluvial dan proses pantai bertemu dan menghasilkan endapan dengan distribusi ukuran butir yang agradasi (Nichols, 2009).

Secara deskriptif, fasies sungai dikenali dengan karakter: ukuran butir relatif lebih halus (pada rentang pasir sedang – pasir sangat halus), bentuk butir membundar tanggung – membundar, dengan suksesi vertikal menghalus ke atas (Walker dan James, 1992). Fasies pematang pantai memiliki karakter: ukuran butir lebih kasar dari fasies fluvial (pada rentang pasir sedang – pasir kasar), bentuk butir menyudut tanggung - membulat tanggung, suksesi vertikal mengkasar ke atas (Walker dan James, 1992). Fasies estuari umumnya, dikenali memiliki karakter: ukuran butir lebih halus (pada rentang pasir sedang – lempung), bentuk butir membundar tanggung – membundar, suksesi vertikal aggradisional (Nichols, 2009).

Friedmann (1961), dengan metode statistik membedakan endapan pasir pantai, gumuk pasir (dune), dan pasir sungai (fluvial) berdasarkan momen ketiga (skewness) yang sensitif terhadap lingkungan pengendapan. Friedman berkesimpulan, variasi ukuran butir pada gumuk pasir dominan berbutir lebih halus (positive-skewed) dari pasir pantai (negative-skewed) dan tidak terpengaruh oleh komposisi mineralnya. Pasir endapan sungai, sama seperti gumuk pasir, cenderung dominan berbutir halus. Namun tingkat keseragaman butir (sortasi) pasir pantai lebih baik dari pasir sungai.

2.5 Likuifaksi

2.5.1 Studi Laboratorium Terminologi likuifaksi dalam konteks mekanika tanah telah didefinisikan oleh sejumlah peneliti, antara lain Casagrande, 1976 dan Castro, 1987 melalui percobaan di laboratorium. Dari percobaan tersebut

16

pengertian likuifaksi dirumuskan sebagai proses transformasi tanah jenuh air dari kondisi padat menjadi kondisi cair akibat naiknya tekanan pori yang mengakibatkan menurunnya tegangan efektif. Berkurangnya tegangan efektif yang diikuti hilangnya kekuatan dan kekompakan dalam massa tanah berkontribusi terhadap deformasi tanah (Idriss dan Boulanger, 2008). Beberapa kasus menyebut keruntuhan (failure) tanah akibat gempa dengan istilah mobilitas siklik (cyclic mobility), dalam situasi ini deformasi yang terjadi relatif kecil tanpa disertai mekanisme transformasi pencairan tanah. Karena hal tersebut, definisi likuifaksi masih terus menjadi objek perdebatan di kalangan peneliti dan profesional geoteknik. Sejumlah peneliti dengan tegas mendefinisikan likuifaksi dan cyclic mobility secara berbeda. Casagrande (1976), membedakan likuifaksi

digunakan untuk mendeskripsikan semua mekanisme keruntuhan tanah yang dipicu oleh naiknya tekanan pori selama kondisi tanah jenuh air menjadi obyek tegangan siklik di lapangan. Sedangkan cyclic mobility adalah penamaan yang diberikan pada percobaan mekanisme likuifaksi di laboratorium. Ishihara (1985) lewat percobaan laboratoriumnya, menjelaskan potensi likuifaksi semakin tinggi jika ukuran butir pasir yang menyusun suatu endapan semakin halus.

2.5.2 Faktor Pengontrol Likuifaksi Ada sejumlah faktor yang mengontrol proses likuifaksi tanah di lapangan. Menurut Day (2012), berdasarkan penelitian di laboratorium dan

2.5.2.1 Intensitas dan durasi gempabumi. Likuifaksi bisa terinisiasi bila ada guncangan yang dihasilkan oleh gempabumi. Karakter getaran tanah, seperti percepatan dan durasi goncangan, menentukan kuat geser yang memicu kontraksi partikel tanah dan berkembangnya tekanan air pori berlebih yang mengarah pada kondisi likuifaksi.

