No Keterangan Eva Dewi
Hesty Endang
Mutiara 1.
Umur 46 Tahun
29 Tahun
30 Tahun
35 Tahun
33 Tahun
2. Agama
Kristen Kristen
Kristen Kristen
Kristen 3.
Suku Batak Karo
Batak Karo
Batak Toba
Batak Toba
Batak Toba
4. Pendidikan S1
S1 D3
S1 D3
5. Lama
Mengajar 4 Tahun
4 Tahun 4 Tahun
4 Tahun 4 Tahun
Sumber : Hasil Wawancara
2. Informan Orang tua
No Keterangan Roy
Merry Linda
Erika Jerni
1. Umur
38 Tahun
24 Tahun 37
Tahun 30 Tahun
34 Tahun
2. Pekerjaan
Dosen Ibu
Rumah Tangga
Ibu Rumah
Tangga Pegawai
Negeri Sipil
Ibu Rumah
Tangga 3
Nama anak Eiban
Rika Ritz
Josh Kio
4. Kelas anak
TK A Playgroup
TK A Playgroup
TK B
Sumber : Hasil Wawancara
4.1.4 Hasil Pengamatan dan Wawancara
Peneliti melakukan wawancara kepada 5 Guru di Sekolah Alam Bukit Hijau beserta 5 Orang tua siswa Sekolah Alam Bukit Hijau sebagai informan.
Berikut hasil wawancara dengan masing masing informan:
4.1.4.1 Informan Guru Informan Guru I
Nama : Eva Handayani Sembiring
Tanggal Wawancara : 6 Oktober 2014 Pukul
: 09.00 WIB dan 12.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
Tempat : Sekolah Alam Bukit Hijau Medan
Peneliti melakukan wawancara sebanyak dua kali dengan informan di Sekolah Alam Bukit Hijau Medan. Di awal wawancara dengan Ibu Eva, peneliti
terlebih dahulu memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Kemudian peneliti mulai menanyakan pertanyaan mengenai
biodata diri serta pengalaman beliau sebagai seorang tenaga pengajar. Ibu Eva mengaku tertarik terhadap dunia pendidikan anak usia dini karena
juga melakukan pelayanan-pelayanan terhadap anak di Gereja. Walaupun dirinya tidak memiliki latar belakang pendidikan Guru tidak mengecilkan niatnya untuk
menjadi seorang guru. Kemudian beliau tertarik untuk membentuk pendidikan yang berbasis sekolah alam karena melihat kondisi alam yang semakin
memprihatinkan. Menurutnya, mulai dari anak usia dini lah waktu yang sangat tepat dan dasar untuk mengajarkan anak supaya mencintai lingkungan.
“Karena memang dari dulu itu dunianya saya di dunia anak yang dimulai dari pelayanan-pelayanan di Gereja dan berikutnya karena
melihat kondisi alam kita yang sudah semakin rusak. Kita harus memberikan edukasi kepada anak-anak untuk mencintai lingkungan hidup.
Nah, itu harus dimulai dari usia dini. Karena kalau mereka sejak kecil diajari misalnya untuk tidak membuang sampah sembarangan, supaya
rajin menanam pohon, merawat tanaman gitu dan menyayangi binatang.” Sebagai seorang istri Pendeta, Ibu Eva juga tergerak untuk mengenalkan
Tuhan kepada anak usia dini melalui alam sebagai ciptaannya. Dan sebagai ciptaan Tuhan anak-anak juga diajarkan agar dapat belajar bersyukur dan
berterimakasih kedapa Tuhan. “Kita mau mengajarkan anak-anak untuk mengenal Tuhan melalui
ciptaanya dan itu juga sangat efektif, bahwa ini loh ciptaan Tuhan dan kita harus bersyukur kepada Tuhan.”
Ibu Eva mendapat dukungan penuh dari Suami beserta keluarga untuk menjadi seorang tenaga pengajar dan kemudian mendirikan sekolah alam Bukit
Hijau. Dukungan dari keluarga diberikan berupa lahan yang merupakan milik dari orang tua ibu Eva.
Universitas Sumatera Utara
“Suami beserta keluarga sangat mendukung, karena ini kan lahannya Orang tua saya, kalau tidak mendukung pasti beliau tidak
memberi lokasi ini untuk pendidikan.” Ibu Eva mengaku Sekolah Alam Bukit Hijau berbeda dengan sekolah
formal lain. Perbedaan yang mendasar menurut beliau adalah program belajar yang berbasis lingkungan yang tidak akan ditemukan di sekolah formal.
“Biasanya sekolah lain itu untuk belajar kan mereka semua dilakukan di kelas, dengan tema yang sama tapi misalnya tema
lingkungan kita juga pakai buku paket tapi sekolah lain itu hanya belajar dari buku melalui gambar, ada gunung, ada pohon tapi itu semua kan
hanya gambar. Kalau disekolah ini ada lingkungan langsung bisa belajar dengan melihat secara langsung dan itu membuat persentasi daya
tangkapnya lebih daripada hanya dari buku, itu yang membedakannya dengan sekolah lain.”
Walaupun sudah berkecimpung di dunia anak sejak lama, Ibu Eva juga menemukan berbagai kesulitan dalam mengajar anak usia dini.
“Kesulitannya karena mereka itu kan mulai dari nol, bagaimana untuk membuat mereka itu mandiri, bagaimana membuat mereka untuk bisa
mengurus diri sendiri, melakukan proses bersosialisasi karena hal-hal mendasarkan yang kita ajarkan kepada anak-anak.”
Dalam melakukan kegiatan mengajar, Ibu Eva terlebih dahulu memahami karakter dari masing-masing anak muridnya. Setelah itu baru beliau bisa
menentukan strategi komunikasi seperti apa yang lebih cocok untuk digunakan dalam mengajar.
“Langkah pertama yang saya terapkan adalah mengenali dulu pribadi dan dunia si anak itu sendiri, kita harus tahu dulu dia pake
bahasa apa gitu. Kita juga harus mengenali per-karakter si anak, setiap anak memiliki kesukaan yang berbeda dan kita bisa menggunakan
kesukaannya itu untuk merangsang dia dalam belajar. Tapi kita juga harus melihat hal yang disukai si anak itu pas tidak untuk dia.”
Universitas Sumatera Utara
Dalam setiap proses pembelajaran, Ibu Eva mengaku selalu mengunakan bahasa Verbal dan non verbal. Ibu Eva mengaku sebagai seorang guru harus
mampu meramu pesan yang akan ia sampaikan dan menyalurkannya kepada setiap anak didik dengan berbagai media sehingga bisa diterima dan dimengerti
oleh si anak. “Itu sebenarnya tergantung gurunya juga ya, bagaimana setiap
guru menerangkan di kelas dan bagaimana kita meramu agar pesan yang kita sampaikan tepat sasaran, sampai tidak pesan yang kita berikan,
mengertikah mereka. Misalnya dengan menggunakan alat peraga seperti gambar, saya menyuruh mereka untuk membuat segitiga. Jika kita
menyuruh mereka membuat segitiga dengan hanya mengatakannya saja mungkin ada diantara mereka yang tidak tahu, tapi dengan sekali saja
kita contohkan dengan menggambar segitiga maka selanjutnya mereka akan tahu. Jadi sambil kita berbicara juga dipraktekkan agar mereka
mudah paham dan tahu untuk selanjutnya.” Dalam proses pembelajaran, Ibu Eva mengaku terkadang menghadapi
anak yang tidak memahami strategi komunikasi yang digunakan sehingga berdampak terhadap si anak dalam memahami pelajaran atau apa yang ia
sampaikan. Untuk itu, beliau harus berusaha untuk mencari cara lain untuk menghadapi berbagai karakter yang ada pada anak didiknya.
“Kita harus cari tahu apa lagi yang mereka sukai. Kembali lagi setiap anak memiliki kesukaan yang berbeda-beda, jadi kita memang
harus kenal per karakter setiap anak agar dapat menentukan bagaimana cara untuk menghadapi mereka.”
