Latar Belakang Kesantunan Dengan Daya Semiotika Bahasa Berkampanye Calon Legislatif Partai Golongan Karya Di Kabupaten Labuhanbatu Utara
semua dapil, 5 Partai Golkar, jumlah caleg sebanyak 35 orang semua dapil, 6 Partai gerinda, jumlah caleg sebanyak 34 orang semua dapil, 7 Partai Demokrat,
jumlah caleg sebanyak 35 orang semua dapil, 8 PAN, jumlah caleg sebanyak 35 orang semua dapil, 9 PPP, jumlah caleg sebanyak 33 orang semua dapil, 10
Partai Hanura, jumlah caleg sebanyak 33 orang semua dapil, 11 PBB, jumlah caleg sebanyak 35 orang semua dapil, dan 12 PKPI, jumlah caleg sebanyak 24
orang semua dapil, maka jumlah total caleg partai politik di Kabupaten Labura sebanyak 408 orang dan disahkan oleh KPUDLabura.
Para caleg yang telah terdaftar di KPUD Kabupaten Labura memiliki nomor urut yang sudah ditentukan oleh masing-masing partai politik. Caleg yang
memiliki nomor urut satu belum dapat dipastikan terpilih menjadi anggota legislatif dan begitu juga nomor urut besar belum dapat dipastikan terpilih
menjadi anggota legislatif maka caleg yang terpilih menjadi salah satu anggota legislatif berdasarkan Undang-Undang Pemilu No.8 Tahun 2012 adalah suara
terbanyak yang dipilih oleh masyarakat. Caleg Partai Golkar dalam berkampanye kepada masyarakat menggunakan
bahasa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi dan bahasa nasional bangsa Indonesia. Para caleg Partai
Golkar dalam berkampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, danatau peserta pemilu yang lain yang ditetapkan dalam UU
Pemilu No.8 Tahun 2012. Materi kampanye dapat disampikan melalui tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif,
grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.
Para caleg Partai Golkar berkampanye dalam pemasangan alat peraga kampanye dilaksanakan dengan pertimbangan etika, estetika, kebersihan, dan
keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Lihat Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang pemilu
dan Paraturan Komisi Pemilihan Umum PKPU No. 15 Tahun 2013 tentang Kampanye Partai Politik.
Para caleg Partai Golkar dalam berkampanye harus mematuhi Peraturan Komisi Pemilihan Umum PKPU No.15 Tahun 2013dan UU Pemilu No. 8 Tahun
2012 karena ada sebagian caleg Partai Golkar dalam berkampanye kurang menonjolkan visi dan misi Partai Golkar kepada masyarakat, baik itu kampanye
ujuran juru kampanye jurkam maupun berkampanye secara tulis semiotika bahasa jargon. Dalam hal ini, para caleg Partai Golkar berkampanye melakukan
pendekatan kepada masyarakat umumnya dengan berbahasa sopan dan santun menyapa pada saat berkampanye, misalnya caleg menyapa seorang laki-laki tua
dengan kata ‘Bapak’ dan bukan dengan kata ‘kamu’. Ketika caleg menyapa yang lebih muda darinya maka lebih tepat disapa dengan kata ‘Adik’ daripada kata
‘Anda’atau ‘Saudara’. Kesantunan bahasa dituntut dapat menyampaikan pesan, informasi, dan
tujuan serta mampu menjaga keharmonisan budaya masyarakat. Hal ini, berhubungan dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam
masyarakat ketika berinteraksi. Interaksi santun ini untuk menghindari
ketersinggungan bahkan kesalahpahaman sehingga dapat memperkecil munculnya konflik dan menciptakan keharmonisan hubungan caleg Partai Golkar dengan
masyarakat. Kesantunan berbahasa juga memiliki nilai budaya yang berkaitan dengan ‘kesopanan’, ‘rasa hormat’, ‘sikap yang baik’, ‘ etika berbahasa’, atau
‘perilaku yang pantas’. Kesantunan berbahasa merupakan bagian cerminan dalam tatacara
berkomunikasi yangdirealisasikan melalui bahasa verbal. Bahasa verbal direalisasikan jurkam dan caleg Partai Golkar melalui maksim dan semiotika
bahasa dalam fungsi ujar yakni pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran. Dalam teori Leech 1983:53 kesantunan berbahasa merupakan ajaran atau
kebenaran umum dalam bertindak tutur atau dikatakan maksim yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan
hati, maksim kesetujuan, dan maksim kesimpatian dalam bertutur sebagai berikut. Maksim kebijaksanaan harus meminimalkan kerugian orang lain atau
memaksimalkan keuntungan bagi orang lain ketika bertutur, misalnya silahkan datangke TPS tanggal 9 April 2014. Maksim penerimaan harus memaksimalkan
kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri dalam pertuturan, misalnya “saya akan meminjami Anda dana kampanye”.