Energi yang sering memicu likuifaksi adalah energi seismik yang dilepaskan saat terjadi gempabumi. Potensi likuifaksi semakin tinggi bila intensitas dan durasi gempabumi semakin tinggi. Ada kesepakatan yang sebetulnya belum menjadi standar bahwa percepatan tanah yang mampu memicu likuifaksi adalah 0,10g dengan magnitude 5,0 (Day, 2012).

2.5.2.2 Umur geologi endapan Secara geologi, Youd dan Perkins (1978), mengestimasi tipe sedimen yang rentan terlikuifaksi berhubungan dengan umur endapan. Berdasarkan estimasi tersebut, tipe endapan terbagi dalam tiga kelompok utama yaitu: 1) endapan kontinental, 2) endapan zona pantai, dan 3) endapan artifisial.

Rentang umur geologi endapan yang rentan terlikuifaksi mulai dari <500 tahun, Holosen, Pleistosen hingga Pre-Pleistosen.

Selain distribusi sedimen tidak kohesif dalam endapan, sedimen harus berada pada situasi jenuh air (Youd dkk., 1979).

Tabel 2. Estimasi tingkat kerentanan likuifaksi berdasarkan umur geologi

dan lingkungan pengendapan (Youd dan Perkins, 1978)

2.5.2.3 Kondisi muka airtanah Dengan mempertimbangkan kedalaman muka airtanah, maka tingkat kerentanan likuifaksi mengikuti kriteria oleh Youd dkk., 1979 seperti pada Tabel 3. Likuifaksi sering terjadi pada lapisan endapan yang relatif dekat dengan permukaan atau kurang dari 10

Dampak musim hujan terhadap fluktuasi muka airtanah menjadi pertimbangan khusus, terutama saat membuat skenario peta muka airtanah (Tolman, 1937). Bila curah hujan mampu menaikkan level airtanah kurang dari 10 meter, maka estimasi kualitatif Youd dan Perkins (1978) diterapkan sesuai dengan tipe endapan sedimennya.

Tabel 3. Hubungan Kedalaman Muka Airtanah dengan Kerentanan

Likuifaksi (Youd dkk., 1979).

Ground Water Depth (m) Maximum Posible Susceptibility

Very high

Very low

2.5.2.4 Faktor lain Faktor lain yang berkontribusi mengontrol likuifaksi adalah tipe sedimen, densitas relatif endapan, gradasi ukuran butir, lingkungan pengendapan, kondisi disipasi, tekanan vertikal, penuaan dan sementasi endapan, sejarah pengendapan, dan beban bangunan. Tipe sedimen yang rentan terlikuifaksi memiliki gradasi yang seragam dan bentuk butir membulat, kondisi densitas sangat longgar (very loose), relatif diendapkan pada umur resen sehingga belum

2.5.3 Deformasi Setelah Likuifaksi Kemungkinan-kemungkinan konsekuensi dari fenomena likuifaksi, sangat dipengaruhi oleh kondisi site, karakteristik gempabumi, dan sifat alami dari struktur-struktur lokal. Penurunan fondasi bangunan atau settlement merupakan dampak akibat rekonsolidasi yang terjadi pada endapan yang terlikuifaksi.

Dalam perkembangan studi likuifaksi, kemantapan struktur bangunan rusak oleh likuifaksi yang dipicu gempabumi, seperti pada peristiwa gempabumi Niigata tahun 1964. Konsekuensi lain yang perlu diantisipasi seperti hilangnya kekuatan resisten endapan seiring dengan instabilitas karena kontrol kemiringan lereng dan pergeseran lateral (lateral spreading) pada kondisi topografi yang relatif datar (Idriss dan Boulanger, 2008).

Castro (1987), mengklasifikasi wujud pengamatan lapangan yang terjadi berdasarkan asosisasi mekanisme perilaku tanah (Tabel 4). Bila kendali beban lebih besar dari pengurangan kekuatan tanah pada lapisan yang terlikuifaksi maka hilangnya stabilitas tanah mengakibatkan kegagalan tanah yang ekstensif. Sebaliknya, jika kendali beban lebih kecil dari kekuatan tanah maka potensi deformasi yang terjadi sangat kecil.