Untuk mengatasi adanya siswa yang belum memahami pelajaran, ibu Eva mengaku melakukan antisipasi dengan membagi kelas menjadi kelompok kecil
dengan jumlah siswa yang sedikit. Selain itu, beliau juga memberikan perlakuan khusus kepada anak yang membutuhkan perlakuan khusus karena memiliki
perbedaan daya tangkap terhadap pelajaran dibanding dengan anak lainnya. “Ini kita membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil, jadi
lebih bisa mengenali karakter anak lebih mendalam, misalnya si andre yang awalnya tidak tahu apapun jadi ketika yang lain bermain, saya
Universitas Sumatera Utara
memberikan waktu khusus sama dia 10 menit setelah dia bisa baru dia boleh ikut main bersama yang lain.”
Begitu juga dalam memberikan pekerjaan rumah, ibu Eva memberikan pembagian tugas yang harus dikerjakan sesuai dengan tingkatan anak masing-
masing. Beliau mengaku, sekolah tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya faktor untuk pembelajaran anak karena harus juga didukung oleh banyak faktor lain
seperti dukungan dari keluarga terutama orang tua di rumah. Perhatian yang diberikan orang tua dirumah mengenai pekerjaan rumah anak yang diberikan oleh
sekolah mampu memotivasi anak untuk belajar. “Nah untuk belajar dirumah atau pekerjaan rumah pun saya
memberikan perbedaan bagi yang lebih bisa dan yang masih kurang bisa dalam pelajaran tertentu. Karena terkadang walaupun sama-sama murid
baru anak ini kan punya perbedaan, karena dipengaruhi bagaimana mereka dirumah. Ada siswa yang tidak mau mengerjakan apa-apa kok
dirumahnya, bersama kita disekolah cuma berapa jam lah. Jadi banyak faktor juga yang mendukung si anak untuk dapat mudah untuk belajar
sesuatu.” Sebagai sekolah yang berbasi lingkungan, program bembelajaran yang
diberikan oleh ibu Eva berkaitan erat dengan pemanfaatan lingkungan. Namun, beliau mengaku dalam mengajar tetap mengikuti kurikulum dari dinas pendidikan
namun diramu dengan kekhasan yang dimiliki sekolah alam. Yaitu dengan pemanfaatan segala sesuatu yang ada di alam sebagai alat belajar siswa.
“Kan kurikulum TK itu per-tema, tema diri sendiri, lingkungan, tanaman, binatang dan transportasi semua itu pengenalan. Kalau kita,
semua kurikulum Diknas kita pakai hanya saja metode dan tekniknya yang kita bedakan dengan cara-cara sekolah lain dan kita punya kurikulum
khas sendiri. Misalnya kemarin kita masuk tema tanaman, jadi kita pergi menanam padi itu sebenarnya sudah mencakup semua tema dan banyak
hal yang sudah tercakup disitu. Kita sudah belajar binatang ketika berada disitu, ada burung, ada kodok dan ada capung disitu. Dan disitu juga kita
sudah mengajarkan kepada anak yaitu ada tema profesi, ada petani disitu dan mereka ngobrol langsung dengan petaninya. Berikutnya kita sudah
Universitas Sumatera Utara
belajar lingkungan disitu, kita lihat lingkungan disitu ada tanah, langit, awan dan matahari. Jadi satu tema di sekolah alam itu pasti sudah
mencakup semuanya.” Ibu Eva mengaku dengan menggunakan alam sebagai wadah
pembelajaran, tidak membuat para anak merasa bosan selayaknya belajar di dalam kelas. Menurutnya dengan banyaknya hal baru yang mereka temui setiap harinya,
membuat mereka terus antusias dalam belajar. Ibu Eva mengaku, anak-anak sangat menunggu untuk pelajaran menanam. Dimana anak-anak antusias turun
langsung kesawah dalam pelajaran menanam padi. Beliau mengaku, situasi tersebut sangat baik untuk memberikan pembelajaran kepada anak-anak dimana
mereka sedang mempelajari hal yang mereka sukai. Mereka juga tidak akan bosan selayaknya melakukan kegiatan belajar didalam kelas.
“Gak ah, mereka selalu nunggu-nunggu apalagi untuk belajar kesawah. Untuk menanam padi misalnya, kita ajarkan dulu filosofi bahwa
ini adalah ciptaan Tuhan dan nasi yang kamu makan setiap harinya itu dari sini asalnya. Karena banyak anak yang tidak tahu pohon padi, jadi
kita memberitahu dari sini loh asalnya nasi dan padi itu pun tidak langsung dia berbuah tapi membutuhkan proses kan dimana menunggu
enam bulan dulu dan dirawat dengan baik sama petani lalu dipetik, kemudian tidak langsung jadi nasi dirumah. Karena orangtua harus
bekerja dulu, terus berbelanja kemudian dimasak baru jadi nasi yang dimakan setiap harinya. Dan yang member pertumbuhan itu adalah
Tuhan maka kita harus selalu bersyukur kepada Tuhan. Nah udah banyak kan yang bisa dipelajari si anak disitu. Paling karena seringnya belajar
langsung keluar mereka terkadang bosannya belajar dikelas.” Dalam mengatasi kejenuhan siswa ketika mengadakan proses belajar
dikelas, ibu Eva mengaku selalu mencari cara yang menarik bagi mereka. Menurut ibu Eva, belajar sambil bermain keluar kelas sangat efektif dalam
mengatasi kejenuhan siswa. Metode ini dapat dilakukan oleh ibu Eva bersama siswanya di pekarangan sekolah yang menyediakan berbagai wadah untuk
pembelajaran.
Universitas Sumatera Utara
“Kita selalu mencari teknik-teknik yang dapat digunakan, misalnya kita lagi belajar berhitung. Kita pergi keluar kelas kita berjalan
keluar kan banyak pohon cokelat disitu kan dan berbuah, anak-anak dapat belajar berhitung dari buah cokelatnya dan itu sudah pasti tidak membuat
mereka bosan lagi. Nah, disitu sudah tidak hanya belaar menghitung lagi, sudah juga belajar mengenal warna dari warna tumbuhan yang ada dan
tidak habis disitu juga kita belajar melalui buah cokelat yang sudah masak kemudian di makan lalu disitu anak juga sudah belajar soal rasa.”
Selain belajar di sekolah, ibu Eva juga berkunjung kerumah para siswanya untuk sekedar melihat anak dirumah dan berdiskusi dengan orang tua mengenai
perkembangan si anak. “Ya, kita punya juga kunjungan kerumah karena ada juga saat-
saatnya mereka jenuh ya bersekolah jadi kita datang untuk ngobrol dengan orang tua dan juga si anak.”
Tanggapan yang diberikan oleh para orang tua siswa juga positif terhadap cara mengajar yang dilakukan oleh Ibu Eva. Beliau juga mengaku bahwa para
orang tua siswa selalu memiliki pandangan yang sama dengan sekolah. “Positif ya, mereka senang karena disetiap tahun ajaran baru
dihari pertama sekolah itu kan orang tua selalu mengantar anak-anaknya dan saya juga membuat pertemuan dengan orang tua untuk
mempresentasikan bagaimana sih sekolah kita ini. Dan orang tua selalu memiliki pandangan yang sama dengan sekolah.”
Ibu Eva mengaku berhasil dalam membentuk dan mengembangkan kemandirian para siswa melalui strategi pembelajaran yang diterapkan. Kemandirian para
siswa cepat berkembang sejak awal mengikuti pembelajaran di sekolah. Banyak hal-hal baru yang mereka pelajari setiap harinya mampu menambah kemandirian
siswa yang belum tentu mereka dapatkan dirumah. Menurut beliau, kemandirian awal yang paling sulit diraih para siswa adalah ditinggal oleh orang tua di sekolah.
Selain itu, untuk melakukan kegiatan-kegiatan dasar seperti membuka sepatu, kaos kaki dan makan sendiri dibutuhkan tahapan pembelajaran dan waktu sampai
mereka bisa melakukannya secara mandiri.