Selanjutnya, maksim kemurahan harus memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain dalam
pertuturan, misalnya “baju partaimu bagus sekali”. Maksim kerendahan hati harus memaksimalkan ketidakhormatan
pada diri sendiri dan meminimalkan rasa
hormat pada diri sendiri dalam pertuturan, misalnya “
Selanjutnya, maksim kecocokan harus memaksimalkan kesetujuan di antara penutur dan petutur serta meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka,
misalnya kericuhan dalam sidang umum DPR itu sangat memalukan. Maksim kesimpatian harus memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati
kepada lawan tuturnya, misalnya “anak guru berjuang untuk rakyat”. caleg itu sangat dermawan
pada masyarakat”.
Keenam maksim tersebut berkaitan dengan norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Keterkaitan maksim dengan norma
sosial dan budaya direalisasikan caleg Partai Golkar dalam berkampanye bagi masyarakat Labura. Realisasi itu sesuai dengan apa yang dikemukakan Halliday
2004:295 bahwa konteks situasi merupakan hubungan antara orang yang berinteraksi disebut pelibat tenor berkaitan dengan aktifitas sosial disebut
dengan medan field berkaitan dengan peran dan fungsi bahasa disebut sarana mode. Dalam konteks situasi bahwa bahasa merupakan bagian dari sistem
semiotika sosial dan hidup dalam konteks sehingga sistem semiotika bahasa bersosialisasi dengan sistem-sistem semiotika lain dan sekaligus juga
meminjamkan sistem-sistem antara lain sistem semiotika konteks. Hubungan bahasa dengan konteks situasi merupakan hubungan realisasi
bahasa sebagai sebuah sistem semiotika sosial. Dengan kata lain, bahasa wujud dalam konteks dan tiada bahasa tanpa sistem konteks sosial. Sistem konteks sosial
berada pada tingkat unsur atau strata yaitu petanda dan penanda atau signified dan signifier secara umum.
Dalam penelitian ini, istilah semiotika bahasa yaitu, ‘arti’ yang setara dengan petanda berhubungan dengan makna teks pemaknaan semantics, bentuk
berhubungan dengan tatabahasa pengataan lexicogrammar, dan ekspresi yang setara dengan penanda berhubungan dengan bunyi, tulisan, dan isyarat. Konteks-
konteks tersebut dihubungkan pada kesantunan dengan daya semiotika bahasa berkampanye caleg Partai Golkar karena daya semiotika bahasa memegang
peranan yang sangat penting dalam budaya berkampanye sehingga konteks situasi, budaya, dan ideologi difungsikan oleh caleg Partai Golkar berkampanye
kepada masyarakat Labura. Leech dalam Chaer 2010:5-8 mengatakan a apa yang harus dikatakan
kepada seorang mitra tutur pada waktu dan keadaan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat, b ragam bahasa yang paling wajar
digunakan dalam waktu dan budaya tertentu, c kapan dan bagaimana menggunakan giliran berbicara dan menyela atau menginterupsi pembicaraan
orang lain, d kapan harus diam dan mendengar tuturan orang,dan e bagaimana kualitas suara, apakah keras, pelan, meninggi, dan bagaimana sikap fisik di dalam
berkomunikasi sehingga penutur dan mitra tutur dapat dikatakan santun berbahasa apabila menguasai tata cara kesantunan berbahasa. Dengan demikian, kekuatan
caleg dalam berkampanye untuk mempengaruhi masyarakat dengan mempersiapkan materi kampanye secara baik, ragam bahasa yang dimengerti
masyarakat, bersikap demokrasi bertindak tutur, dan tinggi rendah suara caleg sangat mempangaruhi masyarakat dalam berkampanye.
Penelitian ini dilakukan dengan alasan yaitu a pemilu dilaksanakan di Indonesia sekali lima tahun untuk memilih wakil-wakil rakyat, b pesta
demokrasi yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia untuk menggunakan hak memilih dan hak dipilih, c semua jurkam dan caleg Partai
Golkar memainkan peranan fungsi bahasa dalam berkampanye baik bentuk lisan maupun tulisan, d para caleg saat pemilu ‘perang bahasa’ dan ‘perang
semiotika’ untuk menjadi anggota legislatif masa bakti tahun 2014-2019, dan e sejauh pengetahuan peneliti bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan di
Kabupaten Labura.