Tabel 4. Jenis-jenis deformasi tanah (Castro, 1987)

Tipe Pengamatan Lapangan (In Situ Stress Condition)

Kondisi Tegangan

Perilaku Tanah

(Soil Behavior)

(Typical Field Observation)

Tidak ada kendali  Volume menyusut  Penurunan tanah (Ground tegangan

settlement) driving shear stress)

geser

(No

(Volume decrease)

 Tekanan pori naik  Semburan pasir ke permukaan

(Pore

pressure

(Sand boils and ejection from

surface fissures) Kendali tegangan geser  Likuifaksi

increase)

 Rayapan tanah (Flows slides) lebih besar dari kuat

 Bangunan berat tenggelam residu

(Liquefaction)

(Driving shear  Stabilitas hilang (Loss (Sinking of heavy buildings) stresses

 Bangunan ringan naik ke residual strength)

greater

than

of stability)

permukaan (Floating of light structures)

Kendali tegangan geser  Ganggungan geser  Lereng melandai (Slumping of lebih kecil dari kuat residu

kecil (Limited shear

slopes)

(Driving shear stresses

 Pemisahan lateral (Lateral less

distortion)

than residual  Tanah stabil (Soil spreading) strength)

mass remain stable)

 Fondasi bangunan turun (Settlement of buildings)

2.5.4 Prediksi Potensi Likuifaksi Berdasarkan Uji Strandard Penetration Test (SPT) Prediksi potensi likuifaksi berdasarkan data SPT adalah salah satu metode evaluasi potensi likuifaksi tanah dengan pendekatan tegangan siklik (stress-based approach). Pendekatan ini pertama kali dikembangkan oleh Seed dan Idriss pada tahun 1967 (Boulanger dan Idriss, 2012) melalui studi kasus manifestasi likuifaksi tanah usai episode gempa Niigata, Jepang (1964). Hasil dari metode ini adalah hubungan empiris berupa kurva dari observasi dan kalkulasi data lapangan yang dikombinasi dengan hasil uji laboratorium.

2.5.5 Sejarah Singkat Perkembangan Metode Penggunaan data SPT untuk mengevaluasi seismik likuifaksi pertama

kali digunakan pada tahun 1982 oleh Seed dan Idriss (Seed dan Idriss, 1982). Metode evaluasi likuifaksi ini diawali pada tahun 1971 yang disebut “simplified procedures” (Seed dan Idriss, 1971). Simplified procedures adalah metode deterministik yang menggunakan parameter beban seismik (seismic load) yang diekspresikan oleh rasio tegangan siklik (CSR) dan densitas relatif (D r ). Dalam kurva yang dihasilkan, CSR adalah fungsi dari D r (CSR versus D r curve).

Pada tahun 1982, Seed dan Idriss melakukan langkah maju pada metode ini dengan menggunakan pendekatan in-situ test SPT untuk memperoleh parameter indeks in-situ lalu menghitung rasio siklik resisten CRR. Mereka juga mengembangkan koreksi pada konten butiran halus (fines content) dalam sedimen dan mengadopsi pendekatan probabilistik (statistik) untuk koreksi pukulan palu uji SPT pada endapan pasirlanauan. Untuk pertama kali faktor skala kekuatan gempa (MSF) digunakan. Kurva

yang dihasilkan menunjukkan, CSR merupakan fungsi dari (N 1 ) 60 (CSR versus (N 1 ) 60 curve). Pada tahun 2001, melalui sebuah konsensus, National Center for Earthquake Engineering Researh (NCEER) melakukan revisi minor pada faktor skala kekuatan gempa (MSF) (Day, 2012). Revisi memberi sedikit perubahan pada bentuk kurva (Youd dkk., 2001). Perkembangan selanjutnya yang sedang terus berlanjut dilakukan oleh Idriss dan

Boulanger pada tahun 2004 dan tahun 2008 dengan memutahirkan bentuk kurva deterministik berdasarkan re-evaluasi terhadap sejumlah data kasus likuifaksi. Idriss dan Boulanger juga mengembangkan pendekatan probabilistik pada tahun 2012 untuk prosedur analisis pemicu likuifaksi (liquefaction-triggering procedure) dan merekomendasikan kurva probabilistik sebagai pelengkap kurva deterministik yang telah digunakan selama kurang lebih 45 tahun (Boulanger dan Idriss, 2012).