Universitas Sumatera Utara
“Saya kira berhasil lah ya. Kalau untuk kemandiriannya mereka cepat berkembang, misalnya saja dari hal ditemani Orang tua. Itu hal
pertama ya dimana anak mandiri dulu untuk ditinggal di sekolah. Untuk anak Play group itu bisa sampai tiga minggu untuk ditunggui Orang Tua,
tapi kalau anak TK bisa hanya dalam 3 hari ditunggui Orang tuanya. Nah utuk itu kita memberi tahapan juga dimana Orang tua menunggu, mulai
menunggu di dalam kelas, kemudian di luar kelas. Hal ini paling sulit sebenarnya untuk anak-anak dimasa awal sekolah mereka. Kemandirian
yang lain bisa dilihat juga dari belajar untuk memakai kaos kaki sendiri, sepatu sendiri, makan sendiri karena mereka mungkin dirumah masih
dibantu oleh Orang Tua tapi disini semua harus dilakukan sendiri.” Untuk mengetahui perkembangan kemandirian setiap siswa, ibu Eva dapat
melihat proses perkembangannya setiap hari disekolah. Banyak hal yang setelah mereka pelajari bersama mampu memberikan perubahan pada siswa terutama
terhadap kemandiriannya. Beliau juga memerlukan bantuan dan dukungan dari orang tua siswa untuk menambah kemandirian anak mereka dirumah.
“Yang tadinya masih mengandalkan orang tua dalam melakukan banyak hal namun setelah sekolah akhirnya bisa mandiri, bisa
mengerjakan banyak hal sendiri. Mulai dari pakai baju, mandi, makan udah bisa sendiri. Ada juga anak yang pulang sekolah sampai dirumah
langsung semangat dalam mengerjakan PR yang diberikan Gurunya. Nah, keberhasilan itu semua juga harus dibantu oleh orang tua dirumah
bagaimana cara orang tua juga untuk menambah juga kemandirian si anak dengan dukungan yang diberikan.”
Ibu Eva mengaku mendapat tanggapan yang baik dari orang tua siswa, mereka juga menyampaikan perkembangan yang dialami oleh anak mereka
dirumah. Keberhasilan beliau pada akhirnya mendapat apresiasi dari orang tua siswa.
“Orang tua juga banyak menyampaikan perubahan-perubahan yang terjadi sama anak mereka, misalnya ada anak yang tadinya masi
ngedot, dirumah udah gak ngedot lagi. Terus ada juga murid yang tidak mau potong rambut dirumah, nah Orang tua si anak ini meminta sama
Universitas Sumatera Utara
kita supaya si anak disuruh potong rambut, dan ia akhirnya mau potong rambut karena disuruh sekolah. Banyak perubahan lah yang terjadi
setelah mereka sekolah, dan yang paling nyata itu adalah berdoa, sebelumnya anak-anak ini kebanyakan tidak tahu berdoa. Orang tua pun
senang juga ya ketika mereka sudah bisa berdoa apalagi bisa juga dalam bahasa inggris. Mereka menjadi pemimpin doa makan dirumah, nah kalo
disekolah setiap harinya ketika diminta untuk memimpin doa pasti berebutan.”
Informan Guru II
Nama : Dewi Rasmeitha Ginting
Tanggal Wawancara : 9 Oktober 2014 Pukul
: 12.00 WIB Tempat
: Sekolah Alam Bukit Hijau Medan Dalam wawancara peneliti dengan ibu Dewi, ibu Dewi mengaku sudah
sekitar 4 tahun mengajar di sekolah alam Bukit Hijau. Dalam menjalani profesinya sebagai tenaga pengajar, Ibu Dewi mendapat dukungan dari keluarga
terutama dukungan dari sang suami. Awal ketertarikan beliau untuk mengajar anak usia dini adalah karena kesenangannya dengan dunia anak. Beliau juga
senang berbagi ilmu yang ia dapatkan sebagai lulusan ilmu pendidikan keguruan. Selain itu, ibu Dewi mengaku tertarik untuk mengenal berbagai karakter dari anak
usia dini. “Saya memilih mengajar anak usia dini ya karena saya sangat
senang dengan dunia anak, saya senang berbagi dengan anak dan senang juga untuk mengenal karakter dari setiap anak.”
Ibu Dewi mengaku tertarik untuk mengajar di sekolah alam bukit hijau karena menyukai konsep pembelajaran yang ditawarkan oleh sekolah.
Menurutnya, konsep belajar yang berbasis lingkungan tidak menjemukan. Membuat kegiatan belajar dengan memanfaatkan alam mampu mempermudah
guru dalam mengeluarkan berbagai kreativitas sehingga mempermudah siswa untuk menangkap pelajaran tersebut.
Universitas Sumatera Utara
“Alasan saya yang utama karena konsep sekolah ini ya. Konsep sekolah ini tidak menjemukan karena disini kita mengajar dengan
kretivitas kita dalam menggunakan alam untuk mempermudah siswa untuk paham dalam proses belajar. Misalnya saja ketika beljar dikelas ada
siswa yang bosan, kita bisa keluar dan belajar diluar sehingga mereka tidak merasa bosan”.
Dalam menghadapi anak usia dini, ibu Dewi juga mengaku mengalami berbagai kesulitan di awal. Namun seiring dengan mengenal dan memahami
karakter dari setiap anak didiknya, ditambah dengan penentuan strategi yang tepat dapat menghadapi berbagai karakter anak usia dini tersebut.
“Kalau kesulitannya ya karena anak-nak itu kan masih harus didekati dulu pribadinya, bagaimana kita memahami karakter anak. Ada
anak yang harus dibujuk dan ada juga anak yang harus dengan tegas kita didik. Jadi harus dipahami terlebih dahulu karakter si anak agar dapat
ditentukan strategi apa nih yang sesuai untuk diterapkan dalam belajar.” Ibu Dewi mengaku memberikan hukuman kepada setiap anak didiknya
yang melakukan kesalahan dalam prose belajar di sekolah. Hukuman yang biasa di berikan adalah yang beliau namakan hukuman di sudut ruangan. Setiap anak
yang melakukan kesalahan akan di pindahkan kesudut ruangan untuk memberikan efek jera sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang telah dilakukan.
“Untuk setiap kesalahan kita membuat hukuman, salah satunya itu hukuman di sudut ruanagan namanya. Kalau misalnya ada anak yang
ribut terus tidak bisa diingatkan atau lari-lari terus kita hukum dengan membuat bangkunya di sudut. Dia tetap ikut dalam belajar tapi di buat
disudut. Nah, dari hukuman ada efek jera dari si anak karena mereka akan bingung sendiri dan bosan sendiri karena dipisahkan dari teman-
temannya dan untuk selanjutnya di tanya mau dihukum lagi disudut si anak jera dan tidak mau lagi melakukan kesalahan.”
Dalam pandangan ibu Dewi, proses pembelajaran dengan menggunakan metode belajar berbasis lingkungan alam membuat para siswa dapat dengan
mudah mengerti. Konsep yang terapkan lebih kepada belajar melalui permainan.
Universitas Sumatera Utara
Jadi anak didik mendapatkan banyak pembelajaran setiap harinya melalui kegiatan yang dilakukan di alam. Beliau mengaku metode ini efektif bagi anak
didiknya karena mereka tidak merasa dipaksa untuk belajar. “Metode belajar yang diterapkan tidak kaku dan membuat suatu
proses belajar yang santai dan mudah dimengerti anak melalui konsep belajar dialam. Jadi konsepnya lebih kepada penerapan belajar sambil
bermain. Jadi seringkali ketika berada di luar belajar langsung dialam siswa merasa tidak belajar padahal dari proses interaksi mereka dengan
menggunakan media alam sudah merupakan pembelajaran yang lebih efektif bagi mereka karena mereka tidak merasa dipaksa dan tidak merasa
bosan. Selain itu, mereka juga belajar menanam tumbuhan dari benih, merawat tumbuhan itu sampai besar dan memetik hasilnya. Jadi mereka
bisa belajar mengenal tumbuhan melalui proses pertumbuhannya hingga hasilnya bagaimana.”