2.5.6 Unified Soil Classification System (USCS) Sistem ini dikembangkan oleh Casagrande pada saat Perang Dunia II yang bertujuan untuk penilaian tanah bagi pembangunan bandara seperti

dikemukakan Coduto 1999 dan Wesley 2010. Dasar pembedaannya adalah ukuran butir, sehingga langkah awal adalah mengklasifikasi tanah pada kelompok butir kasar atau halus.

MATERIAL

Fraksi lebih kecil

dari 0,06 mm

>50%

<50%

TANAH BERBUTIR KASAR Kelakuan

TANAH BERBUTIR HALUS

quick/dilatant

ukuran butir

Gambar 5. Klasifikasi tanah menurut USCS (Wesley, 2010).

Selanjutnya, seperti pada Gambar 5, tanah yang memiliki konten ukuran butir lebih kecil dari 0,06 mm dengan persentase lebih dari 50

24

persen dikelompokkan sebagai tanah berbutir halus, sedangkan tanah yang memiliki konten ukuran butir lebih kecil dari 0,06 mm dengan persentase kurang dari 50 persen termasuk dalam kelompok tanah berbutir kasar. Kemudian setiap kelompok dibagi lagi berdasarkan ukuran butir kasar atau halus. Untuk tanah berbutir kasar, pengelompokkan didasarkan pada ukuran butir, sehingga terbagi menjadi dua kelompok yaitu, pasir dan kelikil. Ukuran butir yang lebih besar dari kerikil (kerakal, berangkal, dan bongkah) tidak dibahas dalam klasifikasi ini. Untuk tanah berbutir halus, ukuran butir tidak lagi menjadi dasar pembagian karena perilakunya bergantung pada kombinasi komposisi mineral dan ukuran butir atau batas Atterberg, sehingga terbagi menjadi dua kelompok yaitu lempung dan lanau.

Cara penaksiran komponen utama dan nama yang diberikan mengikuti kaidah sebagai berikut. Untuk tanah berbutir kasar, misalnya pasir bergradasi buruk (SP), adalah material yang sebagian besar (>50%) terdiri atas ukuran butir pasir. Jika ada konten ukuran butir yang kurang dari 0,06 mm maka jumlahnya kurang dari 10 persen. Sedangkan untuk tanah berbutir halus, misalnya lempung dengan batas cair tinggi (CH), adalah material yang sebagian besar terdiri dari ukuran butir lempung dengan nilai batas cair yang tinggi. USCS menggunakan huruf berikut untuk tanah berbutir kasar; S (pasir), G (kerikil), W (bergradasi baik), P (bergradasi buruk). Sedangkan untuk tanah berbutir halus menggunakan huruf berikut;

C (lempung), M (lanau), H (batas cair tinggi), dan L (batas cair rendah).

2.6 Hipotesis

Berdasarkan kajian literatur dan hasil peneliti terdahulu, peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Geologi daerah penelitian terdiri dari endapan sedimen pasir halus hingga pasir kasar yang dihasilkan oleh proses sedimentasi aliran fluvial dan

produk endapan alluvial yang belum terkompaksi.

2. Lapisan sedimen dengan kerentanan likuifaksi sangat tinggi adalah endapan pasir halus dan pasir kasar pada situasi jenuh air dengan muka

airtanah relatif dangkal.