Konsep belajar yang di terapkan oleh sekolah alam bukit hijau berbeda dengan konsep belajar yang ada disekolah lainnya. Kebanyakan sekolah menurut
beliau hanya berorientasi pada hasil akhir yang ingin di capai dengan menggunakan cara belajar yang memaksa. Cara ini menurut beliau kebanyaan
dilakukan oleh sekolah lain demi mendapatkan citra sekolah yang baik. Berbeda dengan sekolah alam bukit hijau, ia menambahkan bahwa di sekolah tersebut,
anak diajak belajar sambil bermain dan menentukan cara belajar sesuai kesenangan anak didik.
“Yang membedakan sekolah ini dengan sekolah lain itu terletak pada konsep belajar dengan alam yang mungkin tidak ditemukan di
sekolah lainnya. Yang lainnya mungkin sekolah lain lebih berorientasi kepada hasil dan dengan menggunakan cara belajar dengan cara
memaksa siswa untuk mencapai suatu target demi citra sekolah. Kalau disekolah ini anak diajak belajar sambil bermain dan belajar sesuai
kesenangan si anak.” Untuk itu, beliau merasa bahwa konsep belajar dengan memanfaatkan
alam sangat efektif digunakan untuk anak usia dini seperti pengalaman yang telah beliau jalankan. Karena menurutnya, kegiatan belajar dapat dilakukan tanpa
Universitas Sumatera Utara
disadari oleh anak didik karena dibuat dengan konsep bermain di alam. Dengan demikian, anak didik yang pastinya senang dengan bermain dapat sambil
mendapatkan pelajaran. “Ya, pastinya lebih efektif. Ya karena kita disini belajar sambil
bermain, kita bebas bermain di alam tapi tanpa disadari semua kegiatan bermain yang terjadi itu sudah belajar juga disitu.”
Sama seperti yang dilakukan oleh ibu Eva, ibu Dewi pun mengacu kepada pengenalan karakter yang dimiliki siswanya dalam menerapkan strategi
komunikasi yang akan digunakan. Hal ini dikarenakan setiap anak yang memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga beliau harus mempersiapkan berbagai
sarana untuk mengatasi perbedaan tersebut. Beliau juga mengaku diawal-awal pertemuan mengikuti terlebih dahulu kesukaan anak sambil mengarahkan anak ke
konsep belajar yang ditentukan. “Untuk membuat strategi yang akan saya gunakan, terlebih dulu
harus mengenali dulu anak murid saya satu-persatu, kemudian mencari tahu apa kira-kira kesukaan mereka karena anak usia dini ini kan sanagat
terbuka dan terkadang mereka sendiri yang memberitahu kalo mereka sedang suka yang bagaimana. Diawal kita memang harus mengikuti dulu
kemauan mereka, setelah beberapa lama sudah bisa diarahkan sesuai dengan konsep yang kita buat. Nah, setelah mengetahui kita bisa memberi
respon yang tepat gitu. Setiap anak memiliki perbedaan kan, ada yang suka belajar di kelas melalui buku, ada juga yang langsung bosan maka
harus dilakukan pembagian yang tepat. Kalau yang saya liat selama ini lebih cepat mereka antusias itu kalau belajar langsung keluar dengan
menggunakan media yang ada di alam. Seperti belajar berhitung menggunakan buah dan belajar mengenal warna melalui warna daun dan
tumbuhan yang ada di pekarangan disekolah ini.”
Penggunaan komunikasi verbal dan nonverbal menurut ibu Dewi terjadi setiap harinya dalam proses belajar mengajar. Untuk mendapatkan hasil yang baik
dalam mengajar, ibu Dewi mengaku mengombinasikan penggunaan verbal dan nonverbal sehingga dirasa ampuh untuk mendapat hasil yang baik. Karena, untuk
Universitas Sumatera Utara
anak usia dini penggunaan komunikasi verbal yang terlalu dominan tanpa menyeimbangkannya dengan nonverbal akan membuat bosan mereka.
“Dalam proses belajar pasti keduanya itu digunakan setiap hari ya, baik itu ketika di dalam kelas atau ketika kita sedang belajar di luar
kelas. Untuk anak usia dini ini, mereka akan lebih mudah dipahami ketika kita memberikan penjelasan di ikuti juga dengan memberikan contoh
seperti gerakan, memperlihatkan bendanya atau yang lainnya. Jadi tidak bisa hanya dengan berbicara terus di kelas, yang seperti itu pasti
membuat bosan mereka. Jadi harus dikombinasikan dengan pas lah.” Tanggapan yang di terima ibu Dewi beragam dari anak didiknya mengenai
strategi komunikasi yang ia gunakan. Ada anak yang tidak perduli dengan apa yang di sampaikan namun ada juga anak yang perduli dan menyampaikan
pendapatnya. Ia mengaku butuh waktu untuk memotivasi anak melaui berbagai penjelasan agar mereka mengerti.
“Tanggapan anak biasanya itu ketika belajar tidak mau mendengarkan maka harus terus diberikan motivasi dan dukungan
melalui penjelasan yang dapat dimengerti juga oleh mereka. Ada anak yang jika tidak suka dia langsung bilang dan ada juga anak yang memang
dia tidak ada niat untuk berontak ya tapi selalu ikut aja apa yang saya perintahkan.”
Ibu Dewi mensiasati anak yang memiliki kemampuan lambat dalam menerima pelajaran dengan mengatur posisi duduk anak didiknya di kelas. Anak
yang belum mengerti akan di tempatkan posisinya di depan agar lebih dekat untuk di perhatikan.
“Untuk mengakali kalau ada anak yang masih belum paham dengan cara belajar yang saya terapkan, saya biasanya mengatur posisi
duduknya. Untuk anak yang masih kurang memahami dibuat didepan, jadi ketika menjelaskan bisa dekat untuk kita memperhatikan.”
Sudah 4 tahun mengajar di sekolah alam buki hijau, ibu Dewi selalu mendapat respon yang baik dari orang tua siswa. Belum ada orang tua yang
menyampaikan kritik terhadap cara mengajar dan strategi komunikasi yang ia lakukan.
Universitas Sumatera Utara
“Kalau tanggapan orang tua baik dan positif ya, sampai sekarang belum terhadap cara mengajar belum ada tanggapan negatif.”
Banyak perubahan yang dialami anak didik ibu Dewi dari awal masuk sekolah. Perubahan yang terjadi menunjukkan peningkatan kemandirian anak,
karena mereka akhirnya bisa berhasil melakukan berbagai hal sendiri setelah proses pembelajaran di sekolah.
“Sudah lumayan ya banyak perubahan sejak pertama anak masuk ke sekolah ini sampai sekarang, misalnya saja yang dulunya belum bisa
memakai sepatu sendiri sekarang sudah bisa karena disini kita mengajarkan mereka untuk mandiri melakukan segalanya harus sendiri.”
Untuk mengetahui perkembangan anak didiknya, ibu Dewi memantau perkembangan yang terjadi setiap harinya. Ia mengaku bisa melihat keberhasilan
yang dialami anak didiknya dan juga kekurangan yang masih ada pada anak. “Kalau untuk perkembangan mereka, setiap hari sih bisa kita lihat
bagaimana perkembangan kemandirian mereka. Semua bisa dilihat ketika belajar, makan atau bermain bersama. Begitu juga sama yang masih
kurang, kita bisa melihat apa yang kurang atau belum berhasil pada anak setiap harinya.”
Informan Guru III
Nama : Hesty Sitompul
Tanggal Wawancara : 10 Oktober 2014 Pukul
: 11.30 WIB Tempat
: Sekolah Alam Bukit Hijau Medan
Ibu Hesty merupakan informan guru ke tiga dalam penelitian ini. Ia sudah mengajar di sekolah alam bukit hijau sejak tahun 2010. Ibu Hesty pernah
mengajar di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Ia mengaku lebih nyaman mengajar anak usia dini karena ingin berinteraksi dengan
anak-anak.