3. Baik vertikal maupun lateral, distribusi endapan sedimen yang berpotensi terlikuifaksi bervariasi mengikuti kondisi fisik dan dikontrol oleh

kemampuan geologi teknik serta kekuatan gempabumi.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan Penelitian

3.1.1 Alat Pada penelitian ini, alat yang digunakan, sebagai berikut:

1. 1 unit komputer/laptop untuk pembuatan laporan

2. 1 unit kalkulator

3. 1 unit printer untuk mencetak laporan

4. Laboratorium mekanika tanah

5. 1 unit mesin bor untuk uji SPT

6. Perangkat lunak Arc Gis, Sedlog, Rock Work, Microsoft Word, Microsoft Excel, dan Corel Draw.

3.1.2 Bahan Penelitian ini menggunakan bahan sebagai berikut:

1. Kertas A4

2. Tinta printer Canon

3. Plastik sampel tanah

4. Spidol permanen

5. Sampel tanah terganggu pemboran inti

3.2 Rancangan Penelitian

1. Penelitian ini akan menggunakan data sekunder, data primer, dan hasil uji laboratorium mekanika tanah. Data sekunder diperoleh dari rekaman data kegempaan. Sedangkan data primer diperoleh dari pemboran, uji

2. Analisis mekanika tanah dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil UGM.

3.3 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam analisis data primer dan data sekunder dengan menggunakan data hasil pemboran inti, uji SPT, analisis laboratorium mekanika tanah, serta data gempabumi Yogyakarta.

3.4 Tahapan Penelitian

Metode penelitian dibagi menjadi lima tahapan pokok, yaitu studi pustaka, penarikan hipotesis, pengumpulan data sekunder, data lapangan (data primer), serta data laboratorium, lalu penulisan tesis.

3.4.1 Tahap Pendahuluan

Di tahap ini dimulai dengan mengidentifikasi masalah lalu peneliti melakukan kajian literatur untuk mengenali lingkup, konsep, dan penelitian terdahulu dalam studi likuifaksi. Studi pustaka dilakukan dengan membaca dan mengkaji literatur dan laporan ilmiah mengenai likuifaksi dan geologi regional. Berdasarkan penelitian terdahulu dan konsep likuifaksi dari literatur yang ada, peneliti selanjutnya merumuskan hipotesis.

3.4.2 Tahap Pengumpulan Data

3.4.2.1 Pemetaan geologi Kuarter

Pemetaan geologi kuarter menggunakan metode pemetaan permukaan, di mana deskripsi pada lintasan pengamatan dilakukan secara megaskopis. Deskripsi disesuaikan dengan kondisi endapan yang belum terkompaksi.

3.4.2.2 Pemboran inti dan tes SPT Uji SPT merupakan in-situ test untuk mendapatkan indeks parameter dan pengambilan sampel terganggu pada tiap interval 1,5 meter bersamaan dengan aktivitas pemboran inti. Prosedur dengan interval tersebut mengikuti saran uji lapangan SPT untuk analisis likuifaksi (Idriss dan Boulanger, 2008). Perhitungan dan prosedur lapangan untuk mendapatkan nilai N mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI SPT-4153-2008) untuk uji SPT yang dipublikasi oleh Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, di mana dari 3 kali pukulan N, nilai N terpakai adalah hasil dari penjumlahan 2 pukulan terakhir. Nilai N pada pukulan pertama diasumsikan sebagai dasar atau pukulan mula-mula yang nilainya masih terpengaruh oleh kondisi permukaan.

Nilai N-SPT terukur yang akan digunakan terlebih dahulu harus dikoreksi. Di sejumlah negara (Amerika, Argentina, Jepang, dan China) umumnya ada 3 jenis palu yang dipakai, yakni donut hammer . safety hammer , dan automatic hammer. Masing-masing palu memiliki spesifikasi efisiensi energi tertentu. Penelitian ini menggunakan automatic hammer produksi Jepang. Koreksi nilai N ini berhubungan dengan efisiensi tenaga yang dihasilkan alat uji SPT untuk menghasilkan nilai yang lebih akurat dari masing-masing negara (Seed dkk., 1985).

Dalam analisis potensi likuifaksi, nilai N 60 selanjutnya dinormalisasi menjadi (N 1 ) 60 karena hubungan korelasi perubahan tekanan efektif vertikal (overburden) yang terjadi oleh perubahan kedalaman. Normalisasi tersebut memperhitungkan sejumlah faktor koreksi (Skempton, 1986), antara lain:

rasio energi (C E ) , diameter lobang bor inti (C B ) , panjang batang SPT (C R ) , tabung sampel (C S ) .