Universitas Sumatera Utara
“Saya pernah juga mengajar di SMP dan SMA tapi saya lebih nyaman mengajar anak usia dini ini karena ingin berinteraksi dengan
anak-anak belajar mengenal karakter anak” Sama dengan ibu Dewi, ibu Hesty mengaku menyukai konsep yang di
miliki sekolah alam yaitu konsep belajar berbasis alam. Walaupun tidak memiliki latar belakang pndidikan sebagai pengajar, ia tetap didukung oleh keluarga. Ia
mengaku sudah mengajar anak-anak sejak tamat dari perkuliahan. “Keluarga mendukung walaupun sebenarnya kan latar belakang
pendidikan saya kan bukan keguruan tapi semenjak tamat dari perkuliahan saya sudah mengajar.”
Terdapat banyak perbedaan yang di temukan ibu Hesty antara sekolah alam bukit hijau dengan sekolah lain. Ia mengaku tidak hanya betuk sekolah alam
yang menyatu dengan alam saja yang beda, namun konsep belajarnya pun berbeda.
“Banyak ya bedanya, dari mulai bentuk sekolahnya yang langsung di alam, metode belajar yang menyatu dengan lingkungan dan juga ya
kita memiliki suatu kreativitas dalam memanfaatkan barang bekas untuk dijadikan barang yang dapat digunakan kembali.”
Sama hal nya dengan ibu Dewi dan ibu Eva, ibu Hesty juga mendapati kesulitan dalam mengajar anak usia dini. Ia mengaku dituntut untuk sabar dalam
memberikan arahan kepada anak didiknya. Masih sulitnya anak usia dini untuk belajar atau mengingat arahannya menjadi tantangan kesabarannya sebagai
seorang guru. “Yang saya lihat ya, tidak semua orang bisa mengajar anak usia
dini. karena mengajar anak ini kan harus sabar ya, kita harus berulang- ulang memberi arahan karena mereka kan masih sulit untuk mengingat.
Misalnya hari ini kita belajar menghafal sesuatu dan besoknya mereka sudah lupa lagi. Walaupun kita capek untuk terus-menerus untuk
mengingatkan mereka tapi disitu juga lah kesabaran itu di uji sebagai guru.”
Selain kegiatan belajar di lingkungan sekolah, ibu Hesty juga membawa anak didiknya melakukan kegiatan keluar sekolah. Kegiatan ini merupakan
Universitas Sumatera Utara
program sekolah alam bukit hijau, dimana dalam setahun mereka melakukan kegiatan belajar untuk menambah wawasan siswa.
“Kita punya program ya untuk melakukan kegiatan keluar sekolah dan bisanya juga keluar kota untuk melihat dan belajar banyak hal lain
lagi yang ada di luar. Misalnya kita pernah ke berastagi bersama siswa melihat strawberi yang ada disana dan yang lain itu melakukan
penanaman pohon di binjai. Setiap semester itu pasti sekolah melakukan kegiatan keluar untuk menambah wawasan siswa juga.”
Mengenai metode belajar di alam, beliau memanfaatkan semua yang ada di alam untuk proses belajar. Menurutnya, alam dapat di pakai sebagai alat atau
wahana untuk memberikan pelajaran kepada anak. Ia mencontohkan belajar berhitung dengan menggunakan media batu dan daun. Ia menambah kan, dengan
menggunakan satu media anak dapat belajar banyak hal. “Metode yang diterapkan dalam belajar yaitu menyatu dengan
alam, maksudnya semua yang ada di alam ini kita manfaatkan. Misalnya dalam belajar berhitung kita menggunakan batu, daun dan yang lainnya
bisa digunakan juga sebagai media belajar bagi anak. Dari daun tadi kita sudah bisa belajar banyak hal, mulai dari berhitung tadi dan juga sudah
belajar warna.” Belajar di alam sangat efektif menurut beliau karena anak akan sangat
suka jika melakukan kegiatan belajar dengan langsung praktik. Dari pada belajar dikelas dengan buku, Ia melihat anak lebih suka melihat langsung tanaman yang
ada di pekarangan dan anak didiknya lebih mudah mengerti. “Ya, sangat – sangat efektif. Karena kan kita belajar langsung di
alam dan anak sangat suka belajar dengan langsung melakukan praktik. Misalnya seperti belajar tumbuhan kita bisa langsung melakukan
penanaman atau melihat langsung tumbuhan itu tadi, jadi mereka bisa dengan mudah mengerti di banding hanya belajar dikelas melalui buku.”
Sebagai guru, ibu Hesty harus selalu punya cara agar bagaimana anak didiknya tidak merasa bosan ketika sedang belajar. Banyak cara yang beliau
lakukan agar anak didiknya semangat belajar setiiap hari. Cara yang ia lakukan
Universitas Sumatera Utara
adalah dengan mempersiapkan hal-hal baru yang disukai anak didiknya. Ia mengaku selalu memberikan permainan baru bagi anak didiknya.
“Merasa bosan pasti ada ya, setiap anak kan berbeda-beda dan juga ada perbedaan semangat belajarnya setiap hari. Untuk itu sebagai
guru kita harus mensiasati agar bisa melawan kebosanan yang dialami para anak. Misalnya dengan melakukan hal-hal baru, permainan baru,
nyanyian baru dan yang lainnya.” Dalam menghadapi anak didiknya, ibu Hesty memiliki strategi komunikasi
yang ia nilai efektif dalam proses belajar. Ia mngaku menggunakan bahasa dan cara dia berbicara sehari-hari dengan anak didiknya. Dengan demikian ia berharap
bisa lebih dekat dengan anak didiknya, sehingga dapat membuat suasana belajar yang nyaman bagi anak.
“Kalau cara saya berkomunikasi dengan anak menggunakan cara saya sehari-hari berbicara ya, jadi saya sebisa mungkin membuat suasana
belajar itu tidak kaku.” Keseimbangan antara verbal dan nonverbal penting dalam strategi
komunikasi yang dilakukan oleh ibu Hesty. Menurutnya, sebagai guru ia harus mengetahui kondisi anak didiknya ketika sedang belajar. Terlalu banyak
memberikan penjelasan secara verbal akan membuat anak bosan. Melihat kondisi tersebut, beliau menyiasatinya dengan menyeimbangkan proses belajar dengan
bermain, bernyanyi dan menari bersama anak didiknya. “Kalau dalam proses belajar untuk anak usia dini ini ya kita harus
peka melihat kondisi mereka dalam belajar, karena kalau kita terlalu banyak berbicara pun mereka pasti akan bosan jadi harus diseimbangkan
dengan menggunakan berbagai media. Ketika kita melihat anak sudah mulai bosan, harus disiasati dengan berbagai selingan seperti bermain,
bernyanyi dan menari bersama.” Tidak jauh berbeda dengan ibu Eva dan Ibu Dewi, ibu Hesti pun mengaku
mendapat tanggapan yang baik dari orang tua anak didiknya. Ia mengaku mendapat pujian dan juga ucapan terimakasih atas hasil yang didapatkan anak
mereka di sekolah.
Universitas Sumatera Utara
“Tanggapan dari orang tua sampai saat ini masih yang baik-baik saja, banyak orang tua memberikan pujian dan ucapan terimakasih ke
saya karena perkembangan anak mereka setelah bersekolah disini.”
Ibu Hesty mengaku belum mendapatkan keluhan dari orang tua siswa terkait dengan cara mengajarnya di sekolah. Ia pun mengatakan terbuka untuk
masukan dari orang tua demi memperbaiki cara mengajarnya sebagai guru. “Sampai saat ini belum pernah ada keluhan ya, tapi kalau saja
nanti ada keluhan pasti saya menerimanya dan bisa juga untuk memperbaiki cara mengajar saya.”
Sama seperti ibu Eva dan ibu Dewi, ibu Hesty pun merasa bahwa strategi komunikasi yang diterapkan berhasil membentuk kemandirian anak usia dini.
Menurutnya, belajar di alam secara langsung menuntut anak untuk cepat mandiri. Banyak hal yang dilakukan di sekolah untuk membangun kemandirian pada diri
anak usia dini. “Untuk kemandirian ukuran anak usia dini sangat-sangat berhasil, karena
dengan belajar di alam ini kita menuntut anak untuk cepat mandiri. Misalnya seperti memakai sepatu sendiri, makan pun disini harus
dilakukan sendiri dan banyak kegiatan lain yang mampu menambah kemandirian si anak itu.”
Ibu Hesty mengaku dapat melihat perkembangan anak didiknya setiap hari di sekolah. Selain itu, ia juga melalui cerita dari orang tua siswa mengenai
perkembangan yang mereka alami di rumah. “Untuk mengukur keberhasilan itu dapat kita lihat
perkembangannya setiap hari ya, karena kita kan berjumpa setiap hari disekolah. Dan juga melalui cerita orang tua mengenai perkembangan
kemandirian mereka dirumah.” Sebagai guru, ibu Hesty merasa bangga ketika mendapat tanggapan yang
positif dari orang tua siswa. Ia merasa berhasil mendidik anak didiknya ketika melihat perkembangan yang terjadi setiap hari. Karena menurutnya, orang tua
menyekolahkan anaknya tentu dengan harapan bahwa anak akan berkembang melalui proses pembelajaran.
Universitas Sumatera Utara
“Tanggapan orang tua sangat baik ya, apalagi kan orang tua sangat senang melihat perkembangan anak setiap harinya karena
memang itulah tujuan dari setiap orang tua menyekolahkan anaknya disini. Seperti ketika mengantar atau menjemput si anak, orang tua itu
antusias ya menceritakan perkembangan anaknya, anaknya sekarang sudah bisa ini, sudah bisa itu dan sebagai guru saya juga bangga karena
berarti saya berhasil dalam mendidik anak mereka.”
Informan Guru IV
Nama : Endang Asmara Sipahutar, S.Pd
Tanggal Wawancara : 13 Oktober 2014 Pukul
: 11.00 WIB Tempat
: Sekolah Alam Bukit Hijau
Wawancara dengan ibu Endang dilakukan di ruangan kelas playgroup sekolah alam bukit hijau. Ibu Endang juga sudah empat tahun mengajar di sekolah
alam bukit hijau. Ia mengaku memutuskan untuk mengajar anak usia dini setelah melihat anaknya masuk ke sekolah alam bukit hijau. Apalagi profesi ini sesuai
dengan latar belakang pendidikannya yaitu di bidang keguruan dari salah satu Universitas Negri di Medan. Ia juga mengaku tertarik dengan metode yang di
terapkan oleh sekolah. “Awalnya karena anak saya sekolah disini, terus saya melihat
suasana sekolahnya yang asik sekali belajar di alam. Kemudian saya lihat metodenya dan cara belajarnya yang membuat saya tertarik untuk
mengajar di sekolah ini.” Sama dengan ke tiga guru sebelumnya, ibu Endang memandang sekolah alam
bukit hijau memiliki konsep yang berbeda dengan sekolah lainnya. Ia melihat sekolah memberikan banyak hal yang dapat dipelajari oleh anak usia dini.
menurut pandanganya, ahlak, moral dan kreativitas merupakan poin yang diutamakan sekolah untuk diajarkan kepada anak.
“Kalau menurut saya yang membedakannya karena sekolah alam konsep belajarnya bersama dengan alam, terus sekolah melalui guru
Universitas Sumatera Utara
menekankan pada akhlak anak, mengajarkan supaya anak itu lebih bermoral dan kita juga belajar membuat kreativitas minimal itu dua kali
dalam seminggu. Jadi anak-anak ini juga kita latih motoriknya untuk membuat kreativitas. Jadi anak kita pintar, berakhlak dan juga punya
krativitas. Dan itu semua saya rasa menjadi keunggulan juga dari sekolah alam ini dibanding sekolah lain.”
Ibu Endang tidak mendapati kesulitan dalam mengajar anak usia dini. berbeda dengan ketiga guru sebelumnya yang merasa kesulitan diawal mengenal
karakter anak, ia mengaku sampai saat ini masih bisa mengatasi hal tersebut. “Belum ada ya, mungkin kesulitannya di awal itu harus bisa untuk
mengerti karakter anak satu persatu, tapi sampai saat ini masih bisalah saya atasi.”
Dalam mengajar di alam, ia membawa anak bermain sambil belajar. Ia mengaku membuat materi yang mudah terlebih dahulu agar bisa diikuti oleh
semua anak. Menurutnya belajar dialam dapat membuat anak belajar banyak hal sekaligus.
“Kita ambil yang simple dulu karena mereka juga belum bisa mencerna kalau terlalu banyak yang digunakan. Misalnya belajar
mengenal tumbuhan, kita langsung menunjukkan kepada mereka daun, daun itu warnanya hijau, warna hijau itu seperti ini. Dengan begitukan
kita sudah belajar banyak hal dari tumbuhan dan mereka bisa langsung melihatnya tidak hanya membayangkan atau melihat gambarnya saja.
Kita juga tidak hanya belajar dikelas, kadang saya bawa juga mereka ke luar untuk mengenal tanaman-tanaman yang ada di sekolah alam ini. Jadi
sekalian kita pengenalan jenis tumbuhan , warna, bentuk , rasa kepada anak-anak.”
Walaupun dinilai metode belajar dialam sangat efektif untuk anak usia dini, beliau mengaku ada waktunya para anak didiknya merasa bosan namun
jarang terjadi. Kebosanan bisa terjadi karena anak didiknya tidak suka dengan pelajaran yang sedang dipelajari.
“Jenuh ada tapi sampai sekarang ini persentasenya sangat rendah yak arena mungkin konsep belajar yang ada di alam ini kan sebenarnya
Universitas Sumatera Utara
sangat variatif, tapi namanya juga anak-anak pasti ada suatu saat salah seorang anak jenuh karena mungkin ia lebih tidak suka pelajaran ini
dibanding dengan anak yang lain.” Dalam mengajar, ibu Endang menggunakan berbagai media. Menurut
beliau, anak usia dini harus lebih banyak pengenalan dalam proses belajarnya. Sama seperti ke tiga guru sebelumnya, ia mengaku menyeimbangkan antara teori
dengan praktek. “Kalau strategi komunikasi saya dalam mengajar itu
menggunakan media-media, misalnya seperti tadi ketika mengajar mengenai daun tidak hanya pada pengucapan saja tapi ada media
daunnya yang langsung diperlihatkan kepada anak. Jadi saya tidak hanya memberikan teori atau berbicara saja tetapi juga ada praktek atau
memperlihatkan langsung apa yang sedang dipelajari kepada anak. Karena untuk anak usia dini kita harus lebih banyak pengenalan jadi
harus memperlihatkan bentuknya secara langsung.”
Dalam strategi komunikasi yang dilakukan ibu Endang, ia mengaku menyeimbangkan penggunaan bahasa verbal dan nonverbal. Namun menurutnya,
verbal sedikit lebih dominan karena sangat penting bagi anak usia dini untuk menambah kosa kata baru yang belum mereka ketahui. Seiring berjalannya waktu,
beliau mengaku perkembangan anak semakin bertambah melalui proses komunikasi yang ia jalin bersama anak didiknya.
“Bahasa verbal dan nonverbal itu sudah pasti digunakan dalam belajar ya, misalnya saja ketika saya menerangkan sesuatu ke anak dan
bahasa nonverbal anak dalam menanggapi saya. Berbicara juga penting sekali bagi anak usia dini supaya mereka lebih bisa lagi untuk berbicara
dengan banayak kosa kata baru yang belum mereka ketahui. Awalnya anak usia dini ini belum mengerti juga sepenuhnya apa yang
diperintahkan oleh guru tetapi seiring berjalannya waktu mereka sudah menegerti dengan apa yang saya sampaikan setiap hari melalui proses
belajar. Jadi setiap hari memang kita sebagai guru harus banyak bicara dan mengenali karakter dari setiap anak-anak didik ini. Karena ada anak
Universitas Sumatera Utara
yang proses belajar bericaranya itu agak lebih lambat dari yang lain, jadi harus diajak berbicara setiap harinya agar vokalnya setiap hari terlatih
dan mampu mengikuti perkembangan teman-temannya.” Ibu Endang mengaku strategi komunikasi yang dijalankannya tidak
selamanya berhasil, ada kalanya anak didiknya jenuh dan bosan ketika belajar. Menanggap hal tersebut, beliau menyiapkan berbagai upaya untuk mengatasinya.
Sebagai guru, beliau mengaku bertugas untuk harus tetap memotivasi anak dalam belajar.
“Kalau tanggapan dari anak itu biasanya ketika mereka bosan atau jenuh ketika sedang belajar, disinilah tugas kita sebagai Guru untuk
tetap memovitasi anak dalam belajar. Jadi kita berusaha supaya mereka mau belajar dengan berbagai upaya lah.”
Mengajar untuk anak usia dini diakui beliau membutuhkan waktu agar dapat di terima oleh mereka. Beliau sering menemukan anak yang tidak langsung
mengerti dengan pelajaran yang disampaikan. Untuk itulah menurutya, anak usia dini harus diarahkan secara pelan-pelan dan member penjelasan berulang-ulang
agar mereka dapat mengerti. “Ada memang saya temukan dikelas saya ya, kalau saya menyuruh
untuk melakukan sesuatu itu terkadang dia tidak langsung bisa mengerti, jadi harus diarahkan pelan-pelan, dan dalam berkomunikasi atau
memberikan perintah pun harus satu-satu agar ia dapat mengerti. Setelah selesai satu perintah baru kita lanjutkan untuk yang berikutnya dan itu
pun harus kita tekankan berulang-ulang.” Sama sepeti ketiga guru sebelumnya, ibu Endang juga mengaku harus menyiasati
kejenuhan yang dialami oleh anak didiknya saat belajar. Ia mengaku Untuk mengatasi kejenuhan anak kita bisa mengatasinya dengan mengajak
bermain keluar, makanya Guru itu harus peka dalam melihat kondisi dari anak- anak ini. Karena untuk anak usia dini ini jika kita sudah belajar sampai dua materi
pelajaran mereka sudah capek dan jenuh, jadi selanjutnya mereka diberikan waktu untuk bermain. Nah kalo jenuh belajar di dalam kelas, saya ajak mereka keluar
bermain sambil belajar juga di lingkungan sekolah alam ini, karena memang konsep kita tidak monoton belajar didalam kelas.
Universitas Sumatera Utara
Selama ini ia belum ada mendapat keluhan atau tanggapan negatif dari orang tua siswa. Sama dengan ketiga guru sebelumnya, beliau mengaku orang tua
siswa menyampaikan tanggapan positif mengenai perkembangan anak mereka. “Kalau tanggapan yang negatif sampai saat ini belum ada ya,
untuk yang positifnya ada beberapa Orang tua yang menyampaikan perkembangan anaknya setelah beberapa bulan bersekolah disini.
Misalnya, ada yang menyampaikan kalau anaknya sekarang sudah lebih berani dan yang lainnya.”
Mengenai hasil kemandirian anak didiknya, beliau menjelaskan bahwa kemandirian anak pasti bertambah seiring waktu. Namun menurutnya, tingkat
keberhasilan kemandirian anak itu berbeda satu sama lain tergantung kepada daya tangkap anak tersebut dalam belajar. Menurutnya, dengan membiasakan anak
didiknya mandiri di sekolah dapat mempercepat keberhasilan itu sendiri. Beliau member contoh kemandirian yang di dapat anak didiknya dalam melakukan
kegiatan makan. Anak usia dini yang sebelumnya masih harus di bantu untuk makan sekarang sudah bisa melakukannya sendiri.
“Untuk hasil kemandirian itu pasti ada ya, walau berbeda tingkat keberhasilannya pada setiap anak karena disebabkan juga tingkat daya
tangkap setiap anak itu pun kan berbeda-beda. Misalnya dalam menulis, dari yang awal masuk masih harus dibantu untuk membuka dan memakai
sepatu sekarang sudah bisa melakukan sendiri walaupun masih perlu bantuan terkadang. Selain itu dalam hal makan disekolah, yang tadinya
masih harus disuapi dari rumah sekarang disekolah harus makan sendiri.”
Dengan bertemu setiap hari dengan ank didiknya setiap hari, ibu Endang mengaku bisa melihat bagaimana perkembangan yang mereka alami.
“Untuk perkembangan pasti bisa kita lihat setiap minggungnya bagaimana perkembangan-perkembangan yang terjadi.”
Sama seperti ketiga guru sebelumnya, beliau mengaku mendapat apresiasi dari orang tua siswa atas keberhasilannya mengembangkan kemandirian anak
mereka. Ia mengaku terkadang mendapatti orang tua terkejut dengan perkembangan yang dialami anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
“Tanggapan Orang tua kalau soal kemandirian pasti selalu positif ya, karena kebanyakan Orang tua juga kaget karena perkembanagan
anaknya yang begitu cepat setelah sekolah disini.”
Informan Guru V
Nama : Mutiara Sari Sijabat
Tanggal Wawancara : 14 Oktober 2014 Pukul
: 11.00 WIB Tempat
: Sekolah Alam Bukit Hijau
Ibu Mutiara merupakan guru yang sudah mengajar sejak awal berdirinya sekolah lam bukit hijau. Walaupun tidak memiliki latar belakang pendidikan
keguruan ia tetap memutuskan untuk menjadi guru. Selain karena masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik sekolah alam bukit hijau, beliau mengaku
tertarik mengajar karena konsep sekolah yang berbasis lingkungan. Waktu mengajar di sekolah yang hanya sampai pukul 11.00 WIB dinilai beliau cocok
dengan dirinya untuk mngurus keluarga dan memiliki anak yang masih balita. “Alasan memilih mengajar anak usia dini yang pertama itu karena
latar belakang pendidikan yang hanya lulusan diploma 3 jadi untuk memilih mengajar mungkin cocoknya masih untuk usia dini. selain itu,
karena waktu mengajar disekolah ini hanya sampai pukul 11.00 WIB, jadi ada waktu untuk mengurus keluarga terutama anak-anak juga masih
balita.” Mengenai profesinya sebagai tenaga pengajar, ia mengaku mendapat
dukungan dari keluarga terutama suaminya. Menurutnya, nilai positif yang dimiliki seorang pengajar lah yang membuat suaminya member dukungan. Selain
itu, waktu kerja juga tidak membuat beliau terganggu dalam mengurus rumah dan anak selayaknya ibu rumah tangga lainnya.
“Kalau dari keluarga sangat mendukung terutama suami karena yang saa kerjakan kan memiliki nilai positif sebagai pengajar. Apalagi
Universitas Sumatera Utara
tidak sampai mengganggu saya sebagai ibu rumah tangga dirumah dalam mengurus anak-anak.”
Menurut beliau, konsep belajar yang di tetapkan sekolah alam bukit hiaju merupakan pembeda dengan konsep belajar yang ada disekolah lainnya. Menurut
pengalamannya dalam mengajar, anak usia dini akan lebih mudah mengenal dan memahami sesuatu yang mereka pelajari dengan melihatnya langsung.
“Sangat berbeda ya, dari konsepnya yang belajar di lingkungan dan langsung belajar ke alam. Misalnya ketika belajar mengenal pohon,
kita langsung bisa melihat pohon itu seperti apa, tidak hanya berupa gambar yang membuat anak-anat itu berimajinasi. Anak-anak itu akan
lebih mudah mengenal dan memahami kalau langsung terjun melihat apa yang sedang dipelajari.”
Kesulitan yang di temui ibu Mutiara dalam mengajar anak usia dini adalah karena banyak anak yang membawakan dirinya seperti biasanya di rumah. Untuk
itu, beliau mengaku dituntut untuk mengenal karakter mereka lebih dekat agar bisa mengarahkan anak didiknya. Namun ia menemukan bahwa anak muridnya
lebih menghormati gurunya di bandingkan dengan orang tua mereka sendiri. Hal itu membantu beliau untuk dapat mengarahkan mereka dalam belajar.
“Kesulitan untuk mengajar anak usia dini yang mendasar itu karena membawakan diri mereka seperti dirumah. tapi anak-anak murid
itu lebih menghormati gurunya dibandingkan dengan orang tua karena guru merupakan orang baru yang mereka kenal jadi tidak begitu sulit lah
untuk mengarahkan mereka. Selain itu, ada juga anak yang belum lancar berbicara, belum semua bisa mengerti apa yang kita sampaikan jadi kita
harus memahami dulu anak itu satu-persatu.” Sama seperti yang dilakukan keempat guru sebelumnya, ibu Mutiara
mengaku memiliki hukuman bagi anak didiknya yang melakuan kesalahan. Hukan yang di berikan adalah dengan menyuruh anak tersebut beridiri di sudut ruang
kelas. Menurut beliau, hukuman tersebut bertujuan untuk memberi tahu anak agar mematuhi peraturan yang ada.
“Kalau anak dikelas saya misalnya melakukan kesalahan, misalnya ketika belajar ada anak yang jalan-jalan maka saya hukum dia
Universitas Sumatera Utara
berdiri di sudut kelas sampai dia meminta maaf. Terkadang ada yang sampai menangis. Ini membuat dia supaya kalau peraturan itu harus
ditaati.” Selain komunikasi yang terjalin di sekolah ketika belajar, beliau juga
melakukan kunjungan ke rumah siswa yang merupakan program dari sekolah alam bukit hijau. Selain itu, beliau juga berganitian dengan guru-guru lainya
mengantar dan menjemput hamper seluruh siswa setiap harinya. “Komunikasi di luar sekolah juga kita dilakukan, seperti misalnya
sekolah memiliki program juga untuk kunjungan kerumah siswa. Selain itu kita juga mengantar dan menjemput hampir semua siswa setiap hari.”
Mengenai konsep belajarr di alam, beliau mengaku menggunakan apa saja yang ada di alam untuk dikenalkan kepada anak didiknya. Selain mengenal, beliau
juga menggunakannya sebagai wadah anak didiknya untuk belajar. Beliau juga memberitahu anak didiknya bahwa semua yang ada di alam merupakan ciptaan
Tuhan dan mendidik anak untuk menjaga ciptaanNya tersebut. “Kalau saya ya, langsung memperlihatkan kepada anak apa saja
yang ada di alam. Misalnya saya memberitahu jenis hewan-hewan yang ada di lingkungan sekolah ala mini, seperti burung, katak, ikan dan yang
lain. Saya juga memberitahu kalau ini semua ciptaan Tuhan jadi tidak boleh disakiti. Terus seperti ikan, ikan itu boleh dimakan, tetapi tidak
boleh kita menghabiskan ikan itu semua karena nanti ikannya tidak bisa hidup lagi dan kita tidak bisa makan ikan lagi.”
Beliau juga mengaku metode belajar di alam sangat efektif bagi perkembangan anak usia dini. Menurutnya, anak akan lebih sehat dan kuat dengan
belajar di alam terbuka. Selain itu, anak juga bisa mengal dan mempelajari apa saja yang ia temukan di alam.
“Sangat efektif menurut saya, karena anak itu dari mulai kecil harus dikenalkan ke alam. Anak-anak itu akan lebih sehat kalau belajar
di alam lebih kuat dan anak-anak ini bisa terjun langsung melihat apa saja yang ada di alam.”
Strategi komunikasi yang digunakan oleh ibu Mutiara sama dengan strategi yang digunakan ibu Hesty dalam mengajar. Beliau mengaku dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan bahasa dan pembawaannya sehari-hari membuat anak merasa nyaman. Menurutnya, suasana belajar yang tidak kaku didapatkan dengan
kedekatan yang terjalin antara siswa dengan guru. Untuk itu, beliau mengaku selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan anak didiknya.
“Kalau cara saya berkomunikasi dengan anak menggunakan cara saya sehari-hari berbicara. Kalau cara saya berkomunikasi dengan anak
menggunakan cara saya sehari-hari berbicara ya. Jadi suasana belajar itu tidak kau, tidak tegang dan anak-anak pun merasa nyaman dan dekat
lah dengan guru mereka.” Sama dengan ke empat guru sebelumnya, beliau mengaku keseimbangan
antara verbal dan nonverbal dalam mengajar harus dijaga. Keseimbanagan ini menurutnya berperan dalam menjaga anak untuk tidak mudah bosan dengan
metode belajar yang ia berikan. Menurut pengalamannya, seorang guru harus peka dalam melihat kondisi anak didiknya saat belajar. Untuk mengatasi kejenuhan
siswa ketika ia berbicara di kelas, beliau mengkombinasikannya dengan kegiatan bermain menggunakan media yang ada dengan memanfaatkan yang tersedia di
lingkungan sekolah. “Kalau dalam proses belajar untuk anak usia dini ini ya kita harus
peka melihat kondisi mereka dalam belajar, karena kalau kita terlalu banyak berbicara pun mereka pasti akan bosan jadi harus diseimbangkan
dengan menggunakan berbagai media. Misalnya kita bisa mengajarkan mereka berbagai gerakan dalam menari untuk selingan belajar. Dan
dalam belajar kita juga menggunakan berbagai media sesuai konsep sekolah yaitu dengan memanfaatkan semua yang ada di alam.”
Sebagai guru, ibu Mutiara juga harus mengantisipasi anak yang tidak memahami apa yang beliau sampaikan. Untuk itu, beliau mengaku harus
mengenal karakter stiap anak agar bisa mengetahui cara yang terbaik untuk berkomunikasi dengan mereka.
“Setiap anak pasti memiliki daya tangkap yang berbeda-beda ya, untuk itu lah saya harus memang memahami dan mengerti karakter dari
setiap anak di kelas saya. Dengan itu saya bisa menentukan cara yang
Universitas Sumatera Utara
bagimana lagi yang akan dilakukan apabila masih ada anak yang belum mengerti”.
Sama seperti keempat guru sebelumnya, beliau juga mendapat tanggapan yang baik dari orang tua siswa mengenai strategi komunikasi yang ia gunakan
dalam mengajar. “Tanggapan dari orang tua ya baik-baik saja, karena mungkin
mereka melihat juga apa yang saya buat untuk anak-anak sampai saat ini masih cukup baik lah sebagai seorang guru.”
Sama seperti keempat guru sebelumnya, ibu Mutiara juga mengaku strategi komunikasi dengan menggunakan metode belajar berbasis lingkungan
berhasil untuk mengembangkan kemandirian anak didiknya. Tetapi tingkatan keberhasilan anak didiknya berbeda sesuai kemampuan masing-masing anak.
“Selama ini berhasil lah untuk semua anak, tapi tingkatan keberhasilannya berbeda untuk setiap anak. Karena kan setiap anak
memiliki perbedaan karakter masing-masing.” Mengenai perkembangan kemandirian anak didiknya bisa beliau lihat
setiap hari di sekolah. Ia mngakui banyak perubahan yang terjadi pada anak didiknya yang dimulai dengan hal-hal kecil yang mereka dapatkan melalui proses
belajar di sekolah alam bukit hijau. “Kemandirian itu akan kita lihat perkembangannya setiap
harinya, mulai dari hal-hal yang kecil hingga banyak hal yang sebelumnya tidak bisa ia lakukan sekarang sudah mengalami
perkembangan dan sudah bisa melakukan banyak hal.” Ketika peneliti menanyakan tanggapan orang tua mengenai perkembangan
kemandirian anak didiknya, beliau menjawab bahwa semua orang tua tentunya sangat senang ketika anak mereka mendapatkan hasil yang baik di sekolah. Beliau
menambahkan, semakin mandirinya anak mereka melakukan berbagai hal juga menjadi kesenangan para orang tua.
“Orang tua sangat senang dengan perkembangan anak mereka setelah bersekolah, banyak hal baru yang berkembang pada anak setiap
harinya. Apalagi mengenai kemandirian, orang tua pasti sangat senang.”
Universitas Sumatera Utara
4.1.4.2 Informan Orang Tua Informan Orang Tua I