3.4.2.3 Pengukuran kedalaman muka airtanah Pengukuran kedalaman muka airtanah dilakukan dengan dua cara, pertama pada pemboran inti dan kedua, pengukuran kedalaman airtanah pada sumur gali. Pengukuran kedalaman muaka airtanah dilakukan dengan menggunakan alat meter dari permukaan tanah.

3.4.3 Tahap Analisis

3.4.3.1 Analisis fasies sedimen Analisis fasies sedimen dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Rock Work dan visualisasinya dibantu perangkat lunak Corel Draw . Keterbatasan pada pemboran inti mengakibatkan data struktur sedimen tidak dapat dikenali secara baik. Untuk mengatasi hal itu, penentuan fasies sedimen mempertimbangkan situasi dan proses sedimentasi yang berlangsung di permukaan. Dengan bantuan perangkat lunak Sedlog, log sedimen disusun secara stratigrafi kemudian dianalisis.

3.4.3.2 Analisis mekanika tanah Analisis laboratorium mekanika tanah mengikuti prosedur standar yang berlaku di laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil UGM.

Uji mekanika tanah yang dilakukan meliputi, uji glanulometri, pengukuran batas-batas atterberg, pengukuran nilai kadar air, dan uji kuat tekan.

3.4.3.3 Analisis pemicu likuifaksi Prosedur analisis pemicu likuifaksi mengikuti metode semi-empiris yang dikembangkan oleh Idriss dan Boulanger pada tahun 2004 dan 2008 untuk mengevaluasi pemicu likuifaksi tanah berdasarkan data uji SPT. Prosedur analisis pemicu likuifaksi untuk satu lubang bor berdasarkan data uji SPT meliputi:

1. Input nilai parameter percepatan tanah maksimum (g), magnitud gempa bumi (Mw), muka airtanah (m), diameter lubang bor, lalu

input berat volume (γ b dan γ d ) rata-rata.

2. Melakukan normalisasi data N-SPT terukur dan menghitung nilai N 60 dengan persamaan:  C E = (1)

, di mana ER merupakan energi rasio pemboran uji SPT. Setiap mesin bor memiliki rasio energi yang berbeda

sesuai negara produsennya (Seed dkk., 1985). Evaluasi potensi likuifaksi yang menggunakan mesin pemboran uji SPT produksi Jepang mengadopsi energi rasio 78% (Seed dkk., 1985, Skempton 1986, NCEER 1997).

 C B , ditentukan berdasarkan diameter lubang bor. Pada penelitian ini lubang bor inti adalah 86,36 mm, maka

nilai C B = 1 (Skempton, 1986).

 C R , ditentukan berdasarkan spasi hitungan SPT. Spasi pengambilan data SPT pada penelitian ini adalah setiap

1,5 m (Youd dkk., 2001).

 C S , ditentukan oleh penggunaan lapisan (liners ) pada tabung sampler. Pada penelitian ini sampler pemboran

tidak memakai liners sehingga nilai C S = 1 (Seed dkk., 1984 dalam Idriss dan Boulanger 2008 ) .

 N 60 = NC E C B C R C S (2) Kemudian menentukan tipe sedimen berdasarkan klasifikasi

USCS.

3. Menentukan persentase sedimen berbutir halus (lolos saringan 200) untuk tiap kedalaman sedimen. Data analisis ukuran butir berasal dari hasil uji sampel di laboratorium.

4. Menghitung nilai tegangan vertikal total (σ vc ) dan tegangan vertikal efektif ( σ’ vc ). Persamaan yang diacu merujuk pada perubahan kondisi muka airtanah (Idriss dan Boulanger, 2008).

 Jika kedalaman yang ditinjau (z) lebih kecil dari muka airtanah maka σ vc =z.γ d (3) Bila z lebih besar dari kedalaman muka airtanah maka

σ vc = (h ×γ d ) + [(z − h) γ b ] , (4) di mana h adalah level muka airtanah.

 �’ vc = σ vc [(z – h) γ w ] (5)

kecil dari h maka σ’ vc = σ vc.

5. Menghitung faktor koreksi overburden dengan persamaan:

6. Menghitung nilai (N 1 ) 60 dengan persamaan N 60 × C N . (7) Pada prosedur perhitungan Idriss and Boulanger , persamaan ini tidak berlaku (not applicable) pada tanah lempung.

7. Menghitung ΔN untuk fraksi halus (ΔN for fines content), dengan persamaan:

Δ (N .

− �+ . ) (8) persamaan ini tidak berlaku untuk tanah lempung.

1 ) 60 = exp (.+

8. Menghitung (N 1 ) 60-cs dengan persamaan:

(N 1 ) 60-cs = (N 1 ) 60 + Δ (N 1 ) 60

persamaan ini tidak berlaku untuk tanah lempung.

9. Menghitung reduksi tegangan akibat overburden (r d ) dengan persamaan: r d = exp ( α (z) + β (z) M (10)

di mana: α (z) = - 1.012 – 1.126 sin �

β (z) = 0.106 + 0.118 sin �

10. Menghitung CSR dengan persamaan:

11. Menghitung nilai MSF (magnitude scaling factor ) dengan persamaan:

MSF = . ���

, dengan MSF ≤ 1,8 (14)

12. Menghitung nilai Kσ (faktor koreksi overburden ) untuk pasir dengan persamaan:

σ′ Kσ = − �σ ln �� ≤ 1,1 (15)

13. Menghitung CRR untuk magnitude 7,5 dan σ vc = 1 atm dengan persamaan

CRR M=7,5& � ′

persamaan ini tidak berlaku untuk tanah lempung.

14. Menghitung CRR untuk skenario magnitude dengan persamaan: CRR M, σ’ vc = CRR M=7,5& σ’ vc=1 × MSF × K σ

(18) pada kondisi tanah tidak jenuh air, tanah lempung, dan jenis tanah yang tak terdeteksi persamaan ini tidak berlaku (n.a) .

15. Menghitung factor of safety likuifaksi ( FS liq ) dengan persamaan:

pada kondisi tanah tidak jenuh air, tanah lempung, dan jenis tanah yang tak terdeteksi persamaan ini tidak berlaku (n.a) .

Analisis pemicu likuifaksi dibantu perangkat lunak Microsoft Excel .

3.4.4 Tahap Penulisan Laporan

Tahap penulisan draf tesis dibantu perangkat lunak microsoft word setelah seluruh tahapan penelitian lain selesai. Penulisan tesis menggunakan jenis font Times New Roman dan mengacu pada standar penulisan tesis yang berlaku di Universitas Gadjah Mada.

Tahapan

Fase Penelitian

Indentifikasi Masalah

luan

Studi Terdahulu Data Sekunder

Hipotesis

Pendahu

Data Primer

a at

D Pemetaan

Geologi Kedalaman

Bor Teknik

Inti Bor

Analisis fisik

Analisis Fasies

Pemicu Sedimen

Karakteristik

Fisik Likuifaksi

Sedimen

Hubungan Antara Fasies dengan Karakteristik Fisik Sedimen Terhadap Potensi Likuifaksi dan Mitigasi

Penulisan

Penulisan Tesis

Laporan

Gambar 6. Bagan Alir Penelitian

BAB IV PENGUTARAAN DATA

4.1 Lokasi Pengamatan untuk Pemetaan Geologi Kuarter

Pemetaan geologi kuarter dilakukan dengan metode pemetaan permukaan. Lintasan pengamatan dilakukan dengan melakukan pengamatan dan deskripsi megaskopis terhadap endapan di dalam lokasi penelitian. Ada

10 lokasi pengamatan yang berhasil dikerjakan (Gambar 7) Deskripsi endapan dilengkapi juga dengan pengamatan lingkungan pengendapan sedimen.

Selain pengamatan terhadap endapan, peneliti juga melakukan pengamatan kedalaman muka air sumur gali yang terdapat pada pemukiman warga. Ada 3 data sumur gali warga yang berhasil diambil. Pengamatan muka air sumur dilakukan pada bulan September tahun 2